Jual Beli Saham , Asuransi dan Perbankan Dalam Pandangan Fiqih Sosial
Sosial
Dosen Pengampu :
Oleh :
MALANG
2023
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa
yang telah memberikan rahmat serta hidayah-Nya sehingga penyusunan
makalah ini dapat diselesaikan tepat pada wakunya. Semoga shalawat serta
salam semoga tetap tercurah limpahkan kepada Nabi Muhammad SAW.
Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas pada
mata kuliah Fiqih Sosial pada Program Studi Pendidikan Agama Islam dengan
judul “Jual Beli Saham , Asuransi dan Perbankan Dalam Pandangan Fiqih Sosial
”. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan bagi para
pembaca dan juga bagi penulis.
Terima kasih disampaikan kepada Ustadz M. Yusuf Subekti Lc. MSi. selaku
dosen mata kuliah Fiqih Sosial yang telah memberikan tugas ini sehingga saya
dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang
saya tekuni. Saya juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang
telah membagi sebagian pengetahuannya sehingga saya dapat menyelesaikan
makalah ini.
Saya juga berterimakasih kepada pihak yang telah berperan serta dalam
penyusunan makalah dari awal hingga akhir. Semoga makalah ini bermanfaat
bagi pembaca umumnya dan pada penulis khususnya serta mendapatkan ridho
Allah SWT.
Saya menyadari, makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata sempurna.
Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan saya nantikan demi
kesempurnaan makalah ini.
Penulis
2
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI................................................................................................... 3
BAB I................................................................................................................ 4
PENDAHULUAN........................................................................................... 4
A. Latar Belakang.................................................................................... 4
B. Rumusan Masalah.............................................................................. 5
BAB II.............................................................................................................. 6
PEMBAHASAN.............................................................................................. 6
BAB III............................................................................................................ 15
KESIMPULAN............................................................................................... 15
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 16
3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
4
disimpulkan bahwa Hukum Perbankan Syariah adalah segala sesuatu yang terkait
dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur kegiatan perbankan
syariah. Hukum Perbankan Syariah pada saat yang bersamaan mengalami
interaksi yang sangat intensif dan kreatif dengan agama Islam. Di dalam
pengertian umum dari perbankan syariah melakukan kegiatan perbankan syariah
atau Bank Islam dengan menerapkan hukum Islam (syariah) ke dalam sektor
perbankan atau bahkan kegiatan komersial modern lainnya. Penelitian ini
melakukan pendekatan studi pustaka dengan melakukan review terhadap literatur
terkait permasalahan.
B. Rumusan Masalah
5
BAB II
PEMBAHASAN
6
yang seringkali menjadi perdebatan terkait isu aspek kesyariahan baik oleh
ulama, akademisi maupun pelaku pasar.
1. Pendapat Yang Mengharamkan Perdagangan Saham
Pengharaman saham, merupakan pendapat Taqyudin al-Nabhani dan Isya
Abduh (Al-Barwary, 2007). Para ahli ini mengembalikan permasalahan tidak
diperbolehkannya jual beli saham kepada sejumlah ide pemikiran berikut:
1. Hasil penjualan saham adalah taksiran, bukan merupakan modal pada
waktu pendirian perusahaan.
2. Saham adalah bagian dari keberadaan perusahaan, bukan bagian dari
modal, seperti obligasi dengan nilai asset perusahaan.
3. Nilai saham tidak mempunyai kesamaan dari tahun ke tahun. Oleh karena
itu, saham bukanlah merupakan modal yang dibayarkan ketika pendirian
perusahaan, melainkan merupakan modal perusahaan ketika penjualan.
4. Asimterik informasi atau dalam terminologi prinsip jual beli disebut
dengan istilah al-Jahaalah, artinya seorang pembeli saham tidak mengetahui
informasi mengenai spesifikasi barang dagangan yang diperjualbelikan dalam
saham, sedang syarat utama dari konsep jual beli, seorang pembeli harus
mengetahui secara mendetail mengenai barang beliannya (objek). Untuk itu
mekanisme syariah menetapkan pelarangan jual beli ghuruur atau majhuul.
