Anda di halaman 1dari 41

MAKALAH

LEGALITAS DAN JAMINAN

Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah “Analisis Kelayakan Pembiayaan LKS”

Dosen Pengampu:

Muhammad Iqbal Surya Pratikno, S.Pd, M.SEI

Penyusun:

Nurul Afifah (G74219112

Shofi Hikmatus Zahro (G74219117)

Ulya Syafiqah Mauhibatillah (G74219121)

Zulia Riska Maulani (G74219126)

PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA

2022

i
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmannirrahim

Puji syukur kehadirat Allah swt. yang maha kuasa atas limpahan rahmat-nya sehingga
kami dapat menyelesaikan penulisan makalah sesuai dengan rencana. Sholawat serta salam
semoga tetap terhaturkan kepada baginda Rasulullah saw. yang telah membawa umatnya dari
kegelapan menuju alam yang terang benderang yakni dengan adanya agama islam.

Makalah disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah “Analisis Kelayakan
Pembiayaan LKS” dengan tema “Legalitas dan Jaminan”. Dengan terselesaikannya penulisan
makalah ini, kami mengucapkan terimakasih kepada:

1. Allah swt. karena hanya dengan seizin-Nya makalah kami dapat terselesaikan.
2. Muhammad Iqbal Surya Pratikno, S.Pd, M.SEI
3. Serta semua pihak yang terlibat dalam penyusunan makalah ini. Baik secara
langsung atau tidak secara langsung.

Saya menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam Menyusun tugas makalah
ini. Oleh karena itu, saya mengharap kritik dan saran dari pembaca untuk kesempurnaan
penulisan makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis maupun pembaca.
Amiin.

Surabaya, 23 April 2022

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................................ii

DAFTAR ISI.....................................................................................................................iii

BAB I.................................................................................................................................1

PENDAHULUAN.............................................................................................................1

A. Latar Belakang.............................................................................................................1

B. Rumusan Masalah.......................................................................................................1

C. Tujuan..........................................................................................................................1

BAB II................................................................................................................................2

PEMBAHASAN................................................................................................................2

A. Pengertian Legalitas Dalam Ekonomi Islam...............................................................2

B. Asas Legalitas Dalam Hukum Pidana Islam...............................................................2

C. Legalitas Akad Syariah................................................................................................5

D. Pengertian Jaminan Dalam Ekonomi Islam................................................................7

E. Jaminan Dalam Pembiayaan Pada Perbankan Syariah..............................................10

F. Risiko Pembiayaan pada Perbankan Syariah............................................................11

D. Penerapan Jaminan pada Pembiayaan Musyarakah dan Mudarabah dalam Perpsektif


Fikih Muamalat.................................................................................................................12

G. Jaminan Kebendaan Dalam Hukum Positif Indonesia..............................................17

H. Pengikat Jaminan.......................................................................................................29

BAB III............................................................................................................................35

PENUTUP.......................................................................................................................35

A. Kesimpulan................................................................................................................35

DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................36

iii
iv
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur telah dilakukan
berbagai usaha oleh pemerintah. Salah satu usaha tersebut adalah meningkatkan dan
menyempurnakan pembinaan hukum nasional dalam rangka pembaharuan hukum
dengan mengadakan kodifikasi dan unifikasi hukum. Pembinaan dan pembaharuan
hukum ini diarahkan agar dapat memantabkan hasil-hasil pembangunan yang telah
dicapai untuk lebih mantab, sehingga setiap anggota masyarakat dapat menikmati
suasana serta iklim ketertiban dan kepastian hukum yang berintikan keadilan.
Perkembangan yang sedemikian pesat dalam bidang ekonomi membutuhkan
perlengkapan dalam bidang hukum. Seperti dijelaskan di atas dalam rangka
pembangunan ekonomi Indonesia bidang hukum diantaranya adalah lembaga
jaminan. Karena perkembangan ekonomi dan perdagangan akan diikuti oleh
perkembangan kebutuhan akan kredit dan pemberian fasilitas kredit itu membutuhkan
jaminan demi keamanan pemberian kredit tersebut.

Kegiatan perekonomian masyarakat merupakan hal yang sangat umum.


Kegiatan tersebut pada akhirnya membutuhkan fasilitas kredit untuk menjalankan
usahanya. Bagi pemberi kredit untuk menjalankan usahanya. Bagi pemberi kredit
akan dilaksanakan apabila terdapat jaminan pemberian kredit.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari legalitas dan jaminan?
2. Apa saja asas legalitas dalam islam?
3. Bagaimana jaminan kebendaan dalam hukum positif di Indonesia?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian dari legalitas dan jaminan
2. Untuk mengetahui apa saja asas legalitas dalam islam
3. Untuk mengetahui bagaimana jaminan dalam hukum positif di Indonesia

1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Legalitas Dalam Ekonomi Islam
Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, legalitas merupakan suatu perihal atau
keadaan yang sah. Namun legalitas dalam islam memiliki arti bentuk hubungan
kegiatan muamalah antara dua orang atau lebih yang mengatur perilaku antara
keduanya, dimana hubungan tersebut berdasarkan prinsip dari agama islam. Adapun
kegiatan yang dimaksud dalam legalitas yaitu kegiatan dalam ruang lingkup
perekonomian yang mana semuanya telah diatur kedalam undang-undang perbankan
syariah.1
Asas legalitas merupakan suatu prinsip dimana suatu perbuatan bisa dianggap
melanggar hukum jika waktu peristiwa tersebut terjadi setelah ada peraturan yang
melarangnya. Meskipun pada dasarnya asas legalitas dalah suatu istilah hukum
modern, namun ajaran Islam juga menjunjung tinggi asas tersebut. Hal tersebut dapat
dilihat dalam ajaran al-Qur’an yang menjelaskan, bahwa Allah swt. Tidak akan
menyiksa seseorang dalam arti belum dianggap melanggar hukum, kecuali setelah ada
peraturan yang melarang atau mengaturnya. Oleh karena itu sebelum datang al-
Qur’an, umat manusia belum diminta pertanggungjawaban atas perbuatan-
perbuatannya, kecuali masyarakat yang pernah dijangkau oleh kewenangan dakwah
para Rasul sebelumnya (Q.S. al-Isra ayat 15).2

B. Asas Legalitas Dalam Hukum Pidana Islam


Asas legalitas diciptakan oleh Paul Johan Anslem von Feuerbach (1775-
1833), seorang sarjana hukum pidana Jerman dalam bukunya Lehbruch des penlichen
rehct pada tahu 1801 (Andi Hamzah, 2008: 40). Dimana sejarah asas legalitas pertama
dikenal pada abad 18, yaitu sesudah revolusi perancis tahun (1789), sebelumnya
hakim-hakim mempunyai kekuasaan besar dalam kewenangan memutuskan hukuman
(Moelyatno, 2002: 7). Asas legalitas dalam bahasa latin: Nullum delictum nulla poena
sine praevia lege poenali, yang artinya “Tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa
ketentuan pidana yang mendahuluinya” (Andi Hamzah, 2008: 39). jadi dapat
diketahui asas legalitas tersebut untuk melindugi individu dari kesewenang-wenangan
1
Faried, Femmy Silaswaty, Legalitas Akad Syariah Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93 / Puu-X /
2012 Tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 , Tentang Perbankan Syariah Tahun 1945’,
Jurnal Repertorium, No. 3, 2015, Hal. 81.
2
Ajun, diakses dari (https://pa-kotabumi.go.id/standar-a-maklumat-pelayanan-pengadilan/175-asas-legalitas-
dalam-islam.html), pada tanggal (13 April), pukul (10.00 WIB)

2
dalam hukuman yang dijatuhkan oleh hakim maupun dari penguasa, hal ini dapat
dilihat juga dalam situasi dan kondisinya lahirnya asas legalitas tersebut karena aliran
klasik.3
Asas legalitas lebih awal sudah dikenal karena adanya sama dengan
diwahyukan agama Islam kepada Rasulullah SAW, pada hukum pidana Islam/Jinayat
sejak al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW yang di dalamnya tersurat
dalam beberapa surat dalam al-Qur’an salah satunya surat al-Isra’ ayat 15:
‫ض ُّل َعلَ ْي َه ۗا‬
ِ َ‫ض َّل فَاِنَّ َما ي‬ ْ ‫َم ِن ا ْهت َٰدى فَاِنَّ َما يَ ْهتَ ِد‬
ِ ‫ي لِنَ ْف‬
َ ْ‫س ٖ ۚه َو َمن‬
“Barangsiapa yang berbuat sesuai dengan hidayah (Allah), maka
sesungguhnya dia berbuat itu untuk (keselamatan) dirinya sendiri; dan barangsiapa
yang sesat maka sesungguhnya dia tersesat bagi (kerugian) dirinya sendiri. Dan
seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain, dan Kami (Allah) tidak
akan meng’azab sebelum kami mengutus seorang Rasul”4
Menurut ayat tersebut di atas, sebelum Allah mengutus seorang Rasul yang
menjelaskan tentang perintah dan larangan yaitu hukum dari Allah SWT, maka Allah
tidak akan menghukum hamba-Nya yang melakukan suatu perbuatan. Dengan kata
lain, sebelum ada ketentuan yang melarang suatu perbuatan, maka perbuatan tersebut
tidak dipandang sebagai perbuatan pidana, dan dengan demikian pelakunya tidak
mendapat hukuman. Hal tersebut sesuai dengan asas legalitas yang dianut hukum
positif di Indonesia, tetapi dalam asas legalitas yang ditunjukkan, ayat tersebut
berpegang dengan jelas pada Rasul dalam menentukan hukum dari Allah SWT untuk
keselamatan dunia dan akhirat dan memiliki pengertian tertentu oleh para Fuqoha
(ahli hukum Islam). Rasul sendiri yang menjelaskan dan memberi tahu al-Qur’an
yang meliputi segala aspek yaitu agama Islam, Hukum Islam yang di dalamnya
mencakup hukum pidana Islam, pada akhirnya Rasul meninggalkan al-Qur’an dan
Hadis.
Dari ayat-ayat al-Qur’an yang menunjukkan asas legalitas di atas para Fuqoha
yaitu para ahli hukum Islam, menjabarkan beberapa kaidah-kaidah fiqhiyyah yang
diantaranya:
1. Hukum asal dari segala perbuatan adalah diperbolehkan hingga ada suatu dalil
yang membedakannya. Maksud kaidah diatas ialah, bahwa pada dasarnya setiap
perbuatan itu boleh atau bebas untuk dilakukan dan pelakunya tidak dimintai
3
Aditya Widyatmoko, Komparasi Asas Legalitas Dalam Hukum Pidana Islam Dan Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP), Paper Knowledge . Toward a Media History of Documents, 2010.
4
Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Quran Dan Terjemahannya. (Surabaya: Mekar Surabaya, 20002).

3
pertanggungjawaban, sehingga ada atau lahir suatu aturan hukum yang
menentukan lain (larangan atau mengharuskan).
2. Perbuatan orang berakal tidak ada hukum apapun terhadapnya sebelum ada nash
(aturan) yang menentukan terhadapnya ini mengandung arti, bahwa setiap
perbuatan mukallaf (yaitu orang yang dapat dibebani suatu tanggung jawab
hukum), tidak dapat dituntut sebagai perbuatan pidana kecuali sebelumnya sudah
ada nash (aturan hukum) yang menentukan perbuatan tersebut sehingga menjadi
perbuatan pidana.
3. Tidak ada suatu perbuatan boleh dianggap sebagai jarimah (tindak pidana), dan
tidak pula suatu hukuman (pidana) yang boleh dijatuhkan kepada pelakunya
kecuali sebelum ada nash (aturan hukum) yang menentukan demikian (Tongat,
2009: 61).

