Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH HUKUM PERBANKAN SYARIAH

Tema:

“SEJARAH PERKEMBANGAN DAN REGULASI PERBANKAN SYARIAH DI INDONESIA”

DISUSUN OLEH:

NAMA NIM

DEWI YULIANTI (190201001)

BAIQ NURHIDAYANI (190201018)

DOSEN PENGAMPU:

JAYA MIHARJA, M.S.I.

PROGRAM STUDI

HUKUM EKONOMI SYARIAH (MUAMALAH)

FAKULTAS SYARIAH

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MATARAM

TAHUN 2020
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim…

Segala puja dan puji syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan kesehatan,
akal fikiran untuk berfikir leluasa dan memikirkan ciptaannya. Shalawat serta salam tak lupa
pula kita panjatkan kepada baginda kita Nabi besar Muhammad SAW, yang telah memberi
pertolongan pada diri kita baik pertolongan yang telah jelas kita rasakan pada saat ini yakni
jalan kebenaran, dan mudah-mudahan pertolongan yang kedua kalinya senantiasa pada diri
kita semua di alam berbeda yaitu di syafa’ati rosulullah SAW.

Selanjutnya kami banyak berterimakasih atas bimbingan bapak dosen dan kerjasama
teman-teman yang telah ikut berpatisipasi, dan membantu mengeluarkan segenap
pemikirannya sehingga makalah kelompok ini dapat terselesaikan tepat waktu. Semoga Allah
SWT memberikan balasan kepada semua pihak.

Kami tahu bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan, maka kritik dan saran yang
membangun dari para pembaca sangat kami harapkan agar dapat menyusun makalah
berikutnya dengan lebih baik lagi. Akhir kata semoga makalah ini bermanfaat bagi kami
khususnya para pembaca.

Mataram, 16 September 2020

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

COVER................................................................................................... i
KATA PENGANTAR............................................................................. ii
DAFTAR ISI........................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN.................................................................... 1
A. Latar belakang.................................................................... 1
B. Rumusan masalah............................................................... 1
C. Tujuan pembahasan

BAB II PEMBAHASAN....................................................................... 2
A. Pengertian perbankan.......................................................... 2
B. Sejarah perkembangan perbankan syariah di Indonesia..... 3
C. Perkembangan regulasi perbankan syariah di Indonesia.... 6

BAB III PENUTUP................................................................................. 18


A. Kesimpilan.......................................................................... 18
B. saran.................................................................................... 18

DAFTAR PUSTAKA............................................................................. 19

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Bank konvensional menggunakan sistem bunga yang dalam islam merupakan
riba. Nahdatul ulama sebagai organisasi Islam terbesar di Indonesia, memutuskan
masalah bunga Bank tersebut dengan beberapa kali sidang, dengan terjadinya polarisasi
pendapat pada tiga kelompok yaitu, haram, halal, dan syubhat. Meskipun terdapat
perbedaan pandangan, Lajnah Bahsul Masa’il memutuskan bahwa bunga bank haram.
Hal ini membuat sekelompok orang Islam untuk mendirikan bank Islam dengan
ciri tanpa bunga yang disebut dengan bank Syariah. Bank syariah menggunakan sistem
mudarabah yaitu sistem bagi hasil.
Perbankan syariah adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang Bank Syariah
dan Unit Usaha Syariah, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses
dalam melaksanakan kegiatan usahanya. Bank syariah di Indonesia terhitung masih
sangat muda. Bank syariah cocok dikembangkan di Indonnesia karena masyarakat
Indonesia yang mayoritasnya beragama Islam.
Dalam makalah ini akan dibahas bagaimana sejarah perkembangan dan regulasi
perbankan syariah di Indonesia.

B. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian perbankan syariah?
2. Bagaimana sejarah perkembangan perbankan syariah di Indonesia?
3. Bagaimana Perkembangan regulasi perbankan syariah di Indonesia?

C. Tujuan Pembahasan
1. Untuk mengetahui pengertian dari perbankan syariah
2. Untuk mengetahui sejarah perkembangan perbankan syariah di Indonesia
3. Untuk mengetahui perkembangan regulasi perbankan syariah di Indonesia

