Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia adalah makhluk Tuhan yang diberi potensi akal dan hati. Manusia pun
diberi oleh Allah beberapa pengetahuan (Ar-Rahman: 3). Dalam sejarah pun dicatat
perkembangan pengetahuan manusia mulai dari filsafat sampai pada ilmu pengetahuan.
Pada zaman Yunani Kuno yang ditandai dengan perubahan pola pikir manusia dari
mitosentris menjadi logosentris. Manusia tidak lagi berpikir mitos terhadap gejala alam,
tetapi mulai berpikir itu sebagai kausalitas. Sehingga, manusia pada waktu itu tidak
pasif, melainkan proaktif dankreatif, sehingga alam dijadikan objek penelitian dan
pengkajian. Pengetahuan manusia pun berkembang dari masa ke masa. Mulai dari masa
Yunani Kuno (700 SM), masa Islam klasik, masa kejayaan Islam, masa Renaisans (abad
ke 15-16), masa modern (abad 17-19), dan zaman kontemporer (abad ke 20). Zaman
kontemporer ditandai dengan perkembangan ilmu dan teknologi tinggi, sehingga
dikenal pula zaman eraglobalisasi. Dimana informasi dan transpormasi budaya dapat
dilakukan dengan sangat mudah.
Perkembangan ilmu dan teknologi yang semula untuk mempermudah pekerjaan
manusia, tetapi kenyataannya teknologi telah menimbulkan keresahan dan ketakutan
baru bagi kehidupan manusia. Sebagai contoh adanya penemuan televisi, komputer,
handphone telah mengakibatkan kita terlena dengan dunia layar. Sehingga, kamunikasi
sosial kita dengan keluarga dan masyarakat sering terabaikan. Begitu pun dengan
adanya bioteknologi yang merancang adanya bayi kloning, mengakibatkan keresahan
berbagai kalangan, seperti agamawan dan ahli etika.
Dalam dunia filsafat pun melahirkan berbagai pemikiran-pemikiran tentang hal-
hal yang metafisik, seperti berfilsafat tentang tuhan. Dimana tuhan dijadikan objek
berpikir filsafat, sehingga pada masa pasca khulafaur Rasyidin muncul beberapa aliran
teologi. Hal ini menjadi keresahan bagi ulama dan intelektual Islam. Berbagai
pandangan pun muncul mengenai filsafat, salah satunya pandangan hujjatul Islam al-
Ghazali dengan munculnya kitab tahafutul falasifah (kesalahan para filosof). Bahkan
beliau mengatakan bahwa orang yang berfilsafat maka dia termasuk kaum Zindiq.
Kenyataan di atas membuat paradigma di sebagian masyarakat, bahwa antara
filsafat, ilmu, dan agama itu bertentangan. Benarkah demikian? Padahal dalam agama
kita (Islam), terdapat ajaran-ajaran tentang pentingnya berpikir dan menuntut ilmu.

1
Sehingga dalam beberapa ayat Allah memuji orang-orang yang mampu berpikir dengan
benar (ulil albab) dan meninggikan derajat orang-orang beriman lagi berilmu (al-
Mujadalah: 9). Hal inilah yang menjadi latar belakang penulisan makalah yang berjudul
”Ilmu, Filsafat dan Agama”.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan ilmu, filsafat dan agama?
2. Apa objek kajian ilmu filsafat dan agama?
3. Bagaimana persamaan, perbedaan antara ilmu, filsafat, dan agama?
4. Bagaimana hubungan antara ilmu, filsafat dan agama?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan ilmu, filsafat, dan agama.
2. Untuk mengetahui objek kajian ilmu filsafat dan agama.
3. Untuk mengetahui persamaan, perbedaan antara ilmu, filsafat dan agama.
4. Untuk mengetahui hubungan antara ilmu, filsafat dan agama.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian dan Objek Ilmu
Ilmu berasal dari bahasa Arab: ’Alima-ya;lamu, ilman dengan wazan
fa’ila-yaf’ulu, yang berarti : mengerti, memahami benar-benar. Dalam bahasa
inggris disebut science; dari bahasa latin scientia (pengetahuan)_scire
(mengetahui). Sedangkan dalam kamus bahasa Indonesia ilmu adalah
pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun secara bersistem menurut
metode tertentu, yang dapat digunakan untuk menerangkan gejala-gejala
tertentu di bidang (pengetahuan) itu (Bahtiar, 2004: 12). Kemudian Anshari
(1981: 47-49) telah menghimpun beberapa pengertian ilmu menurut beberapa
ahli sebagai berikut:
 Mohammad Hatta mendifinisikan ilmu adalah pengetahuan yang teratur
tentang pekerjaan hukum kausal dalam suatu golongan masalah yang
sama tabiatnya, maupun menurut kdudukannya tampak dari luar,
maupun menurut hubungannya dari dalam.
 Ralp Ross dan Ernest Van Den Haag, mengatakan ilmu adalah yang
empiris, rasional, umum dan sistematik, dan keempatnya serentak.

2
 Karl Pearson, mengatakan ilmu adalah lukisan atau keterangan yang
komprehensif dan konsisten tentang fakta pengalaman dengan istilah
sederhana.