Asas legalitas secara jelas dapat diketahui di dalam Pasal 1 Ayat (1) KUHP yang
berbunyi: “Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan
ketentuan perundangundangan pidana yang telah ada sebelumnya”.

Dari bunyi di atas dapat diketahui isi utama dalam asas legalitas yaitu tindak
pidana harus dirumuskan dalam undangundang, dan undang-undang tersebut harus
ada sebelum tindak pidana dilakukan. Dari isi di atas dapat diuraikan lagi bahwa
makna asas legalitas adalah perbuatan yang dapat dipidana hanya jika diatur dalam
perundang-undangan pidana dan undang-undang yang dirumuskan secara terperinci
dan cermat atau lex certa (Eddy, 2009 : 24-25).

Ada dua macam prinsip atau asas untuk patut tidaknya seseorang dipidana hal ini
terkait dengan adanya hukum tertulis dan hukum tidak tertulis, prinsip atau asas
tersebut adalah:

1. Asas legalitas formal yang sudah dirumuskan secara eksplisit dalam Pasal 1
Ayat (1) KUHP. Asas ini menggariskan, bahwa dasar untuk menentukan patut
tidaknya suatu perbuatan dianggap melawan hukum atau perbuatan pidana,
sehingga karenanya pelakunya dapat dipidana adalah ketentuan dalam UU
yang sudah ada sebelum perbuatan itu dilakukan.
2. Asas legalitas material, prinsip ini tidak dirumuskan secara formal dalam
KUHP, tetapi prinsip ini dipegang teguh oleh masyarakat. Asas legalitas ini
menggariskan bahwa untuk menentukan patut tidaknya suatu perbuatan

4
bersifat melawan hukum atau perbuatan pidana adalah nilai-nilai dalam
bermasyarakat.5

C. Legalitas Akad Syariah


Pengertian legalitas dalam kamus besar bahasa Indonesia, adalah suatu perihal
(keadaan) sah, keabsahan. Jadi tentunya jika melihat legalitas suatu akad maka dapat
ditinjau dari bagaimana akad itu ada, yang kemudian, akad itu dibuat serta bagaimana
akad itu didalam pembuatannya. Berkaitan dengan hal tersebut, sesuai dengan kajian
dalam tesis ini yaitu tentang perikatan Islam yang timbul akibat kesepakatan kedua
belah pihak didalam suatu perhubungan hukum dalam perbankan syariah.
Perikatan Islam yang dimaksud di sini adalah suatu bentuk hubungan kegiatan
muamalah antara dua orang atau lebih yang mengatur perilaku antara keduanya,
dimana hubungan tersebut pada dasarnya didasarkan pada prinsip-prinsip Agama
Islam. Kegiatan yang dimaksud adalah kegiatan dalam lingkup perekonomian yang
kesemuanya diatur dalam UU Perbankan Syariah. Hukum Islam, yang juga diakui
dalam hukum positif di Indonesia, menjadi dasar penerapan hukum perikatan Islam
yang didasarkan pada pelaksanaan perbankan syariah itu sendiri. Pengertian Hukum
Perikatan Islam menurut Tahir Azhary dalam Gemala Dewi, Wirdyaningsih, dan Yeni
Salma Barlinti (Gemala Dewi, Widsyaningsih dan Yeni Barlinti, 2005: 3), adalah
“seperangkat aturan hukum yang bersumber dari Al-Qur’an, As- Sunnah (Hadits) dan
Ar-Ra'yu (ijtihad) yang mengatur tentang hubungan antara dua orang atau lebih
mengenai suatu objek yang halal menjadi objek suatu transaksi. Hukum Perikatan
Islam adalah yang bersumber dari al-Qur’an dan hadis Nabi Muhammad SAW (As-
Sunnah), sedangkan kaidah fiqh berfungsi sebagai pemahaman syariah yang
dijalankan oleh manusia.(ulama Islam) yang merupakan salah satu bentuk ijtihad.
Berlakunya perikatan Islam didalam perbankan syariah tentu saja bersumber
dari hukum Islam dengan tetap melihat kaidah-kaidah didalam hukum perdata, yaitu
didalam KUHPerdata sebagai payung hukum persoalan keperdataan, berdasarkan
aturan peralihan Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan republik Indonesia.
Sebagaimana yang diatur didalam Pasal 1329 KUHPerdata, bahwa tiap orang
berwenang membuat perikatan kecuali jika ia dinyatakan tidak cakap untuk
melakukan hal itu. Berdasarkan isi pasal tersebut maka menjadi dasar bagi setiap

5
Tongat, Hukum Pidana Indonesia Dalam Perspektif Pembaharuan. (Malang: UMM Press, 2009).

5
orang untuk melakukan suatu perikatan, dari sinilah yang memunculkan adanya azas
kebebasan berkontrak.
Berkaitan dengan hal tersebut, dan ditinjau dari akibat hukum serta kekuatan
mengikat hukumnya, maka sebelum putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/ PUU-
X/2012 tentang Pengujian UU Perbankan Syariah terhadap Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Maka akad atau akta yang dibuat oleh
Notaris tidak berimplikasi apapun, akta/akad tersebut tetap memiliki kekuatan hukum
yang mengikat bagi para pihak yang membuatnya, sepanjang akta tersebut sesuai
dengan syarat-syarat yang telah ditentukan sebagaimana yang telah ditulis diatas.
Tetapi masalahnya adalah ketika seseorang kontrak, yang dalam hal terjadi
perselisihan kemudian diserahkan ke lembaga peradilan yang sesuai dengan isi
perjanjian dalam kontrak, sementara perselisihan belum terselesaikan dan belum
mendapatkan vonis, maka ada putusan Mahkamah Konstitusi selanjutnya tentu saja
jelas mempengaruhi perselisihan. Seperti yang tertulis di awal tulisan ini, masalah
penyelesaian sengketa sebelum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
93/PUU-X/2012, Tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008, tentang
Perbankan Syariah Terhadap Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik
Indonesia Tahun 1945 Indonesia, penyelesaian sengketa tersebut dilakukan dengan
dua cara. metode, yaitu litigasi (pengadilan negeri) dan nonlitigasi (di luar
pengadilan), yaitu berdasarkan kesepakatan, musyawarah, basyarnas dan mediasi
perbankan. Sedangkan setelah adanya putusan MK, penyelesaian sengketa hanya
dapat dilakukan melalui pengadilan agama. Hal inilah yang mengakibatkan, apakah
kontrak yang dibuat sebelum putusan MK itu sah. Berdasarkan hal tersebut, menurut
penulis, untuk melihat legalitas suatu kontrak, berikut ini akan dipaparkan:6
1. Akta Notaris dapat dibatalkan dan Batal demi hukum
Akta notaris sebagai kami tahu sesuai dengan KUHPerdata, Pasal 1870,
menyebutkan bahwa ia memiliki kekuatan bukti yang mutlak dan mengikat. Akta
Notaris memiliki kekuatan pembuktian sempurna jadi tidak perlu lagi dibuktikan
dengan alat bukti lain sepanjang ketidakbenaran tidak dapat dibuktikan. Akta
Notaris adalah kesepakatan para pihak yang menjadikannya kondisi yang valid
suatu kesepakatan harus dipenuhi. Syarat sahnya perjanjian terbagi atas syarat
subyektif dan obyektif.
6
Pranoto, ‘Legalitas Akad Syariah Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93 / Puu-X / 2012 Tentang
Pengujian Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 , Tentang Perbankan Syariah Tahun 1945’, Jurnal
Repertorium, No. 3, 2015, Hal. 83-83.

6
a. Syarat subjektif adalah kondisi yang terkait dengan mata pelajaran yang
dipegang perjanjian yang terdiri dari perjanjian dan katakan untuk bertindak
dan melakukan sesuatu aksi legal. Syaratnya tercantum di awal akta.
b. Syarat obyektif dicantumkan dalam badan akta sebagai isi akta yang
merupakan perwujudan dari asas kebebasan berkontrak, yang memberikan
kepastian dan perlindungan hukum kepada para pihak mengenai perjanjian
yang dibuatnya.

Dengan demikian, jika syarat-syarat itu yaitu syarat-syarat subjektif tidak


terpenuhi, maka atas permintaan orang tertentu akta itu dapat dibatalkan dan jika
tidak memenuhi syarat-syarat obyektif itu berkenaan dengan benda-benda tertentu
dan substansi perjanjian itu adalah sesuatu. yang diperbolehkan menurut hukum,
adat, kepatutan, kesusilaan dan ketertiban umum yang berlaku pada waktu
perjanjian itu dibuat dan pada waktu akan dilaksanakannya, jika syarat-syarat
objektif tidak terpenuhi maka akta itu dapat batal demi hukum.

2. Akta Notaris yang mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta dibawah tangan
Untuk akta Notaris yang mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta
dibawah tangan dapat terjadi jika tidak memenuhi ketentuan, karena:
a. Tidak berwenangnya pejabat umum yang bersangkutan
b. Tidak mempunyai pejabat umum yang bersangkutan atau
c. Cacat dalam bentuknya, meskipun demi ki an akta seperti itu tetap mempunyai
kekuatan pembuktian sebagai akta dibawah tangan jika akta tersebut
ditandatangani oleh para pihak. Ketentuan tersebut juga diatur didalam
Undang- Undang Jabatan Notaris (UUJN).

D. Pengertian Jaminan Dalam Ekonomi Islam


Jaminan syariah merupakan jaminan yang berdasarkan pada prinsip hukum
Islam. Karakteristik utama dari jaminan syariah adalah bahwa dalam konsep jaminan
syariah tidak dikenal adanya bunga jaminan yang merupakan biaya tambahan yang
harus dibayar oleh pihak pemberi jaminan kepada pihak penerima jaminan. Jaminan
syariah pada hakikatnya merupakan suatu sistem hukum.
Di dalam konsep hukum Islam jaminan dikenal dengan istilah al-rahn dan
telah ada sejak zaman Rasullullah SAW. Dalam Islamic Jurisprudential, rahn
(mortgage or securitymoney) means possesions offered as security for a debt so that

