Anda di halaman 1dari 29

PROPOSAL SKRIPSI

Anak Muda HijrahANAK MUDA HIJRAH

Dosen Pembimbing:

Hakimul Ikhwan, Ph.D

Disusun Oleh:

Salman Rizky Hamka Dalimunthe

19/446214/SP/29299

DEPARTEMEN SOSIOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS GADJAH MADA

YOGYAKARTA
2022

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI..............................................................................................................................2

BAB I.........................................................................................................................................3

1.1 Latar Belakang ....................................................................................................................3

1.2 Rumusan Masalah ...............................................................................................................5

1.3 Tujuan Penelitian.................................................................................................................5

1.4 Manfaat Penelitian...............................................................................................................6

1.5 Metode Penelitian................................................................................................................6

1.5.1 Kehadiran Peneliti………………………………………………………………7

1.5.2 Metode Pengumpulan Data……………………………………………………..7

1.5.3 Jenis dan Sumber Data………………………………………………………….9

1.5.4 Analisis Data……………………………………………………………………10

1.6 Tinjauan Pustaka ................................................................................................................10

1.6.1 Penelitian Terdahulu yang Relevan…………………………………………….10

1.7 Landasan Teori ..................................................................................................................17

1.7.1 Teori Double Movement.....................................................................................17

1.7.2 Pemuda ...............................................................................................................19

1.7.3 Kesadaran Beragama...........................................................................................20

1.7.4 Agama Sebagai Perekat Sosial............................................................................21

1.7.5 Teori Fungsionalisme Struktural……………………………………………….21

1.7.6 Hijrah…………………………………………………………………………...24

DAFTAR PUSTAKA ..............................................................................................................27


BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Peran agama tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia karena manusia memiliki unsur
batin yang cenderung menjadi sumber rujukan nilai dan norma dalam kehidupan sehari-hari.
Manusia membutuhkan agama bukan hanya untuk menyelesaikan masalah hidup, namun di sisi
lain menurut Jung (Sunardin, 2021) sebenarnya manusia telah memiliki bakat beragama sejak
lahir (Sunardin, 2021). Manusia merasa agama memberikan rasa aman dan perlindungan. Selain
itu agama juga memberikan penjelasan terhadap fenomena yang tidak dapat dijelaskan oleh
pikiran manusia, serta agama memberikan pembenaran terhadap praktek kehidupan yang baik
(Subandi, 2016).

Berkaitan dengan pentingnya hubungan manusia dan agama, tidak lepas juga karena manusia
sejatinya merupakan makhluk sosial yang memiliki kecenderungan untuk berinteraksi dalam
lingkungan sosialnya. Salah satu sikap yang lahir dari beberapa bentuk interaksi bersama adalah
rasa empati. Keadaan ini dapat dipahami oleh beberapa orang dalam satu lingkungan, sehingga
dapat membentuk empati sosial. Sikap ini dapat menjadi perekat dalam pembangunan ikatan
sosial masyarakat. Dalam lingkungan sosial ini manusia berinteraksi melalui berbagai sikap dan
tindakan mereka. Pemaknaan sikap dan tindakan yang beragam ini tentu tidak bisa lepas dari
fakta bahwa setiap manusia memiliki karateristik yang berbeda-beda sehingga mempengaruhi
sikap dan perilakunya dalam merespon interaksi. Tidak hanya itu, berbagai sikap dan perilaku
yang ditunjukkan mengakibatkan terbentuknya sikap-sikap baru yang membentuk ciri tertentu
dalam membangun kehidupan sosial masyarakat. Menurut H.M Farid Nasution (Ajat Sudrajat,
2016), agama merupakan sistem kepercayaan yang hakikatnya mengatur kaidah atau tata
hubungan manusia dengan Tuhan., Kkaidah atau tata cara bagaimana semestinya manusia
berhubungan dengan alam semesta, serta dan kaidah atau tata cara bagaimana semestinya
manusia berhubungan dengan dirinya sendiri. Dalam hubungan ini, agama menjadi salah satu
faktor yang turut membangun dan mempengaruhi konsep diri. Agama telah diyakini memiliki
kekuatan yang dapat menggerakkan serta memotivasi perilaku manusia.

Namun saat ini, agama telah melalui berbagai keadaan dan tahapan evolusi yang panjang
sesuai dengan alur kehidupan. Kalimat ini merujuk pada salah satu pendekatan dalam sosiologi
agama, yaitu pendekatan evolusionistik yang digunakan oleh Auguste Comte, bahwa agama
sebagai institusi sosial yang mengalami perkembangan secara evolusioner (bertahap) dan
perubahan tersebut berdampak pada perubahan struktur masyarakat secara keseluruhan, tidak
terkecuali pada diri manusia (Adnan, 2020). Hal ini sesuai dengan topik yang dibahas tentang
pola manusia yang dengan adanya perubahan keadaan dan siklus kehidupan yang ia jalani
dimana menuntut dirinya untuk selalu sempurna dan memenuhi kebutuhan duniawi. Pemikiran
dan dorongan akan kebutuhan inilah memaksa manusia untuk selalu fokus meraih ambisi dan
berhasil dalam semua hal yang dirinya lakukan untuk kebaikan hidup. Hal ini justru
mengakibatkan manusia hanya terfokus pada satu hal, yaitu duniawi dan mulai mengabaikan apa
saja yang seharusnya dilakukan untuk meraih kebahagiaan rohani melalui kegiatan untuk
menaati pedoman agama mereka yang sejatinya sudah tertanam dalam diri sejak lahir. Orientasi
pikiran seketika hanya terfokus untuk selalu berhasil dan lebih lagi dalam mencapai kesuksesan,
walaupun mereka tahu dalam upaya meraih kesuksesan tersebut terdapat banyak sekali rintangan
dan cobaan di dalamnya. Selain itu, godaan untuk menghalalkan segala cara tanpa memikirkan
resiko yang akan terjadi menjadi hal yang cukup kompleks bagi manusia tersebut. Namun, tidak
dapat dipungkiri bahwa juga terdapat manusia yang justru dengan banyaknya tuntutan dan
kebutuhan akan duniawi serta memaksa manusia tersebut selalu sempurna di setiap keadaan
memiliki dorongan untuk kembali mempelajari lebih dalam pendidikan agama yang dirinya
yakini sebagai bekal untuk menyeimbangkan kebutuhan rohani dan duniawi. Dengan selalu taat
dan tidak mengabaikan ajaran agamanya akan meningkatkan rasa percaya diri dan diharapkan
dapat membedakan antara tindakan yang benar dan salah.

Dari fenomena ini, penulis mencoba menjelaskan tentang peran agama menjadi sarana bagi
manusia dalam usaha mencapai titik balik (hijrah) dalam kehidupannya sehingga memberikan
dampak tidak hanya pada pribadi, tetapi juga sebagai wujud perekat sosial terhadap sesamanya.
Beberapaanyak jurnal dari telah berbagai media publikasi menulis pembahasan yang hampir
sama terhadap fenomena hijrah di kalangan anak mudaini. Namun, fokus dari beberapa jurnal
yang penulis temukan memiliki perbedaan mengenai subjek dan tujuan penelitian tersebut.
SContohnya seperti studi Akbar et al., (2018) bahwa religiutas mahasiswa dapat meningkatkan
self awareness karena dimensi keberagamaan meningkatkan taraf kesadaran diri yang bertujuan
menata kehidupan manusia agar lebih baik, serta bahagia dunia dan akhirat. Studi lainnya dari
Shonhaji (2012a) menjelaskan bahwa agama memiliki peran dalam mewujudkan keserasian
sosial dalam kehidupan masyarakat multikulturalmultikcultural. , dan Sstudi lain oleh
selanjutnya dari Nuraini (2020) bahwa terdapat penelitian kepada mahasiswa untuk memiliki
sikap terbuka dan analitis pada setiap informasi yang diperoleh terutama mengenai keagamaan.
Temuan utamanya adalah tidak memaknai agama satu arah dapat membantu mahasiswa untuk
melihat berbagai permasalahan secara lebih luas serta dapat menemukan berbagai macam cara
untuk menyelesaikanya. PRata-rata pembahasan tersebut cenderungyang ada terfokus pada peran
agama dalam menata kehidupan manusia tersebut dan membangun sikap kritis. Tidak banyak
pembahasan lain yang merujuk pada subjek khusus seperti pembahasan fenomena seseorang
yang meraih titik balik (hijrah) dalam kehidupannya untuk kembali memperdalam ajaran
agamanya setelah apa saja yang ia telah lalui selama ini, khususnya untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya.

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka penulis ingin meneliti lebih jauh
terkait fenomena usaha pencapaian titik balik (hijrah) di kalangan pemuda. Selain itu, penulis
juga ingin melihat bagaimana kehidupan sehari-hari pemuda hijrahnarasumber, baik dari hal
yang kecil maupun besar sehingga menjadi representasi usaha mencapai hijrah dalam hidupnya,
terutama selama berkuliah. Penulis juga ingin melihat penasaran apakah usaha mencapai hijrah
dapat berguna bagi kebaikan dirinya dan orang lain di sekitarnya, sebagaimana asumsi. Hal ini
sesuai dengan kutipan Emile Durkheim bahwa agama dapat menjadi religion is social glue yang
berguna bagi semua manusia.

