Anda di halaman 1dari 33

PACARAN DITINJAU DARI HUKUM ISLAM

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata Hukum Islam Yang diampu oleh:

1. Dr. Muhammad Halimi, M.Pd.


2. Dede Iswandi, S.Pd., M.Pd.

Disusun Oleh:

Arla Azzahra P (2009833), Indah Puspitasari (2008592), Kenanga Rahma S(2007404),


Listiya Septiani (2006222), Meidina Syifa U (2000341), Meilan Sari H (2005826)

Nurul Hanifah (2000899), Rizky Rinaldy (2000582), Ruwindya Dwi M (2001373)

Siti Amaliah (2007568)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN


FAKULTAS PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
BANDUNG
2021
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kami panjatkan kepada Allah SWT, karena atas rahmat
dan hidayah-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan Makalah yang berjudul “Pacaran
ditinjau dari Hukum Islam”. Yang merupakan salah satu tugas mata kuliah Hukum
Islam

Semoga Makalah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak khususnya para
mahasiswa serta dapat menjadi acuan dan referensi dalam pembelajaran Hukum Islam.
Kami sadar bahwa Makalah ini masih terdapat banyak kekurangan, hal ini masih
dikarenakan pemahaman kami yang terbatas dan masih dalam tahapan proses belajar.
Kami mengharapkan kritik dan saran untuk membangun Makalah ini menjadi lebih
baik.

Demikian yang dapat kami sampaikan, mohon maaf atas segala kesalahan dan
kekurangan karena sesungguhnya kesalahan ini datangnya dari diri kami sendiri dan
kesempurnaan hanya milik Allah SWT. Terima Kasih.

Bandung, September 2021

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR......................................................................................................I
DAFTAR ISI...................................................................................................................II
BAB I................................................................................................................................1
PENDAHULUAN............................................................................................................1
1.1 LATAR BELAKANG..............................................................................................1
1.2 RUMUSAN MASALAH..........................................................................................2
1.3 TUJUAN...............................................................................................................2
BAB II...............................................................................................................................3
KAJIAN PUSTAKA........................................................................................................3
2.1 KONSEP PACARAN.............................................................................................3
2.2 TEORI PACARAN..................................................................................................6
2.3 DALIL MENGENAI PACARAN...............................................................................7
BAB III...........................................................................................................................14
PEMBAHASAN.............................................................................................................14
3.1 PACARAN DITINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM ISLAM..........................................14
3.3 SOLUSI UNTUK MENGHINDARI PACARAN..............................................................22
BAB IV...........................................................................................................................28
PENUTUP......................................................................................................................28
REFERENCES..............................................................................................................29

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Manusia merupakan makhluk sosial yg selalu membutuhkan orang lain buat
menjalin korelasi atau komunikasi dengan orang lain. insan pula memiliki dorongan
buat bekerjasama dengan insan lain. Selain itu insan pula didorong sang dorongan
atau kebutuhan buat beraktualisasi dorongan ingin tahu dan lain sebagainya. buat
memenuhi hal tadi terdapat beberapa hal yg dilakukan sang individu buat
memenuhinya. mampu dengan berkomunikasi atau menjalin hubungan dekat dengan
orang lain atau istilahnya pacarana.1
Pacar artinya kekasih atau teman lawan jenis yang tetap dan mempunyai
hubungan berdasarkan cinta kasih. Pacar diartikan menjadi orang yang spesial pada
hati selain orangtua, keluarga dan sahabat kita.' dari DeGenova & Rice (2005)
pacaran merupakan menjalankan suatu korelasi dimana dua orang bertemu serta
melakukan serangkaian kegiatan bersama supaya dapat saling mengenal satu sama
lain.2
Selama ini tampaknya belum terdapat pengertian standar ihwal pacaran.
namun setidaknya didalamnya akan terdapat suatu bentuk pergaulan antara pria-
laki-laki dan perempuan tanpa nikah. jikalau dicermati lebih jauh sebenarnya
pacaran menjadi bagian asal kultur barat. sebab umumnya warga barat melegalkan
adanya fase-fase korelasi heteroseksual dalam kehidupan manusia sebelum menikah
seperti pupylove (cinta monyet), datang (kencan), going steady (pacaran), dan
engagement (tunangan). Kami tertarik membahas lebih lanjut wacana pacaran sebab
kami menjadi Mahasiswa yang belajar al-Qur'an dan hadis memahami serta
memahami bahwa pacaran pada Islam dilarang. akan tetapi sebagaimana yg kita
ketahui bahwa pacaran sekarang ini telah menjamur di warga muslim tidak hanya di
warga muslim yg awam tetapi orang yang mengerti Islam serta belajar Islam setiap
hari pun dapat berpacaran. Kami beropini bahwa sebagian akbar penduduk
Indonesia yg beragama muslim mungkin banyak belum mengetahui bagaimana
1
Byrne. D. Psikologi Sosial. Jakarta. 2003. Hal. 41
2
Rahma. A. & hirmaningsih. Pacaran Sehat. Panduan ceramah. Yogyakarta: Sahabar Remaja. 1997.

1
sesama muslim serta muslimah berinteraksi, kami disini akan mencoba memberi
pemahaman pada yg belum memahami perihal pergaulan antara perempuan serta
pada Islam dan bagi yg sudah memahami dan tahu supaya bisa lebih memahami
lagi. Berikut rumusan dilema dari makalah ini.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana pacaran ditinjau dari perspektif hukum Islam?
2. Bagaimana dampak dari pacaran?
3. Bagaimana solusi untuk menghindari pacaran?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui bagaimna pacarana ditinjau dari perspektif islam.
2. Untuk mengetahui apa saja dampak dari pacarana dari segi positif dan negative.
3. Untuk mengetahui solusi untuk menghindari pacaran.

2
BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Konsep Pacaran


Dalam Kamus Bahasa Indonesia Lengkap, pacaran berasal darikata “pacar”
yang berarti kekasih; yang diintai dan dikasihi. Sedangkan kata “berpacaran”
berarti bercintaan, berkasih-kasihan”3. Pacaran menurut istilah adalah pergaulan
antara pria dan wanita, pada dasarnya dibolehkan sampai pada batas-batas wajar
yang tidak membuka peluang untuk terjadinya perbuatan dosa (zina). Apabila
pergaulan dan hubungan itu dalam rangka untuk mencari dan mengenal lebih baik
dalam menentukan calon pasangan hidupnya4 .
Pacaran dapat dikatakan sebagai suatu ajang untuk dapat saling mengenal
antara satu sama lain. Selain itu, menurut Abu Al-Ghifari dalam bukunya yang
berjudul “Pacaran yang Islami, Adakah?”, pacaran juga berarti hubungan cinta
kasih antara lawan jenis diluar nikah, tidak meiliki kandungan nilai, dan terdapat
kegiatan-kegiatan yang membahayakan masa depan kedua pasangan tersebut baik
dunia maupun akhirat 5. Adapun inti dari pacaran ialah suatu langkah awal dari
hubungan batin yang terjalin diantara seorang remaja dengan lawan jenisnya dan
didasari atas cinta demi mewujudkan harapan dan cita-cita kehidupan yang ideal.
Maka dapat dikatakan bahwa pacaran adalah masa pendekatan yang dilakukan
antar dua orang yang saling mencitai dan menyayangi untuk saling mengenal satu
sama lain lebih dalam sebelum menuju pernikahan 6. Menurut John W.Santrock

3
Dwita, AprilIan. (2014). Analisis Naratif Larangan Pacaran Dalam Agama Islam Pada Buku Udah,
Putusin Aja Karya Felix Yanwar Siauw. Skripsi, Falkultas Ilmu Dakwah dan Ilmu
Komunikasi,Universitas Islam Negeri. hal.30.
4
Lehan, Syah dan Nila Sastrawati. (2020). Tinjauan Hukum Islam Terhadap Fenomena Pacaran Di
Kalangan Mahasiswa (Studi Kasus Mahasiswa Perbandingan Mazhab Dan Hukum Universitas Islam
Negeri Alauddin Makassar). Jurnal Ilmiah Mahasiswa Perbandingan Mazhab: Shautuna. 1 (3), 435–451.
hal.436.
5
AprilIan. Loc.cit. hal.31.
6
Ibid.

3
dalam bukunya yang berjudul “Remaja: Jilid 2 Edisi Kesebelas”, saat ini, pacaran
memiliki 8 fungsi minimal yaitu diantaranya adalah:7
1. Pacaran merupakan sebuah bentuk rekreasi. Remaja berpacaran terlihat
menikmatinya dan menganggap bahwa pacaran sebagai sumber kesenangan
dan rekreasi.
2. Pacaran dapat menjadi sumber yang memberikan status dan prestasi. Remaja
dinilai berdasarkan status orang yang diajak kencan, penampilannya,
popularitasnya dan sebagainya.
3. Pacaran merupakan bagian dari proses sosialisasi di masa remaja. Pacaran
dapat membantu remaja untuk mempelajarai bagaimana bergaul dengan orang
lain serta mempelajari tata krama dan perilaku sosial.
4. Pacaran melibatkan kegiatan mempelajari keakraban dan memberikan
kesempatan untuk menumbuhkan hubungan yang bermakna dan unik dengan
lawan jenisnya.
5. Pacaran dapat menjadi sarana untuk melakukan eksperimen dan eksplorasi
seksual.
6. Pacaran dapat memberikan rasa persahabatan melalui interaksi dan aktivitas
bersama lawan jenis.
7. Pengalaman pacaran berkontribusi bagi pembentukan dan pengembangan
indentitas. Pacaran juga membantu remaja untuk memperjelas identitas mereka
dan memisahkannya dari asal-usul keluarga.
8. Pacaran dapat memberikan kesempatan kepada remaja untuk menyortir dan
memilih pasangan.