 Ashely Montagu, Guru Besar Antropolo di Rutgers University
menyimpulkan bahwa ilmu adalah pengetahuan yang disususn dalam
satu sistem yang berasal dari pengamatan, studi dan percobaan untuk
menetukan hakikat prinsip tentang hal yang sedang dikaji.
 Harsojo, Guru Besar antropolog di Universitas Pajajaran, menerangkan
bahwa ilmu:
Merupakan akumulasi pengetahuan yang disistematisasikan
Suatu pendekatan atau mmetode pendekatan terhadap seluruh dunia empiris
yaitu dunia yang terikat oleh factor ruang dan waktu yang pada prinsipnya dapat
diamati panca indera manusia
Suatu cara menganlisis yang mengizinkan kepada ahli-ahlinya untuk
menyatakan suatu proposisi dalam bentuk: “jika,….maka…”
Afanasyef, seorang pemikir Marxist bangsa Rusia mendefinisikan ilmu adalah
pengetahuan manusia tentang alam, masyarakat, dan pikiran. Ia mencerminkan
alam dan konsep-konsep, kategori dan hukum-hukum, yang ketetapnnya dan
kebenarannya diuji dengan pengalaman praktis.
Dari keterangan para ahli tentang ilmu di atas, penulis dapat
menyimpulkan bahwa ilmu adalah sebagian pengetahuan yang mempunyai ciri,
tanda, syarat tertentu, yaitu sistematik, rasional, empiris, universal, objektif,
dapat diukur, terbuka, dan kumulatif (bersusun timbun).
Adapun objek ilmu pada dasarnya ada dua bentuk, yaitu objek material
dan objek formal. Objek material adalah sesuatu yang dijadikan sasaran
penyelidikan, seperti tiubuh manusia adalah objek material ilmu kedokteran.
Sedangkan objek formalnya adalah metode untuk memahami objek material
tersebut, seperti pendekatan induktif dan deduktif (Bahtiar, 2004: 1).
B. Pengertian dan Objek Filsafat
Istilah “filsafat” dapat ditinjau dari dua segi, yakni:
a. Segi Semantik
Perkataan filsafat berasal dari bahasa Arab ‘falsafah’,(nasution, 1779: 9)
yang berasal dari bahasa Yunani, ‘philosophia’, yang berarti ‘philos’ yaitu cinta,
suka (loving), dan ’sophia’ yaitu pengetahuan, hikmah/wisdom. Jadi
3
‘philosophia’ berarti cinta kepada kebijaksanaan atau cinta kepada kebenaran.
Maksudnya, setiap orang yang berfilsafat akan menjadi bijaksana. Orang yang
cinta kepada pengetahuan disebut ‘philosopher’, dalam bahasa Arabnya
‘failasuf’(Hasyimsyah, 1998: 1) Pecinta pengetahuan ialah orang yang
menjadikan pengetahuan sebagai tujuan hidupnya, atau perkataan lain,
mengabdikan dirinya kepada pengetahuan.
b. Segi Praktis
Dilihat dari pengertian praktisnya, filsafat berarti ‘alam pikiran’ atau
‘alam berpikir’. Berfilsafat artinya berpikir (Hasyimsyah, 1998: 1). Namun
tidak semua berpikir berarti berfilsafat. Berfilsafat adalah berpikir secara
mendalam dan sungguh-sungguh. Sebuah semboyan mengatakan bahwa “setiap
manusia adalah filsuf”. Semboyan ini benar juga, sebab semua manusia
berpikir. Akan tetapi secara umum semboyan itu tidak benar, sebab tidak semua
manusia yang berpikir adalah filsuf. Filsuf hanyalah orang yang memikirkan
hakikat segala sesuatu dengan sungguh-sungguh dan mendalam. Tegasnya
filsafat adalah hasil akal seorang manusia yang mencari dan memikirkan suatu
kebenaran dengan sedalam-dalamnya. Dengan kata lain filsafat adalah ilmu
yang mempelajari dengan sungguh-sungguh hakikat kebenaran segala sesuatu
secara sistematis, radikal, dan universal.
Banyak definisi yang bermunculan karana luasnya lingkungan pembahasan
ilmu filsafat, maka tidak mustahil kalau banyak di antara para filsafat
memberikan definisinya secara berbeda-beda. Coba perhatikan definisi-definisi
ilmu filsafat dari filsuf Barat dan Timur di bawah ini:
 Socrates (469 – 399 SM). Socrates memahami filsafat sebagai suatu
peninjauan diri yang bersifat reflektif atau perenungan terhadap azas-
azas dari kehidupan yang adil dan bahagia.
 Plato (427 – 347 SM). Filsafat adalah pengetahuan tentang segala yang
ada (ilmu pengetahuan yang berminat mencapai kebenaran yang asli).
 Aristoteles (384 - 322 SM). Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang
meliputi kebenaran, yang di dalamnya terkandung ilmu-ilmumetafisika,
logika, retorika, etika, ekonomi, politik, dan estetika (filsafat
menyelidiki sebab dan asas segala benda).

4
 Marcus Tullius Cicero (106 – 43 SM). Filsafat adalah pengetahuan
tentang sesuatu yang mahaagung dan usaha-usaha untuk mencapainya.
