Anda di halaman 1dari 17

THOHAROH

Makalah Ini Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Fiqih


Dosen Pengampu : Dr. Muhammad Zaini, M.Pdi
Oleh Kelompok 1 :

1. Suriyah
NPM : 181310028
2. Sitatun Alawiyah
NPM : 184310044

Prodi : PIAUD

FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM MA’ARIF NU (IAIM NU)
METRO LAMPUNG
2018 M

i
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, puji
syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan Rahmat, Hidayah, dan
Inayah-Nya sehingga kami dapat merampungkan penyusunan makalah pendidikan agama
islam dengan judul "thaharah" tepat pada waktunya.
Penyusunan makalah semaksimal mungkin kami upayakan dan didukung bantuan
berbagai pihak, sehingga dapat memperlancar dalam penyusunannya. Untuk itu tidak lupa
kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu kami dalam
merampungkan makalah ini.
Namun tidak lepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih
terdapat kekurangan baik dari segi penyusunan bahasa dan aspek lainnya. Oleh karena itu,
dengan lapang dada kami membuka selebar-lebarnya pintu bagi para pembaca yang ingin
memberi saran maupun kritik demi memperbaiki makalah ini.
Akhirnya penyusun sangat mengharapkan semoga dari makalah sederhana ini dapat
diambil manfaatnya.

Metro, 06 Oktober 2018

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................... i


DAFTAR ISI.............................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ............................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .......................................................................................... 1
C. Tujuan Masalah ............................................................................................. 1
BAB II PEMBAHASAN
A. Thaharah ........................................................................................................ 2
1. Pembagian Air Suci ................................................................................ 2
2. Definisi Thaharah .................................................................................... 2
3. Pembagian Air Berdasarkan Ukuran Syara' dan Hukumnya .................. 3
4. Penggunaan Bejana dan Wadah untuk Bersuci....................................... 9
5. Bahan-Bahan yang Bisa Digunakan untuk Bersuci ................................ 11
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................................... 13
B. Saran .............................................................................................................. 13
DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Allah itu bersih dan suci. Untuk menemuinya manusia harus terlebih dahulu bersuci
dan disucikan. Allah mencintai sesuatu yang suci dan bersih. Dalam hukum islam bersuci dan
segala seluk beluknya adalah termasuk sebagian dari ilmu dan amalan yang penting karena
diantaranya syarat-syarat sholat telah ditetapkan bahwa seseorang yang akan melaksanakan
sholat, wajib suci dari hadas dan suci pula badan, pakaian dan tempatnya dari najis. Dalam
kehidupan sehari-hari kita tidak terlepas dari sesuatu (barang) yang kotor dan najis sehingga
thaharah dijadikan sebagai alat dan cara bagaimana mensucikan diri sendiri agar sah saat
menjalankan ibadah.
Banyak sekali hikmah yang terkandung dalam thaharah, kita sebagai muslim harus
dan wajib mengatahui cara-cara bersuci karna bersuci adalah dasar ibadah bagi ummat Islam,
dalam kehidupan sehari-hari kita tidak terlepas dari hal-hal yang kotor sehingga sebelum
memulai aktifitas kita menghadap tuhan atau beribadah haruslah dimulai dengan bersuci baik
dengan cara berwudhu, mandi maupun bertayammum. kalau kita melihat dan membaca
dengan teliti hampir seluruh kitab-kitab fiqih akan diawali dengan bab thaharah ini
menunjukan kan kepada kita betapa thaharah menjadi hal yang mendasar dan menjukkan
kepada kita betapa pentingnya masalah thaharah ini.
.
B. Rumusan Masalah
1. Pengertian thoharoh ?
2. Pembagian air suci ?
3. Definisi thoharoh ?
4. Pembagian air berdasarkan ukuran syara’ dan hukumnya ?
5. Penggunaan bejana dan wadah lain untuk bersuci dan keperluan lainnya ?
6. Bahan-bahan yang bisa digunakan untuk bersuci ?

C. Tujuan Masalah
1. Mengetahui pengertian dan definisi thoharoh ?
2. Untuk mengetahui macam-macam air suci ?
3. Mengetahui penggunaan bejana dan wadah lain untuk bersuci ?
4. Untuk mengetahui bahan-bahan yang bisa digunakan untuk bersuci ?

