Fiqh Dr.Alwizar,S.Ag,M.Ag
THAHARAH
Oleh :
Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah Swt. atas rahmat serta hidayah-Nya,
sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul “Thaharah” tepat
pada waktunya. Shalawat serta salam kepada Nabi Muhammad saw. sebagai suri
tauladannya umat Islam. Penulis ucapkan terima kasih kepada dosen pengampu, Pak
Dr.Alwizar, S.Ag, M.Ag , karena telah memberikan amanah berupa tugas kelompok
ini kepada penulis, juga terima kasih kepada teman-teman yang ikut serta dalam
penulisan makalah ini.
Penulisan makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas terstruktur mata kuliah
Fiqh. Penulis mengharapkan kritik dan saran, terutama dari dosen pengampu dan
pembaca agar makalah untuk selanjutnya bisa menjadi lebih baik lagi dan sempurna.
Harapan penulis semoga makalah ini bermanfaat.
Penulis
2
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ...................................................................................4
1.2 Rumusan Masalah .............................................................................4
1.3 Tujuan Penulisan ................................................................................4
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Thaharah ...…………….......................................................................5
2.2 Istinja’…………………………………………………………………6
2.3 Wudhu’…………………………..…………………………................8
2.4 Tayamum ..…………………………………………………………..11
2.5 Mandi ..………………………………………………………………13
3
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Islam menganjurkan untuk selalu menjaga kebersihan badani,selain rohani. Kebersihan
badani tercermin dengan bagaimana umat muslim selalu bersuci sebelum mereka
melakukan ibadah menghadap Allah ta’ala. Pada hakikatnya,tujuan bersuci adalah agar
umat muslim terhindar dari kotoran atau debu yang menempel di badan, baik secara
sadar atau tidak sengaja membatalkan rangkaian ibadah kepada Allah.
Namun yang terjadi sekarang,banyak umat muslim hanya tahu bahwa bersuci itu
sebatas membasuh badan dengan air tanpa mengamalkan rukun-rukun bersuci lainnya
sesuai dengan syari’at islam. Bersuci dalam istilah islam yaitu “Thaharah” memiliki
makna yang luas,tidak hanya berwudhu’ saja.
Thaharah adalah mensucikan diri,pakaian,dan tempat shalat dari hadats dan najis
menurut syari’at islam. Bersuci dari hadats dan najis adalah syarat sah nya seorang
muslim dalam mengerjakan ibadah tertentu. Berdasarkan pengertian tersebut,sebenarnya
banyak sekali manfaat yang bisa kita ambil dari fungsi thaharah. Thaharah merupaan
bukti bahwa islam amat mementingkan kebersihan dan kesucian.
4
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Thaharah
Thaharah berasal dari bahasa arab yakni طهرة-يطهر- طهرyang artinya bersuci. Thaharah berar
ti kebersihan dan kesucian dari berbagai kotoran atau bersih dan suci dari kotoran atau najis y
ang dapat dilihat (najis hissi) dan yang tidak kelihatan zat nya (najis ma’nawi) seperti aib dan
kemaksiatan.
Sedangkan thaharah menurut istilah (terminology syara’) thaharah adalah bersih atau suci dar
i najis baik najis factual semisal tinja maupun najis secara hukmi yaitu hadats. Atau bisa juga
dikatakan bahwa thaharah adalah sifat hukmiyyah yang diperbolehkan karenanya segala sesu
atu yang dicegah oleh hadats atau yang mengandung hukum menjijikkan.
Menurut hukum islam,thaharah terbagi menjadi dua:
1. Thaharah Maknawiyah, yaitu membersihkan hati dari perbuatan syirik dan bid’ah dalam
beribadah kepada Allah dan membersihkan hati dari rasa dendam, iri, hasud, benci, dan
sebagainya dalam bergaul dengan sesama hamba Allah yang tidak berhak mendapat
perlakuan sedemikian itu.
2. Thaharah Hissiyah, yaitu membersihkan anggota badan. Thaharah ini terbagi menjadi dua
jenis,yaitu:
-Menghilangkan sesuatu sifat (hadats) yang dapat menghalangi shalat dan ibadah lain yang
nenghendaki kesucian.
