Anda di halaman 1dari 16

TUGAS

FIQH IBADAH
Tentang
“THAHARAH”

Disusun Oleh:
Sintia Khairani 2114040031

DOSEN PENGAMPU:
Rudi Hartono, S. HI., M.A.

PROGRAM STUDI TADRIS MATEMATIKA-A


FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
IMAM BONJOL PADANG
1444 H / 2022 M
KATA PENGANTAR

Puji syukur atas Kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya
sehingga saya dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Thaharah” ini tepat pada
waktunya.

Tujuan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas dari dosen pada mata kuliah
Fiqh Ibadah. Sarana penunjang makalah ini saya susun berdasarkan referensi yang
bermacam-macam. Hal ini bertujuan untuk membantu mahasiswa mengetahui, memahami,
menambah wawasan serta dapat mengamalkan materi tentang thaharah ini. Saya
mengucapkan terimakasih kepada bapak Rudi Hartono, S.HI, M.A. selaku dosen mata kuliah
fiqh ibadah yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah wawasan dan
pengetahuan tentang makna thaharah yang sebenarnya.

Saya menyadari, makalah yang saya ketik ini masih jauh dari kata sempurna, masih
banyak kelemahan dan kekurangan di dalamnya. Oleh karena itu, kritik dan saran yang
membangun sangat kami butuhkan untuk kesempurnaan makalah ini. Akhirul kalam, semoga
makalah ini dapat bermanfaat baik bagi penulis maupun pembaca.

Padang, 9 September 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................................................i
DAFTAR ISI.........................................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................................1
1.1 Latar Belakang.........................................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah....................................................................................................................1
1.3 Tujuan......................................................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN DAN ISI...................................................................................................3
2.1 Pengertian Thaharah................................................................................................................3
2.2 Dasar Hukum Thaharah...........................................................................................................4
2.3 Alat-alat Thaharah...................................................................................................................5
2.4 Pengertian Najis dan Hadas.....................................................................................................8
2.5 Macam-macam Najis dan Hadas serta Cara Mensucikannya...................................................8
BAB III PENUTUP..........................................................................................................................9
3.1 Kesimpulan..............................................................................................................................9
3.2 Saran........................................................................................................................................9
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................................10

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dalam Islam kita dianjurkan untuk selalu menjaga kebersihan badani selain rohani.
Kebersihan badani tercermin dengan bagaimana umat muslim selalu bersuci sebelum
mereka melakukan ibadah menghadap Allah SWT. Allah itu bersih dan suci. Allah juga
mencintai sesuatu yang bersih dan suci. Dalam hukum Islam bersuci dan segala seluk
beluknya termasuk bagian ilmu dan amalan yang penting, terutama karena bersuci
menjadi syarat sah shalat sebagaimana yang telah ditetapkan bahwa seseorang yang akan
melaksanakan sholat, wajib suci dari hadas dan suci pula badan, pakaian dan tempatnya
dari najis. Bersuci atau istilah dalam Islam yaitu “Thaharah” yang mempunyai makna
yang luas tidak hanya berwudhu saja.

Pengertian thaharah adalah mensucikan diri, pakaian, dan tempat sholat dari hadas
dan najis sesuai syariat islam. Bersuci dari hadas dan najis adalah syarat sahnya
seorang muslim dalam mengerjakan ibadah tertentu. Berdasarkan pengertian tersebut
sebenarnya banyak sekali manfaat yang bisa kita ambil dari fungsi thaharah. Salah
satunya yaitu Thaharah sebagai bukti bahwa Islam amat mementingkan kebersihan dan
kesucian

Pada hakikatnya tujuan bersuci adalah agar umat muslim terhindar dari kotoran atau
debu yang menempel di badan sehingga secara sadar atau tidak sengaja hal tersebut
dapat membatalkan rangkaian ibadah kita kepada Allah SWT. Namun, yang terjadi
sekarang adalah, banyak umat muslim yang hanya tahu bahwa bersuci itu sebatas
membasuh badan dengan air tanpa mengamalkan rukun-rukun bersuci lainnya yang
sesuai syariat Islam. Maka dari itu, pemakalah akan menjelaskan secara rinci terkait
masalah bersuci (thaharah) ini.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat disimpulkan bahwa rumusan masalah
dari penulisan makalah ini adalah:
1. Apa pengertian thaharah ?
2. Apa dasar hukum thaharah ?
3. Apa saja alat-alat thaharah ?
4. Apa pengertian najis dan hadas dalam konteks thaharah ?
5. Apa saja macam-macam serta bagaimana cara menyucikan najis dan hadas ?