Adapun alasan seseorang berpacaran diantaranya adalah:8

a. Pacaran sebagai bentuk rekreasi. Salah atu alasan banyak orang yang
berapacaran yakni agar dapat bersantai-santai, memperoleh kesenangan, dan
menikmati kehidupan dari kesibukan yang dilakukan sehari-hari.

7
Idem.hal.32.
8
Idem.hal.33.

4
b. Pacaran sebagai bentuk pertemana, persahabatan,dan keintimana pribadi.
Banyak remaja berpacaran untukmemiliki seseorang teman dekat yang bisa
bertukar cerita mendengarkan keluh kesah, dan bertukar pikiran mengenai hal-
hal penting dalam hidup.
c. Pacaran sebagai bentuk sosialisas. Pacaran membantu seseorang mempelajari
dan memahami keterampilan bersosialisasi, menambah kepercayaan diri dan
ketenangan, mulai menjadi ahli dalam berbicara, bekerjasama, dan perhatian
terhadap orang lain.
d. Pacaran berkontribusi untuk pengembangan kepribadian. Salah satu carabagi
individu yang dilakukan untuk mengembangkan identitas diri mereka yaitu
melalui berhubungan dengan orang lain (pacaran).
e. Pacaran memberikan kesempatan untuk mencoba peran gender. Peran gender
harus dipraktekkan dalam kehidupan nyata dengan pasangan. Banyak wanita
saat ini menemukan bahwa mereka tidak bisa menerima peran tradisionalnya
yang pasif; pacaran membantu mereka mengetahui hal itu. Pri juga mencoba
belajar jenis peran apa saja yang mereka inginkan untuk berasumsi dalam
pacaran.
f. Pacaran merupakan cara untuk memenuhi kebutuhan cinta dan kasih sayang.
Tidak peduli berapa banyak teman sehari-hari yang dimiliki, mereka akan
menemukan perasaan mendalam yang dibutuhkan untuk cinta dan kasih sayang
ketika pacaran.
g. Pacaran memberikan kesempatan untuk percobaan dan kepuasan seksual.
Pacaran menjadi lebih berorientasi seksual, dengan adanya peningkatan jumlah
kaum muda yang semakain tertarik untuk melakukan hubungan intim.
h. Pacaran merupakan bentuk seseorang mencari teman hidup dengan jangka
waktu yang lama. Dalam budaya kita, pacaran merupakan metode menyeleksi
pasangan yang terbaik. Prosesnya dilakukan dari banyak sekali calon pasangan
menjadi beberapa yang dapat dihitung dengan jari, lalu hanya satu yang
terpilih.

5
Istilah pacaran secara harfiah tidak dikenal dalam Islam, karena konotasi dari
kata ini lebih mengarah kepada hubungan pra-nikah yang lebih intim dari sekadar
media saling mengenal9. Islam menciptakan aturan yang sangat indah hubungan
lawan jenis yang sedang jatuh cinta, yaitu dengan konsep khithbah 10. Khithbah
adalah sebuah konsep “pacaran berpahala” dari dispensasi agama sebagai media
legal hubungan lawan jenis untuk saling mengenal sebelum memutuskan menjalin
hubungan suami istri11.

2.2 Teori Pacaran


Adapun teori pacaran menurut para ahli diantaranya adalah:12
1. Menurut DeGenova & Rice (2005), pacaran adalah menjalankan suatu
hubungan dimana dua orang bertemu dan melakukan serangkaian aktivitas
bersama agar dapat saling mengenal satu sama lain.
2. Menurut Bowman (1978) pacaran adalah kegiatan bersenang-senang antara
pria dan wanita yang belum menikah, dimana hal ini akan menjadi dasar utama
yang dapat memberikan pengaruh timbal balik untuk hubungan selanjutnya
sebelum pernikahan di Amerika.
3. Benokraitis (1996) menambahkan bahwa pacaran adalah proses dimana
seseorang bertemu dengan seseorang lainnya dalam konteks sosial yang
bertujuan untuk menjajaki kemungkinan sesuai atau tidaknya orang tersebut
untuk dijadikan pasangan hidup.
4. Menurut Saxton (dalam Bowman, 1978), pacaran adalah suatu peristiwa yang
telah direncanakan dan meliputi berbagai aktivitas bersama antara dua orang
(biasanya dilakukan oleh kaum muda yang belum menikah dan berlainan
jenis).

9
Achmad Hadi, Wiyono and Luthfi Abdul Manaf. (2020). PACARAN DAN ZINA Kajian Kekinian
Perspektif Al- Qur’an. Jurnal Samawat, 4 (2) (2020), 48–55. hal. 53.
10
Ibid.
11
Idem,hal.53-54.
12
Rama Andika. (2014). Perancangan Kampanye Sosial Tentang Pola Pacaran Sehat. Laporan Tugas
Akhir. Fakultas Desain, Universitas Komputer Indonesia Bandung.

6
5. Kyns (1989) menambahkan bahwa pacaran adalah hubungan antara dua orang
yang yang berlawanan jenis dan mereka memiliki keterikatan emosi, dimana
hubungan ini didasarkan karena adanya perasaan-perasaan tertentu dalam hati
masing-masing.
6. Menurut Reiss (dalam Duvall & Miller, 1985) pacaran adalah hubungan antara
pria dan wanita yang diwarnai keintiman.
7. Sedangkan menurut Papalia, Olds & Feldman (2004), keintiman meliputi
adanya rasa kepemilikan. Adanya keterbukaan untuk mengungkapkan
informasi penting mengenai diri pribadi kepada orang lain (self disclosure)
menjadi elemen utama dari keintiman.
2.3 Dalil Mengenai Pacaran
Jika diilihat dari definisi pacaran dalam Kamus Bahasa Indonesia Lengkap,
pacaran berasal dari kata “pacar” yang berarti kekasih; yang dicintai dan dikasihi,
sedangkan kata “berpacaran” berarti bercintaan, berkasih-kasihan13. Sehingga dari
definisi tersebut, Islam tidak melarang adanya pacaran. Islam memperbolehkan
pacaran, jika pacaran yang dimaksud sesuai dengan arti pada Kamus Bahasa
Indonesia Lengkap itu14. Mengenai bercintaan dan berkasih-kasihan, terdapat dalam
surat Ali-Imran ayat 14 yang berbunyi:15

‫ر ِة‬P ِ Pَ‫ ۤا ِء َو ْالبَنِي َْن َو ْالقَن‬P ‫ت ِم َن النِّ َس‬


َ Pَ‫اطي ِْر ْال ُمقَ ْنط‬P َّ ُّ‫اس حُب‬
ِ ‫هَ ٰو‬P ‫الش‬ ِ َّ‫ُزي َِّن لِلن‬
‫ع‬ ُ ‫ا‬PPَ‫ك َمت‬Pَ Pِ‫ث ۗ ٰذل‬ ِ ْ‫ْل ْال ُم َس َّو َم ِة َوااْل َ ْن َع ِام َو ْال َحر‬Pِ ‫ض ِة َو ْال َخي‬
َّ ِ‫ب َو ْالف‬ َّ ‫ِم َن‬
ِ َ‫الذه‬
‫هّٰللا‬
‫ب‬ ِ ‫ْال َح ٰيو ِة ال ُّد ْنيَا َۗو ُ ِع ْن َد ٗه ُحس ُْن ْال َم ٰا‬
Artinya: “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa
yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas,
perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan
hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).”

13
AprilIan. Loc.cit. hal.35.
14
Ibid.
15
Ibid.

7
Namun, apabila konsep pacaran yang dimaksud saat ini adalah suatu aktivitas
yang mendekati pada zina, maka definisi pada Kamus Bahasa Indonesia Lengkap
dengan kenyataan itu tidaklah sama. Islam tidak secara langsung mengatakan bahwa
pacaran itu dilarang hukumnya. Hal ini dikarenakan tidak terdapat larangan
mengenai pacaran dalam Al-Qur’an dan Hadist secara spesifik. Namun, sebagian
besar ulama menentang konsep pacaran yang dikenal dalam masyarakat serta
menempatkan pacaran remaja dalam tempat yang paling bawah dan terkeji. Hal ini
didasarkan oleh Al-Qur’an dan hadist. Salah satunya pada surah Al-Isra ayat 32,
yang berbunyi:

‫اح َشةً َۗو َس ۤا َء َسبِ ْياًل‬ َ ‫الز ٰن ٓى اِنَّهٗ َك‬


ِ َ‫ان ف‬ ِّ ‫َواَل تَ ْق َربُوا‬
Artinya: “Dan janganlah kamu mendekati zina, (zina) itu sungguh suatu perbuatan
yang keji, dan suatu jalan yang buruk”.
Beberapa penafsir menafsirkan ayat ini sebagai sebuah larangan mendekati
zina di karenakan bahwa zina itu adalah perbuatan yang keji dan buruk. Dalam
tafsir Jalalain juz 1/hal 230 Jalaluddin Asy Suyuti dengan Jalaluddin Asy Mahali
menjelaskan bahwa kalimat Taqrabu pada ayat di atas mempunyai arti dan makna
yang lebih tegas daripada kata Taktuu, maka dalam ayat ini tidak menggunakan
kalimat “jangan lakukan zina” akan tetapi menggunakan kalimat yang lebih tegas
lagi yakni kata “Jangan mendekati zina”16. Melihat makna yang terkandung pada
Taqrabu di atas bermakna tegas dalam hal melarang perbuatan zina karena dalam
ayat ini memakai kalimat “jangan mendekati” bukan jangan melakukan jadi
kedudukannya lebih tegas karena kata mendekati saja dilarang apa lagi melakukan
perbuatan perzinaan tersebut17. Sandaran pada surah Al-Isra ayat 32 dinilai masih
belum cukup dalam membahas budaya pacaran serta menjatuhkan sebuah hukum
pada konteks pergaulan abad 21 ini.