7
the debt will be taken from them in case the debtor failed to pay back the due money
(Ala` Edin K, 1997: 154).
Di dalam Hadis riwayat Bukhari dan Muslim diriwayatkan bahwa Rasulullah
SAW membeli makanan dari seorang Yahudi dengan menjadikan baju besinya
sebagai barang jaminan. Menurut para ilmuwan hukum Islam, jaminan yang diberikan
Rasulullah tersebut adalah peristiwa pertama tentang jaminan di dalam Islam, yang
dapat diartikan Rasul memperkenalkan jaminan ini untuk dijadikan sumber hukum
Islam.
Berdasarkan al-Qur’an dan Hadis, ulama fikih sepakat mengatakan bahwa al-
rahn merupakan bentuk jaminan berdasarkan hukum Islam. Pelaksanaan jaminan
syariah menurut jumhur ulama diperbolehkan karena banyak kemaslahatan (faedah
atau manfaat) yang terkandung di dalamnya dalam rangka hubungan muamalah antara
sesama manusia dan sebagai perwujudan moral dalam melaksanakan ekonomi Islam.
Aktualisasi nilai-nilai ekonomi Islam merupakan upaya dan proses untuk
memahami, mengkonseptualisai dan mewujudkan nilai-nilai tersebut dalam
kehidupan masyarakat. Sementara nilai-nilai Islam merupakan kumpulan dari asas-
asas, prinsip-prinsip dan ajaran-ajaran Islam sebagai pedoman dalam menjalankan
kehidupannya (M. Arifin H, 2007: 25). Nilai-nilai tersebut saling berkait membentuk
satu kesatuan yang utuh, termasuk didalamnya nilai ekonomi Islam.
Nilai-nilai Islam (an-nathijah) merupakan sumber nilai tertinggi (grundnorm)
dan memiliki sifat filosofis dan universal yang digali dari sumber hukum Islam yaitu
al-Qur’an, Sunnah dan Ijtihad. Universalitas nilainilai tersebut dimaksudkan bukan
hanya khusus untuk kegiatan ekonomi, melainkan juga sebagai sumber nilai tertinggi
terhadap segala aktivitas manusia di bumi. Nilai-nilai Islam (an-nathijah) yang
relevan dengan ekonomi syariah setidaknya dapat dimunculkan dari beberapa
kemungkinan, antara lain (M. Arifin H, 2007: 27):7
1. Secara intrinsik bersumber dari al-Qur’an dan Sunnah sebagai wahyu Allah. Nilai-
Nilai ini merupakan turunan (derivasi) langsung dari wahyu untuk dilaksanakan
dalam kehidupan dan memiliki sifat yang absolut.
2. Melalui proses kehidupan secara sosiologis yang umumnya disebut sebagai proses
kultural, atau bisa juga disebut living law (hukum yang hidup) dalam masyarakat.
Nilai-nilai ini tidak memiliki sifat kemutlakan seperti halnya dengan nilai

7
Hafidah, Noor, Kajian Prinsip Hukum Jaminan Syariah Dalam Kerangka Sistem Hukum Syariah, (Dosen
Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat ), Hal. 10-13

8
intrinsik, tetapi lebih bermakna fungsional. Artinya, nilai-nilai sosiologis-kultural
tersebut jika sejalan dengan nilainilai intrinsik, maka dapat diakomodasi sebagai
bagian dari nilai-nilai yang dimaksudkan, sesuai dengan prinsip al-adatu
muhakkamatun.
3. Melalui sistem peraturan perundang-undangan yang mangatur kegiatan ekonomi,
khususnya pengaturan di bidang perbankan syariah. Sistem perbankan nasional
telah mengakomodasikan sistem bagi hasil syariah yang telah diatur dalam
peraturan perundang-undangan yang khusus, dimana di dalamnya mengusung
nilai-nilai yang harus diimplementasikan, agar sasaran yang dikehendaki dapat
tercapai.

Melalui kajian dan analisis terhadap nilai-nilai tersebut, pada akhirnya


menunjukkan bahwa nilai-nilai Islam sangat relevan untuk dijadikan sebagai
grundnorm yang memunculkan sejumlah prinsip.

Menurut sebagian pakar ekonomi syariah, nilai keadilan merupakan bagian dari
nilai keseimbangan. Nilai keseimbangan oleh sebagian pakar dikatakan sebagai azas
keseimbangan, yang dalam hal ini sangat erat kaitannya dengan masalah kontrak.
Dalam disertasinya Agus Yudha Hernoko menyatakan bahwa azas keseimbangan
bermakna “equal-equilibrium” yang memberikan keseimbangan kepada para pihak
yang berkontrak manakala posisi tawar para pihak dalam menentukan kehendak
menjadi tidak seimbang.

Tujuan dari asas keseimbangan tersebut adalah hasil akhir yang menempatkan hak
dan kewajibannya (A. Yudha Hernoko, 2008: 66-67). Demikian pula sebaliknya nilai
keseimbangan melahirkan nilai keadilan. Sepintas nilai keseimbangan dan nilai
keadilan tampak memiliki kesamaan, akan tetapi jika dianalisis lebih mendalam akan
tampak muatan dan urgensi bahwa nilai keseimbangan menekankan pada
tanggungjawab (responsibility) (M. Arifin H, 2007: 69). Tanggung jawab tersebut
bertujuan untuk menciptakan keseimbangan dan keharmonisan sosial dalam dinamika
kehidupan yang lebih hakiki. Tanggung jawab dimaksud bukan hanya tanggung
jawab secara individu, melainkan tanggung jawab negara dan pemerintah untuk selalu
mengupayakan keseimbangan dalam kehidupan. Misalnya keseimbangan dalam
pengelolaan sumber daya umum, pajak bahkan keseimbangan antara kewenangan
Negara terhadap rakyatnya.

9
Secara keseluruhan nilai-nilai ekonomi Islam memiliki sifat yang universal,
artinya pemaknaan nilai-nilai tersebut tidak hanya terfokus pada salah satu bidang
ekonomi saja, melainkan mencakup seluruh bentuk kegiatan ekonomi Islam.

E. Jaminan Dalam Pembiayaan Pada Perbankan Syariah


Pembiayaan yang didanai oleh bank syariah merupakan bentuk investasi1
yang memerlukan waktu lama dan secara berangsur-angsur dana yang diinvestasi
tersebut akan kembali kepada bank. Secara umum bentuk-bentuk pembiayaan yang
didanai oleh bank syariah adalah jual beli, sewa, bagi hasil dan penyertaan modal atau
kemitraan. Jangka waktu pembiayaan disepakati oleh pihak bank dengan nasabah
debiturnya dengan mempertimbangkan kemampuan pengembalian pembiayaan
tersebut.
Secara umum pembiayaan dapat disetujui oleh bank bila nasabah menyertai
permohonan dengan jaminan (collateral) yang layak. Jaminan tersebut berupa harta
benda milik debitur atau pihak ketiga yang diikat sebagai alat pembayar jika terjadi
wanprestasi terhadap bank syariah. Jaminan yang diberikan oleh debitur kepada bank
syariah dibutuhkan untuk pembayaran hutang seandainya terjadi waprestasi terhadap
pembiayaan yang telah diberikan oleh bank dengan cara menguangkan atau menjual
jaminan tersebut melalui mekanime yang telah ditetapkan. Dengan demikian pada
saat proses penilaian terhadap kelayakan pembiayaan kepada calon nasabah
debiturnya, jaminan ini menjadi indikator penentuan yang digunakan oleh bank untuk
menilai dan kelaikan nasabah debitur memperoleh jumlah pembiayaaan yang akan
diberikan dan juga jangka waktunya. Dengan adanya jaminan tersebut pihak bank
syariah sebagai kreditur akan memiliki keyakinan sebagai syarat yang ditetapkan oleh
ketentuan perundang-undangan tentang prudential standard untuk menimbulkan
keyakinan bahwa debitur akan memenuhi kewajiban yang dapat dinilai dengan uang
yang timbul dari suatu perikatan pembiayaan tersebut.8
1. Konsekuensi Hukum dalam Akad Rahn
Akad rahn diklasifikasikan sebagai akad tabarru’ karena objek yang
diserahkan oleh pihak rāhin kepada pihak murtahin adalah tanpa imbalan atau
ganti rugi. Para ulama telah sepakat pada rahn, barang (‘ain) yang menjadi
jaminan harus memiliki nilai menurut pandangan syara’ dan berwujud konkrit,

8
Maulana, Muhammad, jaminan dalam pembiayaan pada perbankan syariah di indonesia (analisis jaminan
pembiayaan musyārakah dan muḍārabah, (Fakultas Syari’ah dan Ekonomi Islam UIN Ar-Raniry Banda Aceh,
Vol. 14. No. 1, Agustus 2014), Hal. 73-74

10
karena barang jaminan tersebut harus bisa digunakan untuk membayar seluruh
atau sebagian utang- utang si rahin dan barang jaminan tersebut bukan yang wujud
najis atau barang yang terkena najis yang tidak mungkin untuk dihilangkan. Rahn
dalam tataran konseptual dapat dikatagorikan sebagai akad yang bersifat ainiyah,
sama seperti akad hibah, ariyah, wadi’ah dan qirad, karena pelaksanaan akad ini
baru terjadi secara sempurna bila para pihak telah menyerahkan objek
transaksinya. Akad rahn ini sebagai akad tabārru’ dapat dikatakan sempurna
terjadinya bila pihak rāhin dan murtahin sama-sama telah memegang (al-qabd)
atau menguasai objek transaksinya.
2. Konsekuensi Hukum dalam Akad Kafalah
Akad kafalah yang dilakukan oleh para pihak memiliki relasi hukum dan
konsekwensinya yang berbeda-beda, karena hubungan hukum yang terjadi di
antara pihak yaitu kāfil sebagai ashil, makfūl ‘anh dan makfūl bih. Hubungan
hukum yang utama terjadi antara pihak pertama yaitu makfūl ʻanh dan pihak
kedua sebagai makfūl lah. Sedangkan keberadaan kāfil terjadi disebabkan
keinginan untuk menjamin perbuatan hukum yang menjadi tanggung jawab
makful ʻanh kepada makful lah akan dilakukan sesuai dengan kesepakatan.
Pada dasarnya akad kafalah dibolehkan selama pertanggungan yang dilakukan
oleh para pihak terkait dengan penjaminan yang berhubungan dengan realitas
sosial dan ekonomi masyarakat. Para fuqaha menyatakan prinsip akad kafalah
merupakan perwujudan suatu kemaslahatan bagi masyarakat terutama yang
membutuhkan penjaminan yang mungkin disebabkan ketidakmampuannya
menghadirkan jaminan yang dibutuhkan oleh kreditur. Keberadaan akad kafalah
akan semakin penting bila masyarakat memiliki rasa solidaritas, bahkan dalam
masyarakat dari generasi muslim pertama selalu menggunakan akad kafalah untuk
menunjukkan rasa kebersamaan dan saling membantu sesame.

F. Risiko Pembiayaan pada Perbankan Syariah


Dalam berinvestasi bank syariah memiliki prinsip untuk tidak pernah merugi,
dan kemungkinan tersebut tidak akan terjadi selama bank tidak ikut menanggung
kerugian yang dialami oleh nasabahnya (commanditeringsverbod). Bila bank harus
menghadapi kerugian ada beberapa masalah yang akan terjadi, yaitu nasabah kreditur
berinvestasi pada bank syariah dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan

11
semaksimal mungkin dari setiap dana yang mereka miliki dan telah dipercayakan
kepada bank syariah untuk dikelola.
Secara garis besar akad pada bank syariah yaitu NCC dan NUCC. Risiko yang
muncul dominan pada pembiayaan dengan menggunakan pembentukan akad dengan
menggunakan pola NUCC seperti musyarakah dan mudarabah adalah
mengidentifikasi, menilai, dan mengukur risiko dari seluruh risiko yang memiliki
kemungkinan dilakukan nasabah debiturnya. Dengan adanya penerapan manajemen
risiko yang baik terhadap pembiayaan nasabah debitur, maka manajemen bank
syariah dapat membuat keputusan yang tepat untuk mengucurkan pembiayaan atau
tidak.
Analisis risiko pada setiap aktivitas pembiayaan mudarabah dan musyarakah
menjadi suatu kemestian supaya aktivitas pembiayaan memiliki feedback positif bagi
bank dan nasabahnya juga. Analisis risiko yang dilakukan harus sistematis dan jeli
dengan melingkupi 3 aspek penting yang melekat pada kedua jenis pembiayaan ini,
yaitu:9
1. Business risk yang diberikan pembiayaan melalui akad musyarakah dan
mudarabah. Risiko yang muncul cenderung berkaitan dengan first way out,
yang dipengaruhi oleh:
a. risiko industry.
b. market risk.
c. restrukturisasi pembiayaan.
d. keadaan force majeure, dan lain-lain.
2. Shrinking risk yang muncul dengan berkurangnya nilai pembiayaan yang
terjadi pada second way out yang dipengaruhi oleh: Unusual business risk
dan siste bagi hasil yang dipilih.
3. Disaster risk

