Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

THAHARAH

Mata Kuliah: Fiqih

Dosen Pengampu: DR. Agus Hermanto, M.H.I

Disusun Oleh Kelompok 1 :

1. ADITYA SUSANTO
2. BENAZIR MEGA BACHSIN

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM ( STAI ) AL-MA’ARIF

KALIREJO KABUPATEN LAMPUNG TENGAH

TAHUN AKADEMIK 2022/2023

2
KATA PENGANTAR

Alhamdulilah, puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT atas segala limpah Rahmat
dan Hidayah-Nya, sehinga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini.
Shalawat dan salam tak lupa kita panjatkan kepada Nabi Muhammad SAW beserta keluarga
dan sahabat- sahabatnya yang telah memperjuangkan Agama Islam hingga sampai kepada kita.
Adapun sesudah itu kami menyadari bahwa mulai perencanaan sampai penyusunan makalah
ini kami telah banyak mendapat bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu dengan segala hormat
kami sampaikan rasa terima kasih yang sedalam – dalamnya kepada :
1. Orang tua yang selalu mendukung proses pembelajaran
2. Ketua Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Al-Ma’arif Kalirejo Bapak Sungkowo S.Ag. M,
Pd.I.
3. Dosen Pengampu yang telah memberikan bimbingan dalam penyusunan makalah ini Bapak
DR. Agus Hermanto, M.H.I
4. Teman–teman dan seluruh pihak yang ikut berpartisipasi dalam penyelesaian makalah.
Dan dalam penyusunan makalah ini kami sadar masih banyak kekurangan dan kekeliruan,
maka dari itu kami mengharapkan kritikan positif, sehingga bisa diperbaiki seperlunya.
Akhirnya semoga makalah ini dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk maupun
pedoman bagi pembaca, Aamin Yaa Robbal’Alami.

Kalirejo, 19 September 2022

Penulis

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR......................................................................................................................1

DAFTAR ISI....................................................................................................................................2

BAB I PENDAHULUAN................................................................................................................3

A. Latar Belakang.......................................................................................................................3

B. Rumusan Masalah..................................................................................................................4

C. Tujuan Penulisan....................................................................................................................4

BAB II PEMBAHASAN.................................................................................................................5

A. Pengertian Thaharah...............................................................................................................5-6

B. Ketentuan Tentang Thaharah.................................................................................................7-8

C.Alat-alat Bersuci....................................................................................................................8-9

D. Macam-macam Najis dan Cara Mensucikannya....................................................................9-10

E.Istinja’ dan Adab Buang Air Besar.........................................................................................10-12

F. Macam-macam Hadas dan Cara Mensucikannya..................................................................12-13

G. Wudhu, Mandi, dan Tayamum...............................................................................................14-17

BAB III PENUTUP.......................................................................................................................18

3.1 Kesimpulan..........................................................................................................................18

3.2 Saran.....................................................................................................................................18

DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................................19-20

2
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Islam menganjurkan untuk selalu menjaga kebersihan badani selain rohani.

Kebersihan badani tercermin dengan bagaimana umat muslim selalu bersuci sebelum

mereka melakukan ibadah menghadap Allah SWT. Pada hakikatnya tujuan bersuci adalah

agar umat muslim terhindari dari kotoran atau debu yang menempel di badan sehingga

secara sadar atau tidak sengaja membatalkan rangkaian ibadah kita kepada Allah SWT.

Namun, yang terjadi sekarang adalah, banyak umat muslim hanya tahu saja bahwa

bersuci itu sebatas membasuh badan dengan air tanpa mengamalkan rukun-rukun bersuci

lainnya sesuai syariat Islam. Bersuci atau istilah dalam istilah Islam yaitu “Thaharah”

mempunyai makna yang luas tidak hanya berwudhu saja.

Pengertian thaharah adalah mensucikan diri, pakaian, dan tempat sholat dari hadas

dan najis menurut syariat islam. Bersuci dari hadas dan najis adalah syarat syahnya

seorang muslim dalam mengerjakan ibadah tertentu. Berdasarkan pengertian tersebut

sebenarnya banyak sekali manfaat yang bisa kita ambil dari fungsi thaharah. Taharah

sebagai bukti bahwa Islam amat mementingkan kebersihan dan kesucian

3
B. Rumusan masalah

Dari latar belakang masalah tersebut, penyusun merumuskan beberapa permasalahan

sebagai berikut :

1. Jelaskan pengertian dari thaharah?

2. jelaskan ketentuan tentang thaharah?