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Thaharah
Masalah thaharah perlu dibahas karena is menjadi syarat sah shalat. Yaitu dengan
membersihkan hadats yang ada pada seseorang sebab batainya wudhu, balk karena buang air
kecil, buang air besar, maupun hal yang sejenis; atau dengan menghilangkan najis yang
nnelekat pada badan, pakaian, dan tempat. Hal ini berdasarkan dalil hadits yang berbunyi,
"Kunci shalat adalah kesucian, " atau bersuci.
1. Pembagian Air Suci
Air yang boleh digunakan untuk bersuci ada tujuh macam, yaitu: air hujan, air
taut, air sumur, air sungai, air dari mata air (air tanah), salju, dan air embun.
Kesucian air hujan berdasarkan firman Allah "Allah menurun-kan kepada kalian
hujan dari langit untuk menyucikan kalian dengan hujan itu,(QS. al-Anfal [8]: 11);
dan sabda Nabi mengenai kesucian air taut, Lout itu suci airnya dan halal
bangkainya.Sabda Nabi A mengenai kesucian air sumur terdapat datam hadits Sahal
Suatu ketika, pera sahabat bertanya, "Wahai Rasulultah, sesungguhnya engkau
berwudhu dengan air sumur, sedangkan sumur digunakan oleh orang yang beristinja
, perempuan haid, dan orang junub?" Nabi menjawab, "Air adalah suci dan tidak
dapat dinajiskan oleh apa pun.Adapun hukum air sungai dan air dari mata air adalah
sama seperti air sumur.
Adapun kesucian air salju dan air embun adalah karena adanya hadits tentang
doa iftitah yang dibaca Nabi dalam shalat, "Wahai Allah, jauhkan aku dan dosa-
dosaku sebagaimana engkau jauhkan antara timur dengan barat. Wahai Allah,
bersihkanlah aku dari segala dosa-dosa sebagaimana baju putih yang bersih dari
kotoran. Wahai Allah cucilah aku dengan air salju dan air embun.
2. Definisi Thaharah
Menurut etimologi, "thandrah" berarti "kebersihan". Ketika dikata-kan "Saya
menyucikan pakaian" maksudnya adalah "Saya membersihkan pakaian". Adapun
menurut terminologi syara', "thandrah" adalah menghilangkan hadats,
menghilangkan najis, atau melakukan sesuatu yang semakna atau memiliki bentuk
yang serupa dengan kedua kegiatan tersebut.

2
Adapun yang termasuk dalam ketegori "yang semakna dengan keduanya"
adalah tayamum, beberapa jenis mandi yang disunahkan, memperbarui wudhu atau
tayamum yang sebenarnya tidak termasuk tindakan untuk menghilangkan hadats
atau najis, tetapi masih semakna dengan kegiatan bersuci. Dan juga beberapa
tindakan seperti mengusap tetinga, berkumur, dan beberapa tindakan sejenis yang
hukumnya sunah; bersuci bagi perempuan mustahadhah atau seseorang yang tidak
dapat berhenti buang air kencing. Sedangkan ungkapan "atau memiliki bentuk yang
serupa dengan keduanya" meliputi tindakan seperti basuhan kedua atau ketiga ketika
menghilangkan hadats atau najis. Pembahasan mengenai thaharah mencakup
beberapa pembahasan tentang wudhu, mandi, menghilangkan najis, dan tayamum.
3. Pembagian Air Berdasarkan Ukuran Syara' dan Hukumnya
Menurut pandangan syariat Islam, air terbagi menjadi empat macam: air suci
menyucikan, air suci tidak menyucikan, air makruh, dan air najis.Pembagian ini
dibuat dengan tujuan agar kita dapat mengetahui jenis air yang dapat digunakan
untuk menghilangkan hadats (sesuatu yang bersifat normatif atau abstrak yang
"melekat" pada badan, tetapi dapat meng-halangi keabsahan shalat ketika tidak ada
rukhsah yang memperboleh-kannya), dan jenis air yang dapat digunakan untuk
menghilangkan najis.
Hadats terdiri dari dua macam:
a. Hadats Kecil
yaitu sesuatu yang membatalkan wudhu
b. Hadats Besar
yaitu sesuatu yang mewajibkan mandi, balk disebabkan oleh persetubuhan,
keluarnya sperma, haid, maupun nifas.