16
Triatmojo, Widyanto. (2021). Implementasi Bimbingan dan Konseling Islam (Studi Meningkatkan
Nilai-Nilai Spiritual Pada Remaja Pacaran). AL-IRSYAD: Jurnal Bimbingan Konseling Islam, 3 (1), 62-
85. hal. 67.
17
Idem, hal.68.

8
Kalangan para Ulama’ telah membuat keambiguan tersendiri terhadap isu
tentang pacaran18. Perdebatan tersebut diacukan pada salah satu ayat dalam Al-
Qur’an yaitu Al-Isra ayat 32. Sehingga, menurut pandangan mereka perilaku
pacaran merupakan sesuatu tindakan yang akan mendekatkan kepada perzinaan.
Hal ini dikarenakan pada saat ini pacaran merupakan suatu kegiatan berduaan
dengan lawan jenis. Allah Mahacerdas, seandainya ada orang yang ingin bersikeras
untuk melarang zina secara langsung, ia mungkin melupakan proses-proses awal
yang menjadi celah terjadinya zina itu, maka Al-Qur’an jauh-jauh hari telah
mengingatkan secara pukul rata bahwa segala aktivitas yang dapat menjadi pemicu
terjadinya zina, adalah haram19.
Selain itu, terdapat hadist mengenai aktivitas yang dapat menimbulkan
perbuatan zina. Adapun bunyi dari hadits tersebut yaitu:20

‫ب َعلَي اِب ِْن‬ َ ِ‫ا َل ُكت‬PPَ‫لَّ َم ق‬P ‫ ِه َو َس‬P‫لَّي هللاُ َعلَ ْي‬P ‫ص‬ َ ‫اَبِي هُ َر ْي َرةَ َع ْن النَّبِ ِّي‬
‫ ُر‬P َ‫ا النَّظ‬PP‫ان ِزنَاهَ َم‬ Pِ َ‫ك الَ َم َحالَةَ فَ ْال َع ْين‬ َ ِ‫ك َدل‬ ٌ ‫الزنَا ُم ْد ِر‬
ِ ‫ص ْيبُهُ ِم ِن‬ ِ َ‫َأ َد َم ن‬
‫ا‬PPَ‫ ُد ِزنَاه‬P َ‫اهُ ْال َكالَ ُم َو ْالي‬PPَ‫ان ِزن‬ Pُ P ‫ع َواللِّ َس‬ ِ Pَ‫َواُأل ُذن‬
ُ ‫تِ َما‬P ‫ا اِإل ْس‬PP‫ان ِزنَاهُ َم‬P
‫ق‬ َ ‫ َوى َويَتَ َمنَّى َوي‬P‫اْبُ يَ ْه‬PPَ‫ َو ْالق‬P‫ا‬Pَ‫ا ْال ُخط‬PPَ‫ل ِزنَاه‬Pُ Pْ‫ش َوالرِّ ج‬
ُ ‫ ِّد‬P‫ُص‬ ْ َ‫ْالب‬
Pُ ‫ط‬
‫در على‬PP‫ك ْالفَرْ ُج َويُ َك ِّذبُهُ (اخرجه مسلم فى كتاب القدر باب ق‬
َ ِ‫َذل‬
)‫ابن ادم حظه من الزنا وغيره‬
Artinya: “Abdurrahman Ibn Shakhar (Abu Hurairah) Ra. Bahwa Nabi SAW
bersabda: “telah diterapkan bagi anak-anak Adam yang pasti terkena, kedua mata
zinanya adalah melihat, kedua telinga zinanya adalah mendengar, lisan zinanya
adalah berkata-kata, tangan zinanya adalah menyentuh, kaki zinanya adalah
berjalan, hati zinanya adalah keinginan (hasrat) dan yang membenarkan dan

18
Idem, hal.72.
19
AprilIan. Loc.cit. hal.37.
20
Ibid.

9
mendustakannya adalah kemaluan. (HR. Muslim dalam kitab Qadr bab ketentuan
batas-batas zina dan lainnya bagi anak-anak Adam.)”
Dari Hadits tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa perbuatan yang mendekati
zina merupakan perbuatan yang dilarang. Saat ini, kegiatan manusia saat pacaran
tidak jauh berbeda dengan perbuatan yang mendekati zina seperti yang disebutkan
dalam hadist tersebut. Jika hal ini dibiarkan secara terus-menerus maka
dikhawatirkan akan menuju pada seks bebas. Hal inilah yang ditakutkan oleh Islam,
yakni ternodanya diri manusia21.
Adanya pikiran mengenai kebutuhan biologis dan seks, dapat menyebabkan
manusia terjerumus kedalam kamaksiatan sehingga dapat menjauhkan dari
kebenaran. Sehingga membuat manusia lebih dekat pada perbuatan dosa dan tidak
lagi memikirkan ajaran agama dan nilai-nilai moral dimasyarakat 22. Keinginan
nafsu dalam diri manusia memiliki kemanfaatan dalam melangsungkan keturunan,
namun jika nafsu seks berupa rangsangan erotik itu juga akan menyebabkan
terjadinya malapetaka yang besar jika tidak dapat dikendalikan23.
Islam tidak bertujuan untuk menghalangi manusia untuk berusaha dalam
memenuhi kebutuhan primer manusia itu sendiri. Namun, Islampun tidak ingin
kebutuhan tersebut lantas menguasai diri mereka, atau membuat mereka sibuk
dalam urusan tersebut24. Dengan adanya pacaran akan menimbulkan pezina-pezina
halus. Hubungan pranikah yang tidak syari ini hanya membuat kita terbelenggu
pada ikatan-ikatan yang semu dan tidak merdeka25. Sehingga, Islam melarang
manusia untuk berpacaran dan menganjurkan agar manusia menahan hasratnya
untuk disimpan hingga nanti menikah.

Hukum pacarana sendiri merujuk pada dalil-dalil yang sudah dijelaskan diatas
adalah tidak boleh, karena dalam islam sendiri tidak boleh mendekati zina, sesuai
dengan petunjuk yang terkandung dalam Al-Qur’an yaitu (QS. Al-Israa (17 ): 32)

21
Ibid.
22
Idem.hal.38.
23
Ibid.
24
Idem, hal.39.
25
Ibid.

10
yang artinya:“Dan janganlah kamu mendekati zina, karena sesunggunya zina itu
adalah perbuatan yang keji dan jalan yang buruk” 26

Pacaran yang mengarah pada pergaulan bebas, perkelahian antar teman, dan
kerusakan-kerusakan moral lainnya, tentunya dilarang oleh agama. Jika pacaran
yang dimaksud adalah budaya pacaran melayu seperti zaman dahulu, maka boleh
saja karena sesuai syariat Islam, yang langsung mengarah pada pernikahan, namun
bila pacaran yang dimaksud adalah pacaran yang terjadi di zaman sekarang, yang
mengandung banyak zina dan maksiat maka hukumnya tergantung substansinya.27

Al-Qur’an..al-Karim..dan Sunnah an-Nabawiyah datang sebagai manhaj


(petunjuk) dan undang-undang bagi kehidupan, memberi petunjuk bagi manusia
untuk mengikuti jalan yang satu,yaitu jalan yang dapat mengantarnya menjadi
manusia sempurna yang memiliki keinginan untuk menggapai kemuliaan. Itulah
jalan yang lurus, tidak terbagi, dan yang membawa manusia kepada petunjuk
ilahi.28

Beberapa penelitian terdahulu yang mengangkat tema yang relevan dengan


makalah ini yaitu “Pendidikan pacaran dalam perspektif Islam” Penelitian ini
bertujuan untuk mengungkapkan berbagai prespektif pacarana dalam islam, dan
mencba mengkajinya secara mendalam Hermawan, E. (2019). Penelitian lain yaitu,
“TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP FENOMENA PACARAN DI
KALANGAN MAHASISWA” penelitian ini bertujuan untuk meninjau fenomena
pacarana dikalangan mahasiswa yang ditinjau dengan hukum islam Syah, L., &
Sastrawati, N. (2020).

