Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

“NILAI KETAATAN HUKUM UUD NRI 1945 DAN IMPLEMENTASI”

Disusun Dalam Rangka Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pancasila

Dosen Pengampuh:

Eliana Siregar, S. Ag, M.Ag

Disusun Oleh:

Olga Andli Utama Putra, 2115040137

Ishmah Afifah, 2115040138

Resti Elvira, 2115040139

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI IMAM BONJOL PADANG

FAKULTAS USHULUDDIN DAN STUDI AGAMA

JURUSAN PSIKOLOGI ISLAM

2021
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya ucapkan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala atas
segala rahmat, nikmat dan hidayah yang telah dilimpahkan-Nya, sehingga
makalah ini dapat kami selesaikan dengan baik yang membahas tentang “Nilai
Ketaatan Hukum UUD NRI 1945 dan Implementasi”.

Selanjutnya, shalawat dan salam kami sanjungkan kepada Rasulullah


Salallahu’alaihi Wasallam dan para sahabat beliau yang telah membawa umat
manusia dari alam kebodohan hingga ke alam penuh ilmu pengetahuan. Saya
mengucapkan berterima kasih sedalam-dalamnya kepada dosen pembimbing ibu
Eliana Siregar, S. Ag, M.Ag selaku dosen mata kuliah Pancasila.

Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka


menambah wawasan serta pengetahuan. Namun terlepas dari pada itu, kami
memahami bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna, sehingga kami
sangat mengharapkan kritik serta saran yang membangun demi terciptanya
makalah selanjutnya yang lebih baik lagi.

Sijunjung, 27 November 2021

Pemakalah

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...................................................................................................... i

DAFTAR ISI ................................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang.......................................................................................................... 1

1.2 Rumusan Masalah .................................................................................................... 2

1.3 Tujuan Penulisan ...................................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Nilai Ketaatan Hukum UUD NRI 1945 .................................................... 3

2.2 Implementasi Nilai Ketaatan Hukum Bersumber dari UUD NRI 1945 ....................... 6

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan ............................................................................................................... 16

3.2 Saran ........................................................................................................................ 16

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................... 17

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latarbelakang Masalah

Pasal 1 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 Negara Republik Indonesia Tahun
1945 menyatakan bahwa “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”.
Sebagaimana dikutip Ridwan HR menurut Hamid S. Attamini, bahwa Negara
Indonesia memang sejak didirikan bertekad menetapkan dirinya sebagai Negara
berdasar Negara hukum (rechstaat), bahkan rechstaat Indonesia itu adalah yang
“memajukan kesejahteraan umum”, “mencerdaskan kehidupan Bangsa” dan
mewujdkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Peranan kesadaran hukum masyarakat sebagaimana tujuan hukum itu


sendiri adalah menjamin kepastian dan keadilan. Dalam kehidupan masyarakat
senantiasa terdapat perbedaan antara pola-pola perilaku atau tata kelakuan yang
berlaku di masyarakat dengan pola-pola perilaku yang dikehendaki oleh norma-
norma (kaidah) hukum. Hal ini dapat menyebabkan timbulnya suatu masalah
berupa kesenjangan sosial sehingga pada waktu tertentu cenderung terjadi
konflik dan ketegangan-ketegangan sosial yang tentunya dapat mengganggu
jalannya perubahan masyarakat sebagaimana arah yang dikehendaki.

Keadaan demikian terjadi oleh karena adanya hukum yang diciptakan


diharapkan dapat dijadikan pedoman (standar) dalam bertindak bagi masyarakat
tidak ada kesadaran hukum, sehingga cenderung tidak ada ketaatan hukum.
Kesadaran hukum dalam masyarakat perlu dipupuk dan ditanamkan agar
masyarakat akan lebih patuh terhadap hukum yang ada, baik itu merupakan
hukum tertulis maupun hukum yang memang tumbuh dan berkembang di
masyarakat dan keberadaannya pun diakui oleh masyarakat.

Indonesia sebagai negara hukum mewajibkan semua orang tidak


terkecuali aparatur pemerintah untuk tidak sewenang-wenang, melainkan harus
tunduk pada peraturan hukum yang berlaku. Dari sini, eksistensi peraturan
menjadi sangat penting.

