Anda di halaman 1dari 30

MAKALAH

THAHARAH

Disusun untuk memenuhi tugas praktik ibadah

Dosen pembimbing:
Drs. Rojudin, M.Ag

Disusun oleh:
Iva Fadhillah
Kinanthi Zahra
Heru Gunawan
Hasbi As-Shiddiq
Iqmal Fadlurrahman

KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM


FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGRI SUNAN GUNUNG DJATI
2022
Daftar Isi

KATA PENGANTAR……………………………………………………………i
DAFTAR ISI……..………………………………………………………………ii

BAB 1 PENDAHULUAN………………...………………………………………1
BAB 2 PEMBAHASAN…………………………………………………………..2
BAB 3 PENUTUP………………………………………………………………..26

DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………...27

ii
KATA PENGANTAR

Segala puji serta syukur bagi Allah SWT, yang telah melimpahkan kasih
sayang dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang
berjudul Thaharah setelah selama beberapa hari diberi kesempatan menyelami
ilmu-ilmu ibadah yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW (shalawat dan salam
kami curahkan kepada beliau) dalam kegiatan praktik ibadah.
Terima kasih sebesar-besarnya kami haturkan kepada Bapak Drs. Rojudin,
M.Ag selalu dosen pembimbing praktik ibadah kami atas kebaikan dan keberkahan
ilmu yang telah beliau berikan.
Semoga tersusunnya makalah ini dapat menguatkan pemahaman dan
semangat kami dalam beribadah.

Bandung, 25 Februari 2022


Penyusun

i
BAB I
PENDAHULUAN

Bahasan tentang thaharah merupakan bahasan penting yang perlu dipahami


dan dimengerti oleh seluruh umat Islam. Bahkan para ulama penulis kitab fikih
mendahulukan kitab At-Thaharah atas selainnya.
Imam Ash-Shan’ani berkata: “Beliau (Ibnu Hajar) memulai dengan (kitab)
thaharah karena mengikuti tata cara para penulis (buku fikih) dan untuk
mendahulukan perkara agama dari selainnya. Juga untuk memperhatikan amalan
yang terpenting, yaitu shalat. Ketika thaharah menjadi salah satu syarat shalat,
maka beliau memulai dengannya. Kemudian ketika air adalah yang diperintahkan
secara asal untuk dijadikan alat bersuci maka beliau dahulukan juga”.
Demikian juga Imam Muhammad bin Ali Asy-Syaukani menjelaskan sebab
didahulukannya kitab Ath-Thaharah dari yang lainnya dalam penulisan kitab fikih
dengan menyatakan, “ketika kunci shalat yang merupakan tiang agama maka para
penulis kitab fikih membuka karya tulis mereka dengannya”.
Berikut akan kita kaji terkait perbedaan para imam madzhab dalam hal
bersuci, baik itu alat yang digunakan untuk bersuci, tata cara wudhu, mandi wajib,
tayamum, serta beberapa hal yang membatalkannya.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Thaharah
Secara umum, kata thaharah menurut bahasa artinya bersuci dari sesuatu
yang kotor, baik yang kotor itu bersifat hissiy (dapat dirasakan oleh indera),
maupun maknawi (sebaliknya). Kotor yang bersifat maknawi ini diartikan sebagai
dosa, sebagaimana hadist riwayat Ibnu ‘Abbas r.a, Bahwa baginda Nabi
Muhammad SAW bersabda, “Sakit akan menjadi pembersih (thahurun) dalam
bagimu insyaAllah”. Dalam hadist lain, Rasulullah SAW bersabda
“Sesungguhnya sakit itu adalah pencuci sebagian dosa”.
Thaharah, secara istilah apabila dikaji menurut beberapa madzhab,
madzhab Hanafi misalnya, beliau mengartikan “thaharah” adalah bersih dari
hadats atau khabas. Bersih disini maksudnya mungkin sengaja dibersihkan atau
juga bersih dengan sendirinya, seperti terkena air yang banyak sehingga najisnya
hilang. Hadats adalah suatu yang bersifat syar’i yang menempati pada sebagian
atau seluruh badan sehingga menghilangkan kesucian. Hadats disebut juga
najasah hukmiyyah, artinya sang pembuat syariat menghukumi jika seorang
berhadats maka dia dianggap memiliki najis dan dilarang untuk melakukan shalat
sebagaimana juga dilarang ketika dia memiliki najis yang dzahir. Sedangkan
khabats, secara istilah adalah suatu jenis materi yang kotor dan menjijikkan yang
diperintahkan oleh pemilik syariat untuk dihilangkan dan dibersihkan.
Menurut madzhab Maliki, “thaharah” ialah sifat hukmiyyah yang orang
memilikinya dibolehkan shalat dengan pakaian yang dipakainya dan tempat yang
dia pakai untuk shalat. Sifat hukmiyyah berarti sifat yang bersifat maknawi yang
ditentukan oleh sang pemilik hukum sebagai syarat sahnya shalat. Dari pemikiran
madzhab ini menurut Mahmud Syalthut, bahwa thaharah merupakan sesuatu yang
bersifat bathiniy, yang lebih bersifat perkiraan (Dzaniniyyah), bukan sesuatu yang
dapat dirasakan oleh indera (hissiy).
Madzhab Syafi’i, thaharah digunakan untuk dua makna. Pertama;
mengerjakan sesuatu yang dengannya diperbolehkan shalat, seperti wudhu,

2
tayammum dan menghilangkan najis, atau mengerjakan sesuatu yang semakna
dengan wudhu dan tayamum, seperti wudhu ketika masih keadaan berwudhu,
tayamum sunnah dan mandi sunnah. Singkatnya, thaharah adalah nama untuk
perbuatan seseorang. Kedua; thaharah berarti juga suci dari semua najis. Mahmud
menambahkannya dengan hadast, hadast dapat dihilangkan dengan wudhu dan
mandi besar apabila menanggung hadast besar. Adapun najis dapat hilang dengan
mencucinya. Inilah yang menjadi tujuan dari Thaharah. Sehingga apabila
diucabkan, pengertiannya adalah hilangnya najis dan hadast sekaligus.
Menurut Al Hanabillah, Thaharah menurut syara’ ialah hilangnya hadast
atau yang semisalnya serta hilangnya najis atau huku hadast dan najis itu sendiri.
Adapun hilangnya hadast berarti hilangnya sifat yang menghalangi sholat dan
yang searti dengannya.

