Anda di halaman 1dari 41

MAKALAH TENTANG

THAHARAH, SHOLAT, ZAKAT, PUASA, HAJI DAN


NIKAH

Disusun Dan Diajukan Untuk Memenuhi Tugas


Mata Kuliah : Fiqih
Dosen Pengampu : Dr. Abdullah Syarif, M.A

Disusun Oleh:
AHMAD MULYADI (23004327)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM
HUBBULWATHAN DURI
2023
KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah atas segala limpahan karunia Allah SWT. Atas izin-
Nya kami dapat menyelesaikan makalah ini tepat waktu. Tidak lupa pula
kami kirimkan shalawat serta salam kepada junjungan Nabi Besar Muhammad
SAW. Beserta keluarganya, para sahabatnya, dan seluruh umatnya yang senantiasa
istiqomah hingga akhir zaman.

Penulisan makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas kelompok mata


kuliah Fiqh Dimana didalamnya membahas tentang pengertian thaharah, sholat,
Puasa, Zakat, Haji Dan Nikah

Semoga makalah ini dapat memberi manfaat kepada semua pihak, bagi kami
khususnya dan bagi teman-teman mahasiswa pada umumnya. Kami sadar bahwa
makalahini belum sempurna dan masih memiliki banyak kekurangan. Oleh
karena itu, kamimengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak
yang membaca

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................ i


DAFTAR ISI .......................................................................................................... ii
BAB I ...................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN .................................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang Masalah .......................................................................... 1
1.2 Rumusan masalah ..................................................................................... 1
1.3 Tujuan.........................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN ....................................................................................... 2
2.1 Thaharah.................................................................................................... 2
2.2 Sholat… .................................................................................................... 14
2.3 Zakat… .................................................................................................... 31
2.4 Puasa…. ................................................................................................... 27
2.5 Haji…… ................................................................................................... 28
2.6 Nikah……. ............................................................................................... 32
BAB III PENUTUP ............................................................................................. 37
3.1 KESIMPULAN........................................................................................ 37
3.2 SARAN ..................................................................................................... 37
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 38

ii
BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah

Manusia adalah makhluk Allah yang paling sempurna dan dimuliakan,


seperti tertera dalam surat At-Tien ayat 4 yang artinya “Sesungguhnya Kami telah
menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.” Karena manusia
diciptakan oleh Allah bukan sekedar untuk hidup didunia ini kemudian meninggal
tanpa pertanggung jawab,tetapi manusia diciptakan oleh Allah hidup didunia untuk
beribadah.

“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supayamereka


menyembahKu” (Q.SAdz-Dzaariyaat ayat 56). “Padahal mereka tidak disuruh
kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan keta‟atan kepada-Nya
dalam (menjalankan) agama dengan lurus” (Q.S Al-Bayyinah ayat 5). Karena Allah
Maha Mengetahui tentang kejadian manusia, maka agar manusia terjaga hidupnya,
taqwa, diberi kewajibanibadah. Tegasnya manusia diwajibkan beribadah, agar
manusia itu mencapai taqwa.

Isi pembahasan ibadah menurut Ibnu Abidin, membagi persoalan ibadah


pada lima kitab, yakni : Sholat, Zakat, Shiyam, Hajji, dan Jihad.Umumnya Ulama
memasukan soal Thaharah pada pembahasan ibadah.Prof.Hashbi dalam Pengantar
Fiqh mengemukakan bahwa yang wajar, pembahasan ibadah itu meliputi :
Thaharah, Shalat, Shiyam,Zakat,, Hajji, Nikah, Rumusan masalah
1. Jelaskan Hukum fiqih thaharah?
2. jelaskan Hukum fiqih sholat?
3. Jelaskan Hukum fiqih tentang zakat?
4. Jelaskan Hukum fiqih tentang Puasa?
5. Jelaskan Hukum fiqih Tentang Haji?
6. Jelaskan Hukum Fiqih Tentang Nikah?

1.2 Tujuan

Tujuan dari penulisan makalah ini agar pemateri dan pembaca dapat
memahami hukum fiqih Thaharah, Sholat, Zakat, Puasa, Zakat, Haji Dan Nikah

1
BAB II

PEMBAHASAN
2.1 Thaharah

Thaharah berasal dari bahasa arab yakni ‫ةرهط‬- ‫رهطي‬- ‫رهط‬yang artinya
bersuci.Thaharah berarti kebersihan dan kesucian dari berbagai kotoran atau bersih
dan suci dari kotoran atau najis yang dapat dilihat (najis hissi) dan najis ma’nawi
(yang tidak kelihatan zatnya) seperti aib dan kemaksiatan.

Sedangkan menurut istilah atau terminologi thaharah adalah menghilangkan


hadas, menghilangkan najis, atau melakukan sesuatu yang semakna atau memiliki
bentuk serupa dengan kedua kegiatan tersebut.

Terdapat perbedaan pendapat empat mazhab tentang pengertian taharah

Menurut Madzhab hanafi


Menurut madzhab Hanafi mengartikan thaharah adalah bersih dari hadats
atau khabas. Bersih disini maksudnya mungkin sengaja dibersihkan atau juga bersih
dengan sendirinya, seperti terkena air yang banyak sehingga najisnya hilang.
Hadats adalah suatu yang bersifat syar’i yang menempati pada sebagian atau
seluruh badan sehingga menghilangkan kesucian. Hadats disebut juga najasah
hukmiyyah, artinya sang pembuat syariat menghukumi jika seorang berhadats maka
dia dianggap memiliki najis dan dilarang untuk melakukan shalat sebagaimana juga
dilarang ketika dia memiliki najis yang dzahir. Sedangkan khabats, secara istilah
adalah suatu jenis materi yang kotor dan menjijikkan yang diperintahkan oleh
pemilik syariat untuk dihilangkan dan dibersihkan.
Menurut Madzhab Maliki
Menurut madzhab Maliki, thaharah ialah sifat hukmiyyah yang orang
memilikinya dibolehkan shalat dengan pakaian yang dipakainya dan tempat yang
dia pakai untuk shalat. Sifat hukmiyyah berarti sifat yang bersifat maknawi yang
ditentukan oleh sang pemilik hukum sebagai syarat sahnya shalat.
Menurut Madzhab Syafi’i
Menurut mazhab Syafi’i, mereka berpendapat bahwa thaharah dalam syara’
digunakan dalam dua arti: pertama, thaharah yang berarti melakukan sesuatu yang
membolehkan (seseorang) melaksanakan shalat seperti wudhu, tayammum, dan
mandi yang sifatnya sunat sedangkan arti thaharah yang kedua, menurut mazhab
Syafi’i adalah menghilangkan hadats dan najis atau melakukan sesuatu yang

2
semakna dan yang sebentuk dengannya, seperti tayamum, mandi sunat dan
sebagainya.
Menurut Madzhab Hambali
Menurut madzhab Hambali, thaharah menurut syara’ ialah hilangnya hadast
atau yang semisalnya serta hilangnya najis atau huku hadast dan najis itu sendiri.
Adapun hilangnya hadast berarti hilangnya sifat yang menghalangi sholat dan yang
searti dengannya.
Dasar Hukum Thaharah

Hukum thaharah itu sendiri wajib dan telah disampaikan oleh Allah melalui
firmanNya:
“Hai orang-orang beriman, apabila kalian hendak melaksanakan salat,
maka basuhlah muka dan tangan kalian sampai siku, dan sapulah kepala kalian,
kemudian basuh kaki sampai kedua mata kaki.” (Al-Maidah:6).
2.1.1 Alat-alat untuk Bersuci

Ada tiga benda yang bisa dijadikan saran bersuci (thaharah), yaitu: Air
(untuk menghilangkan hadast kecil dan besar), batu (untuk menghilangkan najis
setelah beristinja), dan debu (untuk menghilangkan hadast kecil dan
besar)/tayamum.

AIR

Ada tujuh macam-macam air yang boleh digunakan untuk bersesuci


yakni air langit (hujan), air laut, air sungai, air sumur, mata air, air salju dan juga
air embun.
Jenis Jenis Air Untuk Bersuci
a. Air mutlak
Air yang termasuk dalam kategori ini sering disebut oleh ulama fikih dengan
sebutan air mutlak, yaitu air yang secara alami turun dari langit atau bersumber dari
dalam bumi. Terdapat tujuh macam air yang masuk dalam kategori air mutlak yaitu
air hujan, air laut, air sumur, air sungai, air mata air, air salju, dan air dari hasil
hujan es. Tujuh jenis air tersebut dapat digunakan untuk bersuci selama tidak ada
pengaruh yang menyebabkan air tersebut berubah misalnya tercampur benda najis
tertentu.

b. Air Musyammas

3
Air musyammas adalah air yang dipanaskan di bawah terik matahari
langsung dengan wadah dari logam selain emas dan perak seperti besi atau tembaga.
Hukum air ini adalah suci dan menyucikan tetapi makruh digunakan untuk bersuci.
Namun apabila air ini dingin kembali, maka tidak lagi makruh dipakai untuk
bersuci.

c. Air Suci Namun Tidak Menyucikan


Pada dasarnya, air ini dzatnya suci tetapi tidak bisa dipakai untuk bersuci,
baik untuk bersuci dari hadas maupun najis. Dalam kategori air ini, terdapat dua
jenis lagi yakni jenis air musta'mal dan mutaghayar.

Jenis musta'mal, adalah jenis air yang telah digunakan untuk bersuci baik
untuk wudhu, mandi atau menghilangkan najis tertentu. Jika air musta'mal ini tidak
mencapai dua qullah, maka tidak bisa digunakan untuk bersuci. Tetapi jika lebih
dari dua qullah maka masih bisa digunakan untuk bersuci.

AIR MUSTA’MAL MENURUT EMPAT MAZHAB

Al-Jaziri dalam Al-Fiqh ala Al-Madzahib Al-Arba'ah, hlm. 1/37-40,


menyimpulkan pendapat madzhab empat yakni Syafi'i, Maliki, Hanafi dan Hanbali
dalam soal air musta'mal sebagai berikut:

Madzhab syafii

Madzhab Syafi'i mendefinisikan air musta'mal sebagai air sedikit yang


digunakan untuk melakukan sesuatu yang wajib secara hakiki (untuk orang
mukallaf) atau non-hakiki (bukan mukallaf) seperti menghilangkan hadas atau
menghilangkan najis. Yang dimaksud air sedikit adalah air yang kurang dari dua
qullah. Apabila seseorang berwudhu atau mandi wajib dari air sedikit lalu ia
mencelupkan tangannya untuk membasuh tangan setelah membasuh wajah dengan
tangannya, maka air menjadi musta'mal. Air menjadi musta'mal dengan beberapa
syarat: syarat pertama, digunakan untuk bersuci yang wajib, apabila berwudhu
untuk shalat sunnah atau menyentuh Al-Quran, dan lainnya maka air tidak disebut
musta'mal dengan mencelupkan. Syarat kedua, air itu berada pada basuhan pertama.
Apabila membasuh wajah di luar bejana satu kali, lalu meletakkan tangannya untuk
membasuh untuk kedua atau ketiga kalinya, maka air tersebut bukan musta'mal.
Syarat ketiga, air itu sedikit sejak awal. Apabila air itu awalnya dua qullah atau
lebih, lalu dipisah dalam satu wadah maka ia tidak menjadi musta'mal dengna
mencelupkan padanya. Sama dengan itu (bukan musta'mal) apabila air musta'mal
yang sedikit dikumpulkan sampai menjadi dua qullah, maka ia menjadi banyak dan
tidak apa-apa mencelupkan anggota tubuh ke dalamnya. Syarat keempat, air

4
terpisah dari tubuh. Apabila air mengalir pada tangan dan belum terpisah darinya,
maka air itu bukan musta'mal.

Madzhab Maliki

Madzhab Maliki berpendapat air yang sudah terpakai (musta'mal) tidak


menghilangkan kesucian air. Maka, boleh memakainya kembali untuk wudhu,
mandi wajib, dan lainnya. Akan tetapi makruh memakainya apabila masih ada yang
lain. Air musta'mal tidak merusak kesucian air walaupun air itu sedikit. Air
musta'mal ada dua: pertama, menggunakan air suci yang sedikit untuk
menghilangkan hadas, baik hadas kecil atau besar. Seperti memakai air untuk
wudhu atau mandi junub atau memakainya untuk menghilangkan hukum najis,
seperti air yang dipakai untuk menghilangkan najis baik najis hissiyyah (ainiyah -
yang tampak), atau najis maknawiyah (hukmiyah - tidak tampak).