1
1.2 Rumusan masalah

1. Apa yang dimaksud dengan Nilai Kataatan Hukum itu?


2. Bagaimana implementasi Nilai Ketaatan Hukum masyarakat Indonesia
saat ini?

1.3 Tujuan Penulisan

Apa sajakan yang menjadi tujuan utama dalam penulisan makalah ini? Tujuan
penulisan makalah ini adalah:

1. Agar kita sama-sama memahami apa itu Nilai Ketaatan Hukum.


2. Untuk mengetahui bagaimana penerapan Nilai ketaatan Hukum di
Indonesia sudah terlaksanakan dengan semestinya.

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Nilai Ketaatan Hukum UUD NRI 1945

1. Pengertian Kesadaran Hukum


Kesadaran hukum menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah
kesadaran seseorang akan pengetahuan bahwa suatu perilaku tertentu diatur
oleh hukum. Kesadaran hukum pada titik tertentu diharapkan mampu untuk
mendorong seseorang mematuhi dan melaksanakan atau tidak
melaksanakan apa yang dilarang dan apa yang diperintahkan oleh hukum.
Oleh karena itu, peningkatan kesadaran hukum merupakan salah satu
bagian penting dalam upaya untuk mewujudkan penegakan hukum.

Akibat yang ditimbulkan oleh rendahnya kesadaran hukum tersebut bisa


menjadi lebih parah lagi apabila melanda aparat penegak hukum dan
pembentuk peraturan perundang-undangan. Bisa dibayangkan bagaimana
jadinya upaya penegakan hukum dan kondisi sistem dan tata hukum yang
ada.

Kesadaran hukum diartikan secara terpisah dalam bahasa yang kata


dasarnya “sadar” tahu dan mengerti, dan secara keseluruhan merupakan
mengetahui dan mengerti tentang hukum, menurut Ewick dan Silbey:
“Kesadaran Hukum” mengacu ke cara-cara dimana orang-orang memahami
hukum dan intitusi-institusi hukum, yaitu pemahaman-pemahaman yang
memberikan makna kepada pengalaman dan tindakan orang-orang.

Bagi Ewick dan Silbey, “kesadaran hukum” terbentuk dalam tindakan dan
karenannya merupakan persoalan praktik untuk dikaji secara empiris.
Dengan kata lain, kesadaran hukum adalah persoalan “hukum sebagai
perilaku”, dan bukan “hukum sebagai aturan norma atau asas”. Membangun
kesadaran hukum tidaklah mudah, tidak semua orang memiliki kesadaran
tersebut. Hukum sebagai Fenomena sosial merupakam institusi dan
pengendalian masyarakat. Di dalam masyarakat dijumpai berbagai intitusi

3
yang masing-masing diperlukan di dalam masyarakat untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhannya dan memperlancar jalannya pemenuhan
kebutuhan-kebutuhan tersebut, oleh karena fungsinya demikian masyarakat
perlu akan kehadiran institusi sebagai pemahaman kesadaran hukum.

Pentingnya kesadaran membangun masyarakat yang sadar akan


hukum inilah yang diharapkan akan menunjang dan menjadikan masyarakat
menjunjung tinggi intitusi / aturan sebagai pemenuhan kebutuhan untuk
mendambakan ketaatan serta ketertiban hukum. Peran dan fungsi
membangun kesadaran hukum dalam masyarakat pada umumnya melekat
pada intitusi sebagai pelengkap masyarakat dapat dilihat dengan: 1)
Stabilitas, 2) Memberikan kerangka sosial terhadap kebutuhan-kebutuhan
dalam masyarakat, 3) Memberikan kerangka sosial institusi berwujud norma-
norma,

2. Pengertian Ketaatan Hukum


Ketaatan hukum tidaklah lepas dari kesadaran hukum, dan kesadaran
hukum yang baik adalah ketaatan hukum, dan ketidak sadaran hukum yang
baik adalah ketidak taatan. Pernyataan ketaatan hukum harus disandingkan
sebagai sebab dan akibat dari kesadaran dan ketaatan hukum.

Sebagai hubungan yang tidak dapat dipisahkan antara kesadaran


hukum dan ketaataan hukum maka beberapa literatur yang di ungkap oleh
beberapa pakar mengenai ketaatan hukum bersumber pada kesadaran
hukum, hal tersebut tercermin dua macam kesadaran, yaitu:
1. Legal consciouness as within the law, kesadaran hukum sebagai
ketaatan hukum, berada dalam hukum, sesuai dengan aturan
hukum yang disadari atau dipahami;
2. Legal consciouness as against the law, kesadaran hukum dalam
wujud menentang hukum atau melanggar hukum.

Pasal 1 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 Negara Republik IndonesiaTahun
1945 menyatakan bahwa “Negara Indonesia adalah Negara
Hukum”.Sebagaimana dikutip Ridwan HR menurut Hamid S. Attamini, bahwa
Negara Indonesia memang sejak didirikan bertekad menetapkan dirinya sebagai

4
Negara berdasar Negara hukum (rechstaat), bahkan rechstaat Indonesia itu
adalah yang “memajukan kesejahteraan umum”, “mencerdaskan kehidupan
Bangsa” dan mewujdkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Rechstaat itu adalah rechstaat yang material, yang sosial oleh Bung Hatta
disebut sebagai Negara Pengurus, suatu terjemahan dari Verzogningstaat.