B. Alat-Alat yang Digunakan untuk Thaharah


Bersuci tidak sah hukumnya menggunakan selain air, demikian itu menurut
pendapat mayoritas ulama’. Meskipun ada ulama’ yang menyatakan bahwa api
dan matahari itu dapat menghilangkan najis. Seperti pendapat imam Hanafi,
menurutnya jika ada kulit bangkai menjadi kering oleh sinar matahari, maka
hukumnya suci meski tidak disamak. Demikian pula jika diatas tanah terdapat
najis, kemudian kering oleh sinar matahari, maka tempat itu menjadi suci dan
dapat dipergunakan untuk sholat. Namun tempat itu tidak dapat digunakan untuk
bertayamum. Selain itu, tanah, debu, dan batu juga dapat digunakan untuk bersuci,
tetapi dengan batasan tertentu.

C. Macam-macam Air
Air Yang dapat dipakai bersuci ialah air Yang bersih (suci dan mensucikan)
yaitu air Yang turun dari langit atau keluar dari bumi Yang belum dipakai untuk
bercuci.
Air yang suci dan mensucikan ialah:
1. Air hujan
2. Air sumur
3. Air laut

3
4. Air sungai
5. Air salju
6. Air telaga
7. Air embun

D. Pembagian Air
Para ulama telah membagi air ini menjadi beberapa keadaan, terkait
dengan hukumnya untuk digunakan untuk bersuci. Kebanyakan yang
kita dapat di dalam kitab fiqh, mereka membaginya menjadi 4 macam,
yaitu: air mutlaq, air musta’mal, air yang tercampur benda yang suci,
dan air yang tercampur dengan benda yang najis.

1. Air Mutlaq
Adalah keadaan air yang belum mengalami proses apapun. Air itu
masih asli, dalam arti belum digunakan untuk bersuci, tidak tercampur
benda suci atau pun benda najis. Air mutlaq ini hukumnya suci dan sah
untuk digunakan bersuci, yaitu untuk berwudhu’ dan mandi janabah.
Dalam fiqih dikenal dengan istilah ‫طاهر لنفسه مطهر لغيره‬.
Air yang suci itu banyak sekali, namun tidak semua air yang suci
itu bisa digunakan untuk mensucikan. Air suci adalah air yang boleh
digunakan atau dikonsumsi, misalnya air teh, air kelapa atau air-air
lainnya. Namun belum tentu boleh digunakan untuk mensucikan
seperti untuk berwudhu` atau mandi. Maka ada air yang suci tapi tidak
mensucikan namun setiap air yang mensucikan, pastilah air yang suci
hukumnya. Diantara air-air yang termasuk dalam kelompok suci dan
mensucikan ini antara lain adalah: Air hujan, air laut, air sungai, air
sumur, air embun, air sumber, air es/salju. Dan yang menjadi
perbedaan hukum diantara para imam madzhab adalah megenai Air
Zam-zam.

• Mazhab Al-Hanafiyah, mazhab Asy-Syafi'iyah

4
Mazhab Al-Hanafiyah, mazhab Asy-Syafi'iyah dan salah satu
riwayat dari Imam Ahmad berpendapat bahwa air zamzam boleh
digunakan untuk mengangkat hadats, yaitu berwudhu atau mandi
janabah. Namun kurang disukai (karahah) kalau digunakan untuk
membersihkan najis. Hal itu mengingat kedudukan air zamzam yang
sangat mulia, sehingga mereka cenderung kurang menyukai bisa kita
membersihakn najis dengan air zamzam.
• Mazhab Al-Malikiyah
Mazhab Al-Malikiyah secara resmi tidak membedakan antara
kebolehan air zamzam digunakan untuk mengangkat hadats atau untuk
membersihkan najis. Keduanya sah-sah saja tanpa ada karahah. Dalam
pandangan mereka, air zamzam boleh digunakan untuk bersuci, baik
untuk wudhu, mandi, istinja’ ataupun menghilangkan najis dan kotoran
pada badan, pakaian dan benda-benda. Semua itu tidak mengurangi
kehormatan air zam-zam.

• Imam Ahmad bin Hanbal


Imam Ahmad bin Hanbal dalam salah satu riwayat disebutkan
bahwa beliau berpendapat adalah termasuk karahah (kurang disukai)
bila kita menggunakan air zamzam untuk bersuci, baik untuk
mengangkat hadats (wudhu atau mandi janabah), apalagi untuk
membersihkan najis.
Pendapat ini didukung dengan dalil atsar dari shahabat Nabi SAW
yaitu Ibnu Abbas radhiyallahu anhu:
ِ ‫ب أ َ ْو لمِ تُ ََ َو‬ ُ
‫ضىء َح َّل َو بَ َّل‬ ٍ ‫َار‬ َ ‫الَ أحِ لُّ َها ِل ُم ْغت َ ِس ٍل يَ ْغت َ ِس ُل في ِ ال َمس ِْج ِد َوه‬
ِ ‫ِي ِلش‬

2. Air Musta’mal
Kata musta'mal berasal dari dasar ista'mala - yasta'milu ( - ‫استعمل‬
‫ )يستعمل‬yang bermakna menggunakan. Maka air musta'mal maksudnya
adalah air yang sudah digunakan untuk melakukan thaharah, yaitu
berwudhu atau mandi janabah. Air sisa bekas cuci tangan, cuci muka,
cuci kaki atau sisa mandi biasa yang bukan mandi janabah, statusnya

5
tetap air mutlak yang bersifat suci dan mensucikan. Air itu tidak
disebut sebagai air musta’mal, karena bukan digunakan untuk wudhu
atau mandi janabah.
Perbedaan pendapat apakah air musta’mal itu boleh digunakan lagi
untuk berwudhu’ dan mandi janabah itu dipicu dari perbedaan nash dari
Rasulullah SAW . Beberapa nash hadits itu antara lain :
.‫ أَ ْخ َر َجهُ ُم ْسلِم‬.‫ّللَا ال يَ ْغت َ ِس ُل أَ َحدُ ُك ْم فِي ا َ ْل َماءِ اَلدَّائ ِِم َوه َُو ُجنُب‬ ُ ‫ قَا َل َر‬:َ‫ع ْن أَبِي ه َُري َْرة َ ض قَال‬
ِ َّ َ ‫سو ُل‬ َ ‫َو‬
Dari Abi Hurairah ra berkata bahwa Rasulullah SAW
bersabda,”Janganlah sekali- kali seorang kamu mandi di air yang diam
dalam keadaan junub. (HR. Muslim)

:‫ ث ُ َّم َي ْغت َ ِس ُل فِي ِه َو ِل ُم ْسل ٍِم‬,‫ ال َيبُولَ َّن أ َ َحدُ ُك ْم فِي ا َ ْل َماءِ اَلدَّائ ِِم اَلَّذِي ال َيجْ ِري‬:ِ‫َاري‬
ِ ‫َول ِْلبُخ‬
‫ َوالَ يَ ْغت َ ِس ُل فِي ِه مِ ْن اَ ْل َجنَابَ ِة‬:َ‫وألَبِي دَ ُاود‬."َُ ‫"مِ ْنه‬

