Anda di halaman 1dari 17

Thoharoh : Tayammum, Mandi Janabah dan Istinja

Untuk Memenuhi Mata Kuliah Praktik Ibadah


Dosen Pengampu : TB. Nurwahyu, S.Ag., M.Ag.

Disusun Oleh :

Abiyu Haidar 211330142

Sahrul 211330120

Ria Oktaviani 211330133

KOMUNIKASI PENYIARAN ISLAM

FAKULTAS DAKWAH

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SULTAN MAULANA HASANUDDIN BANTEN

Jl. Raya Syeikh Nawawi Bantaniy No. 30 Kemanisan, Curug,

Kota Serang, Banten 42171


KATA PENGANTAR

Puja dan puji syukur kehadirat Allah SWT. atas limpahan rahmat, hidayah, dan
inayahNya. Sholawat dan salam marilah kita curahkan kepada baginda Nabi Muhammad SAW
yang telah memberikan pencerahan dari zaman kegelapan hingga zaman terang benderang ini.

Alhamdulillah penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Thoharoh : Tayammum,


Mandi Janabah dan Istinja” ini tepat pada waktunya.

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah
Praktik Ibadah. Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna karena
sesungguhnya kesempurnaan hanyalah milik Esa Allah SWT. Oleh karena itu, penulis
menerima kritik dan saran yang sifatnya membangun demi memperbaiki isi dari makalah ini.
Kami berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat dan dapat menambah wawasan kepada
para pembaca, mengenai proses interaksi sosial dan semoga dapat dijadikan sumber
pengetahuan baru untuk menghasilkan berbagai macam bahan bacaan.

Serang, 21 September 2022

Kelompok 3

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB I PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Rumusan Masalah 1
1.3 Tujuan 1
BAB II PEMBAHASAN 2
2.1 Pengertian Thoharoh 2
2.2 Thaharah dengan Najis 3
2.3 Tujuan Thaharah 4
2.4 Hikmah dan Manfaat Thaharah 5
2.5 Pengertian Tayammum 6
2.6 Pengertian Mandi Janabah 7
2.7 Pengertian Istinja’ 9

BAB III PENUTUP 12


3.1 Kesimpulan 12
3.2 Saran 13
DAFTAR PUSTAKA 14

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Persoalan thaharah erat hubungannya dengan pelaksanaan ibadah. Shalat adalah salah
satu ibadah yang paling sering dilaksanakan terutama shalat wajib lima waktu,puasa
ramadhan. Juga ibadah – ibadah yang lain thawaf, memegang mushaf dan lain – lainnya.
Maka dalam pelaksanaannya ibadah shalat tersebut tidak sah kecuali sebelumnya seluruh
keadaan, pakaian, badan, tempat dan sebagainya dalam keadaan bersih dan suci, baik suci
dari hadas besar, maupun hadas kecil, dan najis.
Hadas menghalangi shalat, maka berthaharahlah (bersuci ) sebagai kunci untuk dapat
sesorang melaksanakan ibadah. Hal ini juga ditunjukkan oleh ijtihad para fuqaha dalam
tulisan-tulisan mereka yang selalu diawali dengan pembahasan thaharah. Hal tersebut
menunjukkan betapa pentingnya masalah thaharah ini. Untuk itu, thaharah tidak hanya
cukup untuk diketahui, tetapi juga harus dipraktekkan secara benar. Dalam kenyataannya,
ada sebagian umat Islam yang masih kurang tepat dalam melakukan praktek thaharah.
dikarenakan kurangnya pengetahuan atau semata-mata salah dalam pelaksanaannya.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat ditentukan rumusan masalah dalam
makalah ini, yaitu:
1. Apa yang dimaksud dengan Thoharoh, Tayamum, Mandi Janabah, Istinja ?
2. Apa saja macam-macam, Thoharoh ?
3. Apa saja jenis-jenis najis ?
4. Apa saja syariat, hikmah dan manfaat Thoharoh ?

