Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH ISLAM, SAINS, DAN TEKNOLOGI

“INTEGRASI INTERKOMUNIKASI ILMU PENGETAHUAN”

Diajukan untuk memenuhi Tugas Kelompok


Mata Kuliah Islam, Sains, Dan Teknologi
Dosen Pengampun : Pri Utami, S.Pd.,M.Si

Disusun oleh
Kelompok 2 :
1. Alifia Nur Ramadhani (1901010034)
2. Dilla Fadillah (1901010114)
3. Cika Maypiyani (1901010073)
4. Octavia Nur Rahmawati (1901010097)
5. Isnadya Muharromah (1901010104)
6. Sarifah Isnaini (1901010105)

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK


PROGRAM STUDI ILMU ADMINISTRASI NEGARA
UNUVERSITAS ISLAM SYEKH-YUSUF TANGERANG
2020-2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga
kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “Integrasi Interkomunikasi Ilmu
Pengetahuan” tepat pada waktunya. Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk
memenuhi tugas mata kuliah Islam, Sains, dan Teknologi. Selain itu, makalah ini juga bertujuan
untuk menambah wawasan tentang kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi islam bagi para
pembaca dan juga bagi penulis.
Kami mengucapkan terimakasih kepada Bapak Pri Utami, S.Pd.,M.Si. selaku dosen Islam,
Sains, Dan Teknologi yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah pengetahuan
dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang kami tekuni. Kami juga mengucapkan terima
kasih kepada semua pihak yang telah membagi sebagian pengetahuannya sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah kami. Kami menyadari makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan kami terima demi
kesempurnaan makalah ini.

Tangerang, 07 Juli 2021

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ……………………………………………………………. i


DAFTAR ISI ……………………………………………………………………… ii
BAB I PENDAHULUAN ………………………………………………………… 1
A. Latar belakang …………………………….……………………………….. 1
B. Rumusan Masalah ………………………………………………………….. 1
C. Tujuan Penulisan …………………………………………………………… 1
BAB II PEMBAHASAN ………………………………………………………….. 2
A. Landasan Integrasi – Interkomunikasi Ilmu ……………………………….. 2
B. Kerangka Dasar Itegrasi – Interkomunikasi Ilmu ………………………….. 3
C. Ranah Integrasi – Interkomunikasi Ilmu …………………………………… 5
D. Aksologi Sains dan Ilmu …………………………………………………… 8
E. Sumber Nilai Sains dan Agama ……………………………………………. 9
BAB III PENUTUP ……………………………………………………………….. 12
A. Kesimpulan ………………………………………………………………… 12
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………………... 13

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Ilmu merupakan hal terpenting bagi semua orang. Orang yang mempunyai ilmu pastilah
mempunyai kedudukan yang lebih dari pada yang tidak memilikinya. Ilmu sudah menjadi suatu
kebutuhan untuk dapat hidup di zaman sekarang ini. Orang akan lebih mudah mendapatkan
pekerjaan manakala dia mempunyai ilmu yang lebih dibanding dengan lainnya.
Islam mengembangkan ilmu yang bersifat universal dan tidak mengenal dikotomi antara ilmu
agama, ilmu sosial-humaniora dan ilmu alam. Suatu ilmu secara epistimologis dikatakan sebagai
ilmu keislaman ketika ilmu tersebut sesuai dengan nilai dan etika islam. Ilmu yang berangkat
dari nilai dan etika islam pada dasarnya bersifat objektif. Dengan demikian dalam islam terjadi
proses objektifitas, tidak membedakan golongan, etnis maupun suku bangsa.
Keberadaan beragam disiplin ilmu, baik ilmu agama, ilmu-ilmu alam maupun humaniora,
hakikatnya adalah upaya manusia untuk memahami kompleksitas dimensi-dimensi hidup
manusia tersebut. Setiap disiplin ilmu mencoba menyelami dimensi tertentu dari hidup manusia.
Dari asumsi tersebut, maka sikap mencukupkan diri dengan hanya salah satu disiplin ilmu saja
dapat dikatakan sikap yang tidak bijaksana.
Apakah hanya satu ilmu yang kita pelajari dikehidupan? “tentu saja tidak”, pada dasarnya
semua ilmu seharusnya kita intergrasikan agar kita lebih tahu keangungan Tuhan dalam
menciptakan alam semesta ini. Dengan mengintergrasikan antar ilmu maka pengetahuan kita
akan semakin luas. Bagaimanakah mengintegrasikan antar ilmu. Dengan latar belakang tersebut
maka makalah ini akan menjelaskan lebih dalam tentang integrasi-interkoneksi ilmu. Diantara
landasan integrasi-interkoneksi ilmu, kerangka dasar, ranah integrasi-interkoneksi ilmu,
aksiologi sains dan ilmu, serta sumber nilai sains dan agama.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana landasan integrasi-interkoneksi ilmu?
2. Bagaimana kerangka dasar integrasi-interkoneksi ilmu?
3. Bagaimana ranah integrasi-interkoneksi ilmu?
4. Bagaimana aksiologi sains dan ilmu?
5. Bagaimana sumber nilai sains dan agama?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui landasan integrasi-interkoneksi ilmu.
2. Untuk mengetahui kerangka dasar integrasi-interkoneksi ilmu.
3. Untuk mengetahui ranah integrasi-interkoneksi ilmu.
4. Untuk mengetahui aksiologi sains dan ilmu.
5. Untuk mengetahui sumber nilai sains dan agama.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Landasan Integrasi - Interkoneksi Ilmu

