Anda di halaman 1dari 28

PRODUK-PRODUK BANK SYARIAH

Makalah disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah


“Manajemen Pemasaran Bank Syariah”
Dosen Pengampu :
Siti Nur Mahmudah, S.EI, M.SEI

Disusun Oleh Kelompok 4 :


PS F
1. Dwi Setyaningrat (931423118)
2. Carista Nora Melinda (931424518)
3. Ida Ambarwati (931422318)

JURUSAN PERBANKAN SYARI’AH


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI KEDIRI
2020
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan
sehingga kami dapat menyelesaikan tugas dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan-
Nya tentunya kami tidak akan sanggup untuk menyelesaikan makalah ini dengan
baik. Shalawat serta salam semoga terlimpah curahkan kepada baginda kita tercinta
yakni Nabi Muhammad SAW yang kita nanti-nantikan syafaatnya di akhirat nanti.
Penulis juga menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan
masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangannya.Untuk itu, kami sebagai
penulis mengharapkan kritik serta saran daripada pembaca, supaya kami dapat
memperbaikinya menjadi lebih baik lagi.
Kami juga mengucapkan terima kasih kepada Ibu Siti Nur Mahmudah sebagai
dosen pengampu mata kuliah Manajemen Pemasaran Bank Syariah yang telah
membimbing kami dalam mengerjakan tugas ini sehingga kami dapat belajar dan
berproses dalam pembuatan makalah ini. Demikian, semoga makalah ini bermanfaat.

Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh

Kediri, 20 Maret 2020

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR......................................................................................................i

DAFTAR ISI...................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN ..............................................................................................1

A. Latar Belakang.......................................................................................................1
B. Rumusan Masalah..................................................................................................2
C. Tujuan Penulisan...................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN.................................................................................................3

A. Pengertian Bank Syariah ......................................................................................3


B. Produk Penghimpun Dana ....................................................................................3
1. Prinsip Wadi’ah...............................................................................................4
2. Prinsip Mudharabah........................................................................................6
C. Produk Penyaluran Dana ......................................................................................9
D. Produk Pelayanan Jasa ........................................................................................17
BAB III PENUTUP.......................................................................................................24

A. Kesimpulan...........................................................................................................24

DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................25

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Konsep perbankan syari’ah merupakan hal yang relatif baru apabila
digunakan dibandingkan dengan konvensional. Walaupun pemikiran konsep
dasar perbankan syari’ah telah berjalan lama, praktik syariah baru dimulai
pada tahun 1992. Oleh karena itu, pada tahap awal (an ifant stage), wajar
apabila sistem perbankan syariah kurang dimengerti oleh masyarakat sehingga
sebagain dari mereka menggunakan jasa bank syari’ah, dengan harap-harap
cemas dan keraguan sekaligus.
Dari aspek hukum, dasar bank syari’ah di Indonesia adalah UU No. &
tahun 1992. Dalam UU tersebut prinsip syariah masih samar, yang dinyatakan
sebagai prinsip bagi hasil. Prinsip perbankan syari’ah secara tegas dinyatakan
dalam UU No. 10 tahun 1998, yang kemudian diperbarui dengan UU No.23
tahun 1999 tentang Bank Indonesia dan UU No. 3 tahun 2004.
Berdirinya perbankan dengan sistem bagi hasil didasarkan pada dua
alasan utama. Pertama, adanya pandangan bahwa bunga (interest) pada bank
konvensional hukumnya haram karena termasuk dalam kategori riba yang
dilarang agama, bukan hanya pada agama Islam, melainkan juga oleh agama
samawi lainnya. Kedua, dari aspek ekonomi, penyerahan resiko usaha
terhadap salah satu pihak dunia melanggar norma keadilan. Dalam jangka
panjang, sistem perbankan konvensional akan menyebabkan penumpukan
kekayaan pada segelintir orang kaya atau para pemilik kapital besar.
Dalam sejarah lembaga keuangan syariah di Indonesia, yaitu Bank
Muamalat Indonesiaa (BMI), Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS),
Baitul Mal wat Tamwil (BMT), dan Asuransi Takaful. 1

1
Syamsul Anwar, Permasalahan Produk-produk Bank Syariah: Studi Tentang Ba’i Mu’ajjal
(Yogyakarta: P3M IAIN Sunan Kalijaga, 1995),44.

1
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Bank Syari’ah itu?
2. Apa yang dimaksud produk penghimpunan dana Bank Syari’ah?
3. Apa yang dimaksud produk penyaluran dana pembiayaan Bank Syariah?
4. Apa yang dimaksud produk pelayanan jasa pembiayaan Bank Syariah?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui apa itu Bank Syari’ah.
2. Untuk mengetahui produk penghimpun dana Bank Syariah.
3. Untuk mengetahui produk penyaluran dana pembiayaan Bank Syari’ah.
4. Untuk mengetahui produk pelayanan jasa pembiayaan Bank Syariah.

2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Bank Syariah
Bank pada dasarnya adalah entitas yang melakukan penghimpunan dana
dari masyarakat dalam bentuk pembiayaan atau dengan kata lain
melaksanakan fungsi intermediasi keuangan. Dalam sistem perbankan di
Indonesia terdapat dua macam sistem operasional perbankan yaitu bank
konvensional dan bank syariah. Sesuai UU No. 21 tahun 2008 tentang
perbankan syariah, bank syariah adalah bank yang menjalankan kegiatan
usaha berdasarkan prinsip syariah, atau prinsip hukum Islam yang diatur
dalam fatwa Majelis Ulama Indonesia seperti prinsip keadilan dan
keseimbangan (‘adl wa tawazun), kesejahteraan (maslahah), univeralisme
(alamiyah), serta tidak mengandung gharar, maysir, riba, zalim dan obyek
yang haram atau tidak diperbolehkan. Serta itu, UU perbankan syariah juga
mengamankan bank syariah untuk menjalankan fungsi sosial dengan
menjalankan fungsi seperti lembaga Baitul Mal.2
Secara eksplisit al-Qur’an tidak menyebut istilah “bank” sebagai suatu
istilah lembaga keuangan. Tetapi kalau yang dimaksud adalah sesuatu yang
memiliki unsur-unsur yang memiliki konotasi fungsi yang dilaksanakan oleh
peran tertentu dalam kegiatan ekonomi, seperti struktur, manajemen, fungsi,
hak, dan kewajiban, maka dengan dijelas disebutkan dengan istilah-istilah
seperti zakat, shadaqah, ghanimah (harta rampasan perang), bay’ (jual beli),
dayn (utang dagang), mal (harta), dan sebagainya.3
B. Produk Penghimpun Dana (Funding)
Prinsip operasional bank syariah yang telah diterapkan secara luas dalam
penghimpunan dana masyarakat adalah prinsip Wadi’ah dan Mudharabah.

