Anda di halaman 1dari 21

MODERASI BERAGAMA

Realisasi Moderasi Beragama Di Ranah Pendidikan

MAKALAH

Dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Ke DDI-an II

DOSEN PEMBIMBING :

H. Hermanto, S.Ag., M.Ag.

DISUSUN OLEH :

AISYAH RAMADHANI
(NIM: 2102010008)

PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM

DARUD DA’WAH WAL IRSYAD

(STAI-DDI) PINRANG

2022
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang, segala puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT Tuhan
semesta alam, yang telah mencurahkan rahmat dan karunia-Nya, sholawat serta
salam tak lupa pula kami haturkan kepada junjungan kita Nabi agung Muhammad
SAW, yang telah membawa cahaya islam dan menerangi dunia dengan cahaya
islam.

Berkat rahmat dan Inayah-Nya kami dapat menyelesaikan karya tulis


ilmiah berupa makalah ini dengan tepat waktu. Adapun makalah ini kami berjudul
“Realisasi Moderasi Beragama Di Ranah Pendidikan”Ini disusun berdasarkan data
yang diperoleh oleh penulis dari sumber, sihingga penulis dapat menyusun dengan
baik.

Kami selaku penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam


penyusunan makalah ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman saya.
Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritikan dan saran yang bersifat
membangun dari pembaca. Penulis berharap agar makalah ini bermanfaat bagi
masyarakat umum, para pembaca dan juga bagi penulis sendiri. Semoga Allah
SWT senantiasa menjadikan kita semua berada dalam keridhoan-Nya dalam
menempuh hidup ini. Aamiin

Pinrang, 28 Mei 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................i

DAFTAR ISI............................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1

A. Latar Belakang..............................................................................................1

B. Rumusan Masalah.........................................................................................4

C. Tujuan Masalah.............................................................................................4

BAB II PEMBAHASAN.........................................................................................5

A. Konsep Moderasi Beragama.........................................................................5

1. Pengertian Moderasi Beragama.................................................................5

2. Prinsip-Prinsip Moderasi Beragama..........................................................6

B. Tantangan dan Peluang Moderasi Beragama..............................................13

1. Tantangan Moderasi Beragama...............................................................13

2. Peluang Moderasi Bergama.....................................................................15

BAB III KESIMPULAN........................................................................................17

DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Sejak pemerintah melalui kementerian agama mencoba mengenalkan


moderasi beragama di kalangan masyarakat luas, beragam tanggapan
bermunculan, mulai dari kalangan bawah sampai kalangan elit. Tidak sedikit
dari golongan terpelajar berbeda pendapat dalam menerima gagasan moderasi
beragama ini. Seolaholah gagasan moderasi beragama yang dimunculkan
tersebut adalah barang baru yang harus betul-betul dicermati jangan sampai
salah ambil yang berakibat fatal bagi pemeluk agama yang ada di Indonesia.
Oleh karena itu, tidak heran jika dalam hal moderasi beragama ini, ada dua
pemikiran di kalangan umat Islam. Golongan pertama adalah yang
mendukung penuh tentang moderasi dan yang kedua adalah, golongan yang
tidak setuju tentang moderasi. Kubu yang tidak setuju tentang moderasi
adalah mereka yang mempunyai pendapat bahwa istilah moderasi merupakan
istilah yang dibuat “Barat” sehingga harus ditolak. Begitupun dengan kata
“Barat” yang memiliki makna khusus dan memiliki kriteria umum untuk
dikatakan sebagai Islam yang moderat. Sementara itu dari kubu yang
mendukung secara mutlak, mereka mengatakan bahwa moderasi dalam Islam
adalah berazaskan Alquran dan ḥadis, yang mana keduanya tersebut adalah
pilar dalam ajaran Islam (Buseri, 2015).
Bagi golongan yang tidak setuju tentang moderasi beragama, mereka
mengeluarkan argumentasi bahwa “moderasi beragama yang dikehendaki
Barat ternyata tidak seperti yang diinginkan Islam. Barat membangun dan
mengutamakan moderasi beragama lebih mengarah kepada sekularisasi dan
liberalisasi agama. Dari sinilah proyek ini oleh banyak kalangan muslim yang
sudah tercerahkan tidak setuju, karena moderasi beragama yang dimaksud
“Barat” bukan ajaran inti dari Islam, akan tetapi moderasi beragama telah
dieksploitasi oleh Barat menjadi senjata untuk menghancurkan Islam”

