Makalah ini disusun untuk melengkapi tugas mata kuliah Agama Islam
Dosen:
Fatoni Achmad, M. Pd. I
Disusun Oleh :
JURUSAN MATEMATIKA
PURWOKERTO
2018
i
DAFTAR ISI
Cover …………………………………………............................ i
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa karena
berkat rahmat-Nya makalah yang berjudul Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum
ini dapat terselesaikan sesuai dengan yang diharapkan dan tepat pada waktunya.
Makalah yang membahas tentang integrasi ilmu agama dan ilmu umum ini
merupakan tugas dari Mata Kuliah Agama Islam. Dalam penulisan makalah ini
penulis merasa masih banyak kekurangan baik pada teknis penulisan maupun
materi. Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari
semua pihak.
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
1.3.Tujuan
Makalah ini mempunyai beberapa tujuan yaitu :
1. Untuk mengetahui pengertian integrasi ilmu
2. Untuk mengetahui perlunya integrasi ilmu agama dan umum
3. Untuk mengetahui pandangan Al-Qur’an dan As-Sunnah tentang
integrasi ilmu agama dan umum
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
Lebih lanjut, Islamisasi ilmu pengetahuan, menurut Faruqi,
menghendaki adanya hubungan timbal balik antara realitas dan aspek
kewahyuan. Dalam konteks ini, untuk memahami nilai-nilai kewahyuan,
umat islam harus memanfaatkan ilmu pengetahuan. Karena realistasnya, saat
ini, ilmu pengetahuanlah yang amat berperan dalam menentukan kemajuan
umat manusia.
Sejak abad kemunduran islam (abad ke-12 M), karena para penguasa
Muslim kurang memberikan penghargaan terhadap ilmu pengetahuan hingga
akhir abad ke-16, dimana mulai terputus hubungan antara Dunia Islam
dengan aliran utama dalam sains dan teknologi, umat Islam sangat tertinggal
jauh dibanding masyarakat Barat justru mulai bangkit dari kegelapan
pengetahuan setelah sekian lama terbelenggu dalam indoktrinasi teologi
Kristiani.
Selain masalah ketertinggalan dalam penguasaan ilmu pengetahuan,
hal terbesar yang dihadapi umat islam dewasa ini adalah berkaitan dengan
paradigma berfikir. Umat Islam masih berpikir secara absurd. Bukan justru
mengembangkan wacana-wcana keimanan, kemanusiaan, dan pengetahuan.
Ini jelas menunjukan sebuah pola berpikir partikularistik dan ritualistik
(Hidayat, 2000: 10).
Dari definisi Islamisasi pengetahuan diatas, ada beberapa model
Islamisasi pengetahuan yang bisa dikembangkan dalam menatap era
globalisasi, antara lain: model purifikasi, model moderenisasi Islam, dan
model neo-moderenisme.
Model purifikasi bermakna pembersihan atau penyucian ilmu
pengetahuan agar sesuai dengan nilai dan norma Islam. Model moderenisasi
Islam ini berangkat dari kepedulian terhadap keterbelakangan umat islam di
dunia kini, yang disebabkan oleh kepicikan berpikir, kebodohan, dan
keterpurukan dalam memahami ajaran agamanya, sehingga sistem
pendidikan Islam dan ilmu pengetahuan agama Islam tertinggal jauh
dibelakang non-Muslim (Barat).
Sedangkan model neo-modernisme berusaha memahami ajaran-ajaran
dan nilai-nilai mendasar yang terkandung dalam Al-Qur’an dan sunnah
4
dengan mempertimbangkan khaznah intelektual Muslim klasik serta
mencermati kesulitan-kesulitan dan kemudahan-kemudahan yang ditawarkan
oleh dunia iptek.
Landasasan metodologis Islamisasi pengetahuan model ini, menurut
Saiful Muzani (1993) adalah sebagai berikut: pertamporera, persoalan-
persoalan kontemporer umat islam harus dicari penjelasannya dari tradisi dan
hasil ijtihad para ulama yang merupakan hasil interpretasi terhadap Al-Quran.