Janganlah sekali-kali seorang kamu kencing di air yang diam tidak


mengalir, kemudian dia mandi di dalam air itu”. Riwayat Muslim,”Mandi
dari air itu”. Dalam riwayat Abu Daud,”Janganlah mandi janabah di
dalam air itu. (HR. Muslim)

• Ulama Al-Hanafiyah
Menurut mazhab ini bahwa yang menjadi musta’mal adalah air
yang membasahi tubuh saja dan bukan air yang tersisa di dalam wadah.
Air itu langsung memiliki hukum musta’mal saat dia menetes dari tubuh
sebagai sisa wudhu` atau mandi.
Bagi mereka, air musta’mal ini hukumnya suci tapi tidak bisa
mensucikan. Artinya air itu suci tidak najis, tapi tidak bisa digunakan
lagi untuk wudhu` atau mandi.

• Ulama Al-Malikiyah
Dan sebagaimana Al-Hanafiyah, mereka pun mengatakan bahwa
yang musta’mal hanyalah air bekas wudhu atau mandi yang menetes

6
dari tubuh seseorang. Namun yang membedakan adalah bahwa
air musta’mal dalam pendapat mereka itu suci dan mensucikan. Artinya,
bisa dan sah digunakan digunakan lagi untuk berwudhu` atau mandi
sunnah selama ada air yang lainnya meski dengan karahah (kurang
disukai).

• Ulama Asy-Syafi`iyyah
Air musta’mal dalam pengertian mereka adalah air sedikit yang
telah digunakan untuk mengangkat hadats dalam fardhu taharah dari
hadats. Air itu menjadi musta’mal apabila jumlahnya sedikit yang
diciduk dengan niat untuk wudhu` atau mandi meski untuk untuk
mencuci tangan yang merupakan bagian dari sunnah wudhu`. Namun
bila niatnya hanya untuk menciduknya yang tidak berkaitan dengan
wudhu`, maka belum lagi dianggap musta’mal. Termasuk dalam
air musta’mal adalah air mandi baik mandinya orang yang masuk Islam
atau mandinya mayit atau mandinya orang yang sembuh dari gila. Dan
air itu baru dikatakan musta’mal kalau sudah lepas atau menetes dari
tubuh.
Air musta’mal dalam mazhab ini hukumnya tidak bisa digunakan
untuk berwudhu` atau untuk mandi atau untuk mencuci najis. Karena
statusnya suci tapi tidak mensucikan.

• Ulama Al-Hanabilah
Air musta’mal dalam pengertian mereka adalah air yang telah
digunakan untuk bersuci dari hadats kecil (wudhu`) atau hadats besar
(mandi) atau untuk menghilangkan najis pada pencucian yang terakhir
dari 7 kali pencucian. Dan untuk itu air tidak mengalami perubahan baik
warna, rasa maupun aromanya.
Selain itu air bekas memandikan jenazah pun termasuk
air musta’mal. Namun bila air itu digunakan untuk mencuci atau
membasuh sesuatu yang di luar kerangka ibadah, maka tidak dikatakan
air musta’mal. Seperti mencuci muka yang bukan dalam rangkaian

7
ibadah ritual wudhu`. Atau mencuci tangan yang juga tidak ada kaitan
dengan ritual ibadah wudhu`. Dan selama air itu sedang digunakan
untuk berwudhu` atau mandi, maka belum dikatakan musta’mal.
Hukum musta’mal baru jatuh bila seseorang sudah selesai
menggunakan air itu untuk wudhu` atau mandi, lalu melakukan
pekerjaan lainnya dan datang lagi untuk wudhu` atau mandi lagi dengan
air yang sama. Barulah saat itu dikatakan bahwa air itu musta’mal.
Mazhab ini juga mengatakan bahwa bila ada sedikit tetesan
air musta’mal yang jatuh ke dalam air yang jumlahnya kurang dari 2 c,
maka tidak mengakibatkan air itu menjadi `tertular` ke-musta’mal-
annya.

Batasan Volume 2 Qullah


Para ulama ketika membedakan air musta'mal dan bukan
(ghairu) musta'mal, membuat batas dengan ukuran volume air.
Fungsinya sebagai batas minimal untuk bisa dikatakan suatu air
menjadi musta'mal. Dasarnya adalah sabda Rasulullah SAW:
َّ َ ‫سو ُل‬
ِ‫ّللَا‬ ُ ‫ قَا َل َر‬:َ‫ع ْن ُه َما قَال‬ َّ َ ‫ي‬
َ ُ‫ّللَا‬ َ ‫ض‬ِ ‫ع َم َر َر‬ َّ َ ‫ع ْب ِد‬
ُ ‫ّللَاِ ب ِْن‬ َ s ‫إِذَا َكانَ اَ ْل َما َء قُلَّتَي ِْن لَ ْم يَ ْحمِ ْل‬
َ ‫ع ْن‬
‫أ َ ْخ َر َجهُ اَأل َ ْربَعَة‬-‫س‬
ْ ‫ لَ ْم يَ ْن ُج‬: ٍ‫ َوفِي لَ ْفظ‬-‫ث‬َ َ‫ا َ ْل َخب‬

Abdullah bin Umar ra. Mengatakan, “Rasulullah SAW telah


bersabda: “Jika air itu telah mencapai dua qullah, tidak mengandung
kotoran. Dalam lafadz lain:”tidak najis. (HR Abu Dawud, Tirmidhi,
Nasa’i, Ibnu Majah )
Disebutkan di dalam hadits ini bahwa ukuran volume air yang
membatasai )kemusta'malan air adalah 2 qullah. Jadi istilah qullah
adalah ukuran volume air. Istilah qullah adalah ukuran yang digunakan
di masa Rasulullah SAW masih hidup. Bahkan 2 abad sesudahnya, para
ulama fiqih di Baghdad dan di Mesir pun sudah tidak lagi menggunakan
skala ukuran qullah. Mereka menggunakan ukuran rithl yang sering
diterjemahkan dengan istilah kati. Para ulama kontemporer kemudian

8
mencoba mengukurnya dengan besaran zaman sekarang. Dan ternyata
dalam ukuran masa kini kira-kira sejumlah 270 liter.
Jadi bila air dalam suatu wadah jumlahnya kurang dari 270 liter,
lalu digunakan untuk berwudhu, mandi janabah atau kemasukan air
yang sudah digunakan untuk berwudhu`, maka air itu dianggap sudah
musta’mal. Air itu suci secara fisik, tapi tidak bisa digunakan untuk
bersuci (berwudhu` atau mandi). Tapi bila bukan digunakan untuk
wudhu` seperti cuci tangan biasa, maka tidak dikategorikan
air musta’mal.

