Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH

MATA KULIAH SEJARAH PERKEMBANGAN


PENDIDIKAN ISLAM

INTEGRASI PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA

DOSEN PENGAMPU:
Prof. Dr. AHMAD M. SEWANG, M.A
Dr. HAMZAH FATHANI, S.Ag., M.Pd.I

DISUSUN
OLEH:

JAMALUDDIN
NIM: 90156123036

NASRIADI
NIM: 90156123015

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM PROGRAM


MAGISTER JURUSAN TARBIYAH DAN KEGURUAN SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM (STAIN) MAJENE
2023
2
KATA PENGANTAR

‫الَحْم ُد ِهلِل َر ِّب الَع اَلِم ْيَن َو الَّص اَل ُة َو الَّس َالُم َع َلى َأْش َر ِف اَالْنِبَياِء َو الُم ْر َسِلْيَن َس ِّيِد َنا ُم َحَّمٍد َو َع َلى‬
‫ َاَّم ا َبْعُد‬. ‫َاِلِه َو َأَص َح ا ِبِه َأْج َم ِع ْيَن‬
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah

melimpahkan rahmat, taufiq dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat

menyelesaikan makalah ini. Sholawat serta salam semoga tetap tercurahkan

kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW yang telah membawa petunjuk

kebenaran untuk seluruh umat manusia dengan mengajarkan ajaran Agama Islam

yang kita harapkan syafaatnya di Dunia dan di Akhirat.

Suatu kebahagian dan kebanggaan tersendiri bagi kami karena dapat

menyelesaikan makalah ini dengan mengumpulkan berbagai referensi sehingga

menjadi sebuah makalah sesuai yang diharapkan. Penulis menyadari bahwa dalam

menyelesaikan makalah ini tidak lepas dari bimbingan, petunjuk dan arahan dari

berbagai pihak, Terutama Bapak Prof. Dr. Ahmad M. Sewang, M.A dan Dr.

Hamzah Fathani, S.Ag., M.Pd.I, selaku dosen pengampu mata kuliah Sejarah

Perkembangan Pendidikan Islam. Olehnya itu, atas bimbingan, petunjuk dan

arahannya saya ucapkan banyak terimakasih.

Polewali, 26 Desember 2023


Penulis,

TTD

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...................................................................................i
DAFTAR ISI................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.............................................................................1
B. Rumusan Masalah........................................................................4

BAB II PEMBAHASAN
A. Integrasi Pendidikan dan Prinsip Dasar Pendidikan Islam..........5
B. Intgerasi Pendidikan Islam di Indonesia......................................10

BAB III PENUTUP


Kesimpulan........................................................................................20

DAFTAR PUSTAKA...................................................................................22

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Wacana Integrasi di Indonesia sudah lama digaungkan sebagaimana yang

tertuang dalam UUSPN Nomor 20 Tahun 2003 pasal 30 yang mewajibkan

penyelenggaraan pendidikan Agama pada semua strata pendidikan sebagai bentuk

kesadaran bersama untuk mencapai kualitas hidup yang utuh.1

Dalam Undang-undang tentang pendidikan ada dua istilah yakni

pendidikan agama dan pendidikan keagamaan. Sistem pendidikan di Indonesia

telah melalui rangkaian proses sejarah yang panjang. Pada masa awal

kemerdekaan saja, misalnya mengutip Muhaimin pemerintah dan bangsa

Indonesia telah mewarisi sistem pendidikan dan pengajaran yang dualistis.

Pertama, sistem pendidikan dan pengajaran pada sekolah-sekolah umum yang

sekuler dan tidak mengenal ajaran agama yang merupakan warisan pemerintah

kolonial Belanda. Kedua, sistem pendidikan dan pengajaran Islam yang tumbuh

dan berkembang di kalangan masyarakat Islam sendiri. Dalam hal ini, terdapat

dua corak, yakni (1) isolative tradisional (menolak segala yang berbau Barat) dan

(2) sintesis dengan berbagai variasi pola pendidikannya.2

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan akan merubah kurikulum

pendidikan 2013. Perubahan yang paling berdasar adalah nantinya pendidikan

akan berbasis science dan tidak berbasis hafalan lagi. Mendikbud M Nuh

1
Ahmad Barizi, Pendidikan Integratif Akar Tradisi dan Integrasi Keilmuan Pendidikan
Islam, (Malang: UIN Maliki Press, 2011), h. 256
2
Achmad Mukhsin, Integrasi Sains dan Agama: Peluang dan Tantangan bagi Universitas
Islam Indonesia, ABHATS: Jurnal Islam Ulil Albab 2.1 (2021), h. 50

1
menyatakan yang paling esensial dari 2013 yang kita rancang, untuk SD itu

pendekatan yang kita gunakan semua berbasis science, anak dikenalkan, mulai

melihat memperhatikan bertanya, observasi, sehingga tidak lagi diorientasikan

kepada hafalan-hafalan, kemudian untuk pendekatan pembelajaran tematik

integratif, jumlah pelajaran bisa di kurangi dari 10 menjadi 6 mata pelajaran.

