Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH KONFLIK INTRAPERSONAL

DAN STRATEGY DEALING PADA GAY


YANG RELIGIUS

Disusun Oleh:

Nama : Sabilla Ayuning Lalistya


NPM : 202013500475
Jurusan :-
Dosen Pengampu :-

FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS SULTAN AGENG


TIRTAYASA CILEGON-BANTEN 2020
Jl. Jenderal Sudirman Km. 03 Cilegon 42435 Telp. (0254) 385502,
376712 Fax. (0254) 395540 Website: http://fisdas.untirta.ac.id Email:
lab.fisikaterapan@untirta.ac.id
KATA PENGANTAR

Puji syukur Penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya. Atas berkat rahmat dan hidayah-Nya serta
berbagai upaya, sehingga tugas makalah mata kuliah “Pengantar Komunikasi
Bisnis” yang berjudul “Pentingnya Komunikasi Antarbudaya Dalam Dunia
Bisnis” dapat diselesaikan dengan baik dan tepat waktu. Penulisan makalah ini
ditujukan untuk memenuhi tugas Mata kuliah Pengantar Komunikasi Bisnis yang
diberikan oleh Dosen pengampu mata kuliah Pengantar Komunikasi Bisnis, yaitu
Ibu Titik Purwinarti, S.Sos, M.Pd
Makalah ini dibuat dengan metode mengkaji materi dari beberapa sumber.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah terlibat dalam
proses penulisan makalah “Pentingnya Komunikasi Antarbudaya Dalam Dunia
Bisnis” khususnya kepada Ibu Titik Purwinarti, S.Sos, M.Pd.
Disadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangannya dan belum
sempurna. Untuk itu Penulis sangat mengharapkan masukkan-masukkan yang
dapat membangun demi kesempurnaannya. Semoga makalah ini dapat bermanfaat
dan dipergunakan sebaik-baiknya.

Jakarta, 01 Mei 2021

Penyusun
ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.......................................................................................i

KATA PENGANTAR....................................................................................ii

DAFTAR ISI...................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN

1.1.................................................................................................................
Latar Belakang..................................................................................................1
1.2 Tujuan...............................................................................................2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Komunikasi Intrapersonal...............................................3


2.2 Proses Komunikasi Intrapersonal.........................................................5
2.3 Teori-Teori Komunikasi Intrapersonal.................................................6

BAB III METODE PERCOBAAN

3.1 Konflik Intrapersonal Kaum Gay..........................................................8

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Kerangka Konseptual............................................................................11


4.2 Pembahasan...........................................................................................12

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan...........................................................................................14
DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................15
iv
1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Mulai tanggal 23 Oktober 2015, provinsi Aceh memberlakukan Hukum
Jinayah atau pidana Islam. Qanun Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayah
itu mengatur sanksi 100 kali cambuk bagi individu yang diketahui sebagai gay
atau lesbian. Hukuman tersebut dilaksanakan karena gay dan lesbian melanggar
ajaran agama Islam yang merupakan agama mayoritas di Aceh. Kepala Dinas
Syariat Islam Provinsi Aceh, Prof. Syahrizal Abbas, mengatakan, Qanun tentang
Hukum Jinayah ini menjadi payung hukum baru sebagai penguatan penerapan
syariat Islam di Aceh (Setyadi, 2015). Bagi umat islam, hal tersebut berdasarkan
pernyataan dalam Q.S Al-Naml, 27: 54-58, Hud, 11:77-83; al A’raf, 7: 80-81; al-
Syu’ara, 26: 160-175 yang menceritakan kisah Luth.
Agama lainnya di Indonesia juga memiliki ajaran yang menentang
homoseksual dan tidak mendukung perilaku tersebut. Umat Nasrani memiliki
kisah tentang kaum Sodom dan Gomora serta ajaran yang melarang adanya kaum
homoseksual (Kejadian, 19:1-28; Imamat, 18:22, 20:13; Roma, 1:26,27; Korintus
I, 6:9; Timotius I, 1:10 dalam Lembaga Alkitab Indonesia, 2008). Ketua Umum
Parisada Hindu Darma Indonesia, Sang Nyoman Suwisma, mengatakan agama
Hindu juga melarang perkawinan dan hubungan antara manusia dengan jenis
kelamin yang sama karena dalam sastra Hindu, Hyang Widhi menciptakan laki-
laki sebagai bapak dan perempuan sebagai ibu melalui upacara perkawinan.
Agama Buddha juga memiliki larangan mengenai perilaku homoseksual sebab hal
tersebut melanggar Sila ke-3, yaitu melakukan perbuatan asusila yang maksudnya
adalah melakukan pemuasan nafsu indriawi yang menyimpang.
Hal tersebut dapat menimbulkan konflik dalam kehidupan gay yang religius
karena adanya ketidaksesuaian persepsi atas sebuah pandangan hidup, misalkan
kebutuhan internal yang saling bertentangan atau adanya tuntutan eksternal .
Ditambah lagi dengan hasil Pew Research Center yang menyebutkan bahwa 93%
2

