Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

FIQH IBADAH

Tentang

THAHARAH

Disusun Oleh:

Mirna Maizani (2214030050)

Dosen Pengampu:

Rudi Hartono, S.HI, M.A.

PRODI MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM (B)


FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UIN IMAM BONJOL PADANG
2023 M/1444 H
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan atas kehadiran Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan
kesehatan dan rahmat-Nya kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan
sebaik-baiknya. Shalawat dan salam semoga selalu dicurahkan kepada baginda tercinta kita
yakni Nabi besar Muhammad SAW. Karna berkat pertolongannya kami dapat menyelesaikan
makalah pada mata kuliah Fiqh Ibadah yang berjudul “Thaharah”

Pemakalah mengucapkan terima kasih kepada dosen pengampu mata kuliah, yang telah
mengamanahkan tugas ini sehingga dapat menambah wawasan pembaca dalam mata kuliah ini.

Demikian pula kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak
kekurangan dan kesalahan baik dalam segi substansi maupun kata bahasa. Namun kami tetap
berharap agar makalah ini dapat memberikan manfaat kepada pembaca. Oleh karena itu, kritik
dan saran dari penulisan makalah ini sangat kami harapkan dengan harapan sebagai masukan
dalam perbaikan dan penyempurnaan pada makalah kami berikutnya. Untuk itu kami ucapkan
terimakasih.

Padang, 1 Maret 2023

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................................i

DAFTAR ISI......................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang.........................................................................................................1
B. Rumusan Masalah....................................................................................................1
C. Tujuan......................................................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Thaharah................................................................................................
B. Dasar Hukum Thaharah...........................................................................................
C. Tujuan Thaharah......................................................................................................
D. Alat-Alat Thaharah..................................................................................................
E. Najis Serta Cara Mensucikannya.............................................................................
F. Hadas Serta Cara Mensucikannya...........................................................................

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan..............................................................................................................
B. Saran........................................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kaum muslimin sangat memperhatikan thaharah bahkan ulama fiqih menganggap
thaharah merupakan salah satu syarat pokok sahnya ibadah (Jawad, 2011: 12). Thaharah
sangatlah penting karena bisa menentukan sah atau tidaknya seseorang dalam ibadah.
Allah itu bersih dan suci. Untuk menemuinya, manusia harus terlebih dahulu
bersuci atau disucikan. Allah mencintai sesuatu yang bersih dan suci. Dalam hukum
Islam bersuci dan segala seluk beluknya adalah termasuk bagian ilmu dan amalan yang
penting terutama karena diantaranya syarat-syarat sholat telah ditetapkan bahwa
seseorang yang akan melaksanakan sholat, wajib suci dari hadas dan suci pula badan,
pakaian dan tempatnya dari najis. Dalam kehidupan sehari-hari kita tidak terlepas dari
sesuatu (barang) yang kotor dan najis sehingga thaharah dijadikan sebagai alat dan cara
bagaimana mensucikan diri sendiri agar sah saat menjalankan ibadah.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan thaharah?
2. Apa saja dasar hukum dari thaharah?
3. Apa tujuan thaharah?
4. Apa saja alat-Alat Thaharah?
5. Sebutkan macam-macam najis serta bagaimana cara mensucikannya?
6. Sebutkan macam-macam hadas serta bagaimana cara mensucikannya?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian thaharah
2. Untuk mengetahui dasar hukum thaharah
3. Untuk mengetahui tujuan thaharah
4. Untuk mengetahui apa saja alat-alat dari thaharah
5. Untuk mengetahui macam-macam najis serta cara mensucikannya
6. Untuk mengetahui macam-macam hadas serta cara mensucikannya
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Thaharah
Thaharah menurut bahasa berarti bersih dan suci dari segala yang kotor. Menurut
syara' atau istilah adalah membersihkan diri, pakaian, tempat, dan benda-benda lain dari
najis dan hadas menurut cara-cara yang ditentukan oleh syariat islam. Pembersih pakaian,
tubuh, tempat shalat, dan lain-lain yang terkena najis dapat dilakukan dengan
menggunakan air bersih. Sedangkan pembersihan diri dari hadas dapat dilakukan dengan
berwudhu', mandi atau tayamum.

