Anda di halaman 1dari 14

STUDI ISLAM DALAM MENUJU INTEGRITAS ILMU

Diajukan Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pengantar Studi Islam

Dosen Pengampu

Abdul Hadi, M. Ag.

Disusun Oleh Kelompok 11:

Ahmad Rizal Nor Fahmi : 22.125623


Edi Susanto : 22.12.5631
Fathurrahman : 22.12.5849

FAKULTAS TARBIYAH

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

INSTITUT AGAMA ISLAM DARUSSALAM

MARTAPURA

2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT. yang telah memberikan rahmat dan
hidayah- Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul
“Studi Islam Dalam Menuju Integritas Ilmu” ini tepat pada waktunya.

Terimakasih kami ucapkan kepada bapak Abdul hadi, M. Ag. selaku dosen
pengampu mata kuliah pengantar studi Islam. Kami juga mengucapkan terimakasih
kepada semua pihak yang telah membagi sebagian pengetahuannya sehingga kami
dapat menyelesaikan makalah ini.

Kami menyadari, makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun kami harapkan demi
kesempurnaan makalah ini.

Martapura, Juni 2023

Kelompok 11

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................ i

DAFTAR ISI .......................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang .............................................................................................1


B. Rumusan Masalah ........................................................................................1
C. Tujuan Penulisan ..........................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian integritas keilmuan .....................................................................2


B. Pendekatan Islam terhadap dikotomi keilmuan ...........................................5
C. Paradigma ilmu- ilmu agama Islam dan ilmu-ilmu umum ..........................8

BAB III PENUTUP

A. Simpulan.......................................................................................................9
B. Kritik dan saran ..........................................................................................10

DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................11

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Studi Islam secara sederhana dapat dikatakan sebagai usaha untuk
mempelajari hal-hal yang berhubungan dengan agama Islam, yang
dilakukan dengan usaha sadar dan sistematis untuk mengetahui, memahami,
dan membahas secara mendalam seluk beluk atau hal-hal yang berhubungan
dengan agama Islam, di makalah ini membahas Studi Islam mengenai
integrasi keilmuan Islam muncul disebabkan adanya dualisme atau
dikotomi keilmuan antara ilmu-ilmu umum dan ilmu-ilmu aguma, Dikotomi
ilmu terlihat adanya pemisahan antara lembaga pendidikan umum dan
lembaga pendidikan agama yang berdampak pada aspek-aspek pendidikan
bagi umat Islam, baik berupa sushit pandang umat terhadap ilmu dan
pendidikan. institusi, maupun sistem pendidikannya.
Intregasi ilmu keislaman dengan ilmu-ilmu umum, maka akan
dibahas terlebih dahulu tentang Al-Qur’an dan ilmu pengetahuan,
rekonstruksi sains Islam, suatu integrasi ilmu pengetahuan Islam dan
umum.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian integrasi keilmuan?
2. Bagaimana pendekatan Islam terhadap dikotomi keilmuan?
3. Bagaimana paradigma ilmu- ilmu agama Islam dan ilmu-ilmu umum?
C. Tujuan Penulisan
1. Memahamai pengertian integrasi keilmuan.
2. Mengetahui bagaimana pendekatan Islam terhadap dikotomi keilmuan.
3. Mengetahui bagaimana paradigma ilmu- ilmu agama Islam dan ilmu-
ilmu umum.