Madzhab Hanafi

Madzhab Hanafi menyatakan apabila air yang menyucikan (tahur) sudah


dipakai maka statusnya menjadi suci tapi tidak menyucikan (tahir ghair mutahhir).
Air ini sah digunakan untuk keperluan non-ibadah seperti minum, memasak, dan
lainnya. Dan tidak sah menggunakannya untuk keperluan ibadah seperti wudhu,
mandi besar (ghusl). Dalam madzhab Hanafi air musta'mal ada empat macam:
pertama, yang dibutuhkan untuk melaksanakan ibadah seperti shalat, ihram,
menyentuh mushaf, dan lainnya. Kedua, air yang dibutuhkan untuk menghilangkan
hadas seperti wudhu yang sempurna bagi hadas kecil. Ketiga, untuk menggugurkan
kewajiban walaupun tidak menghilangkan hadas. Seperti membasuh sebagian
anggota wudhu tidak yang lain. Apabila seseorang membasuh wajah saja maka air
itu hanya membasuh wajah tapi tidak menghilangkan hadas karena untuk
menghilangkan hadis perlu wudhu yang sempurna. Keempat, air yang digunakan
untuk ingat ibadah. Seperti wudhunya orang haid, di mana sunnah baginya untuk
berwudhu setiap waktu shalat untuk mengingat shalat yang biasa dia lakukan.

Madzhab hanbali

Madzhab Hanbali mendefinisikan air musta'mal sebagai air sedikit yang


digunakan untuk menghilangkan hadas atau menghilangkan najis di mana air itu
terpisah tanpa berubah dari tempat dengan basuhan ketujuh yang menyucikan. Air
yang terpisah dari tubuh sebelum basuhan ketujuh hukumnya najis. Air yang
terpisah dari tubuh setelah basuhan ketujuh hukumnya musta'mal.

5
AIR MUTAGHAYYAR

Semua mazhab sepakat, bahwa apabila air berubah warna, rasa, danbaunya karena
bersetuhan dengan najis, baik sedikit atau banyak, bermata air ataupun tidak
bermata air, muthlaq atau mudhaf. Apabila air ituberubah Karena melewati bau-
bauan tanpa bersetuhan dengan najis, misalnya ia berada di samping bangkai lalu
udara dari bangkai itu bertiupmembawa bau kepada air itu, maka air itu hukumnya
tetap suci.

d. Air Mutanajjis
Air mutanajis adalah air yang kurang dari dua qullah dan terkena benda-
benda najis. Sehingga karena hal tersebut berubahlah zat, warna, rasa dan baunya.
Air jenis ini secara otomatis tidak bisa digunakan untuk bersuci.

Madzhab Hanafi Mengatakan apabila ada makhluk yang darahnya mengalir


jatuhke dalam sumur, seperti manusia, atau kambing, atau kelinci, sesungguhnya
itu ada dalam dua keadaan:

Keadaan pertama; jika hewan tersebut terburai ususnya, bengkak badannya,


atau terpisah-pisah anggota tubuhnya, atau rontok bulu bulunya. Maka dalam
kondisi demikian, sumurnya adalah najis. Begitu pula dengan ember dan talinya
yang dipakai untuk mengambil hewan tersebut. Kemudian, jika air yang ada di
sumur itu bisa dikuras, maka ia baru bisa mensucikan jika semua airnya
dikeluarkan.

Keadaan kedua; Ada hewan jatuh ke dalam sumur, tetapi dia keluar dari situ
dalam keadaan hidup. Yang demikian ini ada dua bentuk. Bentuk satu: binatang itu
pada dasarnya adalah najis (najisul 'ain), seperti babi. Hukumnya adalatu
hendaknya semua aimya dikuras jika memungkinkan.

Madzhab Maliki mengatakan; Air sumur menjadi naiis jika ada makhluk mati di
dalamnya, dengan tiga syarat. syaratpertama: Hendaknya makhluk itu hidup di
darat, baik itu manusia ataupun binatang temak. Sekiranya ia adalah hewan laut
seperti ikan atau yang lainnya, lalu ia mati di dalam sumur, maka tidak membuat
najis.

Madzhab Asy-syafi'i mengatakan; Air sumur tidak lepas dari dua kondisi, kalau
tidak banyak ya sedikit. sedikitnya yaitu kurang dari dua qullah, dan banyaknya
yaitu iika lebih dari dua qullah. sekiranya jumlahnya sedikit, lalu jatuh hewan yang
darahnya mengalir ke dalamnya, maka aimya menjadi najis, dengan dua syarat.
Syarat pertama: najisnya tidak termasuk najis yang dimaafkan. Syarat kedua: hewan
itu dilempar oleh seseorang.

6
Madzhab Hambali mengatakan; Sama seperti yang dikatakan kalangan Asy-Syaf
iyah. Hanya saja mereka tidak mensyaratkan dua syarat pada najis yang sedikit
untuk hewan yang mati di dalam sumur/ sebagaimana madzhab Asy-Syafi'i.

DEBU

Debu yang Suci, Ketika seseorang ingin bersuci (dalam artian bersuci dari
hadas), dan dia tidak menemukan air untuk bersuci, maka diberikan kemudahan
yaitu diperbolehkan bersuci dengan debu, yang biasa disebut dengan
istilah tayamum.

Allah berfirman di dalam QS. Al-Maidah ayat 6, yang artinya sebagai


berikut:

“Dan apabila kamu sakit, atau dlam perjalanan, atau kembali dari tempat
buang air (kakus), atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak mendapat air, maka
bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan kedua
tanganmu dengan tanah itu.” (QS. Al-Maidah: 6)

Benda Yang Menyerap Kotoran

Benda-benda yang dapat Menyerap Kotoran, seperti batu, tisu, kayu, dan
semacamnya. Dalam hal ini, dikhususkan untuk menghilangkan najis, seperti
beristinja’.

2.1.2 Macam-macam Najis dan Cara Mensucikannya

Najis Mukhaffafah

Contohnya air kencing bayi laki-laki yang belum makan sesuatu kecuali air
susu ibunya. Jika sang bayi sudah pernah mengonsumsi makanan selain air susu
ibu, semisal susu kaleng buatan pabrik atau yang lainnya, maka air kencingnya
sudah tidak lagi dikatakan najis ringan, melainkan najis sedang.
Lalu, bagaimana dengan air kencing bayi perempuan yang belum makan
apa-apa selain air susu ibu? Ust. Abu Sakhi dalam bukunya Panduan Praktis dan
Lengkap Menuju Kesempurnaan Salat menjelaskan bahwa hukumnya bukan
termasuk najis ringan, tetapi najis sedang.

Najis mutawasittah

Contoh najis najis mutawasitah antara lain kotoran manusia, darah haid, air
mani yang cair, minuman keras, kotoran hewan yang haram dimakan, bangkai
hewan kecuali bangkai manusia, ikan, dan belalang.

7
Najis Mutawassithah ini sendiri dibedakan menjadi dua macam, yaitu:

• Najis ‘Ainiyah atau najis yang terlihat rupanya, rasa atau tercium baunya.
• Najis Hukmiyah atau najis yang tidak tampak seperti bekas kencing dan
miras.

Najis Mughaladzoh

Najis mughallazah artinya adalah najis dengan tingkatan berat. Najis berat
adalah suatu materi (benda) yang kenajisannya ditetapkan dalil yang pasti (qat’i).

Contoh yang termasuk dalam najis mughallazah yaitu, najis yang berasal
dari anjing dan babi (termasuk kotoran dan air liurnya).

Cara menyucikannya dengan menghilangkan terlebih dahulu wujud benda


najis tersebut. Kemudian, dicuci dengan air bersih sebanyak tujuh kali dan salah
satunya menggunakan tanah.

‫ب‬ ِ َّ ‫ع ِفِّ ُروهُ الث‬


ِ ‫امنَةَ فِى الت ُّ َرا‬ َ ُ‫َاء فَا ْغ ِسلُوه‬
ٍ ‫س ْب َع َم َّرا‬
َ ‫ت َو‬ ِ ‫اإلن‬ ُ ‫إِذَا َولَ َغ ْال َك ْل‬
ِ ‫ب فِى‬
Artinya: “Ketika anjing menjilat bejana, maka basuhlah tujuh kali dengan
dicampuri debu pada awal pembasuhannya.” (HR. Muslim).

• Cara Membersihkan Najis Menurut Mazhab Syafi’i


Di dalam kitab Al-Iqna’ Fi Halli Alfazhi Abi Syuja’ yang merupakan salah
satu kitab penting di dalam mazhab Syafi’i ada penjelasan tentang cara
membersihkan najis sesuai dengan najis yang ada beberapa macam. Dan berikut ini
ringkasannya:
Pertama, jika benda terkena najis yang berasal dari anjing, misal air liurnya, maka
benda tersebut dicuci tujuh kali bilasan, salah satunya menggunakan tanah.
Kedua, jika benda terkena najis berupa air kencing bayi laki-laki yang hanya
minum asi, cara membersihkannya cukup dengan menyiramkan air di bagian yang
terkena air kencing tersebut.
Ketiga, jika benda terkena najis yang bukan dari bayi laki-laki yang hanya minum
asi dan bukan dari anjing, maka ada perinciannya:
Najisnya bersifat ‘hukmi’, yaitu seseorang yakin adanya najis di suatu benda atau
tempat, hanya saja sudah tidak terlihat zat najisnya, tidak tercium baunya dan tidak

8
terlihat warna najisnya. Cara menyucikannya adalah dengan menyiramkan air ke
bagian yang diperkirakan terkena najis tersebut.
Jika najisnya bersifat ‘najis ‘ain’, yaitu terlihat jelas zat najisnya, maka wajib
menghilangkan zat najisnya menggunakan kain atau alat pembersih lainnya.
Kemudian dicuci menggunakan air.
Adapun sisa warna benda najis tersebut, jika sulit dihilangkan, maka tidak
masalah. Misalnya bekas warna darah yang masih ada sedikit setelah dicuci.

2.1.3 Istinja dan Adab Buang Air Besar

Istinjak (mengeluarkan najis yang keluar dari farji) itu wajib dilakukan
setelah buang air kecil maupun air besar.
Cara istinjak yang paling utama adalah dengan menggunakan beberapa buah
batu terlebih dahulu, kemudian diikuti dengan air. Boleh beristinjak hanya dengan
air atau dengan tiga buah batu untuk menyucikan tempat keluarnya kotoran. Jika
ingin memilih hanya salah satu dari keduanya, maka beristinjak dengan air itu lebih
utama.
Perbedaan Tata Cara sah Istinja Dalam Empat Mazhab
Ulama Malikiyah berkata, "Dianjurkan mendahulukan membasuh
qubulnya dalam menghilangkan najis, kecuali jika ia memiliki kebiasaan
menteskan air kencing saat duburnya dibasuh dengan air. Maka, dalam keadaan
seperti ini, tidak dianjurkan mendahulukan membersihkan qubul
Ulama Hanafiyah memiliki dua pendapat dalam hal ini, namunyang
difatwakan adalah pendapat Imam Abu Hanifah, yaitu mendahulukan membasuh
dubur, sebab najisnya lebih kotor daripada air kencing. Selain itu, dengan
membasuh dubur dan areal di sekitarnya, air kencing akan keluar. jadi,
mendahulukan membasuh qubul tidak ada gunanya.
Ulama Asy-Syafi'iyah berkata, "Dianjurkan bagi orang yang beristinia
dengan air agar mendahulukan membasuh qubul daripada dubur.Adapun jika ia
melakukan istijmar dengan batu, maka hendaknya mendahulukan dubur daripada
qubul."
Ulama Hanabilah berkata, "Disunnahkan bagi orang yang beristinja atau
beristijmar untuk mendahulukan membasuh qubul daripada dubur, apabila ia
seorang laki-laki, atau wanita yang masih perawan. Adapun janda, maka ia boleh memilih
mana saja untuk didahulukan.