Dan menyebut filsafat sebagai ibu dari semua pengetahuan.
 Al-Farabi (meninggal 950 M). Filsuf Muslim terbesar sebelum Ibnu
Sina, mengatakan filsafat adalah ilmu pengetahuan tentang alam maujud
dan bertujuan menyelidiki hakikat yang sebenarnya.
 Immanuel Kant (1724 -1804). Yang sering disebut raksasa pikir Barat,
mengatakan filsafat itu ilmu pokok dan pangkal segala pengetahuan
yang mencakup di dalamnya empat persoalan, yaitu:” apakah yang dapat
kita ketahui? (dijawab oleh metafisika)” apakah yang dapat kita
kerjakan? (dijawab oleh etika)” sampai di manakah pengharapan kita?
(dijawab oleh antropologi)
Setelah mempelajari rumusan-rumusan tersebut di atas dapatlah
disimpulkan bahwa:
 Filsafat adalah ‘ilmu istimewa’ yang mencoba menjawab masalah-
masalah yang tidak dapat dijawab oleh ilmu pengetahuan biasa kerana
masalah-masalah tersebut di luar jangkauan ilmu pengetahuan biasa.
 Filsafat adalah hasil daya upaya manusia dengan akal budinya untuk
memahami atau mendalami secara radikal dan integral serta sistematis
hakikat sarwa yang ada, yaitu: ” hakikat Tuhan, ” hakikat alam semesta,
dan ” hakikat manusia, serta sikap manusia sebagai konsekuensi dari
paham tersebut.
Perlu ditambah bahwa definisi-definisi itu sebenarnya tidak bertentangan,
hanya cara mengesahkannya saja yang berbeda.
Berbicara tentang objek filsafat, sama halnya dengan ilmu lain yaitu sama-sama
mempunyai objek. Biasanya para ahli membaginya kepada dua bahagian, yaitu
objek materi dan objek formal. Obyek material adalah apa yang dipelajari dan
di kupas sebagai bahan (materi) pembicaraan, yaitu gejala “manusia di dunia
yang mengembara menuju akhirat”. Dalam gejala ini jelas ada tiga hal
menonjol, yaitu manusia, dunia, dan akhirat. Maka ada filsafat tentang manusia
(antropologi), filsafat tentang alam (kosmologi), dan filsafat tentang akhirat
(teologi-filsafat ketuhanan; kata “akhirat” dalam konteks hidup beriman dapat
dengan mudah diganti dengan kata Tuhan). Antropologi, kosmologi dan teologi,
sekalipun kelihatan terpisah, saling berkaitan juga, sebab pembicaraan tentang
5
yang satu pastilah tidak dapat dilepaskan dari yang lain. Juga pembicaraan
filsafat tentang akhirat atau Tuhan hanya sejauh yang dikenal manusia dalam
dunianya. Obyek formal adalah cara pendekatan yang dipakai atas obyek
material, yang sedemikian khas sehingga mencirikan atau mengkhususkan
bidang kegiatan yang bersangkutan. Jika cara pendekatan itu logis, konsisten
dan efisien, maka dihasilkanlah sistem filsafat.
Filsafat berangkat dari pengalaman konkret manusia dalam dunianya.
Pengalaman manusia yang sungguh kaya dengan segala sesuatu yang tersirat
ingin dinyatakan secara tersurat. Dalam proses itu intuisi (merupakan hal yang
ada dalam setiap pengalaman) menjadi basis bagi proses abstraksi, sehingga
yang tersirat dapat diungkapkan menjadi tersurat. Dalam filsafat, ada filsafat
pengetahuan. “Segala manusia ingin mengetahui”, itu kalimat pertama
Aristoteles dalam Metaphysica. Obyek materialnya adalah gejala “manusia
tahu”. Tugas filsafat ini adalah menyoroti gejala itu berdasarkan sebab-musabab
pertamanya. Filsafat menggali “kebenaran” (versus “kepalsuan”), “kepastian”
(versus “ketidakpastian”), “obyektivitas” (versus “subyektivitas”), “abstraksi”,
“intuisi”, dari mana asal pengetahuan dan kemana arah pengetahuan. Pada
gilirannya gejala ilmu-ilmu pengetahuan menjadi obyek material juga, dan
kegiatan berfikir itu (sejauh dilakukan menurut sebab-musabab pertama)
menghasilkan filsafat ilmu pengetahuan. Kekhususan gejala ilmu pengetahuan
terhadap gejala pengetahuan dicermati dengan teliti. Kekhususan itu terletak
dalam cara kerja atau metode yang terdapat dalam ilmu-ilmu pengetahuan.
C. Pengertian dan Objek Agama
Agama memang tidak mudah diberi definisi, karena agama mengambil
berbagai bentuk sesuai dengan pengalaman pribadi masing-masing. Meskipun
tidak terdapat definisi yang universal, namun dapat disimpulkan bahwa
sepanjang sejarah manusia telah menunjukkan rasa "suci", dan agama termasuk
dalam kategori "hal yang suci". Kemajuan spiritual manusia dapat diukur
dengan tingginya nilai yang tidak terbatas yang diberikan kepada obyek yang
disembah. Hubungan manusia dengan "yang suci" menimbulkan kewajiban,
baik untuk melaksanakan maupun meninggalkan sesuatu.