penduduk Indonesia tidak setuju dengan LGBT.Hal ini disebabkan di Indonesia


homoseksual masih menjadi suatu fenomena seksual yang masih dianggap aneh
dan janggal oleh sebagian masyarakat, walaupun di negara-negara barat hal
tersebut bukan menjadi fenomena yang dianggap aneh lagi.
Makalah ini dibuat bertujuan untuk mengeksplorasi pengalaman mengenai
konflik intrapersonal yang dimiliki kaum gay yang religius berupa pergulatan di
dalam diri seputar identitas agama dan orientasi seksual, serta ingin melihat
strategy dealing yang diambil kaum gay yang religius di Indonesia dalam
mengahadapi konflik intrapersonal terhadap nilai-nilai agama yang dianutnya.
Hasil penelitian yang diperoleh diharapkan dapat menjadi sebuah gambaran
mengenai permasalahan kehidupan gay yang religius. Dengan mendengar
langsung dari individu gay yang religius mengenai kehidupan agamanya, apa yang
dirasakan, dan tindakan apa saja yang mereka lakukan, maka penanganan terhadap
konflik intrapersonal yang dialami gay yang religius akan lebih tepat sasaran dan
bermanfaat. Pertentangan antara orientasi seksual dan identitas agama dapat
dipermudah negosiasinya dengan bertambahnya rasa memahami diri sendiri (Dahl
& Galliher, 2012). Berdasarkan paparan tersebut, maka penelitian ini harus
dilakukan. Interpretative Phenomenological Analysis (IPA) dipilih sebagai
pendekatan penelitian ini karena pendekatan ini dapat secara detail mengungkap
persepsi personal individu mengenai suatu masalah atau peristiwa.

1.2 Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah: Mengeksplorasi pengalaman mengenai


konflik intrapersonal yang dialami oleh gay yang religius.
3

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Komunikasi Intrapersonal

Komunikasi Intrapersonal berasal dari 3 kata yaitu Komunikasi, Intra dan


Personal atau pribadi. Komunikasi adalah “suatu proses pertukaran informasi
diantara individu melalui sistem lambang-lambang, tanda-tanda, atau tingkah
laku” Intra menurut KKBI diartikan dengan “bentuk terikat di dalam; bagian
dalam”. Sedangkan Personal diartikan sebagai “bersifat pribadi atau
perseorangan”. Menurut Blake dan Harodlsen, Komunikasi intrapribadi atau
dikenal juga dengan istilah komunikasi intrapersonal adalah peristiwa komunikasi
yang terjadi dalam diri pribadi seseorang. Bagaimana setiap orang
mengkomunikasikan dirinya atau berbicara pada dirinya sendiri. Hal ini
dikarenakan setiap orang dapat menjadi objek bagi dirinya sendiri melalui
penggunaan simbol-simbol yang digunakan dalam proses komunikasi. Melalui
simbol-simbol ini apa yang dikatakan seseorang kepada orang lain dapat memiliki
arti yang sama bagi dirinya sendiri sebagaimana berarti bagi orang lain.