Namun, jumlah waktunya akan ditambah, sedikitnya menjadi 4 jam dalam

seminggu.3

Sementara, dalam pelaksanaan pendidikan memiliki dua misi utama yaitu

pembinaan daya intelektual dan pembinaan daya moral, Mensinergikan sains dan

Islam (Agama) merupakan sesuatu yang sangat penting, bahkan keharusan, karena

dengan mengabaikan nilai-nilai Agama dalam perkembangan sains dan tekhnologi

akan melahirkan dampak negatif yang luar biasa. Dampak negatif dari

kecendurungan mengabaikan nilai-nilai (moral Agama) bisa kita lihat secara

emperik pada perilaku korup dan lain sebagaianya yang dilakukan oleh manusia

dimuka bumi ini dengan munggunakan kekuatan sains dan tekhnologi.4

Hal di atas mengisyaratkan bahwa implementasi kurikulum pendidikan

Islami mendapatkan porsi yang strategis dalam melengkapi kurikulum pendidikan

umum artinya proses pembelajaran antara pendidikan umum dan agama menjadi

poros utama dalam menciptakan sumber daya manusia yang berwawasan imtak

dan iptek, sehingga nilai tambah yang didapatkan siswa dengan diterapkannya

pembelajaran yang berwawasan Islami, mengarahkan siswa pada moral, akhlak

3
Tim Penyusun Buku, Memadu Sains dan Agama menuju Menuju Universitas Islam
Masa Depan, (Malang: Bayumedia, 2004), h. 11-12
4
Tim Penyusun Buku, Memadu Sains dan Agama menuju Menuju Universitas Islam
Masa Depan, h. 13

2
dan prilaku yang lebih baik, dapat menumbuhkan minat dan kesadaran siswa yang

menghasilkan kecerdasan secara integrated ['kecerdasan komplit'] antara

kecerdasan Intelektual (IQ), kecerdasan Emosional (EQ), kecerdasan Spritiual

(SQ), dan berpusat (bersumber) pada kecerdasan Religi (RQ).5

Mengapa Islamisasi ilmu pengetahuan merupakan langkah solusi alternatif

strategis? Dalam lingkup yang luas, masih adanya anggapan masyarakat yang

menyatakan bahwa tidak terdapat kaitan antara ilmu pengetahuan umum dengan

agama, keduanya bekerja pada wilayah yang berbeda. Inilah salah satu bentuk

dikotomi ilmu yang sudah meresap pada ‘peredaran darah’ masyarakat yang

menimbulkan permasalahan kompleks dan sistemik terhadap pola pendidikan

sehingga perlu untuk diantisipasi.6

Pertentangan dualisme sistim pendidikan ini menghasilkan kehidupan

yang dialami anak-anak menjadi paradoks, disatu sisi mereka mendapatkan materi

moral (agama), disisi lain mereka mendapatkan suguhan-suguhan yang bersifat

amoral seperti kekerasan, porno aksi dan pornografi. Hal ini terjadi secara

mengglobal di dunia. Sampai disini peran pendidikan nilai belum menyentuh

secara menyeluruh.

Dalam lingkup yang lebih spesifik, permasalahan aktual pendidikan agama

di sekolah umum adalah ketidaksesuaian hasil pendidikan agama yang diajarkan

di sekolah dengan tuntutan orangtua dan masyarakat pada umumnya. Pendidikan

agama hanya berorientasi pada proses transfer pengetahuan-agama dan belum

5
Mastuhu, Menata Ulang Pemikiran Sistem Pendidikan Nasional dalam abad 21,
(Malang: Bayumedia, 2004). h. 101
6
Mulyadi Kertanegara, Integrasi Ilmu; Sebuah Rekonstruksi Holistik, (Bandung: Mizan
Pustaka, 2005), h. 19

3
sampai pada pembinaan komitmen moral mereka yang dalam bahasa agama kita

sebut “tammimu makarim al-akhlak”. Orangtua dan masyarakat pada umumnya

memposisikan dirinya “lepas” dari tanggungjawab penyelenggaraan pendidikan

agama. Inilah permasalahan utama pendidikan agama dan umum di sekolah yaitu

terputusnya tiga jaringan yang saling berhubungan dalam pelaksanaan pendidikan

agama yaitu sekolah, keluarga dan masyarakat sebagai suatu kesatuan sistem.7

Berdasarkan uraian diatas ada, pertanyaan besar bagi dunia pendidikan

bagaimana nilai-nilai pendidikan islam pada pembelajaran di sekolah terintegrasi

dengan kebutuhan masyarakat (lingkup makro) dan keluarga (lingkup mikro)

dalam meningkatkan kualitas (nilai) tanggungjawab moral dan akhlak siswa? Hal

ini bertujuan untuk mendeskripsikan penyelenggaraan integrasi pendidikan Islami

di sekolah umum dari sudut pandang keterpaduan antara sekolah, keluarga dan

masyarakat.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka yang menjadi rumusan

masalah dalam makalah ini adalah sebai berikut:

1. Bagaimana Integrasi Pendidikan dan Prinsip Dasar Pendidikan Islam?

2. Bagaimana Intgerasi Pendidikan Islam di Indonesia?

7
Imran Siregar, Pendidikan Agama Terpadu: Studi Kasus SMU Kraksaan Probolinggo
Jawa Timur, Riset, (t.tp.: t.p., t.th.), h. 76

4
BAB II

PEMBAHASAN

A. Integrasi Pendidikan dan Prinsip Dasar Pendidikan Islam

1. Pengertian Integrasi Pendidikan

Integrasi memiliki arti penggabungan atau pembauran hingga menjadi satu

kesatuan yang utuh. Tipologi hubungan antara sains dan agama menurut Ian. G.