Salah satu karakteristik konsep negara kesejahteraan adalah kewajiban


pemerintah untuk mengupayakan kesejahteraan umum. Menurut E. Utrecht,
adanya unsur kesejahteraan umum menjadi suatu tanda yang menyatakan
adanya suatu “welfare state”. Bagir Manan menyebutkan bahwa dimensi sosial
dari Negara berdasar atas hukum adalah berupa kewajiban negara atas
pemerintah untuk mewujudkan dan menjamin kesejahteraan sosial dalam
suasana sebesar-besarnya kemakmuran menurut azas keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia, dimensi ini secara spesifik melahirkan paham negara
kesejahteraan. Jika adanya kewajiban pemerintah untuk memajukan
kesejahteraan umum merupakan ciri konsep dari negara kesejahteraan,
Indonesia tergolong negara kesejahteraan, karena tugas pemerintah tidaklah
semata-mata hanya di bidang pemerintahan saja, melainkan harus juga
mengupayakan kesejahteraan sosial dalam rangka mencapai tujuan Negara,
yang dijalankan melalui pembangunan nasional.

Para pendiri negara telah berfikir jauh ke depan bahwa negara hukum
yang dibentuknya dalam kerangka Negara Kesejahteraan dalam kenyataannya
saat ini sangat relevan dengan kebutuhan bangsa Indonesia dalam
memantapkan nilai ketaatan hukum. Ketaatan hukum adalah suatu perilaku
berupa tindakan nyata/mentaati hukum atau peraturan yang berlaku. Adanya
ketaatan hukum apabila kesadaran hukum itu timbul, kesadaran hukum memiliki
makna Nilai-Nilai yang terdapat dalam diri manusia mengenai hukum yang ada,
dan perilaku tertentu yang diatur oleh hukum. Kesadaran hukum akan memiliki
makna mendalam apabila pengetahuan, pemahaman dan sikap hukum
bermuara pada perilaku berupa tindakan nyata / mentaati hukum atau peraturan
seperti membayar pajak, retribusi kebersihan, mematuhi rambu-rambu lalu lintas
dan sebagainya.

Kepatuhan atau ketaatan terhadap hukum adalah merupakan hal yang


substansial dalam membangun budaya hukum di negeri ini, dan kepatuhan atau
ketaatan hukum masyarakat pada hakikatnya adalah kesetiaan masyarakat atau

5
subyek hukum itu terhadap hukum yang kesetiaan tersebut diwujudkan dalam
bentuk prilaku yang nyata patuh atau taat pada hukum. Masyarakat tidak patuh
pada hukum karena masyarakat tersebut dihadapkan pada dua tuntutan
kesetiaan dimana antara kesetiaan yang satu bertentangan dengan kesetiaan
lainnya.

Paham konstitusi yang dijadikan landasan pelaksanaan ketatanegaraan


erat dikaitkan hubungannya dengan tujuan negara pada umumnya. Hal ini
menunjukan bahwa konstitusi memiliki posisi yang begitu strategis terhadap
pelaksanaan negara. Dalam hal ini ada kaitannya antara tujuan negara dengan
tujuan hukum. Beberapa tujuan hukum menciptakan : Keadilan (justice),
Kepastian (certainty atau zekerheid) atau ketertiban (order), Kebergunaan atau
kemanfaatan (utility). Ketaatan hukum dikaitkan dengan tujuan negara adalah
untuk memelihara ketertiban dan ketentraman, mempertahankan kekuasaan, dan
mengurus hal-hal yang berkenaan dengan kepentingan-kepentingan umum.
Pasal 28D menyatakan bahwa :

1. “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan


kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan
hukum”.
2. “Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan
perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja”.
3. “Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam
pemerintahan”.
4. “Setiap orang berhak atas status kewarganegaraan”.

2.2 Implementasi Nilai Ketaatan Hukum Bersumber Dari UUD NRI 1945
Dalam Kehidupan Bermasyarakat, Bangsa Dan Negara

1. Implementasi Nilai Ketaatan Hukum

Dewasa ini kondisi pelaksanaan nilai ketaatan hukum masih diwarnai


beberapa permasalahan penegakkan hukum. Masalah penegakkan hukum (rule
of law) di Indonesia merupakan masalah yang kompleks dan multifaktor.
Penegakkan hukum tentunya bermuara pada tercapainya tujuan-tujuan hukum
yang meliputi keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum. Ketiga variabel

6
tersebut sering kali saling bertabrakan satu terhadap yang lain. Keadilan
merupakan hal yang sangat abstrak, hal tersebut disebabkan karena setiap
individu memiliki perspektif yang berbeda mengenai keadilan. Terkadang yang
anggap adil belum tentu adil bagi orang lain. Kemanfaatan juga bersifat abstrak.
Sementara kepastian hukum cenderung lebih statis, variabel ini cenderung kaku
karena dibatasi oleh ketentuan yang sudah dilegalisasi secara permanen.