D. Penerapan Jaminan pada Pembiayaan Musyarakah dan Mudarabah dalam


Perpsektif Fikih Muamalat
Konsep musyarakah dan mudarabah dalam rubuk fikih muamalat memiliki
beberapa pergeseran pada beberapa aspek penting ketika konsep tersebut
diimplementasikan pada operasionalisasi bank syariah. Kenyataan ini terjadi karena
beberapa prinsip dasar yang tidak sama antara konsep musyarakah dengan kenyataan

9
Ibid Hal. 82-83

12
empirik pada perkembangan perbankan syariah. Dalam hal ini posisi bank syariah
pada pembiayaan musyarakah dan mudarabah lebih dilematis, dan keberadaannya
lebih rumit bila dilihat dari aspek shariah complient karena juga harus mematuhi
hukum positif. Berikut ini sebagai gambaran simpel tentang aspek kepatuhan
perbankan syariah untuk mereduksi risiko.10
Begitu banyak risiko yang dihadapi oleh bank syariah dalam penyaluran
pembiayaan terutama musyarakah dan mudarabah, oleh karena itu pada pembiayaan
musyarakah dan mudarabah, pihak manajemen bank syariah harus mensiasatinya agar
tidak timbul dilema dalam pengelolaan pembiayaan. Bank syariah harus memastikan
dengan karakteristik pembiayaan musyarakah dan mudarabah, nasabah akan mampu
mendatangkan keuntungan.
Dalam pembiayaan mudarabah yang secara konseptual mengharuskan modal
usaha dari sahib al-mal, hampir tidak mungkin pihak bank memberikan pembiayaan
kepada nasabah debiturnya yang tidak memiliki modal awal dalam menganalisis
permohonan pembiayaan calon nasabah debiturnya telah memiliki usaha atau paling
tidak memiliki modal awal untuk merintis usaha, sehingga pihak bank dapat
menganalisis kemampuan skill dan karakter usaha yang dimilikinya, meskipun track
record ada melalui jaringan perbankan tanpa ada fakta empirik sebagai bentuk usaha
yang sedang berjalan, pihak bank syariah akan memngalami kesulitan mendanai
nasabah debiturnya untuk merintis usaha dengan akad mudarabah.
Kenyataan yang berbeda antara konsep mudarabah dan sistem perbankan
syariah bahwa pembiayaan yang diberikan kepada nasabah debitur bukan bersumber
dari modal bank sendiri menyebabkan pembiayaan yang diinvestasikan pada usaha
nasabahnya berbeda dengan teori fikih muamalah. Jalan satu-satunya yang praktis dan
mudah diimplementasikan oleh manajemen bank syariah adalah melalui jaminan dan
agunan. Dengan adanya jaminan yang diagunkan tersebut akan dijadikan sebagai
pegangan bagi bank syariah bahwa nasabah debitur akan komit untuk melaksanakan
janjinya. Bila kepatuhan terhadap akan tidak dilakukan maka dapat dipastikan
sewaktu-waktu dalam kondisi yang telah disepakati dalam kontrak, pihak bank
syariah dapat mengeksekusi jaminan yang telah diagunkan oleh nasabah debiturnya
untuk menutupi semua kerugian yang timbul akibat wanprestasi.

10
Ibid, Hal. 86-87

13
G. Penerapan Jaminan Pada Pembiayaan Mudharabah Di Perbankan Syariah
Mudharabah adalah persekutuan untuk pengelolaan suatu usaha atau
perusahaan tertentu antara dua pihak atau lebih, dimana satu pihak memiliki modal,
kemudian pihak lain menjalankan usaha tersebut. Mudharabah bank syariah
merupakan bentuk bank dengan segala praktiknya menggunakan prinsip syariah yang
didasarkan pada al-Qur’an dan hadis. Praktik mudharabah dalam perbankan syariah
dapat dilihat pada tabel berikut:11

Terlihat bahwa status bank syariah sebagai mudharib atau pengelola dana
semantara pihak nasabah menjadi pihak shahibul maal atau pemilik dana dalam hal
skema tabungan mudharabah. Transaksi pembiayaan mudharabah merupakan
transaksi berbasis kerja sama usaha dengan prinsip bagi hasil. Adapun nash Al-
Qur’an secara umum tantang bagi hasil yaitu firman Allah dalam Q.S. An-Nisa/4:
29.
Pada dasarnya pembiayaan mudharabah merupakan pembiayaan yang
berbasis kepercayaan, dalam hal ini tidak etis bila menerapkan jaminan. Namun,
untuk menghindari penyimpangan dan menjamin rasa aman bagi kedua belah pihak,
lembaga keuangan berhak meminta jaminan. Apabila timbul sengketa, dapat
diselesaikan secara musyawarah atau melalui Badan Arbitrase Nasional
(Basyarnas). Penyelenggaraan penjaminan di bidang keuangan berpedoman pada
Undang-Undang nomer 10 Tahun 1998 tentang perbankan dan sesuai dengan
ketentuan Bank Indonesia. Dalam UU No.21 Tahun 2008 Tentang Perbankan
Syariah disebutkan bahwa “Agunan adalah jaminan tambahan, baik berupa benda
bergerak maupun benda tidak bergerak yang diserahkan oleh pemilik Agunan
kepada Bank Syariah/atau UUS, guna menjamin pelunasan kewajiban Nasabah

11
Astriah, Analisis Penerapan Jaminan Pada Pembiayaan Mudharabah dan MUsyarakah Di perbankkan Syariah,
(Institut Agama Islam Negeri ParePare Thn. 2022), Hal. 43-47

14
Penerima Fasilitas”.
Regulasi di atas merupakan penjelasan bahwa dalam perbankan syariah ada
yang dinamakan agunan atau jaminan tambahan sebagai prasyarat kepada nasabah
sebagai penerima fasiltas pembiayaan di bank syariah.
Dalam fatwa DSN MUI No.07/DSN-MUI-IV/2000 Tentang Pembiayaan
Mudharabah pada angka tujuh bagian satu tentang ketentuan pembiayaan, yang
berbunyi:
“Pada Prinsipnya, dalam pembiayaan mudharabah tidak ada jaminan, namun
agar mudharib tidak melakukan penyimpangan, LKS (Lembaga Keuangan Syariah)
dapat meminta agunan dari mudharib atau pihak ketiga. Agunan ini hanya dapat
dicairkan apabila mudharib terbukti melakukan pelanggaran terhadap hal-hal yang
disepakati di akad”.
Peraturan ini merupakan penjelasan bahwa dalam bank syariah terdapat akad
mudharabah, dalam akad tersebut merupakan prinsip amanah sehingga tidak ada
jaminan, namun bank syariah tetap meminta jaminan sebagai syarat keamanan bagi
bank syariah sendiri.
Alasan bank syariah menerapkan jaminan sebenarnya mirip dengan bank
konvensional yang tentunya bila kemudian terjadi wanpresasi dari pihak nasabah
dengan tidak kembalinya modal atau usaha kemudian mengalami kerugian maka
hal ini membuat jaminan sangat diperlukan. Dengan tidak terselesaikannya masalah
tersebut maka bank syariah berhak melakukan pelelangan. Apabila nasabah
wanprestasi, maka shahibul maal berhak melakukan eksekusi lelang, sesuai dengan
kontrak akad yang telah disepakati di awal.
H. Penerapan Jaminan Pada Pembiayaan Musyarakah Di Perbankan Syariah

Musyarakah merupakan perjanjian akad kerjasama perkongsian antara dua


atau lebih dalam melakukan usaha bersama, dengan penyertaan modal yang sudah
tertuang dalam kontrak.12

12
Ibid. 52-55

15
Dalam skema tersebut dijelaskan bahwa:

1. Bank dan nasabah menyetujui perjanjian akad musyarakah,

2. Bank syariah dalam hal ini kemudian menyerahkan dana dengan jumlah tertentu
untuk kebutuhan proyek yang akan dijalankan nasabah.
3. Penyerahan dana oleh nasabah juga dengan jumlah tertentu dan menjalanan
usaha sesuai kontrak kesepakatan.
4. Nasabah melakukan pengelolahan usaha dan akan dibantu oleh bank syariah
sebagai pemberi kuasa.
5. Hasil usaha dibagikan sesuai dengan nisabah yang telah disepakatai pasa saat
awal kontrak.
6. Kontrak akan berakhir dengan dikembalikannya masing-masing modal mitra
kerja sesuai proporsi dana di awal kontrak.
Dalam penerapannya, bank syariah harus memastikan bahwa bisnis dijalankan
dengan baik dan berpegang pada prinsip-prinsip berdasarkan kesepakatan yang
disepakati bersama di awal. Semua aset perusahaan dapat digunakan oleh bank
syariah sebagai jaminan utama, hal ini menjadi pintu keluar utama untuk
menyelesaikan pembiayaan macet. Jika jaminan utama tidak cukup untuk menutupi
semua risiko keuangan yang mungkin dihadapi bank, manajemen bank akan
mewajibkan nasabah debitur untuk memberikan jaminan tambahan.
Dalam perbankan syariah adanya jaminan disebutkan dalam Fatwa DSN MUI
No.08/DSN-MUI-IV/2000 Tentang Pembiayaan Musyarakah: “Pada prinsipnya,
dalam pembiayaan musyrakah tidak ada jaminan, namun untuk menghindari
terjadinya penyimpangan, LKS dapat meminta jaminan”.
Sama halnya dengan pembiaayaan mudharabah dimana prinsip perbankan

16
syariah memang berhak untuk meminta jaminan kepada pihak nasabah yang
diberikan fasilitas berupa pembiayaan, fasilitas pembiayaan yang diberikan tertentu
menjadi risiko juga untuk bank syariah, sebab jika dikemedian hari terjadi hal yang
tidak diinginkan dengan sigapnya bank syariah bisa menutupinya dengan jaminan
yang ada. Jaminan dipersyaratkan untuk meminimalisir risiko yang akan terjadi
dikemudian hari. Sama halnya dengan pembiayaan mudharabah, ketika terjadi
wanprestasi atas kerjasama usaha yang menimbulkan ketidaksanggupan untuk
menyelesaikannya, maka jalan terakhir adalah dengan melakukan eksekusi pada
jaminan yaitu lelang.
I. Jaminan Kebendaan Dalam Hukum Positif Indonesia
Benda yang dijaminkan dibagi menjadi beberapa golongan untuk menentukan
jenis lembaga jaminan atau pengikatan jaminan dengan tujuan untuk menjamin
pelunasan. Jaminan kebendaan dibagi menjadi tiga golongan berdasarkan dengan
hukum positif di Indonesia, sebagai berikut :13
1. Jaminan Benda Tetap atau Diam
Benda tetap atau diam yang dimaksud seperti, rumah, tanah, bangunan,dll,
disebut denan benda tetap karena benta tersebut tidak dapat berpindah tempat.
Berdasarkan peraturan dalam KUH-Perdata jaminan benda tetap termasuk
dalam hak tanggungan.14 Hak tanggungan merupakan hak yang dibebankan
atas hak tanah, begitu pula segala macam bangungan yang berada diatasnya
(tanaman, rumah, toko, berdiri diatasnya), seperti yang telah tertera dalam
Pasal 4 (4) UU No.4 Tahun 1996, tentang hak tanggungan. Sedangkan pada
Pasal 4 (1) dijelaskan tentang macam-macam jenis hak atas tanah yang
dibebankan pada hak tanggungan seperti, hak milik, hak guna usaha, dan hak
guna bangunan.15
2. Jaminan Benda Bergerak
Benda bergerak merupakan benda yang dapat berpindah atau dipindahkan
seperti, sepeda motor, hewan, investaris kantor, dll. benda bergerak dapat
dijadikan sebagai jaminan atau pelunasan hutang melalui gadai ataupun
fidusia.16 Pada KUH Perdata Bagian 4, Tentang Benda Bergerak, Pasal 511
13
Edi Susilo, Analisis Pembiayaan dan Risiko Perbankan Syariah, (Yogyakarta, 2017 : Pustaka Pelajar), Hal.169
14
Mas Rachmat Hidayat, Krisnadi Nasution, Sri Setyadji, Kekuatan Hukum Pengikatan Hak Tanggugan Atas
Jaminan Kredit, Jurnal AKRAB JUARA Vol.5, No.1, Hal.57
15
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1996, Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta
Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah, Link : https://www.bphn.go.id/data/documents/96uu004.pdf
16
Edi Susilo, Loc.Cit.