Tidak mudah bagi kita untuk menentukan pengertian agama, karena
sikap terhadap agama bersifat batiniah, subjektif, dan individualistis, walaupun
nilai-nilai yang dimiliki oleh agama bersifat universal. Kalau kita
6
membicarakan agama, maka kita akan dipengaruhi oleh pandangan agama yang
kita anut sendiri.
Istilah agama memiliki pengertian yang sama dengan istilah religion
dalam bahasa Inggris. Bozman (Anshari, 1979) mengemukakan bahwa agama
dalam arti luas merupakan suatu penerimaan terhadap aturan-aturan dari suatu
kekuatan yang lebih tinggi, dengan jalan melakukan hubungan yang harmonis
dengan realitas yang lebih agung dari dirinya sendiri, yang memerintahkan
untuk mengadakan kebaktian, pengabdian, dan pelayanan yang setia.
Religi berasal dari kata religie (bahasa Belanda) atau religion (bahasa
Inggris), masuk dalam perbendaharaan bahasa Indonesia dibawa oleh orang-
orang Barat yang menjajah bangsa Indonesia. Religi mempunyai pengertian
sebagai keyakinan akan adanya kekuatan gaib yang suci, menentukan jalan
hidup dan mempengaruhi kehidupan manusia yang dihadapi secara hati-hati dan
diikuti jalan dan aturan serta norma-normanya dengan ketat agar tidak sampai
menyimpang atau lepas dari kehendak jalan yang telah ditetapkan oleh kekuatan
gaib suci tersebut.
Secara terminologi dalam ensiklopedi Nasional Indonesia, agama
diartikan aturan atau tata cara hidup manusia dengan hubungannya dengan
tuhan dan sesamanya. Dalam al-Qur’an agama sering disebut dengan istilah din.
Istilah ini merupakan istilah bawaan dari ajaran Islam sehingga mempunyai
kandungan makna yang bersifat umum dan universal. Artinya konsep yang ada
pada istilah din seharusnya mencakup makna-makna yang ada pada istilah
agama dan religi.
Konsep din dalam Al-Qur’an di antaranya terdapat pada surat Al-
Maidah ayat 3 yang mengungkapkan konsep aturan, hukum atau perundang-
undangan hidup yang harus dilaksanakan oleh manusia. Islam sebagai agama
namun tidak semua agama itu Islam. Surat Al-Kafirun ayat 1-6 mengungkapkan
tentang konsep ibadah manusia dan kepada siapa ibadah itu diperuntukkan.
Dalam surat As-Syura ayat 13 mengungkapkan din sebagai sesuatu yang
disyariatkan oleh Allah. Dalam surat As-Syura ayat 21 Din juga dikatakan
sebagai sesuatu yang disyariatkan oleh yang dianggap Tuhan atau yang
dipertuhankan selain Allah. Karena din dalam ayat tersebut adalah sesuatu yang
disyariatkan, maka konsep din berkaitan dengan konsep syariat. Konsep syariat
pada dasarnya adalah “jalan” yaitu jalan hidup manusia yang ditetapkan oleh
7
Allah. Pengertian ini berkembang menjadi aturan atau undang-undang yang
mengatur jalan kehidupan sebagaimana ditetapkan oleh Tuhan. Pada ayat lain,
yakni di surat Ar-Rum ayat 30, konsep agama juga berkaitan dengan konsep
fitrah, yaitu konsep yang berhubungan dengan penciptaan manusia.
Di dalam setiap agama, paling tidak ditemukan empat ciri khas.
Pertama, aspek kredial, yaitu ajaran tentang doktrin-doktrin ketuhanan yang
harus diyakini. Kedua, aspek ritual, yaitu ajaran tentang tata-cara berhubungan
dengan Tuhan, untuk meminta perlindungan dan pertolongan-Nya atau untuk
menunjukkan kesetiaan dan penghambaan. Ketiga, aspek moral, yaitu ajaran
tentang aturan berperilaku dan bertindak yang benar dan baik bagi inidividu
dalam kehidupan. Keempat, aspek sosial, yaitu ajaran tentang aturan hidup
bermasyarakat.
Agama-agama yang tumbuh dan berkembang di muka bumi, sesuai
dengan asalnya, dapat dikelompokkan menjadi dua. Pertama, agama samawi
(agama langit), yaitu agama yang dibangun berdasarkan wahyu Allah. Kedua,
agama ardli (agama bumi), yaitu agama yang dibangun berdasarkan kreasi
manusia.
Adapun objek kajian agama adalah firman Tuhan dalam hal ini wahyu
atau yang diyakini sebagai kitab suci atau pedoman hidup. Mempelajari tentang
konsep Tuhan, manusia, dan segala penomena di alam semesta ini baik fisik
atau metafisik.
D. Persamaan dan Perbedaan Ilmu, Filsafat dan Agama
Ilmu, filsafat dan agama memiliki sisi persamaan dan perbedaan, yaitu sebagai
berikut:
1. Persamaan
 Ketiganya mencari rumusan yang sebaik-baiknya menyelidiki obyek
selengkap-lengkapnya sampai ke-akar-akarnya.