-Menghilangkan khubuts (benda najis)
ق َوا ْم َسحُوْ ا بِ ُرءُوْ ِس ُك ْم َواَرْ ُجلَ ُك ْم اِلَى ْال َك ْعبَي ۗ ِْن َواِ ْن ِ ِٰيٓاَيُّهَا الَّ ِذ ْينَ ٰا َمنُ ْٓوا اِ َذا قُ ْمتُ ْم اِلَى الص َّٰلو ِة فَا ْغ ِسلُوْ ا ُوجُوْ هَ ُك ْم َواَ ْي ِديَ ُك ْم اِلَى ْال َم َراف
ص ِع ْيدًاَ ضى اَوْ ع َٰلى َسفَ ٍر اَوْ َج ۤا َء اَ َح ٌد ِّم ْن ُك ْم ِّمنَ ْالغ َۤا ِٕى ِط اَوْ ٰل َم ْستُ ُم النِّ َس ۤا َء فَلَ ْم تَ ِج ُدوْ ا َم ۤا ًء فَتَيَ َّم ُموْ ا ٓ ٰ ُْك ْنتُ ْم ُجنُبًا فَاطَّهَّرُوْ ۗا َواِ ْن ُك ْنتُ ْم َّمر
ج و َّٰل ِك ْن ي ُِّر ْي ُد لِيُطَه َِّر ُك ْم َولِيُتِ َّم نِ ْع َمتَهٗ َعلَ ْي ُك ْم لَ َعلَّ ُك ْم هّٰللا
ٍ طَيِّبًا فَا ْم َسحُوْ ا بِ ُوجُوْ ِه ُك ْم َواَ ْي ِد ْي ُك ْم ِّم ْنهُ ۗ َما ي ُِر ْي ُد ُ لِيَجْ َع َل َعلَ ْي ُك ْم ِّم ْن َح َر
تَ ْش ُكرُوْ ن
“Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu hendak melaksanakan shalat, maka
basuhlah wajahmu dan tanganmu sampai ke siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kedua
kakimu sampai ke kedua mata kaki. Jika kamu junub, maka mandilah. Dan jika kamu sakit
atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh
perempuan, maka jika kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan debu yang
baik (suci); usaplah wajahmu dan tanganmu dengan (debu) itu. Allah tidak ingin menyulitkan
5
kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu,
agar kamu bersyukur.1 (QS.Al-Ma’idah:6)
Ketentuan dalam thaharah adalah menggunakan air yang suci dan mensucikan, debu dan ben
da-benda padat yang diyakini tidak bernajis. Alat yang digunakan dalam thaharah yaitu:
1. Air, yang terbagi menjadi:
A. Air Mutlak yaitu air yang suci lagi mensucikan misalnya air hujan, air salju, air sumur,
air laut, air sungai, air empang, air danau, dan air telaga.2
B. Air Musta’mal yaitu air yang telah dipakai untuk berwudhu’ atau mandi. Hukumnya air
semacam ini tetap bersuci lagi mensucikan.
C. Air Suci tetapi tidak mensucikan yaitu air yang suci tetapi tidak dapat digunakan untuk
bersuci. Air ini jika dilihat dari zatnya sendiri adalah suci, misalnya air kelapa.
D. Air yang bernajis yaitu air yang tercampur dengan barang najis sehingga mengubah
salah satu diantara rasa, warna atau baunya. Air semacam ini tidak dapat dipergunakan
untuk thaharah, baik untuk menghilangkan hadats maupun menghilangkan najis.
2. Debu, yaitu tanah yang bersih yang tidak bercampur dengan najis, seperti debu yang kita
jumpai diatas lemari, dinding rumah,dan sebagainya.
3. Benda padat, yaitu benda-benda padat yang suci dari asalnya lagipula tidak terkena Najis,
semisal batu, batu merah, kayu kering, tisu dan sebagainya.