17
benda yang masuk dalam kategori benda bergerak berdasarkan ketentuan
Undang-Undang, yaitu :17
a. Hak pakai hasil dan hak pakai barang-barang bergerak.
b. Hak atas bunga yang dijanjikan, baik bunga yang terus-menerus,
maupun bunga cagak hidup.
c. Perikatan dan tuntutan mengenai jumlah uang yang dapat ditagih atau
mengenai barang bergerak.
d. Bukti saham atau saham dalam persekutuan perdagangan uang,
persekutuan perdagangan atau persekutuan perusahaan, sekalipun
barang-barang bergerak yang bersangkutan dan perusahaan itu
merupakan milik persekutuan. Bukti saham atau saham ini dipandang
sebagai barang bergerak, tetapi hanya terhadap masing-masing peserta
saja, selama persekutuan berjalan.
e. Saham dalam utang negara Indonesia, baik yang terdaftar dalam buku
besar, maupun sertifikat, surat pengakuan utang, obligasi atau surat
berharga lainnya, berserta kupon atau surat-surat bukti bunga yang
berhubungan dengan itu.
f. Sero-sero atau kupon obligasi dari pinjaman lainnya, termasuk juga
pinjaman yang dilakukan negara-negara asing.
3. Janiman Non Kebendaan
Jaminan non kebendaan dikategorikan sebagai penanggungan (borgtocht).
Dijalaskan dalam KUH Perdata Pasal 1820, Bab XVII, tentang Penanggung
Utang. Penanggungan merupakan persetujuan dari pihak ketiga guna
kepentingan debitur, abila debitur itu tidak memenuhi kewajibannnya dalam
perikatan, maka pihak kegita akan mengikat diri dengan perikatan tersebut. 18
Adapun bentuk dari jaminan penanggungan yaitu, jaminan perorangan,
jaminan perussahaan, bank garansi, standby letter of credit (SBLC).19

J. Pengikat Jaminan
Adanya pengikatan jaminan berguna untuk memperkuat hukum disaat
terjadinya permasalahan suatu saat nanti dalam jaminan. Pengikatan jaminan sendiri
17
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Diakses Dari
https://kejari-sukoharjo.go.id/file/a6d2803a1ea733394063e8f006d31912.pdf (Pada tanggal 21 April 2022,
Pukul 22.49 WIB)
18
Ibid.
19
Edi Susilo, Op.Cit, Hal.170

18
merupakan perjanjian dalam pemberian jaminan antara kreditur dan debitur (pemilik
jaminan).20 Adapun macam-macam bentuk pengikatan jaminan berdasarkan hukum
positif di Indonesia, sebagai berikut:
1. Hak Tanggungan
Hak tanggungan merupakan hak jaminan yang dibebankan atas tanah atau
benda yang merupakan bagaian dari tanah, yang dimaksudkan untuk melunasi
utang dan memberikan kedudukan yang diutamakan/preferent kepada kreditur
tertentu terhadap kreditur lain.21 Hak tanggungan mengatur hubungan utang-
piutang kreditur dan debitur, serta hak seorang kreditur untuk melelang harta
kekayaannya yang dikhususkan sebagai jaminan dan hasil dari pelelangan tesebut
dijadikan pelunasan piutang.22 Dasar-dasar atau peraturan tentang hak tanggungan
terdapat dalam UU No.4 Tahun 1996. Undang- undang tersebut menjelaskan
berbagai persyaratan mauapun tata cara dalam hak tanggungan seperti, objeknya,
tata cara, pendafatram, saksi administretif, dll.
Ciri-ciri hak tannggungan :23
a. Preferent, memberikan keutamaan kedudukan kepada kreditur.
b. Droit de suite, selalu mengikuti objeknya dimanapun objek berada.
c. Accessoir, merupakan sifat perjanjian pokok jaminan yang berhubungan
dengan hutang-piutang yang diikuti dengan perjanjian tambahan.

Prosedur pembebanan hak tanggungan :

2. SKMHT (Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggun)

20
Adrian Alexander Posumah, Pengikatan Jaminan Dalam Pelaksanaan Pemberian Kredit Bank Menurut
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, Lex Privatum Vol. V,No. 1,2017, Hal. 56
21
Edi Susilo, Op.Cit, Hal.171
22
Tami Rusli, Hak Tanggungan Sebagai Lembaga Jaminan Terhadap Hak Milik Atas Tanah, Pranata Hukum
Vol.3 No.2,2018, Hal.79
23
Edi Susilo,Loc.Cit.

19
SKMHT merupakan jaminan hutang atas pembebanan hak tanggungan
tanah/ bangunan yang berupa akta pemindahan kuasa dari pemilik tanah/
bangunan kepada debitur.24 Dengan adanya SKMHT penerima kuasa dapat
mengalihkan beban hak tanggungan kepada pemberi kuasa, dan tidak
dapat ditarik/ dibatalkan/ berakhir hingga tercapainya tujuan awal dari
pemberian kuasa.
Hal-hal yang wajib diperhatikan dalam SKMHT berdasarkan Pasal 15
UUHT, yaitu:25
a. Hanya diperkenankan dalam keadaan khusus (Pemberi tanggungan
tidak dapat hadir sendiri dihadapan PPAT untuk memebuat
APHT).
b. Harus berbentuk akta notaris dari PPAT.
c. Isi berupa hukum pembebanan hak tanggungan.
d. Tidak membuat kuasa subtitusi
e. Tidak dapat ditarik atau diakhiri hingga batas waktunya.
3. Gadai
Gadai merupakan hak bagi seorang kreditur atas benda yang dititipkan
kepadanya dari debitur, dan kuasa utama baginya untuk mendapatkan
pelunasan dari benda titipan tersebut. Tujuan dari gadai sendiri yaitu untuk
menjamin agar debitur tidak lepas tanggunga jawab untuk melunasi utang-
utangnya. Karena pada saat debitur mengadaikan barangnya kepada
kreditur, barang tersebut telah menjadi wewenang seorang kreditur untuk
mendapatkan pelunasan/ pembayaran piutangnya atas barang yang
dititipkan.26 Hukum yang mendasari gadai ialah Pasal 1150 hingga 1160
KUH Perdata.
4. Fidusia
Fidusia merupakan pengalihan hak milik atas benda yang berdasarkan
kepercayaan antara debitur dan kreditur, dengan benda yang tetap berada
di tangan debitut, disertai kesepakatan bila aman debitur telah menulasi
hutangnya kepada kreditur, maka hak kepemilikan benda tersebut akan

24
Ibid.
25
Ibid, Hal.172
26
Komang Indra Suputra, Desak Putu Dewi Kasih,dan Ni Putu Purwanti, Pelaksanaan Penjaminan Gadai Atas
Deposito Berjangka Dalam Perjanjian Kredit Pada Pt. Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. Kantor Cabang
Singaraja, Kertha Semaya : Journal Ilmu Hukum Vol. 4, No.2, 2016, Hal.7

20
kembali kepada debitur.27 Pada Pasal 4 UU dijelaskan bahwa jaminan
fidusia merupakan perjanjian ikutan dari perjanjian pokok yang
meninbulkan kewajiban bagi pelaksananya untuk merai prestasi yang
dapat dinilai dengan uang.28 Jaminan fidusia berdasar hukum pada UU
No.42 Tahun 1999. Objek jaminan fidausia merupakan benda yang dapat
dimiliki dan berpindah hak kepemilikkannya baik benda tersebut bergerak
atau tidak, berwujud atau tidak.29 Berdasarkan Pasal 10 jaminan fidusia
meliputi hasil dari benda yang menjadi objek jaminan, seperti klaim
asuransi dari benda(objek) yang dijadikan jaminan.30 Berdasarkan Pasal 7
utang yang dapat dijamin dengan jaminan fidusia berupa :31
a. utang yang telah ada.
b. utang yang akan timbul di kemudian hari yang telah diperjanjikan
dalam jumlah tertentu.
c. utang yang pada saat eksekusi dapat ditentukan jumlahnya
berdasarkan perjanjian pokok yang menimbulkan kewajiban
memenuhi suatu prestasi.

Prosedur pembebanan jaminan fidusia :

Syarat Akta Jaminan Fidusia :

a. Akta Notaris.
b. Menggunakan Bahasa Indonesia.

27
Edi Susilo, Op.Cit, Hal.173
28
Sitty Najmi, Dahlan,dan Ilyas Ismail, Pengikatan Jaminan Fidusia Oleh Kreditur Dalam Perjanjian Kredit Dan
Akad Pembiayaan Di Kota Banda Aceh, Jurnal Ilmu Hukum Vol.2, No.1,2014, Hal.44
29
Marulak Pardede, Laporan Akhir : Implementasi Jaminan Fidusia Implementasi Jaminan Fidusia Dalam
Pemberian Kredit Dalam Pemberian Kredit Di Indonesia, (Jakarta, 2006 : BPHN),Hal. 39
30
Pasal 10, Undang-Undang No.42 Tahun 1999, Tentang Jaminan Fidusia.
31
Pasal 7, Undang-Undang No.42 Tahun 1999, Tentang Jaminan Fidusia.

21
c. Sekurang-kurangnya memuat identitas para pihak, hari dan tanggal
pembuatan akta, data perjanjian pokok, uraian obyek Jaminan
Fidusia, nilai penjaminan, nilai obyek jaminan fidusia.
5. Hipotek
Hipotek merupakan hak kebendaan (Benda tetap) yang ditujukan
kepada kreditur untuk mendapatkan pelunasan suatu perikatan hutang dari
benda tersebut. Hipotek merupakan jaminan kebendaan yang objek
bendanya milik debitor dimana diikat secara khusus dengan melakukan
pendaftaran yang akan menimbulkan hak kebendaan yang bersifat mutlak,
sehingga kebendaan tersebut memiliki keunggulan dibansing dengan
jaminan lainnya.32 Dasar hukum dari hipotek sendiri ialah Pasal 1162-1232
KUH Perdata.
Adapun hak dan kewajiban pemberi hipoyek, yaitu :33
a. Hak untuk menguasai dan menggunakan benda.
b. Hak untuk menerima uang pinjaman.
c. Hak atas kekuasaan hipotek, selama tidka merugikan.
d. Kewajiban atas membayar utang jamian hipotek.
e. Kewajiban membayar denda, jika terlambat membayar utang.
f. Kewajiban menjaga dan merawat benda yang dijadikan jaminan.