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN PERBANKAN SYARIAH


Bank Islam atau selanjutnya disebut dengan Bank Syariah, adalah bank yang
beroperasi dengan tidak mengandalkan pada bunga. Bank syariah juga dapat diartikan
sebagai lembaga keuangan/perbankan yang operasional dan produknya dikembangkan
berlandaskan Al-Quran dan Hadits Nabi SAW.
Menurut UU No. 21 Tahun 2008, bank syariah adalah bank yang menjalankan
kegiatan usahanya dengan didasarkan pada prinsip syariah dan menurut jenisnya bank
syariah terdiri dari BUS (Bank Umum Syariah), UUS (Unit Usaha Syariah), dan BPRS
(Bank Pembiayaan rakyat Syariah). Alharbi (2015) mendefinisikan bank syariah sebagai
institusi keuangan, yang:
a. Mendasarkan pada prinsip-prinsip syariah dalam aktifitasnya melalui
perannya sebagai intermediary keuangan antara saver dan investor
b. Menyediakan jasa perbankan dalam rerangka dasar legitimacy contract;
c. Mencapai keseimbangan antara return ekonomi dan sosial.
Bank syariah merupakan bank yang menjalankan kegiatannya mengacu pada
hukum Islam dan dalam kegiatannya tidak membebankan bunga kepada nasabah.
Imbalan bank syariah yang diterima maupun yang dibayarkan kepada nasabah tergantung
dari akad dan perjanjian yang dilakukan oleh pihak nasabah dan pihak bank. (Dr. Sri
Wahyuni 2019, 2-3)1
Selain itu dalam prinsip syariah dijelaskan pada pasal 1 butir 13 UU, yakni prinsip
syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak lain
untuk penyimpanan dana dan atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya
yang dinyatakan sesuai dengan syariah, antara lain pembiayaan berdasarkan prinsip
pernyataan modal (musharakah), prinsip jual beli barang dengan memperoleh
keuntungan (murabahah), atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa
murnni tanpa pilihan (ijarah) atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas

1
Dr. Sri Wahyuni, S.E., M.Si, Perbankan Syariah: Pendekatan Penilaian Kerja (Pasuruan:
Qiara Media, 2019) hlm. 2-3

2
barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtina) (Wiroso 2005, 2-
3)2

B. SEJARAH PERKEMBANGAN PERBANKAN SYARIAH DI INNDONESIA


Indonseia sebagai sebuah negara berpenduduk muslim terbesar di dunia. Baru
pada akhir-akhir abad XX ini memiliki bank-bank yang mendasarkan pengelolaanya pada
prinsip syariah. Pada awal-awal berdirinya negara Indonesia perbankanya masih
berpegang pada sistem konvensional atau sistem bunga bank (interest system).
Pada tahun 1983 dikeluarkan kebijakan berkaitan dengan pemberian keleluasaan
penentuan tingkat suku bunga, termasuk bunga nol persen. Hal ini berlangsung paling
tidak hingga dikeluarkannya paket kebijakan Oktober 1988 (Pakto 88) sebagai kebijakan
deregulasi di bidang perbankan yang memperkenankan berdirinya bank-bank baru.
Secara kelembagaan bank syariah pertama kali yang berdiri di Indonesia adalah
Bank Muamalat Indonesia (BMI), kemudian baru menyusul bank-bank lain yang
membuka jendela syariah (Islamic window) dalam menjalankan kegiatan usahanya.
Melalui Islamic window ini, bank-bank konvensional dapat memberikan jasa pembiayaan
syariah kepada para nasabahnya melalui produk-produk yang bebas dari unsur riba
(usury), gharar (uncertainty), dan maysyir (speculative) dengan terlebih dahulu
membentuk Unit Usaha Syariah (UUS). UUS adalah unit kerja di kantor pusat bank
umum konvensional yang berfungsi sebagai kontor induk dari kantor cabang syariah dan
atau unit syariah.
Sedangkan secara yuridis di tataran undang-undang dimulai pada tahun 1992
dengan di undangkannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang perbankan yang
memuat ketentuan-ketentuan yang secara implisit memperbolehkan pengelolaan bank
berdasarkan prinsip bagi hasil (profit and loss sharing), terutama melalui peraturan
pemerintah Nomor 72 Tahun 1992 tentang Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil.
Kemudian dipertegas lagi melalui Undang-Undang No 10 Tahun 1998 yang merupakan
amandemen dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992. Dalam Undang-Undang Nomor
10 Tahun 1998 ini secara tegas membedakan bank berdasarkan pada pengelolaannya
terdiri dari bank konvensional dan bank syariah, baik itu bank umum maupun bank
2
Wiroso, S.E., M.B.A, Penghimpunan Dana Dan Distribusi Hasil Usaha Syariah (Jakarta:
Grasindo, 2005)Hlm.2-3

