Secara umum, kata thaharah menurut bahasa artinya bersuci dari sesuatu yang
kotor, baik yang kotor itu bersifat hissiy (dapat dirasakan oleh indera), maupun
maknawi (sebaliknya
Thaharah, secara istilah apabila dikaji menurut beberapa madzhab, madzhab
Hanafi misalnya, beliau mengartikan “thaharah” adalah bersih dari hadats atau
khabas. Bersih disini maksudnya mungkin sengaja dibersihkan atau juga bersih
dengan sendirinya, seperti terkena air yang banyak sehingga najisnya hilang. Hadats
adalah suatu yang bersifat syar’i yang menempati pada sebagian atau seluruh badan
sehingga menghilangkan kesucian. Hadats disebut juga najasah hukmiyyah, artinya
sang pembuat syariat menghukumi jika seorang berhadats maka dia dianggap
memiliki najis dan dilarang untuk melakukan shalat sebagaimana juga dilarang ketika
dia memiliki najis yang dzahir. Sedangkan khabats, secara istilah adalah suatu jenis
materi yang kotor dan menjijikkan yang diperintahkan oleh pemilik syariat untuk
dihilangkan dan dibersihkan.1[2]
Menurut madzhab Maliki, “thaharah” ialah sifat hukmiyyah yang orang
memilikinya dibolehkan shalat dengan pakaian yang dipakainya dan tempat yang dia
pakai untuk shalat. Sifat hukmiyyah berarti sifat yang bersifat maknawi yang
ditentukan oleh sang pemilik hukum sebagai syarat sahnya shalat.2[3] Dari pemikiran
madzhab ini menurut Mahmud Syalthut, bahwa thaharah merupakan sesuatu yang
bersifat bathiniy, yang lebih bersifat perkiraan (Dzaniniyyah), bukan sesuatu yang
dapat dirasakan oleh indera (hissiy).3[4]
Madzhab Syafi’i, thaharah digunakan untuk dua makna. Pertama; mengerjakan
sesuatu yang dengannya diperbolehkan shalat, seperti wudhu, tayammum dan
C. Macam-macam Air
Kebanyakan yang kita dapat di dalam kitab fiqh, mereka membaginya
menjadi 4 macam, yaitu : air mutlaq, air musta’mal, air yang tercampur benda yang
suci, dan air yang tercampur dengan benda yang najis.
1. Air Mutlaq
2. Air Musta’mal
Kata musta'mal berasal dari dasar ista'mala - yasta'milu ( يستعمل- )استعملyang
bermakna menggunakan. Maka air musta'mal maksudnya adalah air yang sudah
digunakan untuk melakukan thaharah, yaitu berwudhu atau mandi janabah. Air sisa
bekas cuci tangan, cuci muka, cuci kaki atau sisa mandi biasa yang bukan mandi
janabah, statusnya tetap air mutlak yang bersifat suci dan mensucikan. Air itu tidak
disebut sebagai air musta’mal, karena bukan digunakan untuk wudhu atau mandi
janabah
a. Ulama Al-Hanafiyah
Menurut mazhab ini bahwa yang menjadi musta’mal adalah air yang
membasahi tubuh saja dan bukan air yang tersisa di dalam wadah. Air itu langsung
memiliki hukum musta’mal saat dia menetes dari tubuh sebagai sisa wudhu` atau
mandi.Bagi mereka, air musta’mal ini hukumnya suci tapi tidak bisa mensucikan.
Artinya air itu suci tidak najis, tapi tidak bisa digunakan lagi untuk wudhu` atau
mandi. 6[10]
b. Ulama Al-Malikiyah
Dan sebagaimana Al-Hanafiyah, mereka pun mengatakan bahwa yang
musta’mal hanyalah air bekas wudhu atau mandi yang menetes dari tubuh seseorang.
Namun yang membedakan adalah bahwa air musta’mal dalam pendapat mereka itu
suci dan mensucikan. Artinya, bisa dan sah digunakan digunakan lagi untuk
berwudhu` atau mandi sunnah selama ada air yang lainnya meski dengan karahah
(kurang disukai). 7[11]
c. Ulama Asy-Syafi`iyyah
Air musta’mal dalam pengertian mereka adalah air sedikit yang telah
digunakan untuk mengangkat hadats dalam fardhu taharah dari hadats. Air itu
menjadi musta’mal apabila jumlahnya sedikit yang diciduk dengan niat untuk wudhu`
atau mandi meski untuk untuk mencuci tangan yang merupakan bagian dari sunnah
wudhu`. Namun bila niatnya hanya untuk menciduknya yang tidak berkaitan dengan
6[10] Kitab Al-Badai` jilid 1 hal. 69 dan seterusnya, juga Ad-Dur Al-Mukhtar jilid 1 hal. 182-186,
juga Fathul Qadir 58/1,61.