 Ketiganya memberikan pengertian mengenai hubungan yang ada antara
kejadian-kejadian yang kita alami dan mencoba menunjukkan sebab-
akibatnya.
 Ketiganya hendak memberikan sistesis, yaitu suatu pandangan yang
bergandengan.
 Ketiganya mempunyai metode dan sistem.

8
 Ketiganya hendak memberikan penjelasan tentang kenyataan
seluruhnya timbul dari hasrat manusia akan pengetahuan yang lebih
mendasar.

2. Perbedaan
 Obyek material (lapangan) filsafat itu bersifat universal (umum), yaitu
segala sesuatu yang ada (realita). Sedangkan obyek material ilmu
(pengetahuan ilmiah) itu bersifat khusus dan empiris. Artinya, ilmu
hanya terfokus pada disiplin bidang masing-masing secra kaku dan
terkotak-kotak, sedangkan kajian filsafat tidak terkotak-kotak dalam
disiplin tertentu.
 Obyek formal (sudut pandangan) filsafat itu bersifat non fragmentaris,
karena mencari pengertian dari segala sesuatu yang ada itu secara luas,
mendalam dan mendasar. Sedangkan ilmu bersifat fragmentaris,
spesifik, dan intensif. Di samping itu, obyek formal itu bersifat teknik,
yang berarti bahwa cara ide-ide manusia itu mengadakan penyatuan diri
dengan realita.
 Filsafat dilaksanakan dalam suasana pengetahuan yang menonjolkan
daya spekulasi, kritis, dan pengawasan, sedangkan ilmu haruslah
diadakan riset lewat pendekatan trial and error. Oleh karena itu, nilai
ilmu terletak pada kegunaan pragmatis, sedangkan kegunaan filsafat
timbul dari nilainnya.
 Filsafat memuat pertanyaan lebih jauh dan lebih mendalam berdasarkan
pada pengalaman realitas sehari-hari, sedangkan ilmu bersifat diskursif,
yaitu menguraikan secara logis, yang dimulai dari tidak tahu menjadi
tahu.
 Filsafat memberikan penjelasan yang terakhar, yang mutlak, dan
mendalam sampai mendasar (primary cause) sedangkan ilmu
menunjukkan sebab-sebab yang tidak begitu mendalam, yang lebih
dekat, yang sekunder (secondary cause).
 Filsafat dan ilmu bersumber pada kekuatan akal, sedangkan agama
bersumber pada wahyu.
 Filsafat didahului oleh keraguan, ilmu didahului oleh keingintahuan,
sedangkan agama diawali oleh keyakinan.
9
E. Hubungan Ilmu, Filsafat dan Agama
Sudah diuraikan di atas bahwa yang dicari oleh filsafat adalah
kebenaran. Demikian pula ilmu. Agama juga mengajarkan kebenaran.
Kebenaran dalam filsafat dan ilmu adalah "kebenaran akal", sedangkan
kebenaran menurut agama adalah "kebenaran wahyu". Kita tidak akan berusaha
mencari mana yang benar atau lebih benar di antara ketiganya, akan tetapi kita
akan melihat apakah ketiganya dapat hidup berdampingan secara damai.
Meskipun filsafat dan ilmu mencari kebenaran dengan akal, hasil yang
diperoleh baik oleh filsafat maupun ilmu juga bermacam-macam. Hal ini dapat
dilihat pada aliran yang berbeda-beda, baik di dalam filsafat maupun di dalam
ilmu. Demikian pula terdapat bermacam-macam agama yang masing-masing
mengajarkan kebenaran. Bagaimana mencari hubungan antara ilmu, filsafat dan
agama akan diperlihatkan sebagai berikut:
Perhatikan ilustrasi ini. Jika seseorang melihat sesuatu kemudian
mengatakan tentang sesuatu tersebut, dikatakan ia telah mempunyai
pengetahuan mengenai sesuatu. Pengetahuan adalah sesuatu yang tergambar di
dalam pikiran kita. Misalnya, ia melihat manusia, kemudian mengatakan itu
adalah manusia. Ini berarti ia telah mempunyai pengetahuan tentang manusia.
Jika ia meneruskan bertanya lebih lanjut mengenai pengetahuan tentang
manusia, misalnya: dari mana asalnya, bagaimana susunannya, ke mana
tujuannya, dan sebagainya, akan diperoleh jawaban yang lebih terperinci
mengenai manusia tersebut. Jika titik beratnya ditekankan kepada susunan
tubuh manusia, jawabannya akan berupa ilmu tentang manusia dilihat dari
susunan tubuhnya atau antropologi fisik. Jika ditekankan pada hasil karya
manusia atau kebudayaannnya, jawabannya akan berupa ilmu manusia dilihat
dari kebudayaannya atau antropologi budaya. Jika ditekankan pada hubungan
antara manusia yang satu dengan manusia yang lainnya, jawabannya akan
berupa ilmu manusia dilihat dari hubungan sosialnya atau antropologi sosial.
