MAKALAH
DOSEN PEMBIMBING :
DISUSUN OLEH :
AISYAH RAMADHANI
(NIM: 2102010008)
(STAI-DDI) PINRANG
2022
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang, segala puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT Tuhan
semesta alam, yang telah mencurahkan rahmat dan karunia-Nya, sholawat serta
salam tak lupa pula kami haturkan kepada junjungan kita Nabi agung Muhammad
SAW, yang telah membawa cahaya islam dan menerangi dunia dengan cahaya
islam.
Penulis
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..............................................................................................i
DAFTAR ISI............................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1
A. Latar Belakang..............................................................................................1
B. Rumusan Masalah.........................................................................................4
C. Tujuan Masalah.............................................................................................4
BAB II PEMBAHASAN.........................................................................................5
DAFTAR PUSTAKA
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
1
2
(Muḥammad Amin, 2014). Terlepas dari pro dan kontra dengan pandangan di
atas yang jelas pemerintah melalui menteri agama meminta kepada lembaga
pendidikan, khususnya Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKIN) untuk
menjadi Pusat Pengembangan Moderasi Beragama. Menteri Agama Yaqut
Cholil Qoumas mengatakan; “upaya pelembagaan moderasi beragama perlu
kontribusi konkrit dari PTKIN sebagai pusat moderasi dalam perspektif
Islam. PTKIN harus mampu menjadi Pusat Pengembangan Moderasi
Beragama. Karenanya, PTKIN dituntut menjadikan moderasi beragama
sebagai salah satu isu utama dalam aktifitas belajar mengajar, riset, dan
pengabdian masyarakat, dengan fokus pada kajian keislaman, keindonesiaan,
dan kemanusiaan” (Qoumas, 2021).
Menurut Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas ada dua prinsip kunci
dalam Moderasi Beragama yaitu adil dan berimbang. Tentu dua prinsip kunci
tersebut sangat penting dalam era disrupsi teknologi dan informasi seperti
sekarang ini, yaitu ketika setiap individu mengalami banjir informasi.
Moderasi beragama sejatinya dapat dijadikan sebagai nilai yang bermanfaat
untuk mengelola informasi serta meminimalisir berita bohong atau hoaks.
Moderasi beragama memberi pelajaran untuk berfikir dan bertindak
bijaksana, tidak fanatik oleh satu pandangan keagamaan seseorang atau
kelompok saja, tanpa mempertimbangkan pandangan keagamaan orang atau
kelompok lainnya (Qoumas, 2021).
Moderasi beragama menghasilkan keseimbangan dalam praktik
beragama dan dapat menjauhkan diri dari sikap berlebihan, revolusioner, dan
fanatik dalam beragama. 6Keberagaman di negeri ini juga dapat berkembang
dengan adanya moderasi beragama. Hal tersebut dikarenakan faktor kultur
masyarakat yang majemuk sehingga cocok untuk digunakan di Indonesia.
Moderasi beragama sudah lama diterapkan di Indonesia.
Terbuktidengan kepercayaan yang ada dan diakui di Indonesia
semuanya mengenal apa itu moderasi beragama. Seperti pada ajaran agama
Islam terdapat penjelasan konsep mengenai washatiyah yang bermakna
sepadan atau sama dengan tawasuth yang memiliki arti tengah tengah, i’tidal
3
yang memiliki arti adil, dan tawazun yang memiliki arti berimbang.
Sedangkan dalam umat Kristen, arti dari moderasi beragama yaitu cara
pandang untuk dapat mengetahui ekstrimisme terkait dengan tafsir terhadap
ajaran agama Kristen dimana ajaran tersebut dipahami oleh sebagian umat
Kristen.9 Selain itu dalam persepektif Gereja Katolik moderasi beragama
yang memiliki istilah ”moderat” yang biasa yakni “terbuka”
Perlu adanya suatu pemahaman yang menyeluruh dan komprehensif
sehingga suatu tindakan yang dilakukan tidak bertentangan dengan
kemaslahatan bersama. Hal tersebut dapat dicapai dengan adanya
perencanaan dan penanganan yang matang. Lembaga pendidikan memiliki
peran yang penting dan strategis untuk dapat memupuk moderasi beragama.
Hal tersebut dapat dicapai melalui adanya pendekatan edukatif dengan
memperhatikan nilai-nilai perdamaian yang kemudian diinternalisasikan ke
dalam kurikulum pendidikan sekolah. Dengan demikian, tindakan kekerasan,
radikalisme, ekstremisme, dan tindakan buruk lainnya dapat ditangani dengan
baik sedari dini.
Terdapat beberapa hal yang menjadi latar belakang mengapa moderasi
beragama perlu untuk dibangun, yakni : 1) Ketahanan dan perlindungan hak
kebudayaan cenderung melemah; 2) Pendidikan karakter, budi pekerti,
kewarganegaraan, dan kebangsaan yang masih belum maksimal; 3) Upaya
memajukan kebudayaan Indonesia yang belum optimal; 4) Pemahaman dan
pengamalan nilai-nilai agama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara
yang masih minim; 5) Peran keluarga dalam upaya pembangunan karakter
bangsa belum menunjukkan hasil yang maksimal; dan 6) Budaya literasi,
inovasi dan kreativitas yang belum diinternalisasikan secara lebih mendalam.
