Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmat
dan hidayah-Nya, sehingga saya dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul
”Thaharah dalam Keperawatan”. Salam serta salawat penulis peruntukkan kepada Nabi
Muhammad SAW. yang telah menjadi panutan umat manusia.
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas individu
dari dosen pengampu Ibu Murni Lehong, S,Ag,M.Hi pada mata kuliah Agama II. Selain
itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang topik makalah yang
diberikan oleh dosen bagi para pembaca dan penulis.
Kami mengucapkan banyak terima kasih dalam pembuatan makalah ini dan Ibu
dosen, yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah pengetahuan dan
wawasan sesuai dengan bidang studi yang kami tekuni.
Penulis menyadari bahwa makalah ini belum mencapai kesempurnaan, sehingga
kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan dari berbagai pihak
demi kesempurnaan makalah ini. Akhirnya penulis berharap semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi kita semua.
Kelompok IX
DAFTAR ISI
Kata Pengantar…………………..…………………..…………..…………..……….i
Daftar Isi………….…..…………..…………..…………..…………..…………...ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang…………..…………..…………..…………………..…………4
B. Rumusan Masalah…………..…………..………….……..…………..……......4
C. Tujuan Penulisan…………..…………..…………..…………..……………….4
BAB II PEMBAHASAN
1. Pengertian Thaharah………..…………..…………..…………...........................5
2. Alat-alat suci dalam thaharah……………..………….........................................5
3. Macam-macam Thaharah……….........................................................................7
4. Tujuan Thaharah………..…………..…………..…….......................................12
5. Pentingnya pemahaman tata cara bersuci bagi umat islam…………………….12
6. Hikmah dan Manfaat Thaharah………..………….………..…………..………14
BAB III PENUTUP
1. Kesimpulan…………..…………..…………..…………..……..………………..17
2. Saran…………..…..…………..…………..…………..………………………....17
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ibadah merupakan latihan rohani (spiritual) yang diperlukan manusia, juga
yang menjadi tujuan hidup manusia yaitu beribadah kepada Allah SWT. Terkait
dengan pelaksanaan ibadah, hal yang sangat mendasar yang paling utama harus
diperhatikan dan patut diketahui dan dilaksanakan ialah kebersihan dan kesucian
seseorang dalam melaksanakan ibadah, terutama dalam melaksanakan ibadah
shalat. Anjuran tentang pentingnya pemeliharaan kebersihan dan kesucian banyak
terdapat dalam ayat al-Qur’an dan hadis Nabi Saw. yang diarahkan bagi
kebahagiaan hidup.
Usaha-usaha menjaga kebersihan dapat dilakukan dengan menjaga
kebersihan pekarangan rumah, termasuk bak mandi, bak wudhu, tempat belajar,
dan yang paling utama ialah menjaga kebersihan tempat ibadah. Yang tidak
kalah pentingnya ialah menjaga kebersihan badan dan pakaian karena seseorang
dapat dikatakan bersih apabila dapat menjaga kebersihan badan dan pakaian.
Maka umat Islam harus selalu menjaga kebersihan karena kebersihan akan
mewujudkan kesehatan jasmani dan rohani. Semua usaha yang ditunjukkan
kepada kebersihan akan mendapat imbalan dari Allah SWT
B. Rumusan Masalah
Rumusan Masalah dari makalah ini antara lain:
1. Apa yang dimaksud thaharah?
2. Apa alat-alat untuk bersuci?
3. Jelaskan macam-macam thahrah?
4. Bagaimana tujuan thaharah?
5. Jelaskan pentingnya pemahaman tata cara bersuci bagi umat islam?
6. Apa hikmah dan manfaat dalam thaharah?
C. Tujuan Penulisan
Tujuan dari penyusunan makalah ini antara lain:
1. Untuk mengetahui apa itu thaharah
2. Untuk mengetahui alat-alat untuk bersuci
3. Untuk mengetahui macam-macam thaharah
4. Untuk mengetahui tujuan thaharah
5. Untuk mengetahui pentingnya pemahaman tata cara bersuci bagi umat
islam
6. Untuk mengetahui apa saja hikmah dan manfaat dalam thaharah
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian Thaharah
Kata thaharah berasal dari bahasa arab طهارةyang secara bahasa artinya
kebersihan atau bersuci. Sedangkan menurut istilah, thaharah adalah
mengerjakan sesuatu yang dengannya kita boleh mengerjakan salat, seperti
wudhu, mandi, tayamun, dan menghilangkan najis. Menurut syara’, thaharah
adalah suci dari hadats atau najis, dengan cara yang telah ditentukan oleh syara
atau menghilangkan najis, yang dapat dilakukan dengan mandi dan tayamum.
