THAHARAH
1. ADITYA SUSANTO
2. BENAZIR MEGA BACHSIN
2
KATA PENGANTAR
Alhamdulilah, puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT atas segala limpah Rahmat
dan Hidayah-Nya, sehinga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini.
Shalawat dan salam tak lupa kita panjatkan kepada Nabi Muhammad SAW beserta keluarga
dan sahabat- sahabatnya yang telah memperjuangkan Agama Islam hingga sampai kepada kita.
Adapun sesudah itu kami menyadari bahwa mulai perencanaan sampai penyusunan makalah
ini kami telah banyak mendapat bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu dengan segala hormat
kami sampaikan rasa terima kasih yang sedalam – dalamnya kepada :
1. Orang tua yang selalu mendukung proses pembelajaran
2. Ketua Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Al-Ma’arif Kalirejo Bapak Sungkowo S.Ag. M,
Pd.I.
3. Dosen Pengampu yang telah memberikan bimbingan dalam penyusunan makalah ini Bapak
DR. Agus Hermanto, M.H.I
4. Teman–teman dan seluruh pihak yang ikut berpartisipasi dalam penyelesaian makalah.
Dan dalam penyusunan makalah ini kami sadar masih banyak kekurangan dan kekeliruan,
maka dari itu kami mengharapkan kritikan positif, sehingga bisa diperbaiki seperlunya.
Akhirnya semoga makalah ini dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk maupun
pedoman bagi pembaca, Aamin Yaa Robbal’Alami.
Penulis
1
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR......................................................................................................................1
DAFTAR ISI....................................................................................................................................2
BAB I PENDAHULUAN................................................................................................................3
A. Latar Belakang.......................................................................................................................3
B. Rumusan Masalah..................................................................................................................4
C. Tujuan Penulisan....................................................................................................................4
BAB II PEMBAHASAN.................................................................................................................5
A. Pengertian Thaharah...............................................................................................................5-6
C.Alat-alat Bersuci....................................................................................................................8-9
3.1 Kesimpulan..........................................................................................................................18
3.2 Saran.....................................................................................................................................18
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................................19-20
2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kebersihan badani tercermin dengan bagaimana umat muslim selalu bersuci sebelum
mereka melakukan ibadah menghadap Allah SWT. Pada hakikatnya tujuan bersuci adalah
agar umat muslim terhindari dari kotoran atau debu yang menempel di badan sehingga
secara sadar atau tidak sengaja membatalkan rangkaian ibadah kita kepada Allah SWT.
Namun, yang terjadi sekarang adalah, banyak umat muslim hanya tahu saja bahwa
bersuci itu sebatas membasuh badan dengan air tanpa mengamalkan rukun-rukun bersuci
lainnya sesuai syariat Islam. Bersuci atau istilah dalam istilah Islam yaitu “Thaharah”
Pengertian thaharah adalah mensucikan diri, pakaian, dan tempat sholat dari hadas
dan najis menurut syariat islam. Bersuci dari hadas dan najis adalah syarat syahnya
sebenarnya banyak sekali manfaat yang bisa kita ambil dari fungsi thaharah. Taharah
3
B. Rumusan masalah
sebagai berikut :
C. Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan makalah ini agar pemateri dan pembaca dapat memahami
pengertian thaharah, ketentuan thaharah, alat-alat bersuci, macam-macam najis dan tata
cara mensucikannya, penjelasan dari istinja dan adab buang air besar, macam-macam
hadas dan cara mensucikannya, serta cara mempraktekan cara wudhu, mandi, dan
4
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Thaharah
aThaharh berasal dari bahasa arab yakni ةرھﻂ- رھﻄﻲ- رھﻂyang artinya bersuci.
