Anda di halaman 1dari 16

KEMENTERIAN AGAMA RI

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)


SYEKH NURJATI CIREBON
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN
KEGURUAN
PROGRAM STUDI PJJ PAI
Alamat: Jl. Perjuangan By Pass Sunyaragi Telp. (0231) 481264 Faks. (0231) 489926 Cirebon 45132
Website: web.syekhnurjati.ac.id/fitk Email: fItk@syekhnurjati.ac.id.

UJIAN TENGAH SEMESTER

Nama : Mulyana
NIM : 2281130597
Mata Kuliah : Ushul Tarbiyah
Dosen Pengampu :DR. H. Al Ghazali, S.Ag. MM

Jawablah soal di bawah ini dengan tepat.


1. 1. Jelaskan definisi landasan pendidikan dalam Islam! Mengapa
pendidikan perlu dilaksanakan berdasarkan pada suatu landasan yang
kokoh? Berikan alasan saudara !
2. Jelaskan praktek metode Burhani, Bayani, dan Irfani di sekolah anda !

3. Bandingkan makna istilah tarbiyah dengan istilah ta’lim!

4. Rumuskan kembali konsep hakikat realitas, hakikat manusia dan hakikat nilai
berdasarkan Pancasila serta tunjukkan implikasi konsep filsafat Pancasila tersebut
terhadap tujuan pendidikan!

5. Manusia selain sebagi makhluk individu, juga makhluk sosial. Berikan bukti
riil dan penjelasan bahwa manusia tidak bisa hidup secara wajar (mulai lahir
sampai meninggal) tanpa orang lain !
6. Adakah kesesuaian Tauhid dengan system Pendidikan nasional ? Jelaskan !

7. ”Iman, Islam, Ihsan” bagaimana anda menguatkan ketiganya di


sekolah anda !

8.Bagaimana penerapan moderasi dalam Pendidikan islam di


Indonesia?
JAWAB :

1.1.landasan pendidikan adalah asumsi-asumsi yang menjadi dasar pijakan atau


titik tolak  dalam rangka praktek pendidikan dan atau  studi pendidikan.
1.2.Pendidikan perlu dilaksanakan berdasarkan pada suatu landasan yang kokoh,
sehingga jelas tujuannya, tepat isi kurikulumnya, serta efisien dan efektif cara-
cara
pelaksanaanny,Implikasinya,tidak merugikan siapapun, juga relevan berdasarkan
pada kebutuhan individu dan masyarakat serta pembangunanya. Maka dalam
rangka pendidikan mesti terdapat momen studi pendidikan dan momen praktik
pendidikan.

2.1. Praktek metode Burhany dimadasah saya MTs. Ar-Riyadh, Banyuasin, Sumatera-
Selatan :
Epistemologi burhani bersumber dari kealaman dan kemanusiaan yang diterapkan
pada mata pelajaran IPA, IPS, PPKN, Bahasa Arab, Bahasa Indonesia, Seni dan
Olahraga. Metode burhani dilakukan dengan kegiatan tradisi ilmiah melalui
pengembangan ilmu yang sudah ada dan tradisi mencari temuan dari masalah
disekiratnya.
2.2. Praktek metode Bayani di MTs. Ar-Riyadh. Banyuasin, Sumatera-Selatan :
Epistemologi bayani bersumber dari texs yang terdiri dari al-Quran, Hadits, dengan
metode ijtihad, istinbat, istinja dan istidlal diterapkan di Madrasah Tsanawiyah pada
pelajaran al-Quran Hadits, Akidah Akhlak, Fiqh dan Sejarah kembudayaan Islam. Metode
Bayani ini menjadi pondasi ilmu yang kokoh bagi peserta didik pada kegiatan belajar
dimasa yang akan datang.
2.3. Praktek metode Irfany tidak di terapkan di MTs Ar-riyadh, karena metode Irfany
cocok untuk sufi, Metode Irfani dalam prakteknya melalui penyucian hati, atau melalui
tarekat, hakikat dan ma’rifat. Selanjutnya akan kasyaf qolbunya.

3. Perbandingan makna Tarbiyah dan Ta’lim :


- Konsep Ta'lim adalah proses pengajaran yang lebih mengarah pada aspek kognitif.
- Konsep Tarbiyah adalah proses pengajaran yang mampu menumbuhkan dan
mengembangkan peserta didik, yang mencakup Afektif, Kognitif dan Psikomotorik.

-Menurut Abdul Fattah Jalal dalam buku Minal Ushul al-Tarbawiyah fi al-Islam, istilah Ta'lim
diartikan dengan proses yang terus menerus diusahakan manusia sejak lahir untuk
melakukan pembinaan pengetahuan, pemahaman, pengertian, tanggung jawab dan
penanaman amanah

- Menurut Syed Naquib Al-Attas, kata tarbiyah ini kurang memiliki makna yang tepat
untuk pendidikan islam. Sebab, obyeknya tidak di khususkan pada manusia sebagai
makhluk yang paling sempurna diantara ciptaan-Nya yang lain. Menurut
beliau, tarbiyahmengandung pengertian hanya menyinggung aspek fisikal dan emosioanal
dalam pertumbuhan dan perkembangan pada binatang dan manusia. Sehingga, kata ini
kurang tepat digunakan sebagai makna pendidikan islam yang ditujukan untuk membentuk
manusia universal (insanul kamil). Sebagaimana disebutkan dalam al-qur’an :
َ ‫س َيسْ َتصْ ِر ُخ ٗه ۗ َقا َل لَ ٗه م ُْو ٰ ٓسى ِا َّن‬
ٌ‫ك َل َغ ِويٌّ م ُِّبيْن‬ َ ‫َفاَصْ َب َح فِى ْال َم ِد ْي َن ِة َخ ۤا ِٕى ًفا َّي َت َر َّقبُ َف ِا َذا الَّذِى اسْ َت ْن‬
ِ ‫ص َرهٗ ِبااْل َ ْم‬

” Karena itu, jadilah Musa di kota itu merasa takut menunggu-nunggu dengan khawatir
(akibat perbuatannya), maka tiba-tiba orang yang meminta pertolongan kemarin berteriak
meminta pertolongan kepadanya. Musa berkata kepadanya,” Sesungguhnya kamu benar-
benar orang sesat yang nyata (kesesatannya)” (Al-Qhasas: 18).

- Sedangkan ta’lim hanya terbatas pada pengajaran dan pendidikan kognitif saja.