• Adab Buang Air Besar

9
Tidak boleh membuang hajat di tempat terbuka dengan menghadap kiblat
atau membelakanginya. Tidak boleh membuang air kecil maupun air besar di air
yang menggenang, di bawah pohon yang berbuah, di jalanan, dan tempat orang
berteduh serta pada lubang. Tidak boleh berbicara ketika buang air kecil maupun
air besar.
Macam-macam Hadast dan Cara Mensucikannya

Hadas menurut cara mensucikan dibedakan menjadi 2 macam, yaitu hadas


besar dan kecil. Hadas besar adalah hadas yang harus disucikan dengan cara mandi
sedangkan hadas kecil adalah hadas yang dapat disucikan dengan cara berwudu atau
tayamum saja.

2.1.4 Mandi Wudhu dan Tayamum

Mandi

Mandi merupakan cara untuk membersihkan tubuh dari segala macam


kotoran, baik kotoran yang menempel pada badan maupun kotoran atau hadas yang
ada pada batin atau jiwa. Mandi dilakukan dengan menggunakan air yang suci dan
mensucikan, dan tidak dapat hanya dengan air yang hanya suci tapi tidak
mensucikan, seperti air yang telah dipakai untuk bersuci atau air yang tercampur
dengan benda suci lainnya.

• Faktor-faktor yang mewaiibkan Mandi


Pertama, memasukkan kepala organ seksual, baik ke dalam qubul maupun
dubur.Hanya dengan mamsukkannya saja sudah mewajibkan mandi. Baik keluar
mani dan sejenisnya maupun tidak. Akan tetapi, para ulama madzhab menetapkan
beberapa syarat wajibnya mandi karena penetrasi organ seksual sebagai berikut.
Ulama Hanafiyah berkata, "Apabila kepala zakar sudah tenggelam, atau
seukurannya, baik dalam qubul maupun dubur, tanpa penghalang yang tebal yang
bisa meredam hangatrya objek penetrasi (semacam kondom-pent), maka wajib
mandi atas pelaku dan objeknya (pasangannya), baik keluar mani maupun tidak.
Ulama Asy-Syafi'iyah berkata, "Apabila kepala zakat telah tenggelam atau
seukurannya dari zakar yang sudah terpotong, di dalam qubul atau dubur, maka
wajib mandi atas pelaku dan objeknya.Baik keduanya sudah balig atau belum.
Ulama Malikiyah berkata, "Kondisi junub dan wajibnya mandi terjadi
dengan adanya penetrasi kepala zakat dalam qubul atau dubur, baik milik laki-laki,
perempuary waria atau binatang.Baik objeknya dalam keadaan hidup maupun mati.

10
Ulama Hanabilah berkata, "Apabila kepala zakar terbenam dalam qubul
atau dubur seseorang yang snaggup bersenggama tanpa ada penghalang, meskipun
tipis, maka wajib mandi atas pelaku dan objeknya, apabila si laki-laki tidak kurang
dari sepuluh tahun usianya, dan si perempuan tidak kurang dari sembilan tahun
Kedua, keluamya mani baik dari laki-laki maupunperempuan. Sebab, wanita pun
memiliki air mani, hanya saja tidak terpisah di luar qubul. Siapa yang mengingkjari
hal ini, berarti ia mengingkari hal yang jelas-jelas terindera. Keluarnya maniada dua
kondisi: Pertama, keluar pada saat terjaga. Kedua, keluar pada saat tidur. Ada
perincian hukum dalam nenerapa mazhab tentang hal ini
Ulama Asy-Syaf iyah berkata, " ApabTla air mani keluar dari jalurnya yang
nornal, maka wajib mandi dengan satu syaratyakin bahwa itu adalah Fikih Empat
Madzhab lilid 1 * 169 mani. Baik keluar dengan rasa nikmat maupun tidak, baik
kenikmatan itu dicapai dengan cara nortnal ataupun tidak, misalnya seseorang
memukul tulang sulbinyahingga ia mengeluarkan air maninya, atau karena sakit
yang menyebabkannya keluar mani.
Ulama Hanabilah berkata, "Tidak disyaratkan untuk wajibnya mandi
keluarnya mani secara nyata, akan tetapi cukup si laki-laki merasakan terpisahnya
air mani dari tulang sulbinya, sementara wanita cukup meraskaan terpisahnya air
mani dari taraib, yaitu tulang dada yang biasa digunakan untuk menggantungkan
kalung.
Ulama Hanafiyah berkata, "Keluamya mani dengan salah satu sebab yang
menimbulkan rasa nikmat selain jima, mani keluar sampai bagian luar kemaluan
dengan memancar dan dibarengi syahwat. ]ika ia memeluk istrinya dan kemudian
keluar maninya dengan cara seperti diatas tanpa melakukan penetrasi, maka ia
wajib mandi. Dan anda akan ketahui bahwa penetrasi adalah sebab adanya mandi,
meskipun tidak keluar mani.
Ulama Malikiyah berkata, "Apabila mani keluar setelah habisnya rasa
nikmat yang normal tanpa jima, maka wajib mandi, baik ia sudah mandi setelah
keluar atau belum. Adapun jika nikmat itu lahir dari jima, misaLrya ia melakukan
penetrasi dan tidak keluar, kemudian keluar setelah hilangnya rasa nikmat, apabila
ia sudah mandi sebelum keluar, maka tidak wajib mandi atasnya.
Ketiga, keluar mani pada saat tidur.Kondisi ini disebut mimpi basah. Barangsiapa
yang bermimpi kemudian ia bangun dari tidurnya dan mendapati basah pada
pakaiannya atau tubuhnya atau pada bagian luar wubulnya, maka ia wajib mandi
kecuali jika ia bisa meyakinkan jika yang keluarbukanlah airmani.

11
Keempat, darah haid dan nifas.Untuk bagian ini, semua ulama madzhab bersepakat
mengenai wajibnya mandi. Barangsiapa yanS mendapati darah haid atau nifas,
maka ia wajib mandi pada saat sudah terhenti.

Wudhu

Wudlu adalah salah satu cara untuk menghilangkan hadas kecil. Wudlu
dilakukan apabila hendak melaksanakan salat ataupun ibadah-ibadah lain yang
mana dalam ibadah tersebut diperlukan suci dari hadas kecil.
Rukun Wudhu
Para ulama berrbeda pendapat ketika menyebutkan rukun wudhu. Ada yang
menyebutkan 4 saja sebagaimana yang tercantum dalam ayat Quran, namun ada
juga yang menambahinya dengan berdasarkan dalil dari Sunnah.

• 4 (empat) rukun menurut Al-Hanafiyah mengatakan bahwa rukun wudhu


itu hanya ada 4 sebagaimana yang disebutkan dalam nash Quran
• 7 (tujuh) rukun menurut Al-Malikiyah menambahkan dengan keharusan
niat, ad-dalk yaitu menggosok anggota wudhu`. Sebab menurut beliau
sekedar mengguyur anggota wudhu` dengan air masih belum bermakna
mencuci atau membasuh. Juga beliau menambahkan kewajiban muwalat.
• 6 (enam) rukun menurut As-Syafi`iyah menambahinya dengan niat dan
tertib yaitu kewajiban untuk melakukannya pembasuhan dan usapan
dengan urut, tidak boleh terbolak balik. Istilah yang beliau gunakan adalah
harus tertib
• 7 (tujuh) rukun menurut Al-Hanabilah mengatakan bahwa harus niat,
tertib dan muwalat, yaitu berkesinambungan. Maka tidak boleh terjadi jeda
antara satu anggota dengan anggota yang lain yang sampai membuatnya
kering dari basahnya air bekas wudhu`.

.Niat
Niat wudhu` adalah ketetapan di dalam hati seseorang untuk melakukan
serangkaian ritual yang bernama wudhu

.Membasuh Wajah
Para ulama menetapkan bahwa batasan wajah seseorang itu adalah tempat
tumbuhnya rambut (manabit asy-sya`ri) hingga ke dagu dan dari batas telinga
kanan hingga batas telinga kiri.

. Membasuh kedua tangan hingga siku


Secara jelas disebutkan tentang keharusan membasuh tangan hingga ke siku. Dan
para ulama mengatakan bahwa yang dimaksud adalah bahwa siku harus ikut
dibasahi

12
. Mengusap kepala
Yang dimaksud dengan mengusap adalah meraba atau menjalankan tangan ke
bagian yang diusap dengan membasahi tangan sebelumnya dengan air.

• Al-Hanafiyah mengatakan bahwa yang wajib untuk diusap tidak semua


bagian kepala, melainkan sekadar dari kepala. Yaitu mulai ubun-ubun dan
di atas telinga.
• Al-Malikiyah dan Al-Hanabilah mengatakan bahwa yang diwajib diusap
pada bagian kepala adalah seluruh bagian kepala. Bahkan Al-
Hanabilah mewajibkan untuk membasuh juga kedua telinga baik belakang
maupun depannya.
• Asy-syafi`iyyah mengatakan bahwa yang wajib diusap dengan air hanyalah
sebagian dari kepala, meskipun hanya satu rambut saja. Dalil yang
digunakan beliau adalah hadits Al-Mughirah : Bahwa Rasulullah SAW
ketika berwudhu` mengusap ubun-ubunnya dan imamahnya (sorban yang
melingkari kepala).

. Mencuci kaki hingga mata kaki.


Menurut jumhur ulama, yang dimaksud dengan hingga mata kaki adalah
membasahi mata kakinya itu juga.

. Tartib
Yang dimaksud dengan tartib adalah mensucikan anggota wudhu secara berurutan
dari yang awal hingga yang akhir.

• Al-Hanafiyah dan Al-Malikiyah tidak merupakan bagian dari fardhu


wudhu`, melainkan hanya sunnah muakkadah. Akan halnya urutan yang
disebutan di dalam Al-Quran, bagi mereka tidaklah mengisyaratkan
kewajiban urut-urutan.
• bersikeras mengatakan bahwa tertib urutan anggota yang dibasuh
merupakan bagian dari fardhu dalamwudhu`. Sebab demikianlah selalu
datangnya perintah dan contoh praktek wudhu`nya Rasulullah SAW. Tidak
pernah diriwayatkan bahwa beliau berwudhu` dengan terbalik-balik
urutannya. Dan membasuh anggota dengan cara sekaligus semua dibasahi
tidak dianggap syah.

Tayamum

Tayammum merupakan salah satu cara untuk bersuci yang sifatnya adalah
dlaruri dalam artian adanya tayammum adalah apabila bersuci dengan
menggunakan atau alat bersuci yang utama yaitu air tidak ada atau tidak bisa karena
adanya halangan maka bersucinya dengan cara tayammum. Tayammum menurut
bahasa adalah “menuju”, sedang menurut istilah ahli fiqh Tayammum adalah
menyampaikan atau mengusapkan debu yang suci ke muka dan kedua tangan

13
sebagai ganti dari wudlu atau mandi atau pengganti membasuh anggauta dengan
syarat-syarat husus.