1. Landasan Teologis.
Dapat dikatakan pendidikan Islam selama ini terseret dalam alam pemikiran modern yang
sekuler, sehingga secara tidak sadar memisah-misah antara pendidikan keimanan (ilmu-ilmu
agama) dengan pendidikan umum (ilmu pengetahuan) dan pendidikan akhlak (etika).
Dampaknya adalah terjadi kmunduran umat Islam dalam bidang ilmu pengetahuan di level
apapun ( Tim Pokja UIN Sunan Kalijaga, 2006).
Pendidikan modern memang mengembangkan disiplin ilmu dengan spesialisasi secara ketat,
sehingga keterpaduan antar disiplin keilmuan mejadi hilang dan berimplikasi pada terbentukya
perbedaan sikap dikalangan umat islam secara tajam terhadap kedua kelompok ilmu. Ilmu-ilmu
agama disikapi dan diperlakukan sebagai ilmu Allah yang bersifat sacral dan wajib untuk
dipelajari. Sebaliknya, kelompok ilmu umum, baik ilmu kealaman maupun social dianggap ilmu
manusia yang dianggap tidak wajib untuk dipelajari. Situasi seperti ini, membawa akibat ilmu-
ilmu agama menjadi tidak menarik karena terlepas dari kehidupan nyata, sementara ilmu-ilmu
umum berkembang tanpa sentuhan etika dan spiritualitas agama
( Tim Pokja UIN Sunan Kalijaga, 2006).

2. Landasan Filosofis.
Keberadaan beragam disiplin ilmu, baik ilmu agama, ilmu-ilmu alam maupun humaniora,
hakikatnya adalah upaya manusia untuk memahami kompleksitas dimensi-dimensi hidup
manusia tersebut. Setiap disiplin ilmu mencoba menyelami dimensi tertentu dari hidup manusia.
Dari asumsi tersebut, maka sikap mencukupkan diri dengan hanya salah satu disiplin ilmu saja
dapat dikatakan sikap yang tidak bijaksana ( Tim Pokja UIN Sunan Kalijaga, 2006).
Maka untuk mengkonstruk satu paradigma keilmuan baru yang tidak merasa puas hanya
dengan mendalami salah satu disiplin keilmuan namun juga mengkaji berbagai disiplin
keilmuan. Bahkan paradigma baru ini bermaksud merumuskan keterpaduan dan keterkaitan antar
disiplin ilmu sebagai jembatan untuk memahami kompleksitas hidup manusia demi
meningkatkan kualitas hidup baik dalam aspek material, moral maupun spiritual ( Tim Pokja
UIN Sunan Kalijaga, 2006).

3. Landasan Kultural.
Ilmu pengetahuan baik ilmu alam maupun social bersifat universal walaupun berkembang
dalam konteks budaya barat. Pendidikan Islam di Indonesia berhadapan dengan persoalan
kesenjangan budaya, yakni kesenjangan antara budaya local Indonesia dan budaya global agama
dan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, proses pendidikan tidak mungkin mengabaikan budaya
local sebagai basis cultural, baik dalam menerjemahkan Islam maupun dalam mengembangkan
ilmu pengetahuan ( Tim Pokja UIN Sunan Kalijaga, 2006).

2
4. Landasan Sosiologis.
Secara sosiologis masyarakat Indonesia terdiri dari beragam suku bangsa, budaya dan agama.
Keragaman ini sering kali melahirkan berbagai konflik yang mengancam integrasi bangsa.
Secara teologis-normatif tidak ada agama maupun budaya manapun yang membenarkan perilaku
agresif terhadap orang lain, bahkan menekankan hidup rukun dan damai. Akan tetapi kerukunan
dan kedamaian yang didambakan terancam oleh pandangan yang selalu merasa paling
benar( truth claim) yang pada gilirannya memunculkan prasangka-prasangka social terhadap
kelompok lain ( Tim Pokja UIN Sunan Kalijaga, 2006).
Lahirnya truth claim mengganggu hubungan antar pemeluk agama dan kelompok masyarakat
yang sering kali berawal dari penafsiran keagamaan yang skripturalistik, lepas dari konteks
kekinian sehingga tidak jarang lulusan PTAI yang oleh sebagian masyarakat dipandang tidak
mampu menyelesaikan konflik di masyarakat. Hal ini bias terjadi karena PTAI cenderung
mengembangkan rumpun mata kuliah ke-Islaman yang tampaknya terpisah dari konteks
keragaman masyarakat Indonesia dan konteks global serta perkembangan Iptek
( Tim Pokja UIN Sunan Kalijaga, 2006).