Dari segi pelaksanaan hukum (law enforcement) dapat dikatakan tidak


ada ketegasan sikap dalam menghadapi pelanggaran-pelanggaran hukum.
Banyak pelanggaran-pelanggaran hukum yang tidak diusut. Tidak sedikit
pengaduan-pengaduan dan laporan-laporan dari masyarakat tentang terjadinya
pelanggaran-pelanggaran atau kejahatan kepada yang berwajib tidak ditanggapi
atau dilayani. Banyak pegawai pengusut yang tidak wenang mendeponir perkara
membiarkan perkara tidak diusut, sedangkan perkara perdata yang bukan
wewenangnya diurusinya. Peristiwa-peristiwa tersebut diatas hampir setiap hari
kita baca di dalam media massa. Boleh dikatakan tidak ada berita di dalam
media massa mengenai suatu daerah yang keadaannya serba teratur tidak ada
pelanggaran, tidak ada kejahatan dan tidak pula ada sengketa. Tidak ada media
massa yang memberitakan tentang suatu daerah yang oleh Ki Dalang lazimnya
digambarkan sebagai “Panjang punjung pasir wukir loh jinawi gemah ripah karta
tur raharja”. Kalau adapun maka selalu dihubungkan atau dibandingkan dengan
tempat lain atau keadaan sebelumnya yang lebih buruk. Jadi bukan semata-mata
hendak memberitahukan yang ”hukum”, tetapi yang menjadi ukuran adalah yang
”tidak hukum” (”onrecht”).

1) Rendahnya Nilai Ketaatan Hukum

Ditinjau dari segi hukum, maka makin banyaknya pemberitaan tentang


pelanggaran hukum, kejahatan atau kebatilan berarti kesadaran akan makin
banyak terjadinya ”onrecht”. Dengan banyaknya pelanggaran hukum maka
semakin berkurangnya toleransi dan sikap berhati-hati di dalam masyarakat,
penyalahgunaan hak dan sebagainya dapatlah dikatakan bahwa kesadaran
hukum masyarakat dewasa ini menurun, yang mau tidak mau mengakibatkan
merosotnya kewibawaan pemerintah juga. Menurunnya kesadaran hukum dalam
hal ini berarti belum cukup tinggi. Kesadaran hukum yang rendah cenderung
pada pelanggaran hukum, sedangkan makin tinggi kesadaran hukum seseorang
maka semakin tinggi pula ketaatan hukumnya.

7
Kurang tegas dan konsekuensinya para petugas penegak hukum
terutama Polisi, Jaksa dan Hakim, dalam menghadapi pelanggaran-pelanggaran
hukum pada umumnya merupakan peluang terjadinya pelanggaran-pelanggaran
atau kejahatan-kejahatan. Tidak ada atau kurangnya pengawasan pada petugas
penegak hukum merupakan perangsang menurunnya kesadaran hukum
masyarakat. Adanya golongan, pejabat-pejabat dan pemimpin-pemimpin tertentu
yang seakan-akan kebal terhadap hukum karena mereka berbuat dan ”dapat”
berbuat semaunya, menimbulkan kesadaran kepada kita bahwa tidak
demikianlah sebaiknya. Sistem pendidikan kita kiranya kurang menaruh
perhatiannya dalam menanamkan pengertian tentang kesadaran hukum.
Mengingat bahwa hukum adalah perlindungan kepentingan manusia, maka
menurunnya kesadaran hukum masyarakat disebabkan karena orang tidak
melihat atau menyadari lagi bahwa hukum melindungi kepentingannya.
Menurunnya kesadaran hukum masyarakat disebabkan juga karena para pejabat
kurang menyadari akan kewajibannya untuk memelihara hukum dan kurangnya
pengertian akan tujuan serta fungsinya dalam pembangunan.