1.2 Rumusan Masalah

Penelitian ini berfokus untuk menjawab pertanyaan Berdasarkan latar belakang diatas, maka
rumusan masalah adalah “Bagaimana proses hijrah di kalangan anak pemuda mengalami titik
balik (hijrah) dalam kehidupannya?” Untuk menjawab pertanyaan ini, peneliti akan berfokus
pada fakctor internal (dimensi individual) dan eksternal (lingkungan sosial seperti kelompok
sebaya, keluarga, dan komunitas)

1.3 Tujuan Penelitian


Adapun tujuan dari penelitian ini sebagai berikut:

Tujuan dari penulisan tugas akhir ini untuk menjelaskan tentang fenomena pemuda yang
melakukan titik balik dalam kehidupannya atau disebut hijrah, yaitu dari sikap yang awalnya
merasa kurang peduli terhadap agama menjadi sadar terhadap pendidikan agama bagi kehidupan
pribadinya. Hal ini dikarenakan pengaruh lingkungan pendidikan terutama masa kuliah yang
memiliki banyak tantangan dan godaan untuk meruntuhkan tujuan hidup dan keimanan
seseorang.

1.4 Manfaat Penelitian

Berdasarkan latar belakang diatas, manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah:

1. Mendeskripsikan tentang fenomena hijrah dikalangan anak muda terutama yang


berdomisili di Kabupaten Kulon Progo
2. Memperkaya khazanah keilmuan dan memberikan wawasan pengetahuan yang lebih luas
kepada peneliti dan pembaca mengenai nilai-nilai yang terkandung didalam fenomena
hijrah di kalangan anak muda
Diharapkan dapat bermanfaat bagi kalangan yang juga mengkaji tentang permasalahan
yang serupa dengan penelitian iniBagi Pembaca
3.
2 Sebagai sarana penyebaran informasi dan menambah referensi kepada pembaca tentang adanya
fenomena titik balik kehidupan seorang pemuda dalam menemukan ketenangan diri terhadap
semua yang ia lakukan untuk memenuhi kebutuhan duniawi. Banyakanya rintangan dan godaan
untuk menghalalkan segala cara demi meraih kesuksesan menimbulkan rasa gundah dan menjadi
suatu kebingungan tersendiri apakah tindakan yang lakukan sesuai dengan ketetapan hatinya.
Melalui pendalaman pendidikan agama inilah pemuda tersebut dapat belajar untuk bisa
mendapatkan keseimbangan hati antara urusan rohani dan kebutuha duniawi.
Bagi Penulis
Menambah pengetahuan di bidang ilmu sosial dan ilmu agama.
Menerapkan teori-teori yang telah didapatkan selama di perkuliahan.
Menambah wawasan dan pengetahuan tentang fenomena titik balik pemuda untuk
meningkatkan kembali sikap awareness terhadap agama.
2.3 Lebih memahami dan mengerti alasan dibalik adanya dorongan titik balik untuk meningkatkan
awareness terhadap agama dalam diri pemuda.
2.4
2.5 Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif. Metode kualitatif adalah metode
yang digunakan untuk mengeksplorasi dan memahami makna yang oleh sejumlah individu atau
kelompok orang berasal dari masalah soscial atau kemanusiaan. Metode kualitatif sangat
mengutamakan manusia sebagai instrument penelitian. Peneliti sendiri atau dengan bantuan
orang lain merupakan alat pengumpul data utama. Penelitian ini dikatakan kualitatif karena pada
dasarnya penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan keadaan atau fenomena di lapangan.
Fenomena tersebut akan dikaji berdasarkan data yang telah terkumpul yang digambarkan dengan
kata-kata atau kalimat. Pembagian data akan dipisahkan menurut kategori yang sesuai untuk
memperoleh sebuah kesimpulan. Metode kualitatif sangat mengutamakan manusia sebagai
instrument penelitian. Oleh karena itu peneliti sendiri menjadi instrument penelitian ini untuk
mendapatkan informasi melalui pengamatan dan wawancara.

Penelitian kualitatif yang dilakukan dalam penelitian ini adalah dengan jenis studi kasus life
history. Penelitian studi kasusu life history dilakukan untuk mendapatkan pengertian yang
mendalam mengenai situasi dan makna suatu objek yang diteliti. Penelitian studi kasus selalu
mementingkan proses daripada hasil, mementingkan karakter daripada suatu variabel khusus,
lebih ditunjukkan untuk menemukan sesuatu daripada konfirmasi. Studi kasus life history ini
mencoba mengungkap secara lengkap biografi secara subjek dengan tahapan dan proses
kehidupannya. Individu yang dimaksud tentunya bukan asal mengambil akan tetapi individu
yang memiliki keunikan yang menonjol dalam konteks kehidupan masyarakat.

2.5.1 Kehadiran Peneliti

Penelitian kualitatif menekankan bahwa peneliti itu sendiri atau dengan bantuan orang lain
merupakan alat pengumpul data utama (Lexi & Moleong, 2010). Penelitian kualitatif juga
menempatkan manusia sebagai instrumen kunci. Peneliti dalam penelitian kualitatif berperan
penuh sebagai pengumpul data sekaligus sebagai perencana, pelaksana, pengumpul data,
penganalisis dan akhirnya sebagai pencetus penelitian. Keterlibatan ini berlangsung di seluruh
proses penelitian mulai dari awal sampai akhir penelitian. Pada penelitian ini tidak hanya
berperan sebagai pengambil data, pengolah data dan penemu data hasil penelitian. Akan tetapi
peneliti juga akan menjadi teman berbagai subjek. Peneliti mengamati kehidupan subjek dan
mendiskripsikan keadaan yang ada dengan mengaitkan aspek hijrah didalamnya. Aspek hijrah
dalam hal ini menjadi pencerah dalam kehidupan subjek.

2.5.2 Metode Pengumpulan Data

Catherine Marshall dan Gretchen B. Rossman (Castells, 1996), mengungkapkan bahwa


metode utama yang digunakan dalam penelitian kualitatif adalah pengamatan partisipatif,
wawancara mendalam dan penelitian dokumentasi. Lebih lanjut, Marshall dan Rossman
memberdakan teknik pengumpulan data menjdi dua, yaitu kelompok inti dan khusus.

Adapun metode yang dipakai dalam penelitian kali ini adalah wawancara, observasi, dan
dokumentasi.

a) Wawancara

Wawancara merupakan pendekatan yang dapat juga dipahami sebagai pendekatan untuk
mendapatkan sebuah informasi dari seseorang yang diajak berkomunikasi. Penelitian kali ini
hanya membawa catatan yang berisi pokok-pokok bahasan yang akan ditanyakan. Metode
wawancara yang dipakai adalah tidak terstruktur yaitu mengikuti arus pembicaraan dari
subjek. Akan tetapi ada pedoman-pedoman wawancara yang dipakai sebagai acuan.
Wawancara ini juga biasa dikenal dengan wawancara pedoman umum dimana peneliti
dilengkapi pedoman wawancara yang sangat umum, pedoman ini juga yang berfungsi
sebagai daftar pengecek (checklist) apakah aspek-aspek yang sudah dicatat sudah ditanyakan
secara keseluruhan.

Pada saat melakukan wawancara peneliti harus mampu menjabarkan pedoman umum
tersebut serta mampu menyesuaikannya dengan kondisi yang ada saat melakukan
wawancara. Wawancara ini juga bisa dijadikan sebagai wawancara yang terfokus pada
pengalaman atau aspek kehidupan subjek. Namun dapat juga berbentuk wawancara
mendalam (deep interview). Wawancara mendalam dengan menanyakan kehidupan subjek
secara utuh dan mendalam.
b) Observasi

Observasi merupakan suatu kegiatan penelitian dalam rangka pengumpulan data yang
berkaitan dengan masalah penelitian melalui proses pengamatan langsung lapangan. Peneliti
akan secara langsung mengunjungi objek penelitian dan mencatat informasi-informasi yang
didapat dari observasi untuk digunakan sebagai data penunjang penyelesaian dari pertanyaan-
pertanyaan yang ada dalam rumusan masalah. Pada observasi kali ini peneliti menggunakan
dimensi kombinasi, yaitu observasi non partisipan. Peneliti menjadi pengamat pasif dalam
setting yang diamatinya, dalam arti tidak terlibat dalam aktifitas yang diamatinya tersebut.
Peneliti melakukan pengamatan secara terbuka. Subjek mengetahui bahwa dirinya sedang
diamati dalam kondisi dan situasi apa adanya atau alamiah tanpa adanya pengkondisian atau
settingan tertentu oleh peneliti.

