Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

TAFSIR AYAT DAN SYARAH HADITS TENTANG HUBUNGAN


KREDITUR DAN DEBITUR

Disusun Guna Memenuhi Tugas


Mata Kuliah : Tafsir dan Hadits Ekonomi Dosen
Pengampu : Khifni Nasif, M.E.

Disusun Oleh:
Kelompok-13 C2ESR
1. Haniya Mustafida (2250110081)
2. Millatun Najwa (2250110084)
3. Triana Shuchbatul Yumna (2250110107)

PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
TAHUN 2023

i
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, Kami
panjatkan puji syukur atas kehadirat-Nya yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-
Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah Tafsir dan Hadits Ekonomi
tentang “Tafsir dan Syarah Hadits Tentang Hubungan Debitur Dan Kreditur”.
Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai
pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami menyampaikan
banyak terima kasih kepada semua pihak, khususnya kepada Bpk Khifni Nasif, ME selaku
dosen pengampu mata kuliah Tafsir Dan Hadits Ekonomi yang telah ikut berkontribusi dalam
pembuatan makalah ini sehingga dapat disusunnya makalah ini dengan baik.
Terlepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik
dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka kami
menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ini.
Akhir kata kami berharap semoga makalah kami ini dapat memberikan manfaat maupun
inspirasi terhadap pembaca.

Kudus 28 Mei 2023

Penulis

iii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................................................. ii


DAFTAR ISI .......................................................................................................................................... iii
BAB I ....................................................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN ............................................................................................................................... 1
A. Latar Belakang .......................................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .................................................................................................................... 2
C. Tujuan Masalah ........................................................................................................................ 2
BAB II ...................................................................................................................................................... 3
PEMBAHASAN .................................................................................................................................. 3
A. Pengertian Kreditur dan Debitur ............................................................................................ 3
B. Sistem Hubungan Kreditur dan Debitur ................................................................................ 3
C. Hubungan Kreditur Dan Debitur............................................................................................ 5
D. Ayat Al-Qur’an Tentang Hubungan Kreditur Dan Debitur ................................................. 6
E. Syarah Hadits Tentang Debitur dan Kreditur ..................................................................... 13
BAB III .................................................................................................................................................. 16
PENUTUP ......................................................................................................................................... 16
A. Kesimpulan .............................................................................................................................. 16
B. Saran ........................................................................................................................................ 17
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................................ 18

iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Keinginan untuk mempelajari hubungan antara kreditur dan debitur pada masa
Nabi dan para sahabat muncul di kalangan intelektual Muslim yang berkecimpung
dalam bisnis. Mengikuti realisasi prinsip-prinsip yang terkandung dalam wahyu
dimensi terutama sesuai dengan prinsip-prinsip keyakinan yang terkandung dalam
dokumen tersebut Wahyu yang berkaitan dengan urusan manusia bersifat fleksibel
dan kuat Fleksibilitas dengan memperhatikan prinsip-prinsip yang terkandung
dalam pengumuman berkembang sesuai dengan perkembangan jiwa manusia.
Keyakinan ini didasarkan pada ketaatan, wahyu dan pemikiran ini mereka tidak
pernah bertentangan satu sama lain, tetapi sangat memperkuat satu sama lain dan
saling mendukung, karena wahyu dan akal sama-sama diciptakan oleh Sang
Pencipta, maka keduanya harus bertemu di beberapa titik. Ketika keduanya
terpisah.
Selain itu, kemungkinannya tidak lain adalah pendekatannya terhadap wahyu
ini yang tidak menggunakan pendekatan multidimensi, begitulah hasilnya dapat
diperoleh hanya dari sudut pandang beberapa aspek atau metode argumentasi itu
tidak didasarkan pada metode yang belum teruji dari penulis yang berbeda,
Membangkitkan pikiran yang sulit dikendalikan. Jika panduan notifikasi diaktifkan
Aspek dan pemikirannya tentu saja didasarkan pada sistem dan metode nyata
wahyu dan akal menghasilkan getaran ritmis yang harmonis yang tas yang sangat
berguna kehidupan dan kehidupan manusia. Mungkin sekelompok ilmuwan
dengan pemikiran optimis mengatakan bahwa perkembangan pemikiran manusia
dalam segala manifestasinya berupa kebudayaan, terutama dalam perkembangan
zaman Teknologi dan sains mempengaruhi banyak bentuk Transaksi dan cara hidup
masyarakat cukup dipelajari dalam kitab-kitab fikih.
Pendapat serupa ini dapat dinilai dari beberapa aspek, yaitu sikap yang terlalu
optimis karena hasil ijtihad hanya sebatas keyakinan mujtahid tergantung pada
dimensi waktu mereka menemukan masalah yang berbeda berbagai aktivitas
komersial di masyarakat, kemudian mereka menyelesaikannya dengan cara
menggali Jiwa syara’ dimasukkan dalam Al Quran dan ditambahkan ke Al Hadits
dengan kemampuan intelektual. Berbagai perbedaan pendapat antara pemaparan
para Mujtahidin Heterogenitas kekuatan ijtihad mereka karena diwarnai oleh faktor
perkembangan permasalahan yang berbeda dan dilatarbelakangi oleh latar
belakang dengan budaya masyarakat di mana masalah itu terjadi. Abu al A'la
Maududi mengemukakan dalam bukunya Theory of Islamic Law and Islamic
Guidance yang aslinya berjudul Nadhariyat al Islam wa Haddihi beberapa kesulitan
yang dihadapi umat Islam untuk menyelesaikannya masalah sosial yang dicari
pemecahannya dalam kitab-kitab fikih. Kesulitan pertama adalah: menghadapi
masalah bahasa karena Bahasa.
Otoritas kitab-kitab fikih sangat terbatas ukurannya dibandingkan dengan
masalah yang berkembang dalam masyarakat, jadi jika Anda ingin menangani
masalah hubungan kreditur dan Debitur, kita harus melihat bab fiqih untuk melihat
apakah itu ada Kitab Al Buyu atau kitab Al'Ariyah atau kita adalah Al Qorodl atau
Al Qirodl karena Kreditur dan debitur dapat melakukan transaksi yang berbeda,

1
juga dalam bentuk Jual beli, hutang, kredit, sewa, pembangunan Modal, investasi
modal dan berbagai transaksi yang terjadi di dunia sebuah aksi Kesulitan lain
adalah: Istilah-istilah baru muncul begitu cepat dalam dunia ekonomi sehingga
pemahamannya membutuhkan pengetahuan sebelumnya memisahkan bentuk dari
yang lain yang terlihat kasat mata Sekilas, ini terlihat seperti investasi ekuitas
swasta (Mudharobah atau Muqarodhah dan Tanah), keduanya memiliki Kemiripan,
tetapi motifnya berbeda, menurut para intelektual Muslim banyak berpikir tentang
mewujudkan ide-ide baru yang timbul dari penelusuran konsep-konsep dalam kitab
fikih.
Kesulitan ketiga adalah: Perkembangan ekonomi global tidak demikian
keberadaannya dapat dinafikan, sehingga perlunya peraturan perundang-undangan
dalam dunia usaha cepat terverifikasi karena dikendalikan. bentuk-bentuk baru
dalam dunia ekonomi agar masyarakat Islam tetap eksis dalam ekonomi tradisional,
begitulah cara mereka melakukannya Menjalin kontak dengan dunia luar Islam,
terkadang dengan mereka penuh keraguan karena belum ditemukan bentuk baru
dalam penelitian buku-buku fikih mereka .