2.2 Istinja’
Secara etimologi, istinja' berarti mencuci tempat keluar kotoran dari salah satu jalan qubul (d
epan) dan dubur (belakang), atau mengusap dengan batu dan semisalnya. Sedangkan menurut
terminologi syara', istinja' berarti menghilangkan najis yang ada di atas dua jalan qubul (alat k
elamin) dan dubur (anus) dengan air, dan minimal dengan batu. Definisi ini merujuk pada had
is yang menceritakan, "Bahwasanya Nabi melewati salah satu tembok di Madinah, lalu beliau
dengar suara dua orang manusia yang tengah disiksa di dalam kubur mereka. Keduanya disik
sa, dan bukan karena dosa besar. Salah satunya (karena) tidak membersihkan diri secara semp
urna dari kencing, sementara yang lain suka berjalan menyebar provokasi (namimah)."3
6
Rukun istinja’:
Rukun istinja’ adalah hal yang harus dipenuhi ketika beristinja’ atau membersihkan kotoran.
1. Orang yang beristinja’
2. Bagian tubuh yang diistinja’kan
3. Yang diistinja’kan (yang keluar dari qubul dan dubur)
4. Alat untuk beristinja’
Niat istinja’:
Untuk istinja tidak disyaratkan niat, karena istinja masuk dalam Bab At-Tarki, bab
meninggalkan. Meninggalkan atau menghilangkan najis, jadi bukan masuk dalam Bab
Al-'Amal. Kalau amal seperti wudhu wajib dilakukan niat pada awalnya, karena Rasûlullah
bersabda,
Aku mendengar Umar bin Al-Khattab berkata, aku mendengar Rasûlullah bersabda,
"Sesungguhnya segala suatu amal itu dengan niat, "artinya, tidak sah suatu amal melainkan
dengan niat (HR. Al-Bukhârî).
Lain halnya dengan istinja. Karena yang dimaksud dengan istinja adalah hilangnya najis pada
qubul atau dubur, dengan niat ataupun tidak. Tetapi tidak dilarang untuk melakukan niat
dalam istinja, demikian pula melafadzkan niatnya, seperti ketika akan beristinja dari kencing.
mengucapkan,
Adapun,
شِ ي ِمنَ ْالفَ َوا ِح
َّ اللهُم طَهِّرْ قَ ْلبِي ِمنَ النَّفَا ِل َو َحص ِّْن فَرْ ِج
"Ya Allah, Sucikanlah hatiku daripada penyakis nifaq, dan peliharalah kemaluanku daripada
perbuatan-perbuatan keji."
Adalah doa yang disunahkan untuk diucapkan setelah beristinja. Dan bukan lafadz niat.
7
Media dan tata cara ber-istinja’:
Beristinja’ ini hukumnya wajib bagi orang yang baru saja buang air besar,atau buang air
kecil. Istinja’ dapat dilakukan dengan menggunakan air, batu dan semisalnya. Cara beristinja’
dapat dilakukan dengan:
1. Membersihkan tempat keluar kotoran air besar atau kecil dengan air sampai bersih.4
2. Menggunakan air dan batu, maksudnya membersihkan kotoran terlebih dahulu kemudian
membersihkannya dengan air.5
3. Membasuh atau membersihkan tempat keluar kotoran besar/kecil dengan batu atau benda l
ainnya sampai bersih, sekurang-kurangnya dengan tiga batu atau satu batu yang memiliki tiga
permukaan sampai bersih.6
Namun Imam Syafi’i dan imam Ahmad mewajibkan penggunaan 3 batu lebih dalam ber-istin
ja’, berdasarkan hadits narasi jabir bahwasanya nabi bersabda:
إذا استجمر أحدكم فليوتر نالنا
“Jika salah seorang kalian ber-istinja’ dengan batu (istijmar), maka hendaklah ia mengganjilk
an tiga kali.” 7
2.3 Wudhu’
Wudhu’ secara etimologi diambil dari lafal al-wadha’ah artinya bagus dan bersih. Sedangkan
menurut terminologi syara’ wudhu’ berarti aktivitas bersuci dengan media air yang berhubun
gan dengan empat anggota tubuh yaitu muka, kedua tangan, kepala dan kedua kaki.