3
perkreditan rakyat. Adanya undang-undang ini juga sekaligus menghapus Pasal 6 PP No.
72/1992 yang melarang adanya dual banking system.
Dalam periode 1992 sampai dengan 1998, terdapat hanya satu bank umum syariah
dan 78 bank perkreditan rakyat syariah (BPRS) yang telah beroperasi. Dengan
diundangkannya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 yang memberikan landasan
hukum yang lebih kuat bagi keberadaan sistem perbankan syariah, serta kemudian disusul
oleh keluarnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia yang
memberikan kewenangan kepada Bank Indonesia untuk dapat pula menjalankan
tugasnya berdasarkan prinsip syariah, menyebabkan industri perbankan syariah
berkembang lebih cepat.
Setelah di undangkannya Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998, perkembangan
bank syariah di Indonesia semakin pesat, yaitu ditandai dengan berdirinya bank syariah
baru dengan sistem dual banking (dual banking system) antara lain, Bank IFI yang
membuka cabang syariah pada tanggal 28 Juni 1999, Bank Syariah mandiri yang
merupakan konversi dari Bank Susila Bakti (BSB), anak perusahaan Bank Mandiri, serta
pendirian lima cabang baru berupa cabang syariah dari PT. Bank Negara Indonesia
(Persero) Tbk. Pada bulan Februari 2000, tercatat di Bank Indonesia bank-bank yang
membuka cabang syariah, yakni: Bank Niaga, Bank BTN, Bank Mega, Bank BRI, Bank
Bukopin, BPD Jabar, dan BPD Aceh.
Dengan demikian, legalisasi kegiatan perbankan syariah melalui Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 1998, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undanng Nomor 3 Tahun
2004, merupakan jawaban atas permintaan masyarakat yang membutuhkan suatu sistem
perbankan alternatif yang selain menyediakan jasa perbankan/keuangan yang sehat, juga
memenuhi prinsip-prinsip syariah.
Bank Umum Syariah, BPRS, serta UUS hanya dapat didrikan jika telah mendapat
persetujuan dari Bank Indonesia. Persetujuan Bank Indonesia tersebut meliputi 2 (dua)
tahap, yaitu persetujuan prinsip dan izin usaha. Persetujuan prinsip adalah persetujuan
untuk melakukan persiapan pendirian Bank berdasarkan Prinsip Syariah. Setelah
persetujuan prinsip diberikan oleh Bank Indonesia maka tahap selanjutnya adalah izin

4
usaha, yaitu izin yang diberikan untuk melakukan kegiatan usaha Bank Berdasarkan
Prinsip Syariah.
Perkembangan terakhir muncul konsep office chanelling, yang intinya
menyatakan bahwa bank-bank konvensional diperbolehkan membuka counter-counter
syariah dalam operasional usahanya. Dalam rangka mengindari tercampurnya dana antara
dana konvensional dengan dana syariah, maka dilakukan pemisahan atas dana-dana yang
ada melalui pembedaan penatabukuan (sistem akuntansi). Dengan demikian, maka para
pengguna jasa bank tidak perlu khawatir atas dananya.
Mengenai office chaneling ini telah diatur dalam PBI Nomor 8/3/PBI/2006
tentang office channeling, yang intinya diatur sebagai berikut:
1.) Kegiatan penghimpunan dana yang dilakukan Kantor Cabang Konvensional dan atau
Kantor di bawah Kantor Cabang Konvensional untuk dan atas nama Kantor Cabang
Syariah pada bank yang sama
2.) Pembukuan Layanan Syariah harus:
a. Dicantumkan dalam rencana bisnis bank;
b. Dalam satu wilayah kerja kantor Bank Indonesia dengan Kantor Cabang Syariah
induknya;
c. Menggunakan pola kerjasama antara Kantor Cabang Syariah dengan Kantor
Cabang Konvensional/ Kantor Cabang Pembantu Konvensional;
d. Menggunakan sumber daya manusia Bank sendiri yang memiliki pengetahuan
mengenai produk dan operasional bank syariah.
3.) Memiliki pencatatan dan pembukuan yang terpisah dengan Kantor Cabang
Konvensional/Kantor Cabang Pembantu Konvensional dimana layanan Syariah
berada;
4.) Laporan keuangan Layanan Syariah digabungkan ke Kantor Cabang Syariah
induknya pada hari yang sama. (Anshori 2018, 30-33)3
Seteleh itu lambat laun berkembang praktik ekonomi syariah di Indonesia, baik
dalam bentuk lembaga keuangan bank maupun lembangan keuangan nonbank. Praktik
ekonomi syariah di Indonesia tersebut berdasarkan kepada fatwa Dewan Syariah Nasional
(DSN), Kompilasi hukum Ekonomi syariah, Peraturan Bank Indonesia, peraturan ketua
3
Abdul Ghofur Anshori, Perbankan Syariah Di Indonesia (Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press, 2018)Hlm.30-33

5
Bapepa LK (Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan), edaran Bank
Indonesia dan Peraturan Perundang-Undangan.
Dengan perkembangan yang signifikan perbankan syariah di Indonesia, maka
pemerintah mengeluarkan Undang-Undang tersendiri tentang Perbankan Syariah, yaitu
melalui UU No. 21 Tahun 2008. (Mardani 2015, 18-19)4