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Kreditur dan Debitur?
2. Bagaimana Sistem Hubungan Kreditur dan Debitur?
3. Bagaimana Hubungan Kreditur dan Debitur?
4. Ayat Al Qur’an tentang Hubungan Kreditur dan Debitur
5. Syarah Hadits tentang Debitur dan Kreditur

C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui apa itu kreditur dan debitur
2. Untuk mendeskripsikan system hubungan kreditur dan debitur
3. Untuk mendeskripsikan hubungan kreditur dan debitur
4. Untuk mengetahui ayat alqur’an tentang hubungan kreditur dan debitur
5. Untuk mengetahui syarah hadits tentang debitur dan kreditur

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Kreditur dan Debitur


Kreditur adalah pihak baik perorangan, maupun bentuk pemerintahan, serta
perusahaan yang memberikan suatu pinjaman dan pembiayaan kepada pihak lainnya
(debitur) atas suatu penjualan barang/jasa atau punjaman tunai. Bentuk pembiayaan
tersebut biasanya sudah disepakati Bersama dan telah dituangkan dalam sebuah
perjanjian, bahwa pihak debitur akan mengembalikan segala pinjamannya kepihak
kreditur sesuai waktu yang ditentukan.
Debitur adalah pihak (perorangan, organisasi atau perusahaan) yang memiliki
suatu kewajiban untuk membayar dan melunasi hutang-hutangnya kepada pihak
kreditur. Kewajiban yang tibul tersebut dikarenakan adanya sebuah perjanjian yang
telah disepakati bersama, dengan adanya suatu transaksi yang ditimbulkan dari
penjualan suatu barang maupun bentuk jasa atau pinjaman yang diberikan secara tunai,
yang kemudian akan di bayarkan oleh pihak debitur di masa yang akan dating antara
perjanjian yang dibuat oleh kedua belah pihak tersebut. Dalam suatu pemberian
pinjaman, debitur wajib memberikan suatu agunan, yang dijadikan suatu jaminan oleh
pihak kreditur ketika dikemudian hari nanti seorang debitur tidak dapat atau mampu
untuk melunasi suatu hutangnya sesuai dengan kesepakatan keduabelah pihak, dan jika
debitur tidak dapat melunasi hutangnya, maka pihak kreditur memiliki hak untuk
mengambil alih jaminan yang diberikan debitur1.
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa jika kreditur adalah pihak yang
memberi pinjaman, maka debitur adalah yang menerima pinjaman tersebut. Debitur
merujuk pada orang yang mempunyai utang karena perjanjian atau undang-undang
yang pelunasannya dapat ditagih di muka pengadilan. Dalam debitur, jika utang dalam
bentuk pinjaman dari lembaga keuangan, maka debitur disebut sebagai peminjam.
Namun, jika utang dalam bentuk sekuritas, maka debitur disebut sebagai penerbit.
Secara hukum, seseorang yang dengan sukarela menyatakan kebangkrutan juga
dianggap sebagai debitur2.

B. Sistem Hubungan Kreditur dan Debitur


Berbicara tentang sistem pengertian yang timbul dalam pikiran intelektual
muslim, adalah rangkaian dari suatu kegiatan dalam hal ini transaksi, yang di dalam
sistem itu tersusun sub-sub sistem yang satu dengan yanglain merupakan hubungan
kerja dalam mewujudkan sesuatu hasil yang dikehendaki, sesuai dengan tujuan yang
ingih dicapai.
Kreditur dan debitur dalam pengertian ini, keduanya merupakan sub-sub sistem
dari suatu rangkaian kerja yang di dalam syari'at Islam dikenal dalam A1 Mu'taqidin
(dua pihak yang mengadakan perjanjian aqad). sub-sub sistem yang Iain yang perlu
diperhatikan ialah tata aturan yang mengatur hak dan kewajiban yang melakukan aqad

1 2019 Aghadiati, “Tinjauan Pustaka Tinjauan Pustaka,” Convention Center Di Kota Tegal (2017): 6–32,
http://repository.umy.ac.id/bitstream/handle/123456789/10559/BAB II.pdf?sequence=6&isAllowed=y.
2 Universitas Medan dan Medan Area, “Kreditur dan Debitur,” no. 37 (2018): 1–12,
http://repository.uma.ac.id/bitstream/123456789/1558/5/108400104_file5.pdf.

3
itu. Para intelektual muslim berkeyakinan bahwa tata aturan yang mengatur kedua belah
yang mengadakan aqad itu hendaknya seirama dengan bimbingan wahyu.
Konsep yang memuat bentuk perikatan atau perjanjian itu di dalam AI Qur'an
ada dalam dua bentuk, yaitu: "AI 'Uqud" bentuk jama' dari kata "AI 'Aqdu", sedangkan
kata yang lain adalah "AI 'Ahdu" dalam bentuk mufrod.
Kedua konsep itu mempunyai kemiripan tetapi mempunyai pengertian yang
berbeda, AI 'Aqdu dipergunakan dalam bentuk perikatan atau perjanjian yang
mengandung resiko material, itulah sebabnya dalam ungkapan dinyatakan dalam
bentuk jama'.
Untuk menampung segala bentuk perikatan yang berkembang dalam
masyarakat berimbang dengan perkembangan pikirannya, sedangkan AI 'Ahdu
menggambarkan pengertian perjanjian yang tidak membawa konsekwensi material,
tetapi memberikan gambaran perikatan, yaitu perjanjian immaterial yang
konsekwensinya merupakan pertanggungjawaban antara makhluk yang diberi akal
kepada khaliknya.
Realisasi dalam masyarakat sudah tentu memerlukan perundang-undangan
yang seirama dengan pertimbangan pikiran yang diungkapkan dalam
ungkapanungkapan bahasa yang dapat menjamin ketentraman di antara pihak-pihak
yang mengadakan perikatan, serta dapat pula digambarkan dengan bahasa yang mudah
dipahami oleh masyarakat. Dalam hal inilah usaha untuk mewujudkan
perundangundangan yang islami sangat perlu diwujudkan di tengah-tengah masyarakat
agar bimbingan wahyu dengan perkembangan fikiran dapat terpadu dalam
perundangundangan tersebut.
Sub sistem yang lain adalah obyek perikatan atau perjanjian yang dalam hal ini
berbentuk semua benda-benda ekonomi yang dinilai dengan harga yang pada umumnya
merupakan barang atau jasa yang sangat dibutuhkan bagi kehidupan masyarakat. Dalam
hal ini pula dikaji tentang justifikasi terhadap perundang-undangan terhadap keabsahan
setiap pihak yang memiliki kekuasaan terhadap barang yang memiliki nilai ekonomi
tersebut.'
Para intelektual muslim' tentu akan bersikap akan kekekalan dari barang atau
jasa yang dijadikan obyek perikatan dan sekaligus merupakan pembenaran terhadap
pihak-pihak, baik dari kreditur maupun debitur, sehingga barangatau jasa yang
dijadikan obyek perikatan itu, merupakan yang sah menurut hukum, dan
penguasaannya pun dibenarkan menurut hukum. Segala bentuk yang obyeknya
barang.atau jasa yang.tidak dibenarkan oleh hukum Islarn, begitu pula penguasaannya
terhadap barang atau jasa yang tidak sah menurut hukum tidaklah dibenarkan oleh
hukum Islam. Sehingga sub sistem yang patut mendapat perhatian, adalah bentuk
perikatan itu, yang terkenal dalam istilah fiqh: Tasaruf atau perikatan dalam istilah
hukum positip.
Prinsip-prinsip dalam. segala bentuk perikatan didasarkan atas perikatan yang
tidak membawa kemadaratan, melainkan memberikan keuntungan bagi kedua belah
pihak terhadap kebiasaan orang Jahiliyah yang melipat gandakan uangnya terhadap
para piutang, kebiasaan ini hendaknya dihentikan karena benar-benar mencekik leher,
dan untuk selanjutnya dibina sistem perekonomian yang tidak menimbulkan
penganiayaan dan merugikan pihak yang lain. Di samping itu terdapat Hadits Nabi
s.a.w. yang memuat ungkapan, yang kemudian dijadikan kaidah Fiqhiyah, yaitu: "La

4
Dlororo wala dilroro" tidak boleh ada transaksi yang merugikan dan saling
merugikan1.

C. Hubungan Kreditur Dan Debitur


Apabila kita melihat kegiatan yang dilakukan diantara kreditur (AI muqrid) dan
debitur (AI muqtarid) tentulah kita akan melihat transaksi timbal balik di antara
keduanya, kedua belah pihak melakukan transaksi yang dapat diungkapkan dalam
bentuk perjanjian atau perikatan, di saal itu kreditur menetapkan untuk menyerahkan
sejumlah uang atau alat tukar yang mempunyai nilai sama dengan uang, sedangkan
pihak yang lain menetapkan untuk menyerahkan sejumlah barang atau jasa kepada
kreditur senilai dengan uang atau alat tukar lain yang berimbang.
Kegiatan serupa ini dapat menjelma dalam aneka ragam transaksi (tasarrufat),
baik dalam bentuk jual-beli, pinjam-meminjam, pengembangan modal, investasi
modal, hutang-piutang, upah-mengupah dan sebagainya dalam berbagai macam
transaksi yang bersifat material, yang pada hakikatnya tidak terlepas dari adanya
kegiatan dari kedua belah pihak, baik secara individu maupun secara kolektip
mengikatkan diri dalam perjanjian atau perikatan, di' saat mana pihak yang satu
bersedia menyerahkan uang,sedangkan pihak yang lain bersedia untuk memenuhi
keinginan pihak kreditur untuk menyerahkan barang atau jasa yang diinginkan. Dalam
hal ini terlihat "adanya aneka ragam hubungan yang terjadi di antara kedua belah pihak,
yaitu:
1. Hubungan Religi
Dalam aspekini baik kreditur maupun debitur akan melakukan perikatan yang
tidak bertentangan dengan bimbingan wahyu, karena sebagai kaum muslimin
terikat dalam rumusan taqwa, yaitu keharusan untuk melakukan perbuatan sesuai
ketentuan syara', dan menjauhi larangan-larangan syara'
Dengan demikian maka setiap individu dan perbuatan yang mereka perbuat
hendaknya bersesuaian dengan bimbingan yang dibawa oleh Rasullullah s.a.w.,
dan apabila ternyata ada kesulitan untuk menemukan bimbingan, setidaktidaknya
tindakan yang dilakukan tidak bertentangan dengan bimbingan dari Rosulullah
tersebut.
2. Hubungan Ekonomi
Dalam hubungan ini terlihat adanya dua belah pihak yangsaling bersedia untuk
mengorbankan sesuatu yang dimiliki, dengan mengharapkan sesuatu yang sangat
dihajatkan, baik dari pihak individu atau pihak kolektip. Oleh sebab itu pihak
kreditur maupun debitur hendaknya memperhatikan prinsip keseimbangan antara
korban yang diberikan dan hasil yang akan didapat, yang terkenal dengan prinsip
efisiensi.
3. Hubungan Sosial
Perlu mendapat perhatian dalam hubungan ini ialah bahwa transaksi yang
dilakukan oleh pihak kreditur dan debitur tidak boleh mengganggu kepentingan
umum atau keseimbangan sosial terganggu karenanya, meskipun pada prinsipnya
kedubelah pihak mempunyai kebebasan untuk melakukan perikatan, namun