Menurut Kamus Bahasa Indonesia, bahwa berpacaran berasal dari kata pacar,
yaitu teman lawan jenis yang tetap dan mempunyai hubungan batin yang biasanya
untuk menjadi tunangan atau kekasih. Pacaran menurut istilah adalah pergaulan
26
Al-Qur'an dan Terjemahannya (Departemen Agama RI), (Bandung : CV. Penerbit Diponegoro, 2010),
hlm. 285

27
Muhammad Asror Yusuf, Bercinta Karena Allah, (Jakarta Selatan: PT Kawan Pustaka, 2008), hlm. 58
28
Ibnu Taimiyah, Fikih Wanita Kumpulan Fatwa Lengkap Seputar Permasalahan Wanita(Jakarta: Pustaka
as-Sunnah, 2010), h. 1.

11
antara pria dan wanita, pada dasarnya dibolehkan sampai pada batas-batas wajar
yang tidak membuka peluang untuk terjadinya perbuatan dosa (zina). Apabila
pergaulan dan hubungan itu dalam rangka untuk mencari dan mengenal lebih baik
dalam menentukan calon pasangan hidupnya.29

Istilah pacaran sebenarnya tidak dikenal dalam Islam. Untuk istilah hubungan
percintaan antara laki-laki dan perempuan pranikah, Islam mengenalkan istilah
“khitbah (meminang)”30. Khitbah (meminang) yaitu pihak laki-laki mengajukan
lamaran terhadap pihak wanita, dalam khitbah boleh melihat wanita itu secara teliti.
Ketika seorang laki-laki menyukai seorang perempuan, maka ia harus
mengkhitbahnya dengan maksud akan menikahinya pada waktu dekat. Selama
masa khitbah, keduanya harus menjaga agar jangan sampai melanggar aturan-
aturan yang telah ditetapkan oleh Islam, seperti berduan, memperbincangkanaurat,
menyentuh, menyium, memandang dengan nafsu, dan melakukan hubungan
selayaknya suami istri.

Ada perbedaan yang mencolok antara pacaran dengan khitbah. Pacaran tidak
berkaitan dengan perencanaan pernikahan, sedangkan khitbah merupakan tahapan
untuk menuju pernikahan. Persamaannya keduanya merupakan hubungan
percintaan antara dua insan berlainan jenis yang tidak dalam ikatan perkawinan.
Dari sisi persamaannya, sebenarnya hampir tidak ada perbedaan antara pacaran dan
khitbah. Keduanya akan terkait dengan bagaimana orang mempraktikannya. Jika
selama masa khitbah pergaulan antara laki-laki danperempuan melanggar batas-
batas yang telah ditentukan Islam, maka itupun haram. Demikian juga pacaran, jika
orang dalam berpacaran melakukan hal-hal yang dilarang oleh islam, maka hal itu
haram. Oleh karena itu Islam tidak mengenal pacaran dalam percintaan, melainkan
Islam menggunakan metode ta’aruf dan khitbah dalam percintaan 31

29
Hasbi Indra, Potret Wanita Shalehah (Jakarta: Penamadani. 2016), hlm.108.
30
Jefri Al-Bukhori, Sekuntum Mawar unt Remaja, (Jakarta: Pustaka Al-Mawardi, 2008), hlm 12
31
Hermawan, E, Pendidikan pacaran dalam perspektif Islam (Doctoral dissertation, UIN Raden Intan
Lampung. 2019), hlm 95

12
Hukum mencintai sebelum pernikahan menurut Ibnu Qayyim Al-Jauziyah: jika
kecintaan timbul dengan sebab yang tidak ada bahayanya maka pelakunya tidak
tercela. Maksudnya adalah jika kita menyukai seorang lawan jenis namun kita bisa
menahannya atau mengendalikannya dengan cara tidak melakukan apapun seperti
berkomunikasi yang tidak penting, berkhalwat, bersentuhan dan lain-lain melainkan
hanya sekedar menyembunyikan perasaan dalam hati saja maka itu tidak apa-apa
atau tidak berdosa, karena bisa menghindari diri dari perbuatan-perbuatan yang
mendekati zina. Berbeda dengan pacaran karena pacaran tidak menahan atau
menyembunyikan perasaan melainkan terang-terangan saling menyukai satu-sama
lain maka hal ini dapat menyebabkan bahaya perbuatan mendekati zina bagi
keduanya.32

BAB III
32
Ibid., hlm 105

13
PEMBAHASAN

3.1 Pacaran Ditinjau dari Perspektif Hukum Islam


Konsep pacaran dalam Islam menimbulkan berbagai persepsi dan pertanyaan
yang beragam. Istilah pacaran menjadi salah-satu istilah yang sangat dikenal di
kalangan anak muda. Bahkan pacaran tidak hanya terkenal, tetapi juga dipraktikan,
sehingga anak muda dan pacaran menjadi sesuatu yang sulit dipisahkan. Hampir
setiap hari dengan mudah kita menemukan muda-mudi yang memadu kasih,
terutama khususnya pada malam minggu.

Menurut Dr. Zakir Abdul Karim Naik pada dasarnya pacaran atau cinta-
cintaan sebelum pernikahan terjadi akibat pelanggaran dari aturan Islam tentang
hukum hijab (penghalang) yang dilakukan oleh wanita dan pria. Hijab bukan berarti
pakaian yang menutupi aurat saja, melainkan pakaian yang harus longgar, tidak
menyolok perhatian, tidak menarik perhatian lawan jenis, tidak berpakaian seperti
non-muslim. Selain pakaian, hijab juga tentang cara berbicara, cara berjalan, cara
berprilaku, cara berpikir (tidak berpikir negative), cara berjalan, semua ini termasuk
dalam berhijab. Jadi jika aturan hijab dilanggar maka akan menimbulkan rasa jatuh
cinta. Jika kita mengikuti prinsip Islami, menundukkan pandangan, berbicara
seperlunya, maka itu tidak akan menimbulkan rasa jatuh cinta. Sebaliknya jika kita
terus saling berbicara, berjabat tangan, menyentuh, dan sebagainya, maka sudah
pasti akan menimbulkan rasa jatuh cinta. Sebenarnya, tidak ada rasa cinta sebelum
pernikahan antar lawan jenis, karena rasa cinta itu sesungguhnya hanyalah hawa
nafsu yang sulit dikendalikan antar lawan jenis. Oleh karenanya kita harus
mengikuti aturan hukum hijab supaya dapat mengendalikan hawa nafsu dengan
sebaik-baiknya.

Berdasarkan sejarah, awalnya kata pacaran itu sebenarnya bermakna positif


dan sesuai dengan syar‟i atau sesuai dengan ajaran Islam. Budaya pacaran awalnya
terdapat pada budaya melayu. Istilah pacaran sebenarnya tidak dikenal dalam
Islam. Untuk istilah hubungan percintaan antara laki-laki dan perempuan
pranikah, Islam mengenalkan istilah “khitbah (meminang). Dalam al-Qur’an dan

14
hadis tidak dijelaskan secara spesifik tentang pacaran, akan tetapi banyak ayat al-
Qur’an maupun hadis yang menyinggung tentang pacaran.

Diantara dalil-dalil yang melarang pacaran yaitu Al-Qur’an surah al-Isra’


ayat 32:

٣٢ - ‫َواَل تَ ْق َربُوا ال ِّز ٰن ٓى اِنَّهٗ َكانَ فَا ِح َشةً ۗ َو َس ۤا َء َسبِ ْياًل‬

“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu
perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk”33

Dalam ayat ini, Allah SWT melarang para hamba-Nya mendekati perbuatan
zina. Maksudnya ialah melakukan perbuatan yang membawa pada perzinaan,
seperti pacaran, pergaulan bebas tanpa kontrol antara laki-laki dan perempuan,
membaca bacaan yang merangsang, menonton tayangan sinetron dan film yang
mengumbar sensualitas perempuan, dan merebaknya pornografi dan pornoaksi.
Semua itu benar-benar merupakan situasi yang kondusif bagi terjadinya perzinaan.

Allah melarang agar kita jangan mendekati perbuatan yang menimbulkan


perzinaan, seperti halnya kebebasan bergaul antara putra dan putri yang bukan
mahramnya. Perlu diketahui, bahwasannya mendekati zinanya saja tidak boleh
apalagi sampai berbuat zina, karena sesuatu perbuatan yang awal keji, dan
merupakan jalan yang terburuk.

Dalam hukum Islam umumnya manakala sesuatu itu diharamkan, maka


segala sesuatu yang berhubungan denganya diharamkan juga. Misalnya minuman
keras yang memabukkan, bukan hanya orang yang meminumnya yang diharamkan,
tapi juga yang memproduksinya, yang menjualnya dan yang membelinya.
Demikian juga halnya dalam masalah zina, pacaran merupakan hal yang paling
dekat dengan zina oleh karena itu maka syariat Islam memberikan tuntutan

33
(qur’an kemenag)

15
pencegahan dari perbuatan zina, karena Allah Maha Tahu tentang kelemahan
manusia. 34

Berikut di bawah ini adalah hadis-hadis tentang pencegahan dari perbuatan


zina. 35Sikap kita seharusnya ketika bertemu pandang tidak sengaja, sebagaima dari
Jarir bin Abdillah, beliau mengatakan: “Aku bertanya kepada Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang pandangan yang cuma selintas (tidak
sengaja). Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan
kepadaku agar aku segera memalingkan pandanganku.” (HR. Muslim no. 5770).