Menurut bahasa, "najis" adalah sesuatu yang bersifat menjijikkan. Sementar


menurut syara' "najis" adalah sesuatu yang menjijikkan yang dapat menghalangi
keabsahan shalat ketika tidak ada rukhsah yang memperbolehkannya.Air yang suci
menyucikan adalah air mutlak, yaitu sesuatu zat yang bisa disebut dengan nama "air"
secara mutlak tanpa adanya batasan tertentu, balk batasan itu berupa kata tambahan
(idhafah) seperti "air mawar"; berupa sifat seperti "air yang memancar"; atau berupa
huruf lam al-'and (lam yang menunjukkan spesifikasi tertentu, pen.). Hal ini sebagai-
mana yang terdapat di dalam sabda Nabi ketika beliau ditanya tentang hukum mandi

3
bagi perempuan yang mimpi basah (ihti lam), kala itu Rasulullah menjawab, "Ya,
perempuan tersebut diwajibkan mandi ketika melihat al-ma' .
Air seperti itu disebut dengan nama air mutlak karena jika air itu
"dimuttakkan" (pengertiannya tidak dibatasi, pen.), maka is masih tetap bernama air,
dan karakter air itu pun tetap pada kondisi aslinya. Jadi, yang dimaksud dengan air
suci menyucikan (air mutlak) adalah air yang bisa suci esensinya (artinya: air yang
ketika ada sesuatu zat yang lain merasuk padanya, ia tidak menjadi najis), dan
sekatigus bisa menyucikan zat yang lain atau menghilangkan hadats dan najis.
Berdasarkan keterangan di atas, maka air musta'mal (yang sudah terpakai) tidak bisa
dikategorikan sebagai air yang suci menyucikan, ketika air jenis itu digunakan untuk
bersuci yang hukumnya fardhu seperti basuhan pertama dalam wudhu, mandi, atau
ketika menghilangkan najis walaupun najis yang dihilangkan termasuk jenis najis
yang dimaafkan.
Penyebabnya adalah karena air musta'mal tidak bisa menyucikan zat yang lain.
Begitu pula halnya air yang sudah berubah salah satu sifatnya (warna, bau, dan rasa,
pen.) disebabkan bercampurnya sesuatu zat lain yang suci, juga tidak bisa disebut
sebagai air suci menyucikan. Yang dimaksud dengan air suci tidak menyucikan atau
air musta'mal adalah air yang suci tapi tidak bisa digunakan untuk menyucikan zat
lain. Adapun air yang jumlahnya sedikit, jika air itu tidak berubah salah satu sifatnya
disebabkan najis dan tidak pula kemasukan najis, ia dapat digunakan untuk bersuci
baik yang hukumnya wajib maupun sunah misalnya untuk berkumur, memperbarui
wudhu, mandi yang disunahkan, atau untuk menghilangkan nasjis asalkan air itu
tidak berubah warnanya dan ukurannya juga tidak bertambah, karena air seperti itu
adalah air yang suci.
Hal ini berdasarkan sabda Nabi , "Allah menciptakan air dalam keadaan suci
menyucikan, maka tidak ada sesuatu pun yang dapat menajiskannya, kecuali jika ia
berubah rasa, bau, atau warnanya."li Jika air telah berubah rasa, warna, maupun
baunya dengan perubahan yang sangat menyolok, air itu tidak bisa dikatakan sebagai
air mutlak lagi, baik perubahan itu disebabkan karena ia telah bercampur dengan
sesuatu zat yang seluruh atau salah satu sifatnya berbeda dengan sifat air semisal
aspal. Air yang sudah berubah seperti itu tidak dapat digunakan untuk bersuci.