C. PERKEMBANGAN REGULASI PERBANKAN SYARIAH DI INDONESIA


a. Regulasi Perbankan Syariah Sebelum Lahirnya Undang-Undang Perbankan
Syariah
Keberadaan lembaga keuangan syariah merupakan sistem yang telah lama
diharapkan oleh sebagian besar masyarakat Indonesia, terutama umat Islam
Indonesia. Umat Islam Indonesia merindukan layanan jasa keuangan dan perbankan
yang sesuai dengan syariat Islam, khususnya berkaitan dengan pelanggaran praktik
riba, jauh dari kegiatan yang spekulatif yang serupa dengan perjudian, ketidakjelasan,
pelanggaran prinsip keadilan dalam bertransaksi.
Menurut Miranda Gultom sekurang-kurangnya terdapat lima faktor yang
mendukung sistem ekonomi dan keuangan Syariah di Indonesia.
1. Fatwa Majelis Ulama Indonesia bahwa bunga bank adalah riba dan haram.
2. Kesadaran Umat Islam yang semakin meningkat, khusunya di kalangan
masyarakat kelas menengah ke atas
3. Sistem ekonomi syariah berhasil menunjukan keunggulannya, teruji pada saat
krisis ekonomi. Ketika bank-bank konvensional tumbang dan butuh suntikan dan
pemerintah hingga ratusan triliyun, Bank muamalat Indonesia sebagai bank
syariah pertama di Indonesia, mampu melewati krisis dengan selamat tanpa
bantuan dana dari pemerintah sepersenpun.
4. UU Perbankan Syariah akan menjadi payung hukum bagi perbankan syariah di
Indonesia
5. Tuntutan integrasi Lembaga Keuangan Syariah (LKS) yang saling menopang.
Bank Syariah dapat menggunakan asuransi syariah untuk menutupi risiko

4
Dr. Mardani, Aspek Hukum Lembaga Keuangan Syariah Di Indonesia (Jakarta: Kencana,
2015)hlm.18-19

6
pembiayaan terhadap nasabahnya. Sebaliknya asuransi syariah dapat menyimpan
dananya di Bank Syariah, pasar modal syariah, maupun reksadana syariah.

Pengertian Bank menurut Pasall 1 angka 2 UU No Tahun 1998 tentang


perubahan UU No. 7 Tahun 1992 tentang perbankan, adalah:
“badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk
simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan
atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat
banyak”.
Di Indonesia, lembaga perbankan memiliki misi dan fungsi sebagai agen
pembangunan (agent of development), yaitu sebagai lembaga yang bertujuan
menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan
pemerataan, pertumbuhan ekonomi dan stabilitas nasional kea rah peningkatan
kesejahteraan rakyat banyak.
Sejak Indonesia merdeka, telah disusun tiga undang-undang yang mengatur
tentang perbankan, yaitu UU No 14 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok perbankan,
UU No 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, dan UU No. 10 tahun 1998 tentang
Perubahan UU No 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Selain Peraturan dalam bemtuk
Undang-undang juga telah dikeluarkan berbagai Paket Kebijaksanaan.

b. Periode Undang-Undang No. 14 Tahun 1967


Pengaturan tentang perbankan di Indonesia sudah dimulai sejak zaman
penjajahan Belanda. Untuk menerbitkan praktik lembaga pelepas uang yang banyak
terjadi waktu itu dikeluarkanlah pengaturan, baik dalam bentuk undang-undang (wet)
maupun berupa surat-surat keputusan resmi dari pihak pemerintah. Di antara lembaga
keuangan yang telah berdiri sejak zaman penjajahan tersebut, yaitu De Javashe Bank
N. V, tanggal 10 Oktober 1827 yang kemudian dikeluarkan undang-undang De
Javashe Bank Wet 1992 Bank inilah yang kemudian menjadi Bank Indonesia, setelah
melalui proses nasionalisasi pada Tahun 1951, dengan dikeluarkannya Undang-
Undang No. 24 Tahun 1951 yang mulai berlaku tanggal 6 Desember 1951.

7
Sesudah Indonesia merdeka regulasi perbankan secara sistematis dimulai pada
tahun 1967 dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 14 Tahun 1967 tentang
pokok-pokok perbankan. Undang-Undang ini mengatur secara komperehensif sistem
perbankan yang berlaku pada masa itu. Namun demikian undang-undang ini belum
mengatur tentang bank syariah.

c. Periode undang-undang No. 7 Tahun 1992


Dalam rangka penyempurnaan tata perbankan nasional, dikeluarkan UU No 7
Tahun 1992 sebagai pengganti UU No 14 Tahun 1967. Melalui UU No. 7 Tahun
1992 ditempuh langkah-langkah antara lain:
1.) Penyederhanaan jenis bank, menjadi Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat
(BPR) serta memperjelas ruang lingkup dan batas kegiatan yang dapat
diselenggarakannya.
2.) Persyaratan pokok untuk mendirikan suatu bank diatur secara rinci, sehingga
ketentuan pelaksanaan yang berkaitan dengan kegiatan perbankan lebih jelas dan
lebih terarah
3.) Peningkatan perlindungan dana masyarakat yang dipercayakan pada lembaga
perbankan melalui penerapan prinsip kehati-hatian dan pemenuhan ketentuan
persyaratan kesehatan bank
4.) Peningkatan profesionalisme para pelaku di bidang perbankan
5.) Perluasan kesempatan untuk menyelenggarakan kegiatan bidang perbankan secara
sehat dan bertanggung jawab sekaligus mencegah terjadinya praktek-praktek yang
merugikan kepentingan masyarakat luas.