Sepanjang memasuki era reformasi di Indonesia yang sampai saat ini,


yang berarti sudah berjalan selama 17 Tahun, belum mendatangkan angin segar
yang berhembus menyangkut penegakkan hukum (law enforcement) yang
menjanjikan atau memuaskan tuntutan pencari keadilan, namun yang terasa dan
menjadi sorotan publik penegakkan hukum di Indonesia belum sebagaimana
yang diharapkan, (kalau tidak ingin dikatakan macet atau terbengkalai). Dalam
realisasinya kasus-kasus besar mulai Bank Bali, BLBI, Kasus Bank Century,
Lapindo, Munir, Trisakti dan lain-lain, tidak jelas penyelesaiannya. Realitas
penegakkan hukum di Indonesia mendapat raport dari dunia Internasional belum
menggembirakan, sehingga melahirkan potret kenyataan hukum tersebut yang
menggambarkan masih rendahnya nilai ketaatan hukum di Indonesia, seperti :

1. Masyarakat tidak menghormati hukum.


2. Wibawa aparat penegak hukum sangat rendah.
3. Hukum tidak mampu memberikan rasa aman bagi seluruh rakyat.
4. Hukum tidak mampu menyelesaikan persoalan masyarakat yang semakin
komples.
5. Kepastian hukum dan keadilan patut dipertanyakan.

8
Menurut Soerjono faktor-faktor yang menyebabkan warga masyarakat
mematuhi hukum, setidak-tidaknya dapat dikembalikan pada faktor-faktor atau
hal-hal sebagai berikut :

a. Compliance.

Compliance “an overt acceptance induced by expectation of rewards and an


attempt to avoid possible punishment – not by any conviction in the desirability of
the enforced nile. Power of the influencing agent is based on „means-control”
and, as a consequence, the influenced person conforms only under surveillance”.

Orang mentaati hukum karena takut terkena hukuman. Ketaatan sebagai


pemenuhan suatu penerimaan terang yang dibujuk oleh harapan penghargaan
dan suatu usaha untuk menghindari kemungkinan hukuman, bukan karena
keinginan yang kuat untuk mentaati hukum dari dalam diri. Kekuatan yang
mempengaruhi didasarkan pada “alat-alat kendali” dan, sebagai konsekuensinya,
orang yang dipengaruhi menyesuaikan diri hanya dibawah pengawasan.

b. Identification

Identification “an acceptance of a rule not because of its intrinsic value and
appeal but because of a person‟s desire to maintain membership in a group or
relationship with the agent. The source of power is the attractiveness of the
relation which the persons enjoy with the group or agent, and his conformity with
the rule will be dependent upon the salience of these relationships”.

Ketaatan yang bersifat identification, artinya ketaatan kepada suatu aturan


karena takut hubungan baiknya dengan seseorang menjadi rusak. Identifikasi,
yaitu: suatu penerimaan terhadap aturan bukan karena nilai hakikinya, dan
pendekatan hanyalah sebab keinginan seseorang untuk memelihara
keanggotaan di dalam suatu hubungan atau kelompok dengan ketaatan itu.
Sumber kuasa menjadi daya pikat dari hubungan orang-orang yang menikmati
kebersamaan kelompok itu, dan penyesuaiannya dengan aturan akan
bergantung atas hubungan utama ini.

9
c. Internalization

Internalization “the acceptance by an individual of a rule or behavior


because he finds its content intrinsically rewarding … the content is congruent
with a person‟s values either because his values changed and adapted to the
inevitable”.

Ketaatan yang bersifat internalization, artinya ketaatan pada suatu aturan


karena ia benar-benar merasa bahwa aturan itu sesuai dengan nilai instrinsik
yang dianutnya. Internalisasi, yaitu penerimaan oleh aturan perorangan atau
perilaku sebab ia temukan isinya yang pada hakekatnya memberi penghargaan.
Isi adalah sama dan sebangun dengan nilai-nilai seseorang yang manapun,
sebab nilai-nilainya mengubah dan menyesuaikan diri dengan yang tak bisa
diacuhkan. Ada kesadaran dari dalam diri yang membuatnya mentaati hukum
dengan baik.

Kesadaran hukum dan ketaatan hukum sering kita dengar atau kita
membaca pernyataan-pernyataan yang menyampaikan “Kesadaran hukum”
dengan “Ketaatan Hukum” atau “Kepatuhan Hukum”, suatu persepsi keliru.
Pemahaman Kesadaran hukum dan ketaatan hukum yang mana dijelaskan
bahwa :

a. Kesadaran hukum yang baik, yaitu ketaatan hukum.


b. Kesadaran hukum yang buruk, yaitu ketidaktaatan hukum.

Kewajiban moral masyarakat secara individu untuk mentaati hukum.