Cara Tayamum

Seorang yang hendak bertayamum berniat dahulu, kemudian membaca


basmalah, lalu menepukkan telapak tangannya ke atas tanah yang suci dengan
sekali atau dua kali tepukan, kemudian diangkat tangannya dan ditiup sehingga
tidak ada debu yang membekas di tangan, kemudian mengusapkan dua tangan itu
ke muka dan dua telapak tangannya sampai ke pergelangan, seperti yang disebutkan
dalam hadits Ammar bin Yasir RA berkata,

‫غ‬ ‫س هل َم فِي َحا َج ٍة فَأ َ ْجنَبْتُ فَلَ ْم أ َ ِجد ْال َما َء فَت َ َم هر ْغتُ فِي ال ه‬
ُ ‫صعِي ِد َك َما تَ َم هر‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ ‫ص هلى ه‬
َ ُ‫َّللا‬ ِ ‫سو ُل ه‬
َ ‫َّللا‬ ُ ‫بَ َعثَنِي َر‬
ِّ
َ ‫ب بِ َك ِف ِه‬
‫ض ْربَة‬ َ ‫ض َر‬ َ َ
َ ‫صنَ َع َه َكذا ف‬ ْ َ ْ ‫ه‬
ْ َ ‫سل َم فقا َل إِن َما َكانَ يَكفِيكَ أن ت‬ َ َ ‫ه‬ َ
َ ‫عل ْي ِه َو‬ ‫ص لى ه‬
َ ُ‫َّللا‬ ‫ه‬ َ ‫ي‬ ِِّ ِ‫الدهابهةُ فَذَك َْرتُ ذلِكَ لِلنب‬
‫ه‬ َ
ُ‫س َح ِب ِه َما َو ْج َهه‬ َ ‫ظ ْه َر َك ِِّف ِه ِب ِش َما ِل ِه أ َ ْو‬
َ ‫ظ ْه َر ِش َما ِل ِه ِب َك ِِّف ِه ث ُ هم َم‬ َ ‫س َح ِب ِه َما‬ َ ‫ض َها ث ُ هم َم‬ ِ ‫علَى ْاْل َ ْر‬
َ َ‫ض ث ُ هم نَف‬ َ

“Rasulullah saw mengutusku dalam satu hajat, lalu saya junub dan tidak
menemukan air untuk mandi, kemudian saya berguling-guling di tanah seperti
hewan. Dan ketika saya bertemu Nabi saya ceritakan peristiwa itu. Lalu Nabi
bersabda, ‘Sebenarnya kamu cukup dengan memukulkan kedua tanganmu ke tanah
dengan sekali pukulan, kemudian tangan kiri mengusap yang kanan dan punggung
telapak tangan dan wajahnya.” (Muttafaq Alaih).

Demikianlah mazhab Hambali dan Maliki. Sedangkan dalam mazhab


Hanafi dan Syafi’i, mereka berpendapat pengusapan tangan harus sampai ke dua
siku. Mereka berpegang dengan beberapa hadits dhaif yang tidak sampai
menandingi hadits Ammar di atas. Imam Nawawi, penulis kitab Al-Majmu’ Syarah
Al-Muhadzdzab, dan Ash Shan’ani penulis kitab Subulussalam,
mentarjih/menguatkan pendapat pertama, padahal keduanya bermazhab Syafi’i

2.2 Sholat

2.2.1 Pengertian sholat


Pengertian secara bahasa, sholat berasal dari bahasa Arab yaitu shalla, yang
berarti doa atau cara berdoa untuk meminta permohonan kepada Allah SWT.
Sementara kata sholat atau salat dalam KBBI dideskripsikan sebagai ibadah kepada
Allah SWT dan wajib dilakukan setiap Muslim sesuai syarat, rukun, dan bacaan
tertentu.
Melansir dari laman NU, secara istilah pengertian sholat adalah rangkaian ucapan
yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam.
2.2.2 Dasar hukum shalat

14
fardu lima waktu disempurnakan ketika Nabi Muhammad menerima wahyu dari
Allah dalam peristiwa Isra dan Mi’raj. Sebagaimana riwayat dalam hadis sahih
Imam Bukhari (No. 342) dan Muslim (No. 163), Rasulullah SAW bersabda:
“loteng rumahku terbuka saat aku berada di Makkah, kemudian Jibril turun. Ia
memegang tanganku dan mengangkatku ke langit. Kemudian Allah memfardukan
salat 50 waktu pada umatku, maka aku kembali lagi, dan Dia (Allah) berfirman:
“salat 5 waktu itulah (pahalanya sama dengan) salat 50 waktu, tidak akan
tergantikan lagi pernyataanku.”
Sejak saat itu salat wajib lima waktu sehari semalam difardukan bagi umat
Nabi Muhammad SAW. Salat wajib lima waktu ini meliputi subuh, zuhur, asar,
magrib, dan isya. Umat Islam yang melaksanakan salat wajib lima waktu akan
mendapat pahala sama seperti salat 50 waktu.
2.2.3 Tujuan sholat

Shalat merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia yang melebihi segala-
galanya. Memberikan ketentraman dan mendamaikan serta menjadikan seseorang
merasakan kenikmatan hakiki yang tidak akan ia dapati selain dari padanya. Shalat wajib
adalah salah satu rukun Islam yang harus dilaksanakan oleh setiap muslim yang telah
baligh dan berakal. Shalat wajib terdiri dari shalat lima waktu dan shalat Jumat bagi laki-
laki. Shalat wajib bukan hanya merupakan kewajiban, tetapi juga memiliki banyak
hikmah atau keutamaan yang dapat dirasakan oleh pelakunya di dunia dan akhirat.

Hikmah shalat wajib dapat dilihat dari berbagai aspek, baik aspek spiritual,
psikologis, sosial, maupun fisik. Berikut adalah beberapa hikmah shalat wajib yang
dapat kita ketahui:

1.Meningkatkan ketakwaan kepada Allah SWT.


Ketakwaan adalah sikap hati yang selalu taat dan patuh kepada perintah
Allah dan menjauhi larangan-Nya. Dengan melaksanakan shalat wajib secara rutin
dan khusyuk, kita akan semakin menyadari kebesaran dan kekuasaan Allah SWT,
serta kehinaan dan kelemahan diri kita sebagai makhluk-Nya. Hal ini akan
membuat kita lebih takut kepada Allah SWT daripada kepada selain-Nya, dan lebih
mengharapkan rahmat dan ridha-Nya daripada pujian dan sanjungan manusia.

2.Memberikan ketenangan dalam diri baik lahir maupun batin.


Shalat wajib adalah sarana untuk berkomunikasi dengan Allah SWT, sang
Pencipta dan Pengatur segala sesuatu. Dengan shalat wajib, kita dapat mengadukan
segala persoalan dan kesulitan yang kita hadapi kepada Allah SWT, serta memohon
pertolongan dan petunjuk-Nya. Dengan demikian, kita akan merasa lebih tenang
dan yakin bahwa Allah SWT tidak akan meninggalkan kita sendirian dalam
menghadapi ujian hidup12. Allah SWT berfirman dalam surat Ar-Ra’d ayat 28:
Yang artinya:

“Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.”

3.Mendapatkan kecintaan kepada Allah SWT.

15
Shalat wajib adalah salah satu bentuk ibadah mahabbah atau ibadah cinta kepada
Allah SWT. Dengan shalat wajib, kita menunjukkan rasa syukur dan penghormatan
kepada Allah SWT atas segala nikmat yang telah diberikan-Nya kepada
kita. Dengan shalat wajib, kita juga mengekspresikan rasa cinta dan rindu kepada
Allah SWT sebagai Tuhan yang Maha Pengasih dan Penyayang. Rasulullah SAW
bersabda: yang artinya:

“Barangsiapa yang mencintai untuk bertemu dengan Allah, maka Allah pun
mencintainya. Dan barangsiapa yang benci untuk bertemu dengan Allah, maka
Allah pun membencinya.” (HR Muslim)

4.Mencegah perbuatan keji dan mungkar.


Shalat wajib adalah salah satu cara untuk menjaga diri dari godaan syaitan
dan hawa nafsu yang mengajak kepada perbuatan keji dan mungkar. Perbuatan keji
dan mungkar adalah perbuatan yang bertentangan dengan syariat Allah SWT,
seperti berzina, mencuri, membunuh, berbohong, dan sebagainya. Dengan shalat
wajib, kita akan selalu ingat bahwa Allah SWT selalu melihat dan mendengar apa
yang kita lakukan. Hal ini akan membuat kita malu dan takut untuk melakukan dosa
dan maksiat .

2.2.4 Kedudukan shalat dalam islam

1. Shalat merupakan tiang agama


Tiang ini diibaratkan sebagai fondasi dasar dalam sebuah bangunan. Jika
fondasi tersebut rusak, hancurlah bangunan tersebut.
Begitupun dengan shalat, jika ditunaikan dengan khusyu dan istiqomah,
keimanan seorang Muslim akan selalu kokoh dan kuat.
Dalam hadits Mu’adz disebutkan bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda:
“Pokok dari segala bentuk ibadah adalah Islam; tiangnya adalah shalat; dan
amalannya yang paling tinggi adalah jihad.” (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah, dan
Ahmad).
2. Shalat merupakan amal ibadah yang dihisab pertama kali
Amal ibadah yang akan dihisab pertama kali di hari kiamat adalah shalat.
Karenanya, shalat pun menjadi tolak ukur bagi amal ibadah lainnya. Jika ibadah ini
menghasilkan timbangan yang buruk, amalan lain juga akan buruk dan sebaliknya.
Dalam hadits Anas RA dari Nabi SAW, beliau bersabda: "Amal seorang
hamba yang pertama kali akan dihisab kelak pada hari Kiamat adalah shalatnya.
Jika shalatnya baik, maka seluruh amal yang lainnya akan baik pula; dan jika
shalatnya jelek, maka seluruh amalnya yang lain akan jelek pula." (HR. Abu
Hurairah).
3. Shalat merupakan syariat Islam yang terakhir lenyap

16
Syariat Islam merupakan aturan yang berlaku dalam ajaran Islam untuk
mengatur seluruh sendi kehidupan manusia. Menjelang hari kiamat, seluruh syariat
Islam akan Allah SWT hilangkan satu demi satu. Dan shalat akan menjadi syariat
Islam terakhir yang dihilangkan oleh Allah SWT.
Dalam riwayat Abu Umamah yang marfu’ disebutkan: “Syari'at Islam akan lenyap
satu demi satu. Setiap kali suatu syari'at Islam lenyap, maka manusia akan
berpedoman pada aturan yang menggantikannya. Syari'at Islam yang pertama kali
akan lenyap adalah hukum, sedang yang terakhir kali lenyap adalah shalat.” (HR.
Ahmad).
4. Allah berikan pujian kepada mereka yang mendirikan shalat
Allah SWT sangat senang dengan hamba yang selalu mendirikan shalat,
apalagi kepada mereka yang juga memerintahkan keluarganya untuk melaksanakan
ibadah ini. Karenanya, Allah SWT pun akan memberikan pujian kepada umat yang
mendirikan shalat.
mereka) kisah Ismail (yang tersebut) di dalam Al-Qur’an. Sesungguhnya ia
adalah seorang yang benar janjinya, dan dia adalah seorang rasul dan nabi. Dan
ia menyuruh ahlinya untuk mengerjakan salat dan menunaikan zakat; dan ia
adalah seorang yang diridai di sisi Tuhannya.” (QS. Maryam: 54-55).
5. Termasuk ke dalam rukun Islam
Seperti yang sudah diterangkan sebelumnya bahwa shalat adalah rukun
Islam kedua setelah kalimat syahadat. Maka dari itu, penting bagi umat Islam untuk
selalu menunaikan ibadah shalat.
Dari Abdullah bin Umar, dari Rasulullah SAW, beliau bersabda: “Islam
didirikan di atas lima dasar: bersaksi bahwa tiada ilah kecuali Allah dan bahwa
Muhammad adalah utusan Allah; mendirikan shalat; menunaikan zakat; berpuasa
pada bulan Ramadhan; dan mengerjakan haji ke Baitullah.” (QS. Muslim).
2.2.5 Syarat Sah Sholat

Syarat sah salat Pengertian syarat sah salat adalah hal-hal yang menjadi
penentu keabsahan salat, tetapi bukan bagian dari salat. Ini berbeda dengan rukun
yang merupakan bagian dalam salat. Ada delapan syarat sah salat.
1. Suci dari hadas besar dan kecil. Suci dari hadas besar dilakukan dengan
mandi wajib. Suci dari hadas kecil dilakukan dengan mengambil wudu.
2. Suci pakaian, badan, dan tempat dari najis.
3. Menutup aurat.
4. Menghadap kiblat.
5. Masuk waktu salat.
6. Mengetahui rukun-rukun salat.
7. Tidak meyakini bahwa di antara rukun-rukun salat ialah sunah.

17
8. Menjauhi semua yang membatalkan salat.