1
2

(Muḥammad Amin, 2014). Terlepas dari pro dan kontra dengan pandangan di
atas yang jelas pemerintah melalui menteri agama meminta kepada lembaga
pendidikan, khususnya Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKIN) untuk
menjadi Pusat Pengembangan Moderasi Beragama. Menteri Agama Yaqut
Cholil Qoumas mengatakan; “upaya pelembagaan moderasi beragama perlu
kontribusi konkrit dari PTKIN sebagai pusat moderasi dalam perspektif
Islam. PTKIN harus mampu menjadi Pusat Pengembangan Moderasi
Beragama. Karenanya, PTKIN dituntut menjadikan moderasi beragama
sebagai salah satu isu utama dalam aktifitas belajar mengajar, riset, dan
pengabdian masyarakat, dengan fokus pada kajian keislaman, keindonesiaan,
dan kemanusiaan” (Qoumas, 2021).
Menurut Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas ada dua prinsip kunci
dalam Moderasi Beragama yaitu adil dan berimbang. Tentu dua prinsip kunci
tersebut sangat penting dalam era disrupsi teknologi dan informasi seperti
sekarang ini, yaitu ketika setiap individu mengalami banjir informasi.
Moderasi beragama sejatinya dapat dijadikan sebagai nilai yang bermanfaat
untuk mengelola informasi serta meminimalisir berita bohong atau hoaks.
Moderasi beragama memberi pelajaran untuk berfikir dan bertindak
bijaksana, tidak fanatik oleh satu pandangan keagamaan seseorang atau
kelompok saja, tanpa mempertimbangkan pandangan keagamaan orang atau
kelompok lainnya (Qoumas, 2021).
Moderasi beragama menghasilkan keseimbangan dalam praktik
beragama dan dapat menjauhkan diri dari sikap berlebihan, revolusioner, dan
fanatik dalam beragama. 6Keberagaman di negeri ini juga dapat berkembang
dengan adanya moderasi beragama. Hal tersebut dikarenakan faktor kultur
masyarakat yang majemuk sehingga cocok untuk digunakan di Indonesia.
Moderasi beragama sudah lama diterapkan di Indonesia.
Terbuktidengan kepercayaan yang ada dan diakui di Indonesia
semuanya mengenal apa itu moderasi beragama. Seperti pada ajaran agama
Islam terdapat penjelasan konsep mengenai washatiyah yang bermakna
sepadan atau sama dengan tawasuth yang memiliki arti tengah tengah, i’tidal
3

yang memiliki arti adil, dan tawazun yang memiliki arti berimbang.
Sedangkan dalam umat Kristen, arti dari moderasi beragama yaitu cara
pandang untuk dapat mengetahui ekstrimisme terkait dengan tafsir terhadap
ajaran agama Kristen dimana ajaran tersebut dipahami oleh sebagian umat
Kristen.9 Selain itu dalam persepektif Gereja Katolik moderasi beragama
yang memiliki istilah ”moderat” yang biasa yakni “terbuka”
Perlu adanya suatu pemahaman yang menyeluruh dan komprehensif
sehingga suatu tindakan yang dilakukan tidak bertentangan dengan
kemaslahatan bersama. Hal tersebut dapat dicapai dengan adanya
perencanaan dan penanganan yang matang. Lembaga pendidikan memiliki
peran yang penting dan strategis untuk dapat memupuk moderasi beragama.
Hal tersebut dapat dicapai melalui adanya pendekatan edukatif dengan
memperhatikan nilai-nilai perdamaian yang kemudian diinternalisasikan ke
dalam kurikulum pendidikan sekolah. Dengan demikian, tindakan kekerasan,
radikalisme, ekstremisme, dan tindakan buruk lainnya dapat ditangani dengan
baik sedari dini.
Terdapat beberapa hal yang menjadi latar belakang mengapa moderasi
beragama perlu untuk dibangun, yakni : 1) Ketahanan dan perlindungan hak
kebudayaan cenderung melemah; 2) Pendidikan karakter, budi pekerti,
kewarganegaraan, dan kebangsaan yang masih belum maksimal; 3) Upaya
memajukan kebudayaan Indonesia yang belum optimal; 4) Pemahaman dan
pengamalan nilai-nilai agama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara
yang masih minim; 5) Peran keluarga dalam upaya pembangunan karakter
bangsa belum menunjukkan hasil yang maksimal; dan 6) Budaya literasi,
inovasi dan kreativitas yang belum diinternalisasikan secara lebih mendalam.
Olehnya itu penelitian ini hadir untuk melihat bagaimana “Realisasi
Moderasi Beragama Di Ranah Pendidikan”
4