Hafied Cangara mendefinisikan Komunikasi Intrapersonal sebagai proses


komunikasi yang terjadi didalam diri individu, atau dengan kata lain proses
berkomunikasi dengan diri sendiri. Terjadinya proses komunikasi disini karena
adanya seseorang yang memberi arti terhadap suatu objek yang diamatinya atau
terbetik dalam pikirannya. Objek dalam hal ini bisa saja dalam bentuk benda,
kejadian alam, peristiwa, pengalaman, fakta yang mengandung arti bagi manusia,
baik yang terjadi di luar maupun di dalam diri seseorang.

Dalam proses pengambilan keputusan, sering kali seseorang dihadapkan


pada pilihan Ya atau Tidak. Keadaan seperti ini membawa seseorang pada situasi
berkomunikasi dengan diri sendiri, terutama dalam mempertimbangkan untung
ruginya suatu keputusan yang akan diambil. Cara ini hanya bisa dilakukan dengan
4

metode komunikasi Intrapersonal (Intrapersonal Communication/komunikasi


dengan diri sendiri). Armawati Arbi memahami Komunikasi Intrapersonal
(intrapribadi) sebagai kemampuan seseorang berdialog dan berperan sebagai saya
dan aku dalam mengatur perencanaan melalui kecerdasan IQ, mempersiapkan
penataan melalui kecerdasan RQ/spiritual quotient/SQ, melaksanakan
penerapannya melalui kecerdasan nafs quotient/ Nafs Q, dan mengevaluasi
perencanaan melalui kecerdasan EQ .

Upaya untuk mendefinisikan komunikasi intrapersonal telah dilakukan


oleh para ahli. Berikut adalah beberapa pengertian komunikasi intrapersonal yang
dikemukakan oleh ahli, yaitu.

1. Jalaludin Rakhmat (2001) menyatakan bahwa jika dilihat dari segi


psikologi komunikasi maka yang dimaksud dengan komunikasi
intrapersonal adalah proses pengolahan informasi yang meliputi
sensasi, persepsi, memori, dan berpikir.

2. Armawati Arbi (2012) berpendapat bahwa komunikasi intrapersonal


merupakan akar dari komunikasi Islam atau komunikasi fitrah terkait
dengan peran komunikasi keluarga dalam menciptakan komunikasi
fitrah guna membangun keluarga yang sakinah sesuai dengan ajaran
Islam. Terkait dengan hal ini, orang tua berperan menanamkan
nilainilai ajaran Islam kepada anak-anaknya melalui komunikasi
dakwah dalam keluarga. Komunikasi intrapersonal terjadi manakala
dakwah menjadi sebuah panggilan kepada diri sendiri untuk
menjalankan ajaran Islam sesuai dengan Al Quran dan Al Hadits.

3. Judy Pearson dan Paul Nelson (2011) mendefinisikan komunikasi


intrapersonal sebagai proses menggunakan pesan untuk menghasilkan
makna di dalam diri.

4. Jurgen Ruesch dan Gregory Bateson berpendapat bahwa komunikasi


intrapersonal adalah bentuk khusus dari komunikasi interpersonal dan
5

dialog adalah dasar dari semua wacana. Komunikasi intrapersonal


mencakup berbicara kepada diri sendiri, membaca dalam hati,
mengulangi apa yang didengar, berbagai kegiatan tambahan dalam hal
berbicara dan mendengar apa yang dipikirkan, membaca dan
mendengar dapat meningkatkan konsentrasi dan retensi.