Ini sejalan sebagaiman Allah SWT telah berfirman dalam Surah an-Nur
ayat 30:

َ‫ك اَ ْز ٰكى لَهُ ۗ ْم اِ َّن هّٰللا َ خَ بِ ْي ۢ ٌر بِ َما يَصْ نَعُوْ ن‬


َ ِ‫ار ِه ْم َويَحْ فَظُوْ ا فُرُوْ َجهُ ۗ ْم ٰذل‬
ِ ‫ص‬َ ‫قُلْ لِّ ْل ُمْؤ ِمنِ ْينَ يَ ُغضُّ وْ ا ِم ْن اَ ْب‬

“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman Hendaklah mereka


menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah
lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka
perbuat.36

Pada ayat, ini Allah memerintahkan Rasul-Nya dan orang-orang yang


beriman, agar mereka memelihara dan menahan pandangannya dari hal-hal yang
diharamkan kepada mereka untuk melihatnya kecuali terhadap hal-hal tertentu yang
oleh dilihatnya. Faedah dari menundukkan pandangan, sebagaimana difirmankan
Allah dalam surat An Nur ayat 30 yang artinya “yang demikian itu adalah lebih suci
bagi mereka” yaitu dengan menundukkan pandangan akan lebih membersihkan hati
dan lebih menjaga agama orang orang yang beriman. Inilah yang dikatakan oleh
Ibnu Katsir ketika menafsirkan ayat ini. 37

34
Setia Furqon Kholid, Jangan Jatuh Cinta Tapi Bangun Cinta, (Sumdang, Rumah Karya Publishing,
2015, hal. 3.
35
Sanimah , Yanie Gisselya. 2017. Pantaskan dirimu untuk menjemput cintaku. PT.Visi media, Jakarta)
36
Al- qur’an kemenag online
37
Aisyah Christy, Ya Allah, Bimbing Hamba Menjadi Wanita Salehah, (Jakarta, PT Elex Media
Komputindo, 2011 hal. 80.

16
Pandangan adalah awal dari ketertarikan, maka tidak heran jika Islam
dengan sangat jelas melarang berpandangan dengan yang bukan mahram, apalagi
dengan nasfsu. Rasulullah Saw bersabda:

P‫ ا‬PPَP‫ ن‬P‫ ِز‬P‫و‬Pَ P‫ ُر‬PP‫ظ‬ َ Pَّ‫ن‬P‫ل‬P‫ ا‬P‫ ِن‬P‫ ْي‬P‫ َع‬P‫ ْل‬P‫ ا‬P‫ ا‬PPَP‫ ن‬P‫ ِز‬Pَ‫ ف‬Pَ‫ ة‬Pَ‫ل‬P‫ ا‬P‫ َح‬P‫ اَل َم‬P‫ك‬ َ Pِ‫ ل‬P‫ َذ‬P‫ك‬ َ P‫ َر‬P‫ َأ ْد‬P‫ ا‬Pَ‫ ن‬P‫ ِّز‬P‫ل‬P‫ ا‬P‫ن‬Pْ P‫ ِم‬Pُ‫ ه‬Pَّ‫ ظ‬P‫ َح‬P‫ َم‬P‫ َد‬P‫ آ‬P‫ ِن‬P‫ ْب‬P‫ ا‬P‫ ى‬Pَ‫ ل‬P‫ َع‬P‫ب‬ Pَ Pَ‫ ت‬P‫َك‬
P‫ ا‬Pَ‫ ن‬Pَ‫ ث‬P‫ َّد‬PPP‫ َح‬Pُ‫ ة‬Pَ‫ب‬P‫ ا‬Pَ‫ ب‬PP‫ش‬ Pَ P‫ َل‬P‫ ا‬Pَ‫ ق‬P‫و‬Pَ Pُ‫ ه‬Pُ‫ ب‬P‫ ِّذ‬P‫ َك‬Pُ‫ ي‬P‫و‬Pْ ‫ َأ‬P‫ك‬
َ Pِ‫ ل‬P‫ َذ‬P‫ق‬ ُ PِّP‫ د‬P‫ص‬ Pَ Pُ‫ ي‬P‫ ُج‬P‫ر‬Pْ Pَ‫ ف‬P‫ ْل‬P‫ ا‬P‫و‬Pَ P‫ ي‬P‫ ِه‬Pَ‫ ت‬P‫ ْش‬Pَ‫ ت‬P‫و‬Pَ P‫ ى‬Pَّ‫ ن‬P‫ َم‬Pَ‫ ت‬P‫س‬ ُ P‫ ِط‬P‫ ْن‬P‫ َم‬P‫ ْل‬P‫ ا‬P‫ ِن‬P‫ ا‬P‫ َس‬Pِّ‫ل‬P‫ل‬P‫ا‬
Pُ P‫ ْف‬Pَّ‫ن‬P‫ل‬P‫ ا‬P‫و‬Pَ P‫ق‬
P‫ َم‬Pَّ‫ ل‬P‫ َس‬P‫ َو‬P‫ ِه‬P‫ ْي‬Pَ‫ ل‬P‫ َع‬Pُ ‫ هَّللا‬P‫ ى‬Pَّ‫ ل‬P‫ص‬ َ P‫ ِّي‬Pِ‫ ب‬Pَّ‫ن‬P‫ل‬P‫ ا‬P‫ن‬Pْ P‫ َع‬Pَ‫ ة‬P‫ر‬Pَ P‫ ْي‬P‫ر‬Pَ Pُ‫ ه‬P‫ ي‬Pِ‫ َأ ب‬P‫ن‬Pْ P‫ َع‬P‫ ِه‬P‫ ي‬Pِ‫ َأ ب‬P‫ن‬Pْ P‫ َع‬P‫س‬ ٍ P‫ ُو‬P‫ ا‬Pَ‫ ط‬P‫ ِن‬P‫ ْب‬P‫ ا‬P‫ن‬Pْ P‫ َع‬P‫ ُء‬P‫ ا‬Pَ‫ ق‬P‫ر‬Pْ P‫َو‬

“Setiap anak Adam telah ditakdirkan bagian untuk berzina dan ini suatu
yang pasti terjadi, tidak bisa tidak. Zina kedua mata adalah dengan melihat. Zina
kedua telinga dengan mendengar. Zina lisan adalah dengan berbicara. Zina tangan
adalah dengan meraba (menyentuh). Zina kaki adalah dengan melangkah. Zina
hati adalah dengan menginginkan dan berangan angan. Lalu kemaluanlah yang
nanti akan membenarkan atau mengingkari yang demikian.” (HR. Bukhari no.6243
dan Muslim no. 6925).

Imam Nawawi seorang ulama besar Syafi’iyyah berkata: ”Makna hadits ini
adalah bahwa anak Adam telah ditetapkan bagian untuk berzina. Di antaranya ada
yang berbentuk zina secara hakiki yaitu memasukkan kemaluan kepada kemaluan
yang haram. Di samping itu juga ada zina yang bentuknya simbolis (majas) yaitu
dengan melihat sesuatu yang haram, mendengar hal-hal zina dan yang berkaitan
dengan hasilnya; atau pula dengan menyentuh wanita ajnabiyah (wanita yang bukan
istri dan bukan mahrom) dengan tangannya atau menciumnya; atau juga berjalan
dengan kakinya menuju zina, memandang, menyentuh, atau berbicara yang haram
dengan wanita ajnabiyah dan berbagai contoh yang semisal ini; bisa juga dengan
membayangkan dalam hati. Semua ini merupakan macam zina yang simbolis
(majas). Lalu kemaluan nanti yang akan membenarkan perbuatan perbuatan tadi
atau mengingkarinya. Hal ini berarti ada zina yang bentuknya hakiki yaitu zina
dengan kemaluan dan ada pula yang tidak hakiki dengan tidak memasukkan
kemaluan pada kemaluan, atau yang mendekati hal ini. Wallahu a’lam” (Syarh An
Nawawi ‘ala Muslim).38

38
Heppy El Rais, Kamus Ilmiah Populer, hal. 130

17
Ibnu Bathal menjelaskan: “zina mata, yaitu melihat yang tidak berhak
dilihat lebih dari pandangan pertama dalam rangka bernikmat-nikmat dan dengan
syahwat, demikian juga zina lisan adalah berlezat-lezat dalam perkataan yang tidak
halal untuk diucapkan, zina nafsu (zina hati) adalah berkeinginan dan berangan-
angan. Semua ini disebut zina karena merupakan hal-hal yang mengantarkan pada
zina dengan kemaluan” (Syarh Shahih Al Bukhari, 9/23). 39
Jika kita melihat pada
hadits di atas, menyentuh lawan jenis yang bukan istri atau mahrom diistilahkan
dengan berzina. Hal ini berarti menyentuh lawan jenis adalah perbuatan yang haram
karena berdasarkan kaedah ushul ‘apabila sesuatu dinamakan dengan sesuatu lain
yang haram, maka menunjukkan bahwa perbuatan tersebut adalah haram.” 40

Banyak yang berpacaran dengan alasan agar dapat lebih saling mengenal
satu sama lain sebelum mantap menuju ke jenjang pernikahan. Padahal banyak juga
yang menjadikan pacaran sebagai ajang untuk melampiaskan hasrat terhadap lawan
jenis walaupun tidak semua orang yang pacaran. Namun sebenarnya pacaran tidak
menjamin 100% bahwa kita bisa mengenal dengan baik karakter dari calon suami
atau istri kita di masa depan. Orang yang berpacaran biasanya hanya akan
menampilkan sisi baiknya saja kepada sang pacar bahkan berpura-pura baik dan
penuh perhatian sampai mendapatkan apa yang diinginkan. Setelah apa yang
diinginkan telah didapatkan maka karakternya pun akan berubah, baru akan
menunjukkan sifat dan sikap yang aslinya.