1
1.3 Tujuan

Berdasarkan rumusan masalah di atas maka dapat disimpulkan bahwa tujuan dari
penulisan makalah ini adalah:
1. Untuk mengetahui pengertian thaharah
2. Untuk mengetahui apa yang menjadi dasar hukum thaharah
3. Untuk mengetahui alat-alat yang digunakan untuk berthaharah
4. Untuk mengetahui pengertian najis dan hadas dalam konteks thaharah
5. Untuk mengetahui macam-macam najis dan hadas serta cara menyucikannya

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Thaharah

Thaharah berasal dari bahasa arab yakni ‫ طهرة – يطهر – طهر‬yang artinya bersuci.
Bersuci itu artinya membersihkan badan, pakaian, dan tempat dari semua jenis hadats
ataupun najis. Karena pengertiannya itu istilah thaharah kemudian digunakan dalam
keseharian sebagai kegiatan bersuci. Kata Thaharah (‫ )ﻃﮭﺎرة‬dalam bahasa Arab juga
bermakna An-Nadhzafah (‫)اﻟﻨﻈﺎﻓﺔ‬, yaitu kebersihan.1

Maka dalam hal ini, thaharah secara etimologi yaitu kebersihan dan kesucian dari
berbagai kotoran baik itu berupa hadats ataupun najis. Suci dari hadas itu bisa dilakukan
dengan mengerjakan wudhu, mandi dan tayammum dan suci dari najis itu bisa dilakukan
dengan membersihkan badan, tempat dan pakaian kita. Kemudian thaharah secara
terminologi adalah suatu kegiatan membersihkan diri dengan menghilangkan hadats dan
najis yang ada pada diri kita dengan cara yang telah disyariatkan dalam Islam.

Thaharah dimaksud disini tentu bukan semata kebersihan. Thaharah dalam istilah
para ahli fiqih adalah :

 (‫ ﻣﺨﺼﻮﺻﺔ‬R‫ ﺑﺼﻔﺔ‬R‫ ﻣﺨﺼﻮﺻﺔ‬R‫ أﻋﻀﺎء‬R‫ ﻏﺴﻞ‬R‫ ﻋﻦ‬R‫)ﻋﺒﺎرة‬, yaitu mencuci anggota tubuh tertentu
dengan cara tertentu.
 (‫)رﻓﻊ اﻟﺤﺪث و إزاﻟﺔ اﻟﻨﺠﺲ‬, yaitu mengangkat hadats dan menghilangkan najis.2

Thaharah menduduki masalah penting dalam Islam. Boleh dikatakan bahwa tanpa
adanya thaharah, ibadah kita kepada Allah SWT tidak akan diterima. Sebab beberapa
ibadah utama mensyaratkan thaharah secara mutlak. Tanpa thaharah, ibadah tidak sah.
Bila ibadah tidak sah, maka tidak akan diterima Allah. Kalau tidak diterima Allah, maka
konsekuensinya ibadah yang kita kerjakan menjadi sia-sia.

Perintah thaharoh (bersuci) dijelaskan Allah SWT dalam Alquran, salah satu dalil
dalam Alquran yang dapat kamu ketahui sebagai berikut:

َ‫ ِإ َّن هَّللا َ يُ ِحبُّ التَّوَّابِينَ َويُ ِحبُّ ْال ُمتَطَه ِِّرين‬....

Artinya: . . . Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai


orang-orang yang mensucikan diri. (Qs. Al-Baqoroh [2]: 222).

1
Muhammad Fauzil ‘Adzim dan Sukiman, Fikih Materi Thaharah (Bersuci) Pendekatan Kontekstual,
(Yogyakarta, UIN Sunan Kalijaga, 2020), hal. 3.
2
Kifayatul Akhyar halaman 6 dan Kasysyaf al-Qinna' jilid 1 halaman 24

3
Dalam ayat di atas di jelaskan bahwa Allah sangat mencintai dan menyukai
kebersihan dan menganjurkan untuk selalu menjaga kebersihan dan kesucian. Dengan
kita menjaga kesucian dan kebersihan badan seorang muslim akan terhindar dari
berbagai penyakit yang disebabkan oleh kotoran yang menempel di tubuh. Selain ayat di
atas, juga ada hadis Rasulullah yang menjelaskan tentang pentingnya thaharah ini, seperti
sebagai berikut.