1Abdul Rachim, “Sistem Hubungan Kreditur dan Debitur Pada Masa Rosulullah dan Sahabat,” Unisia 11, no. 10
(1991): 36–46.

5
perikatan yang dilakukan itu tidak dibenarkan merusak atau mengganggu
kepentingan di sekitarnya.

Manipulasi atau menumpuk barang dengan maksud untuk dijual pada saat orang
sangat membutuhkan, sehingga harganya menjadi mahal, pada prinsipnya
perbuatan seseorang itu adalah hak dari orang yang melakukan manipulasi itu,
tetapi karena akibat perbuatan itu merugikan kepentingan umum, maka perbuatan
serupa itu tidak boleh terjadi.
Larangan dalam syari'at Islam seperti itu disebut Syadzudz Dzari'ah, demikian
pula menghadang para pedangang yang datang dari Dusun yang kemudian ia
membelinya sebelum ia tiba di pasar,
Disamping itu kreditur dan debitur meskipun terlibatakan kepentingan untuk
memperoleh keuntungan, tidak boleh melepaskan sama sekali dari sifat sosial
dalam arti bahwa kedua belah pihak terlibat dalam hubungan tolong-menolong
danbantu-membantu, sehingga dirinya dengan masyarakat terdapat hubungan
saling menghajatkan dan saling memerlukan. Oleh karena itu dalam pertumbuhan
ekonomi'di masa yang akan datang sifat globalitas tidak dapat dilepaskan.
4. Hubungan Budaya
Dibalik keterlibatan hubungan-hubungan yang terjadi antara kreditur dan
debitur terdapat pula hubungan budaya dalam arti bahwa perikatan yang
dilakukan antara keduanya, ditujukan untuk mempermudah terbinanya tugastugas
kemanusiaan dalam bidang budaya sehingga masing-masing pihak dapat
mengembangkan kebudayaannya secara berkesinambungan, itulah sebabnya
segala macam transaksi yang merintangi perkembangan budaya tidak dibenarkan
oleh syari'at Islam,seperti transaksi minuman keras yang nyata-nyata
menghalangi kejernihan pikiran orang untuk mengembangkan budayanya,
termasuk perjudian yang semata-mata menyebabkan masyarakat apa terhadap
fungsinya sebagai makhluk berbudaya,
hubungan-hubungan yang lain di antara kreditur dan debitur seperti hubungan
geografls yang melatarbelakangi perkembangan transaksi dan pemikiran yang
menunjang itu dan hubungan psikologis yang sangat penting bagi kelancaran dan
pencapaian tujuan dari transaksi itu dapat dibicarakan terpaling daripada maksud
dan tujuan diskusi ini2.

D. Ayat Al-Qur’an Tentang Hubungan Kreditur Dan Debitur

Q.S. Al-Baqarah Ayat 282


‫بُ بِ ْالعَدْ ِ ِل‬ ِ ‫ي ُْنَك ْم كَات‬ َّ ‫جَُ ٍل م َس ًّمى فَا ْكتب ْوُ ُۗهُ َو ْليكَ ُْتبْ ُ ب‬ َ ‫ىا‬ ٰٓ ‫دي ُْ ٍن اِ ل‬ َ ِ‫ي ا يَ َها الَّ ِذيْنَ ا َمن ْوُا اِذاَ تدَاَينَ ُْت ْمُ ب‬
ّٰٓ ٰٓ ّٰٓ
َُ‫ق‬ ِ ٰٓ َ‫يَُ ِهٰٓ ْال َح ٰٓق َو ْليت‬ ْ ‫عل‬ َ ‫ِي‬ ْٰٓ ‫هاللُُ ف َْليكَ ُْتبْ ُ ُُْ َو ْلي ْمُ ِل ِٰٓلُُٰٓ ُُٰٓ الَّذ‬ ٰٓ ‫عل َّمَُ ٰٓه‬ َ ُْ َّ‫انَُ يك‬
َ ‫تبُ َك َما‬ ْ ُ‫ب‬ ِ ‫أب ُْ كَات‬ َ َ‫َٰٓولََُ ي‬
ْ ٰٓ ٰٓ ْ ًٰٓ ٰٓ ّٰٓ
َُ‫ان‬ ٰٓ
ٰٓ ‫ااوَُ لََُ َيسْتطَُِ يْع‬ ْ ًٰٓ‫ض ِع ْيف‬
َ َُ‫ااو‬ ْ ‫يَُ ِٰٓه ْال َح ق َس ِف ْي ًٰٓه‬ ْ ‫عل‬
َ ‫ِي‬ ْٰٓ ‫َس مِ ْنهُُٰٰٓٓ ُ َشيْئاُ ُُۗ فَا ِٰٓن كَانَ الَّذ‬ ٰٓ َ ََُ‫هال َٰٓلُ َربَّهُُٰٰٓٓ ُ َول‬
ْ ‫يب ُْخ‬
ْ ْٰٓ ‫ْدي ُْ ِٰٓن‬ ْ ٰٓ
‫يَُ ِٰٓن‬ْ ‫َارجل‬ َ ‫مِن ِر َجالِك ْٰٓم ُُْ فَا ِٰٓن لَّ ْٰٓم يكَ ُ ْون‬ َ ‫ِدوُا َش ِهي‬ ْ ‫تش ُْه‬ َ ‫هوُف َْلي ْمُل ِٰٓل َو ِل يهُُٰٰٓٓ ُبِ ْالعَدْ ِلُ ُُُُٰۗٓ َوا ْس‬ َ َّ‫يمِ ل‬
َ‫ب ُْ ال ش َهدا‬ َٰٓ ‫رى َولََُ يَأ‬ ُۗ ُ‫دهمُاالْ َُ ْخ‬ َ ْ‫تضَُ َّل اِحْ ده َمافتَذ كِ َُ َر اِح‬ ِ ُْ َ‫ض ْونَ مِنَ ش َهداَ ءِ ان‬ َ َُ ْ‫ف ََرجلٰٓ َّو ْام َرا ت َِن مِ َّم ْن تر‬

2 4 Ibid.