5. Landasan Psikologis.
Paradigma integrasi-interkoneksi ilmu dimaksudkan untuk memahami dan membaca
kehidupan manusia yang kompleks secara padu dan holistic. Pembacaan holistic tersebut
dirangkum dalam tiga level atau dalam bahasa teologis dapat dikatakan secara simplistic sebagai
iman, ilmu da amal. Secara psikologis, paradigma ini memiliki urgensi yang sangat besar. Iman
berkait dengan keyakinan, ilmu berkait dengan kognisi dan pengetahuan, dan amal berkait
dengan praksis dan realitas keseharian. Paradigma integrasi interkoneksi ini bermaksud
membaca secara utuh dan padu ketiga aspek tersebut ( Tim Pokja UIN Sunan Kalijaga, 2006).

B. Kerangka Dasar Integrasi-Interkoneksi Ilmu


Pada dasarnya, Islam mengembangkan ilmu yang bersifat universal dan tidak mengenal
dikotomi antara ilmu agama, ilmu sosial-humaniora dan ilmu alam. Suatu ilmu secara
epistimologis dikatakan sebagai ilmu keislaman ketika ilmu tersebut sesuai dengan nilai dan
etika islam. Ilmu yang berangkat dari nilai dan etika islam pada dasarnya bersifat objektif.
Dengan demikian dalam islam terjadi proses objektifitas, tidak membedakan golongan, etnis
maupun suku bangsa.
Ilmu yang terintegrasi-interkoneksi mempelajari ilmu agama, ilmu sosial-humaniora dan
ilmu sains secara parsial. Dengan demikian seluruh bidang keilmuan itu dapat dikatakan sebagai
ilmu keislaman secara ontologis, epistimologis dan aksiologis. Hal inilah yang membedakan
ilmu keislaman dengan ilmu sekuler (Hamami, 2006).
Ilmu sekuler mengaku diri sebagi objektif, value free, bebas dari epentingan lainnya. Tetapi
ternyata bahwa ilmu telah melampaui dirinya sendiri. Ilmu yang semula adalah ciptaan manusia
telah menjadi penguasda atas manusia. Ilmu menggantikan kedudukan wahyu Tuhan sebagai
petunjuk kehidupan (Kuntowijoyo, 2006).
Dalam kajian ilmu keislaman, Al-Qur’an dan As-Sunah sebagai kajian utama. Ilmu pada
lapisan ke dua dan seterusnya, satu sama lain saling berinteraksi, saling memperbincangkan, dan

3
saling menghargai atau mempertimbangkan secara sensitif terhadap kehadiran ilmu lainnya. Dari
gambar tampak jelas bahwa sudah tidak dikenal lagi istilah dikotomi.
Meskipun al-Qur’an dan al-Sunah sebagai sentralnya, namun cara memperoleh kebenaran
tidak hanya dari al-Quran dan al-Sunah, tetapi dibutuhakn ilmu pengetahuan lain (ilmu sosial-
humaniora dan ilmu sains). Berdasarkan gamabar, struktur keilmuannya bersifat
teoantroposentrik, integratif-inerkonektif. Harapannya dalah ilmu-ilmu tersebut tidak terisolasi,
tidak bersifat myopik, tetapi bersifat luas dan komprehensif.
Budaya agama yang semata-mata mengacu pada teks (hadlarah al-nash) tidak bisa berdiri
sendiri, terlepas dari budaya ilmu (sosial, humaniora, sains dan teknologi) dan budaya falsafah
(etnik-emansipatoris), dan begitu juga sebaliknya. Budaya ilmu yaitu ilmu empiris yang
menghasilkan ilmu alam dan teknologi, tidak akan punya “karakter”, dan etos yang memihak
padakehidupan manusia dan lingkungan hidup, juka tidak dipadu oleh falsafah (budaya etik-
emansipatoris) yang kokoh. Sementara itu, budaya agama yang semata-mata mengacu pada teks
dikombinasikan dengan budaya ilmu tanpa mengenal humanitis dan isu-isu kontemporer sedikit
pun juga berbahaya, karena jika tidak berhati-hati akan musah terbawa arus ke arah gerakan
redikalisme-fundamentalisme negatif. Untuk itu diperlukan budaya falsafah (etnik yang bersifat
transformatif-emansipatoris). Begitu juga budaya falsafah akan terasa kering dan hampa jika
tidak terkait dengan isu-isu keagamaan yang termuat dalam budaya teks dan lebih-lebih jika
menjauh dari problem-problem yang ditimbulakan dan dihadapi sains (budaya ilmu empiris-
teknis).
Dalam mempelajari ilmu harus menghindari jebakan-jebakan keangkuhan disiplin ilmu
yang merasa “pasti” dalam wilayahnya sendiri-sendiri tanpa mengenal masukan dari disiplin di
luar dirinya. Jika diskemakan, rancangan bangunan keilmuan yang baik adalah:
1. Bangunan keilmuan tidaklah terisolasi (terpisah) dengan yang lainnya.
2. Bangunan keilmuan juga tidak boleh hanya budaya teks tanpa dikombinasi dengan
sains dan budaya falsafah (Hamami, 2006).