2
Andrianto, M. Anang Firmansyah, Manajemen Bank Syariah:Implementasi Teori dan
Praktek (Jakarta: Qaira Media Partner, 2010), 23-24.
3
Zainul Arifin, Dasar-Dasar Manajemen Bank Syariah, Cet. 1, (Jakarta: Alvabet, 2002), 3.

3
1. Prinsip Wadi’ah.
Wadi’ah adalah titipan murni dari satu pihak ke pihak lain, baik
individu maupun badan hokum yang harus dijaga dan dikembalikan kapan
saja si penitip menghendaki. Menurut Bank Indonesia wadi’ah adalah
akad penitipan barang atau uang anatara pihak yang mempunyai barang
atau uang dengan tujuan untuk menjaga keselamatan, keamanan, serta
keutuhan barang atau uang.
Rukun wadi’ah ada 4 yakni :
a. Barang atau uang yang disimpan atau dititipkan
b. Pemilik barang atau uang yang bertindak sebagai pihak yang
menitipkan
c. Pihak yang menyimpan atau memberikan jasa custodian
d. Ijab qobul
Pada pelaksanaanya wadi’ah terdiri dari dua jenis, yakni:
a. Wadi’ah yad amanah
Akad penitipan barang/uang dimana pihak penerima titipan tidak
diperkenankan menggunakan barang/uang yang dititipkan dan tidak
bertanggungjawab atas kerusakan atau kehilangan barang titipan yang
bukan diakibatkan perbuatan atau kelalaian penerima titipan.
b. Wadiah yad dhamanah
Akad penitipan barang/uang dimana pihak penerima titipan dengan
atau tanpa izin pemilik barang/uang dapat memanfaatkan barang/uang
titipan dan harus bertanggungjawab terhadap kehilangan atau
kerusakan barang/uang titipan. Semua manfaat dan keuntungan yang
diperoleh dalam penggunaan barang/uang tersebut menjadi hak
penerima titipan.
Giro wadi’ah dan tabungan wadi’ah yaitu:
a. Giro wadi’ah adalah giro yang dijalankan berdasarkan prinsip wadiah,
yakni titipan dana yang berasal dari pihak ketiga (nasabah) pada bank
syariah yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat dengan

4
menggunakan cek, Bilyet Giro, kartu ATM, serta sarana perintah
pembayaran lainnya atau dengan cara pemindahbukuan. Nasabah
yang memiliki simpanan giro wadiah akan memperoleh nomor
rekening dan disebut juga dengan giran (pemegang rekening giro)
wadiah.4 Giro wadiah menggunakan akad wadiah yad dhamanah
dimana bank boleh menggunakan dana nasabah yang terhimpun untuk
tujuan mencari keuntungan dalam kegiatan yang berjangka pendek
untuk memenuhi kebutuhan likuiditas bank, selama dana tersebut
tidak ditarik. Biasanya bank tidak menggunakan dana ini untuk
pembiayaan bagi hasil karena sifatnya yang jangka pendek.
Keuntungan bank yang diperoleh dengan penggunaan dana ini
menjadi milik bank. Demikian juga kerugian yang timbul menjadi
tanggung jawab bank sepenuhnya. Bank diperbolehkan memberikan
insentif berupa bonus kepada nasabah, selama hal ini tidak
disyaratkan sebelumnya. Besarnya bonus tidak ditetapkan dimuka.
Ada beberapa alasan masyarakat menyimpan dana dalam bentuk
simpanan giro wadiah antara lain :
1) Faktor keamanan dalam menyimpan dana
2) Kemudahan dalam melakukan transaksi pembayaran
3) Berjaga-jaga apabila ada kebutuhan dana yang sifatnya mendadak.
b. Tabungan wadiah adalah produk bank syariah berupa simpanan dari
nasabah dalam bentuk rekening tabungan (saving account) untuk
keamanan dan pemakainnnya, seperti giro wadiah, tetapi tidak
sefleksibel giro wadiah, karena nasabah tidak dapat menarik dananya
dengan cek. Seperti halnya dengan giro wadiah, tabungan wadiah juga
menggunakan akad wadiah yad dhamanah dimana bank boleh
menggunakan dana nasabah yang terhimpun untuk tujuan mencari
keuntungan dalam kegiatan yang berjangka pendek untuk memenuhi
kebutuhan likuiditas bank, selama dana tersebut tidak ditarik.

4
Nofinawati, “Akad dan Produk Perbankan Syariah” (Jurnal Fitrah, Vol. 08, No. 2, Juli 2014), 224.

5
Biasanya bank tidak menggunakan dana ini untuk pembiayaan bagi
hasil karena sifatnya yang jangka pendek. Keuntungan bank yang
diperoleh dengan penggunaan dana ini menjadi milik bank. Demikian
juga kerugian yang timbul menjadi tanggung jawab bank sepenuhnya.
Bank diperbolehkan memberikan insentif berupa bonus kepada
nasabah, selama hal ini tidak disyaratkan sebelumnya. Besarnya
bonus tidak ditetapkan dimuka.
2. Prinsip Mudharabah
Mudharabah adalah kerjasama antara pemilik dana atau penanam
modal dengan pengelola modal untuk melakukan usaha tertentu dengan
bagi hasil.
Mudharabah adalah perjanjian atas suatu jenis perkongsian, yaitu
pihak pertama (Shahbib al’mal) menyediakan dana dan pihak kedua
(mudharib)bertanggung jawab atas pengelolaan usaha. Hasil usaha
dibagikan sesuai dengan nisbah (porsi bagi hasil) yang telah disepakati
bersama secara awal. Jika mengalami kerugian Shahbib al’mal akan
kehilangan sebagian imbalan dari kerja keras dan managerial skill selama
proyek berlangsung.
Dalam mengaplikasikan prinsip mudharabah, penyimpan dana atau
deposan bertindak sebagai shahibul mal (pemilik modal) dan bank sebagai
mudharib (pengelola). Bank kemudian melakukan penyaluran pembiayaan
kepada nasabah peminjam yang membutuhkan dengan menggunakan dana
yang diperoleh tersebut, baik dalam bentuk murabahah, ijarah,
mudharabah, musyarakah atau bentuk lainnya. Hasil usaha ini selanjutnya
akan dibagihasilkan kepada nasabah penabung berdasarkan nisbah yang
disepakati. Apabila bank menggunakannya untuk melakukan mudharabah
kedua, bank bertanggungjawab penuh atas kerugian yang terjadi.
Rukun mudharabah :
a. Shahibul maal/ rabulmal (pemilik dana/nasabah).
b. Mudharib (pengelola dana/pengusaha/bank)