Barbour, sebagai tokoh pengkaji hubungan sains dan agama telah memetakan

hubungan antara keduanya. Pandangan ini memunculkan hubungan yang lebih

bersahabat dari pandangan yang terdahulu. Yakni, doktrin yang dimiliki sains dan

agama sama-sama dianggap valid dan menjadi sumber koheren (bersangkut paut)

dalam pandangan dunia. Bahkan, pemahaman tentang dunia yang diperoleh

melalui sains diharapkan dapat memperkaya pemahaman keagamaan bagi orang

yang beriman.8 Terdapat tiga versi pemahaman tentang integrasi, yakni:

a. Natural Theology, yaitu Mengklaim bahwa eksistensi Tuhan dapat disimpulkan

dari bukti tentang desain alam, yang dengan keajaiban struktur alam membuat

manusia semakin menyadari dan meyakini alam ini sebagai karya Allah swt.

b. Theology Of Natural, yaitu Pada pandangan ini, terdapat klaim bahwa sumber

utama teologi bersumber diluar sains, namun pendangan ini juga berpendapat

bahwa doktrin tradisional harus tetap dirumuskan ulang dalam pandangan sanis

terkini.

8
Imam Suprayogo, Pendidikan Berparadigma Al-Quran Pergulatan Membangun Tradisi
dan Aksi Pendidikan Islam, (Malang: UIN Press, 2004), h. 32

5
c. Sintesis Sistematis, yaitu Merupakan cara pandang dalam hubungan antara

sains dan Agama dengan hubungan yang lebih sistematis dapat dilakukan jika

sains dan agama memberikan kontribusi kearah pandangan dunia yang lebih

koheren yang dielaborasi dalam kerangka metafisika yang komprehensif.9

2. Prinsip Dasar Pendidikan Islam

Masalah prinsip dasar pendidikan Islam penting dibicarakan dalam

kerangka membangun konsep dasar pendidikan Islam, karena prinsip merupakan

dasar pandangan dan keyakinan, pemegang, atau pendirian untuk melakukan suatu

aktifitas yang berkaitan dengan pendidikan Islam. Para ahli banyak

mengemukakan pemikirannya, tentang prinsip dasar pendidikan Islam yang

terlihat variatif dan nuansif, namun demikian, kesemuanya merupakan usaha yang

saling melengkapi dan menyempurnakan dalam kerangka membangun konsep

dasar pendidikan Islam.

Maksum, menjelaskan bahwa prinsip-prinsip dasar pendidikan Islam itu

meliputi: Pertama Pendidikan Islam adalah bagian dari proses rubbubiyah Tuhan.

Kedua, Pendidikan Islam berusaha membentuk manusia seutuhnya. Ketiga,

Pendidikan Islam selalu berkaitan dengan agama. Keempat, Pendidikan Islam

merupakan pendidikan terbuka.10

Pandangan ini menunjukkan adanya aspek aspek fundamental yang

menggambarkan dasar dan tujuan pendidikan Islam, dan sekaligus menjadi arah

tujuan yang hendak dicapai pendidikan Islam. Sementara Zulkabir memberikan

9
Achmad Mukhsin, Integrasi Sains dan Agama: Peluang dan Tantangan bagi Universitas
Islam Indonesia, h. 56
10
Maksum, Madrasah, Sejarah dan Perkembangannya, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu,
1990), h. 148

6
pandangan tentang pemaknaan manusia yang dijadikan prinsip dasar pendidikan

Islam yaitu:

a. Prinsip keterbukaan

b. Prinsip kasih sayang

c. Prinsip keseimbangan (harmoni)

d. Prinsip integralitas11

Pandangan ini didasarkan bahwa pendidikan merupakan upaya yang

dilakukan oleh dan untuk manusia. Karena itu pemahaman tentang manusia baik

sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat dalam pembicaraan

pendidikan merupakan suatu hal yang mutlak diperlukan, dan hal ini merupakan

dasar bagi penyusunan konsep pendidikan Islam. Hasan Langgulung,

menyebutkan prinsip-prinsip dasar itu meliputi:

a. Ketuhanan

b. Keterpaduan

c. Kesinambungan

d. Keaslian

e. Bersifat ilmuah

f. Bersifat praktikal

g. Kesetia kawanaan

h. Keterbukaan12

11
Zulkabir dkk, Islam Konseptual dan Kontekstual, (Bandung: Itqan, 1993), h. 54
12
Hasan Langgulung, Pendidikan Islam Menghadapi Abad ke 21, (Jakarta: Al
Husna,1988), h. 137

7
Dari pendapat tersebut ditemukan beberapa struktur ide dasar yang

menjadi titik tolak dalam membangun prinsip-prinsip dasar pendidikan Islam,

yaitu: Prinsip rububiyah, prinsip keterbukaan, demokratis, prinsip-prinsip

keterpaduan, prinsip integralitas, dan prinsip kemanusia. Pada hakekatnya prinsip-

prinsip tersebut merupakan prinsip dasar yang ideal, dan inilah yang membedakan

dengan pendidikan umum lainnya.

3. Pendidikan Islam Dalam Konteks Undang-Undang Keindonesiaan

Seperti yang dimaklumi bahwa, Indonesia sebelum kemerdekaan berada

dalam kekuasaan belanda dan jepang. Selama periode tersebut, lembaga

pendidikan islam tetap hidup, pendidikan Islam diorganisasikan oleh umat Islam

sendiri melalui sekolah swasta dan pusat-pusat pelatihan, hingga kini, lembaga

pendidikan seperti pesantren, sekolah umum berciri khas Islam, dan madrasah

eksistensinya tetap ada. Bahkan mulai terus dikembangkan sampai sekarang.13

Pendidikan Islam sebagai sebuah system yang teori-teorinya berdasarkan

ajaran islam, juga dalam konteks Indonesia dijadikan sebagai bahan mata

pelajaran dengan istilah “Pendidikan agama islam” dalam hal ini pendidikan Islam

di sejajarkan dengan pendidikan lain semisal pendidikan biologi, pendidikan

olahraga, pendidikan kesenian pendidikan bahasa dan lain-lain.14

Dalam konteks keindonesiaan pendidikan islam sebenarnya tidak bisa

dilepaskan dari kehidu pan bangsa Indonesia yang mayoritasnya beragama islam,

bahkan pendidikan Islam itu berkaitan erat dengan agama islam sendiri, oleh

13
Saidan, Perbandingan Pemikiran Pendidikn Islam Antara Hasan Al-Banna dengan
Muhammad Natsir, (Jakarta: Kementrian Agama RI, 2011), h. 96
14
Ahmad Tafsir, Metodologi Pengajaran Agama Islam, (Bandung: Rosdakarta, 1995), h.
54