Wudhu’ disyariatkan berdasarkan hadits nabi yang diriwatkan oleh Abu Hurairah bahwa Nab
i bersabda:
“Allah tidak menerima shalat salah seorang kalian jika ia berhadats sampai ia berwudhu”
Rukun wudhu’:
1. Niat
2. Membasuh muka
4. Mengusap kepala
4
A.Zainuddin,Muhammad Jamhari,AL-ISLAM I Akidah dan Ibadah (Bandung:CV.Pustaka Setia,1999),h.335
5
Team kajian ilmiah Ahla_Shuffah 103,Kamus Fiqh (Kediri:Lirboyo press,2014),h.87
6
Tim Al-Azhar,Fiqih (Driyorejo Gresik:CV.Putra Kembar Jaya,2011),h.16
7
Dilansir oleh Imam Ahmad,Al-Baihaqi,dan Ibnu Abu Syaibah
8
6. Tertib dalam mengerjakan wudhu’
Dari keterangan yang telah disebutkan di atas, dapat disimpulkan bahwa rukun-rukun wudhu
adalah sebagai berikut.
A. Menurut kalangan mazhab Hanafi hanya empat; membasuh tiga anggota wudhu (muka, ta
ngan, dan kaki), dan mengusap seperempat kepala.
B. Menurut kalangan mazhab Syafi'i ada enam; niat, membasuh tiga anggota wudhu (muka, t
angan, dan kaki), mengusap sebagian kepala, dan tertib (berurutan).)
C. Menurut kalangan mazhab Maliki ada tujuh; niat, membasuh tiga anggota wudhu (muka, t
angan, dan kaki), mengusap (seluruh) kepala, menggosok-gosokkan tangan ke anggota wudh
u yang terkena air, dan berkesinambungan hagi orang yang ingat dan mampu. Jika ia lupa, ma
ka harus melanjutkan dari apa yang telah ia lakukan disertai dengan memperbarui niat. Begitu
juga orang yang tidak mampu. Hanya saja yang terakhir tidak perlu memperbarui niat, karena
niatnya tidak hilang.
D. Menurut kalangan mazhab Imam Hanbali ada delapan; membasuh muka, (termasuk di dal
amnya) berkumur, mengisap air ke dalam hidung, membasuh kedua tangan hingga siku, men
gusap kepala, membasuh kedua kaki hingga mata kaki, tertib, dan berkesinambungan. Adapu
n niat menurut mereka hanya syarat sah wudhu.
Sunnah-sunnah wudhu’:
1. Membaca basmalah ketika hendak wudhu’
2. Mencuci kedua telapak tangan masing-masing tiga kali diawal wudhu’ sebelum mencuci
muka
4. Memulai dengan berkumur-kumur dan memasukkan air ke bagian dalam hidung sebelum
mencuci muka.
5. Menyela-nyela jenggot yang lebat dengan menggunakan air hingga mencapai bagian yang
paling dalam
7. At-Tayamun, yaitu selalu memulai dari bagian kanan sebelum bagian yang kiri
9
Hal-hal yang membatalkan wudhu:
Ada beberapa hal yang dapat merusak dan membatalkan wudhu sebagai berikut.
-Pertama, keluarnya sesuatu dari dua jalan; qubul (depan) dan dubur (belakang) dalam kondis
i sehat dan tidak sakit, baik benda yang keluar merupakan hal yang lumrah seperti air buang a
ir kecil atau yang tidak lumrah seperti kerikil, baik yang keluar berupa najis seperti tinja atau
tidak najis seperti kentut. Hal ini merujuk pada firman Allah: "atau kembali dari tempat buan
g air." (QS. An-Nisa' (4): 43) Ini adalah kinayah dan buang hajat, baik buang air kecil maupu
n besar.
-Kedua, tidur pulas yang menghilangkan kesadaran disertai ketidakmapanan posisi pantat di a
tas lantai. Hal ini merujuk pada hadis Shafwan bin Assal, ia berkata:”Rasulullah memerintahk
an kami ketika dalam perjalanan agar tidak melepas sepatu (khuff) kami selama tiga hari tiga
malam hanya karena buang air besar, buang air kecil, dan tidur, kecuali karena jinabat."
-Ketiga, hilang akal, baik karena gila, epilepsi, mabuk, atau dikarenakan mengonsumsi obat-o
batan; sedikit atau banyak, ringan atau berat, dan atau baik dikarenakan posisi pantat menetap
di bumi atau tidak. Kelinglungan akibat sebab-sebab di atas melebihi kelinglungan yang diaki
batkan oleh tidur, dan ini telah disepakati oleh seluruh ulama.