Dari contoh di atas nampak bahwa pengetahuan yang telah disusun atau
disistematisasi lebih lanjut dan telah dibuktikan serta diakui kebenarannya
adalah ilmu. Dalam hal di atas, ilmu tentang manusia. Selanjutnya, jika
seseorang masih bertanya terus mengenai apa manusia itu atau apa hakikat
manusia itu, maka jawabannya akan berupa suatu "filsafat". Dalam hal ini yang
dikemukakan bukan lagi susunan tubuhnya, kebudayaannya dan hubungannya
10
dengan sesama manusia, akan tetapi hakikat manusia yang ada di balik tubuh,
kebudayaan dan hubungan tadi. Alm. Anton Bakker, dosen Fakultas Filsafat
Universitas Gajah Mada menggunakan istilah "antropologi metafisik" untuk
memberi nama kepada macam filsafat ini. Jawaban yang dikemukan bermacam-
macam antara lain:
 Monisme, yang berpendapat manusia terdiri dari satu asas. Jenis asas ini
juga bermacam-macam, misalnya jiwa, materi, atom, dan sebagainya.
Hal ini menimbulkan aliran spiritualisme, materialisme, atomisme.
 Dualisme, yang mengajarkan bahwa manusia terdiri atas dua asas yang
masing-masing tidak berhubungan satu sama lain, misalnya jiwa-raga.
Antara jiwa dan raga tidak terdapat hubungan.
 Triadisme, yang mengajarkan bahwa manusia terdiri atas tiga asas,
misalnya badan, jiwa dan roh.
 Pluralisme, yang mengajarkan bahwa manusia terdiri dari banyak asas,
misalnya api, udara, air dan tanah.
Di samping itu, ada beberapa pernyataan mengenai manusia yang dapat
digolongkan sebagai bernilai filsafati. Misalnya:
Aristoteles:
- Manusia adalah animal rationale
Karena itu, menurutnya, ada tahap perkembangan: Benda mati -> tumbuhan ->
binatang -> manusia
Tumbuhan = benda mati + hidup ----> tumbuhan memiliki jiwa hidup
Binatang = benda mati + hidup + perasaan ----> binatang memiliki jiwa
perasaan
Manusia = benda mati + hidup + akal ----> manusia memiliki jiwa rasional
- Manusia adalah zoon poolitikon, makhluk sosial.
b. Ernest Cassirer: manusia adalah animal simbolikum Manusia ialah binatang
yang mengenal simbol, misalnya adat-istiadat, kepercayaan, bahasa. Inilah
kelebihan manusia jika dibandingkan dengan makhluk lainnya. Itulah sebabnya
manusia dapat mengembangkan dirinya jauh lebih hebat daripada binatang yang
hanya mengenal tanda dan bukan simbol.
Demikianlah disebutkan beberapa contoh mengenai bentuk jawaban yang
berupa filsafat. Dari contoh tersebut, filsafat adalah pendalaman lebih lanjut dari
ilmu (Hasil pengkajian filsafat selanjutnya menjadi dasar bagi eksistensi ilmu).
11
Di sinilah batas kemampuan akal manusia. Dengan akalnya ia tidak akan dapat
menjawab pertanyaan yang lebih dalam lagi mengenai manusia. Dengan
akalnya, manusia hanya mampu memberi jawaban dalam batas-batas tertentu.
Hal ini sesuai dengan pendapat Immanuel Kant dalam Kritiknya terhadap rasio
yang murni, yaitu manusia hanya dapat mengenal fenomena belaka, sedang
bagaimana nomena-nya ia tidak tahu. Sehubungan dengan hal tersebut, maka
yang dapat menjawab pertanyaan lebih lanjut mengenai manusia adalah agama;
misalnya, tentang pengalaman apa yang akan dijalani setelah seseorang
meninggal dunia. Jadi, sesungguhnya filsafat tidak hendak menyaingi agama.
Filsafat tidak hendak menambahkan suatu kepercayaan baru.
Selanjutnya, filsafat dan ilmu juga dapat mempunyai hubungan yang
baik dengan agama. Filsafat dan ilmu dapat membantu menyampaikan lebih
lanjut ajaran agama kepada manusia. Filsafat membantu agama dalam
mengartikan (menginterpretasikan) teks-teks sucinya. Filsafat membantu dalam
memastikan arti objektif tulisan wahyu. Filsafat menyediakan metode-metode
pemikiran untuk teologi. Filsafat membantu agama dalam menghadapi
masalah-masalah baru. Misalnya, mengusahakan mendapat anak dengan in
vitro fertilization ("bayi tabung") dapat dibenarkan bagi orang Kristen atau
tidak? Padahal Kitab Suci diam seribu bahasa tentang bayi tabung. Filsafatlah,
dalam hal ini etika, yang dapat merumuskan permasalahan etis sedemikian rupa
sehingga agama dapat menjawabnya berdasarkan prinsip-prinsip moralitasnya
sendiri.
Sebaliknya, agama dapat membantu memberi jawaban terhadap
problem yang tidak dapat dijangkau dan dijawab oleh ilmu dan filsafat.
