Anda di halaman 1dari 5

Kebijakan Jokowi Dalam Mengatasi Corona

Farida Nurul Azizah, PS-F


931421618

Dalam seminggu lebih ini, sebuah virus yang dikabarkan bermula di


Wuhan, Hubei, Tiongkok, kini mulai merongrong beberapa daerah di Indonesia.
Jumlah pasien yang secara positif terjangkit oleh virus Corona (Covid-19) terus
bertambah dari hari ke hari.
Jakarta,Detiknews.com-- Kasus positif virus corona (COVID-19) di
Indonesia sudah mencapai angka 10.551 hari ini. Kasus positif Covid-19 paling
banyak berasal dari DKI Jakarta. Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan
Wabah Virus Corona, Achmad Yurianto, dalam konferensi pers yang ditayangkan
YouTube BNPB mengatakan bahwa yang sudah dikonfirmasi positif ada 10.551
orang. Jumlah pasien yang sembuh dari COVID-19 turut bertambah menjadi
1.591 orang. Sedangkan jumlah pasien yang meninggal sebanyak 800 orang.
Pemerintah baik di pusat maupun di daerah akhirnya mulai mengambil
beberapa langkah dalam menghadapi penyebaran penyakit ini. KOMPAS.com--
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan misalnya, mengambil beberapa langkah
tanggap seperti dengan membentuk Tim Tanggap Covid-19 dan memberlakukan
pembatasan kegiatan di luar rumah. Begitu juga dengan pemerintah pusat,
Presiden Joko Widodo (Jokowi) melalui Keputusan Presiden (Keppres) No. 7
Tahun 2020 tentang Gugus Tugas Percepatan Penanganan Corona Virus Disease
2019 (Covid-19) – disusul dengan Keppres No. 9/2020 yang membahas mengenai
beberapa perubahan struktural. (KOMPAS.com)
Ekbis.sindonews.com-- Presiden Jokowi menyalurkan kewenangan
pemberian izin edar dan impor alat kesehatan kepada Ketua Pelaksana Gugus
Tugas, yakni Ketua Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Doni
Monardo. Kewenangan tersebut berbentuk mandat pemberian pengecualian
perizinan tata niaga impor terkait alat kesehatan Covid-19. Kebijakan tersebut
ditujukan untuk mempercapat penanganan pandemi Covid-19. Namun, bukan
tidak mungkin keputusan itu juga didasarkan pada kurangnya ketersediaan alat
kesehatan yang dibutuhkan oleh tenaga medis dan masyarakat dalam menghadapi
pandemi ini
www.bbc.com,-- alat pelindung diri (APD) dan alat medis lainnya
dilaporkan tengah mengalami kelangkaan. Tak hanya publik yang harus merugi
akibat mahalnya alat-alat kesehatan itu, tenaga-tenaga medis yang menjadi ujung
tombak penanganan wabah menjadi pihak yang paling dirugikan. Hal yang
tentunya menimbulkan kekhawatiran ini nyatanya baru direspon serius pemerintah
setelah beberapa kasus bermunculan. Tawaran bantuan Singapura untuk alat
medis misalnya, baru ditanggapi seminggu kemudian oleh pemerintahan Jokowi.
Selain itu, wabah ini sebenarnya telah lama muncul di beberapa negara tetangga
semenjak Januari dan Februari lalu.
Dari berita- berita diatas bisa ditari sebuah pertanyaan tentang keseriusan
pemerintah dalam penanganan covid-19 .Mengapa pemerintah terkesan terlambat?
Apakah kebijakan tersebut menandakan kebijakan publik yang buruk?
Kebijakan Publik
Kebijakan publik terdengar bukan sesuatu hal yang mudah dipahami oleh
khalayak umum. Namun, tanpa kita sadari, kebijakan publik yang dikeluarkan
oleh pemerintah sebenarnya turut memengaruhi banyak aspek dalam kehidupan