Sehingga, peran otak lebih mendominasi pada tataran ini. Jika otak sebagai ujung
tombaknya maka akan berakibat pada menghilang nilai-nilai yang ada dalam agama islam.
Wal hasil, mereka menganggap ilmu dan agama adalah sesuatu yang terpisahkan. Hal
inilah yang memicu timbulnya pemikiran sekulerisme, liberalisme dan paham lain yang
berasal dari barat. Dimana, tujuan dari semua itu adalah untuk menghancurkan islam
dalam berbagai bidang, termasuk dalam pemikiran. (Sumber: Darunnajah.Com, Serang,
Banten)

4.1. Konsep hakikat realitas Realisme adalah objek indra real (nyata) yang disandarkan
kepada pengetahuan ataupun kesadaran akal dalam pandangan satu funia ekaternal nyata
yang dapat dikenali. objek ini dapat diselidiki, dianalisis, dan dipelajari lewat ilmu dan
ditentukan hakikatnya lewat ilmu filsafat. Realisme memperoleh pengetahuan tentang
realitas melalui sistem inkuiri ke dalam subjek-subjek tertentu. dalam dunia pendidikan
realisme berpandangan erat dengan pemikiran John locke bahwa asal mula adanya
pemikiran manusia adalah sebuah tabula rasa, yang diibaratkan sebagai kertas putih yang
kosong dan dapat di isi dengan pendekatan paikologi behaviorisme dalam bidang
pendidikan. pembelajaran realisme tidak semata-mata terbentuk materi yang tampak mata,
karena pembelajaran moral pun juga sangat berkaitan erat dengan realisme.

Realisme berpandangan bahwa hakikat realitas adalah fisik dan ruh yang bersifat dualistis
yaitu hal fisik dan rohani, disinilah realisme memadukan materialisme dengan idealisme.
pengetahuan dalam dunia pendidikan bukan hanya terletak pada objek tetapi juga subjek.
pendidikan akan mengalami keberhasilan, jika pendidik dan anak didik memiliki persepsi
dan keinginan pengetahuan yang sama. pada prinsipnya realisme memandang hakikat
wujud / realitas/ ontologi secara dualitas, yang terdiri dari fisik dan rohani. realisme dalam
dunia pendidikan memiliki beberapa prinsip yaitu :

- memberi perhatian pada peserta didik seperti apa adanya

- iniatif dalam dunia pendidikan berada pendidik bukan pada anak. hal ini dilakukan untuk
menyesuaikan hidup dan tanggung jawab sosial, juga menciptakan anak didik untuk
menguasai pengetahuan yang handal dan dapat dipercaya melalui kedisiplinan mental
maupun mo Realisme dibagi menjadi 2 yaitu Realisme Klasik/Rasional dan Realisme Alam
(Religius)

Kedua aliran tersebut saling dikaitkan dalam dunia pendidikan sehingga akan menjadikan
keberhasilan dalam pembelajaran, dalam hal ini pendidik bertanggung jawab besar dalam
tugas utamanya yaitu : untuk membawa ide-ide siswa tentang dunia kedalam kesesuaian
dengan realitas dengan kemampuan seperti sejarah matematika atau sains yang
didasarkan pada kewenangan dan keahlian pengetahuan. Realisme Religious berpendapat
bahwa yang tampak adalah dualistis order yaitu "order natural" dan "order supernatural".
Kedua order tersebut berpusat pada Tuhan. Tuhan adalah pencipta semesta alam dan
abadi, oleh karena itu hakikat kebenaran bukan dibuat, melainkan sudah ditentukan oleh
Tuhan. dengan demikian moral pendidikan berpusat pada ajaran agama untuk mencapai
hakikat kebenaran menurut Tuhan

(https://www.kompasiana.com/ermitafaradisa9404/5e8ebcb451da53092016f5e2/filsafat-pendidikan-realisme)

4.2. Hakikat manusia

A.Manusia sebagai makhluk rasional yang dapat berpikir dan mempergunakan


ilmuuntuk meningkatkan perkembangan pada dirinya. Manusia juga dapat belajar
mengatasimasalah-masalah yang dihadapinya. Kemampuan-kemampuan yang ada pada
dirinya harusdimanfaatkan oleh dirinya sendiri. Kemudian manusia harus berusaha terus-
menerusmemperkembangkan dan meningkatkan dirinya sendiri, khusunya melalui
Pendidikan

hakekat manusia sangat berhubungan erat dengan pendidikan, dan pendidikan merupakan
hal yang sangat berpengaruh pada kehidupanmanusia, dimana dengan adanya pendidikan
maka manusia dapat berkembang dan berpikir untuk mencapai dan menghadapi masa
depan. Dengan kemampuan yang dimiliki sebagaihasil dari proses pendidikan, dapat
dijadikan sebagai bekal untuk mampu berperan dalamlingkungan dimana individu tersebut
berada, sekaligus mampu menempatkan diri sesuaidengan perannya. (Aldi
RiyansyahAldipelita2017@gmail.com)