Observasi ini menggunakan alat observasi yaitu catatan berkala. Catatan berkala tidak
mencatat macam-macam kejadian secara khusus, melainkan hanya pada waktu-waktu
tertentu dengan menuliskan kesan-kesan umumnya. Peneliti juga melakukan observasi pada
saat wawancara untuk menjadikan hasil observasi sebagai data penguat wawancara. Selain
itu bahasa tubuh menjadi informasi penting untuk mengetahui bahwa jawaban yang diberikan
subjek benar-benar apa adanya.

c) Dokumentasi

Dalam sebuah laporan penelitian, dokumentasi menjadi alat bukti atas segala informasi
yang diberikan, bukti disini meliputi data primer juga sekunder. Hal yang penting untuk
diingat saat membuat catatan dari penuturan informan, perlu dibedakan secara jelas antara
materi yang dikutip, diparafrasekan, serta rangkuman pembahasan yang perlu
didokumentasikan dengan ide-ide yang tidak membutuhkan dokumentasi sebab dianggap
sebagai pengetahuan umum dari subjek tersebut (Patel & Patel, 2019)

2.5.3 Jenis dan Sumber Data

Sumber data meliputi asal-usul perolehan data. Untuk riset ini jenis dan sumber data yang
akan digunakan berasal dari data primer dan juga data sekunder.

a) Data Primer
Data primer merupakan temuan langsung peneliti melalui observasi, pengamatan serta
wawancara mendalam dengan informan. Pada penelitian ini akan dilakukan tanya jawab
bersama subjek penelitian, yaitu pemuda bertempat tinggal di wilayah Kabupaten Kulon
Progo dan berstatus sebagai mahasiswa. Informan yang menjadi subjek penelitian memiliki
rentang usia 18 – 25 tahun (baik pria & wanita). Penulis sekiranya akan memilih 5
narasumber yang sebelumnya penulis telah melakukan eksplorasi dan melihat latar belakang
mahasiswa tersebut sehingga dirasa cocok sebagai subjek penelitian.

Dalam hal ini, mahasiswa yang penulis maksud tidak hanya berkuliah di lingkungan
Daerah Istimewa Yogyakarta, tetapi juga yang berkuliah di luar daerah. Alasannya karena
banyak pemuda dari Kulon Progo yang berkuliah di berbagai instasi lembaga seperti
universitas, institut, politeknik dan lainnya sehingga memiliki cerita dan pengalaman yang
berbeda-beda. Selain itu, wilayah lembaga perkuliahan yang berbeda-beda akan menciptakan
suasana lingkungan yang bermacam-macam dalam meraih pencapaian titik balik (hijrah)
dalam kehidupannya. Sudut pandang yang diambil akan bermacam-macam karena setiap
pemuda terdiri dari jurusan yang berbeda juga.

b) Data Sekunder

Kemudian untuk data sekunder dipergunakan sebagai informasi penunjang dari hasil
wawancara dengan narasumber. Data sekunder dapat berupa data yang diperoleh secara tidak
langsung dari subjek penelitian, seperti dokumen, arsip, foto, gambar, atau dokumentasi
lainnya yang dapat memperkuat data penelitian.

c) Subjek Penelitian

Infromasi pada riset kali ini dikumpulkan melalui sesi wawancara dengan narasumber
sebagai objek penelitian. Kriteria dari informan yang peneliti targetkan meliputi:

1. Pria dan Wanita pemuda dengan usia 18-25 tahun berdomisili asal Kabupaten Kulon
Progo
2. Berstatus mahasiswa aktif di perguruan tinggi
3. Memiliki latar belakang kehidupan yang berkaitan dengan topik hijrah.
Dalam proses pemilihan informan, peneliti menggunakan teknik purposive sampling
yang mana menentukan narasumber berdasarkan kriteria dan kesesuaian dari tujuan
penelitian tersebut.

2.5.4 Analisis Data

Mengutip dari (Lexi & Moleong, 2010), analisis data digunakan sebagaimana untuk
mengolah dan menyusun data temuan selama proses eksplorasi meliputi wawancara, catatan
lapangan dan temuan lain secara sistematis agar mudah dimengerti. Analisis data diawali dengan
proses transkrip pada hasil wawancara yakni merubah rekaman suara menjadi narasi tulisan.
Selanjutnya proses coding dengan menyeleksi dan mengklasifikasikan data dalam beberapa
kelompok tertentu. Tahap ini dilakukan agar memudahkan peneliti dalam menemukan kata kunci
untuk menjawab rumusan masalah yang ada. Setelah dilakukan kategorisasi, berlanjut pada
proses penyusunan data secara sistematis. Sekumpulan data yang telah diperoleh dapat disajikan
dalam berbagai bentuk seperti narasi, tabel, dan lain sebagainya. Terakhir, akan ditarik
kesimpulan dari temuan riset secara menyeluruh.

1.6 Peneliti menggunakan teknik analisis data model Campbell (1999) mulai dari (1)
Kehidupan Narasumber, dimana orang yang diperiksa kehidupannya merupakan
narasumber yang telah dipilih sebelumnya oleh peneliti; (2) Mendengarkan dan Membuat
Cerita, dengan mendengarkan cerita narasumber tentang kehidupan mereka dan
mendapatkan pemahaman yang lebih kaya tentang perilaku individu. Diceritakan
selengkap dan sejujur mungkin apa yang diingatnya dan apa yang ingin untuk diketahui
orang lain; dan (3) Menafsirkan Cerita, bahwa kisah hidup narasumber dikumpulkan dan
ditafsirkan interprestasi dilakukan dengan cara pengkategorisasian fenomena khusus,
kategorisasi tersebut dikaitkan dengan skenario teoritis yang telah disiapkan, penarikan
kesimpulan dari data yang dikumpulkan.

Subjek dalam penelitian ini mengkelompokkan subjek penelitian terhadap pemuda-pemuda yang
bertempat tinggal di wilayah Kabupaten Kulon Progo dalam rentang usia 18 – 25 tahun dan
berstatus sebagai mahasiswa. Penulis sekiranya akan memilih 5 – 6 narasumber yang
sebelumnya penulis telah melakukan eksplorasi dan melihat latar belakang mahasiswa tersebut
sehingga dirasa cocok sebagai subjek penelitian. Apabila memungkinkan, penulis akan
mengikuti seluruh kegiatan sehari-hari narasumber yang berkaitan dengan pembangunan
karakter hijrah mahasiswa tersebut. Dalam hal ini, mahasiswa yang penulis maksud tidak hanya
berkuliah di lingkungan Daerah Istimewa Yogyakarta, tetapi juga yang berkuliah di luar daerah.
Alasannya karena banyak pemuda dari Kulon Progo yang berkuliah di berbagai instasi lembaga
seperti universitas, institut, politeknik dan lainnya sehingga memiliki cerita dan pengalaman
yang berbeda-beda sehingga memiliki data variatif. Selain itu, wilayah lembaga perkuliahan
yang berbeda-beda akan menciptakan suasana lingkungan yang bermacam-macam dalam meraih
pencapain titik balik (hijrah) dalam kehidupannya. Sudut pandang yang diambil akan bermacam-
macam karena setiap pemuda terdiri dari jurusan yang berbeda juga.

Tinjauan Pustaka

1.6.1 Penelitian Terdahulu yang Relevan:

Dalam penelitian ini, penulis melakukan tinjauan terhadap beberapa penelitian terdahulu. Hal
ini dilakukan sebagai acuan dan pijakan dalam melakukan penelitian dengan fokus yang berbeda
dari penelitian yang telah ada sebelumnya. Tema yang berkaitan dengan pemberian pendidikan
agama terhadap anak sudah pernah dibahas sebelumnya. Namun ada beberapa hal yang
menunjukkan perbedaan dengan penelitian yang dilakukan. Beberapa penelitian yang dapat
dijadikan sebagai pembanding dan tambahan referensi dalam penelitian yang dilakukan
diantaranya adalah sebagai berikut.

Pertama, Jurnal yang ditulis oleh Julia Garden, Rebecca J. Jones, Jonathan Passmore (Carden
et al., 2022), berjudul “Defining Self Awareness in the Context of Adult Development: A
Systematic Literature Review”. Hasil dari temuan penelitian tersebut adalah meningkatnya
penggunaan istiliah self awareness semakin menunjukkan bahwa hal tersebut sangat penting
untuk kinerja dan kepemimpinan. Hal ini menciptakan sebuah efektivitas yang berupa konstruksi
yang layak dieksplorasi. Namun, dibalik itu self awareness memiliki banyak konotasi yang
didefinisikan secara berbeda sehingga sering dikacaukan dengan istilah yang lain. Kurangnya
kejelasan konstruksi menciptakan peluang untuk salah tafsir dan kesalahan pengukurang yang
mengakibatkan pengembangan teori menjadi terhambat. Menurut analisis penelitian ini
mengidentifikasi dalam bidang manajemen, self awareness dibagi menjadi dua perspektif yaitu
intrapersonal dan antarpribadi. Seharusnya dalam aspek self awareness perlu menggabungkan
kedua perspektif tersebut. Dalam hal perkembangan diri menuju dewasa konstruksi self
awareness dapat dikembangkan dari waktu ke waktu dan memberikan pemahaman yang lebih
besar kepada individu tentang dampaknya kepada orang lain.

Teori dan subjek pembahasan yang digunakan dalam penelitian ini hampir sama dengan
pembahasan yang akan diteliti oleh penulis, namun terdapat perbedaan dengan penelitian yang
akan dilakukan dari segi tujuan penelitian. Tujuan dari penelitian ini dilakukan dengan berfokus
pada menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang kesadaran diri (self awareness) dan bagaimaa
kesadaran diri berbeda dari konsep pengetahuan diri. Selain itu, dalam pembahasan jurnal ini
mengambil sudut pandang manajemen pendidikan dimana kesadaran diri berguna dalam
pengembangan karakter dan kepemimpinan seseorang. Metode yang digunakan walaupun juga
menggunakan kualitatif, tetapi penelitian ini lebih kepada tinjauan pustaka. Sedangkan, yang
akan diteliti oleh penulis bertujuan untuk melihat usaha yang dilakukan oleh seseorang dalam
mencapai titik balik dalam kehidupannya melalui hijrah. Self awareness berperan penting dalam
usaha menemukan identitas diri sehingga membangun pribadi yang lebih baik. Sudut pandang
yang penulis gunakan yaitu sosiologi agama bahwa self awareness berbanding lurus dengan
pernyataan Emile Durkheim bahwa agama sebagai ‘social glue’ atau perekat sosial. Metode
yang digunakan penulis adalah kualitatif deskriptif melalui wawancara narasumber dan studi
pustaka.