3. Air Yang Tercampur Dengan Barang Yang Suci


Air tercampur dengan barang suci atau barang yang bukan najis
hukumnya tetap suci. Seperti air yang tercampur dengan sabun, kapur
barus, tepung dan lainnya. Selama nama air itu masih melekat
padanya. Namun bila air telah keluar dari karakternya sebagai air
mutlak atau murni, air itu hukumnya suci namun tidak mensucikan.
Misalnya air dicampur dengan susu, meski air itu suci dan susu juga
benda suci, tetapi campuran antara air dan susu sudah menghilangkan
sifat utama air murni menjadi larutan susu. Air yang seperti ini tidak
lagi bisa dikatakan air mutlak, sehingga secara hukum tidak sah kalau
digunakan untuk berwudhu' atau mandi janabah. Meski pun masih
tetap suci.
Tentang kapur barus, ada hadits yang menyebutkan bahwa
Rasulullah SAW memerintahkan kita untuk memandikan mayat
dengan menggunakannya.
“Dari Ummi Athiyyah radhiyallahu ‘anha bahwa Rasulullah SAW
bersabda,`Mandikanlah dia tiga kali, lima kali atau lebih banyak dari
itu dengan air sidr (bidara) dan jadikanlah yang paling akhir air
kapur barus”. (HR. Bukhari 1258, Muslim 939, Abu Daud 3142,
Tirmizy 990, An-Nasai 1880 dan Ibnu Majah 1458).
Dan mayat itu tidak dimandikan kecuali dengan menggunakan air
yang suci dan mensucikan, sehingga air kapus dan sidr itu hukumnya

9
termasuk yang suci dan mensucikan. Sedangkan tentang air yang
tercampur dengan tepung, ada hadits yang diriwayatkan oleh Ummu
Hani: “Dari Ummu Hani’ bahwa Rasulullah SAW mandi bersama
Maimunah ra dari satu wadah yang sama, tempat yang merupakan
sisa dari tepung.” (HR. Nasai 240, Ibnu Khuzaimah 240).

4. Air Mutanajis
Air mutanajjis artinya adalah air yang tercampur dengan barang
atau benda yang najis. Air yang tercampur dengan benda najis itu bisa
memiliki dua kemungkinan hukum, bisa ikut menjadi najis juga atau
bisa juga sebaliknya yaitu ikut tidak menjadi najis. Keduanya
tergantung dari apakah air itu mengalami perubahan atau tidak, setelah
tercampur benda yang najis. Dan perubahan itu sangat erat kaitannya
dengan perbandingan jumlah air dan besarnya noda najis.
Pada air yang volumenya sedikit seperti air di dalam kolam kamar
mandi, secara logika bila kemasukan ke dalamnya bangkai anjing, kita
akan mengatakan bahwa air itu menjadi mutanajjis atau ikut menjadi
najis juga. Karena air itu sudah tercemar dengan perbandingan benda
najis yang besar dan jumlah volume air yang kecil.

5. Air Musakhkhan Musyammasy


Air musakhkhan (‫ )مسخن‬artinya adalah air yang dipanaskan.
Sedangkan musyammas (‫ )مشمس‬diambil dari kata syams yang artinya
matahari. Jadi air musakhkhan musyammas artinya adalah air yang
berubah suhunya menjadi panas akibat sinar matahari. Sedangkan air
yang dipanaskan dengan kompor atau dengan pemanas listrik, tidak
termasuk ke dalam pembahasan disini.
Hukum air ini untuk digunakan berthaharah menjadi khilaf di
kalangan ulama:
a. Pendapat yang membolehkan mutlak
Pendapat ini mengatakan tidak ada bedanya antara air yang
dipanaskan oleh matahari atau air putih biasa. Keduanya sama-

10
sama suci dan mensucikan dan boleh digunakan tanpa ada
kemakruhan. Yang berpendapat seperti ini adalah umumnya
jumhur mazhab Al-Hanafiyah dan Al-Hanabilah. Bahkan
sebagian ulama di kalangan Asy-Syafi'iyah seperti Ar-Ruyani
dan Al-Imam An-Nawawi sekali pun juga berpendapat sama.
b. Pendapat yang memakruhkan
Pendapat ini cenderung memakruhkan air yang dipanaskan oleh
sinar matahari. Di antara mereka yang memakruhkannya adalah
mazhab Al-Malikiyah dalam pendapat yang muktamad,
sebagian ulama di kalangan mazhab dan sebagian Al-
Hanafiyah.

Pendapat yang kedua ini umumnya mengacu kepada atsar dari


shahabat Nabi SAW, Umar bin Al-Khattab radhiyallahu anhu, yang
memakruhkan mandi dengan air yang dipanaskan oleh sinar matahari.
‫ش َّمس‬
َ ‫سا َل باِل َماءِ ال ُم‬ ِ ُ‫أ َنَّهُ َكانَ يَ ْك َره‬
َ ِ‫اإل ْغت‬

Larangan ini disinyalir berdasarkan kenyataan bahwa air yang


dipanaskan lewat sinar matahari langsung akan berdampak negatif
kepada kesehatan, sebagaimana dikatakan oleh para pendukungnya
sebagai (‫)يورث البرص‬, yakni mengakibatkan penyakit belang.

ُ ‫الَ ت َ ْف َعلي ِ َيا ُح َمي َْراء فَإِنَّ َها ي ُْو ِر‬


‫ث ال َب َرص‬

Kemakruhan yang mereka kemukakan sesungguhnya hanya berada


pada wilayah kesehatan, bukan pada wilayah syariah. Namun mereka
yang mendukung pendapat ini, seperti Ad-Dardir menyatakan
air musyammas musakhkhan ini menjadi makruh digunakan untuk
berthaharah, manakala dilakukan di negeri yang panasnya sangat
menyengat seperti di Hijaz (Saudi Arabia). Sedangkan negeri yang tidak
mengalami panas yang ekstrim seperti di Mesir atau Rum, hukum
makruhnya tidak berlaku.

11
6. Air Musakhkhan Ghairu Musyammasy
Musakhkhan ghairu musyammasy artinya adalah air yang menjadi
panas tapi tidak karena terkena sinar matahari langsung. Al-
Malikiyah dan Asy-Syafi'iyah mengatakan bahwa air yang ini tidak
makruh untuk digunakan wudhu atau mandi janabah, lantaran tidak ada
dalil yang memakruhkan. Bahkan Al-Imam Asy-
Syafi'i rahimahullah mengatakan meski air itu menjadi panas lantaran
panasnya benda najis, tetap saja air itu boleh digunakan untuk
berthaharah.
Namun bila air itu bersuhu sangat tinggi sehingga sulit untuk
menyempurnakan wudhu dengan betul-betul meratakan anggota wudhu
dan air secara benar-benar (isbagh), hukumnya menjadi makruh, bukan
karena panasnya tetapi karena tidak bisa isbagh.