B. Hakikat Manusia dan Pendidikan Menurut Pancasila

Amanat dari Pembukaan UUD 1945 menyatakan, “ Kemudian dari pada itu untuk
membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan
umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka.....” Amanat ini
memberikan inspirasi bahwa Pancasila mengandung nilai-nilai yang luhur dalam
menempatkan kepentingan umat baik melalui peningkatan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ketertiban dunia. 
Nilai kesejahteraan, kecerdasan dan ketertiban, merupakan cita-cita yang perlu
dikembangkan melalui proses yang kompleks yang mempunyai kaitan erat antara satu
aspek dengan aspek-aspek kehidupan lainnya. Pandangan ini memberi makna, bahwa
segala permasalahan yang menyangkut aspek dunia perlu dipecahkan melalui perangkat
ilmu pengetahuan dan teknologi. Sedangkan aspek kesejahteraan, kecerdasan dan
ketertiban yang juga mengandung makna rohaniah (batiniah) dipecahkan bukan hanya
dengan ilmu dan teknologi, tetapi juga dengan pendekatan filsafiah dan agama. Hal
tersebut mengandung makna, bahwa manusia mempunyai potensi yang luar biasa yang
berbeda dengan jenis makhluk apapun yaitu potensi akal (homo sapien). 
Dengan potensi akal inilah alam telah mampu ditaklukan, kehidupan telah begitu
merambah ke berbagai lapangan yang tadinya dianggap tidak mungkin, sekarang menjadi
mungkin. Banyak hasil pemikiran manusia yang berupa ilmu pengetahuan dan teknologi
modern, termasuk ilmu cybernetic yang menjelajah alam maya pada, sehingga berbagai
informasi di seluruh penjuru dunia bisa dideteksi dan diantisipasi perkembangannya.
Semua kemampuan ini adalah berkat perkembangan akal manusia yang dikembangkan
melalui pendidikan. 
Dengan dasar pemikiran tersebut, maka keutamaan hakikat manusia ditempatkan
pada derajat yang paling tinggi oleh pandangan Pancasila, karena manusia sebagai subyek
yang menentukan maju dan mundurnya kehidupan baik sebagai individu, sebagai anggota
masyarakat ataupun sebagai khalifah di bumi yang harus bertanggung jawab kepada Sang
Khalik, Tuhan Yang Maha Esa. Untuk mencapai derajat manusia yang berkualitas tersebut,
pendidikan adalah wahana yang dapat mengantarkan dan membimbing manusia ke tingkat
martabat manusiawi. 
Keutamaan hakikat manusia bisa berkembang apabila potensi-potensi lain yang ada
pada diri manusia juga dikembangkan secara optimal. Perkembangan pribadi yang optimal
hanya mungkin apabila dalam diri seseorang tidak ada tekanan dan intervensi yang jauh
dalam mengendalikan kehidupannya. Sekaitan dengan itu, Ki Hajar Dewantara (1983; 35-
40) menggagas pendidikan yang berbasis pada lima dasar (Panca Darma) yaitu:
Kemerdekaan, kodarat alam, kebudayaan, kebangsaan, dan kemanusiaan. Prinsip tersebut
menggambarkan betapa keunggulan manusia dihargai dan dikembangkan sesuai dengan
hak azasi yang ada pada manusia, bukan hanya sebagai slogan yang disebarkan negara
adikuasa agar menjunjung tinggi hak azasi manusia, sementara mereka mengintervensi
negara lain dengan dalih menegakkan demokrasi. 
Manusia, menurut pandangan Pancasila adalah sebagai makhluk ciptaan Tuhan
Yang Maha Esa, makhluk individual dan sekaligus sosial, dan dari ketiga potensi tersebut
merupakan satu kesatuan yang utuh sebagai subtansi manusia Indonesia dari wujud
jasmani dan rohaninya. Pancasila menghargai terhadap nilai-nilai dan hak-hak pribadi
(individual), selama nilai-nilai tadi tidak bertentangan dengan kepentingan masyarakat atau
negara. Pancasila juga tidak mengutamakan nilai-nilai masyarakat atau golongan, apabila
nilai-nilai itu bertentangan dengan nilai-nilai martabat kemanusiaan secara hakiki maupun
secara yuridis. Pancasila lebih mendukung terhadap nilai-nilai individual yang memberikan
kemaslahatan bagi kehidupan bermasyarakat, dan nilai-nilai kemasyarakatan yang
mendukung terhadap perbaikan nilai/mutu kehidupan para anggotanya dan masyarakat
sebagai kesatuan. Dengan demikian, Pancasila menempatkan manusia dalam keluhuran
martabatnya sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Manusialah yang menjadi titik tolak
usaha kita untuk memahami manusia itu sendiri, manusia dan masyarakat, serta manusia
dengan lingkungan hidupnya (BP7; 1996, hal. 46) 
Pandangan Pancasila terhadap hakekat manusia sebagai makhluk ciptaan yang
paling sempurna dari Tuhan Yang Maha Esa, adalah bahwa manusia mempunyai potensi
yang dibawa sejak lahir, yang perlu dikembangkan dalam kehidupan melalui proses
pendidikan. Potensi ini yang diyakini bahwa manusia disamping memiliki kekuatan juga ada
sisi kelemahannya, di samping ada kebaikan ada juga sisi kurang baiknya. Oleh karena itu,
Pancasila bertolak dari nilai-nilai kemanusiaan, yaitu menempatkan manusia dalam
keluhuran harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Manusialah
yang menjadi titik tolak usaha kita untuk memahami manusia itu sendiri, manusia dan
martabatnya, serta manusia dengan lingkungan hidupnya. Implikasi dari pernyataan
tersebut adalah bahwa seluruh upaya dalam rangka membangun manusia Indonesia harus
bertolak dan bermuara pada hakikat manusianya, terlebih dalam upaya pendidikan yang
tidak mungkin melepaskan permasalahan manusia. 
Manusia Indonesia dalam pandangan Pancasila tidak diartikan sebagai makhluk
individual yang menyendiri, terasing dan terlepas dari yang lainnya, tetapi sebagai makhluk
yang hidup “sesama manusia” dan bersama manusia lainnya. Pemikiran ini juga pernah
dikemukan oleh M. Heidegger yang dikutip oleh MI.Soelaeman (1984, hal. 101) yaitu
bahwa “menjadi manusia adalah menjadi sesama manusia”. Maksudnya ialah bahwa setiap
kita memikirkan dan menentukan manusia, kita selalu menjumpainya bersama manusia
lain, bersama sesama manusia, sehingga menurut pandangan ini bahwa manusia tidak
terbayangkan jika tanpa lingkungan manusia dan pendidikan. Hal ini mengandung makna,
bahwa manusia yang hidup dengan manusia lain tidak selalu meningkatkan harkat dan
martabat kemanusiawiannya, apabila tanpa dibarengi dengan pendidikan. Pernyataan ini
menunjukkan bahwa keutamaan manusia hanya bisa dikembangkan melalui pendidik-an,
baik pendidikan umum maupun pendidikan profesional. 
Uraian tersebut memberikan pemahaman kepada kita, bahwa titik tolak untuk
melaksanakan pendidikan adalah memahami terhadap konsep hakikat manusia dan usaha-
usaha pemberian bantuannya dengan kerjasama dalam mencapai tujuan pendidikan.
Demikian pula, Soeprapto, dkk. (1996; 45) menjelaskan tentang pentingnya pemahaman
terhadap hakikat pendidikan, bahwa Pancasila mengakui manusia sejak lahir sampai
meninggal dunia memerlukan bantuan dan kerjasama dengan orang lain. Manusia sebagai
makhluk berperasaan, memerlukan tanggapan emosional dari orang lain, memerlukan
pengertian, kasih sayang, harga diri, dan pengakuan untuk pergaulan dan kesejahteraan
hidup yang sehat. Makna yang terkandung dalam penjelasan tersebut, adalah bahwa untuk
mengembangkan manusia Indonesia ke derajat yang lebih unggul diperlukan pendidikan
yang berbasis pada pemahaman hakikat manusia yang memiliki potensi-potensi psikologis,
sosiologis, kultural, biologis, dan potensi-potensi lainnya. Konsep hakikat pendidikan
Pancasila, sebagaimana Soeprapto, dkk. (1996), menyatakan bahwa: 

Pancasila menampilkan pandangan bahwa manusia pada hakikatnya adalah


kesatuan pribadi yang memiliki dimensi individual dan sekaligus sosial. Oleh karena itu,
pembentukan kepribadiannya harus terjadi dengan merealisasikan kedua dimensi itu
secara integral dan seimbang. Pengembangan pribadi hanya terjadi dengan baik sejauh
dilakukan dalam konteks kemasyarakatannya, sedangkan masyarakat hanya akan
bermakna dan meningkat kualitasnya sejauh mampu mendukung proses pendewasaan
pribadi-pribadi warganya. 