7[11] As-Syahru As-Shaghir jilid 37 halaman 1-40, As-Syarhul Kabir ma`a Ad-Dasuqi jilid 41
halaman 1-43, Al-Qawanin Al-Fiqhiyah halaman 31, Bidayatul Mujtahid jilid 1 halaman 26 dan
sesudahnya
wudhu`, maka belum lagi dianggap musta’mal. Termasuk dalam air musta’mal adalah
air mandi baik mandinya orang yang masuk Islam atau mandinya mayit atau
mandinya orang yang sembuh dari gila. Dan air itu baru dikatakan musta’mal kalau
sudah lepas atau menetes dari tubuh.
Air musta’mal dalam mazhab ini hukumnya tidak bisa digunakan untuk
berwudhu` atau untuk mandi atau untuk mencuci najis. Karena statusnya suci tapi
tidak mensucikan. 8[12]
d. Ulama Al-Hanabilah
Air musta’mal dalam pengertian mereka adalah air yang telah digunakan
untuk bersuci dari hadats kecil (wudhu`) atau hadats besar (mandi) atau untuk
menghilangkan najis pada pencucian yang terakhir dari 7 kali pencucian. Dan untuk
itu air tidak mengalami perubahan baik warna, rasa maupun aromanya.
Selain itu air bekas memandikan jenazah pun termasuk air musta’mal. Namun
bila air itu digunakan untuk mencuci atau membasuh sesuatu yang di luar kerangka
ibadah, maka tidak dikatakan air musta’mal. Seperti mencuci muka yang bukan
dalam rangkaian ibadah ritual wudhu`. Atau mencuci tangan yang juga tidak ada
kaitan dengan ritual ibadah wudhu`. Dan selama air itu sedang digunakan untuk
berwudhu` atau mandi, maka belum dikatakan musta’mal.
Hukum musta’mal baru jatuh bila seseorang sudah selesai menggunakan air
itu untuk wudhu` atau mandi, lalu melakukan pekerjaan lainnya dan datang lagi untuk
wudhu` atau mandi lagi dengan air yang sama. Barulah saat itu dikatakan bahwa air
itu musta’mal.
Mazhab ini juga mengatakan bahwa bila ada sedikit tetesan air musta’mal
yang jatuh ke dalam air yang jumlahnya kurang dari 2 c, maka tidak mengakibatkan
air itu menjadi `tertular` ke-musta’mal-annya.
3. Air Yang Tercampur Dengan Barang Yang Suci
8[12][15]Lihat Mughni Al-Muhtaj jilid 1 halaman 20 dan Al-Muhazzab jilid 5 halaman 1 dan 8
Air tercampur dengan barang suci atau barang yang bukan najis hukumnya
tetap suci. Seperti air yang tercampur dengan sabun, kapur barus, tepung dan lainnya.
Selama nama air itu masih melekat padanya. Namun bila air telah keluar dari
karakternya sebagai air mutlak atau murni, air itu hukumnya suci namun tidak
mensucikan. Misalnya air dicampur dengan susu, meski air itu suci dan susu juga
benda suci, tetapi campuran antara air dan susu sudah menghilangkan sifat utama air
murni menjadi larutan susu. Air yang seperti ini tidak lagi bisa dikatakan air mutlak,
sehingga secara hukum tidak sah kalau digunakan untuk berwudhu' atau mandi
janabah. Meski pun masih tetap suci.
4. Air Mutanajis
Air mutanajjis artinya adalah air yang tercampur dengan barang atau benda
yang najis. Air yang tercampur dengan benda najis itu bisa memiliki dua
kemungkinan hukum, bisa ikut menjadi najis juga atau bisa juga sebaliknya yaitu ikut
tidak menjadi najis. Keduanya tergantung dari apakah air itu mengalami perubahan
atau tidak, setelah tercampur benda yang najis. Dan perubahan itu sangat erat
kaitannya dengan perbandingan jumlah air dan besarnya noda najis.