1.3 Tujuan
Memahami pengertian Thoharoh, Tayamum, Mandi Janabah, Istinja.
Memahami macam-macam, Thoharoh.
Memahami syariat, hikmah dan manfaat Thoharoh.

1
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Thoharoh

Pengertian Thaharah Kata thaharah berasal dari Bahasa Arab ‫ هار َط ََل‬yang secara
bahasa artinya kebersihan atau bersuci. Sedangkan menurut istilah, thaharah adalah
mengerjakan sesuatu yang dengannya kita boleh mengerjakan shalat, seperti wudhu,mandi,
tayamun, dan menghilangkan najis.. Menurut syara’, thaharah adalah suci dari hadats atau
najis, dengan cara yang telah ditentukan oleh syara atau menghilangkan najis, yang dapat
dilakukan dengan mandi dan tayamum.( Suad Ibrahim shalih, ,2011:83 ).

Thaharah adalah memakai air atau tanah atau salah satunya menurut sifat yang
disyariatkan untuk menghilangkan najis dan hadats. thaharah secara garis besar ada tiga
macam yaitu:

1) Thaharah dari hadats, besar seperti jima’, keluar mani, haid dan nifas atau wiladah.
Cara mengankat hadas besar dengan mandi atau dengan tayammum ( apabila tidak
ada air atau dalam keadaan sakit parah yang tidak bisa kena air)
2) Thaharah dari hadas kecil yaitu dengan cara mengankat hadas kecil dengan wudhu.
atau tayammun ( apabila tidak ada air atau dalam keadaan sakit parah yang tidak
bisa kena air) . ( Ahsin W Al-Hafidz, : . 70. )

• Hukum Thaharah

Dalil thaharah tertulis dalam Quran surat Al Baqarah ayat 222. Allah SWT berfirman
menyukai orang-orang yang bertaubat dan bersuci

‫ّللا يُحِ ب التوابِيْنه هويُحِ ب ْال ُمته ه‬


Arab: ‫ط ِه ِريْنه‬ ‫اِن ٰ ه‬

Artinya: Sungguh, Allah menyukai orang yang tobat dan menyukai orang yang
menyucikan diri (Qs. Al-baqorah ayat 222)

Selain itu, dalam hadits riwayat Muslim, Rasulullah SAW, " Allah tidak
menerima sholat yang tidak disertai dengan bersuci."

2
2.2 Thaharah dengan Najis

Najasah atau najis menurut bahasa ialah kotoran dan lawan suci menurut syara’, yang
membatalkan shalat, seperti kotoran manusia dan kemih. Najis berarti sesuatu yang tidak
suci yang dapat menghalangi seseorang dalam melakukan ibadah kepada Allah. Sedangkan
jenis- jenis najis secara garis besar dibagi menjadi:

3) Bangkai, yaitu sesuatu yang mati secara alami dan bukan karena disembelih.
4) Darah, baik darah segar maupun darah haidh dan lainnya, ini sesuai dengan firman
Allah QS. Al-An‟am:145
5) Nanah dan nanah yang bercampur darah, keduanya dihukumkan najis dengan
diqiyaskan terhadap darah, kecuali jika jumlahnya sedikit maka termasuk yang
dimaafkan karena sulit menghindarinya.
6) Muntah, muntahan hukumnya najis, baik muntahan manusia atau selainnya
7) Kencing dan kotoran manusia keduanya adalah najis, kecuali menurut ulama
syafiiyah dan hanabilah, mnurut mereka jika kencingnya adalah kencing anak laki-
laki yang belum makan makanan pokok(selain air susu ibu), maka dihukumkan suci
dengan memercikan air pada bagian yang terkena kencing dan tidak wajib
mencucinya.
8) Kotoran hewan yang dagingnya tidak boleh dimakan, seperti bighlal, himar, dan
lainya adalah najis berdasarkan riwayat dari Abdullah bin mas’ud
9) Anjing dan babi serta yang dilahirkan dari keduanya atau salah satu darinya
walaupun bersama selain spesiesnya. Untuk menyucikan najis anjing , maka
diperintahkan agar menuangkan air pada tempat yang dijilat dan mencuci bejananya
10) Kotoran hewan yang dagingnya boleh dimakan. Ulama syafi’iyah dan hanafiyyah
berpendapat bahwa kotoran tersebut hukumnya najis.akan tetapi ulama hanafiyah
memberikan pengecualian terhadap hewan yang membuang kotoran di udara seperti
burung maka kotorannya adalah suci. Sementara itu ulama malikiyah dan hanabilah
mengatakan bahwa kotoran dan kencing hewan yang dagingnya boleh dimakan
adalah suci, kecuali hewan tersebut telah makan najis.
11) Madzi dan wad’i. Madzi adalah cairan bening dan lendir yang keluar ketika sedang
bercumbu dan lainnya, adapun wadi adalah air berwarna putih dan kental yang
keluar setelah kencing, keduanya adalah najis berdasarkan hadits dari riwayat Ali
12) Benda cair yang memabukkan, seperti khamar