Menurut al-Qur’an pun ilmu tidak hanya dua macam, tetapi ada tiga yaituilmu nafsiyah
(humaniora), ilmu kauniyah (ilmu alam) san ilmu kauliyah (hukum tuhan) (Kuntowijoyo, 2006).
Pendekatan integratif adalah terpadunya kebenaran wahyu dalam bentuk pembilangan ilmu yang
terkait dengan sumber kebenaran dengan bukti-bukti yang ditemukan di alam semesta. Walaupun
dilakukan pembidangan, tetapi masing-masing bidang ilmu saling terintegrasi. Dikatakan
terintegrasi bukan berarti mengalami peleburan menjadi satu bentuk ilmu yang identik,
melainkan terpadunya karakter, corak, dan hakikat ilmu tersebut dalam semua kesatan
dimensinya (Hamami, 2006).

4
Menurut Kuntowijoyo, dalam bukunya Islam sebagai Ilmu, ilmu integralistik adalah ilmu
yang menyatuakan (bukan sekedar menggabungkan) wahyu Tuhan dan temuan pikiran
manusiadiharapkan bahwa integralisme akan sekaligus menyelesaikan konflik antara sekularisme
ekstrem dan agama-agama radikal dalam banyak sektor.
Pendekatan interkonektif adalah terkaitnya suatu pengetahuan dengan pengetahuan yang lain
melalui satu hubungan yang saling mempertimbangkan. Bidang ilmu yang yang berkarakteristik
integratif sudah tentu memiliki interkoneksi antarbagian keilmuannya. Sebaliknya, karena tidak
sema bidang ilmu dapat diintegrasikan, maka paling tidak masing-masing ilmu memiliki
kepekaan akan perlunya interkoneksi untuk menutup kekurangan yang melekat dalam dirinya
sendiri jika berdiri sendiri.
Proyek besar reintegrasi epistimologi keilmuan umum dan agama mengandung arti
pentingnya dialog dan kerjasama antar disiplin ilmu. Pendekatan integratif dan interkonektif
antar disiplin ilmu keislaman, sosial, humaniora, kealaman dan disiplin ilmu lain perlu mendapat
skala pengembangan terus menerus (Hamami, 2006).

C. Ranah Intergrasi - Interkoneksi Ilmu

1. Ranah Filosofis.
Abad pertengahan dan abad modern / Renaissance memiliki perbedaan dengan era sekarang.
Dunia pengetahuan pada abad pertengahan diwarnai dengan dominasi agama atas rasio.
Penalaran rasional dikembangkan dalam batas-batas dogma keagamaan. Implikasi dari dominasi
semacam ini dapat dilihat di Eropa, seperti hegemoni kebenaran Gereja dalam segala aspek
kehidupan termasuk dunia ilmu. Sementara di masa modern, dunia ilmu bergeser dari dominasi
agama atas rasio kepada dominasi rasio atas agama (Tim Pokja, 2006).
Belajar dari 2 periode historis sejarah tersebut, dunia pengetahuan haruslah dibersihkan dari
dominasi, apakah itu agama atas ilmu atau sebaliknya. Pada era kontemporer kecenderungan
untuk menghargai setiap bangunan keilmuan masih sangat kuat dan bahkan meyakini adanya
interkoneksi antar ilmu pengetahuan. Merajut paradigma interkoneksi antara agama dan ilmu,
bahkan antar agama, ilmu, filsafat, tradisi, dan system episteme lainnya merupakan suatu
kebutuhan pokok manusia sekarang. Paradigma keilmuan yang seperti ini lebih sehat karena
memiliki implikasi saling mengapresiasi dan saling memberdayakan antar masyarakat, budaya,
bangsa, etnis, dan tradisi keagamaan (Tim penyusun Pokja, 2006).
Integrasi dan interkoneksi pada ranah filosofis dalam pengajaran dimaksudkan bahwa setiap
mata kuliah harus diberi nilai fundamental eksistensial dalam kaitannya dengan disiplin
keilmuan lainnya dan dalam hubungannya dengan nilai-nilai humanistiknya. Dengan demikian,
integrasi-interkoneksi dalam ranah filosofis berupa penyadaran eksistensi bahwa suatu disiplin
ilmu selalu bergantung pada disiplin ilmu lainnya (Tim penyusun Pokja, 2006).

5
2. Ranah Materi.
Integrasi-interkoneksi pada ranah materi merupakan suatu proses bagaimana
mengintegrasikan nilai-nilai kebenaran universal umumnya dan keislaman khususnya ke dalam
pengajaran mata kuliah umum seperti filsafat, antropologi, sosiologi, hukum, politik, psikologi
dan lain sebagainya dan sebaliknya ilmu-ilmu umum ke dalam kajian-kajian keagamaan dan
keislaman. Selain itu juga termasuk mengkaitkan suatu disiplin ilmu yang satu dengan yang
lainnya dalam keterpaduan epistimologis dan aksiologis (Tim penyusun Pokja, 2006).
Menurut Tim penusun pokja (2006) implementasi integrasi-interkoneksi pada ranah materi ada 3
model, yaitu:
a. Model pengintegrasian ke dalam paket kurikulum.
Misalnya dalam waktu 8 semester mahasiswa harus menyelesaikan bobot studi sebanyak 142
SKS dengan komposisi 50% ilmu-ilmu keislaman dan keagamaan dan 50% sisanya adalah ilmu
umum. Jadi hanya sekedar menyandingkan mata kuliah-mata kuliah yang mewakili ilmu-ilmu
keislaman atau keagamaan dan yang mewakili ilmu-ilmu umum. Proses interkoneksi
keilmuannya akan terpusat pada kreativitas mahasiswa memahami dan menghubungkan antara
keduanyaan.