Studi tentang komunikasi dengan diri sendiri (Intrapersonal


Communication) kurang banyak mendapat perhatian, kecuali dari kalangan yang
berminat dalam bidang psikologi behavioristik. Oleh karena itu literatur yang
membicarakan tentang Komunikasi Intrapersonal bisa dikatakan sangat langka
ditemukan

2.2 Proses Komunikasi Intrapersonal


Proses komunikasi intrapersonal melibatkan beberapa tahapan, yaitu:
a) Sensasi
Proses komunikasi intrapersonal dimulai dengan adanya sebuah stimulus.
Komunikasi intrapersonal adalah reaksi terhadap stimuli yang dapat berupa
stimuli internal atau stimuli eksternal. Seorang ahli komunikasi yang bernama
Mark Knapp menunjukkan sebuah kerangka kerja yang berguna untuk
memahami proses komunikasi intrapersonal. Menurut Knapp, terdapat dua
faktor yang mempengaruhi komunikasi intrapersonal yaitu stimuli internal
dan stimuli eksternal. Yang pertama Stimuli internal meliputi motif-motif
peribadi, sikap, dan konsep diri. Kemudian yang kedua, Stimuli eksternal
meliputi berbagai kejadian, obyek, dan orang yang berada di luar individu.
Seorang individu akan membentuk persepsi, perasaan, dan makna penafsiran
sebuah kesan yang dibuat tentang dirinya dan sekitarnya pada saat tertentu.
Stimuli-stimuli tersebut kemudian ditangkap oleh organ-organ sensor dan
mengirimkannya ke otak. Proses ini disebut dengan resepsi.
b) Persepsi
Organ-organ kemudian menangkap sebuah stimulis dan mengirimkannya ke
sistem saraf pusat melalui sistem saraf peripheral. Ketika kita menerima seluruh
stimuli yang diarahkan kepada kita, kita memberi perhatian hanya kepada
6

beberapa stimuli saja. Hal ini disebabkan karena kita menerapkan persepsi
selektif. Hanya stimuli yang tinggi saja yang diterima sedangkan stimuli yang
rendah akan dikesampingkan.
c) Memori
Tahap selanjutnya adalah memproses stimuli yang terjadi dalam tiga
tingkatan yaitu kognitif, emosional, dan fisiologis. Proses kognitif berhubungan
dengan intelektual diri termasuk penyimpanan, retrieval, pemilahan, dan asimilasi
informasi. Proses emosional berkaitan dengan emosi diri. Semua emosi dan sikap,
kepercayaan, dan pendapat berinteraksi untuk menentukan respon emosi terhadap
berbagai stimulus. Proses fisiologis terjadi pada tingkatan fisiologis dan hal ini
berkaitan dengan psikologis diri. Respon semacam ini direfleksikan melalui
perilaku fisik seperti aktivitas otak, tekanan darah, dan lain-lain.
d) Transmisi
Pada tahap ini, pengirim dan penerima adalah orang yang sama. Transmisi
terjadi melalui berbagai impuls saraf.

2.3 Teori-Teori Komunikasi Intrapersonal


Komunikasi intrapersonal adalah komunikasi internal dengan diri sendiri
yang mendorong proses untuk membawa makna individual terhadap beragamnya
pesan. Terdapat 4 (empat) teori yang meneliti aspek komunikasi intrapersonal,
yaitu:
a) Teori Message Design Logic
Pada umumnya setiap orang memiliki pemikiran yang berbeda tentang
komunikasi. Karenanya, mereka akan membentuk berbagai jenis pesan yang
berbeda
b) Teori Akomodasi Komunikasi
Teori yang dikembangkan oleh Howard Giles dan kawan-kawan
menyuguhkan sebuah platform informative untuk memahami perbedaan
dan kesamaan budaya yang berkaitan dengan bahasa dan tutur kata.
Teori akomodasi komunikasi menitikberatkan pada bagaimana dan
mengapa orang memodifikasi atau merubah perilaku komunikasi
7

