FATWA DI INDONESIA
Diajukan guna memenuhi salah satu tugas mata Kuliah “Fatwa Ekonomi Syariah"
Dosen Pengampu :
Disusun Oleh :
MEDAN
2023 M / 1444 H
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang
telah memberikan petunjuk dan hidayah-Nya kepada kami sehingga kami dapat
menyelesaikan penulisan makalah ini. Tidak lupa pula Shalawat bertangkaikan salam
ke roh baginda alam yakni Nabi besar kita, Muhammad Rasulullah SAW, yang
senantiasa mengorbankan nyawa demi menegakkan kalimat tauhid “LA ILAHA
ILLALLOH” atau agama Islam di muka bumi ini.
Selanjutnya kami ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu kami dalam penyusunan makalah ini, yang bejudul “Fatwa Di
Indonesia”, khususnya kepada Dosen pembimbing kami Dr. Bambang Sugiharto,
S.T., M.A. yang telah memberikan tugas ini. Kami memperoleh banyak manfaat
setelah menyusun makalah ini. Kami menyadari bahwa makalah ini jauh dari
kesempurnaan, dan kami merasa masih banyak kekurangan baik pada teknis
penulisan maupun materi, mengingat kemampuan yang kami miliki.
Untuk itu kritik dan saran dari berbagai pihak sangat kami harapkan demi
penyempurnaan penyusunan makalah ini. Demikian makalah ini kami susun, semoga
bisa memberikan manfaat kepada pembaca.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Fatwa adalah keputusan perkara agama Islam yang diberikan oleh mufti atau
alim ulama tentang suatu masalah.1 Peran penting dalam dikeluarkannya sebuah
fatwa adalah para ulama yang mengerti tentang hal syariat, dalam hal ini mengenai
hukum-hukum muamalah. Sejalan dengan berkembangnya lembaga keuangan syariah
di tanah air, berkembang pula jumlah DPS (Dewan Pengawas Syariah) yang ada dan
mengawasi masing-masing lembaga tersebut. Banyak dan beragamnya DPS di
masing-masing lembaga keuangan syariah adalah suatu hal yang harus disyukuri,
tetapi juga diwaspadai. Kewaspadaan itu berkaitan dengan adanya kemungkinan
timbulnya fatwa yang berbeda dari masing-masing DPS dan hal itu tidak mustahil
akan membingungkan umat dan nasabah. Oleh karena itu, MUI sebagai payung dari
lembaga dan organisasi keislaman tanah air, menganggap perlu dibentuknya satu
dewan syariah yang bersifat nasional dan membawahi seluruh lembaga keuangan,
termasuk di dalamnya bank-bank syariah. Lembaga ini kelak kemudian dikenal
dengan Dewan Syariah Nasional atau DSN.2
Salah satu pemegang faktor terpenting dalam perekonomian Islam adalah adanya
Baitul Mal wat Tamwil (BMT). BMT berperan penting dalam berjalannya
perekonomian yang ada, bahkan turut andil dalam membantu perekonomian
masyarakat, khususnya masyarakat kelas menengah ke bawah. Pemerataan
pertumbuhan ekonomi bisa sampai lapisan yang paling bawah, (grass road),
khususnya wilayah Kebumen dan sekitarnya, maka didirikan sebuah jasa lembaga
1
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Bahasa Indonesia (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008), hlm.
424
2
Bank Indonesia, Petunjuk Pelaksanaan Pembukaan kantor Bank Syariah (Jakarta: Bank Indonesia,
1999), hlm. 22.
1
keuangan syariah yang orientasi pada pemberdayaan ekonomi masyarakat kecil dan
menengah dengan sistem operasionalnya berdasarkan pada Syariah Islam. Koperasi
jasa keuangan tersebut bernama KJKS BMT Alfa Nusa Kebumen. Berdirinya KJKS
BMT Alfa Nusa Kebumen ini membantu perekonomian masyarakat kecil dan
menengah. Hal ini terjadi karena adanya akad-akad pembiayaan yang mendorong
berjalanya roda perokomonian. Salah satu akad yang digunakan adalah akad
Musyarakah, akad ini bertumpu pada kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk
melakuakan sebuah usaha tertentu, dimana masing-masing pihak memberikan tidak
hanya kontribusi dana melainkan usaha yang dilakukan bersama-sama dan
keuntungan serta resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.