6
ُ‫ط ِع ْند هاَل ِّٰٰٓٓل‬ ٰٓ ‫جَُ ل ُۗهٰٓ ذلِك ٰٓم اقَ ُْ َس‬ ْٰٓ ‫تسَُ ئمَُ ْوا‬ْ ََُ‫ءاِذاَ َمادعُ ْو ُۗا َول‬
ْ ِ َ ‫ىا‬ ٰٓ ‫ااوَُ كَبي ِ ُْ ًٰٓرااِ ل‬
ْ ‫ص ِغي ًْٰٓر‬ َ ُ ُُٰٰٓٓ‫انَُ تكَ ُْتب ْوُه‬
ًٰٰٓٓ ًٰٓ ‫انَُ تكَ ُونَٰٓ تِج‬ ْٰٓ َُ َُ‫الَُ َُ ترْ َُ تا َ ْبوُا ا ِّٰٓل‬
َّٰٓ ُُٰٓ‫ى‬
َٰٓ َُ‫ي‬
‫س‬ ْ ‫ابي ُْن َٰٓك ْٰٓمفَل‬
َ ُۗ ََُ‫اض َرة تدُِيْر ْونه‬ ِ ‫ارةٰٓ َح‬ َ َ ْ ُۗ ٰٓ ‫َواقَ ُْ َو ٰٓم لِل َّش َهادةَ ِوَُ اد َْن‬
‫ِب َّولََُ َش ِهيْدُٰٓ َوا ِْٰٓن‬ ٰٓ ‫يضُا َّركَات‬ َ ََُ‫ت ْٰٓمُ َول‬ ِ ُْ ‫تبَُ اي َع‬ َ َ‫ِدوُا اِذا‬
ْ ‫اش ُْه‬ َ ‫َاح ا َّلَُ َُ تكَ ُْتب ْوُهَا ٰٓ َو‬ ٰٓ ‫عليَُ ك ْٰٓم جن‬
ْ َ
ٰٓ‫)ٰٓالبقرة‬۰‫ع ِلي ْٰٓم‬ ُّٰۗ ُۗ ٰٓ َ ٰٓ ٰٓ ٰٓ
َ ٍ‫يء‬ ُۗ َ ُۗ
ْ ‫ع ْلوُافَاِنَّ هُُٰٓ فسُ ْوق بكِ ُ ْمُُ َواتقو هاللُُُّٰٓ ُ َوي َعُ ِل مكم هاللُ َو هال ُّٰۗل بِك ِل َش‬ ٰٓ َ ُْ ‫تف‬َ
ٰٓ ( ُُٰٓ۲۸۲ٰٓ :

Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, apabila kalian bermuamalah tidak secara
tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kalian menuliskannya. Dan hendaklah
seorang penulis di antara kalian menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis
enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkan- nya, maka hendaklah
ia menulis, dan hendaklah orang yang berutang itu mengimlakan (apa yang akan
ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia
mengurangi sedikit pun dari utangnya. Jika yang berutang itu orang yang lemah
akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakan, maka
hendaklah walinya mengimlakan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang
saksi dari orang-orang lelaki (di antara kalian). Jika tak ada dua orang lelaki, maka
(boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kalian ridai,
supaya jika seorang lupa, maka yang seorang lagi mengingatkannya. Janganlah
saksisaksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil: dan janganlah
kalian jemu menulis utang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu
membayarnya. Yang demikian itu lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat me- nguatkan
kesaksian dan lebih dekat kepada tidak (menim- bulkan) keraguan kalian. (Tulislah
muamalah kalian itu), kecuali jika muamalah itu perdagangan tunai yang kalian
jalankan di antara kalian; maka tak ada dosa bagi kalian, (jika) kalian tidak
menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kalian berjual-beli; dan janganlah penulis
dan saksi saling menyulitkan. Jika kalian lakukan (yang demikian), maka
sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada diri kalian. Dan bertakwalah kepada
Allah: Allah mengajar kalian: dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. [AlBaqarah
3; 282].
a. Tafsir Ibnu Katsir
ُۗ ٰٓ ٰٓ ٰٓ
ُ‫جَُ ٍل م َس ًّم ٰٓى فَا ْكتب ْوُ ٰٓه‬ ٰٓ ‫دي ُْ ٍٰٓن اِ ل‬
َ ‫ىا‬ َ ِ‫ي ا يَ َها الَّ ِذيْنَ ا َمن ْوُا اِذاَ تدَاَينَ ُْت ْمُ ب‬
Hai orang-orang yang beriman, apabila kalian bermuamalah tidak
secada tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kalian
menuliskannya. (Al-Baqarah: 282)
Hal ini merupakan petunjuk dari Allah Swt. buat hamba-hamba-Nya
yang mukmin apabila mereka mangadakan muamalah secara tidak tunai,
yaitu hendaklah mereka mencatatkannya; karena catatan itu lebih
memelihara jumlah barang dan masa pembayarannya serta lebih tegas bagi
orang yang menyaksikannya.
‫بُ بِ ْالعَدْ ِ ِٰٓل‬ َّ ‫َو ْليكَ ُْتبْ ُ ب‬
ِ ‫ي ُْنكَ ُ ْم كَات‬
Dan hendaklah seorang penulis di antara kalian menuliskannya dengan
benar. (Al-Baqarah: 282)
Yakni secara adil dan benar. Dengan kata lain, tidak berat sebelah dalam
tulisannya; tidak pula menuliskan, melainkan hanya apa yang telah
disepakati oleh kedua belah pihak, tanpa menambah atau me- nguranginya.

7
ّٰٰٓٓ
ُُْ ُ ْٰٓ‫هاللُُ ف َْليكَ ُْتب‬ ‫عل َّمَُ ٰٓه‬ َٰٓ ‫انَُ يَّ ْك‬ ْ ُُُٰٓ‫ب‬ َٰٓ ‫َولََُ َي‬
َ ‫تبُ َك َما‬ ِ ‫أب ُْ كَات‬
Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah
mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis. (Al- Baqarah: 282)
Janganlah seorang yang pandai menulis menolak bila diminta untuk
mencatatnya buat orang lain; tiada suatu hambatan pun baginya untuk
melakukan hal ini. Sebagaimana Allah telah mengajarkan kepadanya apa
yang belum ia ketahui sebelumnya, maka hendaklah ia ber- sedekah kepada
orang lain yang tidak pandai menulis, melalui tulisan- nya.
ٰٓ‫قَُ هال َّٰٰٓٓلُ َربَّه‬ ِ ّٰٓ ‫يَُ ِهٰٓ ْال َح ق َو ْليَت‬ ْ ‫عل‬ َ ‫ِي‬ ْٰٓ ‫َو ْلي ْمُ ِل ِٰٓل الَّذ‬
dan hendaklah orang yang berutang itu mengimlakan (apa yang akan
ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya. (Al-
Baqarah: 282)
Dengan kata lain, hendaklah orang yang berutang mengimlakan kepada
si penulis tanggungan utang yang ada padanya, dan hendaklah ia bertakwa
kepada Allah dalam hal ini.
ُُۗ ًُٰٓ‫َس مِ ْن ٰٓه َشيْئا‬ ْ ‫يب ُْخ‬ َ ََُ‫َول‬
dan janganlah ia mengurangi sedikit pun dari utangnya. (Al- Baqarah:
282)
Artinya, jangan sekali-kali ia menyembunyikan sesuatu dari utangnya.
‫يَُ ِٰٓه ْال َح ق َس ِف ْي ًٰٓها‬ ْ ‫عل‬ َ ‫ي‬ ْٰٓ َُ‫فَا ِْن كَانَٰٓ ال ِ ّٰٓذ‬
Jika yang berutang itu orang yang lemah akalnya. (Al-Baqarah: 282)
Yang dimaksud dengan istilah safih ialah orang yang dilarang ber-
tasarruf karena dikhawatirkan akan berbuat sia-sia atau lain sebagainya.
‫ض ِع ْيفًٰٓا‬
َ َُ‫ْاو‬
atau lemah keadaannya. (Al-Baqarah: 282) Yakni
karena masih kecil atau berpenyakit gila
ُ‫هو‬ َٰٓ ‫انَُ يمِ َّل‬ ْ ‫يس ُْتطِ َُ ي ْٰٓع‬ َ ََُ‫ْاوَُ ل‬
atau dia sendiri tidak mampu mengimlakan. (Al-Baqarah: 282)
Umpamanya karena bicaranya sulit atau ia tidak mengetahui mana yang
seharusnya ia lakukan dan mana yang seharusnya tidak ia lakukan (tidak
mengetahui mana yang benar dan mana yang salah).
ُُُُٰٓۗ ُ‫ف َْلي ْمُ ِللْ َو ِل يهُُٰٰٓٓ ُبِ ْالعَدْ ِل‬
maka hendaklah walinya mengimlakan dengan jujur. (Al- Baqarah: 282)
ُُْ ‫مِن ِر َجالِك ْٰٓم‬ ْٰٓ ‫ْدي ُْ ِن‬ َ ‫ِدوُا َش ِهي‬ ْ ‫ْتش ُْه‬ َ ‫َواس‬
Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di
antara kalian). (Al-Baqarah: 282)
Ayat ini memerintahkan mengadakan persaksian di samping tulisan
untuk lebih memperkuat kepercayaan.
‫يَُ ِٰٓن ف ََرجل َّو ْام َرا ت َِٰٓن‬ ْ
ْ ‫َارجل‬ َ ‫ٰٓفَا ِٰٓن لَّ ْم يكَ ُ ْون‬
Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua
orang perempuan. (Al-Baqarah: 282)
Hal ini berlaku hanya dalam masalah harta dan segala sesuatu yang
berhubungan dengannya. Sesungguhnya persaksian wanita diharuskan dua
orang untuk menduduki tempat seorang lelaki, hanyalah karena akal wanita
itu kurang. Seperti yang diriwayatkan oleh Imam Muslim di dalam kitab
sahihnya, telah menceritakan kepada kami Qutaibah,