mereka dalam situasi yang berbeda. Teori ini berpendapat bahwa ketika
berkomunikasi, orang berupaya untuk mengurangi atau meningkatkan
perbedaan antara diri mereka sendiri dengan orang lain. Mereka akan
melakukan hal-hal yaitu berkomunikasi seperti yang orang lain lakukan
atau menampakkan perbedaan cara berkomunikasi.
c) Teori Pengurangan Ketidakpastian
Teori yang dirumuskan oleh Charles Berger dan Richard Calabrese ini
mencoba untuk menjelaskan dan memprediksi kapan, mengapa, dan
bagaimana setiap individu menggunakan komunikasi untuk
meminimalisasi keraguan mereka ketika berinteraksi dengan orang lain.
d) Teori Pelanggaran Harapan
Teori pelanggaran harapan yang digagas oleh Judee Burgoon dan
kawan-kawan ini menjelaskan berbagai perilaku orang ketika ruang
pribadinya mengalami pelanggaran. Ruang pribadi dapat juga merujuk
pada ruang psikologis dan ruang emosional. Sebagian besar inti teori
pelanggaran harapan memiliki asumsi bahwa manusia memiliki
kebutuhan untuk ruang pribadi dan afiliasi. Ketika kita menerima satu
kebuuhan yang telah dikompromikan, teori ini memprediksi bahwa kita
akan mencoba untuk melakukan sesuatu tentang hal itu. Kita dapat
bergerak mendekat atau melawan.
8

BAB III
STUDI KASUS

3.1 Konflik Intrapersonal Kaum Gay


Agama adalah kebutuhan kodrati bagi setiap individu termasuk juga kaum
gay. Gay juga membutuhkan agama untuk mendapatkan rasa aman dan
perlindungan, menemukan penjelasan, memperoleh kebenaran dalam kehidupan,
peneguhan tata nilai, serta memuaskan kerinduan. Namun, agama di Indonesia
memiliki ajaran yang melarang adanya orientasi homoseksual. Kisah Luth yang
diceritakan dalam kitab suci agama Islam menjelaskan adanya larangan tersebut.
Bagi umat Nasrani, hal tersebut dijelaskan dalam kisah kaum Sodom dan Gomora
serta ajaran yang melarang adanya kaum homoseksual (Kejadian, 19:1-28;
Imamat, 18:22, 20:13; Roma, 1:26,27; Korintus I, 6:9; Timotius I, 1:10 dalam
Lembaga Alkitab Indonesia, 2008). Sedangkan, agama Hindu juga melarang
melarang hubungan antara manusia dengan jenis kelamin yang sama karena dalam
sastra Hindu, Hyang Widhi menciptakan laki-laki sebagai bapak dan perempuan
sebagai ibu melalui upacara perkawinan. Orientasi homoseksual juga melanggar
sila ke-3 dalam ajaran agama Budha mengenai ajaran untuk tidak melakukan
perbuatan asusila dengan pemuasan nafsu indrawi yang menyimpang. Hal tersebut
dapat menimbulkan konflik karena adanya pertentangan antara persepsi atas
sebuah pandangan hidup yaitu antara pandangan agama dan orientasi sebagai
homoseksual.

Dowshen dkk (2010) mengatakan bahwa banyak kaum muda Lesbian,


Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT) menutup diri dari lingkungan agama
yang dianutnya karena menimbulkan konflik terhadap gender atau orientasi
seksual. Banyak penelitian mengenai homoseksual yang memiliki kepercayaan
bahwa dalam setiap tindakan untuk mendamaikan antara agama dan identitas
homoseksual adalah sebuah konflik yang sudah ada sejak dahulu. Dua-pertiga dari
kaum orientasi seksual minoritas memiliki pengalaman menghadapi konflik antara
orientasi seksual dan identitas agama yang mereka miliki. Rostosky, Danner, &
9

Riggle memiliki hipotesis terhadap pengalaman berkonflik dengan konteks agama


yang pada akhirnya kaum orientasi seksual minoritas yang menjadi korbannya .