Thoharoh ada dua macam yaitu thoharoh secara lahir dan thoharoh secara bathin.
Thoharoh secara batin ialah menyucikan jiwa dari dampak-dampak dosa dan maksiat. Hal
ini dilakukan dengan bertobat yang bersungguh-sungguh dari seluruh dosa dan maksiat,
serta membersihkan hati dari kotoran syirik, keraguan, iri hati, dendam, dengki, menipu,
sombong, ujub (merasa kagum pada diri sendiri), riya, dan sum'ah (menceritakannya
kebaikannya kepada orang lain). Hal ini dilakukan dengan bersikap ikhlas, yakin cinta
kebaikan, santun, jujur, rendah hati, dan hanya mengharapkan keridhaan dari Allah dalam
semua niat dan semua amal kebajikannya. Sedangkan thoharoh secara lahir ialah bersuci
dari najis dan hadats .
Thaharah menjadi faktor kunci dalam mendapatkan kekhusyukan shalat dan
ibadah lainnya. Di sinilah pentingnya thaharah untuk diperhatikan oleh setiap pribadi
muslim.

B. Dasar Hukum Thaharah


Hukum bersuci ini adalah wajib, hal ini berdasarkan firman Allah QS. Al-Baqarah
(2): 222
Artinya: Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai
orang-orang yang mensucikan diri.

Firman Allah dalam: QS. Al-Muddassir (74): 4 yang artinya: Dan pakaianmu maka
bersihkanlah.
Menurut istilah fiqih, sebagaimana dikemukakan Abu Jayb, Sa’dy bahwa țaharah
adalah menghilangkan hadas atau najis yang menyebabkan menghalangi shalat, ibadah
dan sejenisnya, dengan air atau dengan tanah sebagai ganti dari air.

Menyimak dasar hukum tentang țaharah di atas, dapat dipahami bahwa țhaharah
merupakan suatu keadaan yang terjadi sebagai akibat hilangnya hadas atau kotoran. Dan
hadas adalah suatu keadaan yang menyebabkan terhalangnya şalat (ibadah).

C. Tujuan Thaharah
Hadats dan najis menghalangi untuk beribadah kepada Allah seperti
melaksanakan shalat, puasa, thawaf dan memegang al- Qur’an , maka wajib berthaharah
(bersuci) sebagai kunci untuk dapat melaksanakan ibadah. Para Fuqaha meletakkan bab
thaharah selalu diawal pembahasan. Hal tersebut menunjukkan betapa pentingnya
masalah thaharah. Justru itu, thaharah tidak hanya cukup untuk diketahui, tetapi juga
harus dipraktekkan secara baik dan benar hadas maupun najis. Menyucikan diri dari
hadats dan najis memberi isyarat supaya kita senantiasa menyucikan jiwa dari dosa dan
segala perilaku yang keji. Hikmah dan manfaat dilakukannya thaharah tersebut
memberikan pengetahuan kepada kita bahwa betapa pentingnya thaharah tidak hanya
sekedar untuk melaksanakan ibadah, tetapi juga untuk menjaga kesehatan tubuh
manusia.