3. Jelaskan alat-alat untuk bersuci?

4. Jelaskan macam-macam najis dan bagaimana cara mensucikannya?

5. Jelaskan istinja dan adab buang air besar?

6. Jelaskan macam-macam hadas dan cara mensucikannya?

7. Jelaskan dan praktekan tata cara wudhu, mandi, dan tayamum?

C. Tujuan Penulisan

Tujuan dari penulisan makalah ini agar pemateri dan pembaca dapat memahami

pengertian thaharah, ketentuan thaharah, alat-alat bersuci, macam-macam najis dan tata

cara mensucikannya, penjelasan dari istinja dan adab buang air besar, macam-macam

hadas dan cara mensucikannya, serta cara mempraktekan cara wudhu, mandi, dan

tayamum yang benar.

4
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Thaharah

aThaharh berasal dari bahasa arab yakni ‫ ةرھﻂ‬-‫ رھﻄﻲ‬-‫ رھﻂ‬yang artinya bersuci.

Thaharah berarti kebersihan dan kesucian dari berbagai kotoran atau bersih dan suci

dari kotoran atau najis yang dapat dilihat (najis hissi) dan najis ma’nawi (yang tidak

kelihatan zatnya) seperti aib dan kemaksiatan. Sedangkan dalam buku yang lain secara

etimologi “thaharah” berarti “kebersihan” ketika dikatakan saya menyucikan pakaian

maka yang dimaksud adalah saya membersihkan pakaian. Dalam buku Fiqh ibadah

secara bahasa ath-thaharah berarti bersih dari kotoran-kotoran, baik yang kasat mata

maupun tidak.

Sedangkan menurut istilah atau terminologi thaharah adalah menghilangkan hadas,

menghilangkan najis, atau melakukan sesuatu yang semakna atau memiliki bentuk serupa

dengan kedua kegiatan tersebut.

Dalam buku yang lain mengatakan bahwa thaharah adalah bersih dari najis haqiqi

yakni khabast atau najis hukmi yakni hadast, devenisi yang dibuat oleh mazhab maliki

dan hambali sama dengan devenisi yang digunkan oleh ulama mazhab hanafi mereka

mengatakan bahwa thaharah adalah menghilangkan apa yang menghalangi sholat yaitu

hadats atau najis dengan menggunakan air ataupun menghilangkan hukumnya dengan

tanah.

5
Al-Imam ibnu Qodamah al Maqdisi mengatakan bahwa thaharah memiliki 4 tahapan

yakni :

1. Menyucikan lahir dari hadats, najis-najis, dan kotoran-kotoran.

2. Menyucikan anggota tubuh dari dosa dan kemaksiatan.

3. Menyucikan hati dari akhlak-akhlak tercela dan sifat-sifat buruk.

4. Menyucikan hati dari selain Allah.

Kebersihan lahir ialah bersih dari kotoran dan hadats, kebersihan dari kotoran, cara

menghilangkan dengan menghilangkan kotoran itu pada tempat ibadah, pakaian yang di

pakai pada badan seseorang. Sedangkan kebersihan dari hadats dilakukan dengan

mengambil air wudhu dan mandi.

Thaharah dari hadats ada tiga macam yakni mandi, wudhu, dan tayammum. Alat

yang digunakan untuk mandi dan wudhu adalah air dan tanah(debu) untuk tayammum.

Dalam hal ini air harus dalam keadaan suci lagi menyucikan atau di sebut dengan air

muthlak sedangkan tanah/debu harus memenuhi beberapa syarat yang di tentukan.

6
B. Ketentuan Tentang Thaharah

Ketentuan dalam thaharah adalah menggunakan air yang suci dan mensucikan, debu,

dan benda-benda padat yang diyakini tidak bernajis.

Alat yang digunakan dalam thaharah

1. Air, yang terbagi menjadi :

a. Air mutlak

Yaitu air yang suci lagi mensucikan terhadap lainnya. Misalnya air hujan,

air salju, air sumur, air laut, air sungai, air empang, air danau, atau air

telaga.

b. Air musta’mal

Yaitu air yang telah dipakai untuk berwudhu atau mandi. Hukumnya air

semacam ini tetap bersuci lagi mensucikan.

c. Air suci tetapi tidak mensucikan

Yaitu air yang suci tetapi tidak dapat digunakan untuk berthaharah. Air

ini jika dilihat dari zatnya sendiri adalah suci, semisal air kelapa.

d. Air yang bernajis

Yaitu air yang tercampur dengan barang najis sehingga merubah salah

satu diantara rasa, warna atau baunya. Air semacam ini tidak dapat

dipergunakan untuk thaharah, baik untuk menghilangkan hadast maupun

menghilangkan najis.