6
c. Amal (usaha/pekerjaan)
d. Ijab qabul (shighat).
Syarat Mudharabah:
a. Adanya pemilik modal dan pengelola dana yang sudah baligh dan
berakal sehat.
b. Adanya modal yang diserahkan dalam bentuk yang jelas bukan utang.
Modal dapat berupa uang tunai atau asset lainnya.
c. Terjadi ijab dan qabul yang menunjukkan persetujuan kedua belah
pihak antara yang menanam modal dengan yang mengelola.
d. Nisbah yang dibuat oleh kedua pihak harus dengan pembagian yang
adil dan jelas, jika dikemudian hari ada perubahan nisbah, maka harus
dengan persetujuan kedua pihak terlebih dahulu.
Misalnya mudharib adalah entrepreneur, yang melakukan usaha untuk
mendapatkan keuntungan atau hasil atas usaha yang dilakukan. Shahibul
maal sebagai pihak pemilik modal atau investor, perlu mendapat imbalan
atas dana yang diinvestasikan. Sebaliknya, bila usaha yang dilaksanakan
oleh mudharib menderita kerugian, maka kerugian itu ditanggung oleh
shahibul maa, selama kerugiannya bukan karena penyimpangan atau
kesalahan yang dilakukan oleh mudharib. Bila mudharib melakukan
kesalahan dalam melaksanakan usaha, maka mudharib diwajibkan untuk
mengganti dana yang diinvestasikan oleh shahibul maal.
Menurut hadits Rasulullah SAW:
“Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa Abbas bin Abdul Muthalib jika
memberikan dana ke mitra usaha-usahanya secara mudharabah ia
mensyaratkan agar dananya tidak dibawa mengarungi lautan, menuruni
lembah yang berbahaya, atau membeli ternak yang berparu-paru basah.
Jika menyalahi peraturan tersebut, maka yang bersangkutan bertanggung
jawab atas dana tersebut. Disampaikanlah syarat-syarat tersebut kepada
Rasulullah pun memperbolehkannya.” (HR.Thabharani)5

5
Ismail, Perbankan Syariah (Jakarta: Kencana,2017), 83.

7
Mudharabah menjadi batal apabila ada perkara sebagai berikut:
1. Tidak terpenuhinya salah satu atau beberapa syarat mudharabah
2. Pengelola dengan sengaja meninggalkan tugasnya sebagai
3. Pengelola modal atau pengelola modal berbuat sesuatu yang
bertentangan dengan tujuan akad. Dalam keadaan ini pengelola modal
bertanggung jawab jika terjadi kerugian, karena dialah penyebab
kerugian
4. Apabila pelaksana atau pemilik modal meninggal dunia, atau salah
seorang pemilik modal meninggal dunia, maka mudharabah menjadi
batal.
Giro Mudharabah dan Tabungan Mudharabah yaitu:
a. Giro mudharabah adalah giro yang dijalankan berdasarkan prinsip
mudharabah. Prinsip mudharabah mempunyai dua bentuk, yakni
mudharabah mutlaqah dan mudharabah muqayyadah. Perbedaan utama
dari kedua bentuk mudharabah itu terletak pada ada atau tidaknya
persyaratan yang diberikan pemilik dana kepada bank dalam
mengelola dananya, baik dari sisi waktu, tempat maupun objek
investasinya. Dalam hal ini bank syariah bertindak sebagai mudharib
(pengelola dana) sedangkan nasabah bertindak sebagai shahibul maal
(pemilik dana). Nasabah pemilik rekening giro mudharabah berhak
memperoleh bagi hasil sesuai dengan nisbah yang telah disepakati di
awal pembukaan rekening. Bank syariah menanggung semua biaya
operasional giro dengan menggunakan nisbah bagi hasil yang menjadi
haknya. Di samping itu bank syariah tidak diperkenankan mengurangi
nisbah nasabah tanpa persetujuan nasabah. Sesuai dengan ketentuan
yang berlaku, PPH bagi hasil giro mudharabah dibebankan langsung
ke rekening giro mudharabah pada saat perhitungan bagi hasil.8
Rekening giro mudharabah ini hanya bisa dimiliki oleh para pengusaha
yang memiliki aliran keuangannya rutin cuma beberapa kali saja
dalam kurun waktu tertentu. Karena dalam akad mudharabah jangka