B. Rumusan Masalah
2
BAB II
PEMBAHASAN
Bai al Inah atau sale and buy back adalah suatu transaksi dimana penjual
menjual barang (sale) secara angsur atau kredit, kemudian penjual tersebut
membeli kembali (buy back) barang tersebut dari pembeli dengan harga yang
lebih rendah secara tunai. Hasil akhirnya adalah pembeli pertama memiliki
uang tunai dan hutang berupa cicilan, adapun penjual pertama memiliki
piutang cicilan dari pembeli dan memiliki kembali barang yang tadi dijual.
Pada prakteknya, pembeli pertama adalah nasabah, dan penjual pertama
adalah bank Syariah.
3
Sedangkan tawarruq, adalah transaksi dimana penjual menjual barang secara
angsur, kemudian si pembeli menjual kembali barang yang telah dibeli
tersebut kepada pihak ketiga secara tunai. Hasil akhirnya adalah pembeli
pertama memiliki hutang berupa cicilan dan uang tunai, penjual pertama
memiliki piutang dari pembeli pertama dan pihak ketiga memiliki barang dari
pembeli pertama. Dalam hal ini pembeli pertama adalah nasabah, penjual
pertama adalah bank Syariah dan pihak ketiga adalah vendor yang
bekerjasama dengan bank Syariah. Transaksi ini juga kerap dilakukan pada
pasar uang (interbank money market).
Para ulama Madzhab berbeda pendapat terkait akad Bay al Inah dan Tawarruq.
Sebagian ulama berpendapat akad ini dilarang karena menyerupai akad ribawi yang
dibungkus dengan transaksi jual-beli. DSN-MUI mengikuti pendapat ini, kedua akad
tidak diterapkan di Indonesia sebagai bentuk ihtiyatan dari adanya unsur riba. Selain
dari perbedaan pada praktek keuangan syariah, perbedaan definisi turut memengaruhi
keadaan ekonomi dan keuangan syariah di suatu negara. “Di Malaysia, bank syariah
dimaknai campuran dari Islamic Investment Banking dan Islamic Corporate Banking.
Sementara di Indonesia bank syariah dimaknai Islamic Retail Banking,” ujar pria
yang disapa Bang Adi ini. Perbedaan tersebut muncul dari banyak faktor yang
memengaruhi termasuk sistem pemerintahan dan kondisi masyarakat yang berbeda.
Tujuan dari ekonomi syariah adalah untuk menyejahterakan umat atau rakyat.
Meskipun negara-negara berbeda dalam hal definisi ekonomi syariah tetapi tujuannya
sama. “Jadi, kalau kita lihat peta, Indonesia memang tidak boleh mengikuti apa-apa
yang ada di luar negeri tanpa memahami dampak kepada perekonomian Indonesia
secara luas. DSN MUI berfungsi membentengi Indonesia dari produk-produk
yang good for them but not good for us,” tegas Adiwarman.
4
melindungi juga masyarakat Indonesia yang mau bersyariah tapi terganggu oleh
pendapat-pendapat „yang ini salah, itu salah, semua salah‟. Jadi, fungsi kedua, kita
ingin melindungi masyarakat dari gangguan pemikiran seperti itu, yang sebetulnya
jika mereka lebih banyak bergaul, mereka dapat juga nanti ilmu-ilmunya,” ucap Bang
Adi. Selanjutnya, peran ketiga DSN-MUI adalah sebagai katalisator yang mendorong
dan menstimulasi berkembangnya industri ekonomi dan keuangan syariah di
Indonesia. Contohnya, ketika belum ada peraturan tentang bank syariah, tapi DSN-
MUI sudah lebih dulu membuatnya.