2.2.6 Syarat wajib sholat


Syarat wajib salat Syarat wajib salat bermakna seseorang tidak dibebani
kewajiban saalat ketika salah satu dari syarat-syaratnya tak terpenuhi. Ada enam
syarat wajib salat.
1. Beragama Islam.
Hanya orang Islam yang diwajibkan salat. Karenanya, orang kafir atau
nonmuslim tidak diwajibkan salat dan tidak wajib qadha salat bila iamasuk Islam.
2. Baligh.
Tanda baligh ada tiga.
a. Telah cukup umur 15 tahun dalam hitungan tahun Hijriyah.
b. Keluar mani, baik lewat mimpi ataupun tidak.
c. Haidh bagi perempuan di usia minimal 9 tahun dalam hitungan tahun hijriyyah.
3. Berakal.
Karena itu, tidak diwajibkan salat bagi orang gila dan tidak ada qadha bagi
mereka apabila waras dari gilanya.
4. Suci dari haidh dan nifas.
Tidak diwajibkan salat bagi wanita yang sedang haidh dan nifas dan tidak
ada qadha salat baginya.
5. Sampai dakwah Islam.
Tidak diwajibkan salat bagi orang yang belum sampai dakwah Islam
kepadanya dan tidak ada qadha salat apabila ia menerima dakwah.
6. Sehat pancaindra.
Tidak diwajibkan salat bagi orang yang buta dan tuli sekaligus walaupun ia
bisa berbicara dan tidak ada qadha salat baginya apabila ia sembuh dari buta dan
tulinya.

2.2.7 Waktu masuk shalat

1. Zhuhur
Waktunya dari tergelincirnya matahari hingga bayangan semua benda sama
panjang dengan aslinya.

18
2. ‘Ashar
Waktunya dari saat bayangan semua benda sama panjang dengan aslinya
hingga terbenamnya matahari.
3. Maghrib
Waktunya dari terbenamnya matahari hingga hilangnya warna kemerah-
merahan pada senja. Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu alaihi wa sallam : “Waktu
shalat Maghrib selama warna kemerah-merahan pada senja belum hilang.
4.‘ Isya’
Waktunya dari hilangnya merah senja hingga pertengahan malam.
Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu a’alaihi wa sallam: “Waktu shalat ‘Isya’
hingga pertengahan malam.
5. Shubuh
Waktunya dari terbit fajar hingga terbit matahari.

2.2.8 Jenis-jenis Sholat Fardhu

1. Sholat lima waktu

Melaksanakan sholat yang fardhu bagi umat Islam adalah hal yang wajib
dilakukan dengan ketentuan lima kali dalam sehari. Kewajiban ini secara eksplisit
dijelaskan dalam Al-Qur’an:

ْ ُ ‫ع ِشيِّا َوحِ ينَ ت‬


َ‫ظ ِه ُرون‬ َ ‫صبِ ُحونَ َولَهُ الحمد فِي السماوات واْلرض َو‬
ْ ُ ‫س ْب َحانَ هللا حِ ينَ ت ُ ْمسُونَ َوحِ ينَ ت‬
ُ َ‫ف‬

Artinya: “Maka bertasbihlah kepada Allah pada petang hari dan pagi hari (waktu
subuh) dan segala puji bagi-Nya baik di langit, di bumi, pada malam hari dan pada
waktu zuhur (tengah hari)” (QS Ar-Rum: 17-18)

2. Sholat witir dan sholat ied (Mazhab Hanafi)

Namun, ternyata sholat fardhu atau yang diwajibkan bukan hanya lima
waktu tersebut. Hal tersebut yang dikemukakan oleh Imam Abu Hanifah, atau yang
disebutkan mazhab Hanafi.
merangkum, dalam hal ini para ulama berbeda pandangan. Di sisi lain mayoritas
ulama yakni Aimmah ats-Tsalatsah yang meliputi Imam Syafi’i, Imam Malik, dan
Imam Ahmad berpandangan bahwa sholat wajib hanya terbatas pada sholat lima
waktu saja.

Sedangkan menurut mazhab Hanafi, selain sholat lima waktu terdapat sholat
lain yang juga wajib dilakukan, yakni sholat Witir dan sholat ‘Id. Dengan

19
demikian, menurut mazhab Hanafi ini, sholat yang wajib dilakukan dalam satu hari
satu malam ada enam sholat (dengan menambahkan sholat Witir). Sedangkan
sholat ‘Id hanya dilakukan dua kali dalam satu tahun, yakni sholat Idul fitri dan
sholat Idul Adha.

“sholat yang memiliki waktu khusus terbagi menjadi tiga bagian menurut mazhab
Hanafiyah. Pertama, sholat fardhu yakni sholat lima waktu. Kedua, sholat wajib
yakni sholat witir dan dua sholat ‘Id (Idul Fitri dan Idul Adha). Ketiga, sholat
sunnah seperti sunnah qabliyah dan ba’diyah bagi sholat lima waktu. Mayoritas
ulama tidak membedakan antara fardhu dan wajib. Dan sholat Witir menurut
mayoritas ulama adalah sunnah, begitu juga dua sholat ‘Id menurut mazhab
Malikiyah dan Syafi’iyah. Sedangkan menurut mazhab Hanabilah hukumnya
adalah fardhu kifayah,” (Kementrian Wakaf dan Urusan Keagamaan, al-Mausu’ah
al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, juz 7, h. 170).

Mazhab Hanafi sendiri memang membedakan antara istilah fardhu dan


wajib. Fardhu menurut mereka adalah hal yang harus dilakukan, akan mendapatkan
dosa dan disiksa di neraka jika ditinggalkan dan dihukumi kafir bagi orang yang
mengingkari kefardhuannya. Sedangkan wajib menurut mazhab Hanafi adalah hal
yang harus dilakukan, akan mendapatkan dosa dan dihalangi dari syafaat Nabi
Muhammad ‫ ﷺ‬jika ditinggalkan dan tidak dihukumi kafir bagi orang yang
mengingkari kefardhuannya. Inilah yang mengelompokan sholat witir dan sholat
ied, menurut Mazhab Hanafi.

Meskipun sholat Witir dan sholat ‘Id masih diperselisihkan tentang


kefardhuannya, tetapi baiknya dua sholat ini tidak ditinggalkan, sebab dalam fiqih
dikenal sebuah kaidah “al-khuruj min al-khilaf mustahabbun” (keluar dari silang
pendapat antara ulama adalah hal yang dianjurkan). Sehingga melaksanakan dua
sholat yang masih diperselisihkan di atas, selain dihukumi sunnah berdasarkan
hukum sholat itu sendiri, juga dihukumi sunnah dengan berdasarkan mengamalkan
terhadap kaidah tersebut.

3. Sholat karena Nazar

Selain dua sholat di atas, terdapat pula sholat yang juga dihukumi wajib
dikarenakan faktor-faktor lain, seperti sholat sunnah yang dinazari (terikat janji atau
nazar). Misalnya, seseorang bernazar akan sholat dhuha selama sebulan berturut-
turut jika diterima kerja. Maka sholat dhuha yang semula sunnah pun berubah
hukumnya menjadi wajib. Dalam sholat sunnah yang terikat nazar, kewajiban
melaksanakannya bukan berdasarkan sholat sunnah itu sendiri, tetapi lebih karena
nazar yang diucapkan oleh seseorang.

20
4. Sholat Qadha

Selain ketiga sholat di atas, sholat yang dihukumi wajib ialah sholat qadha
dari salah satu (atau lebih) sholat fardhu lima waktu yang pernah ditinggalkan. Jenis
sholat fardhu ini merupakan pengganti sholat wajib yang lima waktu,
dikarenakan udzur (halangan) satu dan lain hal yang diperbolehkan oleh syari’at.
Qadha dalam sholat adalah melaksanakan sholat sesudah habisnya waktu, atau
sesudah waktu yang tidak mencukupi untuk menyelesaikan satu rakaat atau lebih.

2.3 Zakat

2.3.1 Pengertian Zakat

Zakat menurut bahasa yaitu tumbuh dan tambah. Kata ‘ zakat’ juga di
gunakan untuk ungkapan pujian, suci, keshalehan, dan berkah.

Secara terminologis zakat yang berarti hak yang wajib di ambil dari harta
yang banyak (yaitu harta yang mencapai nishab) untuk di berikan kepada kelompok
tertentu, yaitu mereka yang berhak mendapatkan sebagian dari harta tersebut.

2.3.2 Macam Macam Zakat


1. Zakat fitrah
Zakat fitrah merupakan zakat jiwa ( Zakat Al-Nafs ), yaitu kewajiban
berzakat bagi setiap individu baik untuk orang yang sudah dewasa maupun
yang belum dewasa, dan di bareingi dengan ibadah puasa (Shaum).

2. Zakat Maal
Seperti diuraikan terdahulu bahwa zakat sepadan dengan kata shadaqah,
juga bahkan dengan kata infaq. Ketiga istilah tersebut merupakan kata yang
mengindikasikan adanya ibadah maliyah, ibadah yang berkaitan dengan
harta konsep ini sudah di sepakati oeh para ahli Islam

2.3.3 Syarat wajib zakat

a. Merdeka
b. Islam
c. Baligh- berakal
d. Kodisi harta itu dapat berkembang
e. Kondisi harta sampai nishab
f. Kepemilikan yang sempurna terhadap harta
g. Berlalu selama satu tahun, genapnya satu tahun adalah syarat untuk zakat mal
h. Tidak ada utang
i. Lebih dari kebutuhan pokok.

21
2.3.4 Syarat Sahnya Zakat
a. Niat,
para fuqoha bersepakat bahwasannya niat adalah salah satu syarat
membayar zakat, demi membedakan dari kafarat dan sadaqah sadaqah yang
lain

b. Memberi kepemilikan.
Disyariatkan pemberian hak kepemilikan demi keabsahan pelaksanaan
zakat. Yakni dengan memberikan zakat kepada orang orang yang berhak,

2.3.4 Harta yang Wajib di Zakati

a. Barang dagangan

b. Emas dan perak serta harta yang disamakan dengan emas dan perak.

c. Hasil pertanian dan buah-buahan

d. Hewan ternak

2.3.5 Orang yang Berhak Menerima Zakat

• Orang fakir

orang fakir adalah orang orang yang tidak mempunyai sesuatu untuk mencukupi
kebutuhan hidup mereka dan mereka tidak mapu berusaha. Atau, mereka adalah
orang orang hanya memiliki sedikt harta untuk memenuhi kebutuhan mereka.

• Orang orang miskin.

Orang orang miskin adalah orang yang mempunyai harta yang hanya cukup untuk
memenuhi setengah atau lebih dari kebutuhan mereka. Dan, mereka diberi bagian
dari zakat yang dapat menutupi kekurangan dalam memenuhi kebutuhan mereka
selama satu tahun

• Para amil zakat

Mereka adalah para petugas yang ditunjuk oleh pemimpin kaum muslimin untuk
mengumpulkan zakat dari para pembayarnya, menjaganya dan membaginya kepada
orang orang yang berhak menerimanya.

• Orang orang muallaf.

22
Orang orang muallaf ada dua macam yaitu orang orang kafir dan orang orang
muslim. Orang kafir di beri bagian zakat apa bila dengannya, maka kemmungkinan
besar ia akan masuk isla. Jadi pemberian zakat

2.3.6 Ancaman Orang-Orang yang Enggan Membayar Zakat

Menolak mengeluarkan zakat menolak mengeluarkan zakat sama halnya


dengan membekukan satu diantara lima hukum Islam, melanggar sistem
masyarakat Islam, dan memusuhi kaum muslimin secara terang-terangan.
Perbuatan seperti itu dianggap sebagai provokasi yang keji terhadap orang miskin
dan orang-orang yang membutuh kan bantuan yang lainnya, durhaka kepada allah,
bukti kemunafikan, dan tidak ada nya kejujuran terhadap agama Allah, meskipun
ia rajin sholat dan selalu berzikir. Alangkah mudah nya bagi seorang muslim untuk
masuk dalam golongan orang-orang yang rajin sholat, tetapi alangkah sulitnya
untuk masuk golongan orang-orang yang mau mengeluarkan zakat. Beban shalat
barang kali bisa dikerjakan oleh siapa pun. Tetapi zakat adalah duri yang
mengganjal dalam hati orang yang kikir, penyakit dalam dada orang munafik, dan
sembilu dalam jiwa orang yang pendusta.