8
waktu investasi harus jelas, agar perhitungan bagi hasilnya lebih
mudah dilakukan oleh bank syariah selaku pihak pengelola dana yang
dinvestasikan oleh nasabah.6
b. Tabungan Mudarabah merupakan salah satu produk penghimpunan
dana oleh bank syariah yang menggunakan akad mudharabah
muthlaqah. Sama halnya dengan giro mudharabah, dalam tabungan
mudharabah, bank syariah juga bertindak sebagai mudharib (pengelola
dana) sedangkan nasabahnya bertindak sebagai shahibul maal (pemilik
dana). Bank syariah memiliki kebebasan dalam mengelola dana,
dengan kata lain nasabah tidak ada memberikan batasan-batasan
kepada bank syariah dalam mengelola dananya. Setelah bank syariah
mengelola dana nasabah, maka insya Allah bank syariah akan
memperoleh keuntungan dari investasi yang dilakukannya. Setelah
bank syariah mendapatkan keuntungan, maka bank syariah juga akan
membagi keuntungan tersebut dengan nasabahnya. Sesuai dengan
kesepakatan nisbah bagi hasil di awal pembukaan rekening. Sesuai
dengan akad yang digunakannya yaitu mudharabah, maka dana
tabungan mudharabah sifatnya berjangka. Dengan begitu jangka
waktunya harus jelas dan disepakati di awal, sehingga dana tabungan
mudharabah tidak bisa ditarik kapan saja si nasabah membutuhkannya.
Contoh produknya adalah tabungan haji, tabungan pendidikan dan
lain-lain.
C. Produk Penyaluran Dana (financing)
Menurut Muhammad (2005) Pembiayaan atau financing adalah
pendanaan yang diberikan oleh suatu pihak kepada pihak lain untuk
mendukung investasi yang telah direncanakan, baik dilakukan sendiri maupun
lembaga. Dengan kata lain, pembiayaan adalah pendanaan yang dikeluarkan
untuk mendukung investasi yang telah direncanakan.

6
Abdul Ghafur Anshari, Perbankan Syariah di Indonesia (Yogyakarta : Gadjah Mada University
Press, 2007), 94.

9
Menurut Veithzal Rivai dan Andria (2008), istilah pembiayan pada
intinya berarti belive, trust atau percaya, menaruh kepercayaan. Perkataan
pembiayaan yang berarti (trust) berarti lembaga pembiayaan selaku shabil
al’mal menaruh kepercayaan kepada seorang untuk melakukan amanah
dengan benar, adil dan harus disertai dengan ikatan dan syarat-syarat yang
jelas dan saling menguntungkan bagi kedua belah pihak.
Secara garis besar, produk pembiayaan kepada nasabah yaitu sebagai
berikut :
a. Pembiayaan dengan prinsip jual beli. Seperti bai‟ as salam, bai‟ al
istishna dan bai‟ murabahah,
Adapun pengertiannya yaitu;
a) Ba’i as-Salam
Bai’ as-salam adalah prinsip jual beli suatu barang tertentu antara
pihak penjual dan pembeli sebesar harga pokok ditambah nilai
keuntungan yang sudah disepakati, dimana waktu penyerahan barang
dilakukan di kemudian hari sementara penyerahan uang dilakukan
dimuka (secara tunai).Manfaatnya adalah selisih harga yang di dapat
dari nasabah dengan harga jual kepda pembeli.
Syarat bai’ as-salam:
1. Modal harus diketahui
2. Barang harus jelas
Rukun bai’ as-salam:
1. Pembeli (muslam)
2. Penjual (muslam ilaih)
3. Harga (ra’sul maal as-salam)
4. Barang (muslam fihi)
5. Ijab qabul (sighat)
Aplikasi dalam perbankan bai’ as-salam : Biasanya digunakan pada
pembiayaan bagi petani dengan jangka waktu yang relative pendek,
yaitu 2-6 bulan. Karena yang dibeli oleh bank adalah padi, jagung, dan

10
cabai, dan bank tidak berniat untuk menjadikan barang-barang tersebut
sebagai simpanan atau investory, dilakukan akad ini kepada pembeli
kedua,misalnya kepada Bulog, pedagang pasar induk, atau grosir.
b) Ba’i Isthisna
Bai’ al-istishna adalah salah satu pengembangan prinsip bai’ as-
salam, dimana waktu penyerahan barang dilakukan dikemudia hari
sementara pembayaran dapat dilakukan dengan mencicil.Karena bai’ al-
istishna merupakan jenis khusus dari bai’ as-salam, maka ketentuan dan
landasan hukum syariah bai’ al-istishna mengkuti ketentuan dan
landasan hukum syariah bai’ as-salam.
Rukun bai’ as-salam:
1. Penjual/penerima pesanan
2. Pembeli/pemesan
3. Barang
4. Harga
5. Ijab qabul
Aplikasi dalam perbankan 7
1. Bank Islam sebagai pembuat pada kontrak pertama tetap merupakan
satu-satunya pihak yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan
kewajibannya. Bank tetap bertanggungjawab atas setiap kesalahan,
kelalaian, atau pelanggaran kontrak.
2. Penerima sub kontrak bertanggung jawab terhadap bank Islam
sebagai pemesan. Dia tidak mempunyai hubungan hukum secara
langsung dengan nasabah pada kontrak pertama akad.
3. Bank siap untuk membuat atau mengadakan barang, bertanggung
jawab kepda nasabah atas kesalahan pelaksanaan subkontrak dan
jaminan yang timbul darinya. Kewajiban inilah yang membenarkan

7
Muhammad Syafii Antonio, Bank Syariah Dari Teori Ke Praktik( Jakarta: Gema Insani,
2001) 115.

11
keabsahan akad ini, juga menjadi dasar bahwa bank boleh
memungut keuntungan kalau ada.
Perbandingan antara Bai’ as-Salam dan Bai’ Istishna
Subjek Salam Istishna Aturan &
Keterangan
Pokok Muslam fiih Mashnu’ Barang
Kontrak ditangguhkan
dengan spesifikasi
Harga Dibayar saat Bisa dibayar Cara penyelesaian
kontrak saat kontrak, pembayaran
bisa diangsur, merupakan
bisa kemudian perbedaan utama
hari antara salam dan
istishna

c) Ba’i Murabahah
Bai’ al-murabahah adalah prinsip jual beli dimana harga jualnya
terdiri dari harga pokok barang ditambah nilai keuntungan yang
disepakati.Pada murabahah, penyerahan barang dilakukan secara tunai,
tangguh ataupun dicicil. Untuk pembayaran secara cicilan, dikenal
dengan istilah BBA ( Bai’ Bitsaman ‘Ajil). Secara istilah, sebenarnya
transaksi jual beli yang dilakukan dengan pembayaran tangguh atau
lunas disebut bai al-muajjal sedangkan yang dicicil disebut bai’ ut-
taksid.
Murabahah merupakan suatu bentuk penjualan dengan pembayaran
ditunda dan suatu bentuk kontrak perdagangan semata-mata, meskipun
tidak berdasarkan pada teks al-Qur’an ataupun Hadits, telah
diperbolehkan menurut hukum Islam. Sistem pendanaan ini sekarang
mencakup lebih dari 75 % dari pendanaan bank-bank Islam berdasarkan
pada permintaan pengembalian (laba) yang ditetapkan di muka atas