2. Rumusan Masalah

1. Bagaimana realisasi moderasi beragama di ranah pendidikan?


2. Bagaimana peluang dan tantangan realisasi beragama di ranah
pendidikan?

3. Tujuan Masalah

1. Mengetahui realisasi moderasi beragama di ranah pendidikan


2. Mengetahui peluang dan tantangan realisasi beragama di ranah
pendidikan
BAB II

PEMBAHASAN

A. Konsep Moderasi Beragama

2. Pengertian Moderasi Beragama

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI: 2005, 751) kata


‘moderasi’ diambil dari kata moderat yang berarti mengacu kepada
makna perilaku atau perbuatan yang wajar dan tidak menyimpang,
berkecenderungan ke arah dimensi atau jalan tengah, pandangannya
cukup, dan mau mempertimbangkan pandangan pihak lain.
Dilihat dari pengertian secara umum, moderasi beragama berarti
mengedepankan keseimbangan dalam hal keyakinan, moral, dan watak
sebagai ekspresi sikap keagamaan individu atau kelompok tertentu.
Perilaku keagamaan yang didasarkan pada nilai-nilai keseimbangan
tersebut konsisten dalam mengakui dan memahami individu maupun
kelompok lain yang berbeda. Dengan demikian, moderasi beragama
memiliki pengertian seimbang dalam memahami ajaran agama, di mana
sikap seimbang tersebut diekspresikan secara konsisten dalam
memegangi prinsip ajaran agamanya dengan mengakui keberadaan pihak
lain. Perilaku moderasi beragama menunjukkan sikap toleran,
menghormati atas setiap perbedaan pendapat, menghargai kemajemukan,
dan tidak memaksakan kehendak atas nama paham keagamaan dengan
cara kekerasan.
Sementara dalam bahasa Arab, kata moderasi biasa diistilahkan
dengan “wasath” atau “wasathiyyah”; orangnya disebut “wasith”. Kata
“wasit” sendiri sudah diserap ke dalam bahasa Indonesia yang memiliki
tiga pengertian, yaitu 1) penengah, pengantara (misalnya dalam
perdagangan, bisnis, dan sebagainya), 2) pelerai (pemisah, pendamai)
antara yang berselisih, dan 3) pemimpindi pertandingan. Yang jelas,

5
6

menurut pakar bahasa Arab, kata tersebut merupakan “segala yang baik
sesuai objeknya”.

3. Prinsip-Prinsip Moderasi Beragama

Moderasi merupakan sikap jalan tengah atau sikap keragaman yang


hingga saat ini menjadi terminologi alternatif di dalam diskursus
keagamaan, baik di tingkat global maupun loka1. Moderasi masih
dianggap sebagai sikap keragaman yang paling ideal ketika di tengah
kemelut konflik keagamaan mulai memanas. Beberapa prinsip moderasi
beragama yang berhubungan dengan kosep Islam wasathiyah adalah
sebagai berikut:

a. Tawassuth (mengambil jalan tengah)


Tawassuth adalah pemahaman dan pengamalan agama yang
tidak ifrāth, yakni berlebih-lebihan dalam beragama dan tafrīth, yaitu
mengurangi ajaran agama.Tawassuth adalah sikap tengah-tengah
atau sedang di antara dua sikap, yaitu tidak terlalu jauh ke kanan
(fundamentalis) dan terlalu jauh ke kiri (liberalis). Dengan sikap
tawassuth ini, Islam akan mudah diterima di segala lapisan
masyarakat. Karakter tawassuth dalam Islam adalah titik tengah di
antara dua ujung dan hal itu merupakan kebaikan yang sejak semula
telah diletakkan Allah SWT. Nilai tawassuth yang sudah menjadi
prinsip dalam Islam ini perlu diterapkan dalam segala bidang supaya
agama Islam dan ekspresi keagamaan umat Islam menjadi saksi
pengukur kebenaran bagi semua sikap dan tingkah laku manusia
pada umumnya.
Hal yang perlu diperhatikan dalam penerapan tawasuth ialah,
pertama, tidak bersikap ekstrem dalam menyebarluaskan ajaran
agama. Kedua, tidak mudah mengafirkan sesama muslim karena
perbedaan pemahaman agama. Ketiga, memposisikan diri dalam
1
Tim Penyusun Kementerian Agama RI, Moderasi Beragama, Jakarta: Badan
Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, 2019, h.16
7

kehidupan bermasyarakat dengan senantiasa memegang teguh


prinsip persaudaraan (ukhuwah) dan toleransi (tasāmuh), hidup
berdampingan dengan sesama umat Islam maupun warga negara
yang memeluk agama lain (Thoha: 2013, 11).

b. Tawāzun (berkeseimbangan)
Tawāzun adalah pemahaman dan pengamalanagama secara
seimbang yang meliputi semua aspek kehidupan, baik duniawi
maupun ukhrowi, tegas dalam menyatakan prinsip yang dapat
membedakan antara inhirāf (penyimpangan), dan ikhtilāf
(perbedaan). Tawāzun juga memiliki pengertian memberi sesuatu
akan haknya tanpa ada penambahan dan pengurangan 2. Tawāzun,
karena merupakan kemampuan sikap seorang individu untuk
menyeimbangkan kehidupannya, maka ia sangat penting dalam
kehidupan seseorang individu sebagai muslim, sebagai manusia dan
sebagai anggota masyarakat. Melalui sikap tawāzun, seorang muslim
akan mampu meraih kebahagiaan batin yang hakiki dalam bentuk
ketenangan jiwa dan ketenangan lahir dalam bentuk kestabilan dan
ketenangan dalam aktivitas hidup.