4
Jika air musta' mat tersebut tersedia dalam jumlah yang banyak, sehingga
mencapai dua qullah, maka ia menjadi air suci menyucikan menurut pendapat yang
ashah. Dasarnya adalah sabda Nabi , "Ketika air berukuran dua qullah, is tidak
mengandung najis, atau tidak dinajiskan oleh sesuatu. Air yang banyaknya mencapai
dua qullah tidak menjadi najis dengan adanya najis di dalamnya, kecuali jika terjadi
perubahan yang sangat jelas yang akan menjadikan air tersebut menjadi najis.
Demikian berdasarkan ijma' para ulama yang telah men- takhshish hadits tersebut di
atas.
Perubahan yang terjadi pada air adakalanya terindra dan dapat ditihat, dan
adakalanya berdasarkan asumsi saja, yaitu ketika air dimasuki najis yang cair yang
sama sifatnya dengan air, semisal air kencing yang sudah hitang baunya. Jika
perubahan yang terjadi pada air itu hilang dengan sendirinya atau disebabkan
masuknya air dari luar, ia menjadi suci, karena hilangnya najis dari air tersebut.
Akan tetapi jika perubahan yang terjadi pada air itu hilang karena dimasukkan
minyak kesturi, za'faran, atau tepung, maka air tersebut tidak dapat menjadi suci.
Begitu juga menurut pendapat yang azhar, air tidak dapat menjadi suci jika
hilangnya perubahan dari air itu karena dimasukkan debu atau kapur. Mukotsarah
(penambahan air): air najis tidak bisa menjadi suci dengan menambahkan air suci ke
dalamnya, setama jumlahnya belum mencapai dua qullah. Demikian berdasarkan
pemahaman terhadap hadits tentang air dua qullah. Hal ini disebabkan karena air
tersebut tetap merupakan air sedikit dengan najis di dalamnya. Jika air bernajis yang
sedikit itu lalu ditambahkan padanya air sehingga mencapai dua qullah dan t Idak
ada perubahan salah satu sifatnya, maka air tersebut menjadi air suci menyucikan.
Air yang berubah dengan sebab bercampur dengan sesuatu yang sedikit tidak
dapat menggugurkan kemutlakan penyebutan "air" baginya, jadi air itu tetap suci.
Perubahan kecil yang tidak nnenyolok yang disebabkan tergenangnya air, masuknya
debu, kayu, za'faran, atau karena adanya susuatu yang melekat pada wadahnya atau
metewati permukaannya, tidak dianggap mengubah kesucian air. Demikian pula
halnya jika perubahan kecil pada air terjadi disebabkan karena air itu melekat
dengan sesuatu zat atau benda lain yang bisa dipisahkan dari air, seperti kayu atau
lemak. Atau jika perubahan itu terjadi disebabkan adanya garam atau daun yang
jatuh dari pohon, karena semua itu memang sulit dihindari.

5
Kesimpulan: tidak sah bersuci dengan menggunakan air musta'mal yang
sedikit, baik untuk menghilangkan hadats maupun untuk menghilang-kan najis. Jika
seseorang yang sedang berwudhu memasukkan tangannya ke dalam air yang sedikit
itu setelah membasuh wajahnya, dengan tanpa niat untuk mengambil air, maka air
telah dianggap sebagai air musta'mal. Air musta'mal yang digunakan untuk bersuci
sunah seperti basuhan kedua dan ketiga, memperbarui wudhu, atau mandi yang
disunahkan, adalah sah hukumnya. Menggunakan air musyammas hukumnya adalah
makruh tanzih . Air musyammas adalah air yang menjadi panas karena is diletakkan
di tempat yang terkena sinar matahari dalam wadah berbahan logam seperti besi atau
tembaga, yang selain emas dan perak. Hukum makruh menggunakan air
musyammas terjadi apabila is digunakan untuk badan. Jika air tersebut hanya
digunakan untuk mencuci baju atau sejenisnya maka hukumnya tidak makruh.
Karena menurut dugaan, penggunaan air musyammas dapat menyebabkan penyakit
kusta. Begitu juga halnya makruh menggunakan air dalam kondisi yang terlalu panas
atau terlalu dingin. Kemakruhan air musyammas menjadi hilang dengan sendirinya
bila air tersebut sudah dingin.
Airnajis adalah "air sedikit" yang jumlahnya kurang dari dua qullah dan
terdapat najis di dalamnya, atau air yang lebih dari dua qullah tapi sudah berubah
rasa, warna, atau baunya. Ukuran air sedikit dapat diketahui seusai dengan
kebiasaan, dengan berlandaskan pada hadits tentang air dua qullah, dan hadits
tentang perubahan air telah disebutkan sebelumnya. Sedangkan "air banyak" adalah
air yang banyaknya dua qullah atau lebih. Air seperti ini tidak menjadi najis, kecuali
jika terjadi perubahan pada salah satu atau keseluruhan sifatnya karena kemasukan
najis. Ketetapan ini adalah berdasarkan ij ma' ulama yang menyepakati bahwa air
banyak menjadi najis jika berubah sifatnya. Dan tidaklah dibeda-bedakan apakah
perubahan yang terjadi itu hanya sedikit ataupun banyak, baik perubahan itu terjadi
pada rasa, warna, maupun bau air tersebut. Jika najis yang padat jatuh ke dalam air
banyak, menurut pendapat yang azhar, diperbolehkan bagi seseorang mengambil air
tersebut dari sisi yang mana saja, dan tidak wajib baginya untuk menghindari letak
najis padat tersebut, karena keseluruhan air itu hukumnya adalah suci. Akan tetapi
jika sebagian dari air banyak itu berubah, maka menurut pendapat yang ashah
adalah: jika jumlah air yang tersisa (tidak berubah sifatnya) kurang dari dua qullah,
maka seluruh air itu menjadi najis, namun jika jumlah air yang tidak berubah
sifatnya itu masih dua qullah atau lebih, maka hukum air tersebut masih suci.