-Keempat, memegang kemaluan tanpa penghalang, berdasarkan hadis narasi Busrah binti Sha
fwan, bahwasanya Nabi bersabda:
ضَأ السالم
َّ صلِّ َحتَّى يَتَ َو
َ َُم ْن َمسَّ َذ َك َرهُ فَاَل ي
Kata "man" (barangsiapa) yang terdapat dalam hadis tersebut berlaku untuk laki-laki maupun
perempuan. Sedangkan kata "kemaluan" mencakup qubul (depan) maupun dubur (belakang).
Dalam riwayat versi lain yang dilansir Imam Ahmad dan An-Nasa'i dari Busrah disebutkan b
ahwa ia mendengar Rasulullah bersabda: "Berwudhulah orang yang menyentuh kemaluanny
a."
2.4 Tayamum
Tayamum secara bahasa berarti bermaksud (al-qashdu). mengacu pada tindakan menyucikan
diri tanpa menggunakan air dalam Islam, yaitu dengan menggunakan pasir atau debu. Adapun
8
HR.Tirmidzi no.82;hadits shahih menurut Imam Ahmad bin Hanbal
10
secara Istilah syar’i Tayamum bermakna menyampaikan debu ke wajah dan kedua tangan den
gan syarat-syarat tertentu dan dengan tata cara tertentu. Ayat tentang syariat tayamum:
َ ضى َأوْ َعلَى َسفَ ٍر َأوْ َجا َء َأ َح ٌد ِم ْن ُك ْم ِمنَ ْالغَاِئ ِط َأوْ اَل َم ْستُ ُم النِّ َسا َء فَلَ ْم ت َِجدُوا َما ًء فَتَيَ َّم ُموا
ص ِعيدًا طَيِّبًا فَا ْم َسحُوا َ ْوَِإ ْن ُك ْنتُ ْم َمر
ُبِ ُوجُو ِه ُك ْم َوَأ ْي ِدي ُك ْم ِم ْنه
“Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau
menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah
yang baik (bersih); usaplah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu.” (QS. Al-Maidah: 6).
Rukun tayamum:
1. Niat dalam hati
2. Mengusap wajah
3. Mengusap kedua tangan
4. Tertib.
Syarat tayamum:
1. Ada uzur, baik karena safar atau sakit.
2. Masuk waktu shalat.
3. Telah berusaha mencari air, tetapi tidak memperolehnya.
4. Ada air, tetapi ada uzur untuk menggunakannya dan membutuhkan air setelah mencarinya.
5. Tersedia tanah yang suci yang mengandung debu. Jika bercampur dengan kapur atau pasir,
maka tidak cukup.
Sunah tayamum:
1. Membaca bismillah
2. Meniup kedua telapak tangan setelah menepuk kedua tangan ke debu
3. Mendahulukan anggota tubuh bagian kanan baru kemudian diikuti bagian kiri.
11
Setelah tayamum, seseorang diperbolehkan untuk melakukan salat.
2. Ditemukannya Air
Bila ditemukan air maka tayammum secara otomatis menjadi gugur. Yang harus dilakukan
adalah berwudhu dengan air yang baru saja ditemukan. Yang jadi masalah bila seseorang
bertayammum lalu shalat dan selesai dari shalatnya tiba-tiba dia mendapatkan air dan waktu
shalat masih ada. Apa yang harus dilakukannya?
Para ulama mengatakan bahwa tayammum dan shalatnya itu sudah sah dan tidak perlu
mengulangi shalat yang telah dilaksanakan. Sebab tayammumnya pada saat itu memang
benar karena memang saat itu dia tidak menemukan udara. Sehingga bertayammumnya sah.
Dan shalatnya pun sah karena dengan bersuci tayammum. Apapun itu setelah dia menemukan
air kewajibannya untuk shalat sudah gugur. Namun bila dia tetap ingin mengulang shalatnya
dibenarkan juga. Sebab tidak ada larangan untuk melakukannya. Dan kedua kasus itu pernah
terjadi secara bersamaan pada masa Rasulullah SAW.