c. I'tidāl (lurus dan tegas)


Secara bahasa, i’tidāl memiliki arti lurus dan tegas, maksudnya
adalah menempatkan sesuatu pada tempatnya dan melaksanakan hak
dan memenuhi kewajiban secara proporsional. I’tidāl merupakan
bagian dari penerapan keadilan dan etika bagi setiap muslim.
Keadilan yang diperintahkan Islam diterangkan oleh Allah supaya
dilakukan secara adil, yaitu bersifat tengah-tengah dan seimbang
dalam segala aspek kehidupan dengan menunjukkan perilaku ihsan.
Adil berarti mewujudkan kesamaan dan keseimbangan di antara hak

2
Tim Penyusun Kementerian Agama RI, Moderasi Beragama, Jakarta: Badan
Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, 2019, h.29
8

dan kewajiban. Hak asasi tidak boleh dikurangi karena disebabkan


adanya kewajiban. Tanpa mengusung keadilan, nilai-nilai agama
terasa kering dan tiada bermakna, karena keadilan menyentuh hajat
hidup orang banyak (Maarif: 2017, 143).
Moderasi harus senantiasa mendorong upaya
untuk ᨊ mewujudkan keadilan sosial yang dalam agama dikenal
dengan al-mashlahah al-‘āmmah3. Dengan berdasar pada al-
mashlahah al-‘āmmah, fondasi kebijakan publik akan membawa
esensi agama di ruang publik. Setiap pemimpin mempunyai
tanggung jawab untuk menerjemahkannya dalam kehidupan nyata
untuk kepentingan publik (Misrawi: 2010, 13).

d. Tasāmuh (toleransi)
Tasāmuh berarti toleransi. Di dalam kamus lisan al-Arab kata
tasāmuh diambil dari bentuk asal kata samah, samahah yang dekat
dengan makna kemurahan hati, pengampunan, kemudahan, dan
perdamaian, (Siradj: 2013, 91). Secara etimologi, tasāmuh adalah
menoleransi atau menerima perkara secara ringan. Sedangkan secara
terminologi, tasāmuh berarti menoleransi atau menerima perbedaan
dengan ringan hati (Masduqi: 2011, 36).
Tasāmuh merupakan pendirian atau sikap seseorang yang
termanifestasikan pada kesediaan untuk menerima berbagai
pandangan dan pendirian yang beraneka ragam, meskipun tidak
sependapat dengannya4. Tasāmuh atau toleransi ini erat kaitannya
dengan masalah kebebasan atau kemerdekaan hak asasi manusia dan
tata kehidupan bermasyarakat, sehingga mengizinkan berlapang dada
terhadap adanya perbedaan pendapat dan keyakinan dari setiap
individu. Orang yang memiliki sifat tasāmuh akan menghargai,

3
Darlis, Mengusung Moderasi Islam di Tengah Masyarakat Multikultural, Jurnal
Rausyan Fikr, Vol. 13 No.2 Desember 2017, h. 230-231
4
Mohammad Hashim Kamali, The Middle Path of Moderation in Islam (Oxford
University Press, 2015), h.14
9

membiarkan, membolehkan pendirian, pendapat, pandangan,


kepercayaan kebiasaan, kelakuan dan sebagainya yang berbeda
dengan pendiriannya. Tasāmuh berarti suka mendengar dan
menghargai pendapat orang lain. Ketika tasāmuh mengandung arti
kebesaran jiwa, keluasan pikiran, dan kelapangan dada, maka
ta’āshub adalah kekerdilan jiwa, kepicikan pikiran dan kesempitan
dada.

e. Musāwah (Egaliter)
Secara bahasa, musawah berarti persamaan. Secara istilah,
musāwah adalah persamaan dan penghargaan terhadap sesama
manusia sebagai makhluk Allah. Semua manusia memiliki harkat
dan martabat yang sama tanpa memandang jenis kelamin, ras
ataupun suku bangsa. ini menunjukkan kesamaan derajat
kemanusiaan baik laki-laki maupun perempuan. Intinya antara laki-
laki dan perempuan adalah sama tidak ada perbedaan antara satu dan
yang lainnya. Musāwah dalam Islam memiliki prinsip yang harus
diketahui oleh setiap muslim, yaitu persamaan adalah buah dari
keadilan dalam Islam5. Setiap orang sama, tidak ada keistimewaan
antara yang satu melebihi lainnya, memelihara hak-hak non muslim,
persamaan laki-laki dan perempuan dalam kewajiban agama dan
lainnya, perbedaan antara manusia dalam masyarakat, persamaan di
depan hukum, dan persamaan dalam memangku jabatan publik, serta
persamaan didasarkan pada kesatuan asal bagi manusia.