(Suad Ibrahim shalih, 2011:83)
Dari beberapa pengertian tentang thaharah tersebut, maka peneliti
menyimpulkan thaharah berarti menyucikan dan membersihkan diri dari najis dan
hadats sebagai salah satu syarat melakukan ibadah yang dapat dilakukan dengan
wudhu, mandi dan tayamum dengan alat yang digunakan yaitu air, debu, dan atau
batu.
Beberapa Mazhab juga berpendapat, berikut merupakan pengertian
thaharah menurut:
1. Mazhab Hanafi
Thaharah diartikan oleh imam Hanafi yaitu bersih dari hadas dan najis.
Menurut beliau baik bersihnya disengaja dengan dibersihkan maupun bisa
bersih dengan alaminya sendiri,seperti terkena air yang sangat banyak.
2. Mazhab Maliki
Diterangkan menurut mazhab maliki, Thaharah ialah sifat hukmiyyah
yang ketika orang memilikinya menjadi salah satu sebab sahnya shalat atau
bisa dikatakan sebagai syarat sah shalat. Berdasarkan pemikiran mazhab ini
terdapat ulama yang mengatakan bahwa thaharah merupakan sesuatu yang
bersifat bhatiniyah, lebih cenderung bersifat dzanniyah dan bukan sesuatu
yang dapat dirasakan oleh panca indera, hal tersebut dikemukakan oleh
Mahmud syaltut.
3. Mazhab Syafi ‘i
Dalam mazhab syafi ‘i terdapat dua makna yang berkaitan dengan
thaharah, yang pertama yaitu thaharah sebagai upaya untuk menjaga kesucian
bagi seseorang sehingga menjadi diperbolehkannya seseorang mengerjakan
ibadah shalat, kemudian yang kedua yaitu thaharah diartikan sebagai suci dan
terbebas dari semua bentuk najis.
Thaharah adalah memakai air atau tanah atau salah satunya menurut sifat
yang disyariatkan untuk menghilangkan najis dan hadats dan thaharah secara
garis besar ada tiga macam yaitu:
1) Thaharah dari hadats, besar seperti jima: keluar mani, haid dan nifas atau
wiladah. Cara mengankat hadas besar dengan mandi atau dengan
tayammum (apabila tidak ada air atau dalam keadaan sakit parah yang
tidak bisa kena air).
2) Thaharah dari hadas kecil yaitu dengan cara mengankat hadas kecil
dengan wudhu. atau tayammun (apabila tidak ada air atau dalam keadaan
sakit parah yang tidak bisa kena air). (Ahsin W Al-Hafidz: 70).
Berikut ketentuan untuk membersihkan hadats dan najis sebagai berikut:
A. Mandi Wajib
1) Pengertian Mandi Wajib
Mandi secara umum dapat berarti meratakan air ke seluruh anngota
tubuh dari ujung rambut sampai dengan ujung kaki. Sedangkan menurut
syariat Islam mandi berarti: “Bersuci dengan air sebagai alat bersuci
dengan cara meratakan air yang suci lagi menyucikan ke seluruh tubuh
dari ujung kepala sehingga ujung telapak kaki menurut tata cara tertentu
yang disertai niat yang ikhlas karena Allah untuk menyucikan diri.
Dengan demikian, mandi wajib atau janabat dapat diartikan
sebagai proses penyucian diri seseorang dari hadas besar yang menempel
(baik terlihat atau tidak terlihat) di badan, dengan cara menggunakan atau
menyiramkan air yang suci lagi menyucikan ke seluruh tubuh.
2) Tata cara mandi
Bagi orang mukmin, baik laki-laki maupun perempuan apabila
telah berada dalam keadaan berhadats besar, maka wajiblah baginya untuk
mandi. Namun dalam prakteknya harus sesuai dengan tuntunan dan
petunjuk Rasulullah saw. yang dilanjutkan oleh para sahabat-sahabatnya
serta para fuqaha atau ulama-ulama yang memiliki pengetahuan
tentangnya. Berikut ini penjelasan tentang tata cara mandi wajib:
a) Niat dalam hati, telah dijelaskan sebelumnya bahwa segala amalan
harus disertai dengan niat.
b) Membaca basmalah
c) Diawali dengan membasuh kedua telapak tangan tiga kali.
Najasah atau najis menurut bahasa ialah kotoran dan lawan suci
menurut syara’, yang membatalkan shalat, seperti kotoran manusia dan
kemih. Najis berarti sesuatu yang tidak suci yang dapat menghalangi
seseorang dalam melakukan ibadah kepada Allah. Sedangkan jenis-jenis
najis secara garis besar dibagi menjadi:
1) Bangkai, yaitu sesuatu yang mati secara alami dan bukan karena
disembelih.