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Integritas Keilmuan


Secara etimologis, integrasi merupakan kata serapan dari bahasa
Inggris –integrate; integration- yang kemudian diadaptasi ke dalam bahasa
Indonesia menjadi integrasi yang berarti menyatu-padukan; penggabungan
atau penyatuan menjadi satu kesatuan yang utuh; pemaduan. Jadi Integrasi
berarti kesempurnaan atau keseluruhan, yaitu proses penyesuaian di antara
unsur-unsur yang saling berbeda.1 Ide pengintegrasian ilmu dikembangkan
pertama kali oleh Muhammad Natsir. Beliau melihat bahwa mereka yang
hanya mempelajari ilmu agama dan yang hanya mempelajari ilmu dunia
sama-sama jauh dari agamanya. Sebab didalam Al- Qur’an surat Al-
Qashash ayat 77, Allah memerintahkan kita agar hidup seimbang. Dengan
demikian Integrasi adalah keterpaduan antara nilai-nilai agama (dalam hal
ini Islam), dengan ilmu pengetahuan pada umumnya.
Integrasi adalah pengembangan keterpaduan secara nyata antara
nilai- nilai agama (dalam hal ini Islam) dengan ilmu pengetahuan pada
umumnya, maka yang perlu dipikirkan selanjutnya adalah bagaimana
suasana pendidikan, kultur akademik, kuriukulum, sarana dan prasarana dan
yang tidak kalah pentingnya adalah profil guru yang harus dipenuhi untuk
mewujudkan konsep pendidikan integratif seperti yang dimaksudkan itu.
Integrasi, terpadu atau apapun sebutannya tidak hanya bersifat formal, yang
hanya mencakup persoalan-persoalan sepele dan artifisial, tetapi integrasi
dalam kualitas berbagai komponen sistem penyelenggaraan pendidikan,
yang semuanya itu berujung pada terwujudunya kepribadian siswa yang
integratif, yang sekaligus menunjukkan adanya tingkat keunggulan tertentu
dibandingkan dengan yang lain.2
Integrasi Ilmu adalah keterpaduan secara nyata antara nilai-nilai
agama (dalam hal ini Islam) dengan Ilmu Pengetahuan Umum atau Sains.

1
John M. Echlos dan Hassan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia, (Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama, 2003), hal. 326.
2
http://id.wikipedia.org/wiki/Integrasi_sosial di akses pada tanggal 10 Juli 2023.

2
Jika dipelajari secara seksama, sesungguhnya ilmu pengetahuan di dunia ini
dapat di klasifikasikan menjadi tiga golongan, yaitu ilmu alam (natural
science), ilmu social (social science), dan ilmu humaniora ( humanities).
Ketiga jenis ilmu (ilmu alam, ilmu social dan ilmu humaniora) berlaku
secara universal, dimana saja. Hanya saja, dikalangan umat islam
merumuskan ilmu tersendiri yang bersumberkan pada al-Qur’an dan Hadits.
Ketika kita mendengar kata "sains" dan "agama”, serta merta orang akan
berpikir akan sejarah hubungan seru di antara keduanya. Dalam catatan
sejarah perjumpaan agama dengan sains tidak hanya berupa pertentangan
belaka, tetapi juga orang berusaha untuk mencari hubungannya antara
keduanya pada posisi yaitu sains tidak mengarahkan agama kepada jalan
yang dikehendakinya dan agama juga tidak memaksanakan sains untuk
tunduk pada kehendaknya. Memang, science and religion merupakan
wacana yang selalu menarik perhatian di kalangan intelektual. Hingga kini,
masih saja ada anggapan yang kuat dalam masyarakat luas yang
mengatakan bahwa "agama"dan "ilmu" adalah dua entitas yang tidak dapat
dipertemukan. Keduanya mempunyai wilayah masing-masing, terpisah
antara satu dan lainnya, baik dari segi objek formal material, metode
penelitian, kriteria kebenaran, peran yang dimainkan oleh ilmuwan.
Ungkapan lain, ilmu tidak memperdulikan agama dan agamapun tidak
memperdulikan ilmu. Apabila seseorang bertanya tentang sains, maka
niscaya ia akan menyebutkan Matematika, Geografi, Biologi, Antropologi,
dan sebaliknya apabila ia ditanya tentang macam dari Ilmu Agama maka ia
akan menyebutkan Fiqh, Tasawuf, Ilmu Tafsir, Ilmu Hadist dsb. Fenomena
ini umum terjadi dalam masyarakat, dimana pemisahan atau sering disebut
dengan dikotomi ilmu sudah mempengaruhi sebagian besar mereka, karena
selama ini kedua ilmu tersebut seakan berbeda dan tidak akan pernah
disatukan. Demikian pula pada lembaga pendidikannya, selama ini yang
kita ketahui ada lembaga pendidikan agama dan lembaga pendidikan umum.
Lembaga pendidikan seperti madrasah, pondok pesantren, STAIN,
IAIN dan UIN dan PTAI lainnya disebut sebagai lembaga pendidikan
agama. Sedangkan SD, SMP, SMA dan universitas disebut sebagai lembaga