f. Syurā (musyawarah)

5
Salah Abu As-Sa’ud, Al-Mu’tazilah; Nasyatuhu, Firaquhum, Arauhum al-
Fikriyah, (Al-Jazirah: Makbtabah al-Nafidzah, 2004), h. 60.
10

Kata Syurā berarti menjelaskan, menyatakan atau mengajukan


dan mengambil sesuatu. Syurā atau musyawarah adalah saling
menjelaskan dan merundingkan atau saling meminta dan menukar
pendapat mengenai sesuatu perkara. musyawarah memiliki
kedudukan tinggi dalam Islam. Di samping merupakan bentuk
perintah Allah, musyawarah pada hakikatnya juga dimaksudkan
untuk mewujudkan sebuah tatanan masyarakat yang demokratis. Di
sisi lain, pelaksanaan musyawarah juga merupakan bentuk
penghargaan kepada tokoh dan para pemimpinmasyarakat untuk
berpartisipasi dalam urusan dan kepentingan bersama.

1. Pengembangan Moderasi Beragama di Ranah Pendidikan


Lembaga pendidikan sangat tepat menjadi “laboratorium moderasi
beragama”.Seperti yang telah dipahami bahwa bangsa Indonesia merupakan
bangsa yang memiliki ragam suku dan agama.Indonesia memiliki kekhasan
yang unik, tetapi penuh dengan tantangan.sekolah sebagai institusi pendidikan
dapat menumbuhkan pola pikir moderasi beragama dengan kondisi bahwa
pandangan eksklusif dan tindakan ekstremisme kekerasan dalam jubah agama
akan merusak sendi serta tenun kebangsaan yang majemuk.(Sutrisno, 2019)
Di sinilah pentingnya “batu pertama” moderasi beragama dibangun atas
dasar filosofi universal dalam hubungan sosial kemanusiaan. Lembaga
pendidikan menjadi sarana tepat guna menyebarkan sensitivitas peserta didik
pada ragam perbedaan. Membuka ruang dialog, guru memberikan pemahaman
bahwa agama membawa risalah cinta bukan benci dan sistem di sekolah
leluasa pada perbedaan tersebut.Tidak hanya itu, rekomendasi yang
dikeluarkan risalah Jakarta salah satunya berbunyi pemerintah harus
memimpin gerakan penguatan keberagamaan yang moderat sebagai arus
utama, dengan mempromosikan pentingnya kehidupan beragama secara
moderat sebagai panduan spiritual dan moral6.

6
Abd. Rauf Amin, Moderasi dalam Tradisi Pakar Hukum Islam(Wacana dan
Karakteristik) dalam Kontruksi Islam Moderat, (Yokyakarta: ICATT Press, 2012), h. 73-77
11

Dalam beberapa tahun terakhir, kecenderungan sikap intoleran kita kian


menguat, baik secara internal umat beragama maupun secara eksternal. Kasus
persekusi, pembakaran rumah ibadah, dan semua bentuk tindakan kekerasan
kerap menjadi hal lumrah yang dikedepankan, tawuran antar pelajar menjadi
wajah buram bagi institusi pendidikan kita.
Misalnya, riset Maarif Institute (2011), Setara Institute (2015), dan
Wahid Foundation (2016) menunjukkan bahwa kelompok-kelompok
radikal telah secara masif melakukan penetrasi pandangan radikal di kalangan
generasi muda melalui institusi pendidikan. Kemudian, diperkuat beberapa
survei yang menunjukkan bahwa siswa maupun mahasiswa kecenderungan
sikap intoleransi dan radikalisme cukup mengkhawatirkan, guru pun
demikian. Gejala intoleransi dan radikalisme berbasis agama akan cenderung
lebih besar daripada persoalan etnisitas. Kemudian intoleransi dan radikalisme
juga terjadi dalam media sosial.
Dalam buku yang diterbitkan Maarif Institute, Menjaga Benteng
Kebhinekaan di Sekolah, melihat ada tiga pintu utama bagaimana pemahaman
radikal dan intoleransi melakukan penetrasi di lingkungan sekolah; pertama,
kegiatan ekstrakurikuler.7 Kedua, peran guru dalam proses belajar mengajar.
Ketiga, melalui kebijakan sekolah yang lemah dalam mengontrol masuknya
radikalisme di sekolah. Jika kita melihat data dan temuan tersebut,
kecenderungan intoleransi dan menguatnya radikalisme di sekolah sudah
sangat memprihatinkan. Oleh karena itu, di sinilah letak strategisnya
pengarusutamaan moderasi beragama perlu dilakukan.
Ruang sekolah sejatinya menjadi lahan tersemainya gagasan
kebangsaan, menanamkan nilai-nilai multikulturalisme, membawa pesan
agama dengan lebih damai, dan menebarkan cinta pada kemanusiaan. Hal itu
mewujud dalam kurikulum yang berorientasi pada moderasi beragama.
Sekolah paling tidak menjadi ruang pengenalan antara NU dan
Muhammadiyah, terutama sekolah-sekolah negeri dan sekolah swasta yang
7
Radwan Jamal el-Atrash dan Nahswan Abdo Khalid Qaid, al-Jazur al - Tarikhiyyah li
al-Tafsir al-Maqashidi li al-Qur’an al-Karim.Majallah al-Islam fi Asiya, No. 1 (Malaysia: UII,
2011), h. 220.
12