َ ‫صاَل ةَ َأ َح ِد ُك ْم ِإ َذا َأحْ د‬


‫َث َحتَّى‬ َ ُ‫ اَل يَ ْقبَ ُل هللا‬: ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬ ِ ‫ع َْن َأبِ ْي هُ َر ْي َرةَ َر‬
َ َ‫ض َي هللاُ َع ْنهُ ق‬
َ ِ‫ قَا َل َرسُوْ ُل هللا‬: ‫ال‬
‫رواه البخاري ومسلم‬- ‫ضَأ‬ َّ ‫يَتَ َو‬-

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu berkata: Rasulullah Shalallahun ‘Alaihi


Wasallam bersabda : “Sesungguhnya Allah tidak menerima shalat salah seorang di antara
kalian apabila berhadats sehingga dia berwudhu” (HR Bukhari dan Muslim).

Dari hadis di atas, sama dengan ayat yang telah dijelaskan maka jelas sekali betapa
pentingnya thaharah (bersuci) itu. Karena sejatinya Allah menyukai seseorang yang
menghadap-Nya dengan keadaan telah bersuci.

2.2 Dasar Hukum Thaharah

Mengenai dasar hukum Thaharah ini yaitu dari dua dalil di atas sebnarnya cukup
untuk menjawab bagaimana dasar hukum thaharah ini. Tetapi untuk memperjelasnya,
mengenai hal ini terdapat pula Firman Allah dalam Q.S. al-Maidah(5): 63

‫م‬Rْ ‫ بِ ُرءُوْ ِس ُك‬R‫ق َوا ْم َسحُوْ ا‬ ِ ِ‫م َواَ ْي ِديَ ُك ْم اِلَى ْال َم َراف‬Rْ ‫م اِلَى الص َّٰلو ِة فَا ْغ ِسلُوْ ا ُوجُوْ هَ ُك‬Rُْ‫ٰيٓاَيُّهَا الَّ ِذ ْينَ ٰا َمنُ ْٓوا اِ َذا قُ ْمت‬
َ‫ضى اَوْ ع َٰلى َسفَ ٍر اَوْ َج ۤا َء اَ َح ٌد ِّم ْن ُك ْم ِّمن‬ ٓ ٰ ْ‫ا َواِ ْن ُك ْنتُ ْم َّمر‬Rۗ ْ‫َواَرْ ُجلَ ُك ْم اِلَى ْال َك ْعبَي ۗ ِْن َواِ ْن ُك ْنتُ ْم ُجنُبًا فَاطَّهَّرُو‬
‫م ِّم ْنهُ ۗ َما ي ُِر ْي ُد‬Rْ ‫ بِ ُوجُوْ ِه ُك ْم َواَ ْي ِد ْي ُك‬R‫ص ِع ْيدًا طَيِّبًا فَا ْم َسحُوْ ا‬ َ R‫ْالغ َۤا ِٕى ِط اَوْ ٰل َم ْستُ ُم النِّ َس ۤا َء فَلَ ْم ت َِج ُدوْ ا َم ۤا ًء فَتَيَ َّم ُموْ ا‬
)٦ : ‫المائدة‬ ۤ ( َ‫هّٰللا ُ لِيَجْ َع َل َعلَ ْي ُك ْم ِّم ْن َح َرج َّو ٰل ِك ْن يُّر ْي ُد لِيُطَهِّ َر ُك ْم َولِيُتِ َّم نِ ْع َمتَهٗ َعلَ ْي ُك ْم لَ َعلَّ ُك ْم تَ ْش ُكرُوْ ن‬
ِ ٍ
Artinya :

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka
basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh)
kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika
kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau
menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan
tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak
hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan
menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.”(QS. Al-Ma'idah ayat 6)

Berdasarkan firman Allah dalam ayat tersebut, Allah swt. memerintahkan kepada
orang-orang yang beriman agar dalam melaksanakan ibadah kondisi tubuh atau badan
3
Terdapat dalam al-Qur’an Mushaf Al-Mujib halaman 108

4
harus bersih dan suci dari segala kotoran baik yang terlihat maupun yang tidak terlihat,
tidak ada alasan bagi orang yang beriman untuk tidak bersuci dalam melaksanakan
ibadah terutama salat. Suci yang dimaksud tidak hanya pada badan saja, tetapi juga suci
dari seluruh pakaian, tempat dan yang lainnya. Menjaga kesucian merupakan hal yang
disenangi dan dicintai Allah swt. Bahkan mendapatkan ampunan dari–Nya Sebagaimana
dijelaskan dalam Al-Qur’an berikut ini:

Firman Allah swt. dalam Q.S. al-Muddatstsir(74): 4,

ْ‫ك فَطَه ِّۖر‬


َ َ‫َوثِيَاب‬

Artinya: “Dan pakaianmu bersihkanlah.”4

Berdasarkan ayat di atas, jelas bahwa thaharah sangat penting dilakukan dalam
melaksanakan ibadah terutama salat. Hal ini juga dipertegas Rasulullah saw. dalam
hadisnya beliau bersabda:

R‫ﻣﻔﺘﺎح اﻟﺼﻼة اﻟﻄﮭﻮر‬

Artinya: “Kunci shalat ialah bersuci”. (HR. Tirmiziy : 3)

Dari beberapa dasar hukum thaharah di atas, maka dapat dipahami bahwa bersuci
adalah wajib dilakukan bagi seorang muslim/muslimah apabila ingin melaksanakan
ibadah seperti salat atau ibadah lainnya.

2.3 Alat-alat Thaharah

Dalam bertaharah, ada dua hal alat yang dapat digunakan yaitu: air dan tanah yang
ada di atas bumi ( batu, dan pasir, debu)

A. Macam-macam air dan pembagiannya

1. Air yang suci dan menyucikan


Air ini termasuk air yang boleh diminum dan sah digunakan untuk
menyucikan (membersihkan) benda yang lain. Air ini sering disebut dengan air
mutlak. Air ini merupakan semua jenis air yang turun dari langit dan keluar dari
bumi yang memenuhi 3 syarat tertentu yaitu airnya belum digunakan untuk
bersuci, airnya tidak bercampur dengan benda yang suci lainnya(tidak bercampur
dengan apapun), dan airnya masih belum terkena najis didalamnya. Adapun jenis
air yang suci dan menyucikan ini diantaranya yaitu :
a. Air Hujan
b. Air Laut
c. Air Telaga
4
Terdapat dalam al-Qur’an Mushaf Al-Mujib halaman 575

5
d. Air Sungai
e. Air Salju
f. Air Embun
g. Air yang keluar dari mata air
h. Air es yang sudah mencair
i. Air yang berubah karena lama tidak mengalir, misalnya seperti air kolam yang
ada lumut didalamnya. Air jenis ini memang disebabkan karena kondisi
tempatnya, jadi para ulama sepakat menyebut air ini sebagai air mutlak.5

Adapun dalil yang menyatakan jenis-jenis air diatas yaitu suci lagi
menyucikan yaitu :

‫ ﷲ إﻧﺎ ﻧﺮﻛﺐ اﻟﺒﺤﺮ وﻧﺤﻤﻞ ﻣﻌﻨﺎ اﻟﻘﻠﯿﻞ‬R‫ﺳﺄل رﺟﻞ رﺳﻮل ﷲ ﺻﻠﻰ ﷲ ﻋﻠﯿﮫ وﺳﻠﻢ ﻓﻘﺎل ﯾﺎ رﺳﻮل‬
‫ ﺑﮫ ﻋﻄﺸﻨﺎ أﻓﻨﺘﻮﺿﺄ ﻣﻦ ﻣﺎء اﻟﺒﺤﺮ ﻓﻘﺎل رﺳﻮل ﺻﻠﻰ ﷲ ﻋﻠﯿﮫ وﺳﻠﻢ‬R‫ﻣﻦ اﻟﻤﺎء ﻓﺈن ﺗﻮﺿﺄﻧﺎ‬
‫ھﻮاﻟﻄﮭﻮرﻣﺎؤه اﻟﺤﻞ ﻣﯿﺘﺘﮫ‬

Artinya:

“Ada seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah saw: “Wahai Rasulullah, kami
berlayar di laut dan hanya membawa sedikit air sebagai bekal. Jika kami
pergunakan air itu untuk berwudhu maka kami akan kehausan. Untuk itu apakah
kami boleh berwudhu dengan menggunakan air laut? Rasulullah menjawab: air
laut itu mensucikan, di mana bangkai hewan yang berada di dalamnya pun halal.”
(HR. Tirmiziy : 69).11

Dalil tentang penggunaan air hujan sebagaimana firman Alllah dalam Q.S. Al-
Anfal/8: 11

....‫م بِ ٖه‬Rْ ‫ويُنَ ِّز ُل َعلَ ْي ُك ْم ِّمنَ ال َّس َم ۤا ِء َم ۤا ًء لِّيُطَه َِّر ُك‬.....
َ
Artinya : …. Dan Allah menurunkan air (hujan) dari langit kepadamu untuk
menyucikan kamu dengan (hujan) itu ….(Q.S. Al-Anfal: 11)