2) Darah, baik darah segar maupun darah haid dan lainnya, ini sesuai
dengan firman Allah QS. Al-Anam:145.
3) Nanah dan nanah yang bercampur darah, keduanya dihukumkan najis
dengan diqiyaskan terhadap darah, kecuali jika jumlahnya sedikit
maka termasuk yang dimaafkan karena sulit menghindarinya.
4) Muntah, muntahan hukumnya najis, baik muntahan manusia atau
selainnya.
5) Kencing dan kotoran manusia keduanya adalah najis, kecuali menurut
ulama syafiiyah dan hanabilah, mnurut mereka jika kencingnya adalah
kencing anak laki-laki yang belum makan makanan pokok(selain air
susu ibu), maka dihukumkan suci dengan memercikan air pada bagian
yang terkena kencing dan tidak wajib mencucinya.
6) Kotoran hewan yang dagingnya tidak boleh dimakan, seperti bighlal,
himar, dan lainya adalah najis berdasarkan riwayat dari Abdullah bin
mas’ud.
7) Anjing dan babi serta yang dilahirkan dari keduanya atau salah satu
darinya walaupun bersama selain spesiesnya. Untuk menyucikan najis
anjing, maka diperintahkan agar menuangkan air pada tempat yang
dijilat dan mencuci bejananya.
8) Kotoran hewan yang dagingnya boleh dimakan. Ulama syafi’iyah dan
hanafiyyah berpendapat bahwa kotoran tersebut hukumnya najis. akan
tetapi ulama hanafiyah memberikan pengecualian terhadap hewan
yang membuang kotoran di udara seperti burung maka kotorannya
adalah suci. Sementara itu ulama malikiyah dan hanabilah
mengatakan bahwa kotoran dan kencing hewan yang dagingnya boleh
dimakan adalah suci, kecuali hewan tersebut telah makan najis.
9) Madzi dan wad’i. Madzi adalah cairan bening dan lendir yang keluar
ketika sedang bercumbu dan lainnya, adapun wadi adalah air berwarna
putih dan kental yang keluar setelah kencing, keduanya adalah najis
berdasarkan hadits dari riwayat Ali.
10) Benda cair yang memabukkan, seperti khamar.
11) Telur busuk, yaitu telur yang rusak dan berbau busuk, atau yang telah
berubah jadi darah, atau telah menjadi embrio tetapi mati sebelum
menetas.
12) Susu hewan yang dagingnya tidak boleh dimakan, seperti keledai
betina.
13) Abu dan asap najis yang terbakar. Keduanya adalah najis karena
mengikuti hukum asalnya. Kecuali ulama malikiyah yang mengatakan
bahwa keduanya adalah suci. (Abdul Qadir Ar-Rahbawi: 2007: 50-59).
Berdasarkan keterangan tersebut di atas jenis -jenis najis, dapat kita
diklasifikasikan menjadi:
1) Najasah mukhaffafah ialah najis yang disucikan cukup dengan
memercikkan air pada najis, yang termasuk dalam najis ini adalah air
kencing anak laki-laki yang belum makan makanan lain kecuali susu
ibunya.
2) Najasah mutawasithah ialah najis yang disucikan dengan hanya dengan
mengalirkan air di atasnya saja, kalau di hukmi dan dengan menghilangkan
a’in najis dan hilang rasa, warna dan bau dari najis.
3) Najasah mughalladhah ialah najis yang perlu dibasuh tujuh kali, salah
satunya dengan air yang bercampur dengan tanah, yaitu jilatan anjing
(menurut as syafi‟i). Klasifikasi najis tersebut dijelaskan mengenai najis-
najis dan cara menyucikannya.
C. Istinja
4. Tujuan Thaharah
Ada beberapa hal yang menjadi tujuan disyariatkannya thaharah, diantaranya:
1. Guna menyucikan diri dari kotoran berupa hadats dan najis.
2. Sebagai syarat sahnya shalat dan ibadah seorang hamba.
Thaharah memiliki hikmah tersendiri, yakni sebagai pemelihara serta
pembersih diri dari berbagai kotoran maupun hal-hal yang mengganggu dalam
aktifitas ibadah seorang hamba.