Adapun hak dan kewajiban oemegang hipotek, yaitu :34

a. Hak untuk memperoleh pelunasan hutang.


b. Hak untuk menganti pelunasan hutang, jika penerima wanprestasi.
c. Hak memindahkan piutang.
d. Kewajiban untuk memberikan pinjaman.
e. Kewajiban mengembalikan jaminan hipotek, jika piutang telah
lunas.
f. Kewajiban untuk menghapus/mencoret jaminan hipotek.
6. Penanggungan
Penanggungan (borgtocht) ialah persetujuan pihak ketiga untuk
kepentingan kreditur, mengikatkan diri untuk melunasi utang debitur,
32
Filia Rumengan, Anna S. Wahongan, dan Anastasia E. Gerungan, Eksistensi Lembaga Hipotek Sebagai
Jaminan Kebendaan Setelah Berlakunya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas
Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah, Jurnal Lex Privatum Vol. IX,No. 3, 2021, Hal.56
33
Filia Rumengan, Anna S. Wahongan, dan Anastasia E. Gerungan, Op.Cit., Hal.62
34
Ibid.

22
apabila debitur tidak dapat melunasi utangnya. Bentuk dari jaminan
penanggungan, seperti : Jaminan perorangan; Jaminan perusahaan; Bank
garansi; SBLC.35 Adapun dasar hukum dari penanggungan yaitu Pasal
1820-1864 KUH Perdata.
Adapun usur-unsur yang dapat diambil dari Pasal 1820 KUH Perdata:36
a. Penanggungan adalah sebuah perjanjian.
b. Pihak ketiga disebut borg.
c. Penanggungan diiberikan demi kepentingan kreditur.
d. Borg mengikatkan diri untuk memenuhi perikatan debitur, kalau
debitur wanprestasi.
e. Ada perjanjian bersyarat.

Adapun syarat-syarat borgtocht, yaitu :

a. Memiliki kecakapan / kemampuan untuk mengikatkan diri dalam


suatu Perjanjian.
b. Mempunyai kekayaan yang cukup.
c. Berdiam di Wilayah Indonesia.
d. Mempunyai kepentingan langsung atas usaha yang dibiayai Bank.
7. SBLC (Stanby Letter Of Credit)
SBLC atau Clean L/C merupakan peryataan janji bank penerbit untuk
membayar bank penerima jika diminta, yang berkaitan dengan, kewajiban
pemohon sebagai debitur, kewajiban pemohon sebagai garantor, dan
kewajiban lainnya dari pemohon.37 SBLC adalah janji tertulis bank yang
diterbitkan karena adany permintaan applicant (Pihak yang dijamin) untuk
membayar/ memenuhi kewajibannya dan melakukan klaim (beneficiary).
Fungsi dari SBLC hampir mirb denagn Bank Garansi. Dasar dari SBLC
yaitu UCP 600/ ISP 98 URDG.

K. Macam-Macam Hak Dalam Pengikatan Jaminan


1. Hak Milik
Hak milik adalah hak turun-temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat
dipunyai orang atas tanah, berdasarkan Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Nomor
35
Edi Susilo,Loc.Cit.
36
Letezia Tobing, Tentang Borgtocht, 8 Mei 2013, Diakses di https://www.hukumonline.com/klinik/a/tentang-
borgtocht-lt5175201097ce4 (Pada tanggal 23 April 2022, Pukul 04.10 WIB)
37
Edi Susilo,Op.Cit, Hal.174

23
5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (“UUPA”).
Sedangkan dalam Pasal 25 UUPA, dijelaskan bahwa hak milik dapat dijadikan
jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan.
2. Hak Guna Usaha
Pengertian dari hak guna usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah
yang dikuasai langsung oleh Negara, dalam jangka waktu sebagaimana tersebut
dalam pasal 29, guna perusahaan pertanian, perikanan atau peternakan, seperti
yang telah tertera dalam Pasal 28 UUPA ayat 1.
Dalam Pasal 29 UUPA, menjelaskan bahwa :
1) Hak guna usaha diberikan untuk waktu paling lama 25 tahun.
2) Untuk perusahaan yang memerlukan waktu yang lebih lama dapat
diberikan hak guna usaha untuk waktu paling lama 35 tahun.
3) Atas permintaan pemegang hak dan mengingat keadaan perusahaannya
jangka waktu yang dimaksud dalam ayat (1) dan (2) pasal ini dapat
diperpanjang dengan waktu yang paling lama 25 tahun.
Bersadarkan Pasal 30 UUPA, orang yang dapat memiliki hak guna usaha,
ialah warga Indonesia, dan badan hukum yang didirikan menurut hukum
Indonesia dan berkedudukan di Indonesia.
3. Hak Guna Bangunan
Berdasarkan pada Pasal 35 UUPA, menjelaskan bahwa :
1) Hak guna bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-
bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan jangka waktu paling
lama 30 tahun.
2) Atas permintaan pemegang hak dan dengan mengingat keperluan serta
keadaan bangunan-bangunannya, jangka waktu tersebut dalam ayat (1) dapat
diperpanjang dengan waktu paling lama 20 tahun.
3) Hak guna-bangunan dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain.
Bersadarkan Pasal 36 Ayat 2 UUPA Orang atau badan hukum yang
mempunyai hak guna-bangunan dan tidak lagi memenuhi persyaratan dalam
jangka waktu 1 tahun wajib melepaskan atau mengalihkan hak itu kepada pihak
lain yang memenuhi syarat.
4. Hak Pakai Atas Tanah Negara
Hak pakai adalah hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari
tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain, yang
24
memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan
pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam
perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa-menyewa atau
perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa
dan ketentuan-ketentuan Undang-undang ini, seperti yang telah dijelaskan pada
Pasal 41 (1) UUPA.
Berdasarkan Pasal 41 UUPA Ayat (2) dan (3) menjelaskan bahwa hak
pakai dapat diberikan selama jangka waktu yang tertentu atau selama tanahnya
dipergunakan untuk keperluan yang tertentu; dengan cuma-cuma, dengan
pembayaran atau pemberian jasa berupa apapun dan tidak boleh disertai dengan
syarat-syarat yang memiliki unsur pemerasan.
Berdasarkan Pasal 42 UUPA, yang berhak mempunyai hak pakai, ialah :
a. Warga-negara Indonesia.
b. Orang asing yang berkedudukan di Indonesia.
c. Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan
di Indonesia.
d. Badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia.
L. Ketentuan Khusus Tentang Tanah Di Beberapa Daerah
1. Izin Pemakaian Tanah Di Daerah Surabaya
Dasar Hukum
a. Peraturan Daerah Kotamadya Tingkat II Kota Surabaya Nomor 1
Tahun 1997 Tentang Izin Pemakaian Tanah (“Perda No.1/1997”).
b. Peraturan Daerah Kota Surabaya Nomor 13 Tahun 2010 Tentang
Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah (“Perda No.13/2010”).
Ijin pemakaian tanah yang diberikan oleh Pemerintah Daerah Surabaya
kepada Perorangan atau Badan Hukum Indonesia dilakukan atas dasar hak
pengelolaan Pemda Surabaya, dengan diberikannya surat hijau. Surat hijau
adalah istilah yang digunakan untuk surat ijin pemakaian tanah Pemerintah
Kotamadya Daerah Tingkat II Surabaya.
Peraturan daerah yang berlaku bagi pemegang Surat Hijau sesuai Perda
No.1 Tahun 1997 adalah:
a. Lahan dipergunakan sesuai peruntukan.

25
b. Selambatnya satu tahun sejak dikeluarkan ijin, pemegang surat harus
mendirikan bangunan yang dilengkapi IMB.
c. Dilarang mengalihkan ke pihak lain tanpa ijin tertulis kepala daerah
atau pejabat yang ditunjuk.
d. Jika pemegang Surat Hijau meninggal, ahli waris bisa melanjutkan Ijin
Pemakaian Tanah dengan mengajukan permohonan ke kepala daerah
atau pejabat yang ditunjuk.
Pengikatan Jaminan Terhadap Surat Hijau :
a. Surat Hijau tidak dapat dibebani Hak Tanggungan.
b. Pembebanan Jaminan terhadap surat hijau hanya dapat dilakukan
terhadap bangunan yang berdiri di atas tanah surat hijau.
c. Pengikatan jaminan untuk bangunan yang didirikan di atas tanah
dengan surat hijau dapat diikat dengan fidusia, sepanjang memenuhi
beberapa syarat :
1) Bangunan tersebut memiliki Izin Mendirikan Bangunan (IMB).
2) Terdapat surat ijin dan rekomendasi dari Pemda Surabaya.
3) Adanya pernyataan dari bank bahwa setiap saat terdapat
peningkatan hak atas tanah, maka bank bersedia untuk
melakukan roya jaminan fidusia.
2. Izin Pemakaian Tanah Di Daeraha Batam
Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 41 Tahun 1973 dan
Keputusan Presiden Nomor 113 Tahun 2000 tentang Perubahan Keempat atas
Kepres No.41 Tahun 1973 tentang Daerah Industri Pulau Batam. Kekhususan
pengelolaan pertanahan, adanya hak pengelolaan atas tanah. Dibentuknya
Badan Pengusahaan/Badan Otorita Batam.
Dalam Daerah Industri Kota Batam (Berdasarkan Keppres no.113 tahun
2000):
a. Seluruh areal tanah yang terletak di Pulau Batam diserahkan, dengan
hak pengelolaan, kepada Ketua Otorita Pengembangan Daerah Industri
Pulau Batam
b. Hak Pengelolaan tersebut memberikan kewenangan kepada Ketua
Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam untuk
menyerahkan bagian bagian dari tanah tersebut kepada pihak ketiga
dengan hak pakai.
26
Berdasarkan Pasal 5 (1) Peraturan Daerah Kota Batam Nomor 2 Tahun
2002 yang berbunyi, setiap kegiatan membangun dan atau menggunakan dan
atau kelayakan menggunakan bangunan dalam wilayah Kota Batam harus
memiliki izin dari Walikota atau pejabat yang ditunjuk.
Dalam Pasa1 6 ayat (1) menjelaskan bahwa, permohonan membangun
dan atau menggunakan bangunan diajukan secara tertulis oleh perseorangan
atau badan pemilik hak atas tanah atau orang atau badan yang diber kuasa oleh
pemilik hak atas tanah kepada Walikota dengan mengisi form atau lembaran
isian yang disediakan, dan persyaratan pengajuan permohonan izin mendirikan
bangunan akan dituangkan dalan Keputusan Walikota.
M. Jaminan Kebendaan Dalam Hukum Positif Indonesia
Benda yang dijaminkan dibagi menjadi beberapa golongan untuk menentukan
jenis lembaga jaminan atau pengikatan jaminan dengan tujuan untuk menjamin
pelunasan. Dalam hukum positif Indonesia jaminan kebendaan digolongkan menjadi
tiga jenis, yaitu:38
4. Jaminan Benda Tidak Bergerak
Benda tidak bergerak merupakan barang yang tidak bisa dipindahkan
seperti, rumah, tanah, bangunan,dll. Berdasarkan peraturan dalam KUH-
Perdata jaminan benda tika bergerat termasuk dalam hak tanggungan. 39
Sebagaimana yang telah tercantum dalam Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 4 Tahun 1996, tentang. Hak tanggungan atas tanah beserta
benda-benda yang berkaitan dengan tanah, pada Pasal 4 Ayat 4 yang berisi
penjelasan bahwa hak tanggungan dapat dibebankan pada hak atas tanah,
berikut pula bangunan, tanaman, dan apa yang ada diatasnya atau akan
didirikan diatasnya. Sedangkan pada Pasal 4 Ayat 1 dijelaskan macam-macam
jenis hak atas tanah yang dapat dibebankan pada hak tanggungan ialah hak
milik, hak guna usaha, dan hak guna bangunan.40
5. Jaminan Benda Bergerak
Benda bergerak merupakan benda yang dapat berpindah atau dipindahkan
seperti, sepeda motor, hewan, investaris kantor, dll. benda bergerak dapat
38
Edi Susilo, Analisis Pembiayaan dan Risiko Perbankan Syariah, (Yogyakarta, 2017 : Pustaka Pelajar),
Hal.169
39
Mas Rachmat Hidayat, Krisnadi Nasution, Sri Setyadji, Kekuatan Hukum Pengikatan Hak Tanggugan Atas
Jaminan Kredit, Jurnal AKRAB JUARA Vol.5, No.1, Hal.57
40
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1996, Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta
Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah, Link : https://www.bphn.go.id/data/documents/96uu004.pdf