Meskipun demikian, tidak juga berarti bahwa agama adalah di luar rasio, agama
adalah tidak rasional. Agama bahkan mendorong agar manusia memiliki sikap
hidup yang rasional: bagaimana manusia menjadi manusia yang dinamis, yang
senantiasa bergerak, yang tak cepat puas dengan perolehan yang sudah ada di
tangannya, untuk lebih mengerti kebenaran, untuk lebih mencintai kebaikan,
dan lebih berusaha agar cinta Allah kepadanya dapat menjadi dasar cintanya
kepada sesama sehingga bersama-sama manusia yang lain mampu membangun
dunia ini. Selanjutnya filsafat memiliki peran dalam agama.
Pertama. Salah satu masalah yang dihadapi oleh setiap agama wahyu
adalah masalah interpretasi. Maksudnya, teks wahyu yang merupakan Sabda
12
Allah selalu dan dengan sendirinya terumus dalam bahasa dari dunia. Akan
tetapi segenap makna dan arti bahasa manusia tidak pernah seratus persen pasti.
Itulah sebabnya kita begitu sering mengalami apa yang disebut salah paham.
Hal itu juga berlaku bagi bahasa wahana wahyu. Hampir pada setiap kalimat
ada kemungkinan salah tafsir. Oleh karena itu para penganut agama yang sama
pun sering masih cukup berbeda dalam pahamnya tentang isi dan arti wahyu.
Dengan kata lain, kita tidak pernah seratus persen merasa pasti bahwa
pengertian kita tentang maksud Allah yang terungkap dalam teks wahyu
memang tepat, memang itulah maksud Allah.
Oleh sebab itu, setiap agama wahyu mempunyai cara untuk menangani masalah
itu. Agama Islam, misalnya, mengenai ijma' dan qias. Nah, dalam usaha
manusia seperti itu, untuk memahami wahyu Allah secara tepat, untuk mencapai
kata sepakat tentang arti salah satu bagian wahyu, filsafat dapat saja membantu.
Karena jelas bahwa jawaban atas pertanyaan itu harus diberikan dengan
memakai nalar (pertanyaan tentang arti wahyu tidak dapat dipecahkan dengan
mencari jawabannya dalam wahyu saja, karena dengan demikian pertanyaan
yang sama akan muncul kembali, dan seterusnya). Karena filsafat adalah seni
pemakaian nalar secara tepat dan bertanggungjawab, filsafat dapat membantu
agama dalam memastikan arti wahyunya.
Kedua, secara spesifik, filsafat selalu dan sudah memberikan pelayanan
itu kepada ilmu yang mencoba mensistematisasikan, membetulkan dan
memastikan ajaran agama yang berdasarkan wahyu, yaitu ilmu teologi. Maka
secara tradisional-dengan sangat tidak disenangi oleh para filosof-filsafat
disebut ancilla theologiae (abdi teologi). Teologi dengan sendirinya
memerlukan paham-paham dan metode-metode tertentu, dan paham-paham
serta metode-metode itu dengan sendirinya diambil dari filsafat. Misalnya,
masalah penentuan Allah dan kebebasan manusia (masalah kehendak bebas)
hanya dapat dibahas dengan memakai cara berpikir filsafat. Hal yang sama juga
berlaku dalam masalah "theodicea", pertanyaan tentang bagaimana Allah yang
sekaligus Mahabaik dan Mahakuasa, dapat membiarkan penderitaan dan dosa
berlangsung (padahal ia tentu dapat mencegahnya). Begitu pula Christologi
(teologi kristiani tentang Yesus Kristus) mempergunakan paham-paham filsafat
Yunani dalam usahanya mempersatukan kepercayaan pada hakekat nahi Yesus
Kristus dengan kepercayaan bahwa Allah hanyalah satu.
13
Ketiga, filsafat dapat membantu agama dalam menghadapi masalah-
masalah baru, artinya masalah-masalah yang pada waktu wahyu diturunkan
belum ada dan tidak dibicarakan secara langsung dalam wahyu. Itu terutama
relevan dalam bidang moralitas. Misalnya masalah bayi tabung atau
pencangkokan ginjal. Bagaimana orang mengambil sikap terhadap dua
kemungkinan itu : Boleh atau tidak? Bagaimana dalam hal ini ia mendasarkan
diri pada agamanya, padahal dalam Kitab Suci agamanya, dua masalah itu tak
pernah dibahas? Jawabannya hanya dapat ditemukan dengan cara menerapkan
prinsip-prinsip etika yang termuat dalam konteks lain dalam Kitab Suci pada
masalah baru itu. Nah, dalam proses itu diperlukan pertimbangan filsafat moral.
Filsafat juga dapat membantu merumuskan pertanyaan-pertanyaan kritis yang
menggugah agama, dengan mengacu pada hasil ilmu pengetahuan dan ideologi-
ideologi masa kita, misalnya pada ajaran evolusi atau pada feminisme.