8
ٰٓ ِ‫ض ْونَ مِنَ ٰٓش َهداَ ء‬
َ َُ ْ‫مِ َّم ْن تر‬
dari saksi-saksi yang kalian ridhai. (Al-Baqarah: 282)
Di dalam ayat ini terkandung makna yang menunjukkan adanya per-
syaratan adil bagi saksi. Makna ayat ini bersifat muqayyad (mengikat) yang
dijadikan pegangan hukum oleh Imam Syafii dalam menangani semua
kemutlakan di dalam Al-Qur'an yang menyangkut perintah mengadakan
persaksian tanpa syarat. Ayat ini dijadikan dalil oleh orang yang menolak
kesaksian seseorang yang tidak dikena!. Untuk itu ia mempersyaratkan,
hendaknya seorang saksi itu harus adil lagi disetujui.
َّ ِ ُْ َ‫ان‬
‫دهمُا‬َ ْ‫تضَُ ٰٓل اِح‬
supaya jika seorang lupa. (Al-Baqarah: 282)
Yakni jika salah seorang dari kedua wanita itu lupa terhadap kesak-
siannya,
ٰٓ
‫رى‬ ُۗ ُ‫دهمُاالْ َُ ْخ‬ َ ْ‫فتَذ كِ َُ َٰٓر اِح‬
maka yang seorang lagi mengingatkannya. (Al-Baqarah: 282)
Maksudnya, orang yang lupa akan diingatkan oleh temannya terhadap
kesaksian yang telah dikemukakannya. Berdasarkan pengertian inilah
sejumlah ulama ada yang membacanya fatużakkira dengan memakai
tasydid. Sedangkan orang yang berpendapat bahwa kesaksian seorang
wanita yang dibarengi dengan seorang wanita lainnya, mem- buat
kesaksiannya sama dengan kesaksian seorang laki-laki; sesungguhnya
pendapat ini jauh dari kebenaran. Pendapat yang benar adalah yang pertama.
‫أب ُْ ال ش َهداَ ٰٓءاِذاَ َمادعُ ْو ُۗا‬ َٰٓ َ‫َولََُ ي‬
Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila
dipanggil. (Al-Baqarah: 282)
Makna ayat ini menurut suatu pendapat yaitu apabila para saksi itu
dipanggil untuk mengemukakan kesaksiannya, maka mereka harus
mengemukakannya'. Pendapat ini dikatakan oleh Qatadah dan Ar-Rabi' ibnu
Anas. menunjukkan pengertian pemberian keterangan secara hakiki.
Sedangkan firman-Nya, "Asy-syuhada," yang dimaksud dengannya ialah
orang yang menanggung persaksian. Untuk itu apabila ia dipanggil untuk
memberikan keterangan, maka ia harus menunaikan- nya bila telah
ditentukan. Tetapi jika ia tidak ditentukan, maka hukumnya adalah fardu
kifayah.
ٰٓ‫جَُ ِل ُۗه‬
َ ‫ىا‬ٰٓ ‫ااوَُ كَبي ِ ُْ ًٰٓرااِ ل‬ َ ٰٓ‫تسَُ ئمَُ ْوا انَ ُْتكَ ُْتب ْوُه‬
ْ ‫ص ِغي ًْٰٓر‬ ْ ََُ‫َول‬
dan janganlah kalian jemu menulis utang itu, baik kecil maupun besar
sampai batas waktu membayarnya. (Al-Baqarah: 282)
Hal ini merupakan kesempurnaan dari petunjuk, yaitu perintah untuk
mencatat hak, baik yang kecil maupun yang besar. Karena disebutkan pada
permulaannya la tas-amu, artinya janganlah kalian merasa enggan mencatat
hak dalam jumlah seberapa pun, baik sedikit ataupun banyak, sampai batas
waktu pembayarannya.
ٰٓ ‫ذلِك ٰٓم اقَ ُْ َس‬
ٰٓ ‫ط ِع ْند هاَل ُِّٰۗل َواقَ ُْ َو ٰٓم لِل َّش َهادةَ ِوَُ اد َْن‬
‫ى ا َّلَُ َُ ترْ َُ تا َ ْبوُا‬ ْ
Yang demikian itu lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat me- nguatkan
persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menim- bulkan) keraguan kalian.
(Al-Baqarah: 282)
9
Maksudnya, hal yang Kami perintahkan kepada kalian --yaitu men- catat
hak bilamana transaksi dilakukan secara tidak tunai- merupakan hal yang
lebih adil di sisi Allah. Juga lebih menguatkan persaksian, yakni lebih kukuh
kesaksian si saksi bila ia membubuh- kan tanda tangannya; karena manakala
ia melihatnya, ia pasti ingat akan persaksiannya. Mengingat bisa saja
seandainya ia tidak mem- bubuhkan tanda tangannya, ia lupa pada
persaksiannya, seperti yang kebanyakan terjadi.
ٰٓ ُۗ‫َاح ا َّلَُ َُ تكَ ُْتب ْوُهَا‬
ٰٓ ‫عليَُ ك ْم جن‬
ْ َ ‫س‬ ْ ‫ابي ُْنكَ ُ ْٰٓم فَل‬
َٰٓ َُ‫ي‬ َ ‫اض َرةًٰٓ تدُِيْر ْونَ َه‬ ِ ‫ارةًٰٓ َح‬
َ ‫انَُ تكَ ُ ْونَ تِ َج‬ ْ َُ‫اِ َّل‬
kecuali jika muamalah itu perdagangan tunai yang kalian jalankan di
antara kalian, maka tak ada dosa bagi kalian, (jika) kalian tidak
menulisnya. (Al-Baqarah: 282)
Dengan kata lain, apabila transaksi jual beli dilakukan secara kontan dan
serah terima barang dan pembayarannya, tidak mengapa jika tidak dilakukan
penulisan, mengingat tidak ada larangan bila tidak. memakainya..
ُ‫تبَُ اي َع ُْت ِ ْٰٓم‬ َ َ‫ِدوُا اِذا‬ ْ ‫اش ُْه‬
َ ‫َو‬
dan persaksikanlah apabila kalian berjual beli. (Al-Baqarah: 282)
Yaitu buatlah persaksian atas hak kalian jika memakai tempo waktu, atau
tidak memakai tempo waktu. Dengan kata lain, buatlah persak- sian atas hak
kalian dalam keadaan apa pun.
ُۗ
ُٰٓ‫يضُا َّركَاتِب َّولََُ َش ِهيْد‬ َ ََُ‫َول‬
ُُٰٓdan janganlah penulis serta saksi saling sulit-menyulitkan. (Al-
Baqarah: 282)
Menurut suatu pendapat, makna ayat ini ialah janganlah penulis dan
saksi berbuat menyeleweng, misalnya dia menulis hal yang berbeda dari apa
yang diimlakan kepadanya, sedangkan si saksi memberikan keterangan yang
berbeda dengan apa yang didengarnya, atau ia menyembunyikan
kesaksiannya secara keseluruhan. Pendapat ini dikatakan oleh Al-Hasan dan
Qatadah serta selain keduanya. Menurut pendapat yang lain, makna yang
dimaksud ialah tidak boleh memper- sulit keduanya.
Bahwa seorang lelaki datang, lalu memanggil keduanya (juru tulis dan
saksi) supaya mencatat dan mempersaksikan, lalu keduanya me- ngatakan,
"Kami sedang dalam keperluan." Kemudian ia berkata, "Sesungguhnya
kamu berdua telah diperintahkan melakukannya." Maka tidak boleh baginya
mempersulit keduanya.
ُُۗ ُ‫ع ْلوُافَاِنَّ هٰٓ فسُ ْوق بكِ ُ ْٰٓم‬ َ ُْ ‫تف‬ َ ‫َوا ِْن‬
Jika kalian lakukan (yang demikian itu), maka sesungguhnya hal itu
adalah suatu kefasikan pada diri kalian. (Al-Baqarah: 282)
Yakni jika kalian menyimpang dari apa yang diperintahkan kepada
kalian atau melakukan hal yang dilarang kalian melakukannya, maka hal ini
merupakan perbuatan kefasikan yang kalian lakukan. Kalian dicap sebagai
orang yang fasik, tidak dapat dielakkan lagi; dan kalian tidak terlepas dari
julukan ini.
ُ ُُُّٰٓۗ ُ‫َواتقَو هال َٰٓل‬
Dan bertakwalah kepada Allah. (Al-Baqarah: 282)