5. Transaksi jual beli saham dianggap batal secara hukum, karena dalam
transaksi tersebut tidak mengimplementasikan prinsip sharf. Jual beli saham
berarti jual beli uang dan barang, maka prinsip taqaabudh dan tamaathul
harus diaplikasikan Taqaabudh adalah salah satu syarat dalam transaksi jual
beli. yang menegaskan bahwa si pembeli menerima barang yang dibeli sesuai
dengan definisi hukum di tempat dan sesudah kesepakatan transaksi.
Tamaathul adalah salah satu syarat dalam transaksi jual beli yang
menegaskan bahwa sistem kesamaan nilai dalam transaksi tukar-menukar
atau jual beli barang. Sedang dalam konsep jual beli saham kedua prinsip
tersebut tidak dikenal.
6. Apabila perusahaan penerbit saham tersebut mempunyai hutang, artinya
saham merepresentasikan bagian dari hutang tersebut. Dengan begitu jual
beli saham tidak diperkenankan, mengingat bahwa hal tersebut dapat
dikategorikan sebagai konsep jual beli hutang yang dilarang oleh nash
syariah: “Nabi melarang jual beli hutang.” (HR. Daaruquthnii).
2. Pendapat Yang Memperbolehkan Perdagangan Saham
7
Kelompok sarjana fikih yang memperbolehkan jual beli saham
mengembalikan ijtihad mereka kepada sejumlah bentuk transaksi suf’ah dan
masalah ghaniimah yang banyak termaktub dalam manuskrip fikih Islam.
Beberapa indikasi dibolehkannya jual beli saham dapat dirujuk dari
pendapat-pendapat yang dikemukakan Iman Nawawi berkenaan dengan jual
beli saham kepemilikan properti.
Sheikh Yusuf al-Qaradhowii mengemukakan bahwa syarat
diperbolehkannya perdagangan saham yaitu jika perusahaan itu tidak
beroperasi dalam hal-hal yang terlarang, seperti menghasilkan dan menjual
minuman keras, dan tidak melakukan transaksi dengan menggunakan bunga
riba baik dalam menyimpan maupun meminjam.
Diperbolehkannya perdagangan saham selain dari beberapa pendapat
para ahli yang dikemukakan sebelumnya, tentunya ada beberapa argumentasi
dan sumber hukum yang memberlakukan adanya perdagangan saham dalam
pandangan Islam, diantaranya adalah:
1. Saham adalah milik pemegang, dia berhak mempergunakannya secara
syariah baik menjual menghibahkan atau menggadaikan, selama tidak
membawa kemadharatan kepada pemegang saham yang lain. Hak ini
tercantum dalam perusahaan dan dikenali di dalam sistem perdagangan, maka
tidak bertentangan dengan kaidah fikih sesuatu yang telah dikenal
masyarakat adalah adat (‘urf) seperti sesuatu yang disyaratkan adalah syarat.
2. Saham adalah surat berharga yang menunjukkan nilai yang dimiliki oleh
pemegangnya dan pemegangnya diperbolehkan menjualnya kepada siapa
saja. Hal ini sesua dengan apa yang dikemukakan oleh Ibnu Hamamah dalam
Kitab Fathul Qodir “ Seseorang yang mempunyai kerjasama boleh menjual
bagiannya dalam semua bentuk kepada orang lain”.
3. Pemilik saham diperbolehkan menjual bagiannya walaupun dalam keadaan
milik bersama dan tidak terpisah-pisah, atau terbatas dalam kepemilikan
sebagian aset. Hal ini perkuat dengan keterangan Ibn Rajab dalam kitab
Qowa id Ibn Rajab yaitu: ‟ “Sesungguhnya menjual bagian dalam milik
bersama adalah boleh, jadi tidak hanya sejauh yang terpisah-pisah saja.”