Menurut Ustad Adi Hidayat, LC., MA pacaran bukanlah cinta melainkan


pacaran itu bentuk dari hawa nafsu yang gagal dikendalikan atau hawa nafsu yang
tak terkontrol atau secara ilmiah disebut sebagai libido seksual yang belum
terkontrol dengan baik. Tidak ada cinta antar lawan jenis sebelum pernikahan dalam
Islam kecuali hawa nafsu semata. Allah Swt. berfirman dalam QS. Al-Jaatsiyah (45)
: 23 yang artinya:

“Maka pernahkan kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai
tuhannya dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah

39
Ibid
40
Taysir Ilmi Ushul Fiqh, Abdullah bin Yusuf Al Juda’i.

18
mengunci mati pendengarannya dan hatinya dan meletakkan tutupan atas
penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah
(membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran”

Hukum mencintai sebelum pernikahan menurut Ibnu Qayyim Al-Jauziyah


yaitu jika kecintaan timbul dengan sebab yang tidak ada bahayanya maka pelakunya
tidak tercela. Maksudnya adalah jika kita menyukai seorang lawan jenis namun kita
bisa menahannya atau mengendalikannya dengan cara tidak melakukan apapun
seperti berkomunikasi yang tidak penting, berkhalwat, bersentuhan dan lain-lain
melainkan hanya sekedar menyembunyikan perasaan dalam hati saja maka itu tidak
apa-apa atau tidak berdosa, karena bisa menghindari diri dari perbuatan-perbuatan
yang mendekati zina. Berbeda dengan pacaran karena pacaran tidak menahan atau
menyembunyikan perasaan melainkan terang-terangan saling menyukai satu-sama
lain maka hal ini dapat menyebabkan bahaya perbuatan mendekati zina bagi
keduanya.

Jika penggunaan istilah pacaran saat ini kembali diterapkan seperti pacaran
pada budaya melayu zaman dahulu maka itu sangat baik dan tidak menimbulkan
dampak negatif seperti penyimpangan budaya pacaran yang telah berkembang saat
ini yang sebagian disalah gunakan tidak sesuai syariat Islam. Bahkan budaya melayu
tentang pacaran atau budaya menggunakan daun pacar terhadap pasangan muda-
mudi yang diketahui saling memiliki ketertarikan itu sama halnya dengan
menjalankan proses ta‟aruf. Dalam Islam, tidak dikenal istilah pacaran, yang ada
adalah ta‟aruf. 41
Istilah ta’aruf diambil dari bahasa Arab, yaitu berasal dari kata
“arafa, ya’rifu atau ta’aarafa-yata’aarafu yang artinya kenal, mengenal, atau
mengenali. Arti istilah ta'aruf sangat luas yang bermakna silaturahmi namun ta‟aruf
yang dimaksud disini adalah proses saling mengenal antara dua orang lawan jenis
yang ingin menikah. Jika di antara mereka berdua ada kecocokan maka bisa
berlanjut ke jenjang pernikahan tapi jika tidak maka prosespun berhenti dan tidak
berlanjut

41
Elfaira Shaifiyah, La Tahzan For True Love Muslimah, (Yogyakarta: Araska, 2017), hlm. 33.

19
Maka ikutilah cara apa yang diajarkan Islam tentang bagaimana mengenal
seseorang lawan jenis yang kita sukai, bila kita menyukai lawan jenis datangilah
walinya atau orang tuanya. Berbicara dengan orang tuanya, tanya bagaimana baik-
buruknya anaknya yang kita suka, kelebihan dan kekurangannya, cerita hidupnya
sampai harapan mantu yang diidamkan orang tuanya. Dengan begitu sudah pasti
kita akan mengenal baik orang yang kita sukai dan orang tuanya pun yang berhak
menerima.

Pada dasarnya pacaran merupakan suatu bentuk pergaulan antar lawan jenis
yang memiliki tujuan tertentu. Selama bisa menghindari dan mengendalikan diri
dari perbuatan zina maka tidak apa-apa. Namun memang alangkah lebih baiknya
bila menjauhi segala perbuatan yang dapat mendekati perbuatan zina. Islam tidak
mengenal pacaran dalam percintaan, melainkan Islam menggunakan metode ta’aruf
dan khitbah dalam percintaan. Pacaran yang dilakukan pada budaya melayu zaman
dahulu pun sesuai dengan norma-norma Islam antara laki-laki dan perempuan serta
memiliki tujuan yang baik yaitu bertujuan untuk menikah. Sedangkan pacaran masa
kini tergantung substansinya, yaitu bergantung individunya dan bagaimana aktivitas
dalam pacarannya.

Memang tidak semua yang berpacaran itu pasti berzina, namun tidak
berlebihan jika kita katakan bahwa pacaran itu termasuk mendekati zina, karena
dua orang yang sedang berkencan atau berpacaran untuk menuju ke zina hanya
tinggal selangkah saja. Dan perlu diketahui juga bahwa ada zina secara maknawi,
yang pelakunya memang tidak dijatuhkan hukuman rajam atau cambuk namun
tetap diancam dosa karena merupakan pengantar menuju zina hakiki. Jika orang
dalam berpacaran melakukan hal-hal yang dilarang oleh islam, maka hal itu haram.

3.2 Dampak Dari Pacaran

Berpacaran adalah suatu hal yang lumrah di kalangan muda-mudi sekarang.


Padahal, perbuatan tersebut merupakan suatu perangkap setan untuk menjerumuskan
anak cucu Adam ke dalam perbuatan zina. Seperti yang telah kami jelaskan di atas,
dalam pacaran itu sendiri sudah mengandung sekian banyak kemaksiatan, seperti

20
memandang, menyentuh, dan berduaan dengan wanita yang bukan mahramnya, yang
notabene merupakan zina mata, lisan, hati, pendengaran, tangan, dan kaki. Itulah
diantara hal-hal yang dapat mengantarkan anak cucu Adam kepada perbuatan zina.
Barangsiapa menjaganya, selamatlah agamanya, insya Allah. Sebaliknya, barangsiapa
lalai dan menuruti hawa nafsunya, Kbinasaanlah 42

Kerusakan yang ditimbulkan oleh perbuatan zina adalah termasuk kerusakan


yang sangat berat. Diantaranya adalah merusak tatanan masyarakat, baik dalam hal
nasab (keturunan) maupun penjagaan kehormatan, dan menyebabkan permusuhan
diantara sesame manusia 43

Al Imam Ahmad berkata: “Aku tidak mengetahui dosa besar apa lagi yang lebih
besar setelah membunuh jiwa selain dari pada dosa zina.” Kemudian beliau
menyebutkan ayat ke-68 sampai ayat ke-70 dari surat Al Furqan.44

Gaya pacaran para remaja zaman sekarang yang cenderung tidak sehat, memiliki
banyak sekali dampak negatif antara lain: 45

1. Meningkatnya tingkat aborsi.


Bila seorang remaja putri pacaran dan dia terlanjur hamil akan teteapi kekasihnya tidak
mau bertanggung jawab maka jalan yang ia tempuh adalah aborsi (menggugurkan
kandungan).

2. Meningkatnya tingkat kematian wanita.


Hasil dari gaya pacaran yang tidak sehat salah satunya adalah kematian. Karena aborsi
yang dilakukan oleh para remaja biasanya bersifat sembarang. Konon lagi dengan
bantuan dukun yang tidak mendapatkan pengetahuan medis.

3. Adanya Free sex

42
r. M. I. Soelaeman, Pendidikan Dalam Keluarga, (Bandung, CV Alfabeta, 1994), hal. 134.
43
Ibid hal. 134.
44
Ibid hal.135
45
Ibdi Hal.136

21
Hal yang lebih mengerikan lagi akibat dari pacaran yang tidak sehat adalah seks bebas
(free sex). Mereka pertama melakukan hal yang terlarang itu tetapi kemudian mereka
cenderung ketagihan. Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa dampak dari seks bebas adalah
mewabahnya berbagai jenis penyakit kelamin seperti HIV/ AIDS, sipilis dan penyakit
kelamin lainnya.

4. Meningkatnya penggunaan narkoba


Pada usia remaja adalah usia di saat dimana seorang mencari jati diri. Pada usia ini akan
sangat renta akan berbagai hal salah satunya adalah lingkungan. Pacar adalah salah
satunya,bila pacarnya adalah pengguna narkoba maka kemungkinan besar dia juga akan
terseret.