3
13) Telur busuk, yaitu telur yang rusak dan berbau busuk, atau yang telah berubah jadi
darah, atau telah menjadi embrio tetapi mati sebelum menetas.
14) Susu hewan yang dagingnya tidak boleh dimakan, seperti keledai betina
15) Abu dan asap najis yang terbakar. Keduanya adalah najis karena mengikuti hukum
asalnya. Kecuali ulama malikiyah yang mengatakan bahwa keduanya adalah suci.(
Abdul Qadir Ar-Rahbawi, : 2007 : 50-59 ).

Berdasarkan keterangan tersebut di atas jenis -jenis najis, dapat kita diklasifikasikan
menjadi :

1) Najasah mukhaffafah ialah najis yang disucikan cukup dengan memercikkan air
pada najis, yang termasuk dalam najis ini adalah air kencing anak laki-laki yang
belum makan makanan lain kecuali susu ibunya.
2) Najasah mutawasithah ialah najis yang disucikan dengan hanya dengan
mengalirkan air di atasnya saja, kalau di hukmi dan dengan menghilangkan a’in
najis dan hilang rasa, warna dan bau dari najis.
3) Najasah mughalladhah ialah najis yang perlu dibasuh tujuh kali, salah satunya
dengan air yang bercampur dengan tanah, yaitu jilatan anjing(menurut as syafi‟i).
Klasifikasi najis tersebut dijelaskan mengenai najis-najis dan cara menyucikannya.
2.3 Tujuan Thaharah

Ada beberapa hal yang menjadi tujuan disyariatkannya thaharah, diantaranya:

1. Guna menyucikan diri dari kotoran berupa hadats dan najis.


2. Sebagai syarat sahnya shalat dan ibadah seorang hamba. Thaharah memiliki
hikmah tersendiri, yakni sebagai pemelihara serta pembersih diri dari berbagai
kotoran maupun hal-hal yang mengganggu dalam aktifitas ibadah seorang hamba.
Seorang hamba yang seanantiasa gemar bersuci ia akan memiliki keutamaan-
keutamaan yang dianugerahkan oleh Allah di akhirat nanti. Thaharah juga
membantu seorang hamba untuk mempersiapakan diri sebelum melakukan
ibadah-ibadah kepada Allah. Sebagai contoh seorang yang shalat sesungguhnya ia
sedang menghadap kepada Allah, karenanya wudhu membuat agar fikiran hamba
bisa siap untuk beribadah dan bisa terlepas dari kesibukan-kesibukan duniawi,
maka diwajibkanlah wudhu sebelum shalat karena wudhu adalah sarana untuk
menenangkan dan meredakan fikiran dari kesibukan-kesibukan duniawi untuk
siap melaksanakan sholat.

4
2.4 Hikmah dan Manfaat Thaharah

Hikmah dan manfaat thaharah sangatlah banyak, tidak hanya berhubungan dengan
masalah ritual ibadah semata, tetapi mengandung banyak hikmah dan manfaat yang lebih
mendalam dan luas. Secara garis besar manfaat thaharah mencakup manfaat jasmani yaitu
kesehatan badan seseorang dan manfaat ukhrawi bagi thaharah fisik (Suad Ibrahim shalih
: 2011: 83. ).