Olehnya itu penelitian ini hadir untuk melihat bagaimana “Realisasi
Moderasi Beragama Di Ranah Pendidikan”
4
2. Rumusan Masalah
3. Tujuan Masalah
PEMBAHASAN
5
6
menurut pakar bahasa Arab, kata tersebut merupakan “segala yang baik
sesuai objeknya”.
b. Tawāzun (berkeseimbangan)
Tawāzun adalah pemahaman dan pengamalanagama secara
seimbang yang meliputi semua aspek kehidupan, baik duniawi
maupun ukhrowi, tegas dalam menyatakan prinsip yang dapat
membedakan antara inhirāf (penyimpangan), dan ikhtilāf
(perbedaan). Tawāzun juga memiliki pengertian memberi sesuatu
akan haknya tanpa ada penambahan dan pengurangan 2. Tawāzun,
karena merupakan kemampuan sikap seorang individu untuk
menyeimbangkan kehidupannya, maka ia sangat penting dalam
kehidupan seseorang individu sebagai muslim, sebagai manusia dan
sebagai anggota masyarakat. Melalui sikap tawāzun, seorang muslim
akan mampu meraih kebahagiaan batin yang hakiki dalam bentuk
ketenangan jiwa dan ketenangan lahir dalam bentuk kestabilan dan
ketenangan dalam aktivitas hidup.
2
Tim Penyusun Kementerian Agama RI, Moderasi Beragama, Jakarta: Badan
Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, 2019, h.29
8
d. Tasāmuh (toleransi)
Tasāmuh berarti toleransi. Di dalam kamus lisan al-Arab kata
tasāmuh diambil dari bentuk asal kata samah, samahah yang dekat
dengan makna kemurahan hati, pengampunan, kemudahan, dan
perdamaian, (Siradj: 2013, 91). Secara etimologi, tasāmuh adalah
menoleransi atau menerima perkara secara ringan. Sedangkan secara
terminologi, tasāmuh berarti menoleransi atau menerima perbedaan
dengan ringan hati (Masduqi: 2011, 36).
Tasāmuh merupakan pendirian atau sikap seseorang yang
termanifestasikan pada kesediaan untuk menerima berbagai
pandangan dan pendirian yang beraneka ragam, meskipun tidak
sependapat dengannya4. Tasāmuh atau toleransi ini erat kaitannya
dengan masalah kebebasan atau kemerdekaan hak asasi manusia dan
tata kehidupan bermasyarakat, sehingga mengizinkan berlapang dada
terhadap adanya perbedaan pendapat dan keyakinan dari setiap
individu. Orang yang memiliki sifat tasāmuh akan menghargai,
3
Darlis, Mengusung Moderasi Islam di Tengah Masyarakat Multikultural, Jurnal
Rausyan Fikr, Vol. 13 No.2 Desember 2017, h. 230-231
4
Mohammad Hashim Kamali, The Middle Path of Moderation in Islam (Oxford
University Press, 2015), h.14
9
e. Musāwah (Egaliter)
Secara bahasa, musawah berarti persamaan. Secara istilah,
musāwah adalah persamaan dan penghargaan terhadap sesama
manusia sebagai makhluk Allah. Semua manusia memiliki harkat
dan martabat yang sama tanpa memandang jenis kelamin, ras
ataupun suku bangsa. ini menunjukkan kesamaan derajat
kemanusiaan baik laki-laki maupun perempuan. Intinya antara laki-
laki dan perempuan adalah sama tidak ada perbedaan antara satu dan
yang lainnya. Musāwah dalam Islam memiliki prinsip yang harus
diketahui oleh setiap muslim, yaitu persamaan adalah buah dari
keadilan dalam Islam5. Setiap orang sama, tidak ada keistimewaan
antara yang satu melebihi lainnya, memelihara hak-hak non muslim,
persamaan laki-laki dan perempuan dalam kewajiban agama dan
lainnya, perbedaan antara manusia dalam masyarakat, persamaan di
depan hukum, dan persamaan dalam memangku jabatan publik, serta
persamaan didasarkan pada kesatuan asal bagi manusia.
f. Syurā (musyawarah)
5
Salah Abu As-Sa’ud, Al-Mu’tazilah; Nasyatuhu, Firaquhum, Arauhum al-
Fikriyah, (Al-Jazirah: Makbtabah al-Nafidzah, 2004), h. 60.
10
6
Abd. Rauf Amin, Moderasi dalam Tradisi Pakar Hukum Islam(Wacana dan
Karakteristik) dalam Kontruksi Islam Moderat, (Yokyakarta: ICATT Press, 2012), h. 73-77
11
8
Afifuddin Harisah, Islam:Eksklusivisme atau Inklusivisme? Menemukan Teologi Islam
Moderat, dalam Kontruksi Islam Moderat, (Yogyakarta: ICCAT Press, 2012), h.43
13
menghina dan tidak saling mencerca, sehingga tidak timbul kekerasan yang
tidak diinginkan dalam agama. Oleh karena itu, sangat tepat dilaksanakan
dialok agama secara bijak dan lembut, agar mereka dapat menyadari kesalahan
mereka secara akal sehat dan jernih. Namun ketika non muslim memusuhi dan
memerangi serta mengusir umat Islam, maka semua yang dibolehkan tersebut
menjadi terlarang.(W, 2022)
9
Afifuddin Harisah, Islam:Eksklusivisme atau Inklusivisme? Menemukan Teologi Islam
Moderat, dalam Kontruksi Islam Moderat, (Yogyakarta: ICCAT Press, 2012), h.43
10
Darlis, Mengusung Moderasi Islam di Tengah Masyarakat Multikultural, Jurnal
Rausyan Fikr, Vol. 13 No.2 Desember 2017, h. 247-248
14
11
Afifuddin Harisah, Islam:Eksklusivisme atau Inklusivisme? Menemukan Teologi Islam
Moderat, dalam Kontruksi Islam Moderat, (Yogyakarta: ICCAT Press, 2012), h.43
16
KESIMPULAN
17
DAFTAR PUSTAKA