3
pendidikan umum. Kategori seperti itu juga membedakan instansi
pemerintah yang mengelola dan bertangungjawab. Pemisahan kedua ilmu
tersebut dikarenakan oleh anggapan bahwa Sains dan Agama memiliki cara
yang berbeda baik dari pendekatan maupun dari pengalamannya. dan
perbedaan-perbedaan ini merupakan sumber perdebatan. Ilmu pengetahuan
terkait erat dengan pengalaman yang bersifat abstrak, misalnya matematika.
Sedangkan agama lebih terkait erat dengan pengalaman yang bersifat
konkrit seperti pengalaman kehidupan, atau dengan kata lain, Sains bersifat
deskriptif dan Agama bersifat preskriptif.3
Islam memandang bahwasannya Sains dan Ilmu tidak memiliki
perbedaan, karena baik Al- Quran maupun As- Sunnah tidak membedakaan
keduanya, yang ada hanyalah Ilmu, tidak ada pemisahan antara Sains
maupun Ilmu Agama. Pembagian adanya Sains dan Ilmu Agama merupakan
hasil kesimpulan manusia yang mengindetifikasikan ilmu berdasarkan
sumber objek kajiannya. Keadaan dunia islam mengalami kemunduran
banyak diakibatkan oleh tidak adanya perhatian tentang tinjauan normatif
atas fenomena yang terjadi, yang mengharuskan setiap umat memahami
secara seksama tentang pandangan Allah terhadap Integrasi Ilmu antara
Sains dan Ilmu Agama, sehingga sebuah lembaga pendidikan ‘hanya’ akan
melahirkan seorang ulama yang ulama, dan ilmuan yang ilmuan. Sebagai
contoh integrasi antara ilmu agama dan sains adalah mengenai penciptaan
bintang. Ayat al-Qur’an yang digunakan sebagai sumber ayat qouliyah dan
kemudian dibuktikan dengan ayat kauniyah yakni dengan hasil observasi,
eksperimen, dan penalaran logis. Sebagaimana dalam ayat al- qur’an yang
menjelaskan mengenai penciptaan bintang adalah surat al-an’am ayat 97.
Ayat al-qur’an ini merupakan contoh dari integrasi keilmuan antara ilmu
agama dan ilmu sains. Yang mana pada hakikatnya al-qur’an adalah bersifat
universal oleh karena itu perlu adanya observasi, eksperimen serta
penalaran yang logis untuk membahas al-qur’an secara mendalam. Bahkan
seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, ayat

3
Imam Suprayono. Paradigma Pengembangan Keilmuan Perspektif UIN Malang. (Malang: UIN
Malang Press, 2006), hal 5.

4
tersebut telah terbukti kebenarannya. Pada zaman dahulu sebelum ada
kompas dan GPS, orang menggunakan rasi bintang sebagai petunjuk arah,
kapan waktu meraka menanam maupun memanen hasil pertanian. Contoh
lain yang merupakan integrasi antara ilmu agama dan sains adalah tentang
konsep manajemen. Yang mana di dalam suatu hadits di jelaskan.“Idza
Wusidal Amru Ila Ghori Ahlihi, Faantadziris Sa’ah”. (artinya: jika suatu
perkara diberikan kepada orang yang bukan ahlinya, maka tunggulah
kehancurannya). Dengan demikian, upaya untuk menghubungkan dan
memadukan antara sains dan agama, tak hanya berarti menyatukan atau
bahkan mencampur adukkan, karena identitas atau watak dari masing-
masing kedua identitas itu tak mesti hilang, atau sebagian orang bahkan
akan berkata, harus tetap dipertahankan. Jika tidak, mungkin saja yang
diperoleh dari hasil hubungan itu "bukan ini dan bukan itu", dan tak jelas
lagi apa fungsi dan manfaatnya. Integrasi yang diinginkan adalah integrasi
yang "konstruktif”, hal ini dapat dimaknai sebagai suatu upaya integrasi
yang menghasilkan konstribusi baru untuk sains dan agama yang dapat
diperoleh jika keduanya terpisahkan.
B. Pendekatan Islam Terhadap Dikotomi Keilmuan
Dikotomi ilmu pengetahuan adalah masalah yang selalu
diperdebatkan dalam dunia Islam, mulai sejak zaman kemunduran Islam
sampai sekarang. Islam menganggap ilmu pengetahuan sebagai sebuah
konsep yang holistis. Di dalam konsep ini tidak terdapat pemisah antara
pengetahuan dengan nilai-nilai. Selanjutnya apabila dikaji lebih lanjut
bagaiman Islam memandang ilmu pengetahuan, maka akan di temui bahwa
Islam mengembalikan kepada fitrah manusia tentang mencari ilmu
pengetahuan. Dalam Al-Qur‟an banyak ditemukan ayat yang menjelaskan
tentang sains, dan mengajak umat Islam untuk mempelajarinya. Tidak
diragukan lagi bahwa Al-Qur’an adalah sumber ilmu pengetahuan. Al-
Qur’an diturunkan bagi manusia sebagai pedoman dan petunjuk dalam
menganalisis setiap kejadian di alam ini yang merupakan inspirasi terhadap
pengembangan ilmu pengetahuan.

