MAKALAH
DOSEN PENGAMPU :
DISUSUN OLEH :
SITTI MULYANA
(NIM: 2102010007)
(STAI-DDI) PINRANG
2022
KATA PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan hidayah-Nya. Atas berkat rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis
bisa menyusun dan menyelesaikan makalah tentang “Moderasi Beragama di Era
Disrupsi Digital” ini dengan baik dan tepat waktu guna memenuhi tugas mata
kuliah Ke DDI-an II.
Penyusun
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..............................................................................................i
DAFTAR ISI............................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1
A. Latar Belakang..............................................................................................1
B. Rumusan Masalah.........................................................................................2
C. Tujuan Masalah.............................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN.........................................................................................3
DAFTAR PUSTAKA
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
1
2
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Masalah
PEMBAHASAN
Sumber ajaran Islam ialah Alquran dan Hadits Nabi Muhammad Saw.
Rujukan paling utama dalam ajaran Islam yaitu kalam Allah yang
diwahyukan kepada Nabi Muhammad saw, untuk disampaikan kepada umat
manusia. Hakikat diturunkannya Alquran adalah menjadi acuan moral secara
universal bagi umat manusia dalam memecahkan problematik sosial yang
timbul di tengah-tengah masyarakat. Itulah sebabnya, metode penafsiran
Alquran secara tematik, justru dihadirkan untuk menjawab perbagai
problematik aktual yang dihadapi masyarakat sesuai dengan konteks dan
dinamika sejarahnya.1
Dalam pandangan umat Islam, dari sekian banyak agama, ideologi, dan
falsafah yang mengemuka di dunia, hanya Islam yang akan bisa bertahan
menghadapi tantangan-tantangan zaman. Pandangan ini bahkan bagi sebagian
dari mereka sudah menjadi keyakinan. Pandangan ini berdasarkan pada
sebuah kenyataan yang tidak dapat terbantahkan bahwa hanya Islam sebagai
sebuah agama yang memiliki sifat universal dan komprehensif. Sifat inilah
yang kemudian meniscayakan sejumlah keistemewaan keistimewaan yang
melekat pada Islam dan tidak pada agama-agama lain.2
Kata “moderasi” adalah jembatan yang menyambungkan Rakernas satu
dengan lainnya sebagai agenda besar yang berkesinambungan. Tindak lanjut
dari setiap Rakernas yang tecermin dalam capaian kinerja tahunan adalah
rekam jejak yang menandai kemampuan kita dalam menjalankan amanah.
Catatan kinerja yang tinggi menjadi penyemangat berprestasi, sementara
kinerja yang rendahmenjadi bahan instrospeksi. Semoga kita mampu
menyadari kapan saatnya bereaksi dan di mana harus berposisi.
1
Umar Shihab, Kontekstualitas Al-Qur’an, Cet. III (Jakarta: Penamadani, 2005), h. 22
2
Abd. Rauf Muhammad Amin, Prinsip dan Fenomena Moderasi Islam dalam Tradisi
hukum Islam, Makassar: Universitas Islam Negeri Alauddin, h. 23
3
4
3
Rhenald Kasali, Disruption: Tak Ada yang Tak Bisa Diubah Sebelum Dihadapi,
Motivasi Saja Tidak Cukup, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2017, h.17.
7
Kasali- mempunyai setidaknya tiga cirri utama. Pertama, produk atau jasa
yang dihasilkan perubahan ini harus lebih baik daripada produk atau jasa
sebelumnya. Kedua, harga dari produk atau jasa hasil disruption harus lebih
murah dari sebelumnya. Ketiga, produk atau jasa yang dihasilkan proses
disrupsi juga harus lebih mudah diakses atau didapat para penggunanya.
Bukan sebaliknya, malah lebih susah dijangkau.4
Jika ketiga ciri ini diejawentahkan dalam memperdalam agama islam,
maka akan berdampak pada sebuah hasil yang cukup negatif. Ketika sebuah
generasi atau masyarakat, karena terdampak gempuran peradaban uber ini,
maka yang terjadi dalam praktik mempelajari nilai substantif ajaran islam,
lebih memilih tak hanya pada produk atau jasa, tapi juga pemikiran yang
dipandang lebih baik, murah dan terjangkau dengan efektif dan efisien.
Hal ini tentu saja membawa tantangan tersendiri bagi konsep islam
moderat yang selama ini menjadi ciri khas islam di Nusantara. Kalau sebuah
paham keislaman ingin dianggap lebih baik dengan paham keislaman lain,
maka “yang lain” ini lazim digunakan sebagai pihak yang disalahkan. Maka,
akan mudah muncul kata kafir, bid’ah, musyrik, thogut, antek Yahudi atau
nasrani, penindas umat islam dan diksi-diksi tajam lainnya. Dan pada
faktanya, pola semacam ini telah banyak dijumpai di situs-situ digital, lebih-
lebih di media sosial.
Kemudian, akses internet yang merupakan infrastruktur utama era
disrupsi merupakan media alternatif karena sifatnya yang murah (cheaper)
dan mudah (accesible), menjadikan banyak orang lebih memilih
menggunakan smartphone untuk mengaji, daripada harus jauh-jauh dan mahal
mempelajari agama islam melalui kiai atau pergi ke pondok pesantren secara
langusng (talaqqi). Karena dipandang tidak efektif dan memakan waktu yang
lama.
Tantangan islam moderat menjadi sangat berat karena generasi
millenials lebih cenderung untuk mengkonsumsi hal-hal yang bersifat instan,
4
Rhenald Kasali, Disruption: Tak Ada yang Tak Bisa Diubah Sebelum Dihadapi,
Motivasi Saja Tidak Cukup, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2017, h.4.
8
5
Abdullah Munir dkk, Literasi Moderasi Beragama di Indonesia, Bengkulu: CV. Zigie
Utama, 2020, h.27-29
BAB III
KESIMPULAN
12
DAFTAR PUSTAKA
Kasali, Rhenald. Disruption: Tak Ada yang Tak Bisa Diubah Sebelum
Dihadapi, Motivasi Saja Tidak Cukup. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.