Pada air yang volumenya sedikit seperti air di dalam kolam kamar mandi,
secara logika bila kemasukan ke dalamnya bangkai anjing, kita akan mengatakan
bahwa air itu menjadi mutanajjis atau ikut menjadi najis juga. Karena air itu sudah
tercemar dengan perbandingan benda najis yang besar dan jumlah volume air yang
kecil.
5. Air Musakhkhan Musyammasy
Air musakhkhan ( )مسخنartinya adalah air yang dipanaskan. Sedangkan
musyammas ( )مشمسdiambil dari kata syams yang artinya matahari. Jadi air
musakhkhan musyammas artinya adalah air yang berubah suhunya menjadi panas
akibat sinar matahari. Sedangkan air yang dipanaskan dengan kompor atau dengan
pemanas listrik, tidak termasuk ke dalam pembahasan disini.
Hukum air ini untuk digunakan berthaharah menjadi khilaf di kalangan ulama.
a. Pendapat Yang Membolehkan Mutlak
Yang berpendapat seperti ini adalah umumnya jumhur mazhab Al-Hanafiyah dan
Al-Hanabilah. Bahkan sebagian ulama di kalangan Asy-Syafi'iyah seperti Ar-
Ruyani dan Al-Imam An-Nawawi sekali pun juga berpendapat sama.9[15]
b. Pendapat Yang Memakruhkan
Pendapat ini cenderung memakruhkan air yang dipanaskan oleh sinar
matahari. Di antara mereka yang memakruhkannya adalah mazhab Al-Malikiyah
dalam pendapat yang muktamad, sebagian ulama di kalangan mazhab dan sebagian
Al-Hanafiyah.
Bahwa beliau memakruhkan mandi dengan menggunakan air musyammas
(HR. Asy-Syafi'i)10[16]
Larangan ini disinyalir berdasarkan kenyataan bahwa air yang dipanaskan
lewat sinar matahari langsung akan berdampak negatif kepada kesehatan,
sebagaimana dikatakan oleh para pendukungnya sebagai yakni mengakibatkan
penyakit belang.
6. Air Musakhkhan Ghairu Musyammasy
Musakhkhan ghairu musyammasy artinya adalah air yang menjadi panas tapi
tidak karena terkena sinar matahari langsung. Al-Malikiyah dan Asy-Syafi'iyah
mengatakan bahwa air yang ini tidak makruh untuk digunakan wudhu atau mandi
janabah, lantaran tidak ada dalil yang memakruhkan. Bahkan Al-Imam Asy-Syafi'i
rahimahullah mengatakan meski air itu menjadi panas lantaran panasnya benda najis,
tetap saja air itu boleh digunakan untuk berthaharah.
D. Najis
1. Khamr
Para imam madzhab sepakat tentang najisnya khamr. Kecuali sebuah riwayat
dari Abu Dawud adz-Zhahiriy yang mengatakan kesuciannya tetapi
mengharamkannya untuk dikonsumsi. Mereka bersepakat apabila khamr berubah
menjadi cuka dengan sendirinya, maka hukumnya menjadi suci. Namun jika khamr
berubah menjadi cuka karena dicampur dengan sesuatu, menurut Syafi’i, dan
Hambali adalah tidak suci.11[20]
2. Anjing dan Babi
Syafi’i dan Hambali memberi pendapat bahwa anjing dan babi adalah najis.
Sesuatiu yang terjilat oleh anjing harus dibasuh tujuh kali. Menurut Hanafi Anjing
adalah najis, tetapi bekas jilatannya boleh dicuci sebagaimana kita mencuci najis
lainnya. Jika dibasuh sekali sudah diduga najisnya hilang, maka basuhannya sudah
dicukupkan 1 kali tersebut. Namun apabila diduga belum hilang najisnya, maka harus
dibasuh berkali,kali, meskipun 20 kali lebih. Sedangkan menurut madzhab Maliki,
anjing adalah suci dan bekas jilatannya tidak najis .
Babi disamakan dengan anjing kenajisannya,sehingga bekas jilatannya harus
dibasuh sampai tujuh kali. Hal ini menurut pendapat yang paling shahih dalam
madzhab Asy-Syafi’i. Imam Maliki berpendapat bahwa babi itu suci ketika masih
hidup, karena tidak ada dalil yang menajiskannya. jikalau Imam Hanafi Najis babi
harus dibasuh seperti najis-najis lainnya.