masyarakat. Kebijakan publik adalah suatu aturan yang mengataur kehidupan
bersama yang harus ditaati dan berlaku mengikat seluruh warganya. (Nugraha
R.,2004; 1-7) . Dikutip dari pendapat B. Guy Peters – profesor Ilmu Politik dari
University of Pittsburgh, Amerika Serikat (AS) – dalam bukunya yang
berjudul Advanced Introduction to Public Policy mendefinisikan kebijakan publik
itu sendiri sebagai serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah guna
mengubah ekonomi dan masyarakat. Kebijakan Publik sangat berkaitan dengan
administrasi negara ketika publik aktor mengkoordinasikan seluruh kegiatan yang
berkaitan dengan tugas dalm rangka memenuhi berbagai kebutuhan masyarakat
melalui berbagai kebijkan publik/ umum untuk memenuhi kebutuhan masyarakat
dan negara. Tentunya, dalam penentuan kebijakan publik ini, berbagai proses bisa
saja terjadi. proses-proses ini bisa diamati melalui berbagai pendekatan teoretis
dalam studi Kebijakan Publik, yakni teori elite yang menekankan pada dominasi
kelompok elite berkuasa dalam pengambilan kebijakan publik, teori kelompok
(group theory) yang menekankan pada pertentangan antarkelompok, teori sistem
(systems theory) yang menekankan pada kinerja sistem politik, teori institusional
(institutional theory) yang berfokus pada aspek legal dan formal pembuatan
kebijakan publik, incremental theory yang berfokus pada perubahan kecil dalam
kebijakan publik, dan rational-choice theory yang didasarkan pada analisis cost-
benefit.
Lantas, bagaimana dengan kebijakan publik yang diberlakukan oleh
pemerintahan Jokowi dalam menangani Covid-19? Bagaimanakah proses
pengambilan kebijakan tersebut dilakukan berdasarkan pendekatan-pendekatan
tersebut?
Mungkin, kebijakan pemerintah dalam menghadapi Covid-19 dapat
didasarkan pada rational-choice theory. Pasalnya, dalam beberapa kesempatan,
sebelumnya Presiden Jokowi memutuskan untuk tak membuka informasi soal
penanganan Covid-19 ke publik karena beberapa alasan, yakni meminimalisir
kepanikan masyarakat. Selain itu, Presiden Jokowi juga menekankan tidak
adanya kebijakan lockdown (karantina wilayah) karena menimbang dampak-
dampak lainnya, khususnya dampak sosial dan dampak ekonomi. Maka dari itu,
mantan Wali Kota Solo tersebut menyatakan bahwa kebijakan dan kondisi setiap
negara berbeda – bila dibandingkan dengan negara-negara lain yang telah
menerapkan lockdown.
Bukan tidak mungkin pemerintah melakukan pertimbangan atas alternatif-
alternatif kebijakan penanganan lainnya. Dalam hal ini, Jokowi boleh jadi merasa
alternatif kebijakan yang dapat meminimalisir kerugian ekonomi lebih penting
secara rasional.
Soal penurunan jumlah wisatawan mancanegara akibat pandemi Covid-19
misalnya, sempat dianggap menjadi fokus yang lebih diutamakan oleh pemerintah
meski bahaya pandemi tersebut telah menghantui. Pasalnya, pemerintah Jokowi
lebih memilih untuk mempromosikan turisme Indonesia di luar negeri – melalui
kerja sama dengan beberapa influencer  – daripada untuk menciptakan kebijakan
antisipatif.
Namun, apakah rasionalisasi kebijakan publik seperti ini benar?
Mungkinkah pemerintah salah hitung dalam membuat kebijakan penanganan
pandemi Covid-19?
Kegagalan Kebijakan Publik?
Kemungkinan akan adanya kesalahan dalam pengambilan kebijakan