b. Model penamaan mata kuliah yang menunjukkan hubungan antara 2 disiplin ilmu
umum dan keislaman.
Model ini menuntut setiap mata kuliah mencantumkan kata islam, seperti ekonomi islam,
politik islam, sosiologi islam, antropologi islam, sastra islam, pendidikan islam, filsafat islam, dll
sebagai refleksi dari suatu integrasi keilmuan yang dilakukan.

c. Model pengintegrasian ke dalam tema-tema mata kuliah.


Model ini menuntut setiap pengajaran mata kuliah keislaman dan keagamaan harus
diinjeksikan teori-teori keilmuan umum terkait sebagai wujud interkoneksi antara keduanya, dan
sebaliknya dalam setiap pengajaran mata kuliah ilmu-ilmu umum harus diberikan wacana-
wacana teoritik keislaman dan keagamaan sebagaimana terkandung dalam ilmu-ilmu keislaman
sebagai wujud interkoneksi antar keduanya, tanpa embel-embel nama Islam pada mata kuliah
yang bersangkutan.

3. Ranah Metodologi.
Menurut Kuntowijoyo (2007: 49), ada dua metodologi yang digunakan dalam proses
pengilmuan islam, yaitu integralisasi dan objektifikasi. Pertama integralisasi adalah
pengintegrasian kekayaan keilmuan manusia dengan wahyu. Kedua, objektifikasi adalah,
menjadikan pengilmuan islam sebagai rahmat untuk semua orang. Ilmu integralistik adalah ilmu
yang menyatukan (bukan sekedar menggabungkan) wahyu Tuhan dan temuan pikiran manusia.
Ilmu integralistik tidak akan mengucilkan wahyu Tuhan atau mengucilkan manusia. Diharapkan
inntegralisme akan sekaligus menyelesaikan konflik antara sekularisme eksrim dan agama-
agama radikal dalam banyak sector.

6
Metodologi yang dimaksud dalam integrasi dan interkoneksi ialah metodologi yang
digunakan dalam pengembangan ilmu yang bersangkutan. Setiap ilmu memiliki metodologi
penelitian yang khas disamping metodologi penelitian umum yang biasa digunakan, misalnya
ilmu psikologi mempunyai metodologi khas yang digunakan seperti introspeksi, ekstrospeksi dan
retrospeksi dan metode umum yang digunakan seperti kuisioner, wawancara dan observasi.
Tidak sebatas metodologi yang digunakan, di sini yang dimaksud dengan metodologi juga bisa
dalam pengertian yang lebih luas yang berupa pendekatan. Misalnya dalam psikologi dikenal
beberapa pendekatan seperti fenomenologis, kontemplatif, dan normatif (Tim Pokja UIN Sunan
Kalijaga, 2006).
Ranah metodologis ini tentu saja dibahas dalam konteks struktur keilmuan integrative-
interkonektif. Ketika sebuah ilmu diintegrasikan atau diinterkoneksikan dengan disiplin ilmu
lain, misalnya psikologi dengan nilai islam, maka secara metodologi ilmu interkonektif tersebut
harus menggunakan pendekatan dan metode yang aman dengan ilmu tersebut. Contohnya
pendekatan fenomenologis yang memberi apresiasi empatik dari orang yang mengalami
pengalaman dianggap lebih aman dibandingkan dengan pendekatan lain yang mengandung bias
anti agama seperti psiko-analisis (Tim Pokja UIN Sunan Kalijaga, 2006).

4. Ranah Strategi.
Ranah strategi yang dimaksud di sini ialah ranah persiapan atau praksis dari proses
pembelajaran keilmuan integrative-interkonektif. Dalam konteks ini, setidaknya kualitas
keilmuan serta keterampilan mengajar dosen menjadi kunci keberhasilan perkuliahan berbasis
paradigm interkonektif. Pembelajaran dengan model active learning dengan berbagai strategi dan
metodenya menjadi keharusan (Tim Pokja UIN Sunan Kalijaga, 2006).
Misalnya pada hal ini, dosen menunjukkan kasus-kasus hokum tertentu dalam mata kuliah
Fiqh, kemudian menunjukkan referensi tentang teori-teori social dalam ilmu sosiologi terkait
dengan pemutusan hokum kasus dimaksud secara sosiologis, kemudian mahasiswa dituntut
untuk aktif dalam melakukan kajian sebelum proses pembahasan dengan dosen. Jika dalam hal
ini dosen fiqh masih awam tentang sosiologi tentu menjadi hambatan besar untuk merealisasikan
paradigm interkonektif ( Tim Pokja UIN Sunan Kalijaga, 2006).
Intinya, seorang dosen atau guru yang akan mengintegrasi dan menginterkoneksikan dua
ilmu harus menguasai ilmu yang bersangkutan terlebih dahulu. Kelemahan seorang dosen yang
masih awam mengenai ilmu yang akan diintegrasikan dapat disiasati dengan menerapkan model
pembelajaran team teaching. Semakin banyak mata kuliah atau ilmu yang diintegrasi dan
dinterkoneksikan maka akan semakin membutuhkan strategi pembelajaran yang melibatkan
banyak dosen terkait ilmu yang dikaji ( Tim Pokja UIN Sunan Kalijaga, 2006).