Seorang hamba yang seanantiasa gemar bersuci ia akan memiliki
keutamaan-keutamaan yang dianugerahkan oleh Allah di akhirat nanti. Thaharah
juga membantu seorang hamba untuk mempersiapakan diri sebelum melakukan
ibadah-ibadah kepada Allah. Sebagai contoh seorang yang shalat sesungguhnya ia
sedang menghadap kepada Allah, karenanya wudhu membuat agar fikiran hamba
bisa siap untuk beribadah dan bisa terlepas dari kesibukan-kesibukan duniawi,
maka diwajibkanlah wudhu sebelum shalat karena wudhu adalah sarana untuk
menenangkan dan meredakan fikiran dari kesibukan-kesibukan duniawi untuk
siap melaksanakan sholat.
yang bersuci:
اِ َّن هّٰللا َ ي ُِحبُّ التَّ َّوابِي َْن َوي ُِحبُّ ْال ُمتَطَه ِِّري َْن
Artinya: ‘’...Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertaubat dan
orang- orang yang menyucikan diri’’. (Q.S. al-Baqarah ayat 222)
Hampir dalam setiap kitab fiqh, para fuqaha selalu menyimpan
pembahasan thaharah sebagai sesuatu yang dibahas di awal bab. Hal ini
menunjukkan betapa pentingnya kebersihan atau kesucian dalam Islam. Selain
dapat menjaga ummatnya dari berbagai penyakit, thaharah dalam Islam juga
berperan sebagai syarat dari sahnya sebuah peribadahan. Seseorang tidak dapat
beribadah saat ia memiliki hadats. Ia pun tidak dapat beribadah saat pakaian atau
tempat yang akan dilaksanakannya peribadahan terkena najis. Dalam al-Quran,
Allah SWT. menegaskan betapa pentingnya thaharah dalam Islam. Allah SWT.
Berfirman:
ك فَطَه ِّۡر
َ ََوثِيَاب
Artinya: Dan pakaianmu bersihkanlah (QS. Al-Muddatstsir, 74: 4)
ِ ِٰيٓاَيُّهَا الَّ ِذي َْن ٰا َمنُ ْٓوا اِ َذا قُ ْمتُ ْم اِلَى الص َّٰلو ِة فَا ْغ ِسلُ ْوا ُوج ُْوهَ ُك ْم َواَ ْي ِديَ ُك ْم اِلَى ْال َم َراف
ق
َوا ْم َسح ُْوا بِ ُر ُء ْو ِس ُك ْم َواَرْ ُجلَ ُك ْم اِلَى ْال َك ْعبَ ْي ۗ ِن َواِ ْن ُك ْنتُ ْم ُجنُبًا فَاطَّهَّر ُْو ۗا َواِ ْن ُك ْنتُ ْم
ضى اَ ْو َع ٰلى َسفَ ٍر اَ ْو َج ۤا َء اَ َح ٌد ِّم ْن ُك ْم ِّم َن ْال َغ ۤا ِٕى ِط اَ ْو ٰل َم ْستُ ُم النِّ َس ۤا َء فَلَ ْم تَ ِج ُد ْوا ٓ ٰ َّْمر
ص ِع ْيدًا طَيِّبًا فَا ْم َسح ُْوا بِ ُوج ُْو ِه ُك ْم َواَ ْي ِد ْي ُك ْم ِّم ْنهُ ۗ َما ي ُِر ْي ُد هّٰللا ُ لِيَجْ َع َل َ َم ۤا ًء فَتَيَ َّم ُم ْوا
ج َّو ٰل ِك ْن ي ُِّر ْي ُد لِيُطَهِّ َر ُك ْم َولِيُتِ َّم نِ ْع َمتَهٗ َعلَ ْي ُك ْم لَ َعلَّ ُك ْم تَ ْش ُكر ُْو َن
ٍ َعلَ ْي ُك ْم ِّم ْن َح َر
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan
shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan
sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki,
dan jika kamu junub Maka mandilah, dan jika kamu sakitatau dalam
perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh
perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, Maka bertayammumlah
dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu
dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi dia
hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya
bagimu, supaya kamu bersyukur. (QS. Al-Maa’idah, ayat 6)
Ayat di atas menerangkan bahwasanya tidak akan diterima setiap ibadah
yang kita lakukan jika tidak dilakukan dalam kondisi badan yang suci dan bersih.
Begitulah Islam mengajarkan sebuah sikap agar senantiasa menjaga kebersihan
dan kesucian. Kebersihan dan kesucian adalah hal yang thayyib yang akan
menjadi syarat diterimanya segala sesuatu. Maka dari itu, tidak ada alasan bagi
setiap mu’min untuk tidak menjaga kebersihan dan kesucian diri dan
lingkungannya. Jika seorang mu’min tidak peduli terhadap kondisi
lingkungannya, maka tentulah imannya belum sempurna sebagaimana seorang
yang sedang shalat yang kemudian melupakan salah satu dari rukun shalat. Sudah
tentu shalatnya tidak diterima. Jangan sampai, keimanan kita tidak diterima oleh
Allah SWT. dikarenakan kita lalai dalam menjaga kebersihan dan kesucian, baik
diri maupun lingkungan kita.
2. Saran