1. Manfaat jasmani
Pertama, membasuh seluruh tubuh dan Seluruh ruas yang ada dapat menambah
kesegaran dan semangat, menghilangkan keletihan dan kelesuan sehingga ia
dapat mengerjakan shalat secara sempurna, khusyuk dan merasa diawasi Allah
SWT.
Kedua, bersuci dapat meningkatkan kesehatan jasmani, karena kotoran biasanya
membawa banyak penyakit dan wabah. Kaum muslimin sangat layak untuk
menjadi orang yang paling sehat fisiknya, jauh dari penyakit karena agama
Islam telah mengajarkan mereka untuk menjaga kebersihan tubuh, pakaian dan
tempat tinggal.
Ketiga. Bersuci berarti memuliakan diri seorang muslim, keluarga dan
masyarakatnya
2. Manfaat ukhrawi bagi thaharah fisik
Pertama, semua orang yang memiliki ghirah agama sepakat dapat melakukan
tugas ini, tidak memandang kaya atau miskin, orang desa atau kota.
Kedua, thaharah dapat mengingatkan mereka akan nikmat Allah yang telah
menghilangkan kotoran dari diri mereka.
Ketiga, dengan melihat seorang mukmin melaksanakan perintah Allah, beramal
shaleh mencari keridhaan, mengerjakan perintah secara sempurna sesuai
dengan syari‟at yang ada, akan memupuk keimanan, melahirkan rasa diawasi
Allah sehingga setiap kali ia melakukan thaharah dengan niat mencari keridhaan
Allah SWT.
Keempat, kesepakatan seluruh kaum muslimin untuk melakukan thaharah
dengan cara dan sebab yang sama dimanapun mereka berada dan berapapun
jumlahnya, serta kesepakatan umat dalam beramal adalah sebab terjalinnya

5
keterpautan antar hati, semakin kompak dalam beramal akan semakin kuat
persatuan mereka.

Sedangkan esensi thaharah yang lengkap bagi seluruh tubuh, ialah:

a) Menghilangkan semua bau busuk yang menjadikan tidak nyaman, selain tidak
disenangi malaikat dan orang shalat bersama dalam jamaah, dan menyebabkan
mereka benci kepada orang yang berbau busuk.contohnya pada disyariatkan
mandi pada hari raya dan mandi jumat.
b) Supaya tubuh segar dan jiwa bersemangat, tidak dapat diragukan lagi bahwa
hubungan antara kebersihan tubuh dan ketentraman jiwa sangat erat. Contohnya
apabila tubuh dibersihkan setelah mubasyarah (berhubungan intim), maka
kembalilah ruh kepada kesegaran dan hilanglah kemalasan dari tubuh.
c) Memalingkan jiwa dari keadaan bahimiyah kepada malakiyah, keseimbangan
jiwa dengan syahwat jima’, menarik jiwa pada sifat ke-bahimiyah-an, apabila
terjadi demikian kita segera mandi (thaharah), maka jiwa kita akan kembali
pada sifat malakiyyah. d.Menyucikan diri dari hadats dan najis memberi isyarat
supaya kita senantiasa menyucikan jiwa dari dosa dan segala perangai yang
keji.Hikmah dan manfaat dilakukannya thaharah tersebut memberikan
pengetahuan kepada kita bahwa betapa pentingnya thaharah tidak hanya
sekedar untuk melaksanakan ibadah, tetapi juga untuk menjaga kesehatan tubuh
manusia.