11[20] Ibid., 16
3. Air Kencing Bayi
Menurut madzhab Syafi’i dan Hanafi mensucikan air kencing bayi laki-laki
yang belum makan sesuatu apapun keciali ASI, ialah cukup dengan memercikkannya
ketempat yang najis. Jika bayi perempuan maka harus dibasuh dan disiram. Maliki
keduanya harus di hapus dan hukum keduanya sama. Hambali berpendapat bahwa
air kencing perempuan yang masih bayi adalah suci.
4. Bangkai
a. Kulit
Menurut madzhab Hanafi Semua kulit binatang dapat menjadi suci dengan
disamak, kecuali kulit anjing dan babi. Begitu halnya dengan madzhab Syafi’i ,
hanya saja keturunan dari anjing dan babi atau salah satunya juga dihukumi sama
dengan anjing dan babi. Maliki kulit tidak menjadi suci, tetapi dapat dipergunakan
untuk sesuatu yang basah. Dalam madzhab hambali, kulit tidak dapat suci dan tidak
dapat dipergunakan apapun sebagaimana daging bangkai.
Kulit binatang sembelihan tidak dapat digunakan untuk apapun jika binatang
tersebut tidak halal dimakan. Demikian menurut Syafi’i dan Hambali. Menurut
madzhab Maliki, Kulit bangkai dapat dipergunakan kecuali kulit babi. Jika binatang
buas atau anjing disembelih, maka kulitnya suci, boleh diperjual belikan, menyimpan
air wudhu, meskipun tidak disamak. Sedangkan Hanafi semua bagiannya suci, tetapi
dagingnya haram. Maliki dagingnya makruh.
b. Rambut dan Bulu
Asy-Syafi’i, Rambut dan bulu bangkai selain manusia adalah najis. Maliki: Bulu
termasuk bagian badan yang tak pernah mati. Oleh karenanya hukumnya suci secara
mutlak, baik itu dari binatang halal maupun tidak halal. Begitu halnya dengan
Hambali rambut dan bulu anjing dan babi adalah suci. Hanafi menambahkan bahwa
tanduk, gigi dan tulang adalah suci, karena tidak bernyawa. Pemanfaatan bulu babi
untuk bantal, Hanafi dan Maliki memberikan keringanan, Syafi’i melarangnya.
Madzhab Hambali memakruhkannya.
c. Setiap binatang yang darahnya tidak mengalir.
Menurut Hanafi dan Maliki, Seperti lebah, semut, kumbang, dan kalajengking,
jika mati pada benda yang basah, maka benda itu tidak menjadi najis karena binatang
itu sendiri adalah suci. Syafi’i dan Hambali benda itu tidak menjadi najis, tetapi
binatang itu sendiri adalah najis.
d. Bangkai Belalang dan ikan
Menurut Ijma’, bahwa bangkai belalang dan ikan adalah suci. Adapun tentang
mayat manusia, menurut Maliki, Hambali, dan Syafi’i tidak najis. Hanafi mayat itu
najis tetapi dapat disucikan dengan dimandikan.
5. Sisa Makanan dan Minuman Binatang
Hanafi, Syafi’i dan Hambali sama-sama berpendapat bahwa sisa makan dan
minum anjing dan babi adalah najis, sedangkan selain itu suci. Pendapat yang paling
shahih dari Hambali sisa makan dan minuman binatang buas adalah najis. Maliki
berpendapat bahwa sisa makan dan minum binatang itu adalah suci.
Menurut tiga imam madzhab, Sisa makan dan minum baghal dan keledai
adalah suci, tetapi tidak menyucikan. Hanafi ragu, apakah ia dapat mensucikan.
Pendapat yang paling shahih dari Hambali, bahwa hal itu najis.
Sisa air yang diminum oleh binatang yang najis, seperti anjing dan babi najis,
dan sisa air yang diminum oleh binatang yang suci tidak najis. Demikian ini menurut
pendapat kalangan Syi’ah.12[21]
6. Najis Yang Dimaafkan
Syafi’i mengatakan bahwa segala sesuatu yang najis, baik itu besar maupun
kecil, hukumnya sama dalam mensucikannya. Tidak ada yang dimaafkan kecuali
sesuatu yang sulit dihindari menurut kebiasaan, seperti darah jerawat, darah bisul,
darah kudis, darah kutu, tahi lalat, tempat bercantuk, dan debu jalan. Maliki juga
berpendapat demikian, dengan menambahkan darah sedikit dimaafkan. Madzhab
Hanafi, sesuatu najis yang ukurannya lebih kecil dari mata uang satu dirham
dimaafkan.