Konsep tersebut, secara tegas memandang manusia sebagai kesatuan yang utuh
antara berbagai aspek yang ada pada diri manusia, baik antara dimensi individual dan
sosial, maupun antara dimensi keragawian dan kejiwaan serta keruhanian. 
Apabila manusia itu dipandang dari aspek fisiknya belaka, maka manusia hanya
dianggap sebagai mesin belaka, sehingga menggerakkkan dan menghidupkan manusia
tidak ada ubahnya dengan menggerakkan dan menghidupkan mesin. Maka gerak dan
hidup manusia akan tunduk pada hukum yang sifatnya mekanistik, seperti mesin, yang
penting mesin itu dapat berfungsi, sedangkan yang merupakan tujuan dari segala gerak
berada di luar jangkauan mesin. Dengan perkataan lain, dari manusia yang hidup dan
bergerak seperti mesin itu tidak dapat diharapkan bahwa ia dapat bersifat aktif dan kreatif
serta bertanggung jawab, tidak dapat dari padanya “menumbuhkan manusia-manusia
pembangunan yang dapat membangun dirinya serta bersama-sama bertanggungjawab
atas pembangunan bangsa”. 
Apabila pandangan yang menganggap bahwa manusia hidup secara mekanistis
dapat dikendalikan segalanya oleh kekuatan atau otoritas, apakah manusia yang demikian
dapat dipertinggi budi pekertinya dan diperkuat kepribadiannya ? Oleh karena itu, Pancasila
mengakui hakikat manusia tidak dilihat dari aspek raganya belaka, namun raga/badan
manusia yang hidup mencakup aspek jiwani, merupakan realisasi kejiwaan. Hal ini dapat
kita lihat bagaimana orang gembira, akan memancarkan sinar di wajah yang berseri-seri
atau meneteskan air mata karena bahagia, atau tertawa gembira atau dengan sujud syukur
yang tercermin dari gerak dan laku badan. 
Dengan demikian, pandangan Pancasila terhadap hakikat manusia yang didasarkan
pada keyakinan bahwa manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan sesuai dengan sila
Ketuhanan Yang Maha Esa, membuka perspektif yang jauh terhadap pandangan tentang
hakikat manusia (antropologis) serta memiliki dampaknya terhadap pengertian serta
pelaksanaan pendidikan. Permasalahannya adalah belum semua guru memahami
bagaimana bertindak pedagogis yang sesuai dengan pandangan bahwa hakikat manusia
sebagai makhluk Tuhan. 
Pemahaman terhadap hakikat manusia sebagai makhluk Tuhan, mengimplikasikan
pandangan bahwa manusia memiliki kekuatan dan potensi yang jika dididik dengan benar,
maka ia akan memiliki ruh ilahiah yang mempunyai kecenderungan selalu ingin berbuat
baik dan benar. Tetapi disisi lain, manusia memiliki raga yang selalu berkorespondensi
dengan dunia empirik yang memiliki kecenderungan bertindak faktual, operasional, dan
pragmatik. Terlebih manusia memiliki dorongan-dorongan emosional, dan instinktif, yang
memungkinkan manusia cenderung ingin memuaskan hawa nafsunya. Dorongan-dorongan
ini perlu diarahkan ke perbuatan-perbuatan yang lebih rasional, positif, dan etis. Upaya ini
merupakan perbuatan pendidikan yang pada satu sisi membimbing ke jalan tujuan hidup
setelah kehidupan di dunia, dan mengarahkan dan melatih dorongan-dorongan untuk
menjadi kegiatan-kegiatan yang rasional, positif dan berdaya guna bagi kehidupannya. 
Rumusan hakikat manusia sebagai makhluk Tuhan, tidak sekedar menjadi rumusan
yang tanpa arti apapun, sehingga kurikulum tidak mampu membunyikan apa tujuan yang
ingin dicapai setelah anak menyelesaikan pendidikan formalnya. Oleh karena itu,
diperlukan rumusan yang tegas tentang hakikat manusia menurut Pancasila dengan
penjabarannya secara rinci, untuk dapat disusun rumusan tujuan pendidikan yang akan
dicapai. Hasil rumusan ini akan memberikan penafsiran tentang konsepsi pendidikan yang
berbasis pada landasan filsafat Pancasila. 
Pendidikan, dikonsepsikan sebagai usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan
suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan
potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa dan negara. (UURI, No. 20/2003, Pasal 1 ayat 1, hal, 2). Selanjutnya,
pada Pasal 1 ayat 2 (UURI, No. 20/2003), dinyatakan bahwa pendidikan nasional adalah
pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional
Indonesia, dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman. 
Selaras dengan pandangan manusia sebagai makhluk Tuhan, maka dalam menggali
nilai-nilai yang melandasi pendidikan itu hendaknya diperhatikan pula nilai-nilai yang
bersumber pada Tuhan. Namun demikian, sebagai manusia yang hidup di dunia yang riil
sekarang ini, dalam mengabdikan diri kepada Tuhan itu, hendaknya tidak mengabaikan
kehidupan dan permasalahan hidup di dunia. Antara kehidupan di dunia dengan kehidupan
di akhirat hendaknya terdapat keseimbangan, keseimbangan antara kebutuhan material
dan spiritual, individual dan sosial, dan keseimbangan kebutuhan jasmani dan rohani. 
Untuk mampu berbuat yang selaras dengan nilai-nilai keseimbangan, baik yang
didasarkan pada nilai keagamaan, maupun nilai-nilai yang ada dalam kehidupan
sosial/masyarakat dan negara, diperlukan suatu proses pendidikan yang panjang yang
dimulai dari kehidupan keluarga, sekolah dan masyarakat. Pendidikan yang demikian tidak
membatasi hanya pada pendidikan sekolah, tetapi pendidikan di semua jenjang, jenis dan
jalur, yang mengimplementasikan prinsip pendidikan sepanjang hayat, dan hakikat
pendidikan sepanjang hayat adalah pendidikan umum. Dengan demikian, pendidikan
umum adalah pendidikan yang berorientasi pada terbentuknya kepribadian manusia secara
utuh, yang di dalam prosesnya terjadi internalisasi nilai-nilai, baik nilai ketuhanan, nilai
kemasyarakatan/kesosialan, nilai kemanusiaan, nilai hak dan kewajiban, nilai keadilan dan
kebenaran, nilai kejujuran dan kedisiplinan dan nilai-nilai lain yang berbasis pada etika dan
estetika pergaulan. 
Prinsip pendidikan sepanjang hayat, merupakan teori pendidikan yang penting dan
perlu diimplementasikan pada perencanaan dan pelaksanaan pendidikan di semua jenis,
jenjang dan jalur pendidikan, sehingga pendidikan mempunyai makna kehidupan yang
dimulai dari sejak usia dini sampai ke liang lahat. Prinsip ini walaupun bukan dilahirkan oleh
Pancasila, namun nilai-nilai yang ada dalam sila-sila Pancasila telah mendasari dan
memayungi prinsip pendidikan sepanjang hayat. 
Menurut Waini Rasyidin (1982, hal 149-157) pendidikan sepanjang hayat adalah
“sebuah konsep yang menerangkan tentang bagaimana seharusnya pendidikan dalam
kehidupan kita ini diselenggarakan”. Konsep ini adalah konsep pendidikan semesta,
dimana melihat pendidikan sebagai sebuah keseluruhan yang terpadu dari semua kegiatan
pendidikan atau pengalaman belajar yang terdapat dalam kehidupan manusia. 
Apabila prinsip pendidikan sepanjang hayat ini difahami sebagai prinsip
pengembangan pada manusia, maka ada tiga ciri konsep pendidikan sepanjang hayat,
yaitu: 