8
karena itu, setelah pendirian departemen agama yang sekarang lebih dikenal

dengan istilah Kementrian Agama RI pada tanggal 3 januari tahun 1946 maka

mulai saat itu pendidikan islam di sekolah diatur secara resmi oleh pemerintah. 15

Sekalipun terasa adanya sejenis dikotomi dalam penyelenggaraan

pendidikan, pembinaan pendidikan islam di sekolah oleh kementrian pendidikan

nasional (Diknas) sedangkan di sekolah agama oleh kementrian agama, namun

pendidikan islam tidak lagi terpisahkan dari pendidikan nasional, bahkan

dinyatakan pendidikan islam itu di laksanakan dalam pendidikan nasional.16

Keberadaan pendidikan keagamaan secara tegas dinyatakan dalam

undang-undang sistem pendidikan nasional (Sisdiknas) No 20 tahun 2003 pada

bab VI pasal 30 ayat 1-5. Berangkat dari keistimewaan dan karakteristik yang

melekat dalam pendidikan islam itu serta kondisi bangsa Indonesia yang

mayoritasnya beragama islam, dan juga diakuinya lembaga pendidikan Islam

sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional, sejatinya pendidikan islam di

Indonesia menempati posisi stretegis dan berada di deretan yang paling utama.

Bahkan lebih dari itu, pendidikan islam ini hendaknya menjadi mainstream dan

sebagai lembaga pendidikan alternatif di negara yang berfalsafah pancasila di

mana sila pertamanya adalah ketuhana yang maha esa.17

Dengan demikian bahwa pendidikan islam selama ini telah menunjukan

orientasinya kepada kebutuhan rakyat banyak dan tidak semata-mata mengikuti

pola formal yang dipunyai Negara, pendidikan Islam selama ini mempunyai nilai-
15
Saidan, Perbandingan Pemikiran Pendidikn Islam Antara Hasan Al-Banna dengan
Muhammad Natsir, h. 99
16
Tim penyusun, undang-undang sisdiknas (System Pendidikan Nasional) No 20 tahun
2003, (Jakarta: Sinar Grafika, 2003), h. 16
17
Kasinyo Harto, Arah Pengembangan Pendidikan Islam, (Palembang: Perspektif balai
diklat keagamaan Palembang, 2008), h. 16

9
nilai luhur semisal nilai demokrasi, karena memberikan kesempatan belajar bagi

semua tanpa membedakan kemampuan ekonomi, di samping itu, pendidikan islam

juga mengandung nilai kemandirian, karena tidak terlalu menggatungkan diri

kepada pemerintah.18

B. Intgerasi Pendidikan Islam di Indonesia

1. Integrasi Pendidikan Islam Dalam Sistem Pendidikan Nasional

Integrasi merupakan pembauran sesuatu sehingga menjadi kesatuan,

sedangkan integrasi pendidikan adalah proses penyesuaian antara unsur-unsur

yang berbeda sehingga mencapai suatu keserasian. Masalah integrasi pendidikan

Islam dalam sistem pendidikan nasional, secara implisit, dari catatan sejarah

diketahui bahwa pendidikan Islam bermula dari pengajian-pengajian di rumah-

rumah penduduk yang dilakukan oleh para penyebar agama Islam, kemudian

berkembang menjadi pengajian di langgar atau masjid dan pondok pesantren.19

Undang-undang Nomor 4 Tahun 1950 tentang Dasar-dasar Pendidikan dan

Pengajaran di Sekolah memberikan kesempatan untuk masuknya pengajaran

agama di sekolah-sekolah. di samping mengakui sekolah agama (madrasah, yang

diakui oleh Menteri Agama) sebagai lembaga penyelenggara wajib belajar.

Ketetapan Tap MPRS Nomor 2 Tahun 1960 oleh Chaerul Saleh selaku kaetua dan

Ali Satrimidjodjo selaku wakil ketua menetapkan pemberian pelajaran agama

pada semua tingkat pendidikan, mulai sekolah dasar sampai dengan perguruan

18
Tilar, Membenahi Pendidikan Nasional, (Jakarta: Rineka cipta, 2002), h. 79-80
19
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2013), h. 182

10
tinggi, di samping pengakuan bahwa pesantren dan madrasah sebagai lembaga

pendidikan yang otonom di bawah pembinaan Departemen Agama.20

Tap MPRS Nomor 27 Tahun 1966 menetapkan bahwa agama, pendidikan,

dan kebudayaan adalah unsur mutlak dalam nation and caracter building,

sekaligus menetapkan bahwa pendidikan agama menjadi mata pelajaran pokok

dan wajib diikuti oleh setiap peserta didik sesuai dengan agama masing-masing.

Akhirnya, Tap MPR Nomor 2 Tahun 1988 tentang Asas Tunggal yang menetapkan

Pancasila sebagai satu-satunya asas bagi kehidupan bermasyarakat, berbangsa,

dan bernegara, lebih memantapkan usaha masuknya lembaga pendidikan

keagamaan (pesantren dan madrasah) dalam kerangka sistem pendidikan nasional.