7. Benda yang Keluar dari perut
Benda lunak yang keluar dari dubur adalah najis. Demkian yang diseakati
oleh para ulama’. Namun ada riwayat dari Hanafi, bahwa itu adalah suci.
Syafi’i berpendapat bahwa air kencing dan tahi adalah najis secara mutlak.
Maliki dan Hambali, air kencing dan kotoran binatang yang dapat dimakan
dagingnya adalah suci.
8. Air Mani
Menurut Hanafi dan Maliki bahwa mani manusia adalah najis. Pendapat
yang paling shahih dari Syafi’i Air mani itu suci secara mutlak, kecuali mani anjing
dan babi. Sementara itu menurut Hambali mani yang suci hanya air mani manusia.
Imamiyyah dari kalangan Syi’ah menghubungkan mani itu najis, sedang
nanah tidak najis. Kencing manusia najis. Sisa minuman burung yang boleh dima-
kan dan yang tidak boleh dimakan suci. Minuman yang memabuk- kan najis (yang
cair). Muntah tidak najis. Mazi dan Wadi kedua-duanya tidak najis.13[22]
Hanafi Maliki Syafi’I Hanbali
Khamr Najis Najis Najis Najis
Anjing dan Babi Najis Tidak Najis Najis Najis
Air Kening Bayi Suci bayi Lk Najis Suci bayi Lk Suci bayi Pr
Bangkai
Kecuali anjing Suci Kecuali Kecuali
Sisa Makanan
dan babi suci anjing dan anjing dan
Binatang
babi suci babi suci
Najis Yang Lebih kecil dri Sama dalam Sama dalam
Dimaafkan 1 dirham mensucikan mensucikan
Benda Yang Suci Binatang Najis Binatang
Keluar Dari Perut halal suci halal suci
Air Mani Najis Najis Suci Suci
E. Wudhu
1. Rukun Wudhu
Madzhab Hanafi; Rukun wudhu menurut madzhab ini hanya ada empat, yaitu
yang tertera dalam al-Qur’an:
a. Membasuh wajah. Batasan wajah adalah tempat tumbuh rambut sampai ujung dagu.
Dari segi lebar, ukuran muka yang harus dibasuh ketika wudhu adalah dari pangkal
telinga kiri sampai pangkal telinga kanan, termasuk juga bawah telinga.
b. Membasuh kedua tangan dengan kedua sikunya.
c. Mengusap seperempat kepala.
d. Membasuh kedua kaki dengan kedua mata kaki nya.
Madzhab Maliki; Fardhu wudhu menurut madzhab Maliki ada tujuh:14[23]
a. Niat. Seorang yang berwudhu harus berniat untuk membolehkan sholat, mengerjakan
fardhu wudhu, atau menghilangkan hadats kecil. Posisi niat berada ketika akan
wudhu dan tidak wajib menghadirkan niat sampai wudhu selesai. Jika seseorang
membasuh anggota wudhu tanpa niat, maka wudhunya bathal. Niat juga memiliki
syarat sah, yaitu; yang berniat harus beragama Islam, yang berwudhu mesti
mumayyiz dan harus yakin serta pasti, tidak boleh ragu.
b. Membasuh muka.
c. Membasuh kedua tangan dengan kedua siku. Keharusan membasuh kedua tangan ini
sama dengan pendapat madzhab Hanafi, seperti wajib membasuh jari-jari dan bagian
bawah kuku yang panjang.
d. Mengusap seluruh kepala. Batas kepala adalah dari tempat tumbuh rambut di depan
sampai tengkuk belakang. Termasuk juga rambut cambang dan atas dua daun telinga
serta belakangnya. Jika seseorang memiliki rambut panjang atau pendek, maka
haruslah diusap.
e. Membasuh kedua kali dengan kedua mata kaki. Demikian juga belahan-belahan kaki
wajib dibasuh. Jika anggota wajib tidak ada, maka gugurlah kewajiban membasuh.
f. Muwalat.
g. Mengurut (mengulang-ulang secara rapi) semua anggota wudhu. Seperti menyela-
nyela rambut dan jari jemari.
Madzhab Syafi’i; Fardhu wudhu menurut madzhab Syafii ada enam.15[24]
a. Niat. Berbeda dengan madzhab Maliki, madzhab Syafii mewajibkan niat harus
dibarengi dengan basuhan pertama. Jika seseorang membasuhnya tanpa niat, maka
batal lah wudhu nya. Bagi orang yang memiliki penyakit beser, maka baginya harus
niat “untuk kebolehan shalat” atau “untuk membaca mushaf” atau “melaksanakan
fardhu wudhu”.
b. Membasuh wajah. Ukuran wajah hampir sama dengan madzhab Hanafi di atas.