berafiliasi pada dua ormas tersebut.Sebetulnya, kita sudah memiliki modal


sosial yang kuat, kemajemukan masyarakat menjadi potret bangsa
kita.Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah sebagai organisasi Islam
moderat di Indonesia perlu aktif mengambil peran sebab keduanya kalah
pamor dengan ideologi transnasional yang menginginkan perubahan sistem
politik Indonesia.
Mereka lebih setia pada gerakan itu dan menafikan kemajemukan
Indonesia, misalnya, berkeinginan untuk menjadikan Indonesia sebagai negara
khilafah islamiah atau ada yang mengusung NKRI bersyariah. Kedua
kelompok itu lupa bahwa kita sudah bersepakat pada Pancasila dan UUD
1945.
Ada beberapa langkah strategis yang bisa dijalankan pemerintah;
pertama, moderasi beragama harus menjadi perhatian pemerintah dalam
membuat narasi rencana pembangunan jangka panjang nasional (RPJPN),
sebagai keseriusan pemerintah dalam menggaungkan moderasi beragama di
kalangan umat beragama di Indonesia.8 Kedua, melibatkan lembaga
pendidikan: pesantren, madarasah dan sekolah lebih juga perguruan tinggi
lebih juga lembaga non formal lainnya dalam memperkuat nilai- nilai
kemanusiaan, nilai-nilai kerukunan beragama, dan moderasi beragama.
Ketiga, mengembangkan literasi keagamaan (religious literacy) dan
pendidikan lintas iman (interfaith education). Keempat, sekolah mesti
memperbanyak praktik pengalaman keagamaan yang berbeda sehingga kita
bisa menjalin kerja sama antar pemeluk agama.
Moderasi beragama dalam tinjauan pendidikan dimaknai dengan
pentingnya keseimbanganhidup bagi muslim. Selogan “rahmatan lil ‘alamin”
yang tertuang dalam Alqur’an bermakna bahwa Islam datang membawa
kesejukan dan kedamaian antar agama. Menurut Hamka moderasi beragama
adalah saling bantu membantu dalam bertetangga, saling menghormati dalam
arti memberi kebebasan dalam menjalankan ibadah masing-masing, bukan

8
Afifuddin Harisah, Islam:Eksklusivisme atau Inklusivisme? Menemukan Teologi Islam
Moderat, dalam Kontruksi Islam Moderat, (Yogyakarta: ICCAT Press, 2012), h.43
13

menghina dan tidak saling mencerca, sehingga tidak timbul kekerasan yang
tidak diinginkan dalam agama. Oleh karena itu, sangat tepat dilaksanakan
dialok agama secara bijak dan lembut, agar mereka dapat menyadari kesalahan
mereka secara akal sehat dan jernih. Namun ketika non muslim memusuhi dan
memerangi serta mengusir umat Islam, maka semua yang dibolehkan tersebut
menjadi terlarang.(W, 2022)

D. Tantangan dan Peluang Moderasi Beragama

1. Tantangan Moderasi Beragama


Indonesia dengan keanekaragaman budaya,agama, suku, bahasa
yang dimilikinya menunjuk- kan sebagai salah satu bangsa yang
memiliki masyarakat multikultural. Keanekaragaman menjadi rahmat
tersendiri jika dikelola dengan baik, menjadi keunikan dan kekuatan,
namun pluralitas demikian dapat menjadi tantangan jika tidak disikapi
dengan bijak dan arif, dapat menjadi ancaman perpecahan dan
perseteruan yang dapat mengoyak keamanan sosial.Keragaman budaya
merupakan peristiwa alami karena bertemunya berbagai perbedaan
budaya di suatu tempat, setiap individu dan kelompok suku bertemu
dengan membawa perilaku budaya masing-masing, memiliki cara yang
khas dalam hidupnya9. Konsep multi budaya berbeda dengan konsep
lintas budaya sebagai-mana pengalaman bangsa Amerika yang beragam
budaya karena hadirnya beragam budaya dan berkumpul dalam suatu
negara. Dalam konsep multibudaya perbedaan individu meliputi cakupan
makna yang luas, sementara dalam konsep lintas budaya perbedaan etnis
yang menjadi fokus perhatian. Multikulturalisme secara kebahasaan
dapat dipahami dengan paham banyak kebudayaan.10 Kebudayaan dalam
pengertian sebagai idiologi dan sekaligus sebagai alat menuju derajat