Dengan demikian, lebih memantapkan pula usaha pengintegrasian pendidikan

Islam ke dalam sistem pendidikan nasional.21

Segala peraturan perundang-undangan dan kebijaksanaan yang dibuat oleh

pemerintah yang tampaknya mengarah kepada usaha integrasi tersebut merupakan

persiapan untuk menyusun dan mewujudkan undang-undang tentang “satu sistem

pendidikan dan pengajaran nasional”, sebagaimana yang dikehendaki oleh Pasal

31 UUD 1945. Dengan disahkannya Undang-undang Nomor 2 Tahun 1989

tentang Sistem Pendidikan Nasional yang “lebih dikukuhkan” oleh Undang-

undang Nomor 20 Tahun 2003 (juga tentang Sistem Pendidikan Nasional). usaha

integrasi pendidikan Islam ke dalam sistem pendidikan nasional mendapatkan

dasar hukum yang jelas.22

20
Husni Rahim, Madrasah dalam Politik Pendidikan Indonesia, (Jakarta: Wacana Logos
ilmu, 2005), h. 17
21
Muzayyin Arifin, Kapita Selekta Pendidikan Islam, Edisi Revisi (Jakarta: PT. Bumi
Aksara, 2007), h. 204
22
Hasbullah, Kapita Selekta Pendidikan, (Jakarta: Rajawali Pers. 1996), h. 28

11
Pendidikan Islam dan pendidikan nasional terdapat 3 segi yang dapat

ditelusuri Pertama dari konsep penyusunan sistem pendidikan nasional indonesia

itu sendiri. Kedua, dari hakikat pendidikan islam dan kehidupan beragama kaum

muslimin di Indonesia. Ketiga, dari segi kedudukan pendidikan islam dalam

sistem pendidikan nasional.23

2. Integrasi nilai-nilai Pendidikan Islami pada Pembelajaran

Bertolak dari rumusan UU Sistem Pendidikan Nasional RI No. 20 tahun

2003 pasal 339, yang mengisyaratkan bahwa tujuan pendidikan Indonesia

mengarahkan warganya kepada kehidupan yang beragama. Maka sebagai salah

satu bentuk realisasi dari UU Sisdiknas tersebut, Integrasi adalah alternatif yang

harus di pilih untuk menjadikan pendidikan lebih bersifat menyeluruh (integral-

holistik).24

Gagasan integrasi (nilai-nilai islami [agama] dan umum) ini bukanlah

sebuah wacana untuk meraih simpatik akademik, melainkan sebuah kebutuhan

mendesak yang harus dijalankan sebagai pedoman pendidikan yang ada,

mengingat pendidikan selama ini dipengaruhi oleh dualisme yang kental antara

ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum atau sekuler yang menyebabkan dikotomi

ilmu, sebagaimana dipaparkan di atas.

Bukti nyata dari kebutuhan adanya panduan dan model integrasi ilmu ini

ditunjukan dengan diselenggarakannya berbagai seminar nasional berkenaan

dengan reintegrasi ilmu, sampai pada kebijakan dari pemerintah, seperti kebijakan

integrasi madrasah ke dalam sistem pendidikan nasional dalam UUSPN No. 2


23
Hasbullah, Kapita Selekta Pendidikan, h. 29
24
Omar Mohammad, Falsafah Pendidikan Islam (Falsafatut Tarbiyah Al-Islamiyah), alih
bahasa: Hasan Langgulung, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), h. 520

12
tahun 1989, madrasah mengalami perubahan “sekolah agama” menjadi “sekolah

umum bercirikan khas Islam”. Peng-integrasian madrasah ke dalam sistem

pendidikan nasional menemukan titik puncaknya pada awal 2000, setelah

Presiden RI ke-4 K.H. Abdurrahman Wahid yang mengubah struktur Kementrian

Pendidikan dari “Departemen Pendidikan dan Kebudayaan menjadi “Departemen

Pendidikan Nasional”.

Berdasarkan Hal itu Abdurrahman Wahid menggulirkan ide “pendidikan

satu atap” sistem pendidikan nasional dan memiliki status serta hak yang sama.

Inilah yang diharapkan dan mengakhiri dikotomi “pendidikan umum” dan

“pendidikan Islam”.25

Sejarah menunjukan, sudah sejak lama sebelum istilah Integrasi

memposisikan diri dalam memberikan kerangka normatif nilai-nilai Islami pada

pembelajaran, sebelumnya bahkan sampai saat ini gagasan Islamisasi Sains

menjadi Jargon yang mendapat sambutan luar biasa dari cendikiawan Muslim,

mulai Al-Maududi 1930-an, S.H. Nasr, Naquib Al-Attas dan Ja’far Syaikh Idris

tahun 1960-1970-an; Ismail Al-Faruqi tahun 1980-an; sampai pada Ziauddin

Sardar. Islamisasi sains tersebut tidak lain adalah sebuah reintegrasi ilmu, dalam

menangkal ilmu (sekuler) yang disertai isme-isme yang datang dari luar yang

belum tentu sesuai dengan peredaran darah dan tarikan nafas yang kita anut, yang

akhir-akhir ini dikenal istilah integrasi.