2.3.7 Amil Zakat

Amil zakat adalah mereka para petugas yang ditunjuk oleh pemimpin kaum
muslimin untuk mengumpulkan zakat dari para pembayarnya, menjaganya dan
membaginya kepada orang orang yang berhak menerimanya42 . Berdirinya
organisasi-orgnisasi pengelola zakat merupakan sebuah harapan akan tertolongnya
kesulitan hidup kaum dhuafa dan pada sisi lain akan membantu mengurangi
masalah kemiskinan. Dengan adanya organisasi ini, kaum dhuafa dapat terbantu
dan terbina sehingga mereka bisa memenuhi tuntutan pokok hidupnya dan keluar
dari kesulitan ekonomi dengan mendesak para muzakki untuk memenuhi kewajiban
zakat

Syarat Amil Zakat

a. Muslim

b. Akil, baligh, terpercaya.

c. Memahami hukum-hukum zakat

d. Sanggup memikul tugas sebagai amil

Agar pengelolaan zakat berjalan dengan baik, maka BAZ / LAZ harus menerapkan
prinsip-prinsip good organization governance (tata kelola organisasi yang baik.
Pertama amanah, zakat merupakan salah satu rukun Islam yang berbicara tentang
kemasyarakatan. Firman Allah. ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan
zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk

23
mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan
Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.(At-Taubah 103)

2.4 Puasa

Puasa (saumu), menurut bahasa Arab adalah “menahan dari segalasesuatu”,


sedangkan menurut istilah agama Islam puasa adalah menahan dari sesuatu yang
membatalkannya, satu hari lamanya, mulai dari terbit fajar sampai terbenamnya
matahari dengan niat dan beberapa syarat

2.4.1 Syarat Puasa dan Rukun Puasa

1. Syarat puasa

Syarat wajib puasa


• Berakal
• Baligh
• Kuat puasa

Syarat sah puasa


• Islam
• Mumayyiz
• Suci dari hadas dan nifas
• Dalam waktu yang diperbolehkan puasa

2. Rukun puasa
• Niat Pada malamnya
• Menahan diri dari dari segala yang membatalkan puasa dari terbit fajar
hingga terbenamnya matahari

2.4.2 Macam-macam Puasa

1.Puasa Wajib.

A. Puasa Ramadhan
yakni puasa sebulan penuh dibulan ramadhan yang hukumnya wajib bagi setiap
muslim yang sudah baligh.

B. Puasa Nadzar
yakni puasa yang disebabkan karena janji, oleh karena itu puasa yang di nadzarkan
hukumnya wajib.

C. Puasa kafarat atau kifarat


yakni puasa yang dilakukan untukmengganti dam atau denda atas pelanggaran yang
hukumnya wajib

24
2. Puasa Sunnah

a.Puasa Sunnah Senin Kamis


b.Puasa Sunnah Syawal
c.Puasa Sunnah Arofah
d.Puasa Sunnah Muharrom
e.Puasa Sunnah dibulan Sya’ban
f.Puasa Sunnah Daud

3. Puasa Makruh

Jika melakukan puasa pada hari jum’at atau sabtu dengan niat di khususkan
atau disengaja maka hukunya makruh kecuali bermaksud mengqodho puasa
Ramadhan, puasa karena nadzar ataupun kifarat.

4. Puasa Haram

a.Hari Raya Idul Fitri yakni pada tanggal 1 syawal


b.Hari Raya Idul Adha yakni pada tanggal 10 Dzulhijjah
c.Hari Tasyrik yakni pada tanggal 11, 12, 13 Dzulhijjah

2.4.3 Hal yang Membatalkan Puasa

1. Muntah dengan Sengaja


Muntah adalah mengeluarkan makanan atau minuman dari perut melalui
mulut merupakan hal-hal yang membatalkan puasa.Muntah atau mual bisa terjadi
disengaja ataupun tidak dengan kondisi tertentu. Ada banyak hal yang bisa
menyebabkannya, salah satunya yakni muntah yang disengaja. Muntah yang
dimaksud dengan memasukkan jari ke mulut. Hingga akhirnya makanan keluar
kembali.Jika seseorang muntah tanpa disengaja atau secara tiba-tiba, maka
puasanya tetap sah.
Rasulullah SAW bersabda:
“Barang siapa yang terpaksa muntah, maka tidak wajib baginya menqada puasanya.
Dan barang siapa muntah dengan sengaja, maka wajib baginya menqada puasanya,”
(HR Abu Daud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad).
Dengan alasan, selama tidak ada sedikit pun dari muntahannya yang tertelan
kembali. Namun, jika muntahannya tertelan dengan sengaja, maka puasanya batal.

25
2. Sengaja Berhubungan Seksual
Hal-hal yang membatalkan puasa selanjutnya adalah berhubungan suami istri
tidak pada waktunya. Jika sengaja berhubungan seksual di siang hari saat puasa,
bukan hanya batal tapi juga dikenai denda atas perbuatannya. denda tersebut yakni
berpuasa selama 2 bulan berturut-turut. Jika tidak mampu, seseorang wajib memberi
makanan pokok senilai satu mud tau sekitar 0,6 kilogram beras kepada 60 fakir
miskin.
Allah SWT berfirman:
“Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan istri-istri
kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka.
Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah
mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah
mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu,” (QS Al-Baqarah :
187).
3. Tidak mengendalikan Nafsu
Tidak bisa mengendalikan diri dan hawa nafsu termasuk hal-hal yang
membatalkan puasa selanjutnya. Meski begitu, Islam memperbolehkan kembali
berhubungan suami istri jika sudah selesai melaksanakan puasa selama satu hari.
Begitu juga dengan dilakukan di malam harinya setelah berbuka puasa. Sanksi
diberikan sebagai sebagai ganti atas dosa yang dilakukan berupa berhubungan
seksual pada saat puasa.Apabila tidak mampu, kafarat tersebut tidak gugur dan tetap
menjadi tanggungannya. Pada saat ada kemampuan untuk membayar dengan cara
mencicil, maka harus dilakukan dengan segera.
4. Keluarnya Air Mani (Sperma)
Air mani keluar akibat onani atau bersentuhan dengan lawan jenis akan membatalkan
puasa. Termasuk keluar meski tidak ada hubungan seksual di dalamnya. Hal ini
berbeda jika mani keluar karena mimpi basah, puasanya tetap sah dan bisa
dilanjutkan. Jika dilakukan karena kesengajaan dan tidak mampu menjaga hawa
nafsunya, maka ini termasuk hal-hal yang membatalkan puasa.
Kesengajaan itu bisa disebabkan seperti melakukan aktivitas seperti:
-Masturbasi.
-Berciuman.
-Berpegangan dengan lawan jenis.
-Melihat aurat lawan jenis secara sengaja.

26
Air mani keluar tersebut keluar akibat timbul hasrat atau nafsu yang membuat puasa
menjadi batal.
5. Merokok
Tidak hanya itu, merokok juga termasuk kegiatan yang dapat membatalkan
puasa.Hal ini pun juga sebagaimana ia tidak mampu menjaga hawa nafsunya dengan
baik.alasan larangan merokok di bulan Ramadan adalah karena mengandung partikel
yang dapat mencapai perut.
6. Menstruasi atau Haid
Tidak seperti laki-laki, perempuan bisa saja mengalami fase menstruasi setiap
bulannya. Dengan demikian, puasa adalah salah satu larangan saat haid dalam Islam
bagi perempuan. Para ulama mahdzab fiqh menyepakati bahwa keluarnya darah haid
membuat seorang perempuan tidak boleh berpuasa.
Imam Nawawi, seorang ulama hadist mengatakan bahwa,
“Kaum muslimin sepakat bahwa perempuan haid tidak wajib salat dan puasa dalam
masa tersebut,” (Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim, 3/250).
Darah haid yang dimaksud ini juga termasuk flek yang keluar seiring mendekati masa
haid. Tentunya, ini akan membatalkan puasa dengan sepenuhnya. Ini mirip dengan
dupa, yang juga tidak diperbolehkan ketika berpuasa, karena partikel yang bisa
dihirup orang.
7. Masa Nifas
Masa nifas juga termasuk hal-hal yang membatalkan puasa bagi perempuan.
Selain hal-hal yang membatalkan puasa, perempuan haid atau nifas wajib untuk
mengganti puasanya. Umumnya darah haid keluar selama satu minggu, dan paling
lama berlangsung selama 15 hari. Sementara itu, masa nifas biasanya 40 hari,
sedangkan paling lama adalah 60 hari. Apabila setelah itu tidak ada lagi darah yang
keluar, maka perempuan telah suci dan harus mandi wajib. Jika masih tersisa waktu
untuk puasa dalam bulan Ramadan, maka wajib menjalankan puasa hingga hari
Idulfitri.
8. Sengaja Memasukkan Benda ke Organ Dalam
ketika ada benda (ain) yang masuk dalam salah satu lubang. Artinya yang
berpangkal pada organ bagian dalam, yang dalam istilah fiqih biasa disebut dengan
jauf. Jauf adalah lubang mulut, telinga, dan hidung. Ini memiliki batas awal yang
ketika benda melewati batas tersebut maka puasa menjadi batal. Dalam hidung, batas
awalnya adalah bagian yang disebut dengan muntaha khaysum (pangkal insang). Ini
letaknya sejajar dengan mata. Untuk organ telinga, batasannya adalah yang sekiranya
tidak telihat oleh mata. Sedangkan dalam mulut, batas awalnya adalah tenggorokan

27
yang biasa disebut dengan hulqum, dikutip dari Syekh Zainuddin al-Maliabari, Fath
al-Mu’in, juz 1, hal. 259.
9. Hilang Akal
Seperti halnya rukun salat, orang yang berpuasa juga harus dalam keadaan
sadar atau waras. Ketika seseorang gila saat sedang melaksanakan puasa, ini
termasuk hal-hal yang membatalkan puasa. Gejala ini bisa terlihat dari perilaku
mereka yang tidak sesuai dengan orang normal biasanya. Yakni gila karena tidak bisa
membedakan perkara halal dan haram serta perilaku baik dan tidak. Orang tersebut
maka dianggap sudah keluar dari kewajiban berpuasa.
10. Mabuk Alkohol
seseorang yang sedang mabuk akibat konsumsi alkohol pun bisa membatalkan puasa.
Dampak alkohol untuk kesehatan memang tidak baik, beberapa efek negatifnya
yakni:
-Mengganggu sistem pencernaan.
-Tidak fokus bekerja.
-Hilang kesadaran.
Selain minum alkohol, ini juga berlaku bagi mereka yang mencium produk berbau
memabukkan.
11. Pingsan
Pingsan bisa disebabkan dari masalah kesehatan ataupun karena kurangnya stamina
tubuh. Jika ini terjadi, maka termasuk dalam hal-hal yang membatalkan puasa.
Pingsan membuat penderitanya tak sadarkan diri atau hilang kesadaran. Sama seperti
gila, ini juga tidak memiliki kewajiban untuk melanjutnya puasanya.

2.5 Haji
2.5.1 Pengertian Haji dan Umrah
Secara bahasa haji berasal bahasa Arab haj atau hijj, yang berarti menuju
atau mengunjungi tempat yang agung. Dalam pengertian agama, haji adalah
perjalanan menuju Mekkah untuk melaksanakan ibadah thawaf, sa‟i, wukuf di
Arafah, dan seluruh rangkaian manasik ibadah haji sebagai bentuk pelaksanaan
perintah Allah dan dalam kerangka mencari ridha-Nya. Umrah secara bahasa berarti
ziarah. Secara istilah, umrah berarti mengunjungi Ka‟bah dan thawaf sekelilingnya,
sa‟i antara bukit Shafa dan Marwah, serta mencukur atau memotong rambut.