Kedua, jurnal yang ditulis oleh Wahidin, Muhammad Rozikan dan Dina Fatma Septiani
(Wahidin et al., 2022), berjudul “Pengaruh Sosial-Budaya Akademik Terhadap Kesadaran
Beragama: Implikasi Terhadap Konseling Religius di Perguruan Tinggi”. Hasil dari temuan
penelitian ini adalah lingkungan sosial dan budaya akademik secara bersama-sama berpengaruh
positif terhadap kesadaran beragama. Lingkungan sosial dan budaya akademik memberikan
konstribusi dalam kesadaran beragama sebesar 66 %. Untuk mengembangkan kesadaran
beragama pada mahasiswa perlu adanya transformasi dari afiliasi tradisional ke afiliasi rasional.
Hal ini sejalan dengan salah satu teori yang penulis tersebut gunakan bahwa salah satu faktor
yang mempengaruhi kesadaran beragama adalah lingkungan sosial dimana individu tinggal.
Dalam konteks lingkungan sosial di masyarakat, seseorang akan cenderung menampilkan
perilaku yang sering dilihatnya, baik di lingkungan keluarga maupun masyarakat. Apabila
anggota masyarakat secara umum menampilkan perilaku yang kurang baik, moral bahkan
melanggar norma-norma agama, maka mereka akan cenderung terpengaruh untuk mengikuti
perilaku tersebut, demikian juga sebaliknya.

Penelitian ini memiliki alur dan konsep pemikiran yang hampir sama karena meneliti tentang
pengaruh sosial terutama kehidupan akademik terhadap kesadaran mahasiswa dalam beragama.
Selain itu, hasil penelitian yang ditulis dengan yang diharapkan oleh penulis memiliki korelasi
yang sama tentang aspek positif yang ditimbulkan dari lingkungan tersebut menciptakan sebuah
kesadaran dari diri mahasiswa untuk memperdalam terhadap kesadaran beragama. Namun,
terdapat perbedaan dimana apa yang nanti akan ditelusuri penulis berupa analisis deskriptif
terhadap seorang yang melakukan titik balik dalam kehidupannya untuk memperdalam
kesadaran beragama karena menilai dan melihat kehidupan sosial yang penuh dengan tuntutan
dan kebutuhan untuk selalu sempurna dalam hal duniawi. Tujuannya adalah mencari ketenangan
dan keseimbangan dalam hidupnya. Metode yang digunakan juga berbeda dimana artikel ini
menggunakan metode kuantitatif yang merujuk pada metode korelasional, yakni mencari
hubungan antar variabel yang diteliti, dengan tujuan untuk mengetahui sejauh mana pengaruh
lingkungan sosial dan budaya akademik mempengaruhi kesadaran beragama. Teknik
pengumpulan data menggunakan angket kuesioner. Sedangkan metode yang akan digunakan
oleh penulis kedepannya adalah kualitatif deskriptif yang menjelaskan fenomena dan
hubungannya dengan faktor-faktor yang ada dalam topik penelitian serta melakukan wawancara
mendalam terhadap informan yang bertempat tinggal di wilayah penelitian penulis.

Ketiga, jurnal yang ditulis oleh Firdaus (Firdaus, 2017), berjudul “Membentuk Pribadi
Berakhlakul Karimah Secara Psikologis”. Hasil dari temuan penelitian ini adalah dDalam proses
pembentukan akhlak dapat digunakan metode yaitu dengan menjalankan ibadah yang kuat dan
ikhlas, karena ketekunan dan keikhlasan melakukan ibadah mampu mencegah bisikan hawa
nafsu. Selain itu ibadah sendiri berarti mengesakan Allah SWTswt. dengan sungguh- sungguh
dan merendahkan diri serta menundukkan jiwa setunduk-tunduknya kepada-Nya. Selanjutnya
metode teladan karena dengan teladan seseorang bisa mempengaruhi diri untuk berubah kerana
manusia cepat meniru orang lain. Selain itu proses pembentukan akhlak adalah dengan mencari
ilmu pengetahuan, karena pengetahuan biasa diperoleh dari keseluruhan bentuk upaya
kemanusiaan, seperti perasaan, pikiran, pengalaman, panca indera, dan intuisi untuk mengetahui
sesuatu tanpa memperhatikan objek, cara, dan kegunaannya. Peranan elemen - elemen psikologi
Islami dalam proses pembentukan aAkhlak adalah sangat pentingurgen dan mendasar karena bila
dilihat dari faktor pembentukan akhlak itu sendiri terdiri dari faktor intern dan faktor ekstern,
intern di sini mencakup beberapa aspek yaitu aspek ilmiah (fisik, biologis) dalam pembentukan
akhlak aspek iljismiah sangat berperan sebagai wujud nyata aktualisasi diri berupa perilaku,
sikap, dan tindakan yang terlihat dalam kehidupan sehari-hari
Konteks pembentukan akhlak dalam hal ini memang menjadi salah satu fokus tersendiri
dalam penelitian penulis bahwa pembentukan akhlak bermaksud untuk selalu mengedepankan
kebaikan hati dan rohani seseorang dalam mencapai ketenangan hidup. Taat beribadah dan
mendekatkan diri kepada Tuhan memang menjadi langkah seseorang untuk mendapatkan
ketenangan dan keseimbangan diri dalam merespon kebutuhan dan tuntutan duniawi. Namun,
dalam artikel tersebut terlihat bahwa hanya terfokus dalam topik pembentukan akhlak saja
melalui sarana ibadah, sedikit sekali memperlihatkan tentang kebutuhan dan tuntutan baik
pekerjaan atau hal lain yang memaksa orang tersebut harus selalu sempurna dan menggoda
dalam hal melakukan segala cara untuk mencapai keberhasilan. Oleh karena itu, dalam penelitian
penulis akan memasukkan aspek tuntutan dan kebutuhan duniawi untuk selalu sempurna sebagai
tantangan tersendiri bagi mahasiswa dalam usaha titik balik kehidupannya untuk dapat
mendapatkan ketenangan dan keseimbangan hidup dengan memperdalam ajaran agama.

Keempat, jurnal yang ditulis oleh M.N. Zahara, D. Wildan, dan S. Komariah (Zahara et al.,
2020), berjudul “Gerakan Hijrah: Pencarian Identitas Untuk Muslim Milenial di Era Digital”.
Hasil temuan dari penelitian ini adalah gerakan sosial baru memiliki model yang berfokus pada
bagaimana gerakan sosial dalam bentuk konsep budaya yang mencakup kepercayaan, nilai, dan
identitas. Gerakan sosial yang berfokus pada hijrah ini diinisiasi oleh kelompok shift yang
mencoba mengajak generasi muslim milenial untuk turut serta mendukung gerakan tersebut.
Melalui kelompok tersebut menjadikan media sosial sebagai wadah yang mendukung
berkembangnya gerakan sosial berdasarkan keagamaan. Pengembangan gerakan hijrah melalui
media sosial ini memunculkan wacana tentang konstruksi identitas dan pembingkaian kultural
mengenai makna hijrah identitas para aktor gerakan sosial ini mengubah cara pandang mengenai
makna religiusitas, yang mana para generasi muslim milenial tetap menjadi pribadi diri mereka
sendiri. Namun, identitas aktor gerakan hijrah ini mengubah pola pikir tentang memaknai
religiusitas dan tentang bagaimana mereka menjadi insan yang agamis. Ideologi dan pemaknaan
keagamaan menjadi aspek penting dalam pembingkaian kulturual dalam gerakan hijrah, yang
menjadikan pedoman dalam bertindak dan berperilaku tentang apa yang dibenarkan dan tidak
dalam agama.

Hasil penelitian ini memiliki sub pokok pembahasan yang sama denga n apa yang akan
diteliliti penulis yaitu hijrah. Namun, objek yang dijadikan bahan utama berbeda dimana
penelitian ini merujuk pada kelompok yang sudah terafiliasi sebelumnya dan diakui yaitu shift.
Sedangkan, yang akan diteliti oleh penulis adalah para pemuda dimana mereka tidak terafiliasi
dalam kelompok tertentu dan memiliki status yang sama sebagai mahasiswa yang berasal dari
Kulon Progo. Tujuan dalam penelitian tersebut berbeda dengan apa yang diinginkan oleh
penulis, bahwa artikel tersebut bertujuan untuk mengeksplorasi paradigma gerakan hijrah yang
terjadi pada generasi muslim milenial di era digital melalui platform media sosial. Sedangkan,
yang akan diteliti oleh penulis bertujuan melihat bagaimana seorang pemuda berusaha untuk
mencapai titik balik dalam kehidupannya melalui hijrah karena menyikapi segala sesuatu yang
dihadapinya selama dirinya berkuliah. Titik balik dalam hal ini sebagai penyeimbang
kehidupannya dalam pemenuhan kebutuhan duniawi dan rohani.