Hanafi Maliki Syafi’I Hanbali


Air Mutlaq Suci Suci Suci Suci
mensucikan mensucikan mensucikan mensucikan
Air musta’mal Suci tidak Suci Suci tdak Suci tidak
mensucikan mensucikan menscikan mensucikan
Air Mutanajis Boleh
Air Musakhkhan Makruh Boleh Boleh
Musyammasy
Air Musakhkhan Boleh Boleh
Ghairu Musyammasy

E. Najis
Pembagian najis diantaranya yaitu sebagai berikut:
a. Mukhoffafah(najis ringan)

12
Seperti najis kencingnya anak bayi laki-laki yang belum makan
selain air susu ibunya (selain obat) dan umurnya belum genap 2 tahun.
Maka cara menyucikannya cukup dipercikkan air sampai rata.
b. Mutawasithoh (najis sedang)
Yaitu semua najis selain yang tersebut di atas, dan najis ini di bagi
menjadi macam:
Najis yang ada aniyahnya (bekas) yang mempunyai warna, bau
atau rasa, maka cara menyucikannya harus dihilangkan bekasnya lalu
disiram dengan air secara merata.
Najis yang tidak berbekas (hukmiyah) yaitu tidak ada warna, bau
atau rasa, maka cara menyucikannya cukup dengan menyiramya dengan
air secara merata.

c. Mughaladoh (najis yang berat)


Seperti najisnya babi atau anjing atau anak dari salah satu
diantaranya, dalam keadaan basah atau kering, maka cara membasuhnya
dengan terlebih dahulu menghilangkan bekasnya lalu dibasuh dengan air
7 kali dan debu (bisa air dulu 5 kali, lalu debu, lalu air lagi 1 kali atau air
dicampur dengan debu dan dibasuh 7 kali).

F. Khamr
Para imam madzhab sepakat tentang najisnya khamr. Kecuali
sebuah riwayat dari Abu Dawud adz-Zhahiriy yang mengatakan
kesuciannya tetapi mengharamkannya untuk dikonsumsi. Mereka
bersepakat apabila khamr berubah menjadi cuka dengan sendirinya,
maka hukumnya menjadi suci. Namun jika khamr berubah menjadi cuka
karena dicampur dengan sesuatu, menurut Syafi’i, dan Hambali adalah
tidak suci.
1. Anjing dan Babi
Syafi’i dan Hambali memberi pendapat bahwa anjing dan
babi adalah najis. Sesuatiu yang terjilat oleh anjing harus
dibasuh tujuh kali. Menurut Hanafi Anjing adalah najis, tetapi

13
bekas jilatannya boleh dicuci sebagaimana kita mencuci najis
lainnya. Jika dibasuh sekali sudah diduga najisnya hilang, maka
basuhannya sudah dicukupkan 1 kali tersebut. Namun apabila
diduga belum hilang najisnya, maka harus dibasuh berkali,kali,
meskipun 20 kali lebih. Sedangkan menurut madzhab Maliki,
anjing adalah suci dan bekas jilatannya tidak najis.
Babi disamakan dengan anjing kenajisannya,sehingga
bekas jilatannya harus dibasuh sampai tujuh kali. Hal ini
menurut pendapat yang paling shahih dalam madzhab Asy-
Syafi’i. Imam Maliki berpendapat bahwa babi itu suci ketika
masih hidup, karena tidak ada dalil yang menajiskannya.
jikalau Imam Hanafi Najis babi harus dibasuh seperti najis-
najis lainnya.
2. Air Kencing Bayi
Menurut madzhab Syafi’i dan Hanafi mensucikan air
kencing bayi laki-laki yang belum makan sesuatu apapun
keciali ASI, ialah cukup dengan memercikkannya ketempat
yang najis. Jika bayi perempuan maka harus dibasuh dan
disiram. Maliki keduanya harus di hapus dan hukum keduanya
sama. Hambali berpendapat bahwa air kencing perempuan
yang masih bayi adalah suci.
3. Bangkai
a. Kulit
Menurut madzhab Hanafi semua kulit binatang
dapat menjadi suci dengan disamak, kecuali kulit anjing
dan babi. Begitu halnya dengan madzhab Syafi’i , hanya
saja keturunan dari anjing dan babi atau salah satunya juga
dihukumi sama dengan anjing dan babi. Maliki kulit tidak
menjadi suci, tetapi dapat dipergunakan untuk sesuatu yang
basah. Dalam madzhab hambali, kulit tidak dapat suci dan
tidak dapat dipergunakan apapun sebagaimana daging
bangkai.

14
Kulit binatang sembelihan tidak dapat digunakan
untuk apapun jika binatang tersebut tidak halal dimakan.
Demikian menurut Syafi’i dan Hambali. Menurut
madzhab Maliki, Kulit bangkai dapat dipergunakan kecuali
kulit babi. Jika binatang buas atau anjing disembelih, maka
kulitnya suci, boleh diperjual belikan, menyimpan air
wudhu, meskipun tidak disamak.
Sedangkan Hanafi semua bagiannya suci, tetapi dagingnya
haram. Maliki dagingnya makruh.
b. Rambut dan Bulu
Asy-Syafi’i, Rambut dan bulu bangkai selain
manusia adalah najis. Maliki: Bulu termasuk bagian badan
yang tak pernah mati. Oleh karenanya hukumnya suci
secara mutlak, baik itu dari binatang halal maupun tidak
halal. Begitu halnya dengan Hambali rambut dan bulu
anjing dan babi adalah suci. Hanafi menambahkan bahwa
tanduk, gigi dan tulang adalah suci, karena tidak bernyawa.
Pemanfaatan bulu babi utuk
bantal, Hanafi dan Maliki memberikan
keringanan, Syafi’i melarangnya.
Madzhab Hambali memakruhkannya.
c. Setiap binatang yang darahnya tidak mengalir.
Menurut Hanafi dan Maliki, Seperti lebah, semut,
kumbang, dan kalajengking, jika mati pada benda yang
basah, maka benda itu tidak menjadi najis karena binatang
itu sendiri adalah suci. Syafi’i dan Hambali benda itu tidak
menjadi najis, tetapi binatang itu sendiri adalah najis.
d. Bangkai belalang dan ikan
Menurut Ijma’, bahwa bangkai belalang dan ikan
adalah suci. Adapun tentang mayat manusia,
menurut Maliki, Hambali, dan Syafi’i tidak