Hanya saja madzhab Syafii mewajibkan untuk membasuh kulit di bawah dagu.
c. Membasuh kedua tangan dengan sikunya. Membersihkan kotoran-kotoran di bawah
kuku yang menghalangi sampainya air ke kulit adalah wajib. Kecuali bagi para
pekerja yang tidak lepas dari kotoran tersebut, selagi tidak terlalu banyak, maka ada
kemudahan.
d. Mengusap bagian kecil dari kepala. Jika di kepalanya terdapat rambut, maka cukup
mengusap sebagian saja. Jika air terpercik ke kepala atau dia mengguyur kepala
tersebut sehingga basah, maka dianggap cukup.
e. Membasuh kedua kaki dengan mata kakinya.
f. Tartib (berurutan) antara empat anggota tersebut sebagaimana tertera dalam al-
Quran.
Madzhab Hanbali; Fardhu wudhu menurut mereka ada enam.16[25]
a. Niat bagi madzhab ini adalah syarat sah wudhu, bukan fardu wudhu sebagaimana
dikatakan ulama Maliki dan Syafii.
b. Membasuh wajah. Panjang dan lebar wajah hampir sama dengan pendapat
sebelumnya. Hanya saja cambang dan kulit putih di bawah dua daun telinga hanya
wajib diusap, karena keduanya adalah bagian dari kepala. Mereka juga berpendapat
bahwa bagian dalam mulut dan hidung mesti terkena air, karena keduanya bagian dari
wajah.
c. Membasuh kedua tangan dengan sikunya. Pendapat madzhab ini tidak jauh berbeda
dengan madzhab lainnya.
d. Mengusap seluruh kepala, termasuk juga kedua telinga.
e. Membasuh kedua kaki dengan mata kakinya.
f. Tartib.
g. Muwalat. Dalam masalah ini, madzhab Hanbali sepakat dengan pendapat madzhab
Maliki. Madzhab Hanafi dan Syafii menganggap muwalat hanya sunnah dan
dimakruhkan jika meninggalkan muwalat.
Hanafi Maliki Syafi’I Hanbali
Niat Rukun Rukun Rukun
Membasuh Wajah Rukun Rukun Rukun Rukun
Membasuh Tangan Rukun Rukun Rukun Rukun
Mengusap Kepala Rukun Rukun Rukun Rukun
Membasuh Kaki Rukun Rukun Rukun Rukun
Tertib Rukun Rukun
Muwalat Rukun Rukun
Addalk Rukun
3. Sunah-sunah Wudhu
Madzhab Hanafi; Sunnah yang muakkad, menurut mereka adalah sama
statusnya dengan hukum wajib sebagaimana telah dijelaskan di atas. Sunnah tersebut
di antaranya adalah sebagai berikut: 19[29]
a. membaca basmalah.
b. Membasuh kedua tangan sampai pergelangan atau persendian tangan. Sebagian
kalangan Hanafiyyah menganggap ini adalah fardhu wudhu.
c. Berkumur-kumur dan menghirup air ke dalam hidung kemudian mengeluarkannya
kembali (istinsyaq).
d. Menyela-nyela jari jemari tangan dan kaki.
e. Mengulang basuhan sebanyak tiga kali.
f. Mengusap seluruh kepala.
g. Mengusap kedua telinga,
h. Niat.
i. Tartib.
j. Muwalat.
k. Bersiwak. Baik dengan kayu khusus, atau dengan jari jemarinya. Waktunya adalah
ketika sedang berkumur-kumur.
l. Memegang wadah air denga tangan kanan ketika membasuh kedua kaki dan tangan
kiri menyela-nyela jari-jari kaki.
m. Selalu memulai basuhan pada ujung jari tangan dan kaki.
n. Memulai basuhan kepala dari bagian kepala depan.
o. Berurutan.
p. Sunguh-sungguh ketika berkumur dan istinsyaq, kecuali bagi yang puasa.
q. Tidak berlebihan ketika dia yakin sudah melakukan setiap basuhan tiga kali.
r. Mengulang basuhan kedua tangan dengan sikunya.