27
dijadikan sebagai jaminan atau pelunasan hutang melalui gadai ataupun
fidusia.41 Pada KUH Perdata Bagian 4, Tentang Benda Bergerak, Pasal 511
benda yang dianggap sebagai benda bergerak berdasarkan ketentuan Undang-
Undang, sebagi berikut:42
g. Hak pakai hasil dan hak pakai barang-barang bergerak.
h. Hak atas bunga yang dijanjikan, baik bunga yang terus-menerus,
maupun bunga cagak hidup.
i. Perikatan dan tuntutan mengenai jumlah uang yang dapat ditagih atau
mengenai barang bergerak.
j. Bukti saham atau saham dalam persekutuan perdagangan uang,
persekutuan perdagangan atau persekutuan perusahaan, sekalipun
barang-barang bergerak yang bersangkutan dan perusahaan itu
merupakan milik persekutuan. Bukti saham atau saham ini dipandang
sebagai barang bergerak, tetapi hanya terhadap masing-masing peserta
saja, selama persekutuan berjalan.
k. Saham dalam utang negara Indonesia, baik yang terdaftar dalam buku
besar, maupun sertifikat, surat pengakuan utang, obligasi atau surat
berharga lainnya, berserta kupon atau surat-surat bukti bunga yang
berhubungan dengan itu.
l. Sero-sero atau kupon obligasi dari pinjaman lainnya, termasuk juga
pinjaman yang dilakukan negara-negara asing.
6. Janiman Non Kebendaan
Jaminan non kebendaan dikategorikan sebagai penanggungan
(borgtocht). Dijalaskan dalam KUH Perdata Pasal 1820, Bab XVII, tentang
Penanggung Utang, arti dari penanggungan ialah persetujuan dari pihak ketiga
guna kepentingan debitur, mengikatkan diri untuk memenuhi perikatan
debitur, bila debitur itu tidak memenuhi perikatannya.43 Adapun bentuk dari
jaminan penanggungan yaitu, jaminan perorangan, jaminan perussahaan, bank
garansi, standby letter of credit (SBLC).44

41
Edi Susilo, Loc.Cit.
42
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Diakses Dari
https://kejari-sukoharjo.go.id/file/a6d2803a1ea733394063e8f006d31912.pdf (Pada tanggal 21 April 2022, Pukul
22.49 WIB)
43
Ibid.
44
Edi Susilo, Op.Cit, Hal.170

28
N. Pengikat Jaminan
Adanya pengikatan jaminan berguna untuk memperkuat hukum disaat
terjadinya permasalahan suatu saat nanti dalam jaminan. Pengikatan jaminan sendiri
merupakan perjanjian dalam pemberian jaminan antara kreditur dan debitur (pemilik
jaminan).45 Adapun macam-macam bentuk pengikatan jaminan berdasarkan hukum
positif di Indonesia, sebagai berikut:
1. Hak Tanggungan
Hak tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan atas tanah atau benda
atas bagian dari tanah, yang dimaksudkan untuk melunasi hutang dan memberikan
kedudukan yang diutamakan/preferent kepada kreditur tertentu terhadap kreditur
lain.46 Hak tanggungan mengatur perjanjian dan huungan utang-piutang antara
kreditur dan debitur, serta hak seorang kreditur untuk menjual atau melelang harta
kekayaannya yang dikhususkan sebagai jaminan dan hasil dari penjualan tesebut
dijadikan pelunasan piutang.47 Hak tanggungan diatur dalam Undang-undang
Nomor 4 Tahun 1996, yang mengatur atau menjelaskan tentang : Objek hak
tanggungan; Pemberi dan pemegang hak tanggungan; Tata cara, pendaftaran,
peralihan, dan hapusnya hak tanggungan; Eksekusi hak tanggungan; Pencoretan
hak tanggungan; Saksi adminidtratif.
Ciri-ciri hak tannggungan:48
d. Preferent, memberikan keutamaan kedudukan kepada kreditur.
e. Droit de suite, selalu mengikuti objeknya dimanapun objek berada.
f. Accessoir, merupakan sifat perjanjian pokok jaminan yang berhubungan
dengan hutang-piutang yang diikuti dengan perjanjian tambahan.
2. SKMHT (Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggun)
SKMHT merupakan jaminan hutang atas pembebanan hak tanggungan tanah
atau bangunan yang berupa akta pemindahan kuasa dari pemilik tanah atau
bangunan kepada debitur.49 Dengan adanya SKMHT penerima kuasa dapat
mengalihkan beban hak tanggungan kepada pemberi kuasa, dan tidak dapat ditarik

45
Adrian Alexander Posumah, Pengikatan Jaminan Dalam Pelaksanaan Pemberian Kredit Bank Menurut
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, Lex Privatum Vol. V,No. 1,2017, Hal. 56
46
Edi Susilo, Op.Cit, Hal.171
47
Tami Rusli, Hak Tanggungan Sebagai Lembaga Jaminan Terhadap Hak Milik Atas Tanah, Pranata Hukum
Vol.3 No.2,2018, Hal.79
48
Edi Susilo,Loc.Cit.
49
Ibid.

29
atau dibatalkan atau berakhir hingga tercapainya tujuan awal dari pemberian
kuasa.
Hal-hal yang wajib diperhatikan dalam SKMHT berdasarkan Pasal 15 UUHT,
yaitu:50
f. Hanya diperkenankan dalam keadaan khusus (Pemberi tanggungan tidak dapat
hadir sendiri dihadapan PPAT untuk memebuat APHT).
g. Harus berbentuk akta notaris dari PPAT.
h. Isi berupa hukum pembebanan hak tanggungan.
i. Tidak membuat kuasa subtitusi
j. Tidak dapat ditarik atau diakhiri hingga batas waktunya.
3. Gadai
Gadai adalah hak bagi seorang kreditur atas barang bergerak yang dititipkan
kepadanya dari debitur, dan kuasa utama baginya (kreditur) untuk mendapatkan
pelunasan dari barang tersebut. Tujuan dari gadai sendiri yaitu untuk menjamin
agar debitur tidak lepas tanggunga jawab untuk melunasi utang-utangnya. Karena
pada saat debitur mengadaikan barangnya kepada kreditur, barang tersebut telah
menjadi wewenang seorang kreditur untuk mendapatkan pelunasan/ pembayaran
piutangnya atas barang yang dititipkan.51 Hukum yang mendasari gadai ialah Pasal
1150 hingga 1160 KUH Perdata.
4. Fidusia
Fidusia merupakan pengalihan hak milik atas benda yang berdasarkan
kepercayaan antara debitur dan kreditur, dengan benda yang tetap berada di
tangan debitut, disertai kesepakatan bila aman debitur telah menulasi hutangnya
kepada kreditur, maka hak kepemilikan benda tersebut akan kembali kepada
debitur.52 Pada Pasal 4 UU dijelaskan bahwa jaminan fidusia merupakan
perjanjian ikutan dari erjanjian pokok yang meninbulkan kewajiban bagi
pelaksananya untuk merai prestasi yang dapat dinilai dengan uang. 53 Dasar
hukum yang mengatur jaminan fidusia ialah Undang-undang No.42 Tahun 1999.
Objek jaminan fidausia merupakan benda yang dapat dimiliki dan berpindah hak

50
Ibid, Hal.172
51
Komang Indra Suputra, Desak Putu Dewi Kasih,dan Ni Putu Purwanti, Pelaksanaan Penjaminan Gadai Atas
Deposito Berjangka Dalam Perjanjian Kredit Pada Pt. Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. Kantor Cabang
Singaraja, Kertha Semaya : Journal Ilmu Hukum Vol. 4, No.2, 2016, Hal.7
52
Edi Susilo, Op.Cit, Hal.173
53
Sitty Najmi, Dahlan,dan Ilyas Ismail, Pengikatan Jaminan Fidusia Oleh Kreditur Dalam Perjanjian Kredit Dan
Akad Pembiayaan Di Kota Banda Aceh, Jurnal Ilmu Hukum Vol.2, No.1,2014, Hal.44

30
kepemilikkannya baik benda tersebut bergerak atau tidak, berwujud atau tidak.54
Berdasarkan Pasal 10 jaminan fidusia meliputi hasil dari benda yang menjadi
objek jaminan, seperti klaim asuransi dari benda(objek) yang dijadikan jaminan. 55
Berdasarkan Pasal 7 utang yang dapat dijamin dengan jaminan fidusia berupa:56
d. Utang yang telah ada.
e. Utang yang akan timbul di kemudian hari yang telah diperjanjikan dalam
jumlah tertentu.
f. Utang yang pada saat eksekusi dapat ditentukan jumlahnya berdasarkan
perjanjian pokok yang menimbulkan kewajiban memenuhi suatu prestasi.
5. Hipotek
Hipotek merupakan hak kebendaan (benda tetap) yang ditujukan kepada
kreditur untuk mendapatkan pelunasan suatu perikatan hutang dari benda
tersebut. Hipotek merupakan jaminan kebendaan yang objek bendanya milik
debitor dimana diikat secara khusus dengan melakukan pendaftaran yang akan
menimbulkan hak kebendaan yang bersifat mutlak, sehingga kebendaan tersebut
memiliki keunggulan dibansing dengan jaminan lainnya. 57 Dasar hukum dari
hipotek sendiri ialah Pasal 1162-1232 KUH Perdata.
Adapun hak dan kewajiban pemberi hipoyek, yaitu:58
g. Hak untuk menguasai dan menggunakan benda.
h. Hak untuk menerima uang pinjaman.
i. Hak atas kekuasaan hipotek, selama tidka merugikan.
j. Kewajiban atas membayar utang jamian hipotek.
k. Kewajiban membayar denda, jika terlambat membayar utang.
l. Kewajiban menjaga dan merawat benda yang dijadikan jaminan.

Adapun hak dan kewajiban oemegang hipotek, yaitu :59

g. Hak untuk memperoleh pelunasan hutang.


h. Hak untuk menganti pelunasan hutang, jika penerima wanprestasi.