5
Secara historis dapat di ketahui bahwa dunia Islam pernah
menggapai masa kejayaan dan kemegahan yang ditandai dengan maraknya
ilmu pengetahuan dan filsafat, sehingga menjadi mercusuar baik di Barat
maupun di Timur. Pada abad pertengahan, telah bermunculan para saintis
dan filsuf kaliber dunia di berbagai lapangan keilmuan. Dikotomi ilmu
pengetahuan merupakan sebuah paradigma yang selalu marak
diperbincangkan dan tidak berkesudahan. Adanya dikotomi keilmuan ini
akan berimplikasi pada dikotomi model penidikan. Di satu pihak ada
pendidikan yang hanya memperdalam ilmu pengetahuan modern yang
kering dari nilai- nilai keagamaan, dan di sisi lain ada pendidikan yang
hanya memperdalam masalah agama yang terpisahkan dari perembangan
ilmu pengetahuan. Secara teoretis makna dikotomi adalah pemisah secara
teliti dan jelas dari suatu jenis menjadi dua yang terpisah satu sama lain
dimana yang satu sama sekali tidak dapat dimasukkan ke dalam satunya lagi
dan sebaliknya Dilihat dari kacamata Islam, jelas sangat jauh berbeda
dengan konsep Islam tentang ilu pengetahuan itu sendiri, karena dalam
Islam ilmu dipandang secara utuh dan universal tidak ada istilah pemisah
atau dikotomi.
Dalam pandangan al- Ghazali, ada dua sistem di mana ilmu itu dapat
diperoleh, yaitu usaha nyata dan inspirasi Tuhan; usaha akal dan badan di
satu sisi dan Nur Ilahi di sisi yang lain. Dua pendekatan ini sejalan dengan
2 macam ilmu di atas, dan di sinilah mystik al-Ghazali masuk dalam ranah
pendidikan lebih kuat dari pada kemampuan akal manusia. Namun ini tidak
berarti al-Ghazali menolak peran akal di dalamnya, ia hanyalah
menempatkannya pada posisi kedua setelah “nur” Tuhan. Dengan kata lain,
meskipun al-Ghazali menolak keilmuan yang berbasis logika spekulatif dan
lebih memilih keilmuan yang menggunakan pendekatan wahyu dan mystik,
tapi ia masih memberikan ruang bagi peran akal, yaitu lewat deduksi dan
pengamatan empiris. Sikap dikhotomis al-Ghazali terhadap beragam ilmu
pengatahuan yang berkembang pada saat itu dapat dilihat juga dari
klasifikasi ilmu pengetahuan yang ia susun. Di dalam kitab Ihya’ ‘ulum al-
din, secara tegas al- Ghazali membedakan antara ilmu-ilmu agama (al-