Selain penyempurnaan-penyempurnaan di ats Undang-Undang No 7 Tahun


1992 tentang perbankan, memperkenalkan sistem perbankan Bagi Hasil. Ketentuan
tersebut terdapat dalam pasal 1 angka (12), pasal 6 huruf (m), dan Pasal 13 huruf (c).
secara lengkap pasal-pasal tersebut berbunyi:
Pasal 1 angka (12)
“Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan
dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam

8
antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk
melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga,
imbalan atau pembagian hasil keuntungan.”

ketentuan ini telah memberikan kemungkinan atau kesempatan kepada bank


untuk memberikan kredit tanpa bunga kepada nasabah. Pengembalian dari nasabah
ke bank dapat berupa imbalan atau bagi hasil.
Pasal 6 tentang Usaha Bank Umum. Pasal 6 huruf (m) :
“ Menyediakan pembiayaan bagi nasabah berdasarkan prinsip bagi hasil
sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam peraturan pemerintah “

Pasal 13 tentang Usaha BPR. Pasal 13 huruf (c) :


“ Menyediakan pembiayaan bagi nasabah bedasarkan prinsip bagi hasil
sesuai ketentuan yang ditetapkan dalam peraturan pemerintah ”
Ketentuan tentang bagi hasil tersebut ditindaklanjuti dalam peraturan
pemerintah (PP) No 72 Tahun 1992 tentang Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil.
Pasal 2 ayat 1 PP tersebut menetapkan bahwa: “prinsip bagi hasil adalah prinsip bagi
hasil berdasarkan syariat” (harus sesuai dengan syariat Islam)
Selanjutnya Pasal 6 PP tersebut secara tegas menetapkan :
1) Bank Umum atau Bank Perkreditan Rakyat yang kegiatan usahanya
semata-mata berdasarkan prinsip bagi hasil, tidak diperkenankan
melakukan kegiatan usaha yang tidak berdasarkan prinsip bagi hasil
2) Bank Umum atau Bank Perkreditan Rakyat yang kegiatan usahanya tidak
berdasarkan prinsip bagi hasil, tidak diperkenankan melakuakan
kegiatan usaha yang berdasarkan prinsip bagi hasil.
Ketentuan tersebut selanjutnya dijabarkan lebih lanjut dalam Surat
Edaran Bank Indonesia yang pada pokoknya menetapkan hal-hal antara lain:
a.) Bahwa bank berdasarkan prinsip bagi hasil adalah bank umum dan
Bank perkreditan Rakyat yang dilakukan usaha semata-mata
berdasarkan prinsip bagi hasil;

9
b.) Prinsip bagi hasil yang dimaksudkan adalah prinsip bagi hasil yang
berdasarkan syariah;
c.) Bank berdasarkan prinsip bagi hasil wajib memiliki Dewan Pengawas
Syariah (DPS).

Dari uraian di atas, tanpak bahwa UU No 7 Tahun 1992, PP No 72 Tahun


1992 dan beberapa Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI) telah mulai mengatur
tentang bank syariah walaupun tidak menggunakan istilah bank syariah akan tetapi
menggunakan istilah “bank berdasarkan prinsip bagi hasil”

d. Periode Undang-Undang No. 10 Tahun 1998


Pada tanggal 10 November 1998 telah di undangkan UU No. 10 Tahun 1998
tentang perubahan UU No. 7 Tahun 1992 tentang perbankan. Dalam UU No. 10
Tahun 1998 terdapat beberapa perubahan dan penyempurnaan yang bersifat
substansial. Pokok-pokok penyempurnaan tersebut adalah sebagai berikut:
1) Peralihan kewenangan dan pemberian izin kepada Bank Indonesia yang
sebelumnya menjadi kewenangan Menteri Keuangan;
2) Perlunya konsultasi kepada Dewan Perwakilan Rakyat dalam rangka
pembentukan badan khusus;
3) Peningkatan sanksi pidana atas pelanggaran rahasia bank;
4) Peningkatan peranan bank umum dalam melaksanakan kegiatan usaha
berdasarkan prinsip syariah;
5) Ketentuan mengenai kemungkinan pemilikan bank asing sebagai mitra strategi
dan pemegang saham bank umum;
6) Peranan Badan Pengawas Keuangan;
7) Pendefinisian lembaga penjamin simpanan;
8) Penegasan sifat sementara bagi badan khusus;
9) Pencantuman persyaratan analisis mengenai dampak lingkungan dalam perjanjian
kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah;
10) Perubahan ancaman sanksi pidana berupa peningkatan ancaman hukuman