12
investasi bank, sedemikian rupa sehingga mirip pengembalian (laba)
bank-bank berbasis bunga yang ditetapkan di muka.
Pendanaan murabahah dan harga kredit yang lebih tinggi yang ada
didalamnya secara gamblang telah menunjukkan bahwa terdapat suatu
nilai pada ‘waktu’ dalam pendanaan berbasis murabahah yang
menyebabkan, meskipun tidak langsung, penerimaan nilai waktu uang.
Ini dengan baik sekali telah diabaikan bahwa menerima nilai waktu
uang secara logis menyebabkan penerimaan bunga. Menerima nilai
waktu dalam transaksi-transaksi murabahah (sebagaimana sudah
ditunjukkan dalam bab ini, nyaris tidak berbeda dengan transaksi uang
semata) dan kemudian menolak hal-hal yang sama dalam transaksi-
transaksi uang tampak tidak konsisten dan tidak logis. Jika hukum Islam
bisa memperbolehkan pendanaan murabahah sebagaimana dipraktekkan
di bawah perbankan Islam maka pertanyaannya adalah “adakah
landasan moral untuk tidak memperbolehkan sistem bunga tetap atas
pinjaman dan uang muka”.Dengan demikian, dengan konsep bank Islam
ini memang dilematis, wajarlah jika para teoritis perbankan Islam
menyarankan agar penggunaan produk ini diminimalkan.8
Syarat bai’ al-murabahah:9
1. Penjual memberi tahu biaya modal kepada nasabah.
2. Kontrak pertama harus sah sesuai dengan rukun yang ditetapkan.
3. Kontrak harus bebas dari riba.
4. Penjual harus menjelaskan kepada pembeli bila terjadi cacat atas
barang sesuai pembelian.
5. Penjual harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan
pembelian, misalnya jika pembelian dilakukan secara utang.

8
Jaka Susila, “Fiduciary dalam Produk-Produk Perbankan Syariah” ( Jurnal Ilmu Syari’ah dan
Hukum, Vol. 1, Nomor. 2, 2016), 142.
9
Sunarto Zulkifli, Panduan Praktis Transaksi Perbankan Syariah ( Jakarta: Zikrul Hakim,
2003), 39.

13
Secara prinsip, jika syarat (1), (4), atau (5) tidak dipenuhi, pembeli
memiliki pilihan yang harus dilakukan:
1. Melanjutkan pembelian seperti apa adanya.
2. Kembali kepada penjual dan menyatakan ketidaksetujuan atas barang
yang dijual.
3. Membatalkan kontrak.
Rukun Murabahah:
1. Penjual
2. Pembeli
3. Barang/objek
4. Harga
5. Ijab qabul
Aplikasi dalam perbankan:
Murabahah umumnya dapat diterapkan pada produk pembiayaan
untuk pembelian barang-barang investasi, baik domestic maupun luar
negeri, seperti melalui letter of credit (L/C).
Kalangan perbankan syariah di Indonesia banyak melakukan al-
murabahah secara berkelanjutan seperti untuk modal kerja, padahal
sebenarnya al-murabahah adalah kontrak jangka pendek dengan sekali
akad.Al-Murabahah tidak dapat diterapkan untuk skema modal
kerja.Akad murabahah lebih sesuai untuk skema tersebut.Hal ini
mengingat prinsip murabahah memiliki fleksibelitas yang tinggi.
Manfaat bai’ al-murabahah :
Bai’ al-murabahah memberi banyak manfaat kepada bank
syariah.Salah satunya adalah adanya keuntungan yang muncul dari
selisih harga beli dari penjual dengan harga jual kepada nasabah.Selain
itu, sistemnya juga sangat sederhana.Hal tersebut memudahkan
penangan administrasinya di bank syariah.
b. Pembiayaan dengan prinsip sewa. Meliputi ijarah dan ijarah muntahiya bit
tamlik.

14
Adapun Pengertiannya yaitu:
a) Ijarah
Ijarah adalah upah sewa yang diberikan kepada seseorang yang
telah mengerjakan satu pekerjaan sebagai balasan atas pekerjaannya itu,
baik yang dilakukan berbentuk barang ataupun jasa.Pendapat yang
diterima dari transaksi ijarah disebut ujrah.Al-Ujrah ialah imbalan yang
diperjanjikan dan dibayar oleh pengguna manfaat sebagai imbalan atas
manfaat yang diterimainya.
Jenis-jenis ijarah menurut obyeknya ada 2:
1. Ijarah dimana objeknya manfaat dari barang, seperti sewa mobil,
sewa rumah, dan lain-lain.
2. Ijarah dimana objeknya adalah manfaat dari tenaga seseorang seperti
jasa taxi, jasa guru, dan lain-lain.10
Rukun ijarah:
1. Penyewa
2. Pemberi sewa
3. Objek sewa
4. Harga sewa
5. Manfaat sewa
6. Ijab qobul
b) Ijarah Muntahiya Bit Tamlik
IMB adalah transaksi ijarah yang diikuti dengan proses perpindahan
hak kepemilikan atas barang itu sendiri. Transaksi IMB merupakan
pengembangan transaksi ijarah untuk mengakomondasi kebutuhan
pasar.Karena merupakan pengembangan dari transaksi ijarah, maka
ketentuannya mengikuti ijarah.IMB memiliki banyak bentuk,
bergantung pada apa yang disepakati kedua pihak yang berkontrak.
Misalnya, al-ijarah dan janji menjual; nilai sewa yang mereka temukan