 Keterpaduan vertikal, yaitu bahwa pendidikan berlangsung pada seluruh tahap


perkembangan seseorang, sejak lahir sampai mati. Hal ini berarti bahwa kegiatan
pendidikan dan belajar harus berlangsung dalam semua tahap perkembangan hidup
seseorang sejak lahir sampai mati. Setiap tahap perkembangan hidup berlangsung
kegiatan belajar yang tertuju kepada pencapaian pertumbuhan optimal dan
penyempurnaan hidup dalam setiap tahap tersebut, dan persiapan belajar untuk
tahap berikutnya, sehingga akhirnya tercapai tingkat hidup pribadi, sosial, dan
profesional yang optimal. Dengan demikian, perlu kesinambunagn antara kegiatan
belajar pada satu tahap dengan tahap berikutnya. Keterpaduan vertikal, mempunyai
makna bahwa pendidikan tidaklah berakhir setelah pendidikan sekolah selesai,
tetapi ada pendidikan pengembangan diri sampai seseorang menemui ajalnya. 
 Keterpaduan horizontal, yaitu bahwa pendidikan mencakup pengembangan semua
aspek kehidupan dan kepribadian seseorang. Hal ini berarti bahwa pendidikan yang
berlangsung pada setiap tahap perkembangan hidup seseorang, harus mampu
mengembangkan secara terpadu aspek-aspek fisik, intelektual, afektif, dan spiritual,
yang pada akhirnya tercapai perkembangan kepribadian yang lengkap. Makna lain
dari perpaduan horizontal adalah bahwa pendidikan seumur hidup mencakup
pendidikan umum dan pendidikan profesional. 
 Keterpaduan ekologis, yaitu prinsip bahwa pendidikan berlangsung dalam
lingkungan kehidupan manusia. Hal ini mengandung makna bahwa pendidikan
tidaklah terbatas pada pengalaman belajar di sekolah, tetapi juga terjadi melalui
pengalaman belajar yang tidak terencana dan insidental. Pengalaman belajar di
keluarga tidak terpisahkan dari pendidikan sekolah dan masyarakat sepanjang
hayat. 
 Keragaman dan kelugasan dalam pendidikan, adalah konsep yang menuntut
adanya keragaman dan kelugasan program dan kegiatan yang dirancang dalam
pendidikan. Pendidikan tidak bersifat satu jalur pengalaman belajar (monolitik), tetapi
pengalaman belajar yang diselaraskan kepada kesempatan dan minat seseorang.
Program dan kegiatan pendidikan hendaknya memberi peluang pada seseorang
sesuai dengan kebutuhan dan kondisi yang berbeda-beda, sehingga kegiatan
belajar mengarah kepada belajar sendiri dan pembinaan diri sendiri. 

Dengan demikian, konsep pendidikan sepanjang hayat menghendaki agar


masyarakat dan dunia modern lebih menekankan pada fungsi pendidikan yang bersifat
inovatif dari pada adaptif. Demikian pula pendidikan bukan merupakan hak prerogratif dari
sekelompok orang tertentu. Kesamaan kesempatan pendidikan untuk semua orang dalam
setiap tahap hidupnya hendaknya diberikan, sehingga mengarah pada proses
demokratisasi dalam pendidikan, di mana setiap orang dapat mewujudkan hak asasinya,
yaitu mengembangkan seluruh potensinya secara optimal.

(Sumber: http://fitripacrisia.blogspot.com/2017/01/filsafat-pendidikan-pancasila-dan.html?m=0)

4.3.Hakikat nilai berdasarkan Pancasila

Hakikat dan makna nilai adalah berupa norma, etika, peraturan, undang-undang, adat
kebiasaan, aturan agama dan rujukan lainnya yang memiliki harga dan dirasakan berharga
bagi seseorang. Nilai bersifat abstrak, berada dibalik fakta, memunculkan tindakan,
terdapat dalam moral seseorang, muncul sebagai ujung proses psikologis, dan
berkembang kearah yang lebih kompleks. Kattsoff dalam Soejono Soemargono (2004: 323)
mengatakan bahwa hakekat nilai dapat dijawab dengan tiga macam cara: Pertama, nilai
sepenuhnya berhakekat subyektif, tergantung kepada pengalaman manusia pemberi nilai
itu sendiri. Kedua, nilai merupakan kenyataan-kenyataan ditinjau dari segi ontology,namun
tidak terdapat dalam ruang dan waktu. Nilai-nilai tersebut merupakan esensi logis dan
dapat diketahui melalui akal. Ketiga, nilai-nilai merupakan unsure-unsur objektif yang
menyusun kenyataan Mengenai makna nilai Kattsoff mengatakan, bahwa nilai menpunyai
beberapa macam makna. Sejalan dengan itu, maka makna nilai juga bermacam
macam.Rumusan yang bisa penulis kemukakan tentang makna nilai itu adalah
bahwa sesuatu itu harus mengandung nilai (berguna), merupakan nilai (baik,
benar,atau bagus),mempunyai nilai artinya merupakan objek keinginan,
mempunyai kualitas yang dapat menyebabkan orang mengambil sikap
„menyetujui‟ atau mempunyai sifat nilai tertentu, dan memberi nilai, artinya
menanggapi seseuatu sebagai hal yang diinginkan atau sebagai hal yang
menggambarkan nilai tertentu.

Jadi hakikat nilai berdasarkan Pancasila adalah norma, etika, peraturan, undang-undang,
adat kebiasaan, aturan agama dan rujukan lainnya yang memiliki harga dan dirasakan
berharga bagi seseorang atau masyarakat berdasarkan nilai ketuhana, kemanusiaan,
persatuan,permusyawaratan,dan keadilan soaial.
(sumber:http://file.upi.edu/Direktori/FPBS/JUR._PEND._BAHASA_ARAB/195204141980021-DUDUNG_RAHMAT_HIDAYAT/
HAKIKAT_DAN_MAKNA_NILAI.pdf)

4.4. Implikasi konsep filsafat Pancasila terhadap tujuan Pendidikan.

Pancasila sebagai paradigma kehidupan berbangsa dan bernegara mengandung


konsekuensi dalam segala aspek bidang nasional harus berlandaskan pada nilai-nilai
Pancasila

Filsafat Pancasila yang memandang hakikat manusia sebagai monopluralis akan tercermin
dalam pelaksanaan kegiatan pendidikan yang subyeknya adalah manusia Aplikasi falsafah
Pancasila yang terjabarkan dalam sila-sila Pancasila secara tepat dan integratif di dalam
paradigma kehidupan terutama di dunia pendidikan sebagai sistem pengetahuan dan
pedoman perlu terus dijaga dan dikembangkan agar arah dan pelaksanaan pendidikan
mampu mengembangkan kompetensi manusia secara utuh sebagai monopluralis
berlandaskan nilai-nilai yang berasal dari akar budaya bangsa Indonesia sendiri karena
pancasila merupakan hakikat dasar dari sila-sila serta memiliki satu kesatuan dasar

Tujuan Pendidikan yang dirumuskan dalam Undang-Undang No. 20/ 2003, tentang
Sistem Pendidikan Nasional merupakan penjabaran dari landasan ideal dan konstitusional,
yaitu Pancasila dan UUD 1945. Nilai-nilai dari Pancasila sebagai hasil pemikiran kritis,
komprehensif dan kontemplatif, serta pengalaman sejarah yang penting, mempunyai nilai
yang tidak hanya bersifat universal dari masing-masing silanya, tetapi juga mempunyai
makna integral yang lebih dalam bagi bangsa Indonesia. Nilai-nilai yang terkandung dari
Pancasila, secara integral memberi makna, arah dan tujuan pendidikan bangsa Indonesia
yang isinya mencakup; ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan keadilan
sosial. Secara keseluruhan, tujuan pendidikan ingin mencapai taraf kualitas manusia
seutuhnya. Maksud manusia seutuhnya, memiliki cakupan kualitas material dan spiritual,
jasmani, mental, sosial dan rohani, yang dikembangkan secara selaras, serasi dan
seimbang. Tujuan pendidikan yang dijabarkan dari Pancasila dan UUD 1945, dirumuskan
dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No.20/2003, pada Bab II pasal 2, yang
berbunyi sebagai berikut : 

Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta


peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,
bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman
dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. 
Tujuan pendidikan tersebut secara essensial dimanifestasikan dalam segala bentuk
tujuan pendidikan, baik tujuan pendidikan institusional (kelembagaan), tujuan pendidikan
kurikuler (kurikulum untuk jenjang dan jenis pendidikan) dan tujuan pendidikan
pembelajaran (instruksional di sekolah/di kelas). Tujuan pendidikan nasional berfungsi
untuk mengembangkan kemampuan serta meningkatkan mutu kehidupan dan martabat
manusia Indonesia dalam rangka upaya mewujudkan tujuan nasional. 