10
Selain itu terdapat penguatan kedudukan Hukum Islam bidang perikatan
dalam tatanan hukum positif. Pasal 1 ayat (13) ini menyebutkan sebagai berikut:
“prinsip aturan adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara
bank dengan pihak lain untuk menyimpan dana dan atau pembiayaan kegiatan
usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syariah, antara lain,
pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah), pembiayaan berdasarkan
prinsip penyertaan modal (musyarakah), prinsip jual-beli barang dengan
memperoleh keuntungan (murabahah), atau pembiayaan barang modal berdasarkan
prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah), atau dengan adanya pilihan pemindahan
kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah wa
Iqtina’)”
Masalah yang diatur undang-undang ini selain berupa penegasan terhadap
eksistensi perbankan syariah di Indonesia juga menyangkut kelembagaan dan
operasional Bank Syariah. Secara keseluruhan permasalahan hukum tersebut antara
lain meliputi:
1. Macam bank syariah
2. Pendirian bank syariah
3. Konversi bank konvensional menjadi bank syariah
4. Pembukuan kantor cabang, yang meliputi sisi keuangan dan modal kerja
5. Badan Pengawas Syariah dan Dewan Syariah Nasional (DPS), yang menyangkut
mengenai fungsi DPS sebagai penasihat, mediator, dan perwakilan,
6. Kegiatan usaha dan produk-produk bank syariah
7. Pengawasan Bank Indonesia terhadap bank syariah
8. Sanksi-sanksi pidana dan administratif.

Pemberlakuan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 ini merupakan momen


pengembangan perbankan syariah di Indonesia. Undang –undang tersebut membuka
kesempatan untuk pengembangan jaringan perbankan syariah, antara lain melalui
izin pembukaan Kantor Cabang Syariah (KCS) oleh bank konvensional. Dengan kata
Lain, bank konvensional dapat melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip

11
syariah. Landasan dan kepastian hukum yang kuat bagi para pelaku bisnis serta
masyarakat luas ini meliputi.

1. Pengaturan aspek kelembagaan dan kegiatan usaha dan Bank Islam sebagaimana
yang dinamakan dalam pasal 1 ayat 3 Undang-Undang No. 10 tahun 1998. Pasal
tersebut menjelaskan, bahwa Bank Umum dapat memilih untuk melakukan
kegiatan usaha berdasarkan sistem konvensional atau berdasarkan prinsip syariah
atau melakukan kedua kegiatan tersebut. Dalam hal bank umum melakukan
kegiatan usaha berdasarkan syariah, maka kegiatan tersebut dilakukan dengan
membuka satuan kerja dan kantor cabang khusus, yaitu Unit Usaha Syariah dan
Kantor Cabang Syariah. Sedangkan, BPR harus memilih kegiatan usaha
berdasarkan prinsip syariah saja, atau berdasarkan sistem konvensional saja.
2. Bank umum konvensional yang akan membuka kantor cabang syariah wajib
melaksanakan
a) Pembentukan Unit Usaha Syariah (UUS);
b) Memiliki Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang ditempatkan oleh Dewan
Syariah Nasional (DSN); dan
c) Menyediakan modal kerja yang disisihkan oleh bank dalam suatu rekening
tersendiri atas nama UUS yang dapat digunakan untuk membayar biaya
kantor dan izin-izin berkaitan dengan kegiatan operasional maupun non-
operasional Kantor Cabang Syariah (KCS).

Namun demikian, pada periode Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 ini juga
dapat dilihat adanya beberapa permasalahan hukum yang masih harus di atur lebih
lanjut dalam pengaturan tersendiri yang perlu dipertimbangkan dalam regulasi
perbankan nasional yang akan datang. Masalah-masalah tersebut, antara lain adalah
sebagai berikut:
1. Bank syariah tunduk pada dua sistem hukum yang berbeda
2. Eksistensi Dewan Pengawas Syariah
3. Pengawas bank syariah masih berdasarkan pendekatan konvensional
4. Bank Sentral memakai standar interest
5. Belum memadainya peraturan pelaksanaan bank syariah

12
6. Hukum perdata tetap menjadi acuan dalam dokumentasi dan legitimasi

e. Pengaturan Bank Syariah Melalui UU No 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan


Syariah, Peluang Dan Tantangannya.
Perbankan Syariah sebagai salah satu sistem perbankan nasional memerlukan
berbagai sarana pendukung agar dapat memberikan kontribusi yang maksimum bagi
perekonomian nasional. Salah satu sarana pendukung vital adalah adanya pengaturan
yang memadai dan sesuai dengan karakteristiknya.
Setelah melalui proses yang cukup panjang, tanggal 7 mei 2008 dpr telah
mensahkan uu no 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. UU ini terdiri dari XIII
Bab. Undang-Undang ini mengatur mengenai:
1. Jenis Usaha Bank Syariah
2. Ketentuan pelaksanaan syariah
3. Kelayakan usaha
4. Penyaluran dana bank syariah
5. Larangan bagi bank syariah dan Unit Usaha Syariah
6. Kepatuhan Syariah

Beberapa pengaturan tentang bank syariah pada UU Perbankan dan UU


Perbankan Syariah.