9
Afifuddin Harisah, Islam:Eksklusivisme atau Inklusivisme? Menemukan Teologi Islam
Moderat, dalam Kontruksi Islam Moderat, (Yogyakarta: ICCAT Press, 2012), h.43
10
Darlis, Mengusung Moderasi Islam di Tengah Masyarakat Multikultural, Jurnal
Rausyan Fikr, Vol. 13 No.2 Desember 2017, h. 247-248
14

kemanusiaan tertinggi. Maka untuk itu penting melihat kebudayaan


secara fungsional dan secara operasional dalam pranata-pranata sosial.
Secara istilah dikenal multikulturalisme deskriptif dan
multikulturalisme normatif. Multi-kulturalisme deskriptif adalah
kenyataan sosial yang mencerminkan adanya kemajemukan (pluralistik).
Sedangkan multikulturalisme normatif berkaitan dengan dasar-dasar
moral, yaitu adanya ikatan moral dari para warga dalam lingkup negara/
bangsa untuk melakukan sesuatu yang menjadi kesepakatan bersama
(Nugraha, 2008), dan multikulturalisme normatif itulah tampaknya yang
kini dikembangkan di Indonesia.
Konsep multikulturalisme tidak asing didunia Islam, setidaknya
memiliki pengalaman historis yang menguatkan bahwa Islam meng-
hargai keragaman, sebagaimana dipraktikan Rasul dalam pemerintahan
Madinah.
Multikultralisme memiliki relevansi dengan ajaran Islam antara lain
dalam toleransi, perdamaian dan keadilan. a] Toleransi, sebagaimana Al-
Qur’an Surat Al Hujuraat : 13 yang menegaskan bahwa Allah telah
menciptakan manusia dengan bermacam-macam suku bangsa agar
manusia saling mengenal. Bahwa perbedaan tidak boleh menjadi ajang
konflik, karenanya harus dihargai. Dengan saling mengenal maka jalan
menuju kehidupan multikultural akan terbuka. b] Perdamaian. Islam
berasal dari akar kata ”al-Salam ” yang berarti perdamaian. Islam
mengajak umatnya untuk melakukan dan menyebarkan perdamaian di
muka bumi. Dalam QS al-Baqarah [2] : 208, ”Udkhulu fi al-silmi kaffah
” - yang selama ini sering diterjemahkan ”masuklah ke dalam agama
Islam secara kaffah” jika mengunakan konsep multikultural ada yang
melakukan reorentasi pemahaman yang mendekati konsep multi-
kulturalisme yaitu dengan menyatakannya sebagai kebersediaan untuk
masuk ke dalam perdamaian secara kaffah (total). Makna ini berbeda
dengan makna secara literer yang menegaskan perbedaan secara sepihak,
dan menafikan keberadaan entitas lain dalam kehidupan. c] Keadilan.
15

Multikultural menekankan berlaku adil dalam memandang dan bersikap


terhadap orang atau kelompok lain. Al-Qur’an (Surat al-Maidah [5] : 8)
”Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum
mendorong kamu untuk berlaku tidak adil ”. Ayat ini mengajak untuk
berlaku adil sekalipun terhadap orang atau kelompok yang memusuhi
kita. Berlaku adil maksudnya hendaklah kita tetap berlaku ”obyektif”
terhadap mereka. Jika prinsip ini menjadi ruh kehidupan kita, maka
kehidupan multi-kultural akan dapat terwujud.
Kenyataannya, sulit untuk mengubah pola fikir hasil indoktrinasi
kecuali subjek yang bersangkutan mau membuka pikiran. Tanpa
penanganan yang tepat, proses deradikalisasi justru akan menimbulkan
radikalisme yang baru. Penanganan isu radikalisme dengan cara-cara
frontal dikhawatirkan akan memunculkan gerakan radikal yang lebih
baru, lebih luas dan lebih mendalam. 11 Cepat atau lambat, jika generasi
muda tidak diberikan wawasan moderasi beragama, perpecahan dan
perang saudara akan terjadi. Dan hal ini tentu tidak bisa dibiarkan
terjadi.(Muhaini, 2021)

2. Peluang Moderasi Bergama


Moderasi beragama serumit apapun sejatinya memiliki peluang
untuk berkembang ditengah-tengah generasi milenial. Sikap moderat
dalam beragama dapat membantu generasi milenial memperoleh
kesempatan berkarya yang lebih tinggi. Sikap moderat membuka
peluang kontak dan interaksi dengan entitas di luar sehingga kesempatan
untuk mengembangkan diri menjadi lebih terbuka.
Secara kultural, moderasi beragama diakui merupakan ruh dan
model keagamaan yang berkembang secara beradab-abad di Nusantara.
Masyarakat nusantara yang pluralistik tapi sangat religious mampu
menjadi role model bagi pengembangan toleransi dan inklusifisme.
Nilai, prinsip dan praktik keagamaan di Nusantara didasarkan pada