Tetapi pada kenyataannya, sebagian umat Islam masih kurang memahami dalam
melaksanakan praktek thaharah. secara benar dikarenakan kurangnya
pengetahuan,sehingga salah dalam pelaksanaannya. Apabila thaharah tidak benar atau
tidak sempurna, maka pelaksanaan ibadah yaitu shalat, puasa, thawaf, i’tiqaf, memegang
al- Qura’an dan lain- lainnya tidak sah atau batal. Karena salah satu syarat sah
pelaksanaan tersebut adalah thaharah. Tujuan thaharah disyariatkan ialah agar umat Islam
mengetahui langkah mensucikan diri dari hadas dan najis. Islam sangat memperhatikan
kesucian dan kebersihan. Salah satu syarat utama dalam melaksanakan ibadah adalah suci
dari hadas dan najis.
D. Alat Thaharah
Alat untuk thaharah ada tiga yaitu air, batu dan tanah (debu) sebagai pengganti
daripada air. Batu yang digunakan yaitu batu kecil yang licin. Baik air maupun tanah
dapat digunakan untuk berwudhu, mandi dan tayamum. Berwudhu digunakan untuk
bersuci dari hadas kecil, dan mandi digunakan untuk bersuci dari hadas besar, diantara air
sebagai sarana thaharah adalah:
1. Air Mutlaq
Air mutlaq yaitu air yang suci dan dapat digunakan untuk bersuci dari hadas dan
najis. Yang termasuk golongan air mutlaq ini, seperti air hujan, air sumur (air zam-zam),
air salju (termasuk juga es, embun), air mata air, air sungai, dan air laut.
Firman Allah dalam: QS. Al-Anfal (8): 11
Artinya; Dan Allah menurunkan kepadamu hujan dari langit untuk mensucikan kamu dari
hujan itu.
2. Air Musta’mal
Air musta’mal yaitu air sisa yang mengenai badan manusia karena telah
digunakan untuk wudhu dan mandi, disebut air musta’mal. Sayid Sabiq mengutarakan
bahwa air musta’mal adalah: air yang terpisah dari anggota-anggota badan orang yang
berwudhu atau mandi. Hukum air musta’mal sebagaimana air mutlaq, suci dan
mensucikan tanpa perbedaan sedikitpun; hal ini mengingat asalnya yang suci, dan tiada
dijumpai suatu alasanpun yang mengeluarkannya dari kesucian itu.
Air yang telah digunakan untuk wudhu maupun mandi boleh (sah) untuk bersuci,
sebagaimana air mutlaq, selama tidak bercampur atau terkena najis. Dan sekaligus
membuktikan bahwa badan manusia muslim yang berwudhu atau mandi tidaklah najis,
bahkan hukumnya suci.
Al-Sayyid Sabiq menyatakan air musta‘mal adalah air yang telah digunakan untuk
bersuci dari hadas, baik itu berwudu atau mandi. Sekalipun telah digunakan untuk ber- wudu
atau mandi, menurut al-Sayyid Sabiq, status hukum air ini adalah suci dan sama dengan air
mutlak. Pendapatnya ini didasarkan pada tinjauan terhadap asal air itu, yaitu suci lagi
menyucikan. Sementara itu, tidak terdapat dalil yang bisa menghilangkan status suci air
tersebut.
3. Air yang dicampur dengan barang yang suci
Air yang bercampur dengan barang yang suci, seperti bercampur dengan sedikit
air sabun, atau bercampur dengan sedikit air mani dan lain sebagainya. Hukumnya suci
selama air itu terjaga kemutlakannya, sehingga tidak merubah nama air itu menjadi bukan
air mutlak lagi; Tetapi kalau campurannya banyak sehingga merubah namanya bukan air
mutlak lagi, bahkan air sabun umpamanya, maka hukumnya suci tetapi tidak mensucikan.
4. Air yang bercampur najis.
Air yang bercampur dengan najis, seperti air yang bercampur dengan air seni
manusia, atau air yang bercampur dengan bangkai, tidak boleh dipergunakan sama sekali
untuk menghilangkan hadas maupun kotoran. Najis-najis yang bercampur dengan air suci
ini, ada yang telah disepakati oleh ulama mengenai kenajisannya dan ada pula yang
dibedakan.
Adapun perincian yang telah disepakati oleh ulama mengenai kenajisannya adalah:
a. Daging babi dengan seluruh bagian-bagian tubuhnya, dan daging bangkai selain
hewan air (yang disembelih selain atas nama Allah).
Bagian tubuh yang terpisah dari hewan yang masih hidup termasuk juga najis.
b. Darah yang mengalir
Dimaksud dengan darah mengalir disini adalah darah yang mengucur, termasuk
dalam pengertian ini adalah nanah yang mengucur, darah Haiḑ, Nifas dan Wiladah;
Abu Hurairah mengatakan bahwa “tidak mengapa luka dibawa şalat yang apabila
hanya menetes setetes dua tetes saja. Dengan demikian darah nyamuk dan darah atau
nanah yang menetes dari bisul yang menimpa badan atau pakaian tidaklah mengapa
(dima’af).
c. Kotoran dan Air Kencing (air seni)
Telah disepakati oleh Mujtahidin, kenajisan kotoran dan air seni (kencing) manusia,
kecuali air seni anak laki-laki yang belum makan sesuatu selain air susu ibunya. Lain
halnya dengan air kencing bayi perempuan, maka hukumnya najis dan cara
mensucikannya dengan membasuh sesuatu yang terkena air kencing tersebut.
Menyikapi keringanan (Mukhaffafah) memercikan air kencing anak laki-laki disini,
sebagaimana diceritakan dari hadis Ummu Qais yang artinya: ”Bahwa ia pernah
datang kepada Nabi dengan membawa bayi laki-laki yang belum sampai usia untuk
diberi makan-makanan, dan bahwa bayi itu kencing dalam pangkuan Nabi. Maka
Nabipun meminta air lalu memercikannya (menebarkan air dengan jari, sekira-kira
tidak cukup untuk mengalir) keatas kainnya, dan tidak mencucinya lagi.”