Tujuan Pendidikan institusional berfungsi untuk mengembangkan kemampuan dan


keterampilan peserta didik, sesuai dengan jenis pendidikan yang dialaminya. Jenis
pendidikan ada tiga jalur, yaitu jalur pendidikan informal, jalur nonformal dan jalur
pendidikan sekolah. Jalur pendidikan sekolah mempunyai jenis-jenis pendidikan: umum,
kejuruan, luar biasa, kedinasan., keagamaan, akademik, dan pendidikan professional. Jalur
Pendidikan nonformal, mempunyai jenis-jenis pendidikan; Kursus, pendidikan masyarakat,
pendidikan politik, pendidikan keorganisasian, dan lain-lain. 
Tujuan pendidikan kurikuler mempunyai fungsi mengembangkan kemampuan
akademik dan keterampilan professional/vokasional dari jenjang dan jenis pendidikan yang
ditempuhnya. Rumusan lain dari tujuan pendidikan kurikuler adalah tujuan yang ingin
dicapai oleh peserta didik melalui penguasaan baik secara akademik maupun profesional
dari satuan kurikulum yang dibebankan. 
Tujuan instruksional (tujuan pembelajaran) adalah tujuan yang akan dicapai setelah
kegiatan belajar mengajar selesai. Tujuan ini erat kaitannya dengan proses perubahan
tingkah laku, khususnya perubahan kognitif yang secara langsung atau tidak langsung
berkenaan dengan tujuan pembelajaran yang direncanakan (instructional effect) maupun
perubahan tingkah laku peserta didik sebagai akibat tidak langsung dari pembelajaran yang
direncanakan (nurturance effect). 
Dengan demikian, hakikat pendidikan menurut konsep filsafat pendidikan Pancasila
adalah proses pengembangan potensi kemanusiaan untuk meningkatkan derajat martabat
manusia ke arah yang lebih tinggi. Adapun potensi-potensi kemanusiaan mencakup potensi
biologis, fisis, psikologis, sosiologis, antropologis, dan teologis. Potensi-potensi tersebut
dikembangkan melalui pendidikan, sehingga potensi-potensi tersebut berkembang ke arah
kehidupan manusia yang bermartabat. 

(Sumber: http://fitripacrisia.blogspot.com/2017/01/filsafat-pendidikan-pancasila-dan.html?m=0 )

5. Manusia dikatakan juga sebagai mahluk sosial, karena manusia tidak akan
bisa hidup sebagai manusia kalau tidak hidup di tengah-tengah manusia.
Ketika bayi lahir, ia memerlukan pertolongan manusia lainnya. Bayi sama
sekali tidak berdaya ketika ia lahir,ia tidak bisa mempertahankan hidupnya
tanpa pertolongan orang lain. Berbeda dengan hewan, jerapah misalnya,ketika
binatang ini lahir hanya dalam hitungan menit ia sudah bisa berdiri tegak dan
berjalan mengikuti induknya. Kenapa hewan bisa mempertahankan hidupnya
walaupun tanpa pertolongan hewan lainnya? Karena untuk mempertahankan
hidupnya hewan dibekali dengan insting. Insting atau naluri adalah sesuatu
yang dibawa sejak lahir, yang diperoleh bukan melalui proses belajar.Manusia
berbeda dengan hewan, untuk mempertankan hidupnya ia dibekali dengan
akal. Insting yang dimiliki manusia sangat terbatas, ketika bayi lahir misalnya,
ia hanya memiliki insting menangis. Bayi lapar maka ia menangis, kedinginan
ia pun menangis,pipis ia pun menangis. Manusia memiliki potensi akal untuk
mempertahankan hidupnya.Namun potensi yang ada dalam diri manusia itu
hanya mungkin berkembang bila ia hidup dan belajar di tengah-tengah
manusia. Untuk bisa berjalan saja, manusia harus belajar darimanusia lainnya.
Tanpa bantuan manusia lainnya, manusia tidak mungkin bisa berjalan dengan
tegak.Dengan bantuan orang lain, manusia bisa makan menggunakan tangan,
bisa berkomunikasi atau bicara, dan bisa mengembangkan seluruh potensi
kemanusiaannya .Dapat disimpulkan, bahwa manusia dikatakan sebagai
mahluk sosial, karena beberapaalasan, yaitu:
1. Manusia tunduk pa da aturan, norma sosial.
2. Perilaku manusia mengharapkan suatu penilaian dari orang lain.
3. Manusia memiliki kebutuhan untuk berinteraksi dengan orang lain.
4. Potensi manusia akan berkembang bila ia hidup di tengah-tengah manusia
Sumber:http://file.upi.edu/Direktori/FPIPS/M_K_D_U/196604251992032-ELLY_MALIHAH/Bahan_Kuliah_PLSBT
%2C_Elly_Malihah/Bab_2_PLSBT.baru.pdf