Dalam hal ini, kita memiliki alasan moral yang kuat untuk melakukan apa yang
diperintahkan oleh hukum. Seperti, tidak melakukan penghinaan, penipuan, atau
mencuri dari orang lain. Kita harus mentaati hukum, karena hukum diciptakan
yang berupa aturan hukum yang disertai dengan ancaman hukuman memang
untuk ditaati. Karena jika tidak ditaati akan terjadi suatu ketidakteraturan hidup
baik dalam bermasyarakat, berbangsa maupun bernegara. Ketidakteraturan ada
karena kesadaran hukum yang buruk yaitu tidak adanya ketaatan hukum
masyarakat yang baik. Ini berarti, Nilai-Nilai ketaatan hukum menjadi vital, sangat
penting serta menentukan sejauh mana manusia-manusia hidup dalam
keteraturan, kepastian dan keadilan.

10
Hukum adalah kompas ilmu untuk manusia, atau sosial ilmu, karena
merupakan bagian integral dan penting dalam komponen manusia masyarakat
dan budaya. Tidak ada kejadian yang dikenal dari suatu keadaan dalam
pengalaman manusia, di mana masyarakat yang heterogen ada dan budaya
telah, atau sudah bebas dari hukum. Dimanapun dan kapanpun masyarakat dan
budaya yang ditemukan, ada hukum juga ditemukan, menggenangi seluruh
masyarakat sebagai-bagian dari budaya. Seperti komponen lain dari masyarakat
manusia dan budaya, hukum adalah fenomena, rentan terhadap ketakutan
intelektual dengan bantuan dari indra manusia, dan tunduk pada penyelidikan
empiris dan ilmiah deskripsi. Hukum merupakan salah satu bentuk budaya untuk
kendali dan regulasi perilaku manusia, baik individual atau kolektif dalam
penerapannya. Hukum adalah alat utama dari kontrol sosial pada masyarakat
modern serta dalam masyarakat primitif.

Oleh karena itu diperlukan pembentukan kesadaran hukum di


masyarakat. Pembentukan masyarakat sadar hukum dan taat akan hukum
merupakan cita-cita dari adanya norma-norma yang menginginkan masyarakat
berkeadilan sehingga sendi-sendi dari budaya masyarakat akan berkembang
menuju terciptanya suatu sistem masyarakat yang menghargai satu sama
lainnya, membuat masyarakat sadar hukum dan taat hukum bukanlah sesuatu
yang mudah dengan membalik telapak tangan, banyak yang harus diupayakan
oleh pendiri atau pemikir negeri ini untuk memikirkan hal tersebut. Hukum
bukanlah satu-satunya yang berfungsi untuk menjadikan masyarakat sadar
hukum dan taat hukum, Indonesia yang notabene adalah negara yang sangat
heterogen tampaknya dalam membentuk formulasi hukum positif agak berbeda
dengan negara-negara yang kulturnya homogen, sangatlah penting kiranya
sebelum membentuk suatu hukum yang akan mengatur perjalanan masyarakat,
haruslah digali tentang filsafat hukum secara lebih komprehensif yang akan
mewujudkan keadilan yang nyata bagi seluruh golongan, suku, ras, agama yang
ada di Indonesia.

Peranan hukum di dalam masyarakat sebagimana tujuan hukum itu


sendiri adalah menjamin kepastian dan keadilan, dalam kehidupan masyarakat
senantiasa terdapat perbedaan antara pola-pola perilaku atau tata-kelakuan
yang berlaku dalam masyarakat dengan pola-pola perilaku yang dikehendaki
oleh norma-norma (kaidah) hukum. Hal ini dapat menyebabkan timbulnya suatu

11
masalah berupa kesenjangan sosial sehingga pada waktu tertentu cenderung
terjadi konflik dan ketegangan-ketegangan sosial yang tentunya dapat
mengganggu jalannya perubahan masyarakat sebagaimana arah yang
dikehendaki. Keadaan demikian terjadi oleh karena adanya hukum yang
diciptakan diharapkan dapat dijadikan pedoman (standard) dalam bertindak bagi
masyarakat tidak ada kesadaran hukum sehingga cenderung tidak ada ketaatan
hukum.

2) Membangun Kesadaran Hukum

Kesadaran hukum diartikan secara terpisah dalam bahasa yang kata


dasarnya “sadar” tahu dan mengerti, dan secara keseluruhan merupakan
mengetahui dan mengerti tentang hukum, menurut Ewick dan Silbey :
“Kesadaran Hukum”, mengacu ke cara-cara dimana orang-orang memahami
hukum dan intitusi-institusi hukum, yaitu pemahaman-pemahaman yang
memberikan makna kepada pengalaman dan tindakan orang-orang.Bagi Ewick
dan Silbey, “kesadaran hukum” terbentuk dalam tindakan dan karenannya
merupakan persoalan praktik untuk dikaji secara empiris. Dengan kata lain,
kesadaran hukum adalah persoalan “hukum sebagai perilaku”, dan bukan
“hukum sebagai aturan norma atau asas”.