7
D. Aksiologi Sains Dan Ilmu
Bidang garapan filsafat ilmu terutama diarahkan pada komponen-komponen yang meliputi
tiang penyangga bagi eksistensi ilmu, yaitu ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Aksiologi
meliputi nilai-nilai (values) yang bersifat normatif dalam pemberian makna terhadap kebenaran
atau kenyataan sebagaimana dijumpai dalam kehidupan yang menjelajahi berbagai kawasan,
seperti kawasan simbolik atau kawasan fisik material. Lebih dari itu, nilai-nilai juga ditunjukkan
oleh aksiologi ini sebagai suatu condition sine quanon yang wajib dipatuhi dalam kegiatan, baik
dalam melakukan penelitian maupun di dalam menerapkan ilmu (Maksudin, 2003).
Menurut Max Scheler dalam Maksudin (2003)., nilai merupakan sesuatu kenyataan yang
pada umumnya tersembunyi di balik kenyataan-kenyataan yang lain. Atau dapat dikatakan
sebaliknya bahwa kenyataan lain merupakan pembawa nilai seperti halnya suatu benda dapat
menjadi pembawa warna merah atau warna lainnya.
Scheler menegaskan nilai-nilai moral tidak tersembunyi di balik tindakan-tindakan yang pada
dirinya bersifat baik, tetapi di balik tindakan-tindakan yang menyimpan atau mewujudkan nilai-
nilai lain secara benar. Ditegaskan pula bahwa nilai-nilai itu sungguh merupakan kenyataan yang
benar-benar ada, bukan hanya yang dianggap ada. Karena nilai itu benar-benar ada, walaupun
tersembunyi di balik kenyataan lain, tidak berarti sama sekali tidak tergantung pada kenyataan-
kenyataan lain karena meskipun kenyataan-kenyataan lain yang membawa nilai-nilai itu berubah
dari waktu ke waktu, nilai-nilai itu sendiri bersifat mutlak dan tidak berubah. Di balik dunia yang
tampak ini, menurut Max Scheler, tersembunyi dunia nilai-nilai yang amat kaya. Oleh karena itu
ia menolak kecenderungan beberapa pemikir yang mengembalikan semua nilai pada beberapa
atau bahkan hanya kepada satu nilai saja.
Karena dunia nilai itu begitu kaya, nilai tidak bisa disimpulkan dalam satu atau beberapa
nilai saja. Semua itu berasal dari Allah sebagai nilai yang tertinggi. Setiap nilai merupakan salah
satu wujud nilai Ilahi yang secara sebagian saja dapat memantulkan keagungan-Nya.
Selanjutnya, Max Scheler menegaskan walaupun nilai-nilai harus dicari di balik kenyataan-
kenyataan lain yang selalu berubah, nilai-nilai itu tetap bukan ciptaan manusia. Oleh karena
alasan itu, relativisme nilai seperti tampak pada beberapa pemikir lain harus ditolak karea Allah
sendirilah sumber nilai satu-satunya. Dengan demikian, manusia hanya mampu memahami,
menemukan, atau mewujudkan nilai (Maksudin, 2003)..
Max Scheler berpendapat bahwa manusia memahami nilai dengan hatinya dan bukan dengan
akalnya. Manusia berhubungan dengan dunia lain dengan keterbukaan dan kepekaan hatinya.
Dalam memahami suatu nilai, manusia tidak melalui kegiatan berfikir mengenai nilai itu, tetapi
dengan mengalami dan mewujudkan nilai itu, seperti halnya seorang pelukis yang baru
memahami paa yang dilukisnya, sementara ia masih sibuk melukisnya. Seseorang hanya
memahami nilai cinta bila ia sedang mencinta. Seseorang hanya memahami sahabatnya, bila ia
memasuki kehidupan sahabatnya itu dengan segenap hati.
Menurut Maksudin (2003).Sains dan agama nondikotomik sarat muatan nilai yang
merupakan bagian nilai tak terpisahkan di dalam kajian aksiologi sains dan agama itu sendiri.
Keberadaan nilai-nilai tersembunyi di balik fenomena empirik. Pendapat Max Scheler esensi
nilai dalam perspektif fenomenologis mencakup (1) nilai sebagai pusat moralitas (2) nilai