10
Musthafa Dib Al-Bugha, Buku Pintar Transaksi Syariah (Jakarta: Hikmah, 2009), 145.

15
dalam al-ijarah; harga barang dalam transaksi jual; dan kapan
kepemilikan dipindahkan.
Perpindahan kepemilikan barang dalam transaksi IMB dapat
dilakukan dengan cara:
1. Hibah, yakni transaksi ijarah yang diakhiri dengan perpindahan
kepemilikan barang dengan cara hibah dari pemilik objek sewa
kepada penyewa.
2. Promise To Sell (janji menjual), yakni transaksi ijarah yang diikuti
dengan janji menjual barang obyek sewa dari pemilik obyek sewa
kepada penyewa dengan harga tertentu.
Rukun IMB :
1. Penyewa
2. Pemberi sewa
3. Obyek sewa
4. Harga sewa
5. Manfaat sewa
6. Ijab qobul
Manfaat dan risiko yang harus diantisipasi :
Manfaat dari transaksi ini untuk bank adalah keuntungan sewa dan
kembalinya uang pokok.Adapun risiko yang mungkin terjadi adalah
sebagai, berikut.
1. Default, nasabah tidak membayar cicilan dengan sengaja.
2. Rusak, asset ijarah rusak sehingga menyebabkan biaya pemeliharaan
bertambah, terutama bila disebut dalam kontrak bahwa pemeliharaan
harus dilakukan oleh bank.
3. Berhenti, nasabah berherti ditengah-tengah kontrak dan tidak mau
memberi asset tersebut. Akibatnya, bank harus menghitung kembali
keuntungan dan mengembalikan sebagaian keuntungan kepada
nasabah.
Aplikasi dalam perbankan IMB :

16
Bank dapat melakukan leasing, baik operating lease maupun
financial lease.Akan tetapi pada umumnya, bank-bank tersebut lebih
banyak menggunakan IMB karena lebih sederhana dari sisi
pembukuan.Selain itu, bank pun tidak direpotkan untuk mengurus
pemeliharaan asset, baik pada saat leasing maupun sesudahnya.
D. Produk Pelayanan Jasa (Service)
Pelayanan jasa bank merupakan produk jasa bank yang diberikan
kepada nasabah untuk memenuhi kebutuhannya. Bank menwarakan produk
jasa dengan tujuan memberikan pelayanan kepada nasabah bank atau pihak
yang memerlukannya. Berbagai jenis produk pelayanan jasa yang dapat
ditawarkan oleh bank syariah, antara lai; jasa pengiriman uang (transfer),
pemindah bukuan, penagihan surat berharga, kliring, letteror credit, inkanso,
gransi bank, dan pelayanan jasa bank lainnya.
Tujuan pemeberian jasa-jasa bank ini adalah mendukung dan
memperlancar kedua kegaiatan utamanya, yaitu kegiatan usaha menghimpun
dana dari dan kepada masyarakat.
Dalam pelayanan jasa ini terdapat beberapa jenis diantaranya ;
a. Wakalah
Wakalah merupakan salah satu perjannian yang memberikan kuasa
orang yang mewakili kepada wakil untuk menjalankan suatu kerja bagi
pihak diwakili itu.
Wakalah (deputyship) atau bisa disebut perwakilan adalah pelimpahan
kekuasaan oleh satu pihak (muwakil) atau pihak lain (wakil) dalam hal-hal
yang boleh diwakilkan. Atas jasanya, penerima kekuasaan dapat meminta
imbalan tertentu dari pemberi amanah.
Rukun Wakalah :
a) Pemberi kuasa (muwakil)
b) Penerima kuasa (wakil)
c) Objek yang dikuasakan (taukil)
d) Ijab qabul (shigat)

17
Wakalah terbagi menjadi dua jenis, yaitu sebagai berikut :
a) Wakalah Muthlaqoh, yaitu wakalah yang tidak terikat dengan syarat
tertentu (selain dari syarat yang ditetapkan Islam) tidak terbatas waktu,
dan tidak terikat dengan keadaan tertentu.
b) Wakalah Muqaiyadah, yaitu wakalah yang terikat dengan syarat
tertentu, atau terbatas waktu, atau terikat dengan syarat tertentu.
b. Kafalah
Kafalah adalah bank garansi digunakan untuk menjamin pembayaram
suatu kewajiban pembayaran. Bank dapat mempersyaratkan nasabah untuk
menempatkan sejumlah dana untuk fasilitas ini sebagai rahn.
Adapun rukun kafalah adalah:
a) Pihak penjamin (kaafil)
b) Pihak yang dijamin (makful)
c) Objek penjamin (makful alaih)
d) Ijab qabul (shigat)
Syarat-syarat dari akad kafalah, yaitu :
a) Objek akad harus jelas dan dapat dijaminkan
b) Tidak bertentangan dengan syariat Islam.
Jenis-jenis kafalah adalah sebagai berikut :
a) Kafalah bi an-nafs yaitu akad memberikan jaminan atas dirinya
(personal guarantee).
b) Kafalah bi al-mal yaitu jaminan pembayaran utang atau pelunasan
utang.
c) Kafalah bit taslim yaitu akad menjamin pengembalian atas barang yang
disewa pada waktu masa sewa berakhir.
d) Kafalah al-munjazah yaitu jaminan mutlak yang tidak dibatasi oleh
jangka waktu tertentu dan untuk kepentingan/ tujuan tertentu.

18
e) Kafalah al-mualaqah yaitu penyederhanaan dari kafalah al-
munjazah,yakni jaminan dibatasi hanya untuk jangka waktu tertentu.11
c. Sharf
Ash Sharf adalah jual beli mata uang. Asalanya mata uang hanya emas
dan perak, uang emas disebut dinar dan uang perak disebut dirham. Mata
uang dari kedua jenis itu disebut mata uang instrinsik. Zaman sekarang,
mata uang juga beberntuk nikel, tembaga dan kertas yang dibeli nilai
tertentu. Mata uang dari jenis-jenis tersebut disebut mata uang menurut
nominal.
Rukun sahrf :
a) Penjual (Ba’i)
b) Pembeli (musytari’)
c) Mata uang yang diperlukan (sharf)
d) Nilai tukar (si’rus sharf)
e) Ijab qabul (shigat)
Tukar menukar mata uang boler terjadi diantaranya :
a) Jenis logam yang sama (emas dengan emas, perak dengan perak)
b) Jenis logam yang berlainan (emas dengan perak, emas dengan nikel)
c) Logam dengan uang kertas (emas dengan kertas)
d) Uang kertas dengan uang kertas (selembar uang Rp 10.000,00 dengan
beberapa uang lembar ribuan)
Tukar menukar mata uang atau jual beli mata uang hukumnya jaiz (boleh)
dengan syarat :
a) Jika mata uang yang ditukar itu emas dengan emas atau perak dengan
perak, harus sma berat atau sama timbangan dan penyerahan barangnya
dilakukan pada waktu yang sama.
b) Jika mata uang yang ditukar itu emas dengan perak, penyerahan
barangnya harus dilakukan pada waktu yang sama.