Membangun kesadaran hukum tidaklah mudah, tidak semua orang


memiliki kesadaran tersebut. Hukum sebagai Fenomena sosial merupakam
institusi dan pengendalian masyarakat. Di dalam masyarakat dijumpai berbagai
intitusi yang masing-masing diperlukan di dalam masyarakat untuk memenuhi
kebutuhannya dan memperlancar jalannya pemenuhan kebutuhan tersebut, oleh
karena fungsinya demikian masyarakat perlu akan kehadiran institusi sebagai
pemahaman kesadaran hukum. Pentingnya kesadaran membangun masyarakat
yang sadar akan hukum inilah yang diharapkan akan menunjang dan menjadikan
masyarakat menjunjung tinggi intitusi/aturan sebagai pemenuhan kebutuhan
untuk mendambakan ketaatan serta ketertiban hukum. Peran dan fungsi
membangun kesadaran hukum dalam masyarakat pada umumnya melekat pada
intitusi sebagai pelengkap masyarakat dapat dilihat dengan : (1) Stabilitas, (2)
Memberikan kerangka sosial terhadap kebutuhan-kebutuhan dalam masyarakat,
(3) Memberikan kerangka sosial institusi berwujud norma-norma, (4) Jalinan
antar institusi.

12
Adapun faktor-faktor yang mempengarui masyarakat tidak sadar akan
pentingnya hukum, menurut Rahardjo Satjipto meliputi 3 hal yaitu :

a. Adanya ketidak pastian hukum.


b. Peraturan-peraturan bersifat statis.
c. Tidak efisiennya cara-cara masyarakat untuk mempertahankan peraturan
yang berlaku.

Disamping itu, ada juga faktor-faktor yang berlawanan dengan faktor


faktor yang relevan untuk mengkaji tentang kesadaran hukum. Oleh Ahmad Ali
faktor-faktor tersebut meliputi :

a. Penekanan bahwa hukum sebagai otoritas, sangat berkaitandengan


lokasi dimana suatu tindakan hukum terjadi.
b. Studi tentang kesadaran hukum tidak harus mengistimewakanhukum
sebagai sebuah sumber otoritas atau motivasi untuk tindakan.
c. Studi tentang kesadaran hukum memerlukan observasi, tidak sekedar
permasalahan sosial dan peranan hukum dalam memperbaiki kehidupan
mereka, tetapi juga apa mereka lakukan.

3) Membangun Ketaatan Hukum

Bahwa ketaatan hukum itu tidak lepas dari kesadaran hukum, dan
kesadaran hukum yang baik adalah ketaatan hukum, dan dengan logika yang
sama, maka ketidaksadaran hukum adalah ketidaktaatan hukum.

Ilmu hukum berbeda dengan ilmu yang lain dalam kehidupan umat
manusia. Ini karena struktur hukum pada dasarnya berbasis kepada kewajiban
dan tidak diatas komitmen. Kewajiban moral untuk mentaati, dan peranan
peraturan membentuk karakteristik masyarakat. Di dalam kenyataannya ketaatan
hukum tidak identik dengan ketaatan sosial lainnya, ketaatan hukum adalah
kewajiban, maka apabila tidak dilaksanakan timbul sanksi. Sedangkan pada
ketaatan sosial manakala tidak dilaksanakan maka sanksi-sanksi sosial yang
berlaku pada masyarakat yang menjadi penghakim.

Sikap positif terhadap nilai ketaatan hukum akan melahirkan kesadaran


hukum. Kesadaran hukum mengacu ke cara-cara dimana orang-orang
memahami hukum dan intitusi-institusi hukum, yaitu pemahaman-pemahaman

13
yang memberikan makna kepada pengalaman dan tindakan orang-orang.
kesadaran hukum terbentuk dalam tindakan dan karenannya merupakan
persoalan praktik untuk dikaji secara empiris. Dengan kata lain, kesadaran
hukum adalah persoalan hukum sebagai perilaku, dan bukan hukum sebagai
aturan norma atau asas.