6
Air dua qullah (air banyak) tidak menjadi najis hanya karena masuknya najis
saja, melainkan juga harus terjadi perubahan pada air tersebut, meskipun perubahan
itu sedikit, baik berubah rasa air, warna, maupun baunya. Jika perubahan itu
kemudian hilang dengan sendirinya atau karena ditambahkannya air lain, maka
hukum air tersebut adalah suci. Namun jika perubahan itu terjadi karena sebab
minyak kesturi, atau dengan menaburkan debu, maka air tersebut tetap tidak suci.
Adapun air yang kurang dari dua qullah (air sedikit) bisa menjadi najis meski hanya
dengan tertempet najis padanya, bahkan meskipun sifatnya sama sekali tidak
berubah. Dalam klasifikasi "air banyak" dan "air sedikit" ini, hukum air yang
mengalir adalah sama dengan air yang menggenang.
Hanya saja, yang dimaksud dengan "air mengalir" di sini adalah air yang
mengalir dengan sendirinya pada jiryah, bukan air yang mengalir setelah ditampung.
Yang dimaksud dengan jiryah adalah saluran air antara dua sisi sungai dari bagian
permukaannya. Jika saluran ini besar, maka hukum airnya tidaklah najis kecuali jika
terjadi perubahan pada sifatnya.
Dari uraian di atas, ada beberapa pengecualian yang membuat air tidak
menjadi air najis, baik air itu sedikit maupun banyak. Pengecualian t ersebut adalah
sebagai berikut:
 Suatu najis yang tidak bisa dilihat dengan penglihatan normal.
 Bangkai yang tidak memiliki darah yang mengalir seperti lalat kerbau,
kalajengking, tokek, semut, lebah, kutu binatang, kutu rambut, nyamuk, dan
lalat. Terkecuali jika bangkai-bangkai tersebut mengubah sifat air ketika jatuh
ke dalamnya, atau salah satu binatang itu dengan sengaja dilemparkan ke
dalann air ketika sudah menjadi bangkai. Adapun jika binatang itu dilempar
dalam keadaan hidup, is tidak membuat air menjadi najis, meskipun kemudian
binatang itu mati di dalam air.
 Mulut kucing yang terdapat najis pada permukaannya tapi kemudian hilang.
Maksudnya, jilatan kucing tersebut pada air banyak yang mengalir atau pada
air yang menggenang.
 Najis yang menempel pada anak kecil lalu hilang maka is dianggap suci.
 Asap dari barang najis dalam kadar yang sangat sedikit.
 Debu najis dalam jumlah sedikit dari kotoran binatang. Debu kotoran binatang
juga tidak dapat menajiskan anggota tubuh yang basah. Bersuci dengan

7
menggunakan air yang secara khusus disiapkan untuk diminum hukumnya
adalah haram. Oleh sebab itu, wajib hukumnya untuk melakukan tayamum
meskipun air yang khusus untuk diminum itu ada. Hukum seperti ini juga
terjadi jika ditemukan air yang tidak jelas kegunaannya. Memindahkan air
yang khusus digunakan untuk minuet ke selain tempatnya hukumnya adalah
haram, jika tidak terjadi keadaan darurat.
Jika sebuah najis jatuh ke dalam salah satu dari dua wadah sehingga seseorang
bahkan orang buta sekalipun kesulitan untuk membedakan mana air yang suci
dan mana air yang najis, hendaklah dia berijtihad dan bersuci dengan air yang
diduga suci berdasarkan tanda, balk dia sanggup I3ersuci dengan sepenuh
keyakinannya terhadap pilihannya itu, maupun tidak.
Jika seseorang yang tepercaya memberi tahu kepada orang yang bersangkutan
tentang najisnya air tersebut, dengan menjelaskan atau tidak menjelaskan
sebabnya; atau dia seorang ahli fiqih yang sependapat dengan seseorang yang
memberitahukan tentang najisnya air itu, maka wajib bagi orang yang
bersangkutan untuk berpegangan pada ucapan orang tersebut.
Jika orang yang bersangkutan itu masih bingung lalu menumpahkan air yang
terdapat di kedua wadah tesebut, dia boleh bertayamum tanpa harus
nnengulangi shalat. Dan apabila yang bersangkutan itu adalah seorang tuna
netra, hendaklah dia mengikuti orang yang bisa melihat. Apabila yang terjadi
adalah keraguan untuk memilih bejana yang berisi air suci menyucikan dan
yang berisi air mawar, hendaklah orang yang bersangkutan berwudhu dengan
air yang terdapat kedua wadah tersebut masing-masing satu kali. Sedangkan
apabila seseorang ragu untuk memilih bejana yang berisi air suci menyucikan
dan yang berisi air seni, maka dia harus menumpahkan air di kedua bejana itu
karena berwudhu dengan menggunakan air yang terdapat di dalam kedua
bejana tersebut tidak memungkinkan. Setelah menumpahkan air yang berada
di kedua bejana itu, hendaklah dia bertayamum, karena tidak mungkin dia
bertayamum padahal ada air.