54
Marulak Pardede, Laporan Akhir : Implementasi Jaminan Fidusia Implementasi Jaminan Fidusia Dalam
Pemberian Kredit Dalam Pemberian Kredit Di Indonesia, (Jakarta, 2006 : BPHN),Hal. 39
55
Pasal 10, Undang-Undang No.42 Tahun 1999, Tentang Jaminan Fidusia.
56
Pasal 7, Undang-Undang No.42 Tahun 1999, Tentang Jaminan Fidusia.
57
Filia Rumengan, Anna S. Wahongan, dan Anastasia E. Gerungan, Eksistensi Lembaga Hipotek Sebagai
Jaminan Kebendaan Setelah Berlakunya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas
Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah, Jurnal Lex Privatum Vol. IX,No. 3, 2021, Hal.56
58
Filia Rumengan, Anna S. Wahongan, dan Anastasia E. Gerungan, Op.Cit., Hal.62
59
Ibid.

31
i. Hak memindahkan piutang.
j. Kewajiban untuk memberikan pinjaman.
k. Kewajiban mengembalikan jaminan hipotek, jika piutang telah lunas.
l. Kewajiban untuk menghapus/mencoret jaminan hipotek.
6. Penanggungan
Penanggungan (borgtocht) ialah persetujuan pihak ketiga untuk kepentingan
kreditur, mengikatkan diri untuk melunasi utang debitur, apabila debitur tidak
dapat melunasi utangnya. Bendtuk dari jaminan penanggungan, seperti: Jaminan
perorangan; Jaminan perusahaan; Bank garansi; SBLC. 60 Adapun dasar hukum
dari penanggungan yaitu Pasal 1820-1864 KUH Perdata.
Adapun usur-unsur yang dapat diambil dari Pasal 1820 KUH Perdata:61
f. Penanggungan adalah sebuah perjanjian.
g. Pihak ketiga disebut borg.
h. Penanggungan diiberikan demi kepentingan kreditur.
i. Borg mengikatkan diri untuk memenuhi perikatan debitur, kalau debitur
wanprestasi.
j. Ada perjanjian bersyarat.
7. SBLC (Stanby Letter Of Credit)
SBLC atau Clean L/C merupakan peryataan janji bank penerbit untuk
membayar bank penerima jika diminta, yang berkaitan dengan, kewajiban
pemohon sebagai debitur, kewajiban pemohon sebagai garantor, dan kewajiban
lainnya dari pemohon.62 SBLC adalah janji tertulis bank yang diterbitkan karena
adany permintaan applicant (pihak yang dijamin) untuk membayar atau
memenuhi kewajibannya dan melakukan klaim (beneficiary). Fungsi dari SBLC
hampir mirb denagn Bank Garansi. Dasar dari SBLC yaitu UCP 600/ ISP 98
URDG.

60
Edi Susilo,Loc.Cit.
61
Letezia Tobing, Tentang Borgtocht, 8 Mei 2013, Diakses di https://www.hukumonline.com/klinik/a/tentang-
borgtocht-lt5175201097ce4 (Pada tanggal 23 April 2022, Pukul 04.10 WIB)
62
Edi Susilo,Op.Cit, Hal.174

32
33
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Asas legalitas merupakan suatu prinsip dimana suatu perbuatan bisa dianggap
melanggar hukum jika waktu peristiwa tersebut terjadi setelah ada peraturan yang
melarangnya. Jaminan syariah merupakan jaminan yang berdasarkan pada prinsip
hukum Islam. Karakteristik utama dari jaminan syariah adalah bahwa dalam konsep
jaminan syariah tidak dikenal adanya bunga jaminan yang merupakan biaya tambahan
yang harus dibayar oleh pihak pemberi jaminan kepada pihak penerima jaminan.
Jaminan syariah pada hakikatnya merupakan suatu sistem hukum.
Pembiayaan yang didanai oleh bank syariah merupakan bentuk investasi1
yang memerlukan waktu lama dan secara berangsur-angsur dana yang diinvestasi
tersebut akan kembali kepada bank. Adanya pengikatan jaminan berguna untuk
memperkuat hukum disaat terjadinya permasalahan suatu saat nanti dalam jaminan.
Pengikatan jaminan sendiri merupakan perjanjian dalam pemberian jaminan antara
kreditur dan debitur (pemilik jaminan).

34
DAFTAR PUSTAKA
Aditya Widyatmoko, Komparasi Asas Legalitas Dalam Hukum Pidana Islam Dan Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Paper Knowledge . Toward a Media History
of Documents, 2010

Adrian Alexander Posumah, Pengikatan Jaminan Dalam Pelaksanaan Pemberian Kredit


Bank Menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, Lex Privatum Vol. V,No. 1,2017,
Hal. 56

Ajun, diakses dari (https://pa-kotabumi.go.id/standar-a-maklumat-pelayanan-pengadilan/175


asas-legalitas dalam-islam.html), pada tanggal (13 April), pukul (10.00 WIB)
Edi Susilo, Analisis Pembiayaan dan Risiko Perbankan Syariah, (Yogyakarta, 2017: Pustaka
Pelajar), Hal.169
Faried, Femmy Silaswaty, Legalitas Akad Syariah Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 93 /Puu-X / 2012 Tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 ,
Tentang Perbankan Syariah Tahun 1945’, Jurnal Repertorium, No. 3, 2015, Hal. 81.

Filia Rumengan, Anna S. Wahongan, dan Anastasia E. Gerungan, Eksistensi Lembaga


Hipotek Sebagai Jaminan Kebendaan Setelah Berlakunya Undang-Undang Nomor 4
Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan
Dengan Tanah, Jurnal Lex Privatum Vol. IX,No. 3, 2021, Hal.56

Hafidah, Noor, Kajian Prinsip Hukum Jaminan Syariah Dalam Kerangka Sistem Hukum
Syariah, (Dosen Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat), Hal. 10-13
Hidayat, Mas Rachmat, dkk. 2020. Kekuatan Hukum Pengikatan Hak Tanggugan Atas
Jaminan Kredit. Jurnal Akrab Juara Vol.5, No.1. Hal.55-65
Indonesia, Departemen Agama Republik, Al-Quran Dan Terjemahannya. (Surabaya: Mekar
Surabaya, 20002)

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Diakses Dari


https://kejarisukoharjo.go.id/file/a6d2803a1ea733394063e8f006d31912.pdf (Pada
tanggal 21 April 2022, Pukul 22.49 WIB)
Komang Indra Suputra, Desak Putu Dewi Kasih,dan Ni Putu Purwanti, Pelaksanaan
Penjaminan Gadai Atas Deposito Berjangka Dalam Perjanjian Kredit Pada Pt. Bank
Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. Kantor Cabang Singaraja, Kertha Semaya: Journal
Ilmu Hukum Vol. 4, No.2, 2016, Hal.7

35
Letezia Tobing, Tentang Borgtocht, 8 Mei 2013, Diakses di
https://www.hukumonline.com/klinik/a/tentang-borgtocht-lt5175201097ce4 (Pada
tanggal 23 April 2022, Pukul 04.10 WIB)

Marulak Pardede, Laporan Akhir: Implementasi Jaminan Fidusia Implementasi Jaminan


Fidusia Dalam Pemberian Kredit Dalam Pemberian Kredit Di Indonesia, (Jakarta,
2006: BPHN), Hal. 39
Mas Rachmat Hidayat, Krisnadi Nasution, Sri Setyadji, Kekuatan Hukum Pengikatan Hak
Tanggugan Atas Jaminan Kredit, Jurnal AKRAB JUARA Vol.5, No.1, Hal.57
Maulana, Muhammad, jaminan dalam pembiayaan pada perbankan syariah di
indonesia (analisis jaminan pembiayaan musyārakah dan muḍārabah, (Fakultas
Syari’ah dan Ekonomi Islam UIN Ar-Raniry Banda Aceh, Vol. 14. No. 1, Agustus
2014), Hal. 73-74

Maulana, Muhammad. 2014. Jaminan dalam pembiayaan pada perbankan syariah di


indonesia (analisis jaminan pembiayaan musyārakah dan muḍārabah. Jurnal Ar-
Raniry Banda Aceh, Vol. 14. No. 1. Hal. 72-93
Najmi, Sitty, dkk.2014.Pengikatan Jaminan Fidusia Oleh Kreditur Dalam Perjanjian Kredit
Dan Akad Pembiayaan Di Kota Banda Aceh.Jurnal Ilmu Hukum Vol.2, No.1. Hal.41-
51
Noor,Hafidah. Kajian Prinsip Hukum Jaminan Syariah Dalam Kerangka Sistem Hukum
Syariah, (Dosen Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat), Hal. 1-19
Pasal 10, Undang-Undang No.42 Tahun 1999, Tentang Jaminan Fidusia

Pasal 7, Undang-Undang No.42 Tahun 1999, Tentang Jaminan Fidusia.

Pardede, Marulak.2006. Laporan Akhir: “Implementasi Jaminan Fidusia Implementasi


Jaminan Fidusia Dalam Pemberian Kredit Dalam Pemberian Kredit Di
Indonesia” .Jakarta : BPHN).
Peraturan Daerah Kota Batam Nomer 2 Tahun 2002, Tentang Ketentuan Bangunan Kota
Batam.
Posumah, Adrian Alexander.2017. Pengikatan Jaminan Dalam Pelaksanaan Pemberian
Kredit Bank Menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998. Lex Privatum
Vol.V, No. 1. Hal.56-63
Pranoto, ‘Legalitas Akad Syariah Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93 / Puu-X /
2012 Tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 , Tentang Perbankan
Syariah Tahun 1945’, Jurnal Repertorium, No. 3, 2015, Hal. 83-83

Rumengan, Filia,dkk.2021.Eksistensi Lembaga Hipotek Sebagai Jaminan Kebendaan Setelah


Berlakunya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas

36
Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah. Jurnal Lex Privatum
Vol. IX, No. 3. Hal.55-64
Rusli,Tami.2008.Hak Tanggungan Sebagai Lembaga Jaminan Terhadap Hak Milik Atas
Tanah. Pranata Hukum Vol.3 No.2. Hal.77-91
Sitty Najmi, Dahlan,dan Ilyas Ismail, Pengikatan Jaminan Fidusia Oleh Kreditur Dalam
Perjanjian Kredit Dan Akad Pembiayaan Di Kota Banda Aceh, Jurnal Ilmu Hukum
Vol.2, No.1,2014, Hal.44

Suputra,Komang Indra, dkk.2016.Pelaksanaan Penjaminan Gadai Atas Deposito Berjangka


Dalam Perjanjian Kredit Pada Pt. Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. Kantor
Cabang Singaraja. Kertha Semaya : Journal Ilmu Hukum Vol. 4, No.2. Hal.1-12
Susilo, Edi.2017.Analisis Pembiayaan dan Risiko Perbankan Syariah.Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Tami Rusli, Hak Tanggungan Sebagai Lembaga Jaminan Terhadap Hak Milik Atas Tanah,
Pranata Hukum Vol.3 No.2,2018, Hal.79

Tobing, Letezia. 8 Mei 2013. Tentang Borgtocht, Diakses di


https://www.hukumonline.com/klinik/a/tentang-borgtocht-lt5175201097ce4 (Pada
tanggal 23 April 2022, Pukul 04.10 WIB)
Tongat, Hukum Pidana Indonesia Dalam Perspektif Pembaharuan. (Malang: UMM Press,
2009)

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1996, Tentang Hak Tanggungan Atas
Tanah Beserta Benda Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah, Link:
https://www.bphn.go.id/data/documents/96uu004.pdf
Widyatmoko, Aditya.2010.Komparasi Asas Legalitas Dalam Hukum Pidana Islam Dan
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Paper Knowledge . Toward a Media
History of Documents.

37

Anda mungkin juga menyukai