10
Yaitu takutlah kalian kepada-Nya, tanamkanlah rasa ragabah (peng-
awasan Allah) dalam diri kalian, kerjakanlah apa yang diperintah- kan
olehNya, dan tinggalkanlah apa yang dilarang oleh-Nya. ّٰٓ
ُُ‫هالل‬ ٰٓ ُۗ ‫َوي َعُ ِل مك ٰٓم‬
Allah mengajari kalian. (Al-Baqarah: 282)
‫ع ِلي ْٰٓم‬ ْ ‫َو هال ُّٰۗل بكِ ُ ِل َش‬
َ ٍ‫يء‬
Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (Al-Baqarah: 282)
Yakni Dia mengetahui semua hakikat, semua urusan, kemaslahatan-
kemaslahatannya, dan akibat-akibatnya; tiada sesuatu pun yang samar bagi
Dia, melainkan pengetahuan-Nya meliputi semua makhluk3.

b. Tafsir Jalalain
ُ‫ا َمن ْوُآٰ اِذآَٰ تدَاَينَ ُْت ْٰٓم‬ َٰٓ‫( ي ا يَها ٰٓ الَّ ِذيْن‬Hai orang-orang yang beriman, jika kamu
َ
mengadakan utang piutang) maksudnya muamalat seperti jual-beli,
sewamenyewa, utang piutang, dan lain-lain. ‫دي ُْ ٍٰٓن‬ َ ‫ ( ِب‬Secara tidak tunai)
misalnya pinjaman atau pesanan. ‫جَُ ٍل م َس ًّمى‬ ٰٓ ٰٓ ‫( اِ ل‬Untuk waktu yang di
َ ‫ىا‬
tentukan)atau diketahui, ‫( فَا كتب ْوُه‬Maka hendaklah kamu tuliskan) untuk ٰٓ ْ ٰٓ
pengukuhan dan menghilangkan pertikaian nantinya. ُ ْٰٓ‫( َو ْليكَ ُْتب‬Dan
hendaklah ditulis) surat utang itu
ٰٓ ‫( بي ُْنَك ْٰٓمُُٰٓ كَات‬di antara kamu oleh seorang penulis dengan adil)
‫ِب بِ ْالعَدْ ِٰٓل‬ َ
maksudnya benar tanpa menambah atau mengurangi jumlah utang atau
jumlah temponya. ُْ ‫أب‬ َٰٓ َ‫(ولََُ ي‬Dan
َ janganlah merasa enggan) atau
berkeberatan ُُُٰٓ‫ب‬ ِ ‫َات‬ ‫ك‬ (penulis itu) untuk َٰٓ ُْ َّ‫انَُ يك‬
ُ‫تب‬ ْٰٓ ُُٰٓ ُُٰٓ(menuliskannya)
ّٰٰٓٓ ُ ُُٰٰٓٓ‫عل َّمَُ ه‬
jika ia diminta, ُُ‫هالل‬ َ ‫( َك َما‬sebagaimana telah diajarkan Allah
kepadanya) artinya telah diberi-Nya karunia pandai menulis, maka
janganlah dia kikir menyumbangkan-nya. "Kaf" di sini berkaitan dengan
yaʼba.
ٰٓ ُُْ ُ ْٰٓ‫(ف َْليكَ ُْتب‬Maka hendaklah dituliskannya) sebagai penguat ‫( َو ْلي ْمُ ِل ِٰٓل‬dan
hendaklah diimlakan) surat itu ُُٰٓ ُُٰٓ‫يَُ ِهٰٓ ْال َح ٰٓق‬ ْ ‫عل‬
َ ‫ِي‬ ْٰٓ ‫(الَّذ‬oleh orang yang
berutang) karena dialah yang dipersaksikan, maka hendaklah diakuinya
agar diketahuinya kewajibannya. ُ ُُٰٰٓٓ‫قَُ هال َّل َربَّه‬ ِ ّٰٓ ‫(و ْليَت‬Dan
َ hendaklah ia
bertakwa kepada Allah Tuhannya) dalam mengimla kan itu ‫َس‬ ْٰٓ ‫يب ُْخ‬
َ ََُ‫َول‬
ٰٓ ْ
ُ ُُٰٓ ُُٰٓ‫(مِ نه‬dan janganlah dikurangi daripadanya) maksudnya dari utangnya
itu ‫يَُ ِٰٓه ْال َح ٰٓق َس ِف ْي ًٰٓها‬
ْ ‫عل‬
َ ‫ِي‬ ْٰٓ ‫ش يْئآًُٰٰٓ ُُۗ فَا ِْٰٓن كَانَٰٓ الَّذ‬ َ (sedikit pun juga Dan sekiranya orang
yang berutang itu bodoh) atau boros ٰٓ ‫ض ِع ْيفًٰٓا‬ َ َُ‫(او‬atau
ْ lemah keadaannya)
untuk mengimlakan disebabkan terlalu muda atau terlalu tua
‫انَُ يمِ َّل هو‬ ْٰٓ ‫يس ُْتطِ َُ يْع‬ َ ََُ‫( ْاوَُ ل‬atau ia sendiri tidak mampa untuk
mengimlakannya)
disebabkan bisu atau tidak menguasai bahasa dan sebagainya, ‫ف َْلي ْمُ ِللْ َو ِل‬
ُُُُٰٓۗ ُ‫يهبِ ْالعَدْ ِٰٓل‬ٰٓ
(maka hendaklah diimlakan oleh walinya) misalnya bapak, orang yang
diberi amanat, yang mengasuh atau penerjemahnya ‫ِدوُا‬ ْ ‫ْتش ُْه‬
َ ‫( َواس‬dengan
jujur. Dan hendaklah persaksikan) utang itu dilakukan oleh ‫مِن‬ ْٰٓ ‫ْدي ُْ ِٰٓن‬
َ ‫َش ِهي‬

3Al-Imam Abul Fida Isma’il Ibnu Kasir Ad-Dimasyqi, Al-Qur’an Al-Adzim Juz 3 (Bandung: Sinar Baru Algensindo,
2000).