Sebagai hasil kebutuhan tersebut, untuk tingkat Universitas, akademisi

ataupun umum misalnya terbit buku Integrasi Ilmu; sebuah rekonstruksi holisitk

25
Wahjudin Sumpeno, Orientasi Pendidikan Politik dalam Membina Nilai-nilai Moral,
(Bandung: University Press IKIP Bandung, 1996), h. 27

13
karangan Mulyadi Kertanegara, yang diharapkan menjadi buku dasar untuk UIN

walaupun masih bersifat umum. Melacak jejak Tuhan: Tafsir Islami atas Sains

karangan Mehdi Golshani yang sekarang menjadi hak paten milik negara dan oleh

Diknas diedarkan ke lembaga pendidikan SMP dan SMA. Bahkan secara

revolusioner Armahedi Mahzar menerbitkan Revolusi Integralisme Islam:

‘Merumuskan Paradigma Sains dan Teknologi Islami’. Inilah beberapa alasan

mendasar pentingnya integrasi untuk diterapkan dalam pembelajaran.26

Tujuan pendidikan nilai pada dasarnya membantu mengembangkan

kemahiran berinteraksi pada tahapan yang lebih tinggi serta meningkatkan

kebersamaan dan kekompakan interaksi atau apa yang disebut Piaget sebagai

ekonomi interaksi atau menurut Oser dinyatakan dengan peristilahan kekompakan

komunikasi. Tujuan pendidikan nilai tidak dapat tercapai tanpa aturan-aturan,

indoktrinasi atau pertimbangan prinsip-prinsip belajar. Namun sebaliknya,

dorongan moral komponen pembentukan struktur itu sangat penting. Oleh karena

itu, pendidik seharusnya tidak hanya sekedar membekali dan menjejali siswa

dengan pengetahuan tentang tujuan serta analisis dari hubungan antara tujuan

dengan alat.27

Pentingnya integrasi pendidikan nilai tersebut menjadi satu kerangka

normatif dalam merumuskan tujuan pendidikan Islam sebagaimana diungkapkan

Ali Asraf bahwa tujuan pendidikan Islam: Pertama, mengambangkan wawasan

spiritual yang semakin mendalam dan mengembangkan pemahaman rasional

26
Wahjudin Sumpeno, Orientasi Pendidikan Politik dalam Membina Nilai-nilai Moral, h.
28
27
Wahjudin Sumpeno, Orientasi Pendidikan Politik dalam Membina Nilai-nilai Moral, h.
28-29

14
mengenai Islam dalam konteks kehidupan modern. Kedua, membekali anak didik

dengan berbagai kemampuan pengetahuan dan kebajikan, baik pengetahuan

praktis, kesejahteraan, lingkungan sosial, dan pembangunan nasional. Ketiga

mengembangkan kemampuan pada diri anak didik untuk menghargai dan

membenarkan superioritas komparatif kebudayaan dan peradaban Islam di atas

semua kebudayaan lain. Keempat, memperbaiki dorongan emosi melalui

pengalaman imajinatif, sehingga kemampuan kreatif dapat berkembang dan

berfungsi mengetahui norma-norma Islam yang benar dan yang salah. Kelima,

membantu anak yang sedang tumbuh untuk belajar berpikir secara logis dan

membimbing proses pemikirannya dengan berpijak pada hipotesis dan

konsepkonsep pengetahuan yang dituntut. Keenam, mengembangkan,

menghaluskan, dan memperdalam kemampuan komunikasi dalam bahas tulis dan

bahasa latin (asing).28

3. Penerapan Integarasi Nilai-nilai Islami pada Pembelajaran

Kurikulum pendidikan Islam sampai saat ini masih dihadapkan pada

kesulitan untuk mengintegrasikan dua kutub paradigma keilmuan dualistik. Pada

satu sisi, harus berhadapan dengan ‘subjek-subjek sekuler’, dan pada sisi lain

dengan ‘subjek-subjek keagamaan’. Subjek-subjek yang dianggap sekuler

biasanya terdiri dari jenis keilmuan umum seperti matematika, fisika, biologi,

kedokteran, sosiologi, ekonomi, politik, botani, zoologi, dan sebagainya.

28
Wahjudin Sumpeno, Orientasi Pendidikan Politik dalam Membina Nilai-nilai Moral, h.
30

15
Sementara subjek-subjek keagamaan terdiri dari jenis sains wahyu seperti

alQur’an, al-Hadist, al-Fiqh, teologi, tasawuf, tauhid, dan semacamnya.

Dari dikotomi diatas, kurikulum pendidikan umum dan Kurikulum

pendidikan Islam masih berada pada wilayahnya masing-masing, sehingga proses

pembelajarannya bersifat parsial dan terfragmentasi antara sains wahyu ilahi dan

sains-sains alam. Padahal, menurut terminologi filsafat Islam, Tuhan menurunkan

al-Qur’an-Nya dalam bentuk: al-Qur’an yang tertulis (recorded qur’an), yaitu

wahyu yang tertulis dalam lembaran buku yang dibaca oleh ummat Islam setiap

hari: dan al-Qur’an yang terhampar (created quran), yaitu alam semesta, jagat raya

atau kosmologi ini.29

Dalam pelaksanaanya memang mesti ada prioritas proses pembelajaran

antara kedua jenis keilmuan di atas. Kedudukan kategori sainssains tersebut,

apabila dibuat skema adalah sebagai berikut:

knowledge

Action Consistency

Ketiga kutub tersebut merupakan satu kesatuan dan dari padanya

diharapkan dapat diperoleh pengertian, penghayatan dan pengamalan ke arah

terbentuknya ‘intelektualisme muslim” yakni pribadi yang utuh, yang

pemikirannya bisa menyatukan ketiga kutub ilmu tersebut.

29
Wahjudin Sumpeno, Orientasi Pendidikan Politik dalam Membina Nilai-nilai Moral, h.
32

16
irannya bisa menyatukan ketiga kutub ilmu tersebut. Berangkat dari pola

pikir integratif, yaitu menyatukan arti kehidupan dunia dan akhirat, maka

pendidikan umum pada hakikatnya adalah pendidikan agama juga, begitu pula

sebaliknya, pendidikan agama adalah juga pendidikan umum. Idealnya tidak perlu

terjadi persoalan ambivalensi dan dikotomi dalam orientasi pendidikan Islam.