Untuk itulah diperlukan sikap positif terhadap nilai ketaatan hukum dalam
bentuk sikap dan perilaku sebagai berikut :

a. Yakin bahwa ketaatan hukum merupakan kewajiban yang harus


dilaksanakan dan apabila tidak dilaksanakan akan timbul sanksi.
b. Menaati suatu aturan karena merasa bahwa aturan itu sesuai dengan
nilai-nila intristik yang dianutnya.
c. Sadar akan kewajiban moral masyarakat untuk mentaati hukum.
d. Bertingkah laku baik untuk memenuhi harapan dari kelompoknya yang
menjadi loyalitas, kepercayaan dan perhatiannya seperti keluarga dan
teman.
e. Loyal kepada lingkungan yang lebih luas seperti kelompok masyarakat
atau negara.
f. Menyadari bahwa orang memiliki pandangan/opini pribadi yang sering
bertentangan dan menekankan cara-cara adil mencapai konsensus
dengan perjanjian, kontrak dan proses yang wajar.
g. Memahami bahwa suatu tindakan dibenarkan berdasarkan prinsip-prinsip
moral yang dipilih karena secara logis, komprehensif, universal, dan
konsisten.
h. Menanamkan pandangan bahwa merupakan “kewajiban moral” bagi
setiap warga negara untuk melakukan yang terbaik yaitu senantiasa
mentaati hukum
i. Menanamkan pandangan bahwa kewajiban utama bagi setiap orang
(Prima facie) adalah kewajiban mentaati hukum.
j. Menyadari dan mau mentaati semua aturan yang berlaku.
k. Kesadaran masyarakat untuk terlibat dalam menegakkan aturan hukum
tumbuh dan berkembang.
l. Bersikap dan berperilaku sesuai harapan dan tujuan hukum yang dibuat.
m. Bersikap dan menanamkan Nilai-Nilai yang positif agar hukum dapat
diterima oleh masyarakat.

14
n. Berbudaya hukum yang tinggi tidak melakukan pelanggaran hukum
meskipun tidak diawasi oleh aparat hukum sehingga tegaknya hukum di
tengah masyarakat tumbuh secara menyeluruh.

4) Implementasi dalam Kehidupan Bermasyarakat:


a. Membayar arisan dan iuran RT, RW, dan PKK tepat waktu.
b. Jika memiliki utang kepada tetangga, bayarlah tepat waktu.
c. Tidak menghina tetangga yang lebih lemah.
d. Tidak menyakiti hati tetang.
e. Tidak main hakim sendiri.

5) Implementasi dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara:


a. Mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku.
b. Mengutamakan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan
pribadi atau golongan.
c. Mengamalkan Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 dengan baik.

15
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Nilai ketaatan hukum merupakan salah satu dari tiga nilai kebangsaan
yang terkandung di dalam UUD NRI Tahun 1945. Nilai ketaatan hukum dewasa
ini menghadapi masa-masa krusial dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara. Keberhasilan amandemen UUD NRI Tahun 1945 dan aplikasinya
sangat menentukan implementasi Nilai-Nilai ketaatan hukum. Nilai ini berkaitan
langsung dengan penegakkan hukum baik dalam materi hukum, aparatur
penegak hukum, sarana dan prasarana hukum, maupun budaya hukumnya.
Kesadaran hukum Indonesia belum tumbuh dengan baik, seperti adanya
anggapan bahwa kesenjangan antara das sollen (keadaan ideal/normatif) dan
das sein (realitas/implementasi) merupakan hal yang dianggap biasa oleh para
penegak hukum kita saat ini. Masih banyak pelanggaran hukum seperti
kejahatan atau kebatilan berarti kesadaran akan makin banyak terjadinya
”onrecht”.

Dengan makin banyaknya pelanggaran hukum makin berkurangnya


toleransi dan sikap berhati-hati di dalam masyarakat, penyalahgunaan hak dan
sebagainya menunjukkan kurang dihormatinya atau kurang berfungsinya hukum
dan nilai ketaatan hukum di masyarakat. Oleh karena itu harus secara dini
ditanamkan sikap positif terhadap nilai ketaatan hukum, sehingga diharapkan
akan melahirkan, menumbuhkan, dan mengembangkan kesadaran hukum.

3.2 Saran

1. Semoga kita sama-sama bisa memahami Nilai Ketaatan Hukum yang


bersumber dari UUD NRI 1945.
2. Semoga kita bisa mengimplementasikan Nilai Ketaatan Hukum dalam
kehidupan sehari-hari, agar tidak terjadi lagi pelanggaran-pelanggaran
hukum di Indonesia ini. Seperti halnya pandemi Covid-19 saat ini, marilah
kita mentaati protokol-protokol kesehatan supaya kita bisa memutuskan
rantai penyebaran virus tersebut.

16
DAFTAR PUSTAKA

E Rosana. 2014. Kepatuhan Hukum Sebagai Wujud. Jurnal TAPIs 10(1).


Januari-Juni 2014. https://core.ac.uk/download/pdf/276127615.pdf

Zulkarnain Hasibuan. 2016. Kesadaran Hukum Dan Ketaatan Hukum Masyarakat


DewasaIni.79-82.http://jurnal.um-
tapsel.ac.id/index.php/Justitia/article/viewFile/40/37

17

Anda mungkin juga menyukai