7
2. Debu, yaitu debu atau tanah yang bersih , yang tidak bercampur dengan najis.

Seperti debu yang kita jumpai diatas almari, di dinding rumah, pada dinding

bagian dalam bis, kereta api, pesawat udara, pada mobil dan sebagainya.

3. Benda padat, yaitu benda-benda padat yang suci dari asalnya lagi pula tidak

terkena najis semisalbatu, batu merah, tanah kertas (padas), kayu kering,

kertas resap atau tisue dan sebagainya.

C. Alat-alat Bersuci

Alat thaharah adalah sesuatu yang biasa digunakan untuk bersuci. Berdasarkan

jenisnya, alat thaharah dibagi menjadi tiga, yaitu air, batu dan debu.

1. Air

Mengutip dari buku Fiqih Thaharah, air yang bisa digunakan untuk thaharah

adalah air suci yang menyucikan. Air ini disebut juga dengan air mutlak. Air

mutlak adalah air murni yang belum tercampuri oleh suatu najis. Berdasarkan ayat

dan hadist, ada beberapa jenis air mutlak yang bisa digunakan untuk bersuci, di

antaranya air hujan, air laut, air sungai, air sumur, air es, dan air embun.

2. Debu

Jika seorang Muslim hendak bersuci, namun ia tidak bisa menemukan air,

maka diperbolehkan baginya untuk thaharah menggunakan debu yang suci.

Bersuci dengan debu ini dalam Islam disebut juga dengan istilah tayamum.

8
3. Benda yang dapat menyerap kotoran

Selain air dan debu, alat thaharah selanjutnya adalah benda yang dapat

menyerap kotoran. Benda yang dimaksud dalam hal ini di antaranya batu, tisu,

kayu, dan sejenisnya. Dalam Islam, benda ini dikhususkan untuk menghilangkan

najis, seperti beristinja’.

D. Macam-macam Najis dan Cara Mensucikannya

Macam-macam najis dibagi menjadi 3, yaitu sebagai berikut:

1. Mukhoffafah (ringan)

Yang termasuk najis ini hanya satu yaitu air kencing bayi laki-laki yang

usianya belum mencapai 2 tahun dan belum makan/minum kecuali air susu ibu.

Cara mensucikannya cukup dipercikkan air yang suci pada tempat yang terkena

najis.

Rasulullah SAW bersabda, “Kencing anak perempuan itu dibasuh, sedangkan

kencing anak laki-laki (hanya) diperciki.” (HR. Abu Daud)

2. Mutawassithoh (sedang)

Yang termasuk najis ini adalah darah, kotoran manusia dan binatang, muntah-

muntahan, bangkai dan minuman yang memabukkan. Najis mutawassithoh sendiri

dibagi menjadi 2 yaitu najis ainiyah (najis yang dapat diketahui dengan indra) dan

najis hukmiyah (najis yang tidak dapat diketahui namun kita yakin najis itu ada).

Cara mensucikan najis ainiyah dengan menggunakan air yang mengalir sampai

hilang warna dan bentuknya. Cara mensucikan najis hukmiyah dengan

9
menggunakan air suci yang mengalir tanpa harus hilang warna dan bentuknya
Karenmemang tidak kelihatan.

3. Mugholladhoh (berat)

Yang tergolong najis ini adalah sesuatu yang bersumber dari anjing dan babi,

baik jilatannya, air kencing, kotoran, daging, tulang maupun bangkainya. Cara

mensucikannya dengan mencuci sebanyak 7 kali dan salah satu dari 7 kali tersebut

harus dicampur dengan debu yang suci sampai hilang warna dan bentuk, bau dan

rasanya.

E. Istinja’ dan Adab Buang Air Besar

Istinja’ menurut bahasa adalah terlepas atau selamat. Sedangkan menurt istilah adalah

bersuci setelah buang air besar atau air kecil.

a. Cara istinja’

Cara beristinja’ dapat dilakukan dengan salah satu cara sebagai berikut:

1) Membersihkan tempat keluarnya kotoran air besar atau air kecil dengan

air sampai bersih.

2) Membersihkan tempat keluarnya kotoran air besar atau air kecil dengan

batu, kemudian dibasuh dan dibersihkan dengan air.