Saefudin menjelaskam formula pemikiran kreatif untuk dapat mengintegrasikan

secara padu. Perpaduan itu harus terjadi sebagai proses pelarutan dan bukan

sebagai pencampuran biasa.30

Nilai-nilai al-Qur’an dapat diaktualisasikan tidak dalam perwujudan

rancangan sistem pendidikan saja, tetapi dalam langkah-langkah

operasionalisasinya mesti berpedoman pada kaidah-kaidah Qur’ani, sesuai dengan

kesatuan tiga serangkai perangkat tindak yakni motivasi–cara–tujuan. Dengan

adanya penyatuan ilmu/ sains dengan nilai-nilai ajaran Islam, persoalan dikotomi

akan dapat dicarikan jalan keluarnya. Wawasan ilmu tidak lagi dipisahkan secara

dikotomis dalam pembagian ilmu-ilmu ‘agama’ dan ilmu-ilmu ‘umum, tetapi akan

di bedakan (bukan dipisahkan) menjadi ilmuilmu yang menyangkut ayat-ayat

tanziliyyah (ayat-ayat yang tersurat dalam alQur’an/ hadits) dan ilmu tentang ayat

kauniyah (ilmu pengetahuan tentang kealam-an).

Secara umum, Kurikulum Pembelajaran yang terintegrasi dengan nilai-

nilai Islami pun disusun mencakup seluruh wawasan keilmuan sehingga akan

membawa konsekuensi-konsekuensi tertentu terhadap struktur, tujuan, materi dan

institusi pendidikan yang disiapkan. Begitu pula secara spesifik strategi belajar

30
Saefuddin, Desekularisasi Pemikiran: Landasan Islamisasi, (Bandung: Mizan, 1991), h.
114

17
mengajar termasuk model, metode dan pendekatan pembelajaran sebagaimana

telah disebutkan beberapa bentuknya diatas akan menentukan arah pendidikan

yang terintegarasi dan bernuansa Islami.31

Secara spesifik, spesialisasi ilmu yang terdapat dalam proses pembelajaran

setidaknya dapat diadaptasi berdasarkan pada kelompok mata pelajaran

Kurikulum Baru (subdirektorat kurikulum 2006), antara lain meliputi: agama dan

akhlak mulia; kewarganegaraan dan kepribadian; ilmu pengetahuan dan teknologi;

estetika; Jasmani, olahraga dan kesehatan.

Spesialisasi kelompok mata pelajaran tersebut diharapkan dapat

terintegrasi dengan nilai-nilai Islami dalam pembelajaran. Seringkali kita

memahami bahwa ilmu Allah itu terdiri dari ayat-ayat kauniyah dan ayat-ayat

qouliyah, sebenarnya Allah telah mengisyaratkan adanya dua kategori ilmu yang

berbeda yaitu ilmu mengenai cakrawala (afaq) dan ilmu mengenai diri manusia

(anfusihim). Allah swt berfirman dalam QS. Fushshilat/41: 53:

‫َس ُنِر ْيِهْم ٰا ٰي ِتَنا ِفى اٰاْل َفاِق َو ِفْٓي َاْنُفِس ِهْم َح ّٰت ى َيَتَبَّيَن َلُهْم َاَّن ُه اْلَح ُّۗق َاَو َلْم َيْك ِف ِبَر ِّب َك َاَّن ٗه َع ٰل ى ُك ِّل‬
32
‫َش ْي ٍء َش ِهْيٌد‬
Terjemahnya:
Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kebesaran) Kami
di segenap penjuru dan pada diri mereka sendiri sehingga jelaslah bagi
mereka bahwa (Al-Qur’an) itu adalah benar. Tidak cukupkah (bagi kamu)
bahwa sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?. (Q.S.
Fushshilat: 53).

Jadi, Menurut al-Qur’an ilmu itu bukannya dua macam, kauniyah (ilmu-

ilmu alam, nomothettic) dan qouliyah (ilmu-ilmu theological), tetapi tiga macam.

Katakan yang ketiga itu adalah nafsiyah. Kalau ilmu kauniyah berkenaan dengan

31
Saefuddin, Desekularisasi Pemikiran: Landasan Islamisasi, h. 115
32
Kementerian Agama RI, Al-Qur’anul Karim, (Surabaya: Al-Hikmah Press, 2012), h.
385

18
hukum alam, ilmu qauliyah berkenaan dengan hukum Tuhan, dan ilmu nafsiyah

berkenaan dengan makna, nilai dan kesadaran. Ilmu nafsiyah inilah yang disebut

sebagai humaniora (ilmu-ilmu kemanusiaan, heurmeneutic). Meskipun dalam

bahasa arab ilmu nafsiyah ialah psikologi.