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Departemen Pendidikan Nasional,


2008), konflik itu sendiri dapat diartikan sebagai pertentangan atau
ketidaksesuaian. Menurut Karen Horney (dalam Feist & Feist, 2008), konflik
merupakan ketidaksesuaian antara dua kekuatan yang berhadapan dan tidak dapat
dihindari. Konflik juga dapat terjadi karena ketidak-konsistenan cara berpikir
dalam bertingkahlaku pada masyarakat. Misalkan adanya prinsip semua orang
memiliki derajat yang sama, namun kenyataannya orang Negro sering
diperlakukan lebih rendah. Menurut Supardi (1982), individu mengalami konflik
ketika motivasi-motivasi yang dimiliki bertentangan secara potensial terjadi pada
saat yang serentak seperti pada kaum gay yang religius yang memiliki dua
identitas dalam diri yang saling bertentangan. Motivasi merupakan sikap,
kepercayaan, serta keadaan emosional yang berhubungan dengan pemenuhan
suatu tujuan.

Pada diri gay yang religius dapat timbulkan konflik intrapersonal karena
adanya dua hal yang saling bertentangan yang terjadi di dalam diri. Hal yang
bertentangan tersebut adalah identitas sebagai gay dan identitas sebagai religius.
Pertentangan tersebut merupakan konflik intrapersonal karena identitas muncul
dari dalam diri. Dalam teori Karen Horney konflik intrapersonal disebut konflik
intrapsikis. Hal tersebut disebabkan konflik bersumber dari pengalaman individu
yang dihadapkan dengan dua keinginan yang bertentangan seperti harapan dan
kewajiban atau adanya dua nilai budaya yang berbeda sehingga bisa mengganggu
psikis bila tidak mampu diatasi dengan baik (Feist & Feist, 2008). Karen Horney
berpendapat bahwa proses-proses intrapsikis lahir dari pengalaman-pengalaman
antar pribadi, namun ketika proses-proses ini menjadi bagian dari sistem
keyakinan seseorang maka hal tersebut akan masuk ke dalam diri individu. Pada
akhirnya akan menjadi sebuah eksistensi yang terpisah dari konflik antarpribadi
dan membentuk konflik intrapsikis pada individu (Feist & Feist, 2008).

Gay dapat bergabung dalam suatu komunitas untuk membantu mereka


10

lepas dari konflik yang selama ini dihadapi (Ganzevoort dkk., 2011). Komunitas
merupakan salah satu sumber dukungan sosial selain teman dan keluarga.
Dukungan sosial mengacu pada pemberian rasa nyaman, perhatian, penghargaan,
dan pertolongan dari individu atau kelompok kepada individu. Bertambahnya rasa
memahami diri sendiri dan penerimaan dari orang akan membuat individu
homoseksual dapat menegosiasi adanya orientasi seksual dan identitas agama
yang saling bertentangan di dalam diri (Dahl & Galliher, 2012). Menurut Kwon
(2013) dukungan sosial juga diperlukan oleh kaum gay karena dukungan sosial
berkorelasi positif dengan kondisi psikologis dan interpersonal mereka.

Individu yang menerima dukungan merasa dirinya merupakan bagian


kelompok tertentu yang dapat memberi pertolongan saat menemukan suatu
bahaya (Sarafino, 2008). Kaum gay merupakan kaum minoritas yang rentan
dengan diskriminasi dan membutuhkan dukungan sosial. Dukungan juga
dikatakan sebagai faktor pembentuk resiliensi pada kelompok gay (Kwon, 2013).
Kelompok minoritas membentuk perkumpulan sebagai identitas agar dapat
melepaskan diri dari tekanan kelompok mayoritas (Heyes dalam Ganzevoort,
Laan, & Olsman, 2011). Hegna & Wichstrom (dalam Dahl & Galliher, 2012)
mengatakan bahwa dukungan sosial yang kuat dari komunitas sangat penting bagi
individu yang berada dalam orientasi seksual minoritas, hal tersebut sebagai
negosiasi identitas mereka dengan lingkungan heteroseksual
11