Thaharah berarti kebersihan dan kesucian dari berbagai kotoran atau bersih dan suci
dari kotoran atau najis yang dapat dilihat (najis hissi) dan najis ma’nawi (yang tidak
kelihatan zatnya) seperti aib dan kemaksiatan. Sedangkan dalam buku yang lain secara
maka yang dimaksud adalah saya membersihkan pakaian. Dalam buku Fiqh ibadah
secara bahasa ath-thaharah berarti bersih dari kotoran-kotoran, baik yang kasat mata
maupun tidak.
menghilangkan najis, atau melakukan sesuatu yang semakna atau memiliki bentuk serupa
Dalam buku yang lain mengatakan bahwa thaharah adalah bersih dari najis haqiqi
yakni khabast atau najis hukmi yakni hadast, devenisi yang dibuat oleh mazhab maliki
dan hambali sama dengan devenisi yang digunkan oleh ulama mazhab hanafi mereka
mengatakan bahwa thaharah adalah menghilangkan apa yang menghalangi sholat yaitu
hadats atau najis dengan menggunakan air ataupun menghilangkan hukumnya dengan
tanah.
5
Al-Imam ibnu Qodamah al Maqdisi mengatakan bahwa thaharah memiliki 4 tahapan
yakni :
Kebersihan lahir ialah bersih dari kotoran dan hadats, kebersihan dari kotoran, cara
menghilangkan dengan menghilangkan kotoran itu pada tempat ibadah, pakaian yang di
pakai pada badan seseorang. Sedangkan kebersihan dari hadats dilakukan dengan
Thaharah dari hadats ada tiga macam yakni mandi, wudhu, dan tayammum. Alat
yang digunakan untuk mandi dan wudhu adalah air dan tanah(debu) untuk tayammum.
Dalam hal ini air harus dalam keadaan suci lagi menyucikan atau di sebut dengan air
6
B. Ketentuan Tentang Thaharah
Ketentuan dalam thaharah adalah menggunakan air yang suci dan mensucikan, debu,
a. Air mutlak
Yaitu air yang suci lagi mensucikan terhadap lainnya. Misalnya air hujan,
air salju, air sumur, air laut, air sungai, air empang, air danau, atau air
telaga.
b. Air musta’mal
Yaitu air yang telah dipakai untuk berwudhu atau mandi. Hukumnya air
Yaitu air yang suci tetapi tidak dapat digunakan untuk berthaharah. Air
ini jika dilihat dari zatnya sendiri adalah suci, semisal air kelapa.
Yaitu air yang tercampur dengan barang najis sehingga merubah salah
satu diantara rasa, warna atau baunya. Air semacam ini tidak dapat
menghilangkan najis.
7
2. Debu, yaitu debu atau tanah yang bersih , yang tidak bercampur dengan najis.
Seperti debu yang kita jumpai diatas almari, di dinding rumah, pada dinding
bagian dalam bis, kereta api, pesawat udara, pada mobil dan sebagainya.
3. Benda padat, yaitu benda-benda padat yang suci dari asalnya lagi pula tidak
terkena najis semisalbatu, batu merah, tanah kertas (padas), kayu kering,
C. Alat-alat Bersuci
Alat thaharah adalah sesuatu yang biasa digunakan untuk bersuci. Berdasarkan
jenisnya, alat thaharah dibagi menjadi tiga, yaitu air, batu dan debu.
1. Air
Mengutip dari buku Fiqih Thaharah, air yang bisa digunakan untuk thaharah
adalah air suci yang menyucikan. Air ini disebut juga dengan air mutlak. Air
mutlak adalah air murni yang belum tercampuri oleh suatu najis. Berdasarkan ayat
dan hadist, ada beberapa jenis air mutlak yang bisa digunakan untuk bersuci, di
antaranya air hujan, air laut, air sungai, air sumur, air es, dan air embun.
2. Debu
Jika seorang Muslim hendak bersuci, namun ia tidak bisa menemukan air,
Bersuci dengan debu ini dalam Islam disebut juga dengan istilah tayamum.
8
3. Benda yang dapat menyerap kotoran
Selain air dan debu, alat thaharah selanjutnya adalah benda yang dapat
menyerap kotoran. Benda yang dimaksud dalam hal ini di antaranya batu, tisu,
kayu, dan sejenisnya. Dalam Islam, benda ini dikhususkan untuk menghilangkan
1. Mukhoffafah (ringan)
Yang termasuk najis ini hanya satu yaitu air kencing bayi laki-laki yang
usianya belum mencapai 2 tahun dan belum makan/minum kecuali air susu ibu.
Cara mensucikannya cukup dipercikkan air yang suci pada tempat yang terkena
najis.