2.5 Pengertian Tayammum

Pengertian tayammum Menurut bahasa, kata tayammum berarti sengaja. Sedangkan


menurut istilah (syariat) tayammum berarti beribadah kepada Allah SWT. yang secara
sengaja menggunakan debu yang bersih dan suci untuk mengusap wajah dan tangan
dibarengi niat menghilangkan hadas bagi orang yang tidak mendapati air atau tidak bisa
menggunakannya. (1 Sa’id bin Ali bin Wahaf al-Qahthani : 2006 : 157 )

Tata cara tayammum Tayammum sama halnya dengan berwudhu yang masing-masing
memiliki cara tertentu dalam pelaksanaannya, yang harus diketahui oleh seorang muslim,
baik laki-laki maupun perempuan, apabila hendak melaksanakannya. Berikut ini cara-cara
dalam tayammum:

b) Membaca basmalah dengan berniat,

6
c) Meletakkan kedua tangan ke tanah atau debu yang suci, apabila tidak ada tanah
yang khusus disediakan, maka boleh ke dinding atau jendela atau kaca yang
dianggap ada debunya, boleh pasir, batu atau yang lainnya
d) Debu yang ada di tangan kemudian ditiup dengan tiupan ringan, baru
mengusapkan debu ke wajah sekali usapan.
e) Apabila seseorang menambah usapan ke lengan sampai siku, maka kembali
diletakkan tangan ke debu kemudia diusapkan kedua telapak tangannya ke
lengannya hingga ke siku. Dan jika hanya mengusap kedua telapak tangannya
saja, maka hal itu dianggap sudah cukup baginya.

2.6 Pengertian Mandi Janabah


Sebenarnya istilah mandi wajib ini agak kurang familiar didalam kitab-kitab fiqih, para
ulama lebih sering menyebutnya dengan istilah ghusl janabah (‫( الجنابة غسل‬atau mandi
janabah. Secara bahasa, Ibnu Faris dalam kamus Maqayis Al-Lughah menjelaskan bahwa
janabah itu sendiri berarti jauh, lawan dari kata dekat. Disebut jauh karena seseorang yang
sedang berstatus janabah dia sedang dalam posisi jauh (tidak bisa melakukan) sebagian
ritual ibadah, semisal shalat, membaca AlQuran serta berdiam diri di masjid, dst.
Lebih lanjut istilah janabah digunakan untuk menunjukkan kondisi seseorang yang
sedang berhadats besar karena telah melakukan hubungan suami istri, ataupun sebab-sebab
lainnya, janabah dan hadats besar itu adalah dua kata yang mempunyai maksud yang sama.
Jika ada seseorang yang berkata: Saya sedang dalam kondisi janabah, itu berarti dia sedang
dalam keadaan berhadats besar. Sedangkan secara istilah, mandi janabah. Menggunakan
air yang suci pada seluruh tubuh dengan tata cara yang khusus dengan syaratsyarat dan
rukun-rukunnya. Mereka yang sedang dalam kondisi janabah ini hukumnya wajib mandi
terlebih dahulu agar bisa menjadi suci kembali sehingga bisa melaksanakan ritual ibadah
lainnya, semisal shalat, membaca AlQuran, berdiam diri di masjid, dst. Karena hukum
wajib inilah akhirnya orang-orang kita lebih sering menyebutnya dengan istilah mandi
wajib sebagai lawan dari mandi yang tidak wajib, dan menurut penulis penggunaan istilah
mandi wajib ini juga mempunyai nilai posistif, setidaknya untuk lebih menguatkan bahwa
memang dalam kondisi janabah (berhadats besar) seseorang wajib mandi agar bisa suci
kembali.
Dikutip dari buku Praktik Mandi Janabah Rasulullah Menurut 4 Mazhab oleh Ahmad
Sarwat, Lc., MA, para ulama mewajibkan seorang Muslim untuk mandi wajib karena enam

7
alasan. Tiga di antaranya dapat terjadi pada laki-laki dan perempuan, sedangkan tiga
lainnya untuk perempuan saja. Adapun enam faktor tersebut adalah sebagai berikut.