Kedua, bila dalam tradisi tidak ditemukan jawaban yang sesuai dengan
kondisi kontemporer, harus menelaah konteks sosio-historis dari ayat-ayat
Al-Quran yang menjadi landasan ijtihad para ulama tersebut. ketiga, melalui
telaah historis akan terungkap pesan moral Al-Quran. Keempat, setelah itu
baru menelaahnya dalam konteks umat Islam dewasa ini dengan bantuan
hasil-hasil studi yang cermat dari ilmu pengetahuan atas persoalan yang
bersifat evaluatif dan legiminatif sehingga memberikan pendasaran dan
arahan moral terhadap persoalan yang ditanggulangi. (Nata, 2003: 175)
Dari berbagai pengertian dan model Islamisasi pengetahuan diatas
dapat disimpulkan bahwa Islamisasi dilakukan dalam upaya membangun
kembali semangat umat Islam dalam mengembangkan ilmu pengetahuan
melalui kebebasan penalaran intelektual dan kajian-kajian rasional empirik
dan filosofis dengan tetap merujuk kepada kandungan Al-Quran dan sunnah
Nabi, sehingga umat Islam akan bangkit dan maju menyusul
ketertinggalannya dari umat lain, khususnya Barat.
5
Usaha Natsir untuk mengintegralkan sistem pendidikan Islam
direalisasikan dengan mendirikan lembaga pendidikan Islam, yang
menyatukan dua kurikulum, antara kurikulum yang dipakai sekolah-sekolah
tradisional yang lebih banyak memuat pelajaran umum. Tidak beda jauh
dengan gagasan yang dikembangkan Harun Nasution dalam upayanya
menyatukan dikotomi ilmu-ilmu agama Islam dan ilmu-ilmu umum di
lembaga pendidikan tinggi Islam. Setidaknya ada dua sebab utama
kelemahan pendekatan ini.
Pertama, akar keilmuan yang berbeda antara ilmu-ilmu agama dan
ilmu-ilmu umum.
Kedua, modernisasi dan Islamisasi ilmu pengetahuan melalui
kurikulum dan kelembagaan, walaupun dilakukan dengan tujuan
terciptanya integralisme dan integrasi keilmuan Islam Islam dan
umum, sampai kapanpun akan tetap menyisakan dikotomi
keilmuan. (Nata, 2003: 178)
6
Pertama, munculnya ambivalensi dalam sistem pendidikan Islam;
dimana selama ini, lembaga-lembaga semacam pesantren dan
madrasah mencitrakan dirinya sebagai lembaga pendidikan Islam
dengan corak tafaqquh fi al-din yang menganggap persoalan
mu’amalah bukan garapan mereka; sementara itu modernisasi
sistem pendidikan dengan memasukan kurikulum pendidikan
umum kedalam lembaga tersebut telah mengubah citra pesantren
dan madrasah sebagai lembaga tafaqquh fi al-din tersebut.
Kedua, munculnya kesenjangan antara sistem pendidikan Islam
dan ajaran Islam. Sistem pendidikan yang ambivalen
mencerminkan pandangan dikotomis yang memisahkan ilmu-ilmu
agama Islam dan ilmu-ilmu umum (Kuntowijoyo, 1991: 352).
Ketiga, terjadinya didintegrasi sistem pendidikan Islam, dimana
masing-masing sistem: (modern/umum) Barat dan agama (Islam)
tetap bersikukuh mempertahankan kediriannya.
Keempat, munculnya inferioritas pengelola lembaga pendidikan
Islam. Hal ini disebabkan karena sistem pendidikan Barat yang
pada kenyataanya kurang menghargai nilai-nilai kultural dan
moraltelah dijadikan tolak ukur kemajuan dan keberhasilan sistem
pendidikan bangsa kita.
2.3 Pandangan Al-Qur’an dan As-Sunnah tentang Integrasi Ilmu Agama dan
Umum
Al-Qur’an dan as-sunnah sesungguhnya tidak membedakan
antara ilmu agama dan ilmu umum, yang ada dalam al-Qur’an adalah ilmu.