3) Membersihkan tempat keluarnya kotoran air besar atau air kecil dengan

batu atau benda-benda kesat lainya sampai bersih. Batu yang

dipergunakan sekurang-kurangnya tiga batu atau satu batu yang

mempunyai tiga permukaan.

10
Syarat-syarat istinja’ dengan menggunakan batu atau benda keras/kesat, terdiri dari

enam macam:

1) Batu atau benda itu keras/kesat dan harus suci serta dapat dipakai untuk

membersihkan najis.

2) Batu atau benda itu tidak termasuk yang dihormati. Misalnya, bahan makanan

atau batu masjid.

3) Sekurang-kurangnya tiga kali usapan dan sampai bersih.

4) Najis yang akan disucikan belum sampai kering.

5) Najis itu tidak pindah dari tempat keluarnya.

6) Najis itu tidak bercampur dengan benda lain.

b. Alat-Alat yang digunakan untuk istinja’

Istinja’ dapat dilakukan dengan air atau benda selain air. Benda selain air

yang digunakan untuk istinja‘ ialah benda yang keras dan kesat seperti: batu,

kertas, atau daun-daun yang sudah kering.

c. Adab Buang Air

1) Mendahulukan kaki kiri pada waktu masuk WC.

2) Membaca doa ketika masuk WC

3) Mendahulukan kaki kanan sewaktu keluar dari WC.

4) Pada waktu keluar dari WC membaca doa

5) Pada waktu buang air hendaknya memakai alas kaki.

11
6) Istinja‘ hendaknya dilakukan dengan tangan kiri.

d. Hal-hal yang Dilarang Ketika Buang Air

1) Buang air ditempat terbuka.

2) Buang air di air tenang, kecuali jika air itu besar seperti danau.

3) Buang air di lubang-lubang, karena kemungkinan ada binatang.

4) Buang air di tempat yang mengganggu orang lain.

5) Buang air di bawah pohon yang sedang berbuah.

6) Bercakap-cakap ketika buang air kecuali sangat terpaksa.

7) Menghadap kiblat atau membelakanginya.

8) Membaca ayat al-qur’an

F. Macam-macam Hadas dan Cara Mensucikannya

Para ulama sepakat untuk membagi hadats menjadi dua, yaitu hadats kecil dan hadats

besar. Masing-masing terjadi bila terjadi hal-hal tertentu, yang nanti akan dijelaskan

dalam bab-bab berikutnya.

1. Hadats kecil adalah kondisi hukum dimana seseorang sedang tidak dalam

keadaan berwudhu'. Entah memang karena asalnya belum berwudhu' atau pun

sudah berwudhu' tetapi sudah batal lantaran melakukan hal-hal tertentu.

a. Hal-hal yang bisa mengakibatkan hadats kecil adalah ada beberapa hal,

diantaranya adalah keluarnya sesuatu lewat lubang kemaluan, tidur, hilang

akal, menyentuh kemaluan, dan menyentuh kulit lawan jenis.

12
2. Hadats besar adalah kondisi hukum dimana seseorang sedang dalam keadaan

janabah. Dan janabah itu adalah status hukum yang tidak berbentuk fisik. Maka

janabah tidak identik dengan kotor.

a. Hal-hal yang bisa mengakibatkan hadats besar antara lain adalah keluar

mani, bertemunya dua kemaluan, meninggal dunia, mendapat haidh, nifas

dan melahirkan bayi.

3. Tata Cara

Tata cara mengangkat hadats atau mensucikan diri dari hadats ada tiga macam.

a. Pertama dengan cara berwudhu. Ritual ini tujuan dan fungsinya khusus

untuk mensucikan diri dari hadats kecil saja.

b. Kedua adalah mandi janabah. Ritual untuk berfungsi untuk mensucikan

diri dari hadats besar, juga sekaligus berfungsi untuk mengangkat hadats

kecil juga. Sehingga seseorang yang sudah melakukan mandi janabah,

pada dasarnya tidak perlu lagi berwudhu’.

c. Ketiga adalah tayammum. Ritual ini hanya boleh dikerjakan tatkala tidak

ada air sebagai media untuk berwudhu’ atau mandi janabah. Tayammum

adalah bersuci dengan menggunakan media tanah, berfungsi mensucikan

diri dari hadats kecil dan juga hadats besar.

13
G. Wudhu, Mandi, dan Tayamum

1. Wudhu

a. Pengertian Wudhu

1) Bahasa

Kata wudhu' dalam bahasa Arab berasal dari kata al-wadha'ah .Kata

ini bermakna al-hasan ‫( ﻧﺴــــﺤﻼ‬yaitu kebaikan, dan juga sekaligus bermakna

an-andzafah ‫ ةﻓـــــﺎظﻨﻼ‬yaitu kebersihan.