3.3 Solusi untuk Menghindari Pacaran


Cinta merupakan gejolak emosi yang sifatnya dapat rasional maupun irasional,
karena cinta bisa menghilangkan sebagian akal sehat dan kesadaran manusia. Bila cinta
sampai menguasai akal sehat dan kesadaran, para pelakunya akan menghamba pada
kehendak dan petualangannya yang kadang teramat liar. Jika sampai terjadi, para remaja
akan terjerumus pada kondisi-kondisi negatif, orang bijak berkata, “Barang siapa akal
sehatnya dikuasai syahwatnya, dia bakal binasa oleh perkara yang sangat dicintainya.”
Nabi bersabda “Rasa cintamu pada sesuatu membuatmu buta dan budak.”(HR. Ahmad).
46

Terdapat dua pandangan yang bisa dilihat ketika melihat pacaran yaitu kalangan
yang menolak dan kalangan penikmat. Di tangan para penolak pacaran, pacaran
dianggap sudah menjadi tradisi di kalangan remaja yang bertentangan dengan agama.
Pacaran dipersepsikan sebagai tindakan kurang ajar, tidak bermoral dan tidak senonoh.
Secara naluriah, manusia memang mempunyai hasrat untuk mengenal lawan
jenisnya, pada tahab selanjutnya akan menimbulkan inisiatif dalam dirinya untuk
menjalin ikatan yang lebih intensifdengan “obyek”yang dituju tersebut. Al-Qur’an
menggambarkannya sebagai berikut: “Hai manusia, Kami menciptakan kalian dari laki-
laki dan perempuan dan menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar

46
Abdul Aziz. (2014). “TA‘ARUF ”DI KALANGAN REMAJA DALAM TINJAUAN PSIKOLOGI HUKUM ISLAM”.
Alumnus UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta JIE Volume III No. 2

22
saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di sisi Allah dari kalian adalah yang
paling bertaqwa. Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”(QS. Al-Hujuraat
(9):13).
Pada prinsipnya, Islam tak melarang orang untuk mencintai ataupun dicintai
oleh siapa saja. Selama cinta yang bersemayam dalam hati manusia adalah cinta yang
suci. Namun, ketika cinta berpindah dari dunia rasa ke dunia nyata, seringkali ternoda
syahwat atau nafsu birahi. Dalam beberapa kasus, sangat sulit untuk membedakan mana
ekspresi cinta dan mana pelampiasan syahwat. Akan tetapi pada prinsipnya, Islam tidak
melarang rasa cinta, Islam baru melarang bila cinta tersebut diwujudkan dalam
hubungan fisik, seperti peluk-cium atau sampai hubungan seksual. Islam hanya
mengatur batas-batas interaksi fisik dua insan berlainan jenis, dan tidak mengatur rasa
cinta.
Islam sebenarnya sangat respek terhadap usaha seseorang untuk mengenal lebih
dalam calon yang akan dinikahinya. Itu terbukti dengan ketatnya rambu-rambu yang
digariskan oleh Islam, bagaimana harus benar-benar mengenal kondisi fisik, karakter,
kepribadian, akhlak dan latar belakang orang yang dicintai. Dengan tujuan supaya tidak
mendapatkan pasangan yang salah, baik dari sisi akidah, akhlak dan nasab, sehingga
akan terhindarkan dari kekecewaan di kemudian hari. 47 Nabi bersabda“Ruh itu laksana
pasukan yang dikerahkan. Seberapa jauh mereka saling mengenal, sejauh itu pula
mereka akan bersatu, dan seberapa jauh mereka tak saling mengenal, sejauh itu pula
mereka akan berselisih”. (HR. Bukhari Muslim, dan Abu Daud).
Sebetulnya Islam tidak mengenal istilah pacaran, sungguhpun begitu dalam
pandangan Islam, aktivitas mencintai dan dicintai tersebut haruslah bersumber dan
berdasar pada rasa cinta pada Allah. Lantas seperti apa pacaran yang dikehendaki Islam
yaitu selama pacaran yang tidak diwujudkan dalam hubungan fisik dan biologis.
Di samping itu, agar pacaran dapat benar-benar sesuai tuntunan Islam, perlu
kiranya mengindahkan beberapa hal. Pertama, pacaran sebagai “batu loncatan”ke
jenjang yang lebih serius. Pacaran harus diorientasikan kepada hubungan yang lebih
serius dan berkekuatan hukum, yakni pernikahan. Maksudnya, pacaran lebih dekat
pengertiannya dengan sebuah proses persiapan mental menuju pernikahan. Jadi, bila

47
Yusdani & Muntoha, Keluarga Maslahah, (Yogyakarta: Pusat Studi Islam UII, 2013), hlm. 24.

23
pacaran yang dibangun tidak diniatkan secara tulus untuk menuju ke jenjang yang lebih
serius, pacaran lebih tepat dikategorikan sebagai perbuatan yang sia-sia.
Kedua, pacaran sebagai sarana mengenal karakter pasangan. Pacaran mestinya
diorientasikan pada upaya mengenal dan menjajaki kepribadian masing-masing sebelum
komitmen untuk menikah diambil. Bila ada kecocokan, secepatnya diteruskan ke
jenjang pernikahan. Apalagi, mengenal kepribadian tidak harus berinteraksi fisik.
Sharing jarak jauh pun bisa dilakukan (pake surat, via telepon dan sosial media) atau
dalam kebersamaan seperti kerja atau sekolah, tanpa harus berduaan di tempat yang
sepi. Dengan demikian, proses penjajakan tersebut tanpa melampaui batas-batas ajaran
Islam.
Ketiga, pemberi motivasi. Pacaran harus dijadikan sarana untuk memotivasi diri,
yakni memperbaiki hal-hal yang buruk dan mengembangkan atau meningkatkan hal-hal
yang positif dalam diri yang bersangkutan. Terlebih, jodoh merupakan cerminan dari
diri seseorang, sebagaimana firman Allah bahwa pezina akan mendapatkan juga pezina,
orang musyrik akan mendapatkan musyrik juga dan sebaliknya, sehingga rumusnya
adalah memantaskan diri karena jodoh adalah sesuai dengan apa yang ada pada diri
seseorang. Sekali lagi, tujuan ketiga hal di atas muaranya adalah untuk tidak
mendapatkan pasangan yang salah, baik dari sisi agama, akidah, akhlak dan nasab,
sehingga akan terlepas dari penyesalan di kemudian hari.48
Pandangan pacaran di atas, sebetulnya sama dan sebangun dengan pengertian
cinta yang dikehendaki oleh para pakar cinta. Salah satu dasar cinta adalah komitmen,
sedang dalam komitmen harus ada kejelasan. Kejelasan itu tidak mungkin didapati di
dalam hubungan yang tidak dilindungi oleh hukum yang jelas. Menurut Achmanto
dalam bukunya, “Mengerti Cinta dari Dasar Hingga Relung-Relung”, cinta sejati adalah
saat-saat seseorang mencintai kekasihnya apa adanya, tanpa secuil pun kepentingan dan
bukan sebagai eksprei cinta diri. Cinta sejati dicirikan oleh penghormatan, yaitu
menghormati seseorang yang dicintai sebagai mitra dan bukan sebagai obyek yang
dieksploitasi, dikuasai, atau dikontrol. Orang yang dicintai mempunyai privasi dan hak
yang sifatnya manusiawi dan asasi untuk berserikat dan berinteraksi dengan orang atau

48
Ibid, hal.24

24
pihak lain. Dasar cinta selanjutnya adalah perhatian, yaitu secara aktif memperhatikan
hidup dan perkembangan orang yang dicintai.
Selanjutnya, Maslow mengategorikan cinta yang diiringi sikap-sikap
eksploitatif, mencintai demi kepentingan tertentu atau mencintai namun tidak mau
sedikit pun berkorban.49 Mencintai hanya demi meraup kenikmatan dan mengabaikan
tanggungjawab adalah cinta yang tak sempurna (deficient love), semisal mencintai
pasangan demi melampiaskan birahi tanpa keinginan untuk menikahinya. Islam
mengutuk cinta yang dinodai syahwat. Allah befirman dalam Q.S. al-Qas{as{ (34): 50
yang artinya, “Dan siapa yang lebih sesat ketimbang orang yang mengikuti hawa nafsu
tanpa mendapat petunjuk Allah sedikit pun?! Sesungguhnya Allah tak memberi
petunjuk pada orang-orang zalim.”
Cinta berawal dari pandangan mata yang kemudian meresap ke hati, maka dari
itu syara’ mensunnahkan bagi seseorang untuk melihat dan memandang kepada wanita
atau lelaki yang hendak dinikahi atau dilamarnya, sebab sudah menjadi fitrah manusia
menyukai sesuatu yang indah dan menawan, tidak pula dipungkiri bahwasanya ketika
melihat dan memiliki sesuatu yang indah dan rupawan, maka seakan-akan ada
kebahagiaan dan ketentraman tersendiri, yang akhirnya menimbulkan kerinduan.50
Rasulullah SAW bersabda :
“Wahai para pemuda, barang siapa di antara kalian telah mampu hendaklah dia
menikah. sebab dengannya pandangan mata lebih bisa ditundukkan dan kemaluan lebih
terjaga. Dan barang siapa belum mampu hendaklah dia berpuasa. Sebab ia menjadi
pengekang syahwat baginya”. (HR. Bukhari Muslim). Imam Nawawi menjelaskan yang
dimaksud mampu menikah adalah mampu berkumpul dengan istri dan memiliki bekal
untuk menikah. (Fathul Bari’ 9/136).