6. Ada, kesesuaian antara Tauhid dan system Pendidikan nasional, sebagai berikut :
undang-undang tentang sisten pendidikan nasional agar rakyatnya cerdas intelektual dan
spiritual. Negara berkewajiban memberi arah dan tujuan sesuai dengan amanat
pembukaan UUD 1945 dengan mengusahakan dan menyelenggarakan suatu sistem
pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang
Maha Esa serta berakhlak mulia dan memiliki ilmu pengetahuan sebagai modal untuk
mengembangkan dirinya. Disamping itu sistem pendidikan nasional harus mampu
menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu dan relevansi untuk
menghadapi tantangan zaman. Untuk mencapai tujuan tersebut dibuat Undang-Undang
tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) nomor 20 tahun 2003, yang pada intinya
adalah pendidikan nasional untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak
serta peradaban yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,
dengan tujuan berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman
dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat jasmani dan rohani,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokrasi serta
bertanggungjawab. Undang-Undang pendidikan tersebut memberikan fungsi pendidikan
bagi warga masyarakat agar memiliki ketangguhan iman sebagai benteng pertahanan
negara yang paling kuat, bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa sebagai pakaian
kesalehan, berakhlak mulia sebagai tindakan yang harus selalu dijaga, sehat jasmani dan
rohani, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokrasi serta
bertanggungjawab. Undang Undang Pendidikan ini memberi arah yang jelas bagi
terselenggaranya Sistem Pendidikan Nasional yang mantap. Undang-undang pendidikan
nasional memuat aturan dan patron agar dapat menghantarkan negara pada kemajuan,
kesejahteraan, dan keadilan. Kader pemimpin negara masa depan adalah putra/putri
bangsa yang merupakan hasil produksi dari pada pendidikan nasional kita. Sistem
pendidikan kita telah diuji dengan perkembangan zaman. Hari ini semua orang
menyalahkan sistem pendidikan yang belum membawa hasil yang memuaskan, belum
dapat meluluskan sarjana yang siap pakai. Kita patut bangga karena tidak sedikit anak-
anak indonesia yang meraih beberapa prestasi di dunia internasional. Segudang prestasi
mereka raih di bidang akademik seperti biologi, fisika, matematika dan non akademik
seperti di bidang musik. Anak-anak indonesia mampu mengalahkan peserta dari negara
maju lain. Namun di balik kesuksenan tersebut banyak pelajar dan lulusan yang
menunjukan sikap yang tidak terpuji. Banyak pelajar yang terlibat tawuran, melakukan
tindakan
kriminal pencurian penodongan,penyimpangan seksual, menyalah gunakan obat-obatan
terlarang dan sebagainya. Keadaan ini semakin menambah potret pendidikan kita tidak
menarik dan tidak sedap dipandang makin menurunkan kepercayaan masayarakat
terhadap wibawa dunia pendidikan kita. Jika keadaan yang demikian tidak segera dicari
solusinya, maka akan sulit mencari alternatif yang lain yang paling efektif untuk membina
moralitas masyarakat. Berbagai solusi untuk memperbaiki dunia pendidikan dan mencari
sebab-sebabnya merupakan hal yang tidak dapat ditunda lagi Dilihat dari sudut pandang
tujuannya, tujuan nabi ada dua. Pertama, menyampaikan segala sesuatu yang menyangkut
kehidupan akhirat dan yang kedua adalah menyampaikan segala sesuatu yang
menyangkut kesuksesan manusia di dunia atau disebut dengan tauhid sosial. Tauhid sosial
merupakan sarana dalam mendekatkan diri pada Allah SWT. Manusia tidak dapat
mendekatkan diri pada Allah jika sistem yang berlaku disekitarnya adalah sistem yang tidak
adil. Nilai-nilai seperti keadilan, kejujuran, hak, cinta dan kasih sayang merupakan contoh
hal-hal yang dapat memuluskan jalan manusia pada kesejah teraan dan keselamatan dunia
akhirat. Begitu pula ilmu pengetahuan. Dengan adanya ilmu, manusia dapat saling
berinteraksi dan bekerja sama demi mewujudkan tauhid sosial dalam masyarakat karena
puncak taqwa manusia adalah saat dia dapat mencintai orang lain seperti dia mencintai
dirinya sendiri. Sesungguhnya kami telah mengutus Rasul-rasul kami dengan membawa
bukti yang nyata, dan telah kami turunkan bersama mereka kitab-kitab dan neraca
(keadilan) supaya manusia dapat menegakkan keadilan. B.Pembahasan Tauhid ilmu
berasal dari dua kata yang berbeda yang masing-masing katatersebut memiliki konsep
tersendiri. Tauhid bermakna kesatuan atau menyatukan. Hal ini lebih ditujukan pada ke-
Esaan Allah SWT. Sedangkan ilmu didefinisikan oleh al-Jurjani sebagai keyakinan yang
tetap, sesuai dengan peristiwa.2 Ilmu merupakan salah satu nikmat dari Allah diantara
nikmat-nikmat Allah yang lain. Ilmu yang diberi oleh Allah berdasarkan wahyuNya yaitu al-
Kitab (studi yang berkaitan dengan pengembangan rohani manusia yang dikembangkan
melalui al-dzikir kepada Allah SWT) dan al-Hikmat (studi yang berkaitan dengan
perkembangan potensi manusia melalui al-fikr kepada alam disekitarnya), jadi tidak
mungkin menjadi malapetaka tetapi melainkan sangat bermanfaat bagi kehidupan manusia.
Jadi tauhid ilmu merupakan kesatuan hubungan diantara berbagai ilmu yang
dikembangkan manusia agar dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin bagi kemanusiaan.
Http://www.islamlib.com/id/litdex. (Jaringan Islam Liberal).
Sumber:https://www.neliti.com/id/publications/195129/sistem-pendidikan-nasional-berdasarkan-tauhid-ilmu

7.Untuk menguatkan iman, islam dan ihsan di sekolah, dengan cara :


a. Merencanaakan pembelajaran secara matang dengan mempertimbangkan semua
aspek.
b. Mengutamakan ketauladanan dalam bertindak.
c. Melakukan pembiasaan secara rutin dalam etika pembelajaran dan pergaulan. Terkait
iman, islam dan ihsan.
d. Menyampaikan kisah-kisah islami kepada peserta didik, yang korelasi dengan iman,islam
dan ihsan.
e. Melakukan pembelajaran yang menarik melalui komunikasi demontrasi di outing class
f. Membaca surat atau ayat al-qur’an di setiap awal pembelajaran. Contoh: peseta didik
akan mempelajari tema Api, air, tanah, unsur,waktu, matahari dan energi. Penyampaian
materi tersebut dengan diawali surat-surat / ayat-ayat Al-Qurán yang relevan, kemudian
diajarkan juga adap-adapnya, tujuannya adalah untuk memperkuat iman agar dapat
diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.

Implementasi
Pembelajaran materi iman diajarkan kepada siswa adalah Ketika guru
membahas tema api, maka yang pertama kali diajarkan oleh guru kepada
siswa adalah tentang beriman kepada Allah SWT, bahwa Allah menciptakan
api, setelah itu guru akan mengaitkan dengan beriman kepada hari akhir,
bahwa tentang dahsyatnya api neraka, sehingga siswa memahami bahwa api
neraka bersifat panas dan disediakan bagi manusia yang durhaka kepada Alah
SWT. Kemudian barulah diajarkan tentang manfaát api, serta keilmuan lain
terkait api. Tujuan pembelajaran tersebut adalah untuk meningkatkan
keimanan siswa kepada Allah SWT, yang nantinya ditturunkan menjadi amal
shalih dan akhlaq terpuji dengan seizin Allah.
Sumber : https://repository.arraniry.ac.id/id/eprint/14812/1/Nadia%20Afriani,%20211323844,%20FTK,%20PAI,
%20085270524593.pdf

8.Penerapan moderasi dalam Pendidikan Islam di Indonesia.