11
Muhammad,Sistem dan Prosedur Operasional Bank Syari’ah (Yogyakarta: UII Perss,
2000), 230.

19
Prinsipnya jual beli valuta asing yang sejalan dengan prinsip syariah
adalah apabaila yang diperlukan adalah mata uang yang sama, nilai
mata uang tersebut harus sama dan penyerahannya juga dilakukan pada
wkatu yang sama (spot). Apabila yang dipertukarkan adalah mata uang
yang berbeda, nilai tukar uang tersebut ditentukan berdasarkan
kesepakatan/harga pasar dan diserahterimakan secara tunai (spot).
d. Hiwalah
Hiwalah atau hiwalah adalah akad pengalihan utang dari pihak yang
berutang kepada pihak lain yang wajib menanggung (membayar)-nya.
Hiwalah adalah pengalihan hutang dari orang yang berhutang kepada
orang lain yang wajib menanggungnya (artinya ada satu pihak yang
menjamin hutang pihak lain). Menurut Bank Indonesia hawalah adalah
akad pemindahan piutang nasabah (muhil) kepada bank (muhal ‘alaih) dari
nasabah lain (muhal). Nasabah meminta bank untuk membayarkannya
terlebih dahulu piutang yang timbul dari jual-beli. Pada saat piutang
tersebut jatuh tempo, muhal akan membayar kepada bank. Bank
memperoleh imbalan sebagai jasa pemindahan.
Rukun hawalah ada 6
1. Pihak yang berhutang (muhil)
2. Pihak yang berpiutang (muhal)
3. Pihak yang berhutang dan berkewajiban membayar hutang kepada
muhil (muhal ‘alaih)
4. Hutang muhil kepada muhal (muhal bih)
5. Hutang muhal ‘alaih kepada muhil
6. Ijab qobul
Jenis hawalah berdasarkan obyeknya ada dua yakni:
1. Hawalah ad-dain, yakni hawalah dimana obyeknya adalah hutang.
2. Hawalah al-haq, yakni hawalah dimana obyeknya adalah piutang atau
hak penagih.
Dalil tentang HIwalah
1. Hadist
Dalam HR Bukhari yang isinya: “Menunda pembayaran bagi orang
yang mampu adalah suatu kezaliman. Dan jika salah seorang dari kamu
diikutkan (dihawalahkan) kepada orang yang mampu/kaya, maka
terimalah hawalah itu.”

20
e. Rahn
Rahn adalah menahan salah satu harta milik si peminjam sebagai
jaminan atas pinjaman yang diterimanya. Menurut Bank Indonesia rahn
adalah akad penyerahan barang/harta dari nasabah kepada bank sebagai
jaminan sebagian atau seluruh utang. Rahn secara bahasa dapat diartikan
sebagai (al stubut,al habs) yaitu penetapan dan penahanan.12
Rukun dan syarat rahn
Dalam melaksanakan suatu perikatan terdapat rukun dan syarat gadai
yang harus dipenuhi. Secara bahasa rukun adalah yang harus dipenuhi
untuk sahnya suatu pekerjaan. Sedangkan syarat adalah ketentuan
(peraturan, petunjuk) yang harus dipindahkan dan dilakukan. Gadai atau
pinjaman dengan jaminan benda memiliki beberapa rukun, antara lain :
c. Akad (Lafadz)
Kalimat akad misalnya ’’saya rungguhkan ini kepada engkau atas
utangku yang sekian kepada engkau”. Jawab yang berpiutang “ Saya
terima rungguhan ini”.
d. Aqid
Yaitu yang menggadaikan dan yang menerima gadai Adapun syarat
keduanya adalah baligh, berakal dan hendaknya keduanya adalah ahli
tasawuf (berhak membelanjakan hartanya).13
e. Barang yang dijadikan jaminan (borg)
Syarat pada benda yang dijadikan jaminan ialah keadaan barang itu
tidak rusak sebelum janji utang harus dibayar.
f. Adanya hutang
Disyaratkan keadaan utang telah tetap. Apaila utang telah tetap, yang
punya barang tidak boleh menghilangkan miliknya dari barang tersebut.
Baik dengan jalan dijual, diberikan dan sebagainya. Kecuali dengan izin
yang berpiutang.14

12
Dadan Muttaqien, Aspek Legal lembaga Keuangan Syariah (Yogyakarta: Safira Insani
Press, 2009),106-107.
13
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah (Jakarta:PT Grafindo Persada,2001), 162.
14
Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah (Jakarta:Grafindo Persada,2000),122.

21
Syarat Rahn antara lain : 15
1. Rahin dan murtahin
Tentang pemberi dan penerima gadai disyaratkan keduanya
merupakan orang yang cakap untuk melakukan sesuatu perbuatan
hukum sesuai dengan ketentuan syari'at Islam yaitu berakal dan baligh.
2. Sighat
Ulama hanafiyah berpendapat bahwa sighat dalam rahn tidak boleh
memakai syarat atau dikaitkan dengan sesuatu. Hal ini karena sebab
rahn jual beli, jika memakai syarat tertentu, syarat tersebut batal dan
rahn tetap sah.
3. Marhun bih (utang)
Menyangkut adanya utang, bahwa utang tersebut disyaratkan
merupakan utang yang tetap, dengan kata lain utang tersebut bukan
merupakan utang yang bertambah-tambah atau utang yang mempunyai
bunga, sebab seandainya utang tersebut merupakan utang yang
berbunga maka perjanjian tersebut sudah merupakan perjanjian yang
mengandung unsur riba, sedangkan perbuatan riba ini bertentangan
dengan ketentuan syari'at Islam.
Dalil Al-Qur’an dan Hadis tentang rahn
1. Al-Qur’an
Dalam QS Al-Baqarah ayat 283 yang artinya : “Jika kamu dalam
perjalanan (dan tidak bermuamalah dengan secara tunai) sedang kamu
tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang
tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang).”
2. Hadist
Dalam HR Bukhari, Ahmad Nasa’I dan Ibnu Majah yang isinya: “Dari
Aisyah r.a bahwa Rasulullah membeli makanan dari seorang Yahudi dan
menjaminkan kepadanya baju besi.”
Dalam HR Bukhari, Ahmad Nasa’I dan Ibnu Majah yang isinya: “Dari
Anas r.a. berkata: “Rasulullah menggadaikan baju besinya kepada
seorang Yahudi di Madinah dan mengambil darinya gandum untuk
keluarga beliau.”
Aplikasi Rahn dalam Lembaga Keuangan Syariah
Rahn merupakan produk penunjang sebagai alternatif pegadaian.
terutama untuk membantu nasabah dalam memenuhi kebutuhan
insidentilnya yang mendesak. Terkait dengan rahn dalam praktik