publik bukanlah hal yang aneh. Bagaimana pun juga, kebijakan publik sendiri
mempunyai beberapa batasan.
Mungkin, inilah yang disebut oleh Bernardo Mueller dari University of
Brasilia sebagai sistem kompleks (complex system) dalam tulisannya yang
berjudul Why Public Policies Fail. Sebagai nature (sifat alamiah), Mueller
menjelaskan bahwa kompleksitas kebijakan publik memiliki lima patologi atau
hambatan.
Lima patologi yang dimaksud oleh Mueller adalah tidak linearnya
kebijakan publik, tidak adanya ekuilibrium dalam kebijakan publik, evolusi dan
ko-evolusi kebijakan publik, adanya bias kognitif dalam kebijakan publik, serta
reaktivitas kebijakan publik.
Lalu, apakah mungkin patologi-patologi tersebut turut menyertai kebijakan
pemerintahan Jokowi dalam menangani ancaman pandemi Covid-19?
Bukan tidak mungkin patologi-patologi yang disebutkan oleh Mueller tadi
turut menyertai kebijakan publik pemerintahan Jokowi dalam menangani pandemi
Covid-19 sehingga kebijakan publik yang diambil justru berujung pada
konsekuensi yang dapat dianggap buruk.
Pasalnya, fokus pemerintah yang terlalu menitikberatkan pada
ekonomi boleh jadi membuat publik semakin reaktif. Mengacu pada penjelasan
Mueller, dengan adanya pertanyaan-pertanyaan dari publik terkait kebijakan
pemerintah yang memutuskan untuk menutupi informasi dan tidak
memberlakukan lockdown, masyarakat akan terus-menerus mengubah
perilakunya.
Panic-buying misalnya, menandakan bahwa publik akan mengadaptasikan
perilakunya dengan situasi yang ada. Hal ini akhirnya dapat berujung pada
patologi yang pertama, yakni non-linearitas kebijakan publik.
Mueller menjelaskan bahwa kebijakan publik secara non-linear dapat
memunculkan fenomena lain. Soal tingginya permintaan alat-alat kesehatan
misalnya, menciptakan fenomena dan dampak lain – seperti tingginya harga dan
kelangkaan alat-alat kesehatan.
Kompleksitas dan kegagalan kebijakan ini tentunya dapat saja
berpengaruh dengan upaya pemerintah selanjutnya yang mengalihkan
kewenangan izin impor alat kesehatan ke BNPB.
Bisa dibilang kebijakan ini sedikit terlambat. Pasalnya, kelangkaan alat
kesehatan di banyak negara yang disebabkan oleh pandemi Covid-19 ternyata bisa
saja malah merugikan pemerintah dan masyarakat Indonesia sendiri. Tak hanya
soal kelangkaan, nilai tukar Rupiah (sekitar Rp 16.400 per satu dollar AS saat ini)
bukan tidak mungkin turut menjadi penghambat bagi kebijakan impor – meski
terdapat insentif tertentu bagi impor alat kesehatan. Hampir seluruh alat-alat
kesehatan Indonesia merupakan produk impor. Dengan melemahnya nilai Rupiah,
impor sendiri bisa saja menurun dalam beberapa waktu mendatang.
Maka dari itu, pada intinya, kebijakan-kebijakan publik pemerintah untuk
berfokus pada ekonomi dalam menangani pandemi Covid-19 bisa saja memiliki
kegagalan dan kesalahan. Dan, bukan tidak mungkin, kebijakan itu berimplikasi
pada konsekuensi-konsekuensi lainnya.
Boleh jadi, pemerintah perlu memperbaiki kembali arah kebijakan
publiknya. Mueller juga mengatakan bahwa kebijakan yang buruk dapat
diperbaiki dengan upaya yang lebih, sumber (resources), dan kemauan yang baik
(good will). Mari kita tunggu upaya perbaikan tersebut.

Anda mungkin juga menyukai