15
najis. Hanafi mayat itu najis tetapi dapat disucikan dengan
dimandikan.
e. Sisa Makanan dan Minuman Binatang
Hanafi, Syafi’i dan Hambali sama-sama
berpendapat bahwa sisa makan dan minum anjing dan babi
adalah najis, sedangkan selain itu suci. Pendapat yang
paling shahih dari Hambali sisa makan dan minuman
binatang buas adalah najis. Maliki berpendapat bahwa sisa
makan dan minum binatang itu adalah suci. Menurut tiga
imam madzhab, Sisa makan dan minum baghal dan keledai
adalah suci, tetapi tidak menyucikan. Hanafi ragu, apakah
ia dapat mensucikan. Pendapat yang paling shahih
dari Hambali, bahwa hal itu najis.
4. Najis Yang Dimaafkan
Syafi’i mengatakan bahwa segala sesuatu yang najis, baik
itu besar maupun kecil, hukumnya sama dalam mensucikannya.
Tidak ada yang dimaafkan kecuali sesuatu yang sulit dihindari
menurut kebiasaan, seperti darah jerawat, darah bisul, darah
kudis, darah kutu, tahi lalat, tempat bercantuk, dan debu
jalan. Maliki juga berpendapat demikian, dengan
menambahkan darah sedikit dimaafkan. Madzhab Hanafi,
sesuatu najis yang ukurannya lebih kecil dari mata uang satu
dirham dimaafkan.
5. Benda yang Keluar dari perut
Benda lunak yang keluar dari dubur adalah najis. Demkian
yang diseakati oleh para ulama’. Namun ada riwayat
dari Hanafi, bahwa itu adalah suci. Syafi’i berpendapat bahwa
air kencing dan tahi adalah najis secara
mutlak. Maliki dan Hambali, air kencing dan kotoran binatang
yang dapat dimakan dagingnya adalah suci.
6. Air Mani

16
Menurut Hanafi dan Maliki bahwa mani manusia adalah
najis. Pendapat yang paling shahih dari Syafi’i Air mani itu
suci secara mutlak, kecuali mani anjing dan babi. Sementara itu
menurut Hambali mani yang suci hanya air mani manusia.

G. Hadas
Hadas terbagi menjadi tiga:
a. Hadas besar (Mughaladzah) seperti haid, nifas
b. Hadas pertengahan (Mutawasitah) seperti junub
c. Hadas kecil (Mukhafafah) seperti BAB, BAK, buang angin, dll.

H. Wudhu
Wudu (Arab: ‫ الوضوء‬al-wuḍū’, Persia:‫ آبدست‬ābdast, Turki:
abdest, Urdu: ‫ وضو‬wazū’) adalah salah satu cara menyucikan anggota
tubuh dengan air. Seorang muslim diwajibkan bersuci setiap akan
melaksanakan salat, baik shalat wajib maupun sunnah. Berwudhu
merupakan syarat sah shalat sehingga jika anda mengerjakan suatu
shalat tetapi tidak berwudhu terlebih dahulu maka shalat yang
dikerjakan akan sia-sia atau mubah atau tidak sah. Seperti sabda Nabi
Muhammad Saw, “tidak diterima sholatmu tanpa bersuci atau wudhu
(HR. Muslim) dan ”bersuci atau berwudhu adalah sebagian dari iman
(HR. Muslim).
Sedangkan untuk keutamaan berwudhu dan manfaat wudhu sendiri
sudah banyak diterangkan di dalam sabda Nabi Muhammad Saw
seperti ”Barang siapa yang berrwudhu secara sempurna, maka dosa-
dosanya akan gugur atau hilang di jasad-nya hingga keluar juga dari
bawah kuku-kukunya” (HR. Muslim) dan “umatku kelak akan datang
pada hari kiamat dalam keadaan muka dan kedua tangan’=nya kemilau
bercahaya karena bekas berwudhu”.

A. Rukun Wudhu

17
Para ulama berbeda pendapat ketika menyebutkan rukun
wudhu. Ada yang menyebutkan 4 saja sebagaimana yang
tercantum dalam ayat Quran, namun ada juga yang
menambahinya dengan berdasarkan dalil dari Sunnah.
• 4 (empat) rukun menurut Al-Hanafiyah mengatakan bahwa
rukun wudhu itu hanya ada 4 sebagaimana yang disebutkan
dalam nash Quran.
• 7 (tujuh) rukun menurut Al-Malikiyah menambahkan dengan
keharusan niat, ad-dalk yaitu menggosok anggota wudhu`.
Sebab menurut beliau sekedar mengguyur anggota wudhu`
dengan air masih belum bermakna mencuci atau membasuh.
Juga beliau menambahkan kewajiban muwalat.
• 6 (enam) rukun menurut As-Syafi`iyah menambahinya dengan
niat dan tertib yaitu kewajiban untuk melakukannya
pembasuhan dan usapan dengan urut, tidak boleh terbolak balik.
Istilah yang beliau gunakan adalah harus tertib.
• 7 (tujuh) rukun menurut Al-Hanabilah mengatakan bahwa
harus niat, tertib dan muwalat, yaitu berkesinambungan. Maka
tidak boleh terjadi jeda antara satu anggota dengan anggota yang
lain yang sampai membuatnya kering dari basahnya air bekas
wudhu`.

1. Niat. Niat wudhu` adalah ketetapan di dalam hati seseorang


untuk melakukan serangkaian ritual yang bernama wudhu.
2. Membasuh wajah. Para ulama menetapkan bahwa batasan
wajah seseorang itu adalah tempat tumbuhnya rambut
(manabit asy-sya`ri) hingga ke dagu dan dari batas telinga
kanan hingga batas telinga kiri.
3. Membasuh kedua tangan hingga siku. Secara jelas
disebutkan tentang keharusan membasuh tangan hingga ke
siku. Dan para ulama mengatakan bahwa yang dimaksud
adalah bahwa siku harus ikut dibasahi.