2. Air suci, tetapi tidak menyucikan


Air ini merupakan air yang sifatnya sendiri suci tetapi tidak bisa digunakan
untuk bersuci (tidak sah untuk bersuci) karena telah bercampur dengan benda suci
yang lainnya dengan perubahan yang sangat pekat. Air ini terbagi menjadi
beberapa macam yaitu :
a. Air suci yang telah berubah sifatnya dan warnanya karena tercampur dengan
sesuatu yang suci seperti teh, kopi, madu, gula. Misalnya jika kopi
dicampurkan dalam air maka air itu tidak bisa dipakai untuk bersuci.
b. Air musta’mal yang sedikit (yaitu kurang dari dua qullah/ ±60 cm 3) adalah air
yang sudah terpakai atau terjatuh dari anggota badan orang yang digunakan

5
Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, (Cet ke-78, Bandung : Sinar Baru Algensindo, 2017), hal. 13.

6
untuk menghilangkan hadas dan najis, sedangkan air itu tidak berubah sifatnya
dan tidak pula bertambah timbangannya.
c. Air yang keluar dari tumbuhan yang ada di bumi seperti air yang keluar dari
buah kelapa, air yang keluar dari tekukan pohan kayu (air nira) dan
sebagainya.
3. Air yang bernajis
Air ini jelas termasuk air yang tidak suci lagi tidak menyucikan dan jelas air
ini tidak boleh digunakan untuk berwudhu. Air ini terbagi menjadi 2 macam
yaitu :
a. Air yang jumlahnya baik sedikit ataupun banyak kemudian tertimpa najis
(masuk najis dalam air itu) sehingga menyebabkan salah satu dari sifatnya
berubah baik berupa bau, warna, ataupun rasanya.
b. Air sedikit yang kurang dari dua qullah dan tertimpa najis (masuk najis dalam
air itu) walaupun salah satu dari sifatnya tidak berubah baik berupa bau,
warna, ataupun rasanya. Dan sebaliknya jika air banyak (dua qullah atau lebih)
kemudian tidak ada perubahan apapun pada airnya maka air tersebut masih
suci dan menyucikan. Seperti sabda Rasulullah Saw berikut :

‫ﻗﯿﻞ ﯾﺎ رﺳﻮل ﷲ ﺻﻠﻰ ﷲ أﻧﺘﻮﺿﺄ ﻣﻦ ﺑﺌﺮ ﺑﻀﺎﻋﺔ؟ ﻓﻘﺎل رﺳﻮل ﷲ إن اﻟﻤﺎء طﮭﻮرﻻﯾﻨﺠﺴﮫ‬
‫ﺷﻲء‬

Artinya :

“Pernah ditanyakan kepada Rasulullah: wahai Rasulullah, apakah kita akan


berwudhu dengan air sumur bidha’ah (salah satu sumur yang ada di kota Madinah
yang biasa digunakan untuk membuang kain bekas pembalut wanita, daging
anjing serta kotoran-kotoran lain)? Beliau menjawab: air itu suci dan mensucikan,
tidak dinajiskan oleh suatu apapun.” (HR. At-Tirmiziy : 66).6

4. Air yang suci dan menyucikan tetapi makhruh untuk digunakan


Air ini adalaha air yang terjemur oleh matahari dalam bejana selain bejana
emas dan perak seperti bejana tembaga, kaca dan sejenisnya. Air ini makhruh
dipakai untuk badan, tetapi tidak makhruh jika digunakan umtuk pakaian, dan
kecuali air yang terjemur di tanah seperti misalnya sir sawah, air kolam, dan
tempat-tempat yang tidak tertampung oleh bejana yang mungkin berkarat. Air ini
makhruh digunakan karena dapat membahayakan dan menyebabkan timbulnya
berbagai penyakit, seperti sabda Rasulullah Saw :
Dari Aisyah .Sesungguhnya ia telah memanaskan air pada cahaya matahari.
Maka Rasulullah Saw. Berkata kepadanya , ‘Jangan engkau berbuat demikian, ya
Aisyah. Sesungguhnya air yang dijemur itu akan menimbulkan sopak.(penyakit
kulit)”(Riwayat Baihaqi)
B. Tanah yang suci di atas bumi, pasir, debu. Karena Rasululah Saw. telah bersabda:

6
Abi ‘Isa Muhammad bin ‘Isa bin Saurah, Sunan At-Tirmizii (Juz 1; Beirut: Darul Fikr, 2005), h. 128

7
‫ﺟﻌﻠﺖ ﻟﻲ اﻻرض ﻣﺴﺠﺪا وطﮭﻮرا‬

Artinya:
“Bumi dijadikan masjid, dan suci bagiku.” (HR.Bukhari : 335).
Debu yang boleh digunakan yaitu debu atau tanah yang bersih, yang tidak
bercampur dengan najis. Seperti debu yang kita jumpai diatas almari, di dinding
rumah, pada dinding bagian dalam bis, kereta api, pesawat udara, pada mobil dan
sebagainya. Tanah (debu) ini bisa digunakan sebagai alat thaharah jika air tidak ada,
atau tidak bisa menggunakan air karena sakit dan lain sebagainya. Hal ini berdasarkan
dalil-dalil berikut:
Firman Allah swt. dalam Q.S. an-Nisa’: 43,

َ ‫فَلَ ْم تَ ِج ُدوْ ا َم ۤا ًء فَتَيَ َّم ُموْ ا‬


‫ص ِع ْيدًا طَيِّبًا‬

Artinya : “Kemudian kamu tidak mendapat air, Maka bertayamumlah kamu dengan
tanah yang baik (suci).”
Jadi dari dalil dalil di atas, dapat disimpulkan bahwa kita juga diperbolehkan
bersuci dengan tanah (debu).

2.4 Pengertian Najis dan Hadas

Thaharah secara umum menjadi dua macam pembagian yang besar, yaitu thaharah hakiki
(yang terkait dengan najis) dan thaharah hukmi (yang terkait dengan hadats).

1. Thaharah Hakiki (Najis)


Thaharah secara hakiki maksudnya adalah hal-hal yang terkait dengan kebersihan
badan, pakaian dan tempat shalat dari najis. Boleh dikatakan bahwa thaharah hakiki
adalah terbebasnya seseorang dari najis. Seorang yang shalat dengan memakai
pakaian yang ada noda darah atau air kencing, tidak sah shalatnya. Karena dia tidak
terbebas dari ketidaksucian secara hakiki. Caranya bermacam-macam tergantung level
kenajisannya.
2. Thaharah Hukmi (Hadats)
Thaharah hukmi maksudnya adalah sucinya kita dari hadats, baik hadats kecil
maupun hadats besar (kondisi janabah). Thaharah secara hukmi tidak terlihat kotornya
secara pisik. Bahkan boleh jadi secara pisik tidak ada kotoran pada diri kita. Namun
tidak adanya kotoran yang menempel pada diri kita, belum tentu dipandang bersih
secara hukum. Bersih secara hukum adalah kesucian secara ritual. Jadi thaharah
hukmi adalah kesucian secara ritual, dimana secara pisik memang tidak ada kotoran
yang menempel, namun seolah-olah dirinya tidak suci untuk melakukan ritual ibadah.
Thaharah hukmi didapat dengan cara berwudhu' atau mandi janabah.

Kemudian pengertian najis dan hadas


1. Najis

8
Najis secara bahasa artinya kotor (menjijikkan). Secara istilah adalah najis adalah
kotoran yang menjadi sebab terhalangnya seseorang untuk beribadah kepada Allah.
Dalam artian lain, najis ialah sesuatu yang kotor (menjijikkan) menurut pandangan
syariat, dan wajib bagi seorang muslim untuk bersuci dan membersihkannya jika
terkena najis tersebut. Najis dianggap suatu benda yang kotor menurut syara’.
Misalnya: bangkai, darah, nanah, segala sesuatu yang keluar dari qubul dan dubur,
anjing dan babi, minuman keras seperti arak dan lainnya, bagian anggota badan
binatang yang terpisah karena dipotong dan sebagainya selagi masih hidup.

2. Hadats
Hadas secara bahasa berarti peristiwa, sesuatu yang baru. Secara istilah hadas yaitu
keadaan tidak suci pada diri seorang muslim yang telah baligh dan berakal sehat
timbul karena datangnya sesuatu yang ditetapkan oleh hukum syara’ dan
menyebabkan ia tidak diperbolehkan beribadah. Antara najis dan hadats memiliki
kesamaan makna karena jika terdapat najis ataupun hadats pada diri seseorang, maka
itu akan menghalanginya salam beribadah karna syarat sah sholat yaitu suci dari
hadats dan najis.
Bedanya yaitu kalau najis itu keadaan seseorang yang tidak suci dalam tanda
kurung badan, pakaian dan tempat shalatnya yang tidak suci dan najis ini biasanya
dapat terlihat oleh mata. Sedangkan hadats itu keadaan seseorang yang tidak suci
dalam tanda kurung kotoran berbentuk bathin dan bersifat statusnya yang belum suci,
dan tidak terlihat oleh mata. Kalau membersihkan najis tidak menggunakan niat
sedangkan membersihkan hadats haruslah dengan niat.