F. Mandi Wajib
Macam-macam mandi wajib yang telah di sepakati oleh para ulama’ ada 4
antara lain:
1. Junub
2. Haid
3. Nifas
4. Orang Islam yang meninggal dunia.
Hanbali: Menambah satu hal lagi, yaitu: Ketika orang kafir memeluk agama
Islam. Syafi’i dan Imamiyah: Kalau orang kafir itu masuk Islam dalam keadaan
junub, maka ia wajib mandi karena junubnya, bukan Islamnya. Dari itu, kalau ada
waktu masuk Islam ia tidak dalam keadaan junub, ia tidak mewajibkan mandi.
Hanafi dalam keterangan yang lain: Ia tidak mewajibkan mandi, baik junub
maupun tidak (Ibnu Qudamah, Al- Mughni, jilid I, hal. 207).
Mandi Junub Junub mewajibkan mandi itu ada dua, yaitu: 22[32]
1. Keluar mani,
Baik dalam keadaan tidur maupun bangun. Imamiyah dan Syafi’i; Kalau
mani itu keluar maka ia wajib mandi, tidak ada bedanya, baik karena syahwat
maupun tidak. Hanafi, Maliki dan Hanbali: Tidak mewajibkan mandi kecuali kalau
pada waktu keluarnya itu merasakan nikmat. Kalau mani itu keluar karena dipukul,
dingin, atau karena sakit bukan karena syahwat, maka ia tidak di wajibkan mandi.
2. Bertemunya dua kemaluan (bersetubuh)
Rukun Mandi menurut beberapa ulama’ antara lain:
Hanafi; rukun mandi ada tiga:23[33]
1. Berkumur,
2. Istinsyaq dan
3. Membasuh seluruh anggota badan dengan air.
Maliki: rukun mandi ada lima;
1. Niat,
2. Meratakan air ke seluruh badan,
3. Mengosok- gosok semua bagian badan sambil menyiramkan air,
4. Muwalat dan
5. Menyela-nyela seluruh rambut badannya dengan air.
Syafii; rukun mandi ada dua:
1. Niat dan,
2. Meratakan seluruh badan dengan air.
Hanbali; rukun mandi hanya satu, yaitu meratakan air ke seluruh badan. Mulut dan
hidung juga bagian dari badan, maka harus dibasuh dari dalam
G. Tayamum
1. Pengertian Tayamum
Sedangkan menurut istilah tayamum adalah menyengaja menggunakan tanah
untuk mengusap wajah dan kedua tangan dengan niat supaya diperbolehkannya shalat
dan ibadah yang lain. Pengertian lain mengenai tayamum secara istilah adalah
mengusap muka dan kedua tangan dengan menggunakan debu yang mensucikan
menurut cara yang khusus.
2. Dasar diberlakukannya tayamum
“Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang
air besar atau menyentuh perempuan lalu kamu tidak memperoleh air, maka
bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih, suci); sapulah mukamu dan
tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu.” (Q.S Al-maidah
5:6)
3. Sebab diperbolehkannya tayamum
a. Apabila tidak ada air
Apabila tidak ada air untuk bersuci. Dalam artian tidak mendapatkan air sama
sekali, atau ada air akan tetapi tidak mencukupi untuk dibuat bersuci.
Menurut golongan Syafi’iyah dan Hanabilah bahwa apabila ia mendapatkan
air yang tidak cukup dipakai bersuci maka ia wajib menggunakan sekedarnya untuk
sebagian anggota wudhu’kemudian hendaknya bertayamum untuk anggota yang
lainnya.
Menurut madzhab Hanafi orang yang bukan berada dalam perjalanan dan ia
sehat( tidak sakit ), maka ia tidak boleh bertayamum dan tidak boleh pula shalat kalau
tidak ada air.
Menurut Malikiyah mereka berkata bahwa seorang yang tidak mendapatkan
air, yang bukan dalam bepergian dan dalam keadaan sehat itu tidak boleh untuk
melakukan shalat kecuali shalat nafilah terkecuali apabila shalat nafilahnya itu
mengikuti yang fardhu. Berbeda halnya dengan orang musafir dan orang yang sakit.
b. Tidak mampu menggunakan air
Tayamum diperbolehkan ketika tidak mampu menggunakan air atau dalam
keadaan membutuhkan air. Misalnya ia mendapatkan air yang cukup untuk dipakai
bersuci, akan tetapi ia tidak mampu menggunakanya, ataupun ia mampu
menggunakan air tersebutakan tetapi ia membutuhkan untuk minum dan lain
sebagainya.
c. Ketika dalam keadaan sempitnya waktu shalat
Ketika mampu menggunakan air untuk wudhu’ ataupun mandi akan tetapi takut
jika waktu shalat itu habis hanya untuk mencari air.
d. Ketika adanya bahaya
4. Debu yang digunakan tayamum
Pada dasarnya imam madzhab sama dalam menentukan alat tayamum yaitu
tanah yang suci, akan tetapi dalam menentukan sifat dan hakikat tanah yang suci
“ash-shaid” , mereka berbeda pendapat.