Nilai-nilai moderasi beragama atau prinsip wasathiyah dalam menjalankan ajaran agama
Islam harus diimplementasikan melalui dunia pendidikan. Dalamkonteks Kementerian
Agama, hal ini berkaitan dengan pelaksanaan lembaga pendidikan Islam di Indonesia
dalam berbagai jenjang, baik formal maupun nonformal.Pendidikan Islam tidak boleh hanya
berorientasi pada persoalan-persoalan teoretis keagamaan yang bersifat kognitif semata
atau lebih berorientasi pada pembelajaran ilmu agama secara akademis, namun
kurang menaruh perhatian terhadap persoalan bagaimana mengubah pengetahuan agama
yang kognitif menjadi makna yang perlu diinternalisasikan ke dalam diri peserta didik
kemudian dipraktikkan di dalam kehidupan nyata.Oleh karena itu, diperlukan dua orientasi
sekaligus dalam mempelajari Islam, yaitu:
1.mempelajari Islam untuk mengetahui bagaimana cara beragama yang benar;
2. mempelajari Islam sebagai sebuah pengetahuan untuk membentuk perilaku beragama
yang memiliki komitmen,loyal dan penuh dedikasi, dan sekaligus mampu memposisikan diri
sebagai pembelajar, peneliti, dan pengamat yang kritis dalam melaksanakan dan
pengembangan konsep moderasi beragama dalam kehidupan sehari-hari.

A. Gambaran Implementasi Moderasi Beragama


Sistem pendidikan pada satu sisi harus merespondan mengantisipasi perubahan yang
sangat cepat dalam Implementasi Moderasi Beragama Dalam Pendidikan Islam kehidupan
dan tuntutan dunia global. Hal ini seiringdengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi
serta komunikasi membawa perubahan yang besar dalam poladan gaya hidup umat
manusia. Diperkirakan perubahan itu akan terus berjalan maju dan menuntut perubahan
dalam cara pandang, cara bersikap dan bertindakmasyarakat termasuk generasi penerus
bangsa ini.Pada sisi lain, pendidikan Islam bertujuan untuk membentuk manusia Indonesia
yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia dan
mampu menjaga kedamaian dan kerukunan hubungan inter dan antarumat beragama.
Pendidikan Islam juga ditujukan untuk pengembangan kemampuan peserta didik dalam
memahami, menghayati, dan mengamalkan nilai-nilai agama yang menyerasikan
penguasaan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni. Pesan-pesan inilah terkandung dalam
ajaran Islam mengenai moderasi.Dalam mengimplementasikan moderasi beragama
di dunia pendidikan harus diperhatikan tujuan dansasaran yang akan dicapai pada waktu
yang akan datang serta strategi untuk mewujudkan tujuan dan sasaran itu.Suatu organisasi
atau lembaga pendidikan harus senantiasa berinteraksi dengan lingkungan di manastrategi
tersebut akan dilaksanakan, sehingga tidak bertentangan, melainkan searah dan bersinergi
dengan lingkungan dan melihat kemampuan internal dan eksternal yang meliputi kekuatan
dan kelemahan organisasinya.Implementasi atau to implement berarti to provide the means
for carrying out (menyediakan sarana untukmelaksanakan sesuatu); to give practical effect
to(menimbulkan dampak/akibat terhadap sesuatu).Implementasi kebijakan dapat
dipandang sebagai suatu proses melaksanakan keputusan kebijakan. Implementasi
merupakan proses umum tindakan administratif yang dapat diteliti pada tingkat program
tertentu. Proses
implementasi baru akan dimulai apabila tujuan dansasaran telah ditetapkan, program
kegiatan telah tersusun dan dana telah siap dan telah disalurkan untukmencapai sasaran.
Dengan demikian dapat dirumuskan bahwa pada prinsip implementasi adalah bagimana
cara yang diterapkan agar sebuah kebijakan dapat mencapai tujuannya.Jadi implementasi
pembelajaran berbasis moderasi beragama akan lebih banyak berkaitan dengan cara-cara
yang akan diambil dan digunakan oleh seorang pendidik dalam melaksanakan dan
menyampaikan materi pembelajaran mengenai moderasi. Cara-cara inilah yang akan lebih
memudahkan peserta didik menerima dan memahami materi pembelajaran mengenai
moderasi.Pada akhirnya tujuan pembelajaran terkait dengan moderasi beragama dapat
dikuasai para peserta didik di akhir kegiatan belajar, serta pada gilirannya dapat
dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Secara umum, implementasi moderasi beragama
ditempuh dalam 3 (tiga) strategi sebagai berikut:Pertama, menyisipkan (insersi) muatan
moderasi dalam setiap materi yang releva. Sebenarnya, sebagian materi pelajaran atau
mata kuliah sudah mengandung muatan moderasi beragama. Substansi moderasi sudah
terdapat di dalam kurikulum pembelajaran dalam semua jenjang dan jenis pendidikan
Islamdi lingkungan Kementerian Agama. Sementara implementasinya lebih ditekankan
pada aspek bagaimana substansi tersebut dikaitkan dengan spirit moderasi beragama dan
dapat diterapkan di dalam kehidupan sehari-hari. Kedua, mengoptimalkan pendekaatan-
pendekatan pembelajaran yang dapat melahirkan cara berfikir kritis,bersikap menghargai
perbedaan, menghargai pendapat orang lain, toleran, demokratis, berani menyampaikan
implementasi moderasi beragama jenis ini dilakukan pada saat mentransformasikan
pengetahuannya kepada peserta didiknya di dalam kelas maupun di luar kelas. Sebagai
contoh, menggunakan metode diskusi atau perdebatan (active debate) untuk
menumbuhkan cara berpikir kritis, sportif, menghargai pendapat orang lain dan berani
menyampaikan pendapat secara rasional;menggunakan metode every one is a teacher
here untuk menumbuhkan sikap keberanian dan tanggung jawab atas pendapat yang
dikemukakannya; menggunakan metode jigsaw learning untuk melatih sikap amanah
tanggungjawab dan sportif; dan lain sebagainya. Ketiga, menyelenggarakan program,
pendidikan,pelatihan dan pembekalan tertentu dengan tema khusus moderasi beragama.
Dapat juga dilakukan dengan menyelenggarakan mata pelajaran atau materi khusus
tentang moderasi beragama. Namun, yang terakhirtersebut dapat menambah beban belajar
bagi para siswa atau mahasiswa, sehingga dikhawatirkan akan menambah lama waktu
penyelesaian studinya.Dengan kondisi tersebut, moderasi beragama
memang sebaiknya bukan mata pelajaran tersendiri, akantetapi terkandung secara
substantif di dalam setiap mata pelajaran. Sebagian dari muatan moderasi beragama justru
merupakan hidden agenda, atau ditanamkan kepada siswa secara halus tanpa harus
menggunakan istilah “moderasi beragama”.Keempat, menjangkau aspek evaluasi. Para
pendidik melakukan pengamatan secara simultan untuk mengevaluasi pencapaian proses
pembelajaran yang telah dilakukannya dengan metode-metode yang dapat
menumbuhkan sikap moderat, misalkan berdialog secara aktif dan merespon perkataan
serta tindakan mereka.Dengan langkah tersebut para pendidik dapat mengukur sejauh
mana pemahaman dan pengamalan peserta didik terhadap moderasi beragama. Jika
kemudian ditemukan kekurangan, makapendidik dapat menindak lanjutinya dengan
menginternalisasikan nilai-nilai moderasi tersebut kepada para siswa dalam proses-proses
selanjutnya.
(Sumber:https://pendis.kemenag.go.id/storage/archives/BukuPendisIMAfixebookthelast05082020.pdf)

Anda mungkin juga menyukai