Kelima, skripsi yang disusun oleh Aula Rahma Nuraini (Nuraini, 2020), berjudul “Hubungan
Religiusitas Terhadap Kesadaran Kritis Mahasiswa”. Hal yang ditemukan dari skripsi ini
semakin tinggi religiusitas maka akan semakin tinggi kesadaran kritis. Sebaliknya, semakin
rendah religiusitas maka akan semakin rendah kesadaran kritis pada mahasiswa. Implikasi
penelitian kepada mahasiswa untuk memiliki sikap terbuka dan analitis pada setiap informasi
yang diperoleh terutama mengenai keagamaan. Tidak memaknai agama satu arah dapat
membantu mahasiswa untuk melihat berbagai permasalahan secara lebih luas serta dapat
menemukan berbagai macam cara untuk menyelesaikannya. Selain itu, mahasiswa sebisa
mungkin menggunakan kesempatan yang diberikan oleh instansi pendidikan untuk tergabung
dan terlibat dalam komunitas. Meningkatkan keterlibatan mahasiswa dalam komunitasnya akan
membuaaut mahasiswa memperoleh berbagai informasi dan pengalaman baru yang menunjang
dalam berkembangnya kesadaran kritis.

Penelitian ini memiliki konteks yang kurang lebih sama dengan apa yang diharapkan penulis
kedepannya bahwa dengan meningkatnya tingkat religiusitas seseorang akan berpengaruh
terhadap tingkat kesadaran kritis dalam merespon segala kebutuhan dan tuntutan duniawi.
Peningkatan religiusitas tersebut dapat melalui berbagai komunitas yang sesuai dengan apa yang
diinginkan oleh mahasiswa tersebut. Namun, tulisan ini memiliki perbedaan dengaan apa yang
akan diteliti oleh penulis. Perbedaanya terdapat dalam metode yang digunakan serta teori yang
diugnakan sebagai pedoman tulisan. Dalam tulisan menggunakan metode kuantitaif, sedangkan
penulis akan menggunakan metode kualitatif deskriptif. Selain itu penulis akan menggunakan
teori double movement agama sebagai perekat sosial sebagai sarana pendukung terhadapnya
meningkatnya tingkat religiusitas dalam mendorong kesadaran kritis seorang mahasiswa.

Terdapat beberapa hal pokok dari riset terdahulu yang berkaitan dengan penelitian penulis.
Penulis membagi dalam lima hal. Pertama, merujuk kesesuai dengan literatur (Carden et al.,
(2022) kesadaran diri berguna membangun karakter dan kepemimpinan seseorang. Tidak hanya
sudut pandang agama, namun yang lain setuju dengan hal tersebut. Kesadaran diri sering dilihat
sebagai komponen penting dalam kepemimpinan dan kesuksesan karir. Mengidentifikasi
komponen kesadaran diri, bagaimana menjadi sadar diri, dan tujuan kesadaran diri. Namun,
dalam konteks perkembangan orang dewasa, konstruksi kesadaran diri dapat dikembangkan dari
waktu ke waktu dan memberikan pemahaman yang lebih besar kepada individu tentang
dampaknya terhadap orang lain. Kedua, merujuk pada literatur (Wahidin et al., (2022) perguruan
tinggi keagamaan khususnya memiliki tujuan spesifik dalam menanamkan nilai-nilai kebaikan
agama terkait dalam proses pembelajaran. Pengalaman ke-Tuhanan dan keimanan diwujudkan
dalam sikap serta perilaku. Namun, dalam implementasinya mahasiswa ditantang dengan
pengaruh lingkungan sosial dan budaya akademik terhadap kesadaran beragamanya. Apabila
mahasiswa tersebut dapat berpikir secara kritis terhadap hal tersebut, maka dapat memanfaatkan
sumber daya dalam dirinya sehingga membantu memaksimalkan potensinya.

Ketiga, merujuk sesuai literatur (Firdaus, (2017) upaya penegakan moral menjadi sangat
penting dalam rangka mencapai keharmonisan hidup. Akhlak mempunyai peran yang sangat
penting dan tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan manusia. Akhlak merupakan fondasi utama
dalam pembentukan pribadi manusia seutuhnya. Proses pembentukan akhlak dapat digunakan
metode yaitu dengan menjalankan ibadah yang kuat dan ikhlas, karena ketekunan dan keikhlasan
melakukan ibadah mampu mencegah bisikan hawa nafsu. Selain itu proses pembentukan akhlak
adalah dengan mencari ilmu pengetahuan, karena pengetahuan biasa diperoleh dari keseluruhan
bentuk upaya kemanusiaan, seperti perasaan, pikiran, pengalaman, panca indera, dan intuisi
untuk mengetahui sesuatu tanpa memperhatikan objek, cara, dan kegunaannya. Keempat,
merujuk literatur (Zahara et al., (2020) Generasi muslim milenial merupakan elemen masyarakat
yang membentuk pola-pola dalam fenomena hijrah. Makna hijrah bagi generasi muslim milenial,
berangkat dari adanya kesadaran kolektif tentang identitas diri yang merupakan bagian dari
Islam, sehingga timbul kesadaran untuk berkontribusi untuk mengamalkan agamanya. Secara
tidak langsung perubahan gaya hidup yang cenderung religius akan membentuk bingkai kultural
yang mendukung perkembangan gerakan hijrah di kalangan generasi Muslim milenial. Kelima,
sesuai literatur (Nuraini, (2020) semakin tinggi religiusitas maka akan semakin tinggi kesadaran
kritis, dan berlaku sebaliknya, semakin rendah religiusitas maka akan semakin rendah kesadaran
kritis pada mahasiswa. Tidak memaknai agama satu arah dapat membantu mahasiswa untuk
melihat berbagai permasalahan secara lebih luas serta dapat menemukan berbagai macam cara
untuk menyelesaikanya.

Terdapat beberapa celah (gap) dari penelitian terdahulu. Pertama, pembahasan merujuk pada
tahapan seseorang dalam meningkatkan taraf religiusitas dengan mengamalkan ajaran agama
untuk kebaikan diri. Hal ini juga sebagai sarana self awareness dan pengembangan akhlak.
Namun, tulisan tersebut bersifat mayoritas atau rata-rata yang mengalaminya serta deskripsi
umum terkait self awareness. Belum dijelaskan terkait bagaimana langkah-langkah secara detail
dan alur yang sebenarnya terjadi sehingga indivdu berusaha menemukan titik balik dalam
hidupnya. Kedua, istilah hijrah yang digunakan merujuk pada gerakan sosial suatu kelompok
yang sudah terafiliasi sebelumnya. Selain itu, kelompok ini bahkan sudah diakui dan terorganisir
dengan baik. Sedangkan, hijrah yang dimaksud penulis adalah titik balik kehidupan individu
tersebut dalam bentuk peningkatan pengamalan ajaran agama dalam berbagai bentuk, tidak
hanya pada satu kegiatan tertentu. Manfaat atas tercapainya hijrah sebagai penyeimbang
kebutuhan duniawi dan rohani. Ketiga, penulis setuju bahwa semakin tinggi tingkat religiusitas
maka semakin kritis pula seorang mahasiswa. Hal ini sebagai bentuk menyikapi lingkungan
sosial budaya akademik dan pembentukan psikologis akhlak seseorang yang bertujuan
menyaring segala sesuatu yang didapatkannya. Penulis berusaha untuk melanjutkan pembahasan
ini dengan lebih mendalami apa saja rintangan yang harus dihadapi individu tersebut dan
menceritakan kembali segala yang dialami dan usaha mencapai titik balik (hijrah) untuk
ketenangan hati dan pikiran.

Berdasarkan celah tersebut, penulis ingin melengkapi kekurangan dari penelitian-penelitian


terdahulu. Penulis akan membahas tentang usaha seseorang (mahasiswa) dalam mencapai titik
balik (hijrah) kehidupannya. Hal ini menyikapi lingkungan sosial dan budaya akademik di
perkuliahan yang dinamis serta menuntut kesuksesan dan keberhasilan. Titik balik tersebut
berguna untuk ketenangan dan keseimbangan dalam hidupnya. Selain iu, setelah meraih titik
balik tersebut, apakah memberikan dampak positif terhadap lingkungan sekitar sebagai
impelementasi agama sebagai perekat sosial. Metode yang digunakan penulis adalah metode
kualitatif. Tujuannya untuk mendeskripsikan fenomena yang ada sehingga bisa lebih dekat
dengan apa yang dialami mahasiswa dan melihat solusi yang diraihnya.

1.7 Landasan Teori

1.7.1 Teori Double Movement

Dalam kehidupan perubahan adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari karena perkembangan
permasalahan dan kebutuhan selalu berkembang setiap waktu. Perubahan dan perkembangan
juga terjadi dalam bidang keilmuan, baik ilmu keagamaan maupun ilmu umum, dalam bidang
ilmu keagamaan misalnya pada bidang ilmu tafsir juga mengalami perubahan. Dalam kajian ilmu
tafsir pada era modern ini mulai ada perubahan metode penafsiran untuk menanggapi isu-isu
terbaru dalam sosial masyarakat. Hal ini terjadi karena al-Qur’an adalah sebagai petunjuk bagi
umat Islam yang Salih Li Kulli Zaman Wa Makan, jadi dari permasalahan ini maka muncullah
teori kontekstualisasi yang diperkenalkan oleh para tokoh Islam untuk mengkontekstualkan hasil
penafsiran al-Qur’an sehingga cocok untuk era modern. Salah satu tokoh yang memperkenalkan
teori kontekstualisasi ini adalah Fazlur Rahaman, akan tetapi teori Rahman ini lebih dikenal
dengan teori Duoble Movement.