2) Istilah

Sedangkan kata wadhuu' bermakna air yang digunakan untuk

berwudhu'. Wudhu' adalah sebuah ibadah ritual untuk mensucikan diri

dari hadats kecil dengan menggunakan media air. Yaitu dengan cara

membasuh atau mengusap beberapa bagian anggota tubuh menggunakan

air sambil berniat di dalam hati dan dilakukan sebagai sebuah ritual khas

atau peribadatan. Bukan sekedar bertujuan untuk membersihkan secara

fisik atas kotoran melainkan sebuah pola ibadah yang telah ditetapkan tata

aturannya lewat wahyu dari langit dari Allah SWT.

2. Mandi

a. Pengertian Mandi

Mandi dalam bahasa Arab disebut dengan istilah al-ghusl. Kata ini

memiliki makna yaitu menuangkan air ke seluruh tubuh

Sedangkan secara istilah para ulama menyebutkan definisinya yaitu :

Adapun kata janabah dalam bahasa Arab bermakna jauh lawan dari dekat. Secara

14
istilah fiqih, kata janabah menurut Al-Imam AnNawawi rahimahullah berarti :

Janabah secara syar'i dikaitkan dengan seseorang yang keluar mani atau

melakukan hubungan suami istri disebut bahwa seseorang itu junub karena dia

menjauhi shalat masjid dan membaca Al-Quran serta dijauhkan atas hal-hal

tersebut.

Mandi janabah sering juga disebut dengan istilah 'mandi wajib'. Mandi ini

merupakan tatacara ritual yang bersifat ta’abbudi dan bertujuan menghilangkan

hadats besar.

b. Hal-hal Yang Mewajibkan Mandi Janabah

Para ulama menetapkan paling tidak ada 6 hal yang mewajibkan seseorang

untuk mandi janabah. Tiga hal di antaranya dapat terjadi pada laki-laki dan

perempuan. Tiga lagi sisanya hanya terjadi pada perempuan.

1. Keluar Mani

Keluarnya air mani menyebabkan seseorang mendapat janabah, baik

dengan cara sengaja seperti jima’ atau masturbasi, maupun dengan cara tidak

sengaja, seperti mimpi atau sakit.

2. Bertemunya Dua Kemaluan

Yang dimaksud dengan bertemunya dua kemaluan adalah kemaluan laki-

laki dan kemaluan wanita. Istilah ini disebutkan dengan maksud persetubuhan

(jima').

15
3. Meninggal

Seseorang yang meninggal dunia membuat orang lain wajib untuk

memandikan jenazahnya.

4. Haidh

Haidh atau menstruasi adalah kejadian alamiyah yang wajar terjadi pada

seorang wanita dan bersifat rutin bulanan. Keluarnya darah haidh itu justru

menunjukkan bahwa tubuh wanita itu sehat.

5. Nifas

Nifas adalah darah yang keluar dari kemaluan seorang wanita setelah

melahirkan. Nifas itu mewajibkan mandi janabah, meski bayi yang dilahirkannya

itu dalam keadaan mati. Begitu berhenti dari keluarnya darah sesudah persalinan

atau melahirkan maka wajib atas wanita itu untuk mandi janabah. Hukum nifas

dalam banyak hal lebih sering mengikuti hukum haidh. Sehingga seorang yang

nifas tidak boleh shalat puasa thawaf di baitullah masuk masjid membaca Al-

Quran menyentuhnya bersetubuh dan lain sebagainya.

6. Melahirkan

Seorang wanita yang melahirkan anak meski anak itu dalam keadaan mati

maka wajib atasnya untuk melakukan mandi janabah. Bahkan meski saat

melahirkan itu tidak ada darah yang keluar. Artinya meski seorang wanita tidak

mengalami nifas namun tetap wajib atasnya untuk mandi janabah lantaran

persalinan yang dialaminya.

16
3. Tayamum

a. Pengertian

Secara bahasa tayammum itu maknanya adalah bermaksud. Sedangkan

secara syar’i maknanya adalah bermaksud kepada tanah atau penggunaan tanah

untuk bersuci dari hadats kecil maupun hadats besar.

Caranya dengan menepuk-nepuk kedua tapak tangan ke atas tanah lalu

diusapkan ke wajah dan kedua tangan dengan niat untuk bersuci dari hadats.