11
Afifuddin Harisah, Islam:Eksklusivisme atau Inklusivisme? Menemukan Teologi Islam
Moderat, dalam Kontruksi Islam Moderat, (Yogyakarta: ICCAT Press, 2012), h.43
16

konsep tasammuh dalam agama, tidak ekstrim kiri (radikal fundamental)


dan tidak pula ekstrim kanan (liberal sekuler).
Moderasi beragama memiliki peluang untuk menjadi pelopor
bertoleransi dalam berbagai hal dan konteks, khususnya dalam
menyampaikan pendapat, mengawal kebebasan berkeyakinan dan
menjalankan keyakinan. Generasi milenial adalah generasi yang hidup di
era globalisasi dimana baik secara langsung maupun tidak langsung,
kontak dengan orang-orang yang berbeda secara kultur dan keyakinan
adalah sesuatu yang tidak dapat dihindarkan. Generasi milenial saat ini
memiliki peluang untuk berkolaborasi, bersaing dan menciptakan
kemajuan bersama orang-orang dari berbagai belahan dunia dengan latar
belakang yang berbeda (Ilyas, at al., 2020). Disatu sisi, sikap inklusif
dan terbuka sangat dibutuhkan.(Inayatillah, 2021)
BAB III

KESIMPULAN

Moderasi Islam mengedepankan sikap keterbukaan terhadap perbedaan yang


ada yang diyakini sebagai sunnatullah dan rahmat bagi manusia.Selain itu,
moderasi Islam tercerminkan dalam sikap yang tidak mudah untuk menyalahkan
apalagi sampai pada pengkafiran terhadap orang atau kelompok yang berbeda
pandangan. Moderasi Islam lebih mengedepankan persaudaraan yang
berlandaskan pada asas kemanusiaan, bukan hanya pada asas keimanan atau
kebangsaan.
Oleh karena itu untuk mengaktualisasikan konsep moderasi beragama dalam
konteks masyarakat multikultural: Pertama, menjadikan lembaga pendidikan
sebagai basis laboratorium moderasi beragama. Lembaga pendidikan sangat tepat
menjadi laboratorium moderasi beragama. Seperti yang telah dipahami bahwa
bangsa Indonesia merupakan bangsa yang memiliki ragam suku dan agama.
Indonesia memiliki kekhasan yang unik, tetapi penuh dengan tantangan. Adapun
langkah strategisnya; 1) Moderasi beragama harus menjadi perhatian pemerintah
dalam membuat narasi Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN);
2) Melibatkan lembaga pendidikan: pesantren, madarasah dan sekolah maupun
lembaga non formal lainnya dalam memperkuat nilai-nilai kemanusiaan, nilai-
nilai kerukunan beragama, dan moderasi beragama; 3) Mengembangkan literasi
keagamaan (religious literacy)dan pendidikan lintas iman (interfaith education); 4)
Sekolah harus memperbanyak praktik pengalaman keagamaan yang berbeda
sehingga dapat menjalin kerja sama antar pemeluk agama. Kedua, pendekatan
moderasi sosio-religius dalam beragama dan bernegara

17
DAFTAR PUSTAKA

Inayatillah. (2021). Moderasi Beragama di Kalangan Milenial Peluang,


Tantangan, Kompleksitas dan Tawaran Solusi. Tazkir, 07(1), 123–142.

Kemenag. (2019). Implementasi Moderasi Beragama dalam Pendidikan Agama


Islam. In S. Papay Supriatna, Alip Nuryanto (Ed.), direktorat jendera;
pendidikan indonesia (1st ed.). daulat bangsa.

Mohamad Fahri, A. Z. (2022). Religious Moderation in Indonesian Muslims.


Religions, 13(5), 451. https://doi.org/doi.org/10.19109/intizar.v25i2.5640

Muhaini. (2021). Internalisasi Pendidikan Moderasi Beragama dalam Sistem


Pendidikan Dayah Tradisional di Kota Langsa. (Studi Kasus di Dayah
Tradisonal Raudhatun Najah Kota Langsa). Edukasi Islami: Jurnal
Pendidikan Islam, 10(2), 861–876.
https://doi.org/10.30868/ei.v10i02.1636

Sutrisno, E. (2019). Aktualisasi Moderasi Beragama di Lembaga Pendidikan.


Jurnal Bimas Islam, 12(2), 323–348.
https://doi.org/10.37302/jbi.v12i2.113

W, S. (2022). Konsep Moderasi Beragama dalam Pandangan Pendidikan Hamka.


Edukatif : Jurnal Ilmu Pendidikan, 4(2), 2704–2714.
https://doi.org/10.31004/edukatif.v4i2.2593

Anda mungkin juga menyukai