Fazlur Rahman dalam menafsir al-Qur’an lebih menitik beratkan kepada kajian sejarah,
karena menurut beliau al-Qur’an turun kepada Nabi Muhammad SAW di tanah Arab tidak lepas
dari sebab yang melatarbelakangi turunnya ayat sekaligus sosio-kultural masyarat Arab pada
waktu itu. Maka sebab itu Rahman mempunyai sebuah teori untuk menafsirkan ayat al-Qur’an
yang biasa disebut dengan teori gerak ganda (Double Movement). Rahman mengatakan “a
double movement, from present situation to the Quranic times, then back to the present” dengan
teori ini rahman berharap hasil dari penafsiran masa kini bisa kontekstual dan sesuai dengan era
modern ini, sesuai dengan semboyan yang mengatakan al-Qur’an Salih li Kulli Zaman wa
Makan. Rahman dengan memakai teori ini berusaha membawa permasalahan di masa sekarang
ini dibawa kepada konteks ketika ayat diturunkan, kemudian membawa lagi kepada masa
sekarang.
Pada tahap aplikatifnya teori ini menurut Rahman diharapkan menjadi sebuah teori untuk
menilai penafsiran ulama masa sebelumnya. Karena diharapakan “Momen yang kedua ini juga
akan mengoreksi hasil-hasil momen yang pertama, yaitu hasil-hasil dari pemahaman dan
penafsiran”. Apabila hasil-hasil pemahaman gagal dalam aplikasi sekarang, tentunya telah
terjadi kegagalan menilai situasi sekarang dengan tepat atau kegagalan dalam memahami al-
Qur’an, karena suatu tatanan yang dulu bisa dan sungguh-sungguh telah direalisasikan dalam
tatanan spesifik di masa lampau, tidak mungkin tidak bisa direalisasikan dalam konteks
sekarang. Oleh karena itu dengan mempertimbangkan perbedaan tentang hal-hal spesifik dalam
masa sekarang, baik meliputi perubahan aturan-aturan dari masa lampau sesuai dengan situasi
yang telah berubah di masa sekarang. Untuk melaksanakan dua hal tersebut dibutuhkan suatu
jihad intelektual atau usaha moral di samping intelektual.

Dalam keterangan selanjutnya, Rahman secara tegas membedakan antara legal spesifik al-
Qur’an yang memunculkan aturan, norma, hukum-hukum akibat pemaknaan literal al-Qur’an
dengan ideal moral yakni ide dasar atau basic ideas al-Qur’a n yang diturunkan sebagai rahmat
bagi alam, yang mengedepankan nilai-nilai keadilan ('adalah), persaudaraan (ukhuwah) dan
kesetaraan (musawah). Menurut Rahman bahwa memahami kandungan al-Qur’an haruslah
mengedepankan nilai-nilai moralitas atau bervisi etis. Nilai-nilai moralitas dalam Islam harus
berdiri kokoh berdasarkan ideal moral al-Qur’an di atas. Nilai-nilai dimaksud adalah monoteisme
dan keadilan, penegakan moralitas ini sangatlah ditekankan oleh Rahman karena melihat
kenyataan di sekitarnya saat itu yakni telah hilangnya visi dasar tersebut akibat diintervensi oleh
kepentingan, baik bersifat sosial, ekonomi, politik, sepanjang sejarah Islam. Akibatnya, terjadi
berbagai fragmentasi umat yang berujung pada konflik dan pertarungan kepentingan.

1.7.2 Pemuda

Menurut bBahasa, pemuda merupakan sesosok laki-laki dan perempuan yang telah masuk
kedalam tahap dewasa. Sebutan yang seringkali didengar tentang pemuda sebagai generasi
penerus bangsa dan juga sebagai tumpuan dari negaranya. Generasi muda yang baik adalah
pemuda yang tumbuh dan berkembang menjadi seorang pribadi yang unggul dan mandiri dalam
melaksanakan tugasnya. Generasi muda merupakan generasi yang memiliki kemampuan,
semangat tinggi dan memiliki wawasan yang lebih luas untuk mengembangkan dan memajukan
negara. Bahkan untuk mencapai sebuah revolusi dari suatu bangsa biasanya didobrak oleh
generasi muda. Langkah-langkah konkret yang menjadikan negara menuju lebih baik dan
kenyataan sosial yang sudah ada, menjadi sebuah ciri khas dari pemuda yang melekat pada
dirinya. Berkaitan dengan generasi, pPandangan lain yang digunakan untuk melihat pemuda
secara lebih mendalam adalah dengan memandang pemuda sebagai dimensi generasi (Naafs &
White, 2012). Terdapat 3 makna penting di dalam dimensi tersebut (Ningrum & Wiratri, 2017),
pertama pemuda sebagai kelompok dengan usia tertentu, kedua memandang pemuda sebagai
relasional yaitu tidak hanya melihat perbedaan pemuda dan orang dewasa melainkan
memandang pemuda dengan konsep teoritis dimensi relasional dan fenomena struktural seperti
kelas sosial. Makna yang ketiga yaitu pemuda dipandang sebagai kategori sosial yang relevan
dengan sejarah perjuangan Indonesia, misalnya angkatan 65, angkatan 45, dan lain sebagainya.
Disamping pemuda dikaitkan dengan istilah generasi, pada dasarnya kita harus mengetahui
bahwa arti pemuda adalah individu dengan karakter yang dinamis, bahkan bergejolak dan
optimis namun belum memiliki pengendalian emosi yang stabil. Pemuda menghadapi masa
perubahan sosial maupun kultural. Suzanne Naafs & Ben White (2012) dalam Jurnal Studi
Pemuda mengatakan bahwa pemuda adalah aktor kunci dalam sebagian besar proses perubahan
ekonomi dan sosial, di mana mereka berada pada garda terdepan proses perubahan tersebut
mengingat pPemuda merupakan individu yang jika dilihat secara fisik sedang mengalami
perkembangan dan secara psikis sedang mengalami perkembangan emosional. Sedangkan, jika
ditinjau dari segi umur definisi tentang pemuda sangatlah beragam. MSemisal, menurut Undang-
Undang Nomor 40 tahun 2009, pemuda merupakan warga negara Indonesia yang memasuki
periode penting pertumbuhan dan perkembangan yang berusia 16 sampai 30 tahun. Lebih lanjut,
menurut Pinilas dkk (2017), definisi pemuda yaitu individu yang bila dilihat secara fisik sedang
mengalami perkembangan dan secara psikis sedang mengalami perkembangan emosional
sehingga pemuda merupakan sumber daya manusia untuk pembangunan saat ini maupun masa
mendatang. Hal tersebut menyebabkan pemuda sering kali dibebani dengan berbagai harapan
dari orang lain terutama dari generasi sebelumnya. Selain itu, istilah pemuda sendiri di dalam
ilmu sosial bukan hanya sekedar penduduk yang berusia muda, tetapi pemuda juga dapat
diartikan sebagai agen yang akan melakukan perubahan besar. Hal tersebut wajar karena pemuda
merupakan generasi yang melanjutkan usaha, perjuangan, dan pembangunan dari generasi
sebelumnya.
1.7.3 Kesadaran Beragama

Kesadaran beragama meliputi rasa keagamaan, pengalaman ke-Tuhanan, keimanan, sikap


dan tingkah laku keagamaan, yang terorganisir dalam sisi mental dan kepribadian (Frimayanti,
2015). Karena agama melibatkan seluruh fungsi jiwa dan raga manusia, maka kesadaran
beragama mencakup aspek-aspek afektif, konatif, kognitif dan psikomotorik. Aspek afektif dan
konatif terlihat di dalam pengalaman ke-Tuhanan, rasa keagamaan, dan kerinduan pada Tuhan.
Aspek kognitif terlihat pada keimanan dan kepercayaan sedangkan aspek motorik terlihat pada
perbuatan dan gerakan tiangkah laku keagamaan. Lebih jelasnya, yaitu Aspek Afektif, berarti
bahwa yang menjadi keinginan dan kebutuhan manusia itu bukan hanya terbatas pada kebutuhan
biologis saja, namun manusia juga mempunyai keinginan dan kebutuhan yang bersifat
rokhaniah, yaitu kebutuhan dan keinginan untuk mencintai dan dicintai Tuhan. Sumber jiwa
keagamaan adalah keinginan dasar yang ada dalam diri manusia, yaitu keinginan untuk
keselamatan, untuk mendapatkan penghargaan, untuk ditanggapi, dan keinginan untuk
mendapatkan pengetahuan dan pengalaman baru. Melalui ajaran agama yang teratur, maka
keinginan dapat tersalurkan. Dengan mengabdikan diri kepada Tuhan, maka keinginan untuk
keselamatan akan terpenuhi, sedangkan pengabdian kepada Tuhan menimbulkan perasaan
mencintai dan dicintai Tuhan.