d. Air Mazi
Dimaksud dengan air mażi adalah air (cairan) putih dan lengket yang keluar dari
kemaluan ketika dimulai bangkitnya syahwat, atau karena bercumbu tetapi tidak
dengan syahwat yang tinggi (memuncak). Mażi ini terdapat pada laki-laki dan
perempuan, hukumnya najis, sementara bendanya juga najis artinya bila ia menimpa
badan wajib dicuci.
e. Air Wadi
Air wadi, adalah air putih yang keluar mengiringi buang air kecil atau karena
membawa Sesuatu yang terlampau berat. Dan air wadi ini dipandang sebagai najis
karena ia keluar mengiringi air kencing. Dalam sebuah Hadis yang diriwayatkan oleh
Ibnu Munżir dari „Aisyah diceritakan bahwa: “Wadi adalah setelah kencing, maka
hendaklah seseorang mencuci kemaluannya lalu berwudhu‟ dan tidak usah mandi”.
f. Khamar
khamar itu menurut Jumhur Ulama termasuk barang najis, apabila mengenai badan
atau pakaian wajib kita basuh; meskipun masih ada juga yang menafsirkannya
sebagai najis maknawi atas dasar Q.S.Al-Hȃj [22]: 30 (...”Maka jauhilah olehmu
berhala-berhala yang najis itu dan jauhilah perkataan-perkataan dusta”) yang pada
intinya berhala itu adalah najis maknawi, yang bila disentuh tidak menyebabkan kita
terkena najis.
g. Air liur Anjing
Air liur anjing adalah najis, bahkan termasuk najis (mughallaẓah). Tempat, pakaian
ataupun badan yang terkena jilatan anjing, wajib dicuci sebanyak 7 kali, salah satunya
(permulaanya) dengan tanah.

E. Najis Serta Cara Mensucikannya


Najis menurut bahasa ialah apa saja yang kotor, baik jiwa, benda maupun amal
perbuatan. Sedangkan menurut fuqaha' berarti kotoran (yang berbentuk zat) yang
mengakibatkan sholat tidak sah.
Secara garis besar, Najis terbagi tiga kategori, yaitu:
1. Najis Mukhaffafah: ialah najis ringan, untuk cara membersihkan/ mensucikannya
cukup dengan memercikan dengan air yang suci pada bagian yang terkena najis
mukhaffafah, kemudian di lap dengan kain yang suci dan kering, yang tergolong najis
mukhafafah ialah air kencing bayi laki-laki dibawah umur dua tahun, dan belum
pernah makan sesuatu apapun terkecuali hanya air susu ibu.
2. Najis Mutawasițah: ialah najis pertengahan, untuk cara membersihkan/
mensucikannya, dengan menyiramkan air pada bagian yang terkena najis
mutawasițah hingga hilang sifat2 najisnya (rasa, warna dan baunya), yang tergolong
najis mutawasițah diantanya: Bangkai binatang kecuali ikan dan belalang dan mayat
manusia, Darah, Nanah, Segala sesuatu yang keluar dari kubul dan dubur, Minuman
keras seperti arak dan sebagainya, Bagian anggota badan binatang yang terpisah
karena dipotong selagi hidup, dan masih banyak lagi.
Najis Mutawasițah ini juga terbagi dua bagian:
a).Najis’aini; yaitu najis yang tampak/nyata (‘aini). Cara menyucikan najis ‘aini
adalah dengan cara menghilangkan semua sifat-sifatnya berupa bau, rasa dan
warnanya dengan air yang suci.
b) Najis Hukmi, yaitu najis yang tidak tampak/ tidak nyata bau, rasa dan warnanya
(hukmi). Cara menyucikan najis hukmi adalah cukup dengan hanya membasuhnya
dengan air suci pada tempat yang terkena najis.
3. Najis Mughallaẓah ialah: Najis berat, yang disebabkan oleh air liur anjing dan babi
yang mengenai barang. untuk cara membersihkan/ mensucikannya, terlebih dahulu
menghilangkan/ mencuci benda atau wujud najisnya sampai bersih, kemudian dicuci
kembali dengan air suci sebanyak tujuh kali yang salah satunya air tersebut dicampur
dengan tanah yang suci /tidak tercampur najis.