2.5 Macam-macam Najis dan Hadas serta Cara Mensucikannya

1. Macam-Macam Najis beserta cara mensucikannya


Najis terbagi dalam tiga bagian, ialah sebagai berikut:
a. Najis mukhaffafah atau najis ringan adalah air kencing bayi laki-laki yang belum
berumur dua tahun dan belum pernah makan sesuatu kecuali air susu ibunya.
Cara menyucikannya yaitu diciprati tempat yang terkena air kencing tersebut
hingga menjadi basah semuanya. Sebagaimana hadits Rasulullah Saw : Hadis
riwayat Ummu Qais radhiyallahu ‘anhu.
“ Sesungguhnya Rasulullah SAW pernah membawa seorang anak laki-lakinya yang
belum makan makanan. Kemudian anak itu dipangku oleh Rasulullah SAW. Anak itu
kemudian kencing di pangkuannya. Rasulullah SAW lantas meminta air, lalu
memercikkan air itu ke bagian yang terkena kencingnya dan tidak dibasuhnya.” (HR.
Bukhari dan Muslim).
b. Najis mutawassithah atau najis sedang adalah najis yang berasal dari air kencing,
kotoran manusia dan hewan, darah, muntahan, arak, air susu hewan yang
diharamkan untuk dimakan, barang cair yang memabukkan, bagian yang terpisah
dari tubuh binatang walaupun binatang yang dihalalkan untuk dimakan, semua
bangkai binatang selain ikan dan belalang. Najis ini dibagi menjadi 2 yaitu
hukmiyah dan ‘ainiyah :

9
1) Najis hukmiyah, ialah najis yang tidak kelihatan bendanya (tak mempunyai bentuk,
bau, rasa ataupun warna), seperti bekas kencing, atau arak yang sudah kering
sehingga tak kelihatan sifat-sifatnya. Cara menyucikannya yaitu : cukup diguyur
(dialirkan) dengan air walaupun sekali.
2) Najis ‘Ainiyah, ialah najis yang tampak bendanya (mempunyai bentuk, bau, rasa
dan warnanya) seperti air kencing, kotoran manusia dan hewan, darah,
muntahan, arak, air susu hewan yang diharamkan untuk dimakan, bagian
yang terpisah dari tubuh binatang walaupun binatang yang dihalalkan untuk
dimakan, semua bangkai binatang selain ikan dan belalang. Cara
menyucikannya yaitu dengan membasuhnya sebanyak-banyaknya sampai
hilang bau, warna, dan rasanya. Bila terpaksa karena sulit menghilangkan
ketiga sifanya, maka salah satu sifat najisnya dimaafkan.
Cara menyucikan kulit binatang adalah dengan disamak. Namun tidak
berlaku bagi kulit babi dan anjing atau binatang yang lahir dari perkawinan
antara keduanya, atau salah satu darinya kawin dengan binatang lain lalu
melahirkan anak
c. Najis mugholladzoh (najis yang berat) adalah najis yang terkena air liur, daging, darah,
air kencing, bulu, kotorannya yang terdapat pada anjing dan babi. Cara mensucikannya
secara bertahap yaitu dengan membasuh sebayak tujuh kali, satu kali diantaranya
menggunakan air yang dicampur dengan tanah yang suci dan enam kali dengan air
mengalir biasa.
2. Macam-Macam Hadats beserta cara mensucikannya
Hadats terbagi dalam dua bagian, ialah sebagai berikut:
a. Hadats besar
Hadas besar adalah keadaan tidak suci pada diri seorang muslim yang dapat
disucikan dengan mandi junub atau mandi besar. Akan tetapi, jika tidak ada air
atau sebab tertentu dapat diganti tayamum. Keadaan yang dapat menyebabkan
seseorang berhadas besar sebagai berikut.
1) Keluar mani baik karena mimpi atau hal yang lain bagi laki-laki
2) Haid (menstruasi) bagi perempuan
3) Melahirkan (wiladah) yaitu darah yang keluar saat seorang perempuan
melahirkan
4) Nifas yaitu darah yang keluar setelah seorang perempuan melahirkan e)
Melakukan hubungan suami istri
5) Meninggal dunia kecuali bagi orang yang syahid