Aspek Kognitif, merupakan aspek yang juga menjadi sumber jiwa agama pada diri seseorang
(yaitu melalu berfikir), manusia ber-Tuhan karena kemampuan berfikirnya. Sedangkan
kehidupan beragama merupakan refleksi dari kemampuan berfikir manusia itu sendiri. Manusia
juga menggunakan pfikirannya untuk merenungkan kebenaran atau kesalahan menuju keyakinan
terhadap ajaran agama. Aspek Psikomotorik, bahwa dalam kesadaran beragama merupakan aspek
yang berupa perilaku keagamaan yang dilakukan seseorang dalam beragama. Sarlito Wirawan
dalam “Pengantar Umum Psikologi” mengatakan bahwa tingkah laku mempunyai arti yang lebih
kongkrit daripada jiwa, maka ia lebih mudah dipelajari daripada jiwa dan melalui tingkah laku
kita untuk mengenal seseorang. Termasuk dalam tingkah laku disini adalah perbuatan-perbuatan
yang terbukan maupun tertutup.

1.7.4 Agama Sebagai Perekat Sosial

Dalam sosiologi agama, titik perceraian dengan positivism sering dilekatkan pada Durkheim
melalui mekanisme perbedaan kategoris antara dunia yang sakral berhadapan dengan kenyataan
yang profan. Durkheim juga menjelaskan bahwa agama sebagai sistem terpadu dari kepercayaan
dan praktek yang berhubungan dengan hal-hal yang sakral, yakni hal-hal yang terpisah dan
terlarang (Shonhaji, 2012b). Praktik-praktik yang sakral ini menyatu ke dalam komunitas moral
tunggal yang disebut gereja, dari siapa saja yang setia padanya. Artinya, gagasan agama yang
sakral muncul berhubungan dengan apa yang menyangkut komunitas. Oleh karena itu dapat
dipahami bahwa agama berperan sebagai perekat yang dimulai dari penempatan agama sebagai
fakta sosial yang mengintegrasikan masyarakat dalam bentuk penghormatan bersama terhadap
sesuatu yang bernilai suci yang tersimbolisasikan melalui ritual. Dengan kata lain, agama
merupakan ungkapan simbolik yang memuat makna sakral dari realitas sosial. Ini berarti agama
dengan seperangkat nilainya dapat mengikat/integrasi individu dalam bermasyarakat. Selain itu,
Durkheim berkeyakinan bahwa agama berfungsi sebagai social glue yang dapat meningkatkan
kesatuan dan solidaritas sosial. Fungsi tersebut dicapai melalui mekanisme introduksi doktrin-
doktrin agama untuk meningkatkan emosional para pengikutnya dan menyelenggarakan ritual
yang ditujukan untuk memantapkan hubungan sosial. Selain itu, agama berfungsi menetralisasi
kekacauan dari perubahan sosial.

1.7.5 Teori Fungsionalisme Struktural

Teori fungsionalisme struktural adalah suatu bangunan teori yang paling besar pengaruhnya
dalam ilmu sosial pada saat ini. Tokoh-tokoh yang pertama kali mencetuskan fungsional yaitu
Talcott Parsons, August Comte, Emile Durkheim dan Herbet Spencer. Fungsionalisme struktural
atau lebih popular dengan ‘struktural fungsional’ merupakan hasil pengaruh yang sangat kuat
dari teori sistem umum di mana pendekatan fungsionalisme yang diadopsi dari ilmu alam
khususnya ilmu biologi, menekankan pengkajiannya tentang cara-cara mengorganisasikan dan
mempertahankan sistem. Fungsionalisme struktural atau ‘analisa sistem’ pada prinsipnya
berkisar pada beberapa konsep, namun yang paling penting adalah konsep fungsi dan konsep
struktur. Fungsionalisme struktural adalah sebuah sudut pandang luas dalam sosiologi dan
antropologi yang berupaya menafsirkan masyarakat sebagai sebuah struktur dengan bagian-
bagian yang saling berhubungan. Fungsionalisme menafsirkan masyarakat secara keseluruhan
dalam hal fungsi dari elemen-lemen konstituennya; terutama norma, adat, tradisi dan institusi.
Dalam paradigma struktural fungsional semua unsur pembentuk masyarakat terjalin satu sama
lain yang dikenal dengan sistem. Sehingga jika ada salah satu unsurnya tidak bekerja maka
masyarakat tersebut akan terganggu. Dengan adanya saling ketergantungan, kerjasama
menunjukkan bahwa masyarakat terintegrasi utuh dan bertahan lama.

Perkataan fungsi digunakan dalam berbagai bidang kehidupan manusia, menunjukkan kepada
aktivitas dan dinamika manusia dalam mencapai tujuan hidupnya. Dilihat dari tujuan hidup,
kegiatan manusia merupakan fungsi dan mempunyai fungsi. Secara kualitatif fungsi dilihat dari
segi kegunaan dan manfaat seseorang, kelompok, organisasi atau asosiasi tertentu. Fungsi juga
menunjuk pada proses yang sedang atau yang akan berlangsung, yaitu menunjukkan pada benda
tertentu yang merupakan elemen atau bagian dari proses tersebut, sehingga terdapat perkataan “
”masih berfungsi” atau “ ”tidak berfungsi.” Fungsi tergantung pada predikatnya, misalnya pada
fungsi mobil, fungsi rumah, fungsi organ tubuh, dan lain-lain. Secara kuantitatif, fungsi dapat
menghasilkan sejumlah tertentu, sesuai dengan target, proyeksi, atau program yang telah
ditentukan. Bagaimana berfungsinya sebuah struktur menjadi sasaran penjelasan teori struktural
fungsional. Setiap struktur, baik struktur mikro maupun struktur makro masyarakat, akan tetap
ada sepanjang ia memiliki fungsi. Asumsi dasar struktural fungsional menyatakan bahwa
masyarakat terintegrasi berdasarkan kesepakatan nilai bersama yang mampu mengatasi
perbedaan pendapat dan kepentingan anggota. Setiap anggota masyarakat berada atau hidup
dalam struktur sosial yang saling terkait antara satu dengan yang lain. Orientasi dasar paradigma
fungsionalisme struktural adalah keteraturan, ekuilibrium, harmoni dan integrasi.
Asumsi dasar yang digunakan dalam teori struktural fungsional dapat kita fahami dari apa
yang dijelaskan Ralp Dahrendof, sebagaimana dipaparkan Prof Damsar (Crisnaningrum, 2020),
sebagai berikut:
a) Setiap masyarakat terdiri dari berbagai elemen yang terstruktur secara relatifve mantap
dan stabil. Kegiatan setiap individu yang dilakukan secara setiap hari, melakukan fungsi
masing-masing dan saling berinteraksi diantara mereka, selalu dilakukan setiap hari,
relatif sama dan hampir tidak berubah.
b) Elemen-elemen terstruktur tersebut terintegrasi dengan baik. Elemen-elemen yang
memebentuk struktur memiliki kaitan dan jalinan yang bersifat saling mendukung dan
saling ketergantungan antara satu dengan yang lainnya.
c) Setiap elemen dalam struktur memiliki fungsi, yaitu memberikan sumbangan pada
bertahannya struktur itu sebagai suatu sistem. Semua elemen masyarakat yang ada
memiliki fungsi. Fungsi tersebut memberikan sumbangan bagi bertahannya suatu struktur
sebagai suatu sistem.
d) Setiap struktur yang fungsional dilandaskan pada suatu konsensus nilai diantara para
anggotanya. Konsensus nilai tersebut berasal baik dari kesepakatan yang telah ada dalam
suatu masyarakat seperti adat kebiasaan, tata perilaku, dan sebagainya maupaun
kesepakatan yang dibuat baru.
Berkaitan dengan konteks agama, pendekatan fungsional yang berkaitan dengan hal ini
diinisiasi oleh Emile Durkheim yang menekankan pada fungsi agama dalam masyarakat. Agama
sebagaimana institusi sosial lain mempunyai fungsi bagi masyarakat terutama dalam
meningkatkan kohesi dan integrasi sosial (Haryanto, 2015). Bagi Durkheim agama bahkan
mempunyai kedudukan istimewa dibanding institusi lain. Agama sebagaimana fenomena lain
oleh Durkheim dipandang sebagai fakta sosial yang bersifat eksterior, sui generis, dan coercive.
Sebagai fakta sosial yang bersifat eksterior, agama berada di luar diri seseorang. Agama berada
dalam alam pikiran manusia dan mempunyai pengaruh terhadap tindakan manusia. Sebagai fakta
sosial yang bersifat sui generis, keberadaan agama tidak tergantung pada eksistensi manusia.
Terakhir sifat coercive agama terletak pada sanksi-sanksi yang terdapat pada setiap norma
agama. Sanksi-sanksi tersebut bersifat memaksa perilaku manusia. Berbeda dengan sanksi norma
lain, pemberi sanksi dalam norma agama ialah Tuhan.