4. Pemilik saham boleh menjual bagiannya, walaupun tidak boleh dipisahkan.
Dalam kitab al-Majmu’ disebutkan bahwa: “Apabila seseorang memisahkan
diri dari rekan bisnisnya, maka juallah yang menjadi miliknya sebelum
digabungkan, berdasarkan hal tersebut di atas artinya pembagian tersebut
8
dijual atau dipisahkan. Menurut al-Mutawally, jika kita katakan bahwa
pembagian tersebut adalah pemisahan, maka boleh dijual sebelum
penggabungan dengan yang lainnya.
5. Tidak terdapatnya unsur Jahaalah dan Gharar yang menggangu transaksi
saham yang beredar, karena adanya informasi tentang perusahaan dan pusat
keuangannya yang memberikan gambaran tentang kestabilan secara berkala.
Keberadaan dua fungsi tersebut berperan dalam bagiannya, begitu pula
tentang pemberitaan harga-harga saham dari waktu ke waktu. Maka pembeli
mempunyai cukup informasi tentang nilai-nilai saham, hal ini sebagai syarat
sahnya jual beli saham.
6. Jual beli saham adalah boleh, karena yang dijual itu adalah bagian dari
milik pemegang saham dalam perusahaan atau sebagian miliknya sebagai
ganti dari uang. Analogi ini diambil dari bab-bab yang terdapat dalam kitab
fikih. Dalam kitab Raddul Mukhtar disebutkan bahwa: “Apabila warisan
salah seorang kamu dikeluarkan dari harta warisan, seperti barang-barang
atau harta yang tidak bergerak, maka gantilah dengan harta yang lain, atau
keluarkan untuknya dari harta warisan tersebut, seperti emas dengan perak
atau sebaliknya. Pembayaran itu sah walaupun berbeda jenisnya, baik itu
sedikit ataupun banyak, tetapi harus dengan syarat adanya serah terima dalam
setiap transaksi”.
7. Jual beli saham hukumnya sah, sebagaimana firman Allah SWT. “Allah
menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba” (Al-Baqarah;275). Tidak
terdapat dalil yang khusus tentang saham, dan dalam kaidah fikih disebutkan
pada dasarnya setiap akad itu boleh, kecuali jika ada dalil yang
mengharamkannya.
8. Pemilik saham menjual bagiannya tidak membuat suatu kerugian pada
perusahaan, karena pada dasarnya orang-orang yang turut bekerjasama dalam
perusahaan pemilik saham sesuai dengan peraturan perusahaan sepakat dan
setuju masuknya pemilik saham yang baru, tanpa adanya syarat pengetahuan
mereka. Persetujuan (Ridha) adalah dasar dalam syariat Islam.
9
yaitu tafaa'ala yang berarti saling menanggung. Sementara ada yang
mengartikan dengan makna saling menjamin. Secaraterminologi,
Evamy(1976) yang dikutip oieh Rahman mendefinisikan, asuransi adalah:
suatu kontrak' dimana seseorang disebut penjamin asuransi, yang
menjalankan. Sebagai balas jasa atas imbalan yang telah disetujui yang
disebut premi, untuk membayarorang lain yangdiasuransikan, yang
disebuttertanggung, sejumlah uang atau yang senilai, atas suatu kejadian
tertentu. Peristiwa tertentu itu harus unsur yang tidak menentu; peristiwa
tersebut mungkin berupa (a) masalah asuransi jiwa, dalamkenyataan bahwa
peristiwa ini dapat terjadi sebagai kejadian sehari-hari, peristiwa terjadi tidak
tentuwaktunya, atau (b) suatu kenyataan bahwa peristiwa yang dialami
disebabkan oleh suatu kecelakaan, yang mungkin peristiwa itu tidak pernah
dialami sama sekali. Kejadian terakhirdinamakan kecelakaan.
Lebih khusus dalam bidang muamalah Juhaya S. Praja yang dikutip oleh
Harahap (1997) mengatakan, takaful adalah: Saling memikul resiko di antara
sesama orang sehingga antara satu dengan lainnya menjadi penanggung atas
resiko yang lainnya. Saling. pikul resiko itu dilakukan atas dasar saling
tolong dalam kebaikan dengan cara masing-masing mengeluarkan dana
ibadah (tabarru) yang ditunjukkan untuk menanggung resiko tersebut.