Pengaturan tentang UU Perbankan UU Perbankan Syariah


Beberapa pengertian
Pengertian bank - Pasal 1 angka 4 “Bank
konvensioal yang menjalankan
kegiatan usahanya secara
konvensional dan menurut
jenis terdiri dari atas bank
Umum Konvensional dan
Bank Perkreditan Rakyat.
Pengertian Bank Syariah - Pasal 1 angka 7 “ Bank
yang menjalankan
kegiatan usahanya
berdasarkan prinsip

13
Syariah dan menurut
jenisnya terdiri atas Bank
Umum Syariah dan Bank
Pembiayaan Rakyat
Syariah”.
Prinsip syariah Pasal 1 angka 13 “Prinsip Pasal 1 angka 12 “Prinsip
syaariah adalah perjanjian Syariah adalah prinsip
berdasarkan hukum Islam hukum Islam dalam
antara bank dan pihak lain kegiatan perbankan
untuk menyimpan dana berdasarkan fatwa yang
atau pembiayaan kegiatan dikeluarkan oleh lembaga
usaha, atau kegiatan yang memiliki
lainnya yang dinyatakan kewenangan dalam
sesuai dengan syariah, penetapan fatwa di bidang
antara lain pembiayaan syariah”
berdasarkan prinsip bagi
hasil (Mudharabah),
pembiayaan berdasarkan
prinsip penyertaan modal
(Musharakah)..”
Akad - Pasal 1 angka 13 “Akad
adalah kesepakatan antara
Bank Syariah atau UUS
dan pihak lain yang
memuat adanya hak dan
kewajiban bagi masing-
masing pihak sesuai
dengan Prinsip Syariah”
Macam-macam simpanan Pasal 1 Pasal 1 disertai dengan
dan investasi jenis akadnya sesuai
prinsip syariah.
Asas Perbankan
Asas Perbankan Pasal 2 “Perbankan Pasal 2 “ Perbankan
Indonesia dalam Syariah dalam melakukan
melakukan usahanya kegiatan usahanya
berdasarkan demokrasi berasaskan prinsip syariah,
ekonomi dengan demokrasi ekonomi, dan
menggunakan prinsip prinsip kehati-hatian”.
kehati-hatian”.
Perizinan
Izin usaha Bank Umum, Pasal 16 dan Pasal 17 izin Pasal 5 dan Pasal 6 Izin
BPR, pembukaan kantor usaha diberikan oleh Usaha dan UUS diberikan
cabang Pimpinan Bank Indonesia. oleh Pimpinan Bank
Indonesia.
Bentuk Badan Hukum
Bentuk Badan Hukum Pasal 21 (1): Bentuk Pasal 7 : Bentuk badan

14
Bank Umum, BPR hukum bank umum dapat hukum Bank Syariah
berupa perseroan Terbatas, adalah Perseroan Terbatas.
Koperasi atau Perusahaan (dengan demikian, bentuk
Daerah. badan hukum Bank Umum
Pasal 21 (2) : Bentuk Syariah dan BPRS harus
hukum BPR dapat berupa Perseroan Terbatas).
Perusahaan Daerah,
Koperasi, Perseroan
Terbatas, Bentuk lain yang
ditetapkan dengan
peraturan pemerintah.
Usaha Bank Umum dan BPR/BPRS
Usaha Bank Umum Pasal 16 dan 17 : Bank Pasal 19 dan 20 : BUS
Umum dapat melakukan dapat melakukan 32
18 macam usaha macam usaha.
UUS dapat melakukan 21
macam usaha.
BPR/BPRS Pasal 13 : BPR dapat Pasal 21 : BPRS dapat
melakukan 4 macam melakukan 5 macam usaha
usaha.
Larangan Bagi Bank Umum dan BPR
Bank Umum Pasal 10 : Bank Umum Pasal 24 : BUS dan UUS
dilarang melakukan usaha dilarang melakukan
penyertaan modal, kegiatan usaha yang
melakukan usaha bertentangan dengan
perasuransian, melakukan prinsip syariah, kegiatan
usaha lain sebagaimana jual beli secara langsung
yang dimaksud Pasal 6 di pasar modal, penyertaan
dan Pasal 7 modal kecuali yang
ditetapkan dalam pasal 20
ayat (1) huruf dan huruf c,
kegiatan usaha
perasuransian kecuali
sebagai agen pemasaran
produk asuransi syariah.
BPR Pasal 14 : BPR dilarang Pasal 25 : BPRS dilarang
menerima simpanan melakukan kegiatan usaha
berupa giro, dan ikut serta yang bertentangan dengan
dalam lalu lintas prinsip syariah, menerima
pembayaran, melakukan simpanan berupa giro dan
kegiatan valuta asing, ikut serta dalam lalu lintas
penyertaan modal, pembayaran, melakukan
melakukan usaha kegiatan valuta asing,
perasuransian, melakukan penyertaan modal,
usaha lain sebagaimana melakukan usaha
yang dimaksud pasal 13. perasuransian, melakukan