5
diskusi BPH DSN-MUI itu, bila sudah sampai urusannya pilihan syariah, itu orang-
orang seperti saya diam, bukan level kami lagi. Kami hanya mengantarkan
pemahaman yang pas tentang hedging, apa itu e-money, misalnya. Tapi ketika sudah
masuk dalil mana yang mau dipakai, ayat mana, hadis mana, kami diam saja. Karena
kami tidak punya keahlian di bidang itu,” ungkap Adiwarman. Tradisi seperti ini
yang dikembangkan di DSN-MUI, saling menghormati satu sama lain sesuai
keahliannya. Lebih lanjut, Adiwarman menceritakan, ia termasuk tim ahli yang
merumuskan masalah fatwa, kemudian rumusan itu di bawa ke kelompok ahli
syariah. Setelah itu, kelompok ahli syariah merumuskan solusi. Kemudian rumusan
solusi itu diangkat di kelompok atau pilar ketiga yakni unsur pimpinan.
Unsur pimpinan akan menimbang rumusan alternatif solusi yang diberikan. Akan
dilihat manfaat dan mudharatnya. Baru setelah itu keluar fatwa. Butuh waktu paling
cepat dua bulan dalam melahirkan fatwa. Di kesempatan yang sama, Adiwarman juga
menegaskan di Indonesia tidak ada fatwa shopping. DSN-MUI tidak pernah dibayar
untuk mengeluarkan fatwa. Bahkan, DSN-MUI bekerjasama dan mendorong
perguruan tinggi untuk mengevaluasi dan menjadikan fatwa DSN-MUI menjadi
disertasi doktor-doktor. “Sehingga menjadi bunuh diri bagi DSN-MUI, bila kami
melakukan fatwa shopping. Karena nanti saat diteliti pada disertasi-disertasi doktor
itu, kami akan ditelanjangi, kami akan malu, dan orang akan mudah sekali
mengatakan „Anda itu jualan fatwa‟,” terang Adiwarman. Sebagai upaya agar hukum
ekonomi dan keuangan syariah dapat terjaga dengan baik, DSN-MUI memberikan
amanah kepada Dewan Pengawas Syariah (DPS) sebagai lembaga independen untuk
mengawasi kesesuaian operasional dan praktik lembaga keuangan syariah terhadap
kepatuhan syariah.
6
memberikan informasi perkembangan bisnis sesuai bidang yang diawasinya masing-
masing secara berkala. DPS sendiri juga diawasi dalam tugasnya agar kompetensinya
bisa terus terasah dengan benar. Secara rutin setiap prosedur yang sudah ditetapkan
harus dijalankan DPS dengan benar. “LSP sebagai lembaga yang mengeluarkan
sertifikat kompetensi untuk me-maintenance kompetensi seseorang yang sudah
mendapat sertifikat kompetensi pengawas syariah,” jelas Aminudin. Aminudin
berpesan kepada stakeholders agar tidak bosan-bosan memperjuangkan ekonomi di
jalan agama. Memang itu bukan hal mudah, dibutuhkan jiwa jihad ekonomi yang
tinggi dan istiqomah untuk melakukan perjuangan ini. “Kemudian, untuk terus
melakukan sosialisasi dan literasi kepada masyarakat luas. Tidak hanya dengan
pendekatan ideologis, tapi juga rasional ilmiah akademis, yang kemudian masyarakat
bisa menerimanya,”‟ tutup Aminudin.
7
lembaga berjalan dengan sehat dan berkelanjutan. Salah satu bentuk dukungan
yang diberikan Majelis Ulama Indonesia adalah dibentuknya Dewan Syariah
Nasional-Majelis Ulama Indonesia pada tanggal 10 Februari 1999. DSN-MUI
dibentuk untuk melaksanakan tugas MUI dalam menetapkan fatwa dan
mengawasi penerapannya guna menumbuhkembangkan usaha.