2. Mutawassithoh (sedang)
Yang termasuk najis ini adalah darah, kotoran manusia dan binatang, muntah-
dibagi menjadi 2 yaitu najis ainiyah (najis yang dapat diketahui dengan indra) dan
najis hukmiyah (najis yang tidak dapat diketahui namun kita yakin najis itu ada).
Cara mensucikan najis ainiyah dengan menggunakan air yang mengalir sampai
9
menggunakan air suci yang mengalir tanpa harus hilang warna dan bentuknya
Karenmemang tidak kelihatan.
3. Mugholladhoh (berat)
Yang tergolong najis ini adalah sesuatu yang bersumber dari anjing dan babi,
baik jilatannya, air kencing, kotoran, daging, tulang maupun bangkainya. Cara
mensucikannya dengan mencuci sebanyak 7 kali dan salah satu dari 7 kali tersebut
harus dicampur dengan debu yang suci sampai hilang warna dan bentuk, bau dan
rasanya.
Istinja’ menurut bahasa adalah terlepas atau selamat. Sedangkan menurt istilah adalah
a. Cara istinja’
Cara beristinja’ dapat dilakukan dengan salah satu cara sebagai berikut:
1) Membersihkan tempat keluarnya kotoran air besar atau air kecil dengan
2) Membersihkan tempat keluarnya kotoran air besar atau air kecil dengan
3) Membersihkan tempat keluarnya kotoran air besar atau air kecil dengan
10
Syarat-syarat istinja’ dengan menggunakan batu atau benda keras/kesat, terdiri dari
enam macam:
1) Batu atau benda itu keras/kesat dan harus suci serta dapat dipakai untuk
membersihkan najis.
2) Batu atau benda itu tidak termasuk yang dihormati. Misalnya, bahan makanan
Istinja’ dapat dilakukan dengan air atau benda selain air. Benda selain air
yang digunakan untuk istinja‘ ialah benda yang keras dan kesat seperti: batu,
11
6) Istinja‘ hendaknya dilakukan dengan tangan kiri.
2) Buang air di air tenang, kecuali jika air itu besar seperti danau.
Para ulama sepakat untuk membagi hadats menjadi dua, yaitu hadats kecil dan hadats
besar. Masing-masing terjadi bila terjadi hal-hal tertentu, yang nanti akan dijelaskan
1. Hadats kecil adalah kondisi hukum dimana seseorang sedang tidak dalam
keadaan berwudhu'. Entah memang karena asalnya belum berwudhu' atau pun
a. Hal-hal yang bisa mengakibatkan hadats kecil adalah ada beberapa hal,
12
2. Hadats besar adalah kondisi hukum dimana seseorang sedang dalam keadaan
janabah. Dan janabah itu adalah status hukum yang tidak berbentuk fisik. Maka
a. Hal-hal yang bisa mengakibatkan hadats besar antara lain adalah keluar
3. Tata Cara
Tata cara mengangkat hadats atau mensucikan diri dari hadats ada tiga macam.
a. Pertama dengan cara berwudhu. Ritual ini tujuan dan fungsinya khusus
diri dari hadats besar, juga sekaligus berfungsi untuk mengangkat hadats
c. Ketiga adalah tayammum. Ritual ini hanya boleh dikerjakan tatkala tidak
ada air sebagai media untuk berwudhu’ atau mandi janabah. Tayammum
13
G. Wudhu, Mandi, dan Tayamum
1. Wudhu
a. Pengertian Wudhu
1) Bahasa
Kata wudhu' dalam bahasa Arab berasal dari kata al-wadha'ah .Kata
2) Istilah
dari hadats kecil dengan menggunakan media air. Yaitu dengan cara
air sambil berniat di dalam hati dan dilakukan sebagai sebuah ritual khas
fisik atas kotoran melainkan sebuah pola ibadah yang telah ditetapkan tata
2. Mandi
a. Pengertian Mandi
Mandi dalam bahasa Arab disebut dengan istilah al-ghusl. Kata ini
Adapun kata janabah dalam bahasa Arab bermakna jauh lawan dari dekat. Secara
14
istilah fiqih, kata janabah menurut Al-Imam AnNawawi rahimahullah berarti :
Janabah secara syar'i dikaitkan dengan seseorang yang keluar mani atau
melakukan hubungan suami istri disebut bahwa seseorang itu junub karena dia
menjauhi shalat masjid dan membaca Al-Quran serta dijauhkan atas hal-hal
tersebut.