8
mendahului pengalaman (3) nilai bersifat mutlak dan apriori (4) nilai ditemukan bukan
diciptakan (5) nilai dirasakan bukan dipikirkan (6) nilai berhierarki.
Keenam, esensi nilai tersebut tampak relevansinya dengan pandangan nilai dalam Islam.
Pertama, Scheler menempatkan nilai sebagai pusat moralitas. Prinsip Islam sangat jelas dalam
menempatkan nilai moral (akhlak) sebagai pilar Islam. Pilar Islam adalah akidah, syari’ah, dan
akhlak. Hal ini diperkuat hadits Nabi Muhammad SAW yang artinya “sesungguhnya aku diutus
untuk menyempurnakan akhlak mulia”. Kedua, keberadaan nilai mendahului pengalaman,
artinya nilai sudah ditentukan oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah sebelum dilakukan manusia.
Pengalaman dalam Islam merupakan bagian substansial yang berkaitan dengan perilaku lahir dan
batin bagi manusia. Ketiga, nilai bersifat mutlak dan apriori, artinya keberadaan dan kebenaran
nilai tidak dipengaruhi oleh ada atau tidaknya pelaku dan tidak terbatas ruang dan waktu. Dapat
dikatakan bahwa Islam merupakan sistem nilai. Oleh karena itu, keberlakuan nilai-nilai (akidah,
syari’ah, dan akhlak) dalam Islam bersifat sepanjang zaman (waktu) dan tempat. Keempat, nilai
ditemuakan bukan diciptakan. Hal ini berarti bahwa keberadaan nilai itu tinggal dicari,
ditemukan, dan diwujudkan. Nilai dalam Islam secara garis besar dikategorikan ke dalam dua
dimensi ketuhanan dan dimensi kemanusiaan (Maksudin, 2003).
Kelima, nilai dirasakan bukan dipikirkan. Hal ini dpat diartikan bahwa nilai itu tidak perlu
dipikrkan, tetapi melalui hati nurani dan rasa atau perasaan dan keasadaran, nilai cukup disadari
(dipahami), diamalkan dan dirasakan. Nilai dalam Islam mutlak untuk diwujudkan dan dirasakan
dengan kesadaran dan kesabaran. Dengan kata lain, nilai dalam Islam diwujudkan dengan
tazkiyah. Keenam, nilai itu berhierarki, artinya nilai memiliki hierarki. Nilai dalam Islam sangat
jelas hierarkinya, misalnya nilai halal-haram, wajib-sunat, sah-batal, benar-salah, terpuji-tercela,
dan lain sebagainya (Maksudin, 2003).

E. Sumber Nilai Sains Dan Agama


Disebutkan dalam salah satu hadits Nabi: yang artinya: “telah aku (Muhammad) tinggalkan
dua perkara, jika kalian berpegang teguh kepadanya, niscaya kalian tidak akan tersesat:
Kitabullah dan Sunnah Rasol-Nya (HR. Malik bin Anas). Pesan Hadits di atas jelas dan tegas
bahwa bia berpegang pada Al-Qur’an dan hadits akan terhindar dari kesesatan (Maksudin, 2003).
Al-Qur’an merupakan sumber nilai yang absolut, yang eksistensinya tidak mengalami
perubahan walaupun interpretasinya dimungkinkan mengalami perubahan sesuai dengan konteks
zaman, keadaan, dan tempat. Sumber nilai absolut dalam Al-Qur’an adalah nilai Ilahi dan tugas
manusia untuk menginterpretasikan nilai-nilai itu. Dengan interpretasi tersebut, manusia akan
mampu menghadapi ajaran agama yang dianut. Lebih lanjut ia mengatakan konseptualisasi
pendidikan Islami bertolak dari “bahwa telah Aku (Allah) sempurnakan agamamu” maka nash
adalah sumber kebenaran, kebajikan dan rahmat bagi umat manusia (Maksudin, 2003).
Menurut Abdurrahman Saleh Abdullah, Al-Qur’an itu memang diperuntukkan bagi umat
manusia dan eksistensi pandangan Al-Qur’an senantiasa mengacu kepada dunia ini yang
porsinya sama dengan kehidupan akhirat. Secara garis besar tujuan pokok diturunkannya Al-
Qur’an adalah : (1) sebagai petunjuk akidah (2) petunjuk syari’ah (3) petunjuk akhlak. Bahkan
Al-Qur’an mengilhami tiga pokok aspek ilmu pengetahuan, yaitu (1) aspek etik termasuk aspek-
aspek perseptual dalam ilmu pengetahuan (2) aspek historik dan psikologis (3) aspek observatif
dan eksperimental.

9
Kemudian masing-masing aspek tersebut berkaitan dengan hal yang lain, seperti aspek etik
berkaitan dengan prinsip dasar keyakinan, perbuatan, moralitas, baik perorangan maupun
kemasyarakatan serta pandangan menuju kehidupan terbaik di dunia dan di akhirat. Aspek-aspek
psikologik dan historik berkaitan dengan berbagai sikap dan cara berpikir manusia dan bangsa
terkait atau menyimpang dari warna agama, sedangkan aspek observatif dan eksperimental
sebagai sumber utama untuk memperoleh ilmu pengetahuan tentang benda-benda yang
berhubungan dengan penciptanya. Titik temu dari ketiga aspek ilmu pengetahuan yang diilhami
oleh Al-Qur’an terfokus pada prinsip tauhid yang merupakan faktor yang berperan dalam
kehidupan intelektual dan emosional manusia. Tauhid merupakan landasan spiritual Islam
tertinggi dan termasuk di dalamnya pendidikan Agama Islam (Maksudin, 2003).
Sumber utama ilmu pengetahuan adalah Allah SWT, ilmu pengetahuan-Nya tersebut
difirmankan pada ayat-ayat-Nya, baik yang bersifat kauniah maupun qur’ania