1.7.6 Hijrah

Hijrah memiliki banyak makna, berhijrah bisa bermakna tekad untuk mengubah diri demi
meraih keridhaan Tuhan yang dalam ajaran Islam yaitu Allah SWT. Selain itu, hijrah juga
diartikan sebagai salah satu prinsip hidup. Seseorang dapat dikatakan hijrah jika terlah
memenuhi dua syarat, yaitu ada sesuatu yang ditinggalkan dan ada sesuatu yang ditujunya.
Sejatinya hijrah berasal dari bahasa Arab yang berarti meninggalkan, menjauhkan dari dan
berpindah tempat. Dalam konteks sejarah, hijrah adalah kegiatan perpindahan yang dilakukan
oleh Nabi Muhammad SAW bersama para sahabat beliau dari Makkah ke Madinah dengan
tujuan mempertahankan dan menegakkan risalah Allah berupa aqidah dan syariat Islam. Oleh
karena itu, secara etimologi, hijrah merupakan berpindahnya seseorang dari suatu tempat ke
tempat yang lain dengan tujuan kebaikan (Fajriani, 2019)
Hijrah dibedakan menjadi dua macam, yaitu hijrah makaniyah (berpindah dari satu tempat
ke tempat lain) dan hijrah maknawiyah (mengubah diri, dari yang buruk menjadi lebih
mengharap keridhaan Allah SWT). Berkaitan dengan topik yang dibahas dimana lebih merujuk
pada hijrah maknawiyah. Hijrah maknawiyah dibedakan menjadi empat, yaitu hijrah i'tiqadiyah
(hijrah keyakinan), Ketika seorang Muslim mencoba meningkatkan keimanannya agar terhindar
dari kemusyrikan. Kedua, hijrah fikriyah (hijrah pemikiran), Ketika seseorang memutuskan
kembali mengkaji pemikiran Islam yang berdasar pada sabda Rasulullah dan firman Allah demi
menghindari pemikiran yang sesat. Ketiga, hijrah syu'uriyyah adalah berubahnya seseorang yang
dapat dilihat dari penampilannya, seperti gaya berbusana dan kebiasaannya dalam kehidupan
sehari-hari. Hijrah ini biasa dilakukan untuk menghindari budaya yang jauh dari nilai Islam,
seperti cara berpakaian, hiasan wajah, rumah, dan lainnya. Terakhir adalah hijrah sulukiyyah
(hijrah tingkah laku atau kepribadian). Hijrah ini digambarkan dengan tekad untuk mengubah
kebiasaan dan tingkah laku buruk menjadi lebih baik. Seperti orang yang sebelumnya selalu
berbuat buruk, seperti mencuri, membunuh, atau lainnya, bertekad berubah kepribadiannya
menjadi pribadi yang berakhlak mulia. Terdapat aspek-aspek hijrah, yaitu: 1) Segala sesuatu
yang harus dihindarkan, 2) Segala sesuatu yang harus ditegakkan, dan 3) Segala sesuatu yang
harus dijalankan secara konsisten dan tidak keluar dari batasan yang telah ditentukan. Secara
operasional hijrah merupakan upaya meninggalkan segala kesulitan menjadi berbagai
kemudahan, yang tidak keluar dari ketentuan yang telah ditetapkan oleh syariat, secara lahiriah
maupun batiniah. Makna lain, hijrah sebagai usaha menjauhkan diri dari berbagai bentuk
penyimpangan menuju tata aturan yang benar dan konsisten. Hijrah merupakan tindakan
pragmatis monumentalis yang bermakna nilai-nilai normative (Aswadi, 2014).

Hijrah merupakan gerakan yang dilaksanakan oleh individu maupun kelompok dengan tujuan
ke arah yang lebih baik. Kata hijrah tidak asing dalam masyarakat muslim, karena memiliki
makna perubahan diri menjadi pribadi yang lebih islami sesuai dengan ajaran-ajaran agama
Islam. Istilah hijrah pun kini semakin populer dengan merebaknya berbagai komunitas hijrah di
beberapa kota di Indonesia. Gerakan hijrah menawarkan sebuah dakwah kekinian ala anak muda.
Umumnya mereka berdakwah dengan menyasar anak muda yang di masa lalunya jauh dari
agama kemudian ingin berubah menuju kondisi yang lebih baik dengan belajar tentang agama.
Gerakan hijrah tak hanya mengusung sisi spiritual saja melainkan juga membawa budaya
populer yang menggabungkan tren keagamaan dan gaya hidup populer. Para pendakwah dan
lembaga yang mengusung hijrah pun kini sedang berada pada popularitas di tengah suburnya
gerakan hijrah di kalangan anak muda. Lewat kajian yang ringan dan dekat dengan isu anak
muda para ustaz hijrah seperti Hanan Attaki, Habib Husein Jafar, Taufiqurrahman dan beberapa
lainnya banyak digemari anak muda, apalagi dengan kemoderenan di dunia virtual membuat
ceramah mereka sangat mudah diakses generasi muda yang cukup aktif di media sosial dengan
beragam konten menarik seputar hijrah.

DAFTAR PUSTAKA
Adnan, G. (2020). Sosiologi Agama: Memahami Teori Dan Pendekatan. In Angewandte Chemie
International Edition, 6(11), 951–952.
Ajat Sudrajat, D. (2016). Dinul Islam: Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi Umum. In
UNY Press. unypress.yogyakarta@gmail.com
Akbar, M. Y. A., Amalia, R. M., & Fitriah, I. (2018). Hubungan Relijiusitas dengan Self
Awareness Mahasiswa Program Studi Bimbingan Penyuluhan Islam (Konseling) UAI.
JURNAL Al-AZHAR INDONESIA SERI HUMANIORA, 4(4), 265.
https://doi.org/10.36722/sh.v4i4.304
Aswadi, A. (2014). Refomulasi Epistemologi Hijrah dalam Dakwah. ISLAMICA: Jurnal Studi
Keislaman, 5(2), 339. https://doi.org/10.15642/islamica.2011.5.2.339-353
Beragama, K., & Terhadap, I. (2022). PENGARUH SOSIAL-BUDAYA AKADEMIK
TERHADAP. 3(1), 1–13. https://doi.org/10.19105/ec.v1i1.1808
Carden, J., Jones, R. J., & Passmore, J. (2022). Defining Self-Awareness in the Context of Adult
Development: A Systematic Literature Review. Journal of Management Education, 46(1),
140–177. https://doi.org/10.1177/1052562921990065
Castells, M. (1996). Economy , Society , and Culture The Information Age The Rise of the
Network Society Table of Contents for Volumes II and III of Manuel Castells ’ The 5
Globalization , Identification , and the State : A Powerless State or a 6 Informational
Politics and th: Vol. I.
Crisnaningrum, D. W. (2020). Peran Paguyuban Jokorio Dalam Mewujudkan Kerukunan Antar
Pedagang Kaki Lima Depan Perpustakaan IAIN Kediri (Perspektif Fungsionalisme
Struktural). Etheses.Iainkediri.Ac.Id, 12–25.
Fajriani, S. W. (2019). Hijrah Islami Milenial Berdasarkan Paradigma Berorientasi Identitas.
Sosioglobal : Jurnal Pemikiran Dan Penelitian Sosiologi, 3(2), 76.
https://doi.org/10.24198/jsg.v3i2.21643
Firdaus. (2017). Membentuk Pribadi Berakhlakul Karimah. Al - Dzikra, XI(1), 55–88.
https://media.neliti.com/media/publications/178009-ID-membentuk-pribadi-berakhlakul-
karimah-se.pdf
Frimayanti, A. I. (2015). Al-Tadzkiyyah: Jurnal Pendidikan Islam, Volume 6, Mei 2015 P. ISSN:
20869118. Pendidikan Islam, 6(20869118), 16–26.
Lexi, & Moleong. (2010). Metodologi Penelitian Kualitatif. Rake Sarasin, 54–68.
https://scholar.google.com/citations?user=O-B3eJYAAAAJ&hl=en
Naafs, S., & White, B. (2012). Generasi Antara : Refleksi tentang Studi Pemuda Indonesia.
Jurnal Studi Pemuda, I(2), 89–106.
https://journal.ugm.ac.id/jurnalpemuda/article/viewFile/32063/19387
Nuraini, A. R. (2020). Hubungan Religiusitas Terhadap Kesadaran Kritis Mahasiswa.
https://eprints.umm.ac.id/65178/
Patel, M., & Patel, N. (2019). Exploring Research Methodology: Review Article. International
Journal of Research and Review Keywords: Research, Methodology, Research
Methodology, 6(3), 48–55. www.ijrrjournal.com
Shonhaji. (2012a). Agama Sebagai Perekat Social Pada Masyarakat Multikultural. Al-Adyan,
7(2), 1–19.
Shonhaji, S. (2012b). Agama Sebagai Perekat Sosial. Al-Adyan: Jurnal Studi Lintas Agama,
7(2), 1–19. http://ejournal.radenintan.ac.id/index.php/alAdyan/article/view/502
Sunardin. (2021). Manusia Membutuhkan Agama di Masyarakat. Jurnal Kajian Islam Dan
Masyarakat, 4(1), 13. https://doi.org/10.24853/ma.4.1.1-28
Zahara, M. N., Wildan, D., & Komariah, S. (2020). Gerakan Hijrah: Pencarian Identitas Untuk
Muslim Milenial di Era Digital. Indonesian Journal of Sociology, Education, and
Development, 2(1), 52–65. https://doi.org/10.52483/ijsed.v2i1.21
仁佐藤. (n.d.). No Title 戦後日本の対外経済協力と国内事情 原料確保をめ ぐる国内政策
と対外政策の連続と断絶. In アジア経済.

Anda mungkin juga menyukai