Mandi janabah sering juga disebut dengan istilah 'mandi wajib'. Mandi ini
hadats besar.
Para ulama menetapkan paling tidak ada 6 hal yang mewajibkan seseorang
untuk mandi janabah. Tiga hal di antaranya dapat terjadi pada laki-laki dan
1. Keluar Mani
dengan cara sengaja seperti jima’ atau masturbasi, maupun dengan cara tidak
laki dan kemaluan wanita. Istilah ini disebutkan dengan maksud persetubuhan
(jima').
15
3. Meninggal
memandikan jenazahnya.
4. Haidh
Haidh atau menstruasi adalah kejadian alamiyah yang wajar terjadi pada
seorang wanita dan bersifat rutin bulanan. Keluarnya darah haidh itu justru
5. Nifas
Nifas adalah darah yang keluar dari kemaluan seorang wanita setelah
melahirkan. Nifas itu mewajibkan mandi janabah, meski bayi yang dilahirkannya
itu dalam keadaan mati. Begitu berhenti dari keluarnya darah sesudah persalinan
atau melahirkan maka wajib atas wanita itu untuk mandi janabah. Hukum nifas
dalam banyak hal lebih sering mengikuti hukum haidh. Sehingga seorang yang
nifas tidak boleh shalat puasa thawaf di baitullah masuk masjid membaca Al-
6. Melahirkan
Seorang wanita yang melahirkan anak meski anak itu dalam keadaan mati
maka wajib atasnya untuk melakukan mandi janabah. Bahkan meski saat
melahirkan itu tidak ada darah yang keluar. Artinya meski seorang wanita tidak
mengalami nifas namun tetap wajib atasnya untuk mandi janabah lantaran
16
3. Tayamum
a. Pengertian
secara syar’i maknanya adalah bermaksud kepada tanah atau penggunaan tanah
diusapkan ke wajah dan kedua tangan dengan niat untuk bersuci dari hadats.
Dan itu terjadi pada saat air tidak ditemukan atau pada kondisi-kondisi lainnya
yang akan kami sebutkan. Maka bila ada seseorang yang terkena janabah tidak
saja. Karena tayammum bisa menggantikan dua hal sekaligus yaitu hadats kecil
17
BAB III PENUTUP
Kesimpulan
masalah yang sangat penting dalam beragama dan menjadi pangkal dalam
Tidak ada cara bersuci yang lebih baik dari pada cara yang dilakukan oleh
berwudlu. Walaupun manusia masih dalam keadaan bersih, tapi ketika hendak
berwudlu, begitu juga dia harus pula membuang kotoran pada diri dan tempat
manusia
Saran
18
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an Karim
Az Zuhaili Prof. Dr .Wahbah. 2010. Fiqih Islam Wa Adillatuhu. Depok. Gema Insani.
Darajat, Prof. Dr. Zakiyah.1995. Ilmu Fiqih. Jakarta. dana bakti wakaf.
Haq.
234
hlm 202
[3] Prof. Dr .Wahbah Az Zuhaili, Fiqih Imam Syafi’i, Almahira, Jakarta,2010 hlm 86
[4] Prof. Dr. Abdul Aziz Muhammad Azzam Dan Prof. Dr. Abdul Wahhab Sayyed
[8] Khabats adalah adalah sesuatu yang kotor menurut syara’ adapun hadats adalah sifat
syara’ yang melekata pada anggota tubuh dan dapat dihilangkan thaharah(kesucian)
[9] Prof. Dr .Wahbah Az Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Gema Insani,Depok,2010,hlm 203
19
[10] Al-Imam ibnu Qudamah Al Maqdisi, Mukhtasar Minhajul Qasidin, Darul Haq,
[11] Prof. Dr. Zakiyah Darajat, Ilmu Fiqih, dana bakti wakaf, jakarta, 1995, hlm 10
[12] Prof. Dr. Zakiyah Darajat, Ilmu Fiqih, dana bakti wakaf, jakarta, 1995, hlm 10
Sarwat, Ahmad.2011.Seri Fiqih Kehidupan (2) : Thaharah, Jalan Karet Pedurenan no. 53
Kuningan
20