Ibnul Qayyim berkata, ”Hubungan intim tanpa pernikahan adalah haram dan
merusak cinta, malah cinta di antara keduanya akan berakhir dengan sikap saling
membenci dan bermusuhan, karena bila keduanya telah merasakan kelezatan dan cita
rasa cinta, tidak bisa tidak akan timbul keinginan lain yang belum diperolehnya.”51

49
Bimo Walgito, 2012. Pengantar Psikologi Umum, (Yogyakarta; Andi Press), hlm.
50
Dina dan Rita, 2019. Hukum Pacaran, IAIN BONE
51
Burhan Sodiq, ya Allah aku jatuh Cinta!, (Solo: Samudra, 2007), hal. 83.

25
Dihadits lain dengan redaksi yang sedikit berbeda dengan makna yang sama
Rasulullah SAW bersabda yang artinya: “Barang siapa diantara kamu sanggup
menyediakan belanja (ba’ah) hendaklah ia menikah, dan barang siapa yang tidak
menyanggupinya hendaklah ia berpuasa, karena sesungguhnya puasa itu benteng
pemelihara baginya”. Diriwayatkan oleh al baghawy dalam musnad usman ibnu affan
r.a
Diani Lie seorang psikolog sekaligus peneliti ulet pada sebuah Universitas di
Beijing membeberkan, meskipun urusan cinta bisa dijelaskan secara kimia namun tidak
semata-mata ditentukan aktivitas hormon tapi ada faktor lain yang ikut menentukan,
yaitu hubungan yang sifatnya pertemanan. Menurut penelitian, kesetiaan pasangan
berhubungan dengan kadar oksitosin yang kadar oksitosin ini dapat ditingkatkan dengan
cara masing-masing dari pasangan yang berusaha saling menyayangi.
Jika seorang laki-laki menyukai wanita yang hendak dinikahinya, sebelum
dilangsungkan pernikahan, maka baginya diizinkan untuk melihat pasangannya kecuali
yang harus ditutupi dalam shalat, untuk memantapkan hatinya agar tidak kecewa di
kemudian hari. Rasulullah SAW bersabda: “Apabila seseorang hendak melamar wanita,
tiada dosa baginya melihat wanita itu sekalipun tanpa sepengetahuannya.”(HR. Abu
Daud, Imam Thabrani dan Imam Ahmad).
“Ada tiga golongan yang berhak menolong mereka, yaitu pejuang di jalan Allah,
seorang hamba yang menebus dirinya supaya merdeka, dan menikah karena ingin
memelihara kehormatannya” (HR. Ahmad, An-Nasa’I, dan Tirmidzi).
Dalam sebuah riwayat diceritakan tatkala Mughurah bin Syu’bah meminang
seorang wanita, maka Rasulullah bersabda: “Pergilah dan pandanglah wanita itu, sebab
sesungguhnya hal itu lebih menjamin bagi kelangsungan hubungan kamu berdua”. (HR.
Al-Tirmidzi, Al-Nasa’I, dan Ibn Majah).
“Wanita itu dinikahi karena empat hal yaitu: karena hartanya, karena
kebangsawanannya, karena kecantikannya dan karena agamanya, maka pilihlah yang
beragama niscaya kamu beruntung.” Al-Bukhari menakhrijkan hadis ini dalam “Kitab
Nikah” bab tentang sederajat dalam beragama.

26
Bagi orang yang memerlukan penyaularan biologis sedang dia belum mampu
merealisasikan biaya dan tanggung jawabnya, sebaiknya ia menangguhkan nikah.
Karena disini hukumnya menjadi makruh.52

BAB IV

52
Burhan Sodiq, ya Allah aku jatuh Cinta!, (Solo: Samudra, 2007), hal. 87.

27
PENUTUP

Pacaran menurut istilah adalah pergaulan antara pria dan wanita, pada dasarnya
dibolehkan sampai pada batas-batas wajar yang tidak membuka peluang untuk
terjadinya perbuatan dosa (zina). Pacaran dapat dikatakan sebagai suatu ajang untuk
dapat saling mengenal antara satu sama lain. inti dari pacaran ialah suatu langkah awal
dari hubungan batin yang terjalin diantara seorang remaja dengan lawan jenisnya dan
didasari atas cinta demi mewujudkan harapan dan cita-cita kehidupan yang ideal.
Di dalam islam, mengenai pacaran tidak secara langsung dikatakan dilarang
hukumnya. Karena tidak terdapat larangan mengenai pacaran dalam Al-Qur’an dan
Hadist secara spesifik. Namun, sebagian besar ulama menentang konsep pacaran yang
dikenal dalam masyarakat serta menempatkan pacaran remaja dalam tempat yang paling
bawah dan terkeji. Menurut pandangan ulama perilaku pacaran merupakan sesuatu
tindakan yang akan mendekatkan kepada perzinaan. Hal ini dikarenakan pada saat ini
pacaran merupakan suatu kegiatan berduaan dengan lawan jenis.
Pada dasarnya pacaran merupakan suatu bentuk pergaulan antar lawan jenis
yang memiliki tujuan tertentu. Namun gaya berpacaran saat ini sudah banyak
mengandung kemaksiatan, seperti memandang, menyentuh, dan berduaan dengan
wanita yang bukan mahramnya, yang notabene merupakan zina mata, lisan, hati,
pendengaran, tangan, dan kaki. Sehingga melalui pacaran ini telah banyak menimbulkan
perbuatan zina dan menimbulkan banyak dampak negatif. Diantaranya meningkatnya
tingkat aborsi, tingkat kematian wanita, adanya free sex yang menimbulkan penyakit
kelamin dan lain-lain.
Pada prinsipnya, Islam tidak melarang rasa cinta, Islam baru melarang bila cinta
tersebut diwujudkan dalam hubungan fisik. Islam hanya mengatur batas-batas interaksi
fisik dua insan berlainan jenis, dan tidak mengatur rasa cinta. Oleh karena itu selama
bisa menghindari dan mengendalikan diri dari perbuatan zina maka tidak apa-apa.
Pacaran dapat benar-benar sesuai tuntunan Islam, apabila pacaran dijadikan sebagai
“batu loncatan”ke jenjang yang lebih serius, sarana mengenal karakter pasangan, dan
pemberi motivasi.
References

28
Al-Qur'an dan Terjemahannya (Departemen Agama RI),
(Bandung : CV. Penerbit Diponegoro, 2010).
Al-Bukhari, J. (2006). Sekuntum Mawar Untuk Remaja. Al-Mawardi.
Al Juda’I, A, Y. Taysir Ilmi Ushul Fiqh.
Aziz, A. (2014). “Ta‘Aruf ”Di Kalangan Remaja Dalam
Tinjauan Psikologi Hukum Islam”.
Alumnus UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta JIE Volume III No. 2
Christy, A. (2011). Ya Allah, Bimbing Hamba Menjadi Wanita Salehah.
Jakarta: PT Elex Media Komputindo
Dina dan Rita, 2019. Hukum Pacaran, IAIN BONE
Heppy El Rais, Kamus Ilmiah Populer, hal. 130
Hermawan, E. (2019). Pendidikan pacaran dalam perspektif Islam
(Doctoral dissertation), UIN Raden Intan Lampung
Indra, H. (2008). Potret Wanita Shalehah. Jakarta: Pustaka Al-Mawardi.
Kholid, S, F. (2015). Jangan Jatuh Cinta Tapi Bangun Cinta.
Sumedang: Rumah Karya Publishing
M. I. Soelaeman. (1944). Pendidikan Dalam Keluarga. Bandung: CV Alfabeta.
Sanimah, & Gisselya,Y. (2017). Pantaskan Dirimu Untuk Menjemput Cintaku.
Jakarta: PT.Visi media
Shaifiyah, E. (2017). La Tahzan For True Love Muslimah. Yogyakarta: Araska.
Sodiq, B. (2017). ya Allah aku jatuh Cinta!. Solo: Samudra.
Syah, L., & Sastrawati, N. (2020). Tinjauan Hukum Islam Terhadap Fenomena
Pacaran Di Kalangan Mahasiswa (Studi Kasus Mahasiswa Perbandingan
Mazhab dan Hukum Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar). Shautuna:
Jurnal Ilmiah Mahasiswa Perbandingan Mazhab dan Hukum, 1(3).
Taimiyah, I. (2010). Fikih Wanita Kumpulan Fatwa Lengkap Seputar
Permasalahan Wanita. Jakarta: Pustaka as-Sunnah.
Walgito, B. (2012). Pengantar Psikologi Umum. Yogyakarta; Andi Press.
Yusdani & Muntoha. (2013). Keluarga Maslahah. Yogyakarta: Pusat Studi Islam UII.
Yusuf, M, A. (2004). Bercinta Karena Allah Menjalin Hubungan dengan
Lawan Jenis Mengikuti Ajaran Nabi Muhammad SAW.

29
Jakarta: Kawan Pustaka.

30

Anda mungkin juga menyukai