8
Menyelenggarakan Program Sertifikasi Keahlian Syariah bagi LKS, LBS,
dan LPS lainnya;
Melakukan sosialisasi dan edukasi dalam rangka meningkatkan literasi
keuangan, bisnis, dan ekonomi syariah;
Menumbuhkembangkan penerapan nilai-nilai syariah dalam kegiatan
perekonomian pada umumnya dan keuangan pada khususnya
9
Mengesahkan rancangan fatwa yang diusulkan oleh Badan Pelaksana
Harian DSN dalam rapat pleno.
Menetapkan, mengubah atau mencabut berbagai fatwa dan pedoman
kegiatan lembaga keuangan syari‟ah dalam rapat pleno.
Mengesahkan atau mengklarifikasi hasil kajian terhadap usulan atau
pertanyaan mengenai suatu produk atau jasa lembaga keuangan syari‟ah
dalam rapat pleno.
Melakukan rapat pleno paling tidak satu kali dalam tiga bulan atau
bilamana diperlukan.
Setiap tahunnya membuat suatu pernyataan yang dimuat dalam laporan
tahunan (annual report) bahwa lembaga keuangan syari‟ah yang
bersangkutan telah/tidak memenuhi segenap ketentuan syari‟ah sesuai
dengan fatwa yang dikeluarkan oleh Dewan Syari‟ah Nasional (DSN).
Rencana pembentukan KPS pada awalnya ditentang oleh beberapa pihak. Hal ini
terjadi karena pada saat Rancangan Undang-Undang (RUU) Perbankan Syariah
diajukan, fungsi KPS adalah sebagai lembaga yang berwenang mengeluarkan fatwa
tentang produk syariah. Pendapat yang semula tidak setuju dengan pembentukan KPS
ini, antara lain K.H. Ma‟ruf Amin (Ketua DSN- MUI) dengan berdasarkan pada ;
Pasal 32 RUU menggadang-gadang KPS dapat mengambil alih peran DSN-
MUI. Kelak, KPS bertugas mengeluarkan ketetapan atau fatwa mengenai
produk dan jasa bank syariah serta unit usaha syariah pada bank
konvensional.
KPS tidak bisa menggantikan posisi DSN-MUI dalam menetapkan fatwa,
karena membuat fatwa itu tidak sama dengan membuat peraturan. Pembuat
10
fatwa itu harus orang yang memiliki kompetensi, yakni memahami ilmu
fikih dan ilmu lain untuk menggali nilai-nilai hukum Islam.3
Penolakan keberadaan KPS pada awalnya juga dilakukan oleh Bank Indonesia.
Bank Indonesia berpendapat bahwa dengan mengingat keberadaan dan fungsi Dewan
Syariah Nasional MUI sebagai pemberi fatwa yang telah berjalan selama ini, maka
Bank Indonesia menyampaikan dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR agar
Komite ini dihapuskan. Komite ini tidak perlu diatur dalam UU karena tidak mesti
bersifat permanen. Dalam perjalannya pada pembahasan RUU ada juga yang
berpendapat lain yang menganggap perlu KPS. Anggota Komisi XI DPR Dradjad
Wibowo menyatakan, keberadaan KPS tetap diperlukan untuk menyatukan
pandangan antara Bank Indonesia dengan Majelis Ulama Indonesia, karena di
dalamnya terdapat unsur-unsur gabungan dari BI, MUI, dan ormas-ormas lainnya
untuk penentuan fatwa syariah.
3
DSN-MUI Tolak Komite Perbankan Syariah, diakses dalam http://www. hukumonline. com/
berita/baca/hol17054/dsnmui-tolakkomite-perbankan-syariah, (16 Nopember 2013).
11
Menyusun laporan kegiatan Komite, termasuk laporan pertanggung jawaban
Komite.