8
4. Penggunaan Bejana dan Wadah Lain untuk Bersuci dan Keperluan Lainnya
Menutup bejana air pada malam dan siang hari hukumnya sunah. Hal ini
dilakukan agar tidak ada kuman penyakit yang masuk ke dalam bejana tersebut dan
juga berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan beberapa perawi
lainnya, "Telungkupkanlah tempat-tempat minuman dan tabirilah bejana-bejana."
Maksud kata "tabirilah" dalam hadits ini adalah "tutuplah". Hukum bersuci dengan
menggunakan bejana adalah halal, kecuali untuk bejana yang terbuat dari emas dan
perak, atau bejana yang disepuh dengan emas atau perak yang jika dipanaskan
sepuhannya akan meleleh.
Artinya kandungan logam mulia yang dipakai untuk menyepuh bejana itu
terlalu banyak. Ketentuan ini berdasarkan hadits al-Bukhari dan Muslim dari
Hudzaifah bin al-Yaman berkata, Rasuluilah bersabda, "Janganlah kalian
mengenakan pakaian yang terbuat dari sutra atau dibaj; janganlah kalian minum
dengan menggunakan bejana dari emas dan perak; dan janganlah kalian makan
dengan piring yang terbuat dari emas don perak. Karena semua itu adalah milik
mereka (orang kafir) di dunia, dan akan menjadi milik kalian di akhirat.Inilah hadits
yang menjadi dalil keharaman penggunaan jenis bejana tersebut untuk makan,
minum, hiasan, bersuci, dan berbagai keperluan lainnya, bagi taki-laki maupun bagi
perempuan.
Haram hukumnya menggunakan bejana yang terbuat dari emas dan perak
kecuali dalam keadaan darurat. Misalnya, tidak dapat menemukan bejana dari bahan
lain. Dan diharamkan pula semua bentuk penggunaan wadah yang terbuat dari emas
atau perak, meskipun wadah tersebut berukuran kecil seperti botol tempat
menyimpan celak mata, karena pelarangan untuk menggunakan bejana dan wadah
yang terbuat dari emas dan perak memang bersifat umum ('am). Haram hukumnya
secara mutlak menggunakan bejana atau wadah yang ditambal dengan menggunakan
bahan emas. Sebagaimana diharamkan pula pengunaan bejana atau wadah yang
memiliki tambalan besar berbahan perak sebagai hiasan. An-Nawawi berkata,
"Madzhab ini (Syafi'i) mengharamkan penggunaan tambalan emas secara mutlakil,
baik bersama dengan lainnya atau tidak." Halal hukumnya menggunakan wadah
yang ditambal dengan sedikit perak jika memang hal itu diperlukan, sebagaimana
dinyatakan dalam hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dari Anas bin Malik -w,
suatu ketika gelas Rasulullah retak, ternyata beliau menambal retakan itu dengan
sebutir perak. Jika tambalan perak itu kecil sebagai hiasan, atau besar karena