BAB IV
PEMBAHASAN STUDI KASUS

4.1 Kerangka Konseptual


Agama merupakan pengakuan terhadap kekutan tertinggi yang dipercayai
dan diyakini manusia berada diatasnya. Hasil riset dan observasi dari sebagian
besar ahli psikologi menunjukan bahwa manusia memiliki kebutuhan yang
melebihi kenutuhan-kebutuhan lainnya. Keinginan akan kebutuhan tersebut
merupakan kebutuhan kodrati, berupa keinginan untuk mencintai dan dicintai
Tuhan (Arifin, 2015). Tentunya, agama juga merupakan kebutuhan kodrati kaum
gay sebagai seorang manusia. Namun, kebutuhan untuk beragama bertentangan
dengan gay yang memiliki orientasi homoseksual.
Gay merupakan individu yang memiliki ketertarikan baik secara emosi atau
fisik terhadap sesama jenis dan biasanya menjadikannya partner seksual. Gay
merupakan hal yang ditentang ajaran agama. Di dalam ajaran agama menjelaskan
bahwa manusia seharusnya menjadi heteroseksual. Pertentangan dua hal tersebut
menimbulkan konflik karena adanya kebutuhan internal yang bertentangan dan
adanya tekanan dari budaya sekitar (Karen Horney dalam Feist & Feist, 2008;
Wirawan, 2010). Rodriguez & Ouellette (2000) berpendapat bahwa gay juga
memerlukan agama untuk menjalani kehidupan. Beberapa gay tetap menjalani
kehidupan agamanya dengan baik.
Orientasi homoseksual dan identitas agama merupakan dua hal yang saling
bertolak belakang. Banyak penelitian mengenai homoseksual menunjukan kaum
gay yang religius memiliki berbagai pengalaman menghadapi konflik dalam
menjalani identitas agamanya sekaligus (Thumma, 1991; Dahl & Galliher, 2012;
Pietkiewicz & Kołodziejczyk-Skrzypek, 2016). Apalagi masyarakat Indonesia
masih menganggap gay adalah hal yang aneh dan menyimpang dari moral yang
berlaku (Niernoventy dkk., 2014; Mariani, 2013). Dua hal yang sama-sama kuat
tersebut akan saling bertentangan sehingga membuat konflik intrapersonal yang
12

berkecamuk dalam diri kaum gay yang religius di Indonesia.

Konflik-konflik tersebut memunculkan strategy dealing dalam diri gay.


Individu gay yang religius dapat menghilangkan konflik yang berkecamuk di
dalam dirinya dengan strategy dealing. Strategy dealing merupakan cara individu
homoseksual untuk dapat menegosiasi konflik yang timbul karena ajaran agama
yang dianutnya bertentangan dengan orientasi seksualnya (Rodriguez & Ouellette,
2000; Ganzevoort, Laan, Olsman, 2011)

4.2 Pembahasan

Menurut MC Guire (dalam Arifin, 2015), sistem nilai yang berdasarkan


agama dapat memberi individu perangkat sistem nilai dalam bentuk keabsahan
dan pembenaran dalam mengatur sikap. Pengaruh sistem nilai terhadap kehidupan
individu karena nilai sebagai realitas yang abstrak didasarkan daya dorong atau
prinsip yang menjadi pedoman hidup. Hal tersebut sesuai dengan hasil wawancara
yang menunjukan bahwa kedua informan dalam penelitian ini menggunakan
agama sebagai pedoman dalam menjalani kehidupan mereka. Oleh karena itu,
kedua informan menganggap agama dan hubungan dengan Tuhan adalah hal yang
penting meskipun mereka seorang gay.

Seperti yang sudah dibahas sebelumnya, orientasi seksual minoritas pasti


mengalami konflik antara orientasi seksual dan identitas agama yang yang ada di
dalam diri, termasuk pula kaum gay (Dahl & Galliher, 2012). Berbagai penelitian
mengenai homoseksual mengatakan bahwa banyak konflik yang terjadi untuk
mendamaikan identitas sebagai gay dan identitas sebagai religius karena keduanya
saling bersebrangan dan sama kuatnya (Thumma, 1991).