11
ُُْ ‫(ر َجالِك ْٰٓم‬dua
ِ orang saksi di antara laki lakimu) artinya dua orang Islam
yang telah balig lagi merdeka. ٰٓ ‫(فَا ِْٰٓن لَّ ْٰٓم يكَ ُ ْونَا‬Jika kedua-nya itu bukan) yakni
kedua saksi itu, ‫يَُ ِٰٓن ف ََرج ٰٓل‬ ْ ‫َرجل‬
ٰٓ
ُُٰٓ ُُٰٓ‫(و ْام َرا ت َِن‬dua
َّ orang laki-laki, maka seorang laki-laki dan dua orang
perempuan) boleh menjadi saksi ٰٓ ِ‫ض ْونَٰٓ مِنَٰٓ ش َهداَ ء‬ ْ
َ َُ ْ‫( مِ َّم ٰٓن تر‬di antara saki sakai
yang kamu sukai ) di sebabkan agama dan kejujurannya. Saksi-saksi wanita
jadi berganda ialah ُُٰٓ ُُٰٓ‫تضَُ َّٰٓل اِحْ ده َٰٓم‬ ِ ُْ َ‫(ُُٰٓ ُُٰٓ ان‬supaya jika yang seorang
lupa) akan kesaksian disebabkan kurangnya akal dan lemahnya ingatan
ٰٓ
mereka, ُُٰٓ ُُٰٓ‫رى‬ َ ْ‫(ف تَذ كِ َُ َٰٓراِح‬maka yang lain - yakni yang ingat
ُۗ ُ‫دهمُاالْ َُ ْخ‬
- akan mengingatkan kawannya) yakni yang lupa. Ada yang membaca tužkir
dan ada yang dengan tasydid tuzakkir. Jumlah dari izkar menempati
kedudukan sebagai illat, artinya untuk mengingatkannya jika ia lupa atau
berada di ambang kelupaan, karena itulah yang menjadi sebabnya. Menurut
satu qiraat, in syartiyah dengan baris di bawah, sementara tużakkiru dengan
baris di depan sebagai jawabannya.
‫أب ُُُْٰٓ ال ش َهداَ ءاِذاَ َما‬ َ َ‫(ولََُ ي‬Dan
َ janganlah saksi-saksi itu enggan jika) ma
sebagai tambahan ‫(دعُ ْو ُۗا‬mereka dipanggil) untuk memikul dan memberikan
kesaksian ‫تسَُ ئمَُ ْوا‬ ْ ََُ‫(ول‬danَ janganlah kamu jemu) atau bosan َُ‫ان‬ ْٰٓ
ٰٓ‫(تكَ ُْتب ْوُه‬untuk menuliskannya) artinya utang-utang yang kamu saksikan,
karena memang banyak orang yang merasa jemu atau bosan itu
‫ااوَُ كَبي ِ ُْ ًٰٓرا‬ ْ ‫ص ِغي ًْٰٓر‬ َ (biar kecil atau besar) sedikit atau banyak- ‫جَُ ِل‬ َ ‫ى ا‬ٰٓ ‫اِ ل‬
ٰٓ ُۗ
ُُٰٓ‫(ه‬sampai waktunya) artinya sampai batas waktu membayarnya, menjadi
hal dari damir yang terdapat pada tak tubuh ‫( ذلِك ْٰٓم‬Demikian itu) maksudnya
surat-surat tersebut ُُٰٓ َُِ‫ط ِع ْند هاَل ِلُُُّٰٰۗٓ َواقَ ُْ َو ٰٓم لِل َّش َهادة‬ ٰٓ ‫(اقَ ُْ َس‬lebih adil di sisi Allah
dan lebih mengukuhkan per- saksian) artinya lebih menolong
meluruskannya, karena adanya bukti yang mengingatkannya ‫ى‬ ٰٓ ‫(واد َْن‬dan
َ
lebih dekat) artinya lebih kecil kemungkinan ‫(الَُ َُ ترْ َُ تا ْبوُا‬untuk tidak َ َّ ٰٓ
menimbulkan keraguanmu) yakni mengenai besarnya utang dan jatuh
temponya َٰٓ‫انَُ تكَ ُ ْون‬ ْ َُ َُ‫ا ِّٰٓل‬
(Kecuali jika) terjadi muamalat itu ًٰٰٓٓ‫اض َٰٓرة‬ ِ ‫ارةًٰٓ َح‬
َ ‫(تِ َج‬berupa perdagangan tunai);
menurut satu qiraat, dengan baria di atas hingga merupakan khabar dari
takūna sedangkan isimnya ialah kata ganti attijarah ‫ابي ُْنكَ ُ ْٰٓم‬ َ ََُ‫(تدُِيْر ْونه‬yang
kamu jalankan diantara kamu) ُۗ artinya yang kamu pegang dan tidak
ٰٓ
mempunyai waktu berjangka ‫يَُ ك ْم جنَاح ا َّلَُ َُ تكَ ُْتب ْوُهَا‬ ْ ‫عل‬َ ‫س‬
َ َُ‫ي‬ْ ‫(فَل‬maka tak ada
dosa lagi kamu jika kamu tidak menulis nya) artinya barang yang
diperdagangkan itu ُ‫تبَُ اي َع ُْت ِ ْٰٓم‬ َ َ‫ِدوُا اِذا‬
ْ ‫اش ُْه‬ َ ‫( َو‬hanya persaksikanlah jika
kamu berjual-
beli) karena demikian itu lebih dapat meng- hindarkan percekcokan. Maka
soal ini dan yang sebelumnya merupakan soal sunah
ُۗ ٰٓ ‫يضُا َّركَات‬
ُُٰٓ ُُُٰٰٓٓ‫ِب َّولََُ َش ِهيْد‬ َ ََُ‫(ول‬dan
َ janganlah penulis dan saksi
maksudnya yang punya utang dan yang berhutang menyulitkan atau
mempersulit) misalnya dengan mengubah surat tadi, atau tak hendak
menjadi saksi atau menuliskannya, begitu pula orang yang punya uang, tidak
boleh ia membebani si penulis dengan hal-hal yang tidak patut untuk ditulis
atau

12
ْ
dipersaksikan. ‫ع ْلوُا‬ َ ‫(وا ِٰٓن‬Dan
َ ُْ ‫تف‬ َ jika kamu perbuat) apa yang dilarang itu,
ٰٓ‫(ف اِنَّ ٰٓهفسُ ْوق‬maka
َ sesungguhnya itu suatu kefasikan) artinya keluar dari
taat yang sekali-kali tidak layak ُُٰٓ ُُُٰٓ ُُُّٰٓۗ ُ‫( بِك ْٰٓمُ ُُۗ َواتقَو هال َٰٓل‬bagi kamu, dan
bertakwalah
ّٰٓ ُۗ kamu kepada Allah) dalam perintah dan larangan-Nya ‫َوي َعُ ِل‬
ٰٓ ُُ‫هالل‬ ٰٓ ‫(مك ٰٓم‬Allah mengajarimu) tentang kepentingan urusanmu, lafaz ini
menjadi hal dari fi'il yang diperkirakan keberadaannya, atau ia sebagai
kalimat baru. ۰‫ع ِلي ْٰٓم‬ ْ ‫(و هال ُّٰۗلُُٰٓ بكِ ُ ِٰٓل َش‬Dan
َ ٍ‫يء‬ َ Allah mengetahui segala
sesuatu) . 4

c. Asbabun Nuzul Q.S. Al-Baqarah Ayat 282


Pada saat Rasulullah Saw datang ke Madinah untuk yang petama kali,
orang-orang penduduk asli biasa menyewakan kebunnya dalam waktu satu,
dua atau tiga tahun. Maka dari itu Rasulullah Saw bersabda: "Barangsiapa
menyewakan (mengutangkan) sesuatu hendaklah dengan timbangan atau
ukuran yang dan dalam jangka waktu yang tertentu pula". (HR. Bukhari dari
Sofyan bin Uyainah dari Ibnu Abi Najih dari Abdillah bin Katsir dari Abi
Minhal dari Ibnu Abbas)
Sehubungan dengan itu Allah SWT menurunkan ayat ke-282 sebagai
bentuk perintah apabila mereka utang-piutang ataupun muamalah dalam
jangka waktu tertentu hendaklah ditulis perjanjian dan mendatangkan saksi.
Hal ini untuk menjaga supaya tidak terjadi sengketa di masa yang akan
datang5.

E. Syarah Hadits Tentang Debitur dan Kreditur


ٰٓ ‫ط‬
َ ‫الديَُّٰٓ ِٰٓن لَ ٰٓهس ْل‬ َٰٓ ِ‫صاح‬ َّ
ٰٓ‫ضيَه‬ َ ‫علَى‬
ِ ُْ َ‫صا حِ ِب ِه َحتهى يق‬ َ ‫ان‬ ْ ‫ب‬ َ ‫ا ِٰٓن‬
Sesungguhnya orang yang berpiutang berkuasa atas sahabatnya (yang
berutang) sampai ia melupakannya.
Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Ibnu Abbas r.a.

Asbabul wurud
Ibnu Abbas menceritakan: “seorang laki-laki dating menemui Nabi SAW untuk
menuntut utang atas suatu hak. Orang itu mengucapkan sebagian kata-kata yang
dianggap tidak sopan oleh sahabat. Tetapi Rasulullah SAW mencengah dan
menegaskan bahwa yang berpiutang berhak atas orang yang berutang (untuk
menagih).” Diamlah, sabda beliau dan meneruskan kalimatnya menurut bunyi hadits
diatas.

4 Imam Jalaluddin As-Suyuti Al-Mahalli, Tafsir Al- Jalalain Jilid 1 (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2008).
5 A. Mudjab Mahali, Asbabun Nuzul: Studi Pendalaman Al Qur’an (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002).

13
Keterangan

Mah, berarti “diamlah.” Tahanlah dirimu menentang atau mengkritiknya. Orang


yang berpiutang hendaklah menuntut hak dengan cara yang baik. Sebaliknya, yang
berhutang hendaknya melunasinya dengan pembayaran yang baik. Yang berpiutang
mempunyai hak atas yang berutang yang berkelapangan untuk membayar, sampai ia
melunasi kewajibannya.

َ ُ ُ َ ُْ َ َ ِّ َ ْ َ ُ ‫ َقا َل َر ُس‬: ‫َع ْن َٲ يب ُه َر ْي َر َة ر ض هللا عنه َقا َل‬


‫ َوِاذا ٲت ِب ُع ٲ َحدك ْم َعىل‬,‫)م ْط ُل الغ ينَ ظلم‬
َ :‫ول هللا صىل هللا عليه وسلم‬
‫ي‬ ِ
َ َْ َ َ َ َ َّ ْ َْ
(‫ )فل َي ْحت ْل‬:‫َم ي ِ ًِّل فل َيت َب ْع( ُمتف ٌق َعل ْي ِه َو ي ِف ِر َو َاي ِة ٲ ْح َمد‬

Dari Abu Hurairah Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi


wa Sallam bersabda : Penundaan (pembayaran hutang) orang kaya itu suatu
kesesatan. Apabila seseorang diantara kamu hutangnya dipindahkan kepada orang
yang mampu, hendaknya ia menerima.” Muttafaq Alaihi. Menurut suatu Riwayat
Ahmad: “Barangsiapa (hutangnya) dipindahkan, hendaknya ia menerima.”