9
memang diperlukan maka hukum penggunaannya makruh, tidak diharam-kan.
Menurut pendapat yang ashah, hukumnya halal menyepuh bejana dengan
menggunakan emas atau perak, jika setelah dipanaskan di atas api tidak terjadi apa-
apa pada wadah tersebut. Akan tetapi, jika setelah dipanaskan terjadi sesuatu maka
hukum penggunaannya adalah haram.
Ukuran banyak dan sedikitnya tambalan mengacu pada kebiasaan Hukum
penggunaan bejana atau wadah dari emas dan perak yang ditutupi dengan tembaga
adalah halal. Karena alasan pengharaman pengunaan wadah dari logam berharga
adalah munculnya kesombongan pada diri yang empunya. Kedua logam berharga ini
dibolehkan untuk berada dl batik lapisan tembaga, tapi ketentuan ini tidak bertaku
bagi wadah yang kernudian disepuh lagi dengan emas atau perak. Praktik
penyepuhan dengan emas dan perak hukumnya haram secara mutlak, baik
dikerjakan sendiri maupun menggunakan jasa orang lain. Hukum haramnya
penyepuhan dengan emas dan perak ini juga bagi hangunan Ka' bah. Hukum
penggunaan bejana dan pakaian milik orang kafir adalah makruh. Karena biasanya
mereka tidak menjaga diri dari najis. Hukum ninkruh ini juga berlaku bagi orang
Islam yang tidak memerhatikan kesucian, weft' yang sering dilakukan muslim yang
pemabuk. Hal ini berdasarkan hadits mutafaq a' laih dari Abu Tsa'Labah al-
Khasyani yang berkata, "Aku pernah bertanya, 'Wahai Rasulullah, aku tinggal di
daerah yang banyak didiami oleh kalangan Ahli Kitab. Apakah aku boleh makan
dengan dengan menggunakan wadah makan milik mereka?' Nabi menjawab,
`Janganlah engkau makan dengan menggunakan wadah makan milik mereka,
kecuali jika kau tidak dapat menemukan wadah yang lain. Hendaklah engkau
sucikan terlebih dulu wadah tersebut dan makanlah dengan menggunakan wadah
itu.'"
Menurut pendapat yang azhar, diperbolehkan menggunakan bejana dan wadah
yang terbuat atau bertatah batu-batu mulia seperti yaqut, fairuz, ballaur, marjan,
`aqiq, zamrud,1 dan sebagainya. Kesimpulan: tidak diperbolehkan penggunaan
semua jenis bejana atau perabotan yang terbuat dari emas dan perak seperti piring,
sendok, sikat, pisau, mangkuk, geriba, dan sebagainya. Menurut pendapat yang
ashah , haram hukumnya menjadikan barang-barang tersebut sebagai hiasan
(walaupun tidak dipakai). Dan diperbolehkan pengguaan semua jenis bejana dan
perabot yang suci selain yang terbuat dari emas dan perak, karena tidak pernah ada
larangan akan hal itu, dan selama penggunaannya tidak berlebihan atau dengan

10
penuh kesombongan. Jika penggunaannya menimbulkan kesombongan maka
hukumnya makruh. Dihalalkan penggunaan perhiasan yang indah seperti perhiasan
yang terbuat dari kaca atau kayu yang dihaluskan.2] Menurut kesepakatan ulama,
hukum menatahkan (menyematkan) batu mulia pada cincin adalah halal. Dasarnya
adalah hadits yang diriwayatkan dari Anas 4 bahwa Nabi 4 bersabda, "Barang siapa
menggunakan cincin bertatah yaqut, niscaya akan terbebas dari kemiskinan."31
Maksudnya, jika harta si pemilik cincin yaqut itu habis, dia bisa segera menjual
cincin berharga miliknya itu sehingga dia tidak langsung jatuh miskin. Begitu juga
diperbolehkan menggunakan hidung palsu yang terbuat dari emas dalam kondisi
darurat. Pembolehan ini lalu diqiyaskan dengan penggunaan gigi palsu yang terbuat
dari emas. Alasannya karena Nabi 4 pernah memberikan izin kepada salah seorang
sahabat yang hidungnya putus untuk memakai hidung palsu yang terbuat dari emas.
5. Bahan-Bahan yang Bisa Digunakan untuk Bersuci
Bahan-bahan yang bisa digunakan untuk bersuci, baik dalam bentuk cair,
padat, atau bentuk lainnya, ada empat macam, yaitu: air, debu, proses samak (kulit),
dan takhallul (proses fermentasi).Yang dimaksud dengan "air" adalah air mutlak
yang suci zatnya dan dapat menyucikan zat lainnya, seperti yang telah dijelaskan
pada bagian yang lalu. Air seni atau muntahan bayi laki-laki yang belum makan
bahan makanan lain kecuali susu ibunya, dan belum berusia dua tahun, maka
cukuplah untuk menyucikannya dengan cara memercikkan air. Dasar hukum adalah
hadits, "Air seni bayi perempuan (disucikan) dengan dicuci (disiram), dan air seni
bayi laki-laki (disucikan) cukup dengan memercikkan air.
Penyebab pembedaan ini karena air kencing anak kecil laki-laki biasanya
keluar dengan kuat sehingga tersebar ke mana-mana dan menjadi sangat sulit
dibersihkan, dan butiran air kencingnya menggenang, berbeda dengan air kencing
anak perempuan. Yang dimaksud dengan "debu" adalah debu yang suci yang dapat
digunakan untuk melakukan tayamum atas dasar firman Allah , "Maka
bertayamumlah dengan tanah yang balk (bersih)," (QS. al-Ma idah: 6), yang
dimaksud dengan "tanah yang baik" adalah "debu yang suci".
Yang dimaksud dengan proses "menyamak" adalah suatu proses yang
dilakukan untuk menghilangkan sisa-sisa dan bau busuk dari kulit dengan
menggunakan bahan tertentu seperti daun akasia dan tawas. Bahkan proses ini boleh
dilakukan dengan menggunakan barang najis, seperti kotoran burung, atau ketika
kulit yang disamak itu berasal dari bangkai binatang, baik binatang itu boleh untuk