15
Ahmad Sarwat, Fikih sehari-hari (Jakarta:PT Gramedia,2002), 92.

22
perbankan syariah, bank tidak menarik manfaat apa pun, kecuali biaya
pemeliharaan dan keamanan atas barang yang digadaikan. Akad rahn dapat
pula diaplikasikan untuk memenuhi permintaan bank akan jaminan
tambahan atas suatu pemberian fasilitas pembiayaan kepada nasabah.16
Kontrak rahn dipakai dalam perbankan dalam dua hal berikut, rahn dipakai
sebagai produk pelengkap, artinya sebagai akad tambahan (jaminan atau
collateral) terhadap produk lain seperti dalam pembiayaan ba’i aI-
murabahah. Bank dapat menahan barang nasabah sebagai konsekuensi
akad tersebut. Di beberapa negara islam termasuk di antaranya malaysia,
akad rahn telah dipakai altematif dari penggadaian konvensional. Bedanya
dipungut dari nasabah adalah biaya penitipan, pemeliharaan, penjagaan.
serta penaksiran. Perbedaan utama anatara biaya rahn dan bunga pegadaian
adalah dari sifat bunga yang bisa berakumulasi dan berlipat ganda,
sedangkan biaya rahn hanya sekali dan ditetapkan di muka.17

BAB III
16
Veithzal Rivaidan Andrea Permata Veitzal, Fiqh muamalah Kontemporer, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2006), 201.
17
Ibid, 202.

23
PENUTUP
A. Kesimpulan
Bank pada dasarnya adalah entitas yang melakukan penghimpunan
dana dari masyarakat dalam bentuk pembiayaan atau dengan kata lain
melaksanakan fungsi intermediasi keuangan. Dalam sistem perbankan di
Indonesia terdapat dua macam sistem operasional perbankan yaitu bank
konvensional dan bank syariah. Sesuai UU No. 21 tahun 2008 tentang
perbankan syariah, bank syariah adalah bank yang menjalankan kegiatan
usaha berdasarkan prinsip syariah.
Prinsip operasional bank syariah yang telah diterapkan secara luas
dalam penghimpunan dana masyarakat adalah prinsip Wadi’ah dan
Mudharabah.
Menurut Veithzal Rivai dan Andria (2008), istilah pembiayan pada
intinya berarti belive, trust atau percaya, menaruh kepercayaan. Perkataan
pembiayaan yang berarti (trust) berarti lembaga pembiayaan selaku shabil
al’mal menaruh kepercayaan kepada seorang untuk melakukan amanah
dengan benar, adil dan harus disertai dengan ikatan dan syarat-syarat yang
jelas dan saling menguntungkan bagi kedua belah pihak.
Pelayanan jasa bank merupakan produk jasa bank yang diberikan
kepada nasabah untuk memenuhi kebutuhannya. Bank menwarakan produk
jasa dengan tujuan memberikan pelayanan kepada nasabah bank atau pihak
yang memerlukannya. Berbagai jenis produk pelayanan jasa yang dapat
ditawarkan oleh bank syariah, antara lai; jasa pengiriman uang (transfer),
pemindah bukuan, penagihan surat berharga, kliring, letteror credit, inkanso,
gransi bank, dan pelayanan jasa bank lainnya.

DAFTAR PUSTAKA

24
M, Andianto Anang Firmansyah. 2010. Manajemen Bank Syariah: Implementasi
Teori dan Praktek. Jakarta: Qaira Media Partner.

Syafii, Muhammad Antonio. 2001. Bank Syariah Dari Teori Ke Praktik. Jakarta:
Gema Insani.

Zulkifli, Sunarto. 2003. Panduan Praktis Transaksi Perbankan Syariah. Jakarta: Zikrul
Hakim.

Dib, Musthafa Al-Bugha. 2009. Buku Pintar Transaksi Syariah. Jakarta: Hikmah.

Muhammad. 2000. Sistem dan Prosedur Operasional Bank Syari’ah. Yogyakarta: UII
Perss.

Sabiq, Sayyid. 2001. Fikih Sunnah. Jakarta:PT Grafindo Persada.

Suhendi, Hendi. 2000. Fiqih Muamalah. Jakarta:Grafindo Persada.

Sarwat, Ahmad. 2002. Fikih sehari-hari. Jakarta:PT Gramedia.

Rivaidan, Veithzal Andrea Permata Veitzal. 2006. Fiqh muamalah Kontemporer.


Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Ismail. 2017. Perbankan Syariah. Jakarta: Kencana.

Ghafur, Abdul Anshari. 2007. Perbankan Syariah di Indonesia. Yogyakarta : Gadjah


Mada University Press.

Ismail. 2017. Perbankan Syariah. Jakarta: Kencana.

Susila, Jaka. 2016. Fiduciary dalam Produk-Produk Perbankan Syariah. Jurnal Ilmu
Syari’ah dan Hukum, Vol. 1, Nomor. 2.

Nofinawati. 2014. Akad dan Produk Perbankan Syariah. Jurnal Fitrah, Vol. 08, No.
2, Juli.

Arifin, Zainul. 2002. Dasar-Dasar Manajemen Bank Syariah, Cet. 1. Jakarta: Alvabet.

Anwar, Syamsul. 1995. Permasalahan Produk-produk Bank Syariah: Studi Tentang


Ba’i Mu’ajjal. Yogyakarta: P3M IAIN Sunan Kalijaga.

25

Anda mungkin juga menyukai