Bank Indonesia menetapkan masa jabatan anggota Komite yang bertanggung
jawab kepada Bank Indonesia ini adalah dua tahun dan dapat diperpanjang maksimal
dua kali masa jabatan. Namun anggota dapat diberhentikan dari Komite apabila: (i)
atas permintaan sendiri; (ii) tidak memenuhi tata tertib Komite Perbankan Syariah;
(iii) dijatuhi hukuman pidana oleh pengadilan yang telah mempunyai kekuatan
hukum tetap; atau (iv) berhalangan tetap. Pemberhentian anggota Komite Perbankan
Syariah yang berasal dari institusi tertentu, akan dikoordinasikan oleh Bank Indonesia
dengan institusi yang bersangkutan. Dalam praktik, kedudukan KPS adalah
independen, namun secara administrasi dan keuangan dikoordinasikan oleh
Direktorat Perbankan Syariah (DPbS). Rapat Komite diselenggarakan atas dasar
usulan Bank Indonesia atau usulan Komite sendiri. Rapat Komite dinyatakan sah
apabila memenuhi kuorum yaitu dihadiri oleh lebih dari 50% keanggotaan Komite,
kemudian Pengambilan keputusan Rapat Komite dilakukan atas dasar musyawarah
untuk mencapai mufakat.
12
Menerapkan sistem pengawasan baik untuk penilaian aspek kehati-hatian dan
kesesuaian operasional bank dengan ketentuan syariah dengan melibatkan
Dewan Pengawas Syariah dan unsur pengawasan syariah lainnya.4
4
Setiawan Budi Utomo, Peran DSN & DPS dalam Perbankan Syariah, (Jakarta: Direktorat Perbankan
Syariah Bank Indonesia, 2010), h. 15
13
Bank dilarang mengeluarkan Produk baru dalam jangka waktu 15 (lima belas)
hari sebagaimana dimaksud pada ayat (2), apabila belum memperoleh
penegasan tidak keberatan dari Bank Indonesia.
Apabila dalam jangka waktu 15 (lima belas) hari setelah seluruh persyaratan
dipenuhi dan dokumen pelaporan diterima secara lengkap, Bank Indonesia
tidak memberikan penegasan, maka Bank dapat mengeluarkan Produk baru
dimaksud. Bank Indonesia memberikan persetujuan atau penolakan atas
permohonan sebagaimana dimaksud, paling lambat 15 (lima belas) hari sejak
seluruh persyaratan dipenuhi dan dokumen pelaporan diterima secara lengkap.
Bank wajib melaporkan realisasi pengeluaran Produk baru paling lambat 10
(sepuluh) hari setelah Produk baru dimaksud dikeluarkan.5
Merujuk pada uraian tersebut di atas, maka dapatlah dipahami bahwa pada
hakikatnya materi yang tertuang dalam fatwa DSN-MUI akan tetap mempunyai
kekuatan mengikat bagi bank syariah, terlepas dari apakah fatwa tersebut kemudian
dijadikan PBI atau tidak. Alasannya bahwa selain fatwa masuk dalam ranah hukum
yang hidup di masyarakat (living law), keberadaan dari DSN-MUI dan produk
hukumnya berupa fatwa juga diakui keberadaannya oleh peraturan perundang-
undangan di bidang perbankan syariah, dengan dasar perbankan syariah yang hendak
mengoperasionalkan produk baik di bidang penghimpunan dana, penyaluran dana,
maupun jasa, terdapat 2 (dua) hal yang harus diperhatikan, yaitu: (1) harus ada
Peraturan Bank Indonesia; dan/atau (2) harus ada fatwa.