11
dimakan maupun tidak. Dasarnya adalah sabda Nabi "Ketika kulit binatang disamak
maka la menjadi suci."'" Dalam keempat buah kitab Sunan dinukil sebuah hadits
yang berbunyi, "Adapun jenis kulit yang disamak, maka ia menjadi suci." Sebab
munculnya hadits ini adalah ketika Nabi berjalan dan melihat bangkai karnbing,
beliau bersabda, "Apakah kalian tidak ingin mengambil manfaat dari kulitnya?
Karena sesungguhnya kulit binatang yang sudah disamak adalah suci." Dan dalam
riwayat Abu Dawud, "Air dan daun akasia dapat menyucikannya." Hadits ini
mencakup semua kulit binatang kecuali kulit anjing dan babi, karena Allah SWT
telah berfirman tentang babi, "...karena sesungguhnya semua itu kotor...," (QS. al-
An'am: 145), dan anjing dianalogikan dengan babi. Ibnu Hibban meriwayatkan
sebuah hadits yang kemudian dia anggap shahih, dari Salamah bin al-Muhabbiq
yang berkata, "Rasulullah telah bersabda, Menyamak kulit bangkai akan
membuatnya suci."' Hukum mencuci kulit yang sudah disamak adalah wajib, jika
kulit itu disamak dengan barang najis.
Menurut pendapat yang ashah, hukum wajib ini juga berlaku bagi kulit yang
disamak dengan menggunakan bahan yang suci. Kulit yang disamak harus
memenuhi tiga syarat, yaitu:
a. Harus bersih dari sisa-sia daging
b. Kulit itu sendiri harus masih dalam kondisi baik
c. Kulit itu harus disamak sempurna sehingga sekiranya ia direndam dalam air,
ia tidak busuk atau rusak. Yang dimaksud dengan "takhallul" adalah
memproses arak menjadi cuka tanpa menambahkan sesuatu apa pun pada
arak tersebut, baik dengan cara dipindah dari panas sinar matahari ke tempat
yang gelap, atau sebaliknya.
Tharahah dengan empat cara penyucian di atas, juga mencakup pada empat cara
bersuci, yaitu: wudhu, mandi, tayamum, dan penghilangan najis. Dan kesemuanya mencakup
pemindahan atau pengalihan.

12
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Thaharah (bersuci) menurut bahasa berarti bersih dan membersihkan diri dari
kotoran yang bersifat hissiy (indrawi) seperti najis serta kotoran yang ma’nawi seperti cacat
atau aib. Sedangkan menurut syara’, thaharah adalah sesuatu yang dihitung sunnah untuk
melaksanakan sholat seperti wudhu, mandi, tayammum dan menghilangkan najis.
Beberapa macam thaharah yaitu wudlu untuk menghilangkan hadats kecil, mandi untuk
menghilangkan hadats besar serta tayammum untukj menggantikan wudlu dalam keadaan
tertentu. Thaharah pada dasarnya adalah sebuah ibadah yang mencakup seluruh ibadah
lainnya. Tanpa adanya thaharah mustahil akan terwujud ibadah yang sah karena ibadah yang
dilakukan seorang hamba haruslah dalam keadaan yang suci untuk mencapai kesempurnaan.

13
DAFTAR PUSTAKA

Fiqih Imam Syafi’i


Judul Buku : Al-Fiqhu Asy-Syafi’i Al-Muyassar
Penulis : Prof. Dr. Wahbah Zuhaili
Penerbit : Darul Fikr, Beirut 2008 H
http://adiiprayitno.blogspot.com/2017/03/makalah-fiqih-ibadah-1-thaharah-dan.html

14

Anda mungkin juga menyukai