Dari Abi Said Al-Khudhri radhiyallahuanhu berkata bahwa ada dua orang bepergian dan
mendapatkan waktu shalat tetapi tidak mendapatkan udara. Maka keduanya bertayammum
dengan tanah yang suci dan shalat. Selesai shalat keduanya menemukan udara. Maka seorang
12
diantaranya berwudhu dan mengulang shalat sedangkan yang satunya tidak. Kemudian
keduanya datang kepada Rasulullah SAW dan menceritakan masalah mereka. Maka
Rasulullah SAW berkata kepada yang tidak mengulang shalat “Kamu sudah sesuai dengan
sunnah dan shalatmu telah memberimu pahala”. Dan kepada yang berulang sholat"Untukmu
dua pahala". (HR. Abu Daud dan An-Nasa'i)
3. Hilangnya Penghalang
Bila halangan untuk mendapatkan air sudah tidak ada maka batallah tayammum. Misalnya
ketika sedang bersuci dengan tayammum, tiba-tiba ditemukan cara mendapatkan air dari
dalam sumur. Maka shalat yang sedang dikerjakan batal dengan sendirinya. ketika
penghalang-penghalang itu sudah tidak ada lagi, secara otomatis tayammum tidak lagi
diperkenankan. Yang harus dikerjakan adalah berwudhu dengan air yang sudah bisa didapat,
lalu kembali melakukan shalat kembali, asalkan waktu shalatnya masih ada.
2.4 Mandi
Dalam bahasa arab, mandi berasal dari kata Al-Ghuslu, yang artinya mengalirkan air pada
sesuatu. Menurut istilah, Al-Ghuslu yaitu meratakan air pada seluruh badan dari ujung
rambut sampai ujung jari kaki disertai dengan niat sesuai dengan keperluannya dan dengan
tata cara yang khusus bertujuan untuk menghilangkan hadast besar.
Mandi terbagi menjadi dua: Mandi wajib dan mandi sunnah
Mandi wajib
Mandi menjadi wajib karena hal-hal sebagai berikut:
1. Keluarnya sperma dari penis bagi laki-laki atau vagina bagi perempuan baik disertai
dengan kenikmatan yang nyata maupun yang tidak nyata misalnya, orang mimpi basah
yang mendapati kemaluannya basah namun tidak merasakan syahwat
2. Bersetubuh adalah penetrasi alat vital kedalam alat vital lawan seks meskipun tidak sampai
terjadi ejakulasi (keluar sperma) dan bukan sekedar bercumbu
3. Berhentinya pendarahan haid dan nifas. Para sahabat dan generasi setelah mereka telah
menyepakati secara bulat kewajiban mandi karena berhentinya aliran darah haid dan nifas
berdasarkan keterangan yang dikemukakan oleh Aisyah, bahwasanya Fatimah binti Abi
Hubaisy mengalami pendarahan istihadhah (di luar waktu haid), lalu ia bertanya kepada
Nabi, dan beliau menjawab, Sesungguhnya itu hanyalah 'irq, bukan haid. Jika haid datang,
maka tinggalkanlah shalat, dan jika ia pergi (berhenti), maka mandilah lalu shalat.9
4. Persalinan Tanpa Pendarahan. Kalangan ulama mazhab Hanafi, mazhab Mailiki, dan
ulama mazhab Syafi'i menyatakan kewajiban mandi atas perempuan yang melahirkan,
meskipun ia tidak melihat adanya bercak darah. Hal ini demi sikap kehati- hatian, karena
tidak mungkin perempuan melahirkan tanpa disertai bercak darah. Sedangkan Imam Abu
Yusuf, Muhammad Asy-Syaibani (keduanya dari mazhab Hanafi), dan ulama-ulama
9
Dilansir oleh Al-Bukhari dan Muslim
13
mazhab Hanbali berpendapat bahwa jika tidak dijumpai bercak darah maka tidak wajib
mandi, sebab dalam hal ini tidak ada nash maupun yang semakna dengan nash yang
menyatakan kewajiban demikian.