Syafi’iyah dan Hanabilah; maksud dari “ash-shaid” adalah “at-turab”
(tanah). Oleh karena itu , tidak boleh bertayamum kecuali dengan tanah yang suci
atau dengan pasir berdebu.
Hanafiah dan Malikiyah; “ash-shaid” adalah “al-ardh” (tanah). Oleh karena
itu, boleh bertayamum dengan tanah dan segala macam bagiannya, walaupun dengan
batu yang tidak bertanah dan pasir yang tidak berdebu.
Malikiyah menambahkan; boleh bertayamum dengan apa saja yang berkaitan
dengan bumi, seperti tumbuh-tumbuhan.
5. Tata cara tayamum
Pada dasarnya inti dari tayamum adalah mengusap wajah dan tangan, akan
tetapi dalam menentukan syarat rukunya para imam madzhab berbeda pendapat.
Seperti yang dikemukakan imam-imam berikut ini :
Malikiyah : rukun tayamum menurut mereka ada empat :
a. Niat.
b. Menepakan tangan yang pertama.
c. Meratakan wajah dan kedua tangan dengan debu.
d. Muwalat.
Hanabilah : mereka berpendapat bahwa rukun tayamum adalah :
a. Mengusap mengusap seluruh bagian wajah selain yang ada di dalam mulut dan di
dalam telinga, dan selain di bawah rambut (jenggot) yang tipis.
b. Mengusap kedua tangan hingga di kedua pergelangan.
c. Tertib.
d. Muwalat untuk tayamum yang disebabkan karena hadats kecil.
Syafi’iyah : mereka berpendapat bahwa tayamum itu ada tujuh yaitu :
a. Niat
b. Mengusap wajah
c. Mengusap kedua tangan sampai kedua siku
d. Tertib
e. Memindahkan debu pada anggota tubuh
f. Tanah yang mensucikan dan berdebu
g. Sengaja memindahkan debu tersebut pada anggota tayamum
Hanafiah : mereka berpendapat rukun tayamum itu ada dua yaitu :
a. Mengusap
b. Dua kali menepak pada debu
Niat dan ini didalam tayamum mempunyai cara khusus yang dapat dirinci
menurut pendapat berbagai madzhab. Hanafiyah dan Hanabilah: mereka berkata
bahwa niat merupakan syarat didalam tayamum bukan sebagai rukun. Malikiyah:
jika ia berniat untuk menghilangkan hadats saja, maka tayamum itu batal, karena
tayamum menurut mereka tidak dapat menghilangkan hadats.
Hanafiyah: mereka berkata bahwa niat tayamum yang sah digunakan untuk
shalat itu disyaratkan hendaknya orang tersebut berniat dengan salah satu dari tiga hal
berikut:
a. Berniat untuk bersuci dari hadats yang ia lakukan.
b. Berniat agar diperbolehkannya shalat.
c. Berniat untuk melakukan suatu ibadah maqshudah (ibadah yang sengaja
diperintahkan)
Syafi’iyah berpendapat bahwa seorang yang bertayamum wajib berniat agar
boleh melaksanakan shalat dan yang semacamnya. Imam Syafi’i merinci tentang niat
tayamum sebagai berikut :
a. Apabila berniat untuk melakukan ibadah fardhu, maka tayamum tersebut juga bias
untuk ibadah nafilah dan sunah.
b. Apabila berniat untuk melakukan ibadah nafilah, maka tayamum tersebut tidak bias
digunakan untuk ibadah fardhu.
6. Ibadah-ibadah yang diperbolehkan menggunakan tayamum
Pada pembahasan ini, ulama’ berbeda pendapat tentang penggunaan tayamum
untuk shalat. Menurut pendapat Malikiyah yang masyhur, satu kali tayamum berlaku
untuk dua kali shalat fardhu. Menurut Abu Hanifah boleh menjamak beberapa shalat
wajib dengan satu kali tayamum. Menurut imam Syafi’i, Malliki, dan Hambali:
tidak boleh mengerjakan dua shalat fardhu dengan satu tayamum, baik bagi orang
yang musafir ataupun yang mukim.