Mengenai najis yang tidak disepakati oleh para Ulama tentang kenajisan dan hukum
air yang dicampurinya, sebagaimana dikemukakan oleh Wahbah Zuhayli adalah seperti:
bagian bangkai yang tidak berdarah misalnya tanduk dan tulang, kulit bangkai, kotoran
dan kencing binatang yang dimakan dagingnya, mani baik mani manusia maupun mani
hewan, mayat manusia, air yang mengalir dari mulut orang yang tidur (iler).
F. Hadas Serta Cara Mensucikannya
Hadas menurut makna bahasa "peristiwa". Sedangkan menurut syara' adalah
perkara yang dianggap mempengaruhi anggora-anggota tubuh sehingga menjadikan
sholat dan pekerjaan- pekerjaan lain yang sehukum dengannya tidak sah karenanya,
karena tidak ada sesuatu yang meringankan.
Hadas dibagi menjadi dua :
1) Hadas kecil, adalah perkara-perkara yang dianggap mempengaruhi empat anggota
tubuh manusia yaitu wajah, dua tangan dan dua kaki. Lalu menjadikan sholat dan
semisalnya tidak sah. Hadas kecil ini hilang dengan cara berwudlu.

2) Hadas besar, adalah perkara yang dianggap mempengaruhi seluruh tubuh lalu
menjadikan sholat dan pekerjaan-pekerjaan lain yang sehukum dengannya tidak sah.
Hadas besar ini bisa hilang dengan cara mandi besar.

Bersuci dari hadas dapat dilakukan dengan cara berwudhu, mandi dan tayamum.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kebersihan yang sempurna menurut syara' disebut thaharah, merupakan masalah
yang sangat penting dalam beragama dan menjadi pangkal dalam beribadah yang
menghantarkan manusia berhubungan dengan Allah SWT. Tidak ada cara bersuci yang
lebih baik dari pada cara yang dilakukan oleh syarit Islam, karena syariat Islam
menganjurkan manusia mandi dan berwudlu. Walaupun manusia masih dalam keadaan
bersih, tapi ketika hendak melaksanakan sholat dan ibadah-ibadah lainnya yang
mengharuskan berwudlu, begitu juga dia harus pula membuang kotoran pada diri dan
tempat ibadahnya dan mensucikannya karena kotoran itu sangat menjijikkan bagi
manusia.

B. Saran
Menyadari makalah ini masih jauh dari kata kesempurnaan, oleh karena itu penulis
mengharapkan banyak kritik dan saran dari berbagai pihak demi sebuah perubahan di
masa yang akan datang.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an Al- Karim
Sabiq, Sayyid . 992. Fiqh al Sunnah, Jilid I Beirut: Dar al-Fikr.
Abdullah, Ibnu. 2018. Fiqih Thaharah. Surabaya: Pustaka Media.
Abidin, Zaenal. 2020. Fiqh Ibadah. Yogyakarta: Deepublish.
Abror, Khoirul. 2019. Fiqh Ibadah. Yogayakarta: CV.Arjasa Bandar Lampung.
Hafsah. 2013. Pembelajaran Fiqh. Bandung: Citapustaka Media Perintis.

Anda mungkin juga menyukai