Adanya dua hal yang sama kuatnya di dalam diri para informan ini yaitu
identitas sebagai gay dan identitas sebagai religius yang saling bertentangan,
tentunya akan menimbulkan konflik intrapersonal. Konflik intrapersonal tersebut
pada akhirnya akan memunculkan strategy dealing sebagai cara untuk mengatasi
pertetangan di dalam diri. Penelitian Singer dan Deschamps mengatakan bahwa
13

sebanyak 62% gay dan lesbian merasa agama bukan merupakan hal penting
(Rodriguez & Ouellette, 2000), sehingga kaum homoseksual lebih memilih untuk
memilih mengikuti orientasi seksualnya sebagai homoseksual dan menolak
identitas agamanya yang dianggap bertentangan (Rejecting the Religious
Identity). Tetapi, hal tersebut tidak terjadi pada kedua informan dalam penelitian
ini. Peneliti menduga hal ini terjadi karena masyarakat Indonesia menganggap
bahwa agama memiliki peranan yang penting dalam kehidupannya, bahkan di
Indonesia agama dinyatakan sebagai ideologi bangsa dalam Pancasila yaitu
“Ketuhanan yang Maha Esa” (Bauto, 2014).

Strategi yang digunakan kedua informan penelitian adalah strategy


compartementalization. strategy compartementalization yaitu penyelesaian
pertentangan dengan mengeleminasi konflik. Ketika sedang menjalankan aktivitas
agama, individu meniadakan identitas homoseksualnya, dan ketika sedang dalam
kehidupan homoseksualitasnya, individu meniadakan identitas keagamaannya
(Baumeister; Shapir; and Tice, dalam Rodriguez & Ouellette, 2000).

Latar belakang dukungan sosial yang berbeda juga dapat mempengaruhi


kehidupan kaum homoseksual. Dukungan sosial mengacu pada pemberian rasa
nyaman, perhatian, penghargaan, dan pertolongan dari individu atau kelompok
kepada individu (Sarafino, 2008).
14

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
Konflik intrapersonal yang dihadapi kedua kaum gay memunculkan
strategy dealing untuk membuat mereka tetap dapat menjalani kedua identitas
yang saling berlawanan tersebut. Strategi yang digunakan kedua informan
penelitian adalah strategi compartementalization. Kedua informan mengabaikan
ajaran agama mengenai larangan homoseksual dan tetap menjadi 59 gay. Di sisi
lain, mereka tetap menjalankan ibadah yang diwajibkan agamanya tanpa
memandang dirinya adalah seorang gay.
Paparan strategy dealing di atas menjelaskan kaum gay tetap menjalani
kehidupan agama dan tidak meninggalkannya walaupun bertolak belakang dengan
identitasnya sebagai homoseksual gay. Hal tersebut dapat disebabkan oleh
masyarakat Indonesia yang mengganggap agama merupakan hal yang sangat
penting. Bahkan di Indoneisa agama dihayati dan diamalkan dalam kehidupan
sehari-hari karena agama menjadi salah satu dasar ideologi bangsa yaitu
“Ketuhanan yang Maha Esa”. Oleh karena itu, gay di Indonesia sulit untuk
mengabaikan kehidupan beragama. Dukungan sosial yang diterima gay juga
memiliki peran dalam kehidupannya. Penerimaan dukungan sosial dari komunitas
memiliki peran positif sebagai negosiasi identitas mereka sebagai orientasi seksual
minoritas terhadap lingkungan heteroseksual
20

DAFTAR PUSTAKA

[1] American Psychologycal Association. (2000). DSM V-TR (Diagnostic and


Statistical Manual of Mental Disorders IV Text Revision). Washington, DC:
American Psychiantric Association Press.

[2] American Psychologycal Association. (2008). Answer to your quetions: For a


better understanding of sexual orientation and homoxesuality. Washington,
DC: Author
[3] American Psychologycal Association. (2010). Publication manual of American
Psychologycal Association (6th ed.). Washington, DC: Author Nungky, A.
(2013).
[4] Ancok, D. & Suroso, F. N. (2001). Psikologi Islami: Solusi Islam atas
Problem- problem Psikologi. Cetakan 4. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Anda mungkin juga menyukai