Sudah barang tentu, dalam asuransi takaful tidak hanya melibatkan dua pihak
yang bertakaful, yaknl orang yang saling mengikatkan dirlnya untuk saling
menjamin resiko. Yang diderita masing-masing, melainkan diperlukan
pihakketiga. Pihak ketiga dimaksud ini adalah lembaga atau badan hukum
atau perusahaan yang menjamin kegiatan kerja sama atau takaful ini terjamin
berjalan dengan baik dan tidak termasuk kegiatan yang dilarang oleh
syari'atseperti; al-gharar, al-maisir, dan al-ribaJ Berkaitan dengan ini menurut
Praja, ada unsur-unsur panting yang mesti ada demi terlaksananya takaful,
yaitu (a) dua atau beberapa pihak yang bertakafui; dan (b) pengelola takaful.
Pandangan- para ulama, khususnya fuqaha', di bidang syari'ah merupakan
pencerminan dari pandangan Islam mengenai soal-soal kehidupan manusia,
baik di bidang ibadah maupun muamalah. Berkaitan dengan masalah asuransi
yang termasuk dalam hal muamalah, yang harus dihadapi oleh dunia Islam
sebagai akibat dari hubungannya dengan dunia Barat, telah mendapatkan
tanggapan dari para ulama, terutama pada abad ke-20.
Para ulama yang membahas masalah asuransi beranggapan bahwa
10
masalah merupakan masalah yang belum pernah dikenal sebelumnya,
sehingga hukumnya yang khas tidak ditemukan dalam fiqh Islam. Cukup
banyak para ulama yang menaruh perhatian pada masalah asuransi Ini. baik
yang melontarkan pendapatnya dalam bentuk fatwa maupun dalam bentuk
buku, dan sebagainya. Pendapat lain, dikemukakan oleh Muhammad Abduh
(1849 - 1905), di dalam majalah al-Muhamat Tahun V No. 460, Abduh
memfatwakan, bahwa pekerjaan perusahaan asuransi jiwa adalah pekerjaan
mubah (hukumnya), karena persetujuan orang/ seorang dengan para pemilik
perusahaan asuransi tergolong syirkah al-mudharabah, dan boleh dikerjakan
(ja'iz). Dengan demikian Abduh adalah ulama yang pertama
memperbolehkan asuransi jiwa dengan akad mudharabah.
Ketentuan mengenai kegiatan asuransi dalam KUH perdata, diatur
dalam bab kelima belas tentang Perjanjian Untung-Untungan, pada bagian
kesatu diatur tentang ketentuan umum, yaitu pasal 1774 KUH perdata. Dalam
pasal ini, kegiatan asuransi diistilahkan dengan pertanggungan. Adapun
bunyi dari pasal 1774 KUH Perdata adalah: “Suatu perjanjian untung-
untungan adalah suatu perbuatan yang hasilnya, mengenai untung ruginya,
baik bagi semua pihak, maupun sementara pihak, bergantung pada suatu
kejadian yang belum tentu. Demikian adalah: Perjanjian pertanggungan,
Bunga, cakap hidup, Perjudian dan pertaruhan. Perjanjian yang pertama
diatur di dalam kitab Undang-undang Hukum Dagang.
Asuransi berdasarkan pasal 1 UU Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha
Perasuransian dapat di definisikan sebagai berikut: “Asuransi atau
pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, pihak
penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung dengan menerima premi
asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena
kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan atau
tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita
tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk
memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau
hidupnya seorang yang dipertanggungkan.” UU ini sudah di ubah dengan UU
perasuransian yang baru yaitu UU Nomor 40 Tahun 2014 tentang
perasuransian, yang berbunyi: “Asuransi adalah perjanjian antara dua pihak,
yaitu perusahaan asuransi dan pemegang polis, yang menjadi dasar bagi
penerimaan premi oleh perusahaan asuransi sebagai imbalan untuk:
11
a) Memberikan penggantian kepada tertanggung atau pemegang polis karena
kerugian, kerusakan, biaya uang timbul, kehilangan keuntungan, atau
tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin diderita
tertanggung atau pemegang polis karena terjadinya suatu peristiwa yang tidak
pasti.
b) Memberikan pembayaran yang didasarkan meninggalnya tertanggung atau
pembayaran yang didasarkan pada hidupnya tertanggung dengan manfaat
yang besarnya telah ditetapkan dan atau didasarkan pada hasil pengelolaan
dana.”