Tayammum berfungsi sebagai pengganti wudhu’ dan mandi janabah sekaligus.

Dan itu terjadi pada saat air tidak ditemukan atau pada kondisi-kondisi lainnya

yang akan kami sebutkan. Maka bila ada seseorang yang terkena janabah tidak

perlu bergulingan di atas tanah melainkan cukup baginya untuk bertayammum

saja. Karena tayammum bisa menggantikan dua hal sekaligus yaitu hadats kecil

dan hadats besar

17
BAB III PENUTUP

Kesimpulan

Kebersihan yang sempurna menurut syara’ disebut thaharah, merupakan

masalah yang sangat penting dalam beragama dan menjadi pangkal dalam

beribadah yang menghantarkan manusia berhubungan dengan Allah SWT.

Tidak ada cara bersuci yang lebih baik dari pada cara yang dilakukan oleh

syarit Islam, karena syariat Islam menganjurkan manusia mandi dan

berwudlu. Walaupun manusia masih dalam keadaan bersih, tapi ketika hendak

melaksanakan sholat dan ibadah-ibadah lainnya yang mengharuskan

berwudlu, begitu juga dia harus pula membuang kotoran pada diri dan tempat

ibadahnya dan mensucikannya karena kotoran itu sangat menjijikkan bagi

manusia

Saran

Dalam penulisan makalah ini, penulis menyadari mungkin terdapat

kekurangannya. Untuk itu penulis menerima setiap saran yang membangun

dari pembaca agar makalah ini jadi lebih baik

18
DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an Karim

Az zuhaili,Prof .Dr. Wahbah.2010.Fiqih Imam Syafi’I. Jakarta. Almahira

Az Zuhaili Prof. Dr .Wahbah. 2010. Fiqih Islam Wa Adillatuhu. Depok. Gema Insani.

Darajat, Prof. Dr. Zakiyah.1995. Ilmu Fiqih. Jakarta. dana bakti wakaf.

Drs.Babudin.S.Ag dan Tim Penyusun Kementrian Agama Republik Indonesia.

2005.Fiqih Untuk X madrasah aliyah, Jakarta. intimedia ciptanusantara

H.Abd.Kholiq Hasan. 2008. Tafsir Ibadah. Yogyakarta. Pustaka Pesantren.

Imam An-Nawawi, Majmu’ Syarah Al Muhadzab,Pustaka Azzam, Jakarta , 2009

Al-Imam ibnu Qudamah Al Maqdisi. 2012Mukhtasar Minhajul Qasidin. Jakarta. Darul

Haq.

Imam An-Nawawi, Majmu’ Syarah Al Muhadzab,Pustaka Azzam, Jakarta , 2009, hlm

234

[2] Prof. Dr .Wahbah Az Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Gema Insani,Depok,2010,

hlm 202

[3] Prof. Dr .Wahbah Az Zuhaili, Fiqih Imam Syafi’i, Almahira, Jakarta,2010 hlm 86

[4] Prof. Dr. Abdul Aziz Muhammad Azzam Dan Prof. Dr. Abdul Wahhab Sayyed

Hawwas, Fiqh Ibadah,Amzah, Jakarta,2010, hlm 3

Prof. Dr .Wahbah Az Zuhaili, Fiqih Imam Syafi’i, Almahira, Jakarta,2010 hlm 86

[8] Khabats adalah adalah sesuatu yang kotor menurut syara’ adapun hadats adalah sifat

syara’ yang melekata pada anggota tubuh dan dapat dihilangkan thaharah(kesucian)

[9] Prof. Dr .Wahbah Az Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Gema Insani,Depok,2010,hlm 203

19
[10] Al-Imam ibnu Qudamah Al Maqdisi, Mukhtasar Minhajul Qasidin, Darul Haq,

Jakarta, 2012, hlm 14

[11] Prof. Dr. Zakiyah Darajat, Ilmu Fiqih, dana bakti wakaf, jakarta, 1995, hlm 10

[12] Prof. Dr. Zakiyah Darajat, Ilmu Fiqih, dana bakti wakaf, jakarta, 1995, hlm 10

[13] DRS. Lahmuddin Nasution, M.Ag, fiqh 1, logos, hlm 9

Sarwat, Ahmad.2011.Seri Fiqih Kehidupan (2) : Thaharah, Jalan Karet Pedurenan no. 53

Kuningan

Setiabudi Jakarta Selatan 12940: DU Publishing.

20

Anda mungkin juga menyukai