15
usaha lainnsebagaimana
yang dimaksud Pasal 21.
Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan
Penggabungan, peleburan, - Pasal 17 :
pengnambilalihan (1)
Penggabungan, peleburan,
dan pengambilalihan Bank
Syariah wajib terlebih
dahulu mendapat izin dari
Bank Indonesia.
(2) dalam hal terjadi
penggabungan, peleburan,
dan pengambilalihan Bank
Syariah dengan bank
lainnya, bank hasil
penggabungan, peleburan
tersebut wajib menjadi
Bank Syariah.
(3) ketentuan mengenai
penggabungan, peleburan,
pengambilalihan Bank
Syariah dilakukan sesuai
dengan ketentuan
peraturan perundang-
undangan.
Struktur Organisasi
Pemegang saham - Pasal 27
pengendali
Dewan Kominsaris dan Pasal 38 dan pasal 39 Pasal 28 s.d Pasal 31
Direksi
Dewan Pengawas Syariah - Pasal 32
(1) Dewan Pengawas
Syariah wajib dibentuk
oleh Bank Syariah dan
Bank Umum
Konvensional yang
memiliki UUS.
Good Corporate Governace
GCG/ Tata Kelola Tidak diatur secara khusus Pasal 34
dalam pasal tertentu
Penyelesaian Sengketa
Alternatif penyelesaian - Pasal 55
sengketa (1) Penyelesaian
sengketa perbankan
syariah dilakuakan
oleh pengadilan

16
dalam lingkungan
Peradilan Agama.
(2) Dalam hal para pihak
telah memperjanjikan
penyelesaian
sengketa selain
sebagaimana
dimaksud pada ayat
(1), penyelesaian
sengketa dilakukan
sesuai dengan isi
akad;
(3) Penyelesaian
sengketa
sebagaimana
dimaksudkan ayat (2)
tidak boleh
bertentangan dengan
Prinsip Syariah
Sanksi
Pidana Pasal 46 s.d Pasal 51 Pasal 59 s.d Pasal 66
Administratif Pasal 52 dan Pasal 53 Pasal 56 s.d Pasal 58
- Tidak melaksanakan
prinsip syariah
- Melanggaran rahasia
bank (+sanksi pidana)
- Tidak memberikan
keterangan

Walaupun beberapa pakar perbankan syariah dan para ulama menyampaikan


beberapa kekurangan dan kelemahan UU Perbankan Syariah namun lahirnya UU
Perbankan Syariah memberikan peluang yang sangat besar bagi perkembangan bank
syariah di Indonesia. (Imaniyati 2009)5

BAB III
5
Neni Sri Imaniyati, Perkembangan Regulasi Perbankan Syariah Di Indonesia : Peluang
Dan Tantangan, Dalam Jurnal Ilmu Hukum Syiar Hukum, Vol 11, No. 1, 2009, hlm. 21-35.

17
PENUTUP

A. Kesimpulan
Bank syariah juga dapat diartikan sebagai lembaga keuangan/perbankan yang
operasional dan produknya dikembangkan berlandaskan Al-Quran dan Hadits Nabi
SAW. Bank syariah merupakan bank yang menjalankan kegiatannya mengacu pada
hukum Islam dan dalam kegiatannya tidak membebankan bunga kepada nasabah.
Imbalan bank syariah yang diterima maupun yang dibayarkan kepada nasabah tergantung
dari akad dan perjanjian yang dilakukan oleh pihak nasabah dan pihak bank.
Bank syariah pertama di Indonesia adalah Bank Muamalat yang didirikan tahun
1991. Perkembangan perbankan syariah di Indonesia telah menjadi tolak ukur
keberhasilan eksistensi ekonomi syariah.
Regulasi perbankan syariah di Indonesia di mulai dalam UU No 7 Tahun 1992
dengan menggunakan istilah bank berdasarkan prinsip bagi hasil. UU No 10 tahun 1998
memberikan peluang yang lebih besar untuk tumbuh dan berkembangnya perbankan
syariah di Indonesia. Namun demikian karena perbankan syariah memiliki karakteristik
yang khas dibandingkan dengan perbankan konvensional, maka diperlukan adanya
undang-undang yang khusus mengatur perbankan syariah.
UU Perbankan Syariah mengatur lebih konprehensif tentang bank syariah. UU ini
memberikan peluang yang sangat besar untuk pertumbuhan bank syariah. Selain
memberikan peluang, UU Perbankan Syariah juga memberikan tantangan bagi para
pelaku bank syariah nasional agar dapat berkompetisi dengan banker asing yang berminat
terjun dalam perbankan syariah di Indonesia

DAFTAR PUSTAKA

18
Bibliography
Anshori, Abdul Ghofur. Perbankan Syariah Di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,
2018.

Dr. Sri Wahyuni, S.E., M.Si. Perbankan Syariah: Pendekatan Penilaian Kerja. Pasuruan: Qiara Media,
2019.

Imaniyati, Neni Sri. "Perkembangan Regulasi Perbankan Syariah Di Indonesia : Peluang Dan Tantangan ."
Ilmu Hukum , 2009: 21-35.

Mardani, Dr. Aspek Hukum Lembaga Keuangan Syariah Di Indonesia. Jakarta: Kencana, 2015.

Wiroso, S.E., M.B.A. Penghimpunan Dana Dan Distribusi Hasil Usaha Bank Syariah. Jakarta: Grasindo,
2005.

19

Anda mungkin juga menyukai