Ketiga macam ilmu tersebut bersumber pada ilmu Allah sebagai

satusatunya sumber kebenaran mutlak, sehingga berbagai derivasi keilmuan

merupakan satu kesatuan bukanlah sebuah dikotomi. Secara skematik ketiga

macam ilmu (kauniyah, Qouliyah dan nafsiyah) dapat terintegrasi dengan

kelompok mata pelajaran sebagai salah satu bentuk spesialisasi integrasi

pendidikan Islami dalam pembelajaran.33

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Berdasarkan uraian diatas, upaya terintegrasinya pendidikan umum dengan

pendidikan Islam tidak terlepas dari universalitas keilmuan yang harus diterapkan

dalam proses pembelajaran tanpa mengedepankan independensi (mencari-cari

perbedaan) keilmuan. Integrasi pendidikan Islami tersebut antara lain:

Pertama, keutuhan kerangka nilai islami pada setiap kelompok mata

pelajaran terintegrasi secara menyeluruh (integral-holisitk). Dengan kata lain

antara pelajaran umum dan agama terintegrasi dalam bentuk: common matter

33
Saefuddin, Desekularisasi Pemikiran: Landasan Islamisasi, h. 116

19
integrated with religious matter (mengintegrasikan materi pelajaran umum dengan

materi pelajaran pendidikan agama) yakni nilai-nilai Islami inklusif dalam

penyampaian pelajaran umum atau sebaliknya religious matter integrated with

common matter (mengintegrasikan materi pelajaran agama dengan mata pelajaran

umum) yakni agama tidak mendeskriditkan ilmu-ilmu umum. Kelompok mata

pelajaran yang harus terintegrasi dengan nilai-nilai Islami dalam pembelajaran

tersebut antara lain: agama dan akhlak mulia; kewarganegaraan dan kepribadian;

ilmu pengetahuan dan teknologi; estetika; Jasmani, olahraga dan kesehatan.

Kedua, keragaman model, metode dan pendekatan integrated (terpadu)

dengan nilai-nilai Islami sebagai kerangka normatif dapat dijadikan perspektif

baru bagi para pendidik dalam melaksanakan proses pembelajaran. Sehingga

pembelajaran mengarah pada proses leader (mampu memilih bola yang harus

dijemput) dan manager (tahu bagaimana mengelola bola) tanpa terlepas dari

kerangka nilai Islami. Keterpaduan penyelenggaraan pendidikan mengharuskan

nilainilai pendidikan Islami pada pembelajaran di sekolah teraplikasikan secara

integrated dengan kebutuhan masyarakat dan keluarga. Pada realitasnya Integrasi

pendidikan dapat menghapus pendidikan yang bersifat paradoks antara ketiga

unsur tersebut sehingga berimplikasi terhadap peningkatan kualitas (nilai)

tanggungjawab moral dan akhlak siswa.

20
DAFTAR PUSTAKA

Arifin, Muzayyin, Kapita Selekta Pendidikan Islam, Edisi Revisi, Jakarta: PT.
Bumi Aksara, 2007.

Barizi, Ahmad, Pendidikan Integratif Akar Tradisi dan Integrasi Keilmuan


Pendidikan Islam, Malang: UIN Maliki Press, 2011.

Harto, Kasinyo, Arah Pengembangan Pendidikan Islam, Palembang: Perspektif


balai diklat keagamaan Palembang, 2008.

Hasan Langgulung, Pendidikan Islam Menghadapi Abad ke 21, Jakarta: Al


Husna,1988.

Hasbullah, Kapita Selekta Pendidikan, Jakarta: Rajawali Pers. 1996.

Kementerian Agama RI, Al-Qur’anul Karim, Surabaya: Al-Hikmah Press, 2012.

Kertanegara, Mulyadi, Integrasi Ilmu; Sebuah Rekonstruksi Holistik, Bandung:


Mizan Pustaka, 2005.

21
Maksum, Madrasah, Sejarah dan Perkembangannya, Jakarta: Logos Wacana
Ilmu, 1990.

Mastuhu, Menata Ulang Pemikiran Sistem Pendidikan Nasional dalam abad 21,
Malang: Bayumedia, 2004.

Mohammad, Omar, Falsafah Pendidikan Islam (Falsafatut Tarbiyah Al-


Islamiyah), alih bahasa: Hasan Langgulung, Jakarta: Bulan Bintang, 1979.

Mukhsin, Achmad, Integrasi Sains dan Agama: Peluang dan Tantangan bagi
Universitas Islam Indonesia, ABHATS: Jurnal Islam Ulil Albab 2.1. 2021.

Rahim, Husni, Madrasah dalam Politik Pendidikan Indonesia, Jakarta: Wacana


Logos ilmu, 2005.

Saefuddin, Desekularisasi Pemikiran: Landasan Islamisasi, Bandung: Mizan,


1991.

Saidan, Perbandingan Pemikiran Pendidikn Islam Antara Hasan Al-Banna


dengan Muhammad Natsir, Jakarta: Kementrian Agama RI, 2011.

Siregar, Imran, Pendidikan Agama Terpadu: Studi Kasus SMU Kraksaan


Probolinggo Jawa Timur, Riset, t.tp.: t.p., t.th.

Sumpeno, Wahjudin, Orientasi Pendidikan Politik dalam Membina Nilai-nilai


Moral, Bandung: University Press IKIP Bandung, 1996.

Suprayogo, Imam, Pendidikan Berparadigma Al-Quran Pergulatan Membangun


Tradisi dan Aksi Pendidikan Islam, Malang: UIN Press, 2004.

Tafsir, Ahmad, Ilmu Pendidikan Islam, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2013.

Tafsir, Ahmad, Metodologi Pengajaran Agama Islam, Bandung: Rosdakarta,


1995.

Tilar, Membenahi Pendidikan Nasional, Jakarta: Rineka cipta, 2002.

Tim Penyusun Buku, Memadu Sains dan Agama menuju Menuju Universitas
Islam Masa Depan, Malang: Bayumedia, 2004.

Tim penyusun, undang-undang sisdiknas (System Pendidikan Nasional) No 20


tahun 2003, Jakarta: Sinar Grafika, 2003.

Zulkabir dkk, Islam Konseptual dan Kontekstual, Bandung: Itqan, 1993.

22

Anda mungkin juga menyukai