12
ketidakpastian atau ketidakjelasan (gharar). Menurut Esiklopedia, Bank Islam
atau Bank Syariah adalah lembaga keuangan yang usaha pokoknya
memberikan kredit dan jasa-jasa dalam lalu lintas pembayaran serta
peredaran uang yang pengoperasiannya sesuai dengan prinsip-prinsip syariah.
3 Jadi pengetian hukum perbankan syariah adalah segala sesuatu yang
menyangkut tentang bank yang memenuhi prinsip-prinsip syariah dan
memiliki peraturan-peraturan yang harus dilaksanakan. Gagasan awal
perbankan Syariah adalah ingin membebaskan diri dari mekanisme bunga,
atau nonribawi. Mula-mula pembentukan Bank Islam di Indonesia sendiri
khususnya banyak menimbulkan keraguan. Hal tersebut muncul mengingat
anggapan bahwa sistem perbankan bebas bunga adalah sesuatu yang mustahil
dan tidak lazim. Namun demikian, ekonomi syariah, walaupun dapat
dikembangkan oleh masyarkat sendiri, namun tetap membutuhkan legislasi,
yang berarti formalisasi syariat Islam menjadi hukum positif, dengan
demikian dibutuhkan juga perjuangan politik untuk menegakkan syariat
Islam di bidang ekonomi, khususnya dalam bidang Perbankan.
Sebagaiamana telah diketahui bahwa atas berlakunya undang-
undang dalam arti materi merupakan sarana semaksimal mungkin dapat
mencapai kesejahteraan spiritual dan material bagi masyarakat maupun
individu. Undang-undang senantiasa harus mencerminkan upaya pemenuhan
kesejahteraan manusia tersebut dalam suatu negara baik melalui pembaruan
maupun pelestarian ketentuan-ketentuannya.4 Diantara lembaga keuangan
yang telah berdiri sejak zaman penjajahan tersebut, yaitu De Javashe Bank
N.V. tanggal 10 oktober 1827 yang kemudian dikeluarkannya undang-
undang De Javashe Bank Wet 1922. Bank inilah yang kemudian menjadi
bank indonesia setelah melalui proses nasionalisasi pada 1951 dengan di
keluarkannya UU No. 24 Tahun 1951 yang mulai berlaku tanggal 6 desember
1951. Sejak beralihnya kekuasaan negara ke tangan pemerintah Republik
Indonesia tahun 1945, dalam rangka mengawali pembangunan dan
pengetahuan eksistensi negara, maka mulailah menggalakkan pengaturan
dalam berbagai bentuk beserta perubahannya mengenai perbankan
pemerintah dan membuka bursa efek melalui penetapan undang-undang
darurat Nomor 13 Tahun 1951 Undang- undang Nomor 15 Tahun1952
tentang bursa. Perbankan yang ada di awal-awal kemerdekaan sampai dengan
adanya deregulasi perbankan pada tahun 1988 merupakan bank yang secara
13
keseluruhan mendasar pengelolaannya pada prinsip bunga (interest). Seiring
dengan banyaknya tuntutan masyarakat yang menghendaki suatu lembaga
keuangan yang bebas dari bunga (riba), maka dibutuhkan rangkaian upaya
secara yuridis dan kelembagaan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
14
BAB III
KESIMPULAN
15
DAFTAR PUSTAKA
https://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4697
6/1/Asuransi%20dalam%20Perspektif%20Islam%20AM
%20Hasan%20Ali.pdf
Rohmadi, Khairuddin, & Erniwati,. 2017. Tinjauan Hukum Islam
Terhadap Perdagangan Saham, Jurnal Hukum Islam 5 (2)
http://ejournal.iainbengkulu.ac.id
16