b. Hadats kecil
Hadas kecil adalah keadaan tidak suci pada diri seorang muslim yang dapat
disucikan dengan berwudhu atau tayamum pada keadaan tertentu. Seseorang
dapat disebut berhadas kecil apabila mengalami keadaan-keadaan berikut.
1) Keluar sesuatu dari dua jalan/lubang yaitu qubul dan dubur seperti buang
air kecil, buang air besar dan buang angin
2) Hilang akal seperti mabuk, gila, pingsan, dan tidur
3) Bersentuhan kulit dengan lawan jenis yang bukan mahrom tanpa ada batas
yang menghalanginya
10
4) Menyentuh kemaluan (qubul atau dubur) dengan telapak tangan Menurut
jumhur ulama, seseorang yang dalam keadaan berhadas kecil harus segera
bersuci.
Saat seseorang yang mempunyi hadas kecil tidak boleh melakukan ibadah-
ibadah tertentu. Ibadah yang tidak boleh dilakukan saat seseorang berhadas
kecil yaitu
1) Memegang (menyentuh) mushaf Alquran dan membawanya (kecuali yang
disertai barang lain yang lebih banyak mengandung huruf misalnya, tafsir
atau terjemahan Alquran)
2) Melaksanakan sholat, baik sholat fardu maupun sunnah
3) Melaksanakan towaf saat sedang beribadah haji
3.

11
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Dari pembahasan di atas maka dapat kita simpulkan bahwa thaharah itu sebenarnya
suatu kegiatan bersuci yaitu membersihkan diri, pakaian, dan tempat sholat dari hadas
dan najis sesuai syariat islam. Yang menjadi dasar hukum thaharah yaitu wajib.
Kemudian alat-alat yang bisa kita gunakan untuk bersuci yaitu air, tanah (debu), batu.
Thaharah ini terbagi menjadi thaharah hukmi (hadats) dan thaharah hakiki (Najis).
Perbedaan antara hadats dan najis ini yaitu kalau najis itu keadaan seseorang yang tidak
suci dalam tanda kurung badan, pakaian dan tempat shalatnya yang tidak suci dan najis
ini biasanya dapat terlihat oleh mata. Sedangkan hadats itu keadaan seseorang yang tidak
suci dalam tanda kurung kotoran berbentuk bathin dan bersifat statusnya yang belum
suci, dan tidak terlihat oleh mata. Kalau membersihkan najis tidak menggunakan niat
sedangkan membersihkan hadats haruslah dengan niat.

Kemudian dari pembahasan di atas kita bisa lebih memperhatikan betapa pentingnya
thaharah, karena sejatinya thaharah itu termasuk syarat sahnya shalat, bahkan Allah telah
berfirman berulang kali dalam Al-Qur’an mengenai masalah bersuci ini, Allah
menyebutkan bahwa allah menyukai orang-orang yang senantiasa bersih dan suci.

3.2 Saran

Menurut penulis, sudah menjadi sebuah kewajiban bagi kita umat Islam
mengetahui serta memahami masalah thaharah ini, karena thaharah sendiri menjadi
syarat sahnya shalat. Jika kita bisa mengingat serta mengamalkan pengetahuan thaharah
ini InsyaaAllah ibadah kita yang lainnya akan lebih tenang dan nyaman. Untuk menambah
wawasan yang lebih dalam pembaca bisa membaca buku referensi secara langsung sesuai daftar
pustaka yang penulis cantumkan. Demikianlah uraian singkat dari makalah kami, semoga
dengan adanya makalah ini bisa bermanfaat bagi para pembaca. Penulis menyadari bahwa
masih banyak kekurangan dalam makalah ini, maka dari itu pembaca bisa memberikan
kritik dan sarannya.

12
DAFTAR PUSTAKA

Al Qur’an al-Karim

‘Adzim, Muhammad Fauzil dan Sukiman. 2020. Fikih Materi Thaharah (Bersuci) :
Pendekatan Kontekstual. Yogyakarta : UIN Sunan Kalijaga.

Fauzan, shalaih. 2006. Ringkasan Fikih Syaikh Fauzan. Jakarta : Pustaka Azzam.

Qadim, Husnul, dkk. 2008. Fiqh Ibadah (Untuk Madrasah Diniyah Kelas 1 Tingkat Wustha).
Jakarta : Transwacana

Rasjid, Sulaiman. 2017. Fiqh Islam (Hukum Fiqh Islam). Bandung : Sinar Baru algensindo.
Cet-78.

Sabiq, Sayyid. 1973. Fikih Sunnah 1. Bandung : Al-Ma’arif.

Sarwat, Ahmad. 2010. Fiqh Thaharah. Jakarta : DU CENTER PRESS.

Zahrina, dkk. 2009. Tauhid dan Thaharah (Kajian Kontemporer Naskah Akhbarul Karim).
Aceh : Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Banda Aceh.

13

Anda mungkin juga menyukai