28
2.5.2 Dasar Kewajiban Ibadah Haji
Ibadah haji diwajibkan bagi setiap Muslim dan Muslimah yang mampu
(istitha‟ah), sekali seumur hidup. Kewajiban untuk melaksanakan ibadah haji
ditetapkan berdasarkan al-Qur‟an, Sunnah, dan Ijma‟. Dasar kewajiban haji dalam
Al-Qur‟an adalah firman Allah yang artinya:
“Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat beribadat)
manusia, ialah Baitullah yang di Bakkah (Mekkah) yang diberkahi dan menjadi
petunjuk bagi semua manusia. padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di
antaranya) maqam Ibrahim; Barangsiapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi
amanlah dia; mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah SWT,
Yaitu (bagi) orang yang sanggup Mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa
mengingkari (kewajiban haji), Maka Sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak
memerlukan sesuatu) dari semesta alam.
Kewajiban pelaksanaan ibadah haji juga didukung oleh hadits Nabi yang
artinya:”Islam itu dibangun atas lima dasar; syahadat (kesaksian) bahwa tiada tuhan
selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan-Nya, mendirikan salat,
menunaikan zakat, puasa Ramadhan dan haji.
2.5.3 Persyaratan Wajib Haji
Haji (dan umrah) menjadi wajib atas seseorang yang telah memenuhi
persyaratan-persyaratan sebagai muslim, baligh, berakal, merdeka (bukan budak)
dan memiliki kemampuan (istitha‟ah). Akan tetapi, seandainya seorang anak yang
belum baligh melakukan haji maka hajinya itu sah walaupun tidak menggugurkan
kewajibannya untuk berhaji lagi lagi kelak, jika telah mencapai usia baligh dan
memiliki kemampuan untuk itu.
Terkait dengan dasar kewajiban haji di atas ada beberapa hal yang perlu
dijelaskan lebih lanjut, yakni tentang istitha‟ah (mampu), berhaji dengan biaya
orang lain, berhutang untuk haji, berhaji dengan urang haram, serta keutamaan haji
dan umrah.
2.5.4 Istitha’ah
Istitha‟ah (mampu) yang merupakan salah satu syarat wajib haji, meliputi beberapa
hal sebagai berikut:

• Kemampuan fisik untuk perjalanan menuju Mekkah dan mengerjakan


kewajiban-kewajiban haji. Seseorang yang tidak memiliki kemampuan
fisik, karena lanjut usia, atau penyakit menahun yang tidak bisa diharapkan
kesembuhannya lagi, sedangkan ia mempunyai cukup harta untuk pergi haji,
wajib mewakilkan orang lain (biasa disebut badal) untuk berhaji atas
namanya. Namun harus diketahui bahwa seorang yang menjadi wakil orang

29
lain untuk berhaji atas namanya, ia sendiri sebelum itu harus telah
menunaikan wajib haji atas nama dirinya sendiri.

• Perjalanan yang aman ketika pergi dan pulang terhadap jiwa dan harta
seseorang. Seandainya terdapat kekhawatiran adanya kerawanan perampok
atau wabah penyakit dalam perjalanan, maka ia belum wajib haji karena
belum dianggap berkemampuan untuk itu.

• Memiliki cukup harta selama perjalanan untuk keperluan makanan dan


kendaraan untuk dirinya sendiri selama dalam perjalanan, maupun untuk
keperluan keluarga yang ditinggalkan, sampai kembali lagi kepada mereka:
termasuk makanan, pakaian, tempat tinggal, dan kendaraan; serta peralatan
dan modal yang diperlukan bagi kelancaran pekerjaannya sepulangnya dari
haji. Atau jika ia memerlukan sebuah rumah tempat tinggalnya, atau biaya
pernikahannya, maka yang demikian itu lebih diutamakan dari haji.

2.5.5 Haji atas Biaya Orang Lain


Saat ini orang naik haji tidak selalu karena dia mampu, tetapi karena
mendapat biaya dari orang lain. Bagaimana pendapat ulama dalam persoalan ini.
Jika ada orang lain bersedia memberinya semua atau sebagian dari biaya hajinya,
maka ia tidak wajib menerimanya, jika hal itu akan membuatnya merasa rendah diri
akibat berhutang budi. Karena itu pula, ia boleh saja menolak pemberian seperti itu.
Dan dengan penolakannya itu ia tidak dapat memiliki kemampuan. Meski
demikian, jika ia bersedia menerima pemberian tersebut, lalu melaksanakan
hajinya, maka hajinya itu tetap sah sebagai hajjat al-Islam (sehingga tidak ada lagi
kewajiban berhaji atas dirinya, kecuali jika ia ingin ber-tathawwu

2.5.6 Macam-Macam Haji

1. Haji Qiran

Macam-macam haji, yang pertama adalah haji qiran yaitu ibadah haji dan
umrah yang di lakukan secara sekaligus atau bersama-sama dalam satu niat, dengan
niat yang berbunyi : “labbaika hajjan wa ‘umratan”. Maksudnya yaitu setelah Anda
selesai melaksanakan ibadah haji, Anda tidak perlu lagi mengerjakan ibadah umrah
karena sudah di jalankan dalam satu niat sekaligus.

Namun jika Anda memilih untuk menajalankan ibadah haji qiran maka
Anda akan dikenakan dam karena menggabungkan ibadah haji dan umrah dalam
satu waktu. Dam tersebut dapat berupa menyembelih seekor kambing atau bila

30
tidak mampu dapat berpuasa 10 hari. Bagi yang melaksanakan Haji Qiran
disunnatkan melakukan tawaf Qudum saat baru tiba di Mekah.

2. Haji Ifrad

Haji ifrad yaitu menjalankan ibadah haji terlebih dahulu sebelum


menjalankan ibadah umrah hanya saja masih dalam satu musim haji. Sejak dari
mikatnya Anda sudah berniat untuk ibadah haji dengan segala rangkaiannya sampai
dengan selesai, dengan niat secara ikhlas yang berbunyi : “labbaika hajjan”.

Setelah melakukan ibadah haji barulah mengerjakan ihram untuk umrah.


Haji Ifrad memang paling berat karena jamaah harus selalu mengenakan ihram
sampai selesai melaksanakan kedua ibadah tersebut. Meskipun paling berat namun
haji Ifrad paling tinggi kualitasnya karena itu yang melaksanakan Haji Ifrad tidak
dikenakan Dam atau denda

3. Haji tamattu

Terakhir yaitu haji tamattu yaitu mengerjakan ibadah haji di dahului oleh
umrah. Pada umumnya jamaah asal Indonesia melaksanakan ibadah haji ini. Dalam
pelaksanaan nya haji Tamattu tergolong lebih mudah. yaitu sesampainya di mikat
mikani Anda berniat ihram untuk umrah dengan mengucapkan niat : “labbaika
‘umratan”, kemudian berangkat ke makkah sambil membaca talbiyah, sesampainya
di makkah lalu melakukan tawaf serta sa’i untuk umrahnya, setelah itu bertahallul
dengan mencukur atau menggunting rambut.

Setelah ini semua selesailah umrahnya dan Anda bebas dari status ihram
dan bisa memakai pakaian Anda kembali. Kemudian barulah tanggal 8 zulhijjah
Anda mulai berihram lagi mengerjakan haji dengan segala rangakaiannya sampai
dengan selesai. Jika Anda menjalankan ibadah haji tamattu ini Anda akan di
kenakan dam.

2.5.7 Berhaji dengan Uang Haram

Ada juga orang yang melakukan ibadah haji tetapi biayanya dia dapatkan
dari uang haram, apakah berhaji dengan cara demikian diperbolehkan? Banyak
ulama berpendapat bahwa haji seseorang yang dibiayai dengan uang haram tetap
dianggap sah (yakni cukup untuk menggugurkan kewajibannya berhaji), meskipun
dosanya tidak terhapus karenanya. Akan tetapi menurut Imam Ahmad bahwa
hajinya itu tidak cukup untuk menggugurkan kewajibannya, mengingat sabda Nabi
saw dalam sebuah hadis sahih, “Sungguh Allah adalah Maha Baik, tidak menerima
kecuali yang baik.” Oleh karena itu, setiap orang wajib membersihkan harta yang
akan digunakannya untuk berhaji, dari segala sesuatu yang syubhat apalagi yang
haram. Agar hajinya dapat diterima oleh Allah.

31
2.5.8 Keutamaan-keutamaan Haji

Haji dan umrah memiliki keutamaan-keutamaan di antaranya sebagaimana


diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a. bahwa Nabi saw pernah bersabda, “masa
antara suatu ibadah umrah dan umrah lainnya, adalah masa kaffarah (penghapus)
bagi dosa dan kesalahan yang terjadi di antara kedua-duanya. Sedangkan haji yang
mabrur tidak ada ganjarannya kecuali surga.” Bukhari dan Muslim juga
meriwayatkan sabda Nabi saw dari Abu Hurairah, bahwa Nabi saw pernah
bersabda,”barang siapa yang melaksanakan ibadah haji seraya menjauhkan diri dari
rafatsa dan fushuk maka ia kembali setelah itu (dalam keadaan suci bersih) seperti
pada hari ketika dilahirkan oleh ibunya.

Abu Hurairah meriwayatkan sabda Nabi SAW,”orang orang yang sedang


berhaji dan berumrah adalah tamu-tamu Allah; apabila mereka berdoa kepada-Nya,
niscaya Ia akan mengabulkan; dan apabila mereka memohon ampunan-Nya niscaya
akan mengampuni mereka.

2.6 Nikah

2.6.1 Pengertian Nikah

Kata nikah berasal dari bahasa Arab yakni nikaahun yang merupakan
masdar dari kata kerja nakaha. Sinonimnya tazawwaja kemudian diterjemahkan ke
dalam bahasa Indonesia sebagai perkawinan. Kata nikah sering kita gunakan sebab
telah masuk ke dalam bahasa Indonesia.

Secara bahasa, kata nikah berarti adh-dhammu wattadaakhul (bertindih dan


memasukkan). Dalam kitab lain, kata nikah diartikan dengan adh- dhammu
waljam’u (bertindih dan berkumpul).

Kemudian secara terminology para ulama mendefenisikan nikah dengan


redaksi yang sangat beragam. Sekalipun berbeda namun intinya mereka memiliki
suatu rumusan yang secara makna sama. Berikut dikemukakan beberapa rumusan
para ulama tersebut.

Ulama dari golongan Hanafiyah mendefenisikan nikah dengan :


“Akad yang memiliki kemanfaatan atas sesuatu yang menyenangkan yang
dilakukan dengan sengaja”.

Golongan Malikiyah mendefenisikan nikah dengan ungkapan :


“Akad yang bertujuan hanya untuk bersenang-senang dengan wanita yang
sebelumnya tidak ditentukan maharnya secara jelas serta tidak ada keharamannya
sebagaimana lazimnya diharamkan oleh Al-qur’an atau oleh ijma”.

Golongan Syafi’iyah mendefenisikan nikah dengan ungkapan :

32
“Akad yang mengandung pemilikan untuk melakukan persetubuhan yang
diungkapkan dengan kata-kata ankaha atau tazwij atau dengan kata-kata lain yang
semakna dengan keduanya”.

Golongan Hanabilah mendefenisikan nikah dengan ungkapan :


“Akad yang diucapkan dengan lafaz ankaha atau tazwij untuk memperoleh
manfaat bersenang-senang”.

2.6.2 Syarat Dan Rukun Nikah

1. Rukun nikah
Dalam memahami tentang Rukun perkawinan ini ada beberapa buku dan
pendapat yang mengutarakan dan menguraikan dengan susunan yang berbeda tetapi
tetap sama intinya. Pernikahan yang di dalamnya terdapat akad, layaknya akad-
akad lain yang memerlukan adanya persetujuan kedua belah pihak yang
mengadakan akad. Jumhur ulama sepakat bahwa rukun pernikahan terdiri atas :

a. Adanya calon suami dan istri yang melakukan pernikahan.


b. Adanya wali dari pihak calon pengantin perempuan.
c. Adanya dua orang saksi.
d. Shighat (ijab qabul) akad nikah.

2. Syarat-syarat nikah
Syarat-syarat perkawinan merupakan dasar bagi sahnya perkawinan.
Apabila syarat-syaratnya terpenuhi, maka perkawinan itu sah dan menimbulkan
adanya segala hak dan kewajiban sebagai suami istri.

1. Syarat-syarat calon suami.

a. Beragama Islam
b. Bukan mahram dari calon istri dan jelas halal nikah dengan calon istri
c. Terang (jelas) bahwa calon suami itu betul laki-laki
d. Tidak sedang mempunyai istri empat
e. Tidak mempunyai istri yang haram dimadu dengan calon istri
f. Calon suami rela (tidak dipaksa) untuk melakukan pernikahan
g. Calon suami kenal pada calon istri serta tahu betul calon istrinya halal baginya
h. Tidak sedang melakukan ihrom,
Nabi SAW bersabda : ُ‫طب‬ ُ ََ‫ الَ يـ ُ ْن ِك ُح ْالـ ُمحْ ِر ُم َوالَ يـ ُ ْن َك ُح َوالَ ي ْخ‬Seseorang yang sedang
berihram tidak boleh menikahkan, tidak boleh dinikahkan, dan tidak boleh
mengkhitbah.