6
‘ulum al-shar’iya) dan ilmu-ilmu non agama (al-‘ulum ghair al-shar’iya).
Ilmu-ilmu agama adalah ilmu-ilmu yang mulia dan hukumnya wajib ‘ain
bagi setiap Muslim untuk mempelajarinyaDilihat dari klasifikasi ilmu di
atas, terlihat bahwa al- Ghazali secara tegas membedakan antara ilmu-ilmu
agama dengan ilmu-ilmu non-agama. Namun demikian, al-Ghazali tidak
menempatkan kedua keilmuan tersebut pada posisi “konflik” atau
bertentangan, tapi lebih pada posisi “independen” satu dengan lainnya.
Konsep-konsep al-Ghazali di atas dalam kadar tertentu berpengaruh
terhadap konsep-konsep Al-Zarnuji. Nuansa sufistik terlihat jelas pada
pemikiran-pemikiran al-Zarnuji. Namun berbeda dengan al-Ghazali, al-
Zarnuji tidak menempatkan sufisme sebagai ilmu yang paling tinggi dan
bahkan tidak memasukkan Sufisme ke dalam klasifikasi keilmuannya. Al-
Zarnuji memandang ilmu sebagai sarana untuk mencapai derajat yang tinggi
dihadapan Tuhan. Terkait dengan masalah ini, al- Zarnuji menggunakan
istilah taqwa, seperti yang nampak dalam kutipan berikut: “belajar ilmu itu
adalah mulia sebab ia dapat menghantarkan manusia ke derajat taqwa yang
menjadikannya menerima pahala Tuhan dan kebahagiaan yang abadi.”
Hanya dengan ilmu seseorang dapat menjalankan setiap kewajiban agama
di satu sisi, dan di sisi lainnya dapat menghindari setiap larangan-larangan
yang ditetapkan oleh agama. Berangkat dari pembahasan di atas, dapat
disimpulkan bahwa para ulama abad pertengahan memiliki pandangan
berbeda tentang hubungan antara ilmu dan agama. Al-Ghazali sebagai
ulama Shafi’iyah yang dinilai berkontribusi besar terhadap menyebarnya
sikap dikhotomis keilmuan dalam Islam ternyata tidak membedakan
keilmuan agama dan non-agama dalam posisi bertentangan atau “konflik”.
Al-Ghazali lebih menempatkannya pada posisi “independen” satu dengan
lainnya karena secara epistemologis sumbernya berbeda Al-Zarnuji yang
hidup satu abad setelah al-Ghazali juga tidak bisa lepas dari perkembangan
keilmuan pada masanya yang sudah terpengaruh kuat oleh pemikiran al-
Ghazali. Namun al-Zarnuji tidak sepenuhnya mengikuti pandangan al-
Ghazali terkait dengan konsep ilmu dan klasifikasi ilmu, di mana al-Zarnuji
mengkonsepsikan ilmu sama dengan fiqih, sehingga ia menempatkan fiqih

7
pada cabang ilmu yang utama bukan ilmu tasawuf. Al-Zarnuji juga tidak
mengklasifikan ilmu ke dalam ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu non-agama,
bahkan ia pun juga tidak melarang kajian terhadap berbagai cabang ilmu
non agama. Al-Zarnuji mengklasifikasikan ilmu berdasarkan hukum
mempelajarinya dalam ilmu fiqih, yaitu fardhu ‘ain dan fardhu kifayah.
C. Paradigma Ilmu- ilmu Agama Islam dan Ilmu-ilmu Umum
Ilmu menempati kedudukan yang sangat penting dalam ajaran islam,
hal ini terlihat dari banyaknya ayat al- Qur’an yang memandang orang
berilmu dalam posisi yang tinggi dan mulya disamping hadis-hadis nabi
yang banyak memberi dorongan bagi umatnya untuk terus menuntutilmu.
Didalam Al qur’an , kata ilmu dan kata-kata jadianya di gunakan lebih dari
780 kali , ini bermakna bahwa ajaran Islam sebagaimana tercermin dari al-
Qur’an sangat kental dengan nuansa- nuansa yang berkaitan dengan ilmu,
sehingga dapat menjadi ciri penting dariagama Islamsebagamana
dikemukakan oleh Dr Mahadi Ghulsyani sebagai berikut ;Salah satu ciri
yang membedakan Islam dengan yang lainnya adalah penekanannya
terhadapmasalah ilmu (sains), Al quran dan As- sunah mengajak kaum
muslim untuk mencari danmendapatkan Ilmu dan kearifan, serta
menempatkan orang-orang yang berpengetahuan padaderajat tinggi
Dengan melihat uraian sebelumnya, nampak jelas bagaimana
kedudukan ilmu dalam ajaran Islam. Al- Qur’an telah mengajarkan bahwa
ilmu dan para ulama menempati kedudukan yang sangat terhormat,
sementara hadis nabimenunjukan bahwa menuntut ilmu merupakan suatu
kewajiban bagisetiap muslim. Dari sini timbul permasalahan apakah segala
macam Ilmu yang harus dituntut olehsetiap muslim dengan hukum wajib
(fardu), atau hanya Ilmu tertentu saja?. Hal ini mengemukamengingat
sangat luasnya spsifikasi ilmu dewasa ini .Pertanyaan tersebut di atas
nampaknya telah mendorong para ulama untuk melakukan pengelompokan
(klasifikasi) ilmu menurut sudut pandang masing-masing, meskipun
prinsipdasarnya sama ,bahwa menuntut ilmu wajib bagi setiap muslim