18
4. Mengusap kepala. Yang dimaksud dengan mengusap adalah
meraba atau menjalankan tangan ke bagian yang diusap
dengan membasahi tangan sebelumnya dengan air.
• Al-Hanafiyah mengatakan bahwa yang wajib untuk
diusap tidak semua bagian kepala, melainkan sekadar
dari kepala. Yaitu mulai ubun-ubun dan di atas telinga.
• Al-Malikiyah dan Al-Hanabilah mengatakan bahwa
yang diwajib diusap pada bagian kepala adalah seluruh
bagian kepala. Bahkan Al-Hanabilah mewajibkan untuk
membasuh juga kedua telinga baik belakang maupun
depannya.
• Asy-syafi`iyyah mengatakan bahwa yang wajib diusap
dengan air hanyalah sebagian dari kepala, meskipun
hanya satu rambut saja. Dalil yang digunakan beliau
adalah hadits Al-Mughirah : Bahwa Rasulullah SAW
ketika berwudhu` mengusap ubun-ubunnya dan
imamahnya (sorban yang melingkari kepala).
5. Mencuci kaki hingga mata kaki. Menurut jumhur ulama,
yang dimaksud dengan hingga mata kaki adalah membasahi
mata kakinya itu juga.
6. Tartib. Yang dimaksud dengan tartib adalah mensucikan
anggota wudhu secara berurutan dari yang awal hingga yang
akhir.
a. Al-Hanafiyah dan Al-Malikiyah tidak merupakan
bagian dari fardhu wudhu`, melainkan hanya sunnah
muakkadah. Akan halnya urutan yang disebutan di
dalam Al-Quran, bagi mereka tidaklah mengisyaratkan
kewajiban urut-urutan bersikeras mengatakan bahwa
tertib urutan anggota yang dibasuh merupakan bagian
dari fardhu dalamwudhu`. Sebab demikianlah selalu
datangnya perintah dan contoh praktek wudhu`nya
Rasulullah SAW. Tidak pernah diriwayatkan bahwa

19
beliau berwudhu` dengan terbalik-balik urutannya. Dan
membasuh anggota dengan cara sekaligus semua
dibasahi tidak dianggap syah.
• Al-muwalat/tidak terputus. Maksudnya adalah tidak adanya
jeda yang lama ketika berpindah dari membasuh satu anggota
wudhu` ke anggota wudhu` yang lainnya. Ukurannya menurut
para ulama adalah selama belum sampai mengering air
wudhu`nya itu.
• Ad-Dalk. Yang dimaksud dengan ad-dalk adalah mengosokkan
tangan ke atas anggota wudhu setelah dibasahi dengan air dan
sebelum sempat kering. Hal ini tidak menjadi kewajiban
menurut jumhur ulama, namun khusus Al-Malikiyah
mewajibkannya. Sebab sekedar menguyurkan air ke atas
anggota tubuh tidak bisa dikatakan membasuh seperti yang
dimaksud dalam Al-Quran.

I. Tayamum
1. Pengertian Tayamum
Menurut bahasa tayamum adalah menyengaja. Sebagaimana firman
Allah:
.)267: ‫والتيممواالخبيث منه تنفقون (البقرة‬

“Dan jangalah kamu bermaksud sengaja ( memilih )yang buruk lalu


kamu menafkahkan dari padanya (Qs. Al-baqarah 267)
Sedangkan menurut istilah tayamum adalah menyengaja menggunakan
tanah untuk mengusap wajah dan kedua tangan dengan niat supaya
diperbolehkannya shalat dan ibadah yang lain. Pengertian lain mengenai
tayamum secara istilah adalah mengusap muka dan kedua tangan dengan
menggunakan debu yang mensucikan menurut cara yang khusus.

2. Dasar diberlakukannya tayamum

20
Pensyari’atan tayamum itu terdapat dalam al-qur’an hadits dan ijma’.
Adapun ketetapan yang terdapat dalam al-qur’an adalah firman Allah:
‫وإن كنتم مرضى أوعلى سفر أوجاء أحد منكم من الغا ئط اوالمستم النساء فلم تجدوا ماء فتيمموا صعيدا‬
)6 : ‫ ما يريدهللا ليجعل عليكم من حرج (المائدة‬.‫طيبا فمسحوا بوجوهكم وأيديكم منه‬

3. Sebab diperbolehkannya tayamum


Setiap sesuatu perkara ataupun kejadian itu pasti mempunyai
sebab, dalam islam namanya hukum wadz’i atau bisa disebut hukum
sebab akibat. Begitupula dengan tayamum, tayamum disyari’atkan
mempunyai beberapa sebab diantaranya adalah:
a. Apabila tidak ada air untuk bersuci. Dalam artian tidak
mendapatkan air sama sekali, atau ada air akan tetapi tidak
mencukupi untuk dibuat bersuci.
1. Menurut golongan Syafi’iyah dan Hanabilah bahwa
apabila ia mendapatkan air yang tidak cukup dipakai
bersuci maka ia wajib menggunakan sekedarnya untuk
sebagian anggota wudhu’kemudian hendaknya
bertayamum untuk anggota yang lainnya.
2. Menurut madzhab Hanafi orang yang bukan berada
dalam perjalanan dan ia sehat( tidak sakit ), maka ia
tidak boleh bertayamum dan tidak boleh pula shalat
kalau tidak ada air. Madzhab Hanafi mengemukakan
pendapat itu berdasarkan ayat 8, surat Al-Maidah:
“......Bila kamu sakit atau berada dalam perjalanan,
atau salah seorang di antara kamu dari tempat buang
air besar (jamban) atau menyentuh perempuan
(menyetubuhinya) , lalu kamu tidak mendapatkan air,
maka bertayamumlah......”
3. Menurut Malikiyah mereka berkata bahwa seorang
yang tidak mendapatkan air, yang bukan dalam
bepergian dan dalam keadaan sehat itu tidak boleh
untuk melakukan shalat kecuali shalat nafilah terkecuali

21
apabila shalat nafilahnya itu mengikuti yang fardhu.
Berbeda halnya dengan orang musafir dan orang yang
sakit.
b. Tidak mampu menggunakan air. Tayamum diperbolehkan ketika
tidak mampu menggunakan air atau dalam keadaan
membutuhkan air. Misalnya ia mendapatkan air yang cukup
untuk dipakai bersuci, akan tetapi ia tidak mampu
menggunakanya, ataupun ia mampu menggunakan air
tersebutakan tetapi ia membutuhkan untuk minum dan lain
sebagainya.
c. Ketika dalam keadaan sempitnya waktu shalat. Ketika mampu
menggunakan air untuk wudhu’ ataupun mandi akan tetapi takut
jika waktu shalat itu habis hanya untuk mencari air.
d. Ketika adanya bahaya. Ketika ada air untuk wudhu’ dan mandi
akan tetapi dia takut terhadap sesuatu yang membahayakan harta
dan jiwanya. Ketika air sangat dingin dan dia menyangka adanya
bahaya ketika menggunakan air tersebut

4. Debu yang digunakan tayamum


Pada dasarnya imam madzhab sama dalam menentukan alat
tayamum yaitu tanah yang suci, akan tetapi dalam menentukan sifat
dan hakikat tanah yang suci “ash-shaid” , mereka berbeda pendapat.
Dalil yang menunjukkan debu yang digunakan untuk tayamum
adalah firman allah surat An-Nisa’ ayat 42.
• Syafi’iyah dan Hanabilah; maksud dari “ash-shaid” adalah
“at-turab” (tanah). Oleh karena itu , tidak boleh bertayamum
kecuali dengan tanah yang suci atau dengan pasir berdebu.
• Hanafiah dan Malikiyah; “ash-shaid” adalah “al-ardh”
(tanah). Oleh karena itu, boleh bertayamum dengan tanah dan
segala macam bagiannya, walaupun dengan batu yang tidak
bertanah dan pasir yang tidak berdebu.