2. Syarat-syarat calon istri

a. Beragama Islam
b. Tidak bersuami dan tidak dalam iddah
c. Bukan mahram calon suami

33
d. Terang (jelas) bahwa calon istri itu bukan khuntsa dan betul-betul perempuan
e. Belum pernah di li’an (sumpah li’an) oleh calon suami
f. Tidak sedang dalam ihram
g. Calon istri rela (tidak dipaksa) untuk melakukan pernikahan
h. Telah memberi izin kepada wali untuk menikahkannya,

sebagaimana sabda Nabi SAW : َ‫ى ت ُ ْست َأْذَن‬


‫ى ت ُ ْست َأْ َم َر َوالَ تـ ُ ْن َك ُح ْال ِب ْك ُر َحت ه‬ ِّ ِ َ ‫ال تـ ُ ْن َك ُح ْاْل‬
‫يمَُ َحت ه‬ َ
Tidak boleh seorang janda dinikahkan hingga ia diajak musyawarah/dimintai
pendapat, dan tidak boleh seorang gadis dinikahkan sampai dimintai izinnya

2.6.3 Poligami Menurut Perspektif Hukum Islam


Islam adalah agama yang mengatur kemasyarakatan, Islam mempunyai
konsep kemanusiaan yang luhur yang dibebankan kepada manusia untuk
menegakkannyadan harus menyebarluaskannya kepada seluruh umat manusia.
Risalah Islamiah tidak akan tegak melainkan apabila ada kekuatan yang akan
mendukung adanya pemerintah yang meliputi segala segi baik didalam pertahanan-
keamanan, pendidikan, perdagangan, pertanian, industri dan sektor-sektor lainnya
yang menunjang tegaknya suatu pemerintahan.
Islam memprbolehkan seorang laki-laki musli kawin dengan (4) empat
orang perempuan dalam satu waktu apabila ia sanggup memelihara dan berlaku adil
terhadap istri-istrinya baik dalam masalah nafkah, tempat tinggal, dan pembagian
waktu. Apabila khawatir tidak dapat berlaku adil, maka dilarang kawin dengan
perempuan lebih dari satu. Sebagaimana dijelaskan dalam Firman Allah SWT surat
An-Nisa’ ayat 3:
‫خ ْفت ُ ْم أَاله‬
ِ ‫ع فَإِ ْن‬ َ َ‫نى َوثُل‬
َ ‫ث َو ُر َبا‬ َ ِِّ‫اب لَ ُك ْم مِ نَ الن‬
َ ‫ساءِ َمث ْـ‬ َ ‫ط‬ َ ‫طوا في ِ ْال َيت َا َمى فَا ْن ِك ُحوا َما‬ ُ ‫َو ِإ ْن خِ ْفت ُ ْم أَاله تـ ُ ْق ِس‬
ُ َ َ َ َ ْ ‫اح دَة أ َ ْو َما َملَك‬
٣ ﴾‫ْنى أاله تـَعُولوا ﴿النساء‬ َ ‫يم َْانُ ُك ْم ذلِكَ أد‬
َ ‫َت أ‬ ِ ‫تـَ ْع ِدلُوا فـَ َو‬:
Artinya: “Apabila kamu takut tidak dapat berbuat adil terhadap perempuanyatim
(yang kamu kawini) maka kawinilah wanita-wanita (lain)yang kamu senangi, dua,
tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak dapat berbuat adil maka kawinilah
seorang saja, atau budak-budakmu. Yang demikian itu lebih dekat kepada tidak
berbuat aniaya” (QS. An-Nisa’:3).
Sabab Nuzul surat An-Nisa’ ayat 3
Imam al-Bukhari meriwayatkan bahwa Aisyah r.a. berkata, “Ada seorang
gadis yatim di bawah asuhan walinya. Dia berserikat dengan walinya dalam
masalah hartanya, walinya itu tertarik kepada harta dan kecantikan gadis tersebut.
Akhimva dia bermaksud menikahinya, tanpa memberikan mahar yang layak.”
Maka turunlah ayat ini.
A. Pengertian poligami

34
Poligami merupakan salah satu sistem perkawinan dari bermacam- macam system
perkawinan yang dikenal manusia, seperti Monogami, Poliandri, Poligini. Secara
etimologi poligami berasal dari dua kata yaitu poli atau polus yang berarti banyak,
dan gamein atau gamos yang berarti kawin atau perkawinan.
Menurut buku Ensiklopedi Indonesia poligami berasal dari bahsa Yunani,
(Polus = banyak, dan Gamos = perkawinan). Sistem perkawinan bahwa seorang
laki-laki mempunyai lebih dari seorang istri dalam suatu saat.
Menurut Poerwadarminto poligami itu berarti seorang laki-laki yang
beristri lebih dari seorang. Defenisi yang senada juga diungkapkan oleh Sidi
Gazalba dalam bukunya Masyarakat Islam Pengantar Sosiologi dan Sosiografi,
sebagai berikut: “Poligami yaitu seorang laki-laki mengawini lebih dari seorang
perempuan
B. Syarat-syarat poligami
Islam meletakkan poligami dalam proporsinya ketika agama-agama lain dan
masyarakat pada masa lalu memberlakukan poligami tanpa batas dan sebab
tertentu, maka Islam membolehkan poligami dengan sebab-sebab tertentu pula.
Dengan demikian Islam memberlakukan syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi
oleh seorang suami ketika akan berpoligami yang otomatis jika tidak sanggup
memenuhi syarat-syarat tersebut maka Islam mengharamkan seorang suami
melakukan poligami. Syarat-syarat poligami menurut Al-qur’an sudah tercantum
dalam dasar hukum dibolehkannya poligami itu sendiri, yaitu dalam surat An-nisa’
ayat 3 yang berbunyi:
ََ‫ع فَإِ ْن خِ ْفت ُ ْم أَاله‬ َ َ‫نى َوثُل‬
َ ‫ث َو ُربَا‬ َ ِِّ‫اب لَ ُك ْم مِ نَ الن‬
َ ْ‫ساءِ َمثـ‬ َ ‫ط‬َ ‫طوا في ِ ْاليَت َا َمى فَا ْن ِك ُحوا َما‬
ُ ‫إِ ْن خِ ْفت ُ ْم أَاله تـ ُ ْق ِس‬
٣﴾‫ْنى أَاله تـَعُولُوا ﴿النساء‬ َ
َ ‫يم َْانُ ُك ْم ذلِكَ أَد‬
َ َ ‫َت أ‬
ْ ‫اح دَة أ َ ْو َما َملَك‬
ِ ‫تـَ ْع ِدلُوا فـَ َو‬:
Artinya: “Apabila kamu takut tidak dapat berbuat adil terhadap perempuanyatim
(yang kamu kawini) maka kawinilah wanita-wanita (lain)yang kamu senangi, dua,
tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak dapat berbuat adil maka kawinilah
seorang saja, atau budak-budakmu. Yang demikian itu lebih dekat kepada tidak
berbuat aniaya” (QS. An-Nisa’:3).

2.6.4 Keutamaan Menikah

Penyempurna Agama

Keutamaan menikah dalam Islam yang pertama yaitu sebagai penyempurna agama.
Menikah merupakan salah satu cara untuk menyempurnakan agama. Dengan
menikah, maka separuh agama telah terpenuhi. Jadi salah satu keutamaan menikah
ialah penyempurnakan agama yang belum terpenuhi agar semakin kuat seorang
muslim dalam beribadah.

35
Nabi Muhammad SAW bersabda:

"Apabila seorang hamba menikah maka telah sempurna separuh agamanya, maka
takutlah kepada Allah SWT untuk separuh sisanya" (HR. Al Baihaqi dalam
Syu'abul Iman).

Menjaga Diri dari Hal-Hal yang Dilarang Agama

Dalam Islam, menikah merupakan hal yang mulia, karena pernikahan


merupakan sebuah jalan yang paling bermanfaat dalam menjaga kehormatan diri
serta terhindar dari hal-hal yang dilarang oleh agama. Hal ini sesuai dengan HR.
Muslim No. 1.400 di mana Rasullullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Wahai para pemuda! Barangsiapa di antara kalian berkemampuan untuk menikah,


maka menikahlah, karena nikah itu lebih menundukkan pandangan, lebih
membentengi farji (kemaluan). Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka
hendaklah ia shaum (puasa), karena shaum itu dapat membentengi dirinya."

Keutamaan menikah dalam Islam ialah untuk menundukkan pandangan


serta membentengi diri dari perbuatan keji dan kotor yang dapat merendahkan
martabat seseorang. Dalam Islam, sebuah pernikahan akan memelihara serta
melindungi dari kerusakan serta kekacauan yang ada di masyarakat.

Melaksanakan Sunah Rasul

Keutamaan menikah dalam Islam selanjutnya adalah melaksanakan sunah


rasul, sebagai panutan dalam menjalani kehidupan. Sebagai seorang muslim tentu
saja kita memiliki panutan dalam menjalankan kehidupan sehari-hari. Pernikahan
merupakan salah satu sunah dari Rasulullah. Hal ini senada dengan sabda Nabi
Muhammad SAW berikut:

Artinya: "Dari Aisyah r.a., ia berkata, Rasulullah saw. bersabda, “Menikah itu
termasuk dari sunahku, siapa yang tidak mengamalkan sunahku, maka ia tidak
mengikuti jalanku. Menikahlah, karena sungguh aku membanggakan kalian atas
umat-umat yang lainnya, siapa yang mempunyai kekayaan, maka menikahlah, dan
siapa yang tidak mampu maka hendaklah ia berpuasa, karena sungguh puasa itu
tameng baginya.” HR. Ibnu Majah.

36
BAB III

PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

Sebagai umat islam sepatutnya kita mengamalkan dan mengajarkan hukum


fiqih yang telah telah disepakati oleh para ulama dan yang tertera pada kalamullah
yaitu alquran dan sunnah nabi dalam pelaksanaan taharah, sholat, zakat, Puasa,
Haji, Nikah
3.2 SARAN

Agama Islam sangat memperhatikan masalah thararah karena dalam ilmu


fiqih poin pertama yang dijumpai adalah masalah thaharah. Shalat, adalah tiang
agama karena tanpa shalat berartikita sama saja meruntuhkan agama. Ibarat rumah,
kalau tidak ada tiangnya tentu akan runtuh. Puasa adalah menahan nafsu Begitu
pula dengan keutamaan pentinya zakat dan haji yang menjadi kewajiban bagi umat
islam. Semoga makalahi ni sangat bermanfaat bagi kita semua. Jika terdapat
kesalahan harap dimaklumi, karena manusia tidak pernah luput dari kesalahan

37
DAFTAR PUSTAKA

Kompasiana. (2023). Thaharah, Alat Bersuci, Macam-macam Air, dan Macam-


macam Najis dan Cara Menyucikannya | FIQH 1. Kompasiana.
https://www.kompasiana.com/tuti190302/63e39f164addee6e8f4fceb3/thahar
ah-alat-bersuci-macam-macam-air-dan-macam-macam-najis-dan-cara-
menyucikannya-fiqh-1?page=all#section1

Ramadanti, F. (2023). Macam-Macam Najis dan Cara Mensucikannya. Detik


Hikmah. https://www.detik.com/hikmah/khazanah/d-6650149/macam-
macam-najis-dan-cara-mensucikannya

Sitoresmi, A. R. (2022). Istinja Adalah Membersihkan Najis dalam Islam, Pahami


Hukum dan Tata Caranya. Liputan 6.
https://www.liputan6.com/hot/read/5127925/istinja-adalah-membersihkan-
najis-dalam-islam-pahami-hukum-dan-tata-caranya?page=5

Tim. (2020). Pengertian Thaharah dan Pembagiannya. CNN Indonesia.


https://www.cnnindonesia.com/edukasi/20201207113219-569-
578834/pengertian-thaharah-dan-pembagiannya

38

Anda mungkin juga menyukai