5. Meninggal Dunia. Para ulama bersepakat bahwa hukumnya fardhu kifayah bagi orang-
orang yang hidup untuk memandikan mayat muslim yang tidak dilarang untuk
dimandikan, misalnya orang yang mati syahid di jalan Allah. Diriwayatkan dari Ibnu
Abbas ia bercerita mengenai seorang laki laki yang wukuf di Arafah bersama Nabi lalu
tewas tersungkur dipatahkan lehernya oleh untanya sendiri. Nabi bersabda,“Mandikanlah
ia dengan air bercampur teratai dan kafanilah ia dalam dua lembar kain kafan."10
6. Masuk Islam. Jika orang kafir masuk Islam maka ia wajib mandi, berdasarkan hadis naras
Abu Hurairah, bahwa Tsumamah Al-Hanafi tertawan, lalu Nabi pergi menghampirinya
dan bertanya, "Apa yang kau punya, hat Tsumamah?" la jawab, "Jika Anda bunuh aku,
maka kau bunuh orang yang memiliki darah, dan jika kau beri aku (anugerah ampunan),
maka kau memberi anugerah orang yang pandai berterima kasih. Jika Anda inginkan harta
kekayaan, kami beri Anda darinya apa yang Anda mau." Kala itu, para sahabat Rasulullah
menginginkan tebusan. Mereka berkata, "Apa yang kita peroleh jika membunuh ini?"
Rasulullah menghampirinya, dan ternyata ia menyatakan diri masuk Islam. Rasulullah pun
membebaskannya dan mengirimkannya ke sumur Abu Thalhah dan menyuruhnya mandi.
Ia serta-merta mandi dan shalat dua rakaat Nabi pun bersabda, "Islam saudara kalian
benar-benar bagus."11
10
Dilansir oleh Tujuh Imam,dan telah dikemukakan Bab Al-Ghusl
11
HR.Al-Bukhari dalam Fath Al-Bari (II/102),Kitab Ash-Shalah,Bab Al-Ightisal Idza Aslama wa Rabatha Al-Amir fi
Al-Masjid
14
Muslim, ditambahkan: Kemudian beliau menyela-nyela rambutnya dengan tangan hingga
jika beliau duga kuat bahwa beliau sudah mengairi kulit kepala tersebut, maka beliau
guyurkan air ke atasnya sebanyak tiga kali.
Hal-hal yang disunnahkan (dianjurkan untuk dilakukan) saat mandi junub :
(1) Baca bismillah,
(2) Wudhu sebelum mandi junub,
(3) Mengusapkan tangan pada badan,
(4) Bersegera,
(5) Mendahulukan (anggota badan) yang kanan dari yang kiri.
Mandi sunnah
Mandi sunnah adalah mandi yang jika dilakukan orang mukallaf maka ia mendapatkan pujian
atas tindakanya, dan jika meninggalkan maka ia tidak terkena celaan maupun hukuman.
Abu Yusuf dan kalangan ulama mazhab Hanbali berpendapat bahwa yang disunnahkan adalah
mandi untuk melaksanakan shalat Id, dan waktunya dimulai sejak terbit fajar, sehingga mandi
hari raya tidak boleh dilakukan sebelum maupun sesudahnya. Sedangkan kalangan ulama
mazhab Maliki dan mazhab Syafi'i berpendapat bahwa yang disunnahkan mandi untuk hari
itu, sebab tujuannya adalah untuk menunjukkan keberhiasan, sehingga ia boleh dilakukan
sebelum fajar maupun sesudahnya, akan tetapi yang afdhal adalah setelahnya.
15
Menurut kebanyakan ahli ilmu, mandi setelah memandikan mayat hukumnya sunnah, merujuk
pada hadis narasi Abu Hurairah bahwasanya. Nabi bersabda: Barangsiapa yang memandikan
mayat, maka hendaklah ia mandi, dan barangsiapa yang mengusungnya, hendaklah ia
wudhu.14
Jumhur ulama mengartikan perintah dalam hadis di atas sebagai sunnah (nadb) berdasarkan
hadis narasi Ibnu Abbas bahwasanya Nabi bersabda: Tidak diwajibkan atas kalian dalam hal
memandikan orang mati kalian untuk mandi jika kalian memandikannya. Sebab mayit kalian
meninggal dalam keadaan suci, maka cukuplah kalian cuci tangan kalian.15
Ibnu Umar menuturkan: Kami biasa memandikan mayat. Sebaga di antara kami ada yang
mandi dan sebagian lagi tidak mandi.16
4. Mandi Ihram
Dianjurkan bagi orang ihram, baik untuk haji maupun umrah untuk mandi terlebih dahulu,
meskipun dalam keadaan haid maupun nifas, karena tujuannya untuk bebersih (nazhafah,
bukan bersuci/thaharah).