Asbabul Wurud
Rasulullah SAW memerintahkan kepada orang yang berhutang yang mampu untuk
segera membayar utangnya apabila telah jatuh tempo, karena menunda pembayaran
utang dalam keadaan mampu merupakan perbuatan yang dzalim. Namun, apabila orang
yang berutang itu dalam keadaan kesulitan dan belum mampu untuk membayar
hutangnya, maka hendaklah orang yang memberikan utang itu memberi kelonggaran
waktu kepada yang berhutang sampai orang itu mampu membayar hutangnya.
Kreditur mempunyai wewenang dalam menagih hutangnya kepada pihak debitur (yang
behutang) sampai dibayar apabila sudah jatuh tempo, sedangkan pihak debitur
berkewajiban membayar utangnya pada jangka waktu yang disepakati apabila mampu
membayarnya, karena utang merupakan bentuk dari suatu perjanjian yang harus
ditepati.

‫ط َٰٓر‬
ْ ‫ط َر َودعَُ ُُٰٓ ال َّش‬ ٰٓ ‫خذْٰٓ مِ ْن ٰٓهيَا َك ْع‬
ْ ‫ب ال َّش‬
ِ
“Ambilah dari padanya hai ka’ab Sebagian dan tinggalkan sebagian.”

14
Ababul Wurud
Meminta hak (hutang)nya dari seseorang sehingga terjadi pertengkaran dan adu
mulut, shigga terdengar Rasulullah kemudian beliau keluar seraya bertanya: “Ada
apa?”. Orang-orang menjelaskan persoalannya. Kata beliau: “Ambillah dari padanya
hai ka’ab sebagian dan ………seterusnya.”

Keterangan

“As Syathru” artinya Sebagian. Maksudnya sangat terpuji dalam menagih


hutang diambil separuhnya untuk memberi keringanan kepada orang yang berhutang,
jika sekiranya orang tersebut tidak mampu 6.

6Ibnu Hamzah Al Husaini Al Hanafi AD Damsyiqi, Asbabul Wurud Latar Belakang Historis Timbulnya
HaditsHadits Rosul (Jakarta: Kalam Mulia, 2012).

15
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Kreditur adalah pihak baik perorangan, maupun bentuk pemerintahan, serta
perusahaan yang memberikan suatu pinjaman dan pembiayaan kepada pihak
lainnya (debitur) atas suatu penjualan barang/jasa atau punjaman tunai. Bentuk
pembiayaan tersebut biasanya sudah disepakati Bersama dan telah dituangkan
dalam sebuah perjanjian, bahwa pihak debitur akan mengembalikan segala
pinjamannya kepihak kreditur sesuai waktu yang ditentukan. Debitur adalah pihak
(perorangan, organisasi atau perusahaan) yang memiliki suatu kewajiban untuk
membayar dan melunasi hutang-hutangnya kepada pihak kreditur. Kewajiban yang
tibul tersebut dikarenakan adanya sebuah perjanjian yang telah disepakati bersama,
dengan adanya suatu transaksi yang ditimbulkan dari penjualan suatu barang
maupun bentuk jasa atau pinjaman yang diberikan secara tunai, yang kemudian
akan di bayarkan oleh pihak debitur di masa yang akan dating antara perjanjian yang
dibuat oleh kedua belah pihak tersebut. Dalam suatu pemberian pinjaman, debitur
wajib memberikan suatu agunan, yang dijadikan suatu jaminan oleh pihak kreditur
ketika dikemudian hari nanti seorang debitur tidak dapat atau mampu untuk
melunasi suatu hutangnya sesuai dengan kesepakatan keduabelah pihak, dan jika
debitur tidak dapat melunasi hutangnya, maka pihak kreditur memiliki hak untuk
mengambil alih jaminan yang diberikan debitur.
2. Berbicara tentang sistem pengertian yang timbul dalam pikiran intelektual muslim,
adalah rangkaian dari suatu kegiatan dalam hal ini transaksi, yang di dalam sistem
itu tersusun sub-sub sistem yang satu dengan yanglain merupakan hubungan kerja
dalam mewujudkan sesuatu hasil yang dikehendaki, sesuai dengan tujuan yang
ingih dicapai. Kreditur dan debitur dalam pengertian ini, keduanya merupakan
subsub sistem dari suatu rangkaian kerja yang di dalam syari'at Islam dikenal dalam
A1 Mu'taqidin (dua pihak yang mengadakan perjanjian aqad). sub-sub sistem yang
Iain yang perlu diperhatikan ialah tata aturan yang mengatur hak dan kewajiban
yang melakukan aqad itu. Para intelektual muslim berkeyakinan bahwa tata aturan
yang mengatur kedua belah yang mengadakan aqad itu hendaknya seirama dengan
bimbingan wahyu.
3. Dalam hal ini terlihat "adanya aneka ragam hubungan yang terjadi di antara kedua
belah pihak, yaitu:
a. Hubungan Religi
Dalam aspekini baik kreditur maupun debitur akan melakukan perikatan
yang tidak bertentangan dengan bimbingan wahyu, karena sebagai kaum
muslimin terikat dalam rumusan taqwa, yaitu keharusan untuk melakukan
perbuatan sesuai ketentuan syara', dan menjauhi larangan-larangan syara'
Dengan demikian maka setiap individu dan perbuatan yang mereka perbuat
hendaknya bersesuaian dengan bimbingan yang dibawa oleh Rasullullah
s.a.w., dan apabila ternyata ada kesulitan untuk menemukan bimbingan,
setidak-tidaknya tindakan yang dilakukan tidak bertentangan dengan
bimbingan dari Rosulullah tersebut.
b. Hubungan Ekonomi

16
Dalam hubungan ini terlihat adanya dua belah pihak yangsaling bersedia
untuk mengorbankan sesuatu yang dimiliki, dengan mengharapkan sesuatu
yang sangat dihajatkan, baik dari pihak individu atau pihak kolektip. Oleh
sebab itu pihak kreditur maupun debitur hendaknya memperhatikan prinsip
keseimbangan antara korban yang diberikan dan hasil yang akan didapat,
yang terkenal dengan prinsip efisiensi.
c. Hubungan Sosial
Perlu mendapat perhatian dalam hubungan ini ialah bahwa transaksi yang
dilakukan oleh pihak kreditur dan debitur tidak boleh mengganggu
kepentingan umum atau keseimbangan sosial terganggu karenanya,
meskipun pada prinsipnya kedubelah pihak mempunyai kebebasan untuk
melakukan perikatan
d. Hubungan Budaya
Dibalik keterlibatan hubungan-hubungan yang terjadi antara kreditur dan
debitur terdapat pula hubungan budaya dalam arti bahwa perikatan yang
dilakukan antara keduanya, ditujukan untuk mempermudah terbinanya
tugas-tugas kemanusiaan dalam bidang budaya sehingga masing-masing
pihak dapat mengembangkan kebudayaannya secara berkesinambungan,

B. Saran
Saran yang bisa penulis berikan yaitu pembaca memahami materi yang telah
disampaikan tentang Tafsir Ayat dan Syarah Hadits Tentang Hubungan Kreditur dan
Debitur. Penulis berharap materi ini bermanfaat dan berguna untuk kedepannya.

17
DAFTAR PUSTAKA
Ad-Dimasyqi, Al-Imam Abul Fida Isma’il Ibnu Kasir. Al-Qur’an Al-Adzim Juz 3. Bandung:
Sinar Baru Algensindo, 2000.
Aghadiati, 2019. “Tinjauan Pustaka Tinjauan Pustaka.” Convention Center Di Kota Tegal
(2017): 6–32. http://repository.umy.ac.id/bitstream/handle/123456789/10559/BAB
II.pdf?sequence=6&isAllowed=y.
Al-Mahalli, Imam Jalaluddin As-Suyuti. Tafsir Al- Jalalain Jilid 1. Bandung: Sinar Baru
Algensindo, 2008.
Damsyiqi, Ibnu Hamzah Al Husaini Al Hanafi AD. Asbabul Wurud Latar Belakang Historis
Timbulnya Hadits-Hadits Rosul. Jakarta: Kalam Mulia, 2012.
Mahali, A. Mudjab. Asbabun Nuzul: Studi Pendalaman Al Qur’an. Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2002.
Medan, Universitas, dan Medan Area. “Kreditur dan Debitur,” no. 37 (2018): 1–12.
http://repository.uma.ac.id/bitstream/123456789/1558/5/108400104_file5.pdf.
Rachim, Abdul. “Sistem Hubungan Kreditur dan Debitur Pada Masa Rosulullah dan Sahabat.”
Unisia 11, no. 10 (1991): 36–46.

18

Anda mungkin juga menyukai