Ilmu pengetahuan dapat dicapai manusia setelah melalui interpretasi (iqro’) terhadap ayat-
ayat kauniah dan ayat-ayat qur’aniah.
1. Interpretasi terhadap ayat-ayat kauniah menghasilkan ilmu-ilmu diantaranya sebagai
berikut:
a. Dari alam, melahirkan ilmu fisika, kimia, astronomi, botani, zoologi, geografi,
geologi, dan sebagainya.
b. Dari manusia sebagai makhluk indvidu, melahirkan ilmu antropologi, kedokteran,
psikologi, dan lain sebagainya.
c. Dari manusia sebagai makhluk sosial, melahirkan ilmu sejarah, kebudayaan,
linguistik, ekonomi, politik, sosiologi, hukum, perdagangan, komunikasi, dan
sebagainya.

2. Interpretasi terhadap ayat-ayat qur’aniah menghasilkan ilmu-ilmu Al-Qur’an, ilmu tafsir,


ilmu hadits, ilmu fiqih, ilmu ushul fiqih, ilmu tasawuf, bahasa Al-Qur’an, metafisis alam,
perbandingan agama, kultur Islam, dan sebagainya.
Keasadaran akan keterbatasan interpretasi tersebut akan menimbulkan sikap dan perilaku
ilmuwan untuk:
1. Tunduk, penyerahan (taslim) dan patuh (taat) kepada Allah SWT.
2. Menyadari bahwa ilmu dan kemampuan teknologi yang dikuasai berasal (amanah)
dari Allah SWT.
3. Motivasi penerapannya diupayakan dalam rangka pemenuhan amanah tersebut.

Keyakinan akan tiadanya pertentangan antara ilmu qur’ani (agama) dengan ilmu kauniah
(umum), karena keduanya berasal dari sumber yang sama. Pertentangan yang dijumpai dalam
praktik hanyalah semu sebagai akibat dari kesalahan interpretasi terhadap ayat kauniyah atau
ayat qur’aniyah atau kedua-duanya.
Adanya kesadaran bahwa ilmu pengetahuan bukan satu-satunya sumber kebenaran dan bukan
satu-satunya jalan pemecahan bagi persoalan problem kehidupan manusia.

10
Pemahaman model di atas menghindarkan seorang muslim (ulama cendikiawan) dari
pemahaman dikotomi dan juga menghindarkan dari cara berpikir yang hanya rasionalistis dan
spiritualistis atau sekuralistis yang tanpa dibarengi dengan pemahaman berdasarkan petunjuk
naqly (wahyu / firman Allah SWT). Di samping itu, pemahaman model tersebut dapat
meningkatkan pemahaman ayat naqliyah dengan temuan-temuan yang diperoleh dari ayat
kauniah. Sebaliknya, pemahaman model tersebut dapat digunakan sebagai nilai-nilai yang
difahami dari wahyu untuk dijadikan dasar etis filosofis bagi interpretasi terhadap ayat kauniah.

11
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa:


1. Landasan integrasi interkoneksi ilmu antara lain landasan teologis, landasan filosofis,
landasan kultural, landasan sosiologis, dan landasan psikologis
2. Kerangka dasar integrasi interkoneksi ilmu dalam kajian ilmu keislaman, Al-Qur’an
dan As-Sunah sebagai kajian utama. Ilmu pada lapisan ke dua dan seterusnya, satu
sama lain saling berinteraksi, saling memperbincangkan, dan saling menghargai atau
mempertimbangkan secara sensitif terhadap kehadiran ilmu lainnya.
3. Ranah Integrasi interkoneksi ilmu antara lain ranah filosofis, ranah materi, ranah
metodologi, dan ranah strategi
4. Aksiologi sains dan ilmu meliputi nilai-nilai (values) yang bersifat normatif dalam
pemberian makna terhadap kebenaran atau kenyataan sebagaimana dijumpai dalam
kehidupan yang menjelajahi berbagai kawasan, seperti kawasan simbolik atau
kawasan fisik material.
5. Sumber utama nilai sains dan agama adalah Al-Qur’an dan Hadits.

12
DAFTAR PUSTAKA

http://henker17.blogspot.com/2014/07/integrasi-interkoneksi-ilmu.html?m=1
Hamami, Tasman. (2006). Kerangka Dasar Keilmuan & Pengembangan Kurikulum. Yogyakarta:
Departemen Agama Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Kuntowijoyo. (2007). Islam sebagai Ilmu: epitemologi, metodologi dan etika. Yogyakarta: Tiara
Wacana.
Maksudin. (2013). Paradigma Agama dan Sains Nondikotomik. Yogyakarta: Pusta pelajar.
Tim Penyusun Pokja. (2006). Kerangka Dasar Keilmuan & Pengembangan Kurikulum.
Yogyakarta: Pokja Akademik.

13

Anda mungkin juga menyukai