Namun demikian, jika baru ada fatwa, bank syariah dapat langsung melaksanakan
produk syariah yang bersangkutan dengan terlebih dahulu mendapatkan izin atau
persetujuan dari Direktorat Perbankan Syariah (DPbS) Bank Indonesia. Dengan
demikian bahwa peran DSN-MUI sebagai otoritas yang dapat mengeluarkan fatwa di
bidang ekonomi syariah dan KPS sebagai lembaga yang menafsirkan fatwa sebelum
dijadikan PBI telah dapat dilaksanakan secara sinergis. Bahwa dengan masuknya
5
Lihat Pasal 5 Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/17/PBI/2008 tentang Produk Bank Syariah dan
Unit Usaha Syariah
14
unsur dari DSN-MUI, Bank Indonesia, Departemen Agama, dan masyarakat (dalam
hal ini akademisi dan praktisi di bidang perbankan syariah), maka kemungkinan
terjadinya perbedaan antara fatwa dengan PBI ditinjau dari kesesuaiannya terhadap
prinsip syariah sangat kecil, bahkan tidak ada. Hal tersebut dapat dilakukan melalui
tiga pendekatan yang dilakukan DSN-MUI dalam merespon problematika hukum
ekonomi yang baru: Pertama, mencari solusinya melalui dalil yang qathi‟ (pasti,
tegas, dan jelas). Jika ada maka dalil inilah yang dijadikan pegangan. Kedua,
mendasarkan pendapat para ulama (aqwal ulama). Bila terdapat perbedaan di antara
ulama maka dicari titik persamaannya dan dilakukan tarjih (memilih pendapat yang
paling kuat). Ketiga, jika poin pertama dan kedua tidak ada maka akan dilakukan
pendekatan ilhaqi, yaitu mencari padanan kasus serupa dalam hukum Islam klasik
yang juga merupakan hasil ijtihad ulama (hukum cabang)6.
Fikih muamalah klasik yang ada tidak sepenuhnya relevan lagi diterapkan, karena
bentuk dan pola transaksi yang berkembang di era modern ini demikian cepat. Sosio-
ekonomi dan bisnis masyarakat sudah jauh berubah dibanding kondisi di masa
lampau. Oleh karena itu, dalam konteks ini diterapkan dua kaidah, antara lain sebagai
berikut: Pertama, al-muhafadzah bil qadim al-shalih wal akhdz bil jadid al aslah,
yaitu memelihara warisan intelektual klasik yang masih relevan dan membiarkan
terus praktik yang telah ada di zaman modern, selama tidak ada petunjuk yang
mengharamkannya. Kedua, al-Ashlu fil mu‟amalah al-ibahah hatta yadullad dalilu
„ala altahrim, yaitu pada dasarnya semua praktik muamalah boleh, kecuali ada dalil
yang mengharamkannya. Selain itu para ulama berpegang kepada prinsip-prinsip
utama muamalah, seperti prinsip bebas riba, bebas gharar (ketidakjelasan atau
ketidakpastian) dan tadlil, tidak maysir (spekulatif), bebas produk haram dan praktik
6
Ma‟ruf Amin, “Nash dan Hujjah Syar‟iyyah Bidang Ekonomi Syariah”, Pidato, Seminar “Kompilasi
Nash dan Hujjah Syar‟iyyah Bidang Ekonomi Syariah yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan
Hukum Nasional (BPHN) Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI bekerjasama dengan
Fakultas Syari‟ah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta, 11-12 Juli
2006, “makalah”, h. 21.
15
akad fasid/ batil. Prinsip ini tidak boleh dilanggar, karena telah menjadi aksioma
dalam fikih muamalah.7
Merujuk pada uaraian tersebut, maka formulasi fatwa juga berpegang pada prinsip
maslahah atau “ashlahiyah”, yakni mana yang maslahat atau lebih maslahat untuk
dijadikan opsi yang difatwakan. Konsep maslahah dalam muamalah menjadi prinsip
yang paling penting. Dalam ushul fiqh telah populer kaidah, “dimana ada mashlalah,
maka di situ ada syariah Allah”. Watak maslahat syar‟iyah antara lain berpihak
kepada semua pihak atau berlaku umum, baik maslahat bagi lembaga syariah,
nasabah, pemerintah (regulator) maupun masyarakat luas.
7
Ibid., h. 23
16
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
17
DAFTAR PUSTAKA
Fatwa Dewan Syariah Nasional MUI Miliki Kedudukan Hukum Kuat di Indonesia
Ekonomi". Bisnis.com. Diakses tanggal 2019-12-18.
18
Undang-Undang RI Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
Utomo, Setiawan Budi. “Peran DSN & DPS dalam Perbankan Syariah”, Jakarta:
Direktorat Perbankan Syariah Bank Indonesia, 2010
Wasik, Abdul. “Jual Beli Emas Secara Kredit”, Mimbar Ulama, Edisi 345, Juli 2010
19