22
Malikiyah menambahkan; boleh bertayamum dengan apa saja
yang berkaitan dengan bumi, seperti tumbuh-tumbuhan.

5. Tata cara tayamum.


Pada dasarnya inti dari tayamum adalah mengusap wajah dan
tangan, akan tetapi dalam menentukan syarat rukunya para imam
madzhab berbeda pendapat. Rukun tayamum menurut mereka ada
empat:
a. Niat
b. Menepakan tangan yang pertama
c. Meratakan wajah dan kedua tangan dengan debu
d. Muwalat.
1. Hanabilah berpendapat bahwa rukun tayamum adalah:
a. Mengusap mengusap seluruh bagian wajah selain
yang ada di dalam mulut dan di dalam telinga,
dan selain di bawah rambut (jenggot) yang tipis.
b. Mengusap kedua tangan hingga di kedua
pergelangan.
c. Tertib.
d. Muwalat untuk tayamum yang disebabkan karena
hadats kecil.
2. Syafi’iyah berpendapat bahwa tayamum itu ada tujuh
yaitu:
a. Niat
b. Mengusap wajah
c. Mengusap kedua tangan sampai kedua siku
d. Tertib
e. Memindahkan debu pada anggota tubuh
f. Tanah yang mensucikan dan berdebu
g. Sengaja memindahkan debu tersebut pada
anggota tayamum

23
3. Hanafiah berpendapat rukun tayamum itu ada dua
yaitu:
a. Mengusap
b. Dua kali menepuk pada debu
Niat dan ini didalam tayamum mempunyai cara khusus yang dapat
dirinci menurut pendapat berbagai madzhab. Hanafiyah dan Hanabilah:
mereka berkata bahwa niat merupakan syarat didalam tayamum bukan
sebagai rukun. Malikiyah: jika ia berniat untuk menghilangkan hadats saja,
maka tayamum itu batal, karena tayamum menurut mereka tidak dapat
menghilangkan hadats.
A. Hanafiyah: mereka berkata bahwa niat tayamum yang sah
digunakan untuk shalat itu disyaratkan hendaknya orang tersebut
berniat dengan salah satu dari tiga hal berikut:
a. Berniat untuk bersuci dari hadats yang ia lakukan.
b. Berniat agar diperbolehkannya shalat.
c. Berniat untuk melakukan suatu ibadah maqshudah (ibadah
yang sengaja diperintahkan)
B. Syafi’iyah berpendapat bahwa seorang yang bertayamum wajib
berniat agar boleh melaksanakan shalat dan yang
semacamnya. Imam Syafi’i merinci tentang niat tayamum
sebagai berikut:
a. Apabila berniat untuk melakukan ibadah fardhu, maka
tayamum tersebut juga biasa untuk ibadah nafilah dan sunah.
b. Apabila berniat untuk melakukan ibadah nafilah, maka
tayamum tersebut tidak bias digunakan untuk ibadah fardhu.

6. Ibadah-ibadah yang diperbolehkan menggunakan tayamum.


Pada pembahasan ini, ulama’ berbeda pendapat tentang
penggunaan tayamum untuk shalat. Menurut
pendapat Malikiyah yang masyhur, satu kali tayamum berlaku untuk
dua kali shalat fardhu. Menurut Abu Hanifah boleh menjamak
beberapa shalat wajib dengan satu kali tayamum. Menurut imam

24
Syafi’i, Malliki, dan Hambali: tidak boleh mengerjakan dua shalat
fardhu dengan satu tayamum, baik bagi orang yang musafir ataupun
yang mukim. Hukum tayamum sama dengan hukum wudhu’, yaitu
bisa menjadikan sahnya melakukan ibadah dengan tayamum,
berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Abu Dzar r.a.

7. Beberapa hal yang membatalkan tayamum


Para fuqaha’ bersepakat bahwa hal yang membatalkan tayamum
adalah sebagai berikut:
a. Perkara yang membatalkan wudhu’
b. Menemukan air diluar waktu shalat
c. Murtad (mauquf)
Madzhab hanabilah menambahkan perkara yang membatalkan
tayamum, yaitu keluarnya waktu shalat. Madzhab syafi’iyah berpendapat
mengenai hal yang membatalkan tayamum yaitu:
a. Terjadinya riddah (keluar agama Islam), walaupun dalam
bentuknya saja, seperti murtadnya anak kecil (belum cukup
usia).
b. Hilangnya udzur yang memperbolehkannya tayamum.
Sebelum ia menyempurnakan takbiratul ihramnya.

25
PENUTUP

Kesimpulan
Secara umum, kata thaharah menurut bahasa artinya bersuci dari sesuatu
yang kotor, baik yang kotor itu bersifat hissiy (dapat dirasakan oleh indera),
maupun maknawi (sebaliknya). Kotor yang bersifat maknawi ini diartikan sebagai
dosa, sebagaimana hadist riwayat Ibnu ‘Abbas r.a, Bahwa baginda Nabi
Muhammad SAW bersabda, “Sakit akan menjadi pembersih (thahurun) dalam
bagimu insyaAllah”. Dalam hadist lain, Rasulullah SAW bersabda,
“Sesungguhnya sakit itu adalah pencuci sebagian dosa”. Banyak perbedaan para
imam madzhab dalam hal bersuci, semisal alat yang digunakan untuk bersuci,
rukun wudhu, rukun mandi wajib, rukun tayamum, dan beberapa hal yang
membatalkannya.

26
DAFTAR PUSTAKA

Atjeh, Aboebakar. Ilmu Fiqih Islam Dalam Lima Madzhab. Jakarta: Islamic
Research Institute, 1977.
Hasbiyallah. Perbandingan Madzhab. Direktorat Jenderal Pendidikan Islam
Kementerian Agama RI, Juli 2012.
Syalthut, Mahmud. Fiqih Tujuh Madzhab. terj. Abdullah Zakkiy Al Kaaf.
Bandung: Pustaka Setia, 2007.

Zaki , Abdullah. Terjemahan Rahmah Al Ummah fi Ikhtilaf Al aimmah.


Bandung : Hasyimi Press,2004.

27

Anda mungkin juga menyukai