8
BAB III

PENUTUP

A. Simpulan
Dalam Islam, pengetahuan dihargai sebagai sarana untuk memahami
dan menghargai ciptaan Allah serta untuk meningkatkan kualitas hidup
umat manusia. Islam mendorong umatnya untuk mencari pengetahuan
dalam berbagai bidang, baik ilmu agama maupun ilmu pengetahuan umum,
dan mengintegrasikannya untuk mencapai pemahaman yang lebih utuh
tentang dunia dan peran manusia di dalamnya.
Pentingnya integrasi ilmu dalam Islam dapat dilihat dari beberapa
prinsip dan ajaran yang terkandung dalam agama ini. Salah satunya adalah
konsep tawhid, yaitu keyakinan bahwa segala sesuatu di alam semesta ini
berasal dari Allah yang Maha Esa. Dalam konteks ilmu pengetahuan, hal ini
mengajarkan bahwa ilmu agama dan ilmu pengetahuan dunia adalah saling
melengkapi dan memiliki tujuan yang sama, yaitu mengungkap kebenaran
yang terkandung dalam ciptaan Allah.
Selain itu, Islam juga menekankan pentingnya keadilan,
kebijaksanaan, dan penggunaan ilmu dengan bijak. Integrasi ilmu dalam
Islam tidak hanya mencakup aspek teoritis, tetapi juga praktis. Ilmu
pengetahuan yang diperoleh harus digunakan untuk meningkatkan
kesejahteraan manusia, memperbaiki masyarakat, dan mengatasi berbagai
masalah yang dihadapi umat manusia.Dalam praktiknya, integrasi ilmu
dalam Islam dapat terlihat dalam pengembangan berbagai disiplin ilmu
seperti astronomi, matematika, kedokteran, arsitektur, dan banyak lagi. Para
ilmuwan Muslim pada masa lampau telah membuat kontribusi yang
signifikan dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.Islam
mendorong integrasi ilmu sebagai cara untuk memahami dunia yang lebih
komprehensif, menghargai keajaiban ciptaan Allah, dan meningkatkan
kualitas hidup umat manusia. Integrasi ilmu dalam Islam melibatkan
penggabungan pengetahuan agama dan pengetahuan dunia, serta
penggunaannya dengan bijak dan bertanggung jawab. Dalam praktiknya,

9
integrasi ilmu ini dapat menghasilkan pemahaman yang lebih dalam tentang
dunia dan manusia, serta kemajuan dalam berbagai bidang kehidupan
B. Kritik dan Saran
Demikian makalah ini kami susun, kami sadar bahwa masih banyak
kekurangan dan kesalahan baik dalam segi penyampaian maupun
penyusunan makalah ini. Maka dari itu, kritik dan saran yang membangun
sangat kami harapkan guna memperbaiki penyusunan makalah kami
selanjutnya. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua.

10
DAFTAR PUSTAKA

Shadily, Hassan dan John M. Echlos. Kamus Inggris-Indonesia. (Jakarta: PT.


Gramedia Pustaka Utama, 2003).
Suprayono, Imam. Paradigma Pengembangan Keilmuan Perspektif UIN Malang.
(Malang: UIN Malang Press, 2006).
Zainuddin, DKK. Islam dan Ilmu Pengetahuan. (Padang: Global Eksekutif
Teknologi). 2022
http://id.wikipedia.org/wiki/Integrasi_sosial di akses pada tanggal 10 Juli 2023

11

Anda mungkin juga menyukai