Hal ini merujuk pada hadis yang dilansir dalam Shahih Al-Bukhar dan Shahih Muslim dari
Abdullah bin Hunain, ia bercerita: Ak mendatangi Abu Ayyub Al-Anshari ketika ia tengah
mandi sambi menutup diri dengan kain. Aku tanya, "Bagaimana Rasulullah membasuh
kepalanya saat beliau ihram?" la menekuk kain penutupnya hingga kepalanya terlihat,
kemudian ia berkata pada orang yang mengguyurinya, lalu ia guyur kepalanya, kemudian ia
gerakkan kepalanya dengan kedua tangannya, lantas memaju-mundurkannya. Ia berkata,
"Beginilah aku lihat Rasulullah melakukannya."17
Juga berdasarkan hadis narasi Zaid bin Tsabit bahwasanya ia melihat Rasulullah melepas
pakaian berjahitnya (dan menggantinya dengan pakaian ihram) untuk mengawali ihram dan
mandi (sebelumnya)."18
Disunnahkan bagi orang yang hendak masuk Mekah untuk mandi terlebih dahulu. Hal ini
merujuk pada hadis yang diriwayatkan dari Ibos Umar, bahwasanya ia tidak datang ke Mekah
14
HR.Ahmad (II/443,454),Ath-Thayalisi (2314),dan Al-Baihaqi (I/303)
15
HR.Al-Hakim (I/836) dan Al-Baihaqi (III/398).Hadits ini termasuk hadits yang dimungkarkan oleh beberapa
ulama karena keberadaan Amru bin Abu Umar bin Khaththab dalam rangkaian sanadnya,antara lain Al-Bukhari
dan Abu Hatim
16
HR.Ad-Daruquthni dalam sunannya dan Al-Khathib Al-Baghdadi dalam Tarikh Baghdad (V/424), sanadnya
shahih
17
HR.Al-Bukhari dan Muslim
18
HR.At-Tirmidzi,Ad-Daruquthni,dan Al-Baihaqi
16
kecuali jika bermalam di Dzi Thuwa hingga pagi dan mandi, kemudian baru masuk Mekah
siang hari. la menyebutkan bahwa Nabi & juga melakukannya.19
Ibnu Al-Mundzir mengatakan: Mandi ketika masuk Mekah menurut seluruh ulama
disunnahkan, namun orang yang meninggalkan menurut mereka juga tidak dikenai kewajiban
membayar fidyah. Sebagian besar mereka juga mengatakan bahwa wudhu saja sebelum masuk
Mekah sudah cukup.
Disunnahkan bagi orang yang ingin wukuf di Arafah untuk mandi terlebih dahulu, merujuk
pada hadis yang diriwayatkan Malik dari Nafi' bahwasanya Abdullah bin Umar mandi antara
lain ketika hendak ihram, ketika hendak masuk Mekah, dan ketika hendak wukuf di Arafah.20
BAB III
19
HR.Al-Bukhari dan Muslim dan redaksi hadits ini milik Muslim
20
Al-Muwaththa’ (I/321), sanadnya shahih
17
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Thaharah yaitu bersih dan suci dari segala hadas dan najis atau dengan kata lain
membersihkan dan mensucikan diri dari segala hadas ataupun najis yang dapat menghalangi
pelaksanaan ibadah seperti sholat, atau ibadah lainnya. Allah mencintai orang orang yang
selalu menjaga dirinya dari hadas, baik hadas kecil maupun besar. Dan telah terdapat dalam
al-qur’an surat Al-Baqarah ayat 222:
ِإ َّن هَّللا َ يُ ِحبُّ التَّوَّابِينَ َويُحب المتطهرين
“Sesungguhnya allah mencintai orang-orang yang bertaubat dan Ia mencintai orang-orang
yang bersuci (bersih,baik dari kotoran jasmani ataupun rohani”.
Thaharah memiliki fungsi utama yaitu membiasakan hidup bersih dan sehat sebagaimana
yang diperintahkan agama. Thaharah juga merupakan sarana untuk berkomunikasi dengan
Allah.
18
DAFTAR PUSTAKA
19