Keempat, yang dapat diberikan oleh filsafat kepada agama diberikan melalui
fungsi kritisnya. Salah satu tugas filsafat adalah kritik ideologi. Maksudnya
adalah sebagai berikut. Masyarakat terutama masyarakat pasca tradisional,
berada di bawah semburan segala macam pandangan, kepercayaan, agama,
aliran, ideologi, dan keyakinan. Semua pandangan itu memiliki satu kesamaan
: Mereka mengatakan kepada masyarakat bagaimana ia harus hidup, bersikap
dan bertindak. Fiisafat menganalisa claim-claim ideologi itu secara kritis,
mempertanyakan dasarnya, memperlihatkan implikasinya, membuka kedok
kepentingan yang barangkali ada di belakangnya.
Kritik ideologi itu dibutuhkan agama dalam dua arah. Pertama terhadap
pandangan-pandangan saingan, terutama pandangan-pandang- an yang mau
merusak sikap jujur, takwa dan bertanggungjawab. Fisafat tidak sekedar
mengutuk apa yang tidak sesuai dengan pandangan kita sendiri, melainkan
mempergunakan argumentasi rasional. Agama sebaiknya menghadapi ideologi-
ideologi saingan tidak secara dogmatis belaka, jadi hanya karena berpendapat
lain, melainkan berdasarkan argumentasi yang obyektif dan juga dapat
dimengerti orang luar. Arah kedua menyangkut agamanya sendiri. Filsafat
dapat mempertanyakan, apakah sesuatu yang oleh penganut agama dikatakan
sebagai termuat dalam wahyu Allah, memang termasuk wahyu itu. Jadi, filsafat
dapat menjadi alat untuk membebaskan ajaran agama dari unsur-unsur ideologis
yang menuntut sesuatu yang sebenarnya tidak termuat dalam wahyu, melainkan
14
hanya berdasarkan sebuah interpretasi subyektif. Maka filsafat membantu
pembaharuan agama. Berhadapan dengan tantangan-tantangan zaman, agama
tidak sekedar menyesuaikan dirinya, melainkan menggali jawabannya dengan
berpaling kembali kepada apa yang sebenarnya diwahyukan oleh Allah.
Dengan cara menyadari keadaan serta kedudukan masing-masing, maka antara
ilmu dan filsafat serta agama dapat terjalin hubungan yang harmonis dan saling
mendukung. Karena, semakin jelas pula bahwa seringkali pertanyaan, fakta atau
realita yang dihadapi seseorang adalah hal yang sama, namun dapat dijawab
secara berbeda sesuai dengan proporsi yang dimiliki masing-masing bidang
kajian, baik itu ilmu, filsafat maupun agama. Ketiganya dapat saling menunjang
dalam menyelesaikan persoalan yang timbul dalam kehidupan.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa meskipun antara
filsafat, ilmu, dan agama memiliki perbedaan, tetapi ada titik persamaanya
yaitu ketiganya mencari sebuah kebenaran dan memberikan sebuah jawaban
bagi permasalahan-permasalahan kehidupan. Sehingga antara filsafat, ilmu
dan agama memiliki relevansi sebagai berikut:
1. Ilmu, filsafat dan agama sama-sama mencari kebenaran. Sebagai contoh
pengetahuan tentang manusia.
2. Filsafat dan ilmu dapat membantu menyampaikan lebih lanjut ajaran
agama kepada manusia. Filsafat membantu agama dalam mengartikan
(menginterpretasikan) teks-teks sucinya. Contoh tentang bayi tabung.
3. Sebaliknya, agama dapat membantu memberi jawaban terhadap problem
yang tidak dapat dijangkau dan dijawab oleh ilmu dan filsafat.
Dengan demikian antara ilmu, filsafat dan agama tidak ada pertentangan
jika didudukkan dalam proporsi dan bidangnya masing-masing.
B. SARAN
Berdasarkan hal di atas penulis mengajak pembaca untuk bisa lebih
mendalami lagi ketiga bidang kajian ini, filsafat, ilmu, dan agama. Sehingga,
mampu menjawab setiap permasalahan dengan bijak dan benar.

15
DAFTAR PUSTAKA
Gamal Thabroni. 2019. “ Pengertian Filsafat” tersedia :
https://serupa.id/filsafat-umum/
Muhammad Dwi Rizki. 2018. “ Pengertian Ilmu Menurut Para Ahli “ tersedia :
http://www.definisi-pengertian.com/2018/07/definisi-ilmu-pengertian-ilmu-
menurut-ahli.html
Rahmat Kamaruddin. 2012. “ Pengertian Agama “ tersedia :
http://www.penaraka.com/2012/04/pengertian-agama.html
Anggi Septiyani. 2015. “ Persamaan dan Perbedaan Antara Filsafat, Ilmu dan
Agama “ tersedia :
https://www.academia.edu/11817518/PERSAMAAN_DAN_PERBEDAAN_ANT
ARA_FILSAFAT_ILMU_DAN_AGAMA
DR. Pandji Sentosa, DRS., M.SI. 2020. “ Hubungan Ilmu, Filsafat dan Agama “
tersedia :
https://fisip.unla.ac.id/materi/E-Learning/Minggu%20Ke-
7/Ilmu%20Pemerintahan/3.%20Rabu/Dr.%20H.%20Pandji%20Santosa%2C%20
Drs.%2C%20M.Si/HUBUNGAN%20ILMU%2C%20FILSAFAT%2C%20DAN
%20AGAMA.pdf

16

Anda mungkin juga menyukai