Pembagian adanya ilmu agama islam dan ilmu umum adalah merupakan hasil
7
kesimpulan manusia yang mengidentifikasi ilmu berdasarkan sumber objek
kajianya: (Nata, 2003: 69-70)
1. Jika objek kajian ontologisnya yang dibahas adalah wahyu (al-
Qur’an) dan hadits dengan menggunakan metode ijtihad, maka
yang dihasilkanya adalah ilmu-ilmu agama seperti: teologi, tafsir,
tasawuf dan lain-lain.
2. Jika objek kajian ontologisnya yang dibahas adalah jagad raya
seperti; langit, bumi beserta isinya dengan menggunakan metode
penelitian eksperimen di laboratorium pengukuran, penimbangan
dan lain-lain. maka yang dihasilkanya adalah ilmu-ilmu alam
seperti: ilmu fisika, biologi, kimia, astronomi dan sebagainya.
3. Jika objek kajian ontologisnya adalah prilaku sosial dalam segala
aspeknya, dengan menggunakan metode penelitian sosial maka
yang akan dihasilkan adalah ilmu sosial seperti: ilmu politik,
ekonomi, budaya dan sebagainya.
4. Jika objek penelitian adalah akal pikiran/pemikiran yang mendalam
dengan menggunakan metode mujadalah atau logika terbimbing,
yang dihasilkan adalah filsafat dan ilmu-ilmu humaniora.
5. Jika objek kajiannya berupa intuisi batin dengan menggunakan
metode penyucian batin ilmu yang dihasilkan adalah ilmu ma’rifat.
8
bahwa Allah SWT telah memberikan alat panca indra yang ampuh, artinya al
qur’an menghargai panca indra dan menetapkan bahwasanya indra tersebut
adalah menjadi pintu ilmu pengetahuan (sebagaimana yang dijelaskan dalam
Q.S al-Nahl: 78)
Dalam epistemologi ilmu dalam pandangan al qur’an harus pula
mengintegrasikan kesucian batin, keluhuran budi, dan kemuliaan akhlak.
Selanjutnya dalam bidang aksiologi ilmu pengetahuan, al-qur’an
mengingatkan bahwa selain ilmu pengetahuan (agama dan umum) sebagai
milik Allah SWT dan harus di abdikan dalam rangka beribadah kepada-Nya,
juga harus disertai dengan memiliki sifat dan ciri-ciri tertentu pula. Antara
lain yang paling menonjol adalah sifat khasyat yaitu takut dan kagum kepada
Allah. (Nata, 2003: 77)
Sebagaimana disebutkan di atas, bahwa menurut pandangan al-Qur’an
dan sunnah sesungguhnya tidak ada istilah ilmu agama dan ilmu umum.
Yang ada hanya ilmu itu sendiri dan seluruhnya bersumber dari Allah swt.
Namun dilihat dari sifat dan jenisnya sulit dihindari adanya paradigma
ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum, atau paling tidak paradigma tersebut
hanya untuk kepentingan teknis dalam membedakan antara satu ilmu dengan
ilmu lainnya.
Dari uraian di atas, terlihat jelas bahwa al-qur’an dan hadits memiliki
pandangan tentang pengembangan ilmu yang integrated, baik pada dataran
ontologis, epistemologis, maupun aksiologis.
9
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
10
DAFTAR PUSTAKA
Bagir, Zainal Abidin dkk. 2009. Integrasi ilmu dan agama: interpretasi dan aksi.
Bandung: Mizan
Bidin, Masri Elmahsyar. 2003. Integrasi Ilmu Agama dan Umum: Mencari
Format Islamisasi Ilmu Pengetahuan. Jakarta: UIN
Jakarta Press
Hilmy, Masdar dan Akhmad Muzakki. 2005. Dinamika Baru Studi Islam.
Surabaya: Arkola.
Nata, Abuddin. 2003. Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum. Jakarta: UIN
Jakarta Press.
11