1. Keluar Mani
Sebab yang pertama seseorang harus mandi wajib adalah keluarnya mani. Para
ulama sepakat, keluarnya air mani menyebabkan seseorang mendapat hadast
besar. Itu berlaku dengan cara sengaja seperti jima’ atau masturbasi, maupun tidak
sengaja seperti mimpi atau sakit.
2. Bersetubuh
Bersetubuh atau melakukan hubungan suami istri juga mewajibkan seseorang
untuk melakukan mandi wajib jika ingin ibadahnya diterima oleh Allah SWT. Ini
dijelaskan dalam hadis dari Abu Hurairah r.a., Nabi SAW bersabda, "Jika
seseorang duduk di antara empat anggota badan istrinya (menyetubuhi istrinya),
lalu bersungguh-sungguh kepadanya, maka wajib mandi baginya." (HR. Bukhari
dan Muslim)
3. Meninggal
Para ulama sepakat, saat seorang Muslim meninggal dunia, wajib hukumnya bagi
keluarga atau saudara untuk memandikan jenazahnya. Sebagaimana yang
dijelaskan dalam hadist dari Ibnu Abbas r.a., Rasulullah SAW bersabda mengenai
orang yang terjatuh dari kendaraannya, kemudian meninggal. “Mandikanlah ia
dengan air dan bidara, dan kafankanlah dengan dua lapis kainnya.” (HR. Bukhari
Muslim)
4. Haid
Haid atau menstruasi adalah keluarnya darah pada wanita yang terjadi setiap
bulan. Alquran menyebut wanita yang haid sedang mengeluarkan kotoran. Para
ulama sepakat, haid menjadi sebab seorang wanita untuk mandi wajib.
Seperti yang dijelaskan dalam hadist, Nabi SAW bersabda, “Apabila haid tiba
tinggalkan sholat apabila telah selesai (dari haid) maka mandilah dan sholatlah.”
(HR Bukhari Muslim).
5. Nifas
Nifas merupakan darah yang keluar setelah wanita melahirkan. Para ulama
sepakat, nifas termasuk hadast besar yang mewajibkan seseorang untuk mandi
wajib. Adapun dasar diwajibkannya wanita yang nifas untuk mandi wajib adalah
ijma, yang didasarkan kepada qiyas dari haid.

8
6. Melahirkan
Seorang wanita yang melahirkan, meski anaknya meninggal. tetap diwajibkan
untuk melakukan mandi janabah. Bahkan jika saat melahirkan tidak ada darah
yang keluar.

Sebagian ulama mengatakan, wajib mandinya wanita melahirkan karena anak pada
hakikatnya adalah mani, meskipun sudah berwujud manusia. Dengan demikian, dasar
diwajibkannya wanita melahirkan untuk mandi wajib adalah qiyas kepada seseorang yang
mengeluarkan air mani.

2.7 Pengertian Istinja’

Istinja’ adalah bersuci dengan air atau yang lainnya untuk membersihkan najis yang
berupa kotoran yang ada atau menempel pada tempat keluarnya kotoran tersebut (qubul
dan dubur) seperti berak dan kecing. Jadi segala sesuatu yang keluar dari qubul dan dubur
adalah sesuatu yang dianggap kotor dan wajib dibersihkan atau dihilangkan, dengan
menggunakan air atau yang lainnya. Dari keterangan hadis di atas, dipahami bahwa bersuci
dari kotoran (istinja) penting dilaksanakan sebab hal ini terkait dengan adanya azab kubur
di hari kemudian, apabila istinja tidak dilaksanakan.

• Hukum Istinja'

Syaikh Abdurrahman Al-Juzairi mengatakan istinja hukumnya fardhu. Ulama


Hanafiyah berkata bahwa hukum istinja atau aktivitas lain yang menggantikan
kedudukannya seperti istijmar adalah sunnah muakkadah, baik bagi laki-laki maupun
perempuan.

Sementara itu, Hasan ibn Salim al-Kaf dalam al-Taqrirat al-Sadidah sebagaimana
dijelaskan Rosidin membagi hukum istinja menjadi 6 jenis. Antara lain sebagai berikut:

7. Wajib: Istinja hukumnya wajib jika yang keluar adalah najis yang kotor lagi basah.
Seperti air seni, madzi, dan kotoran manusia.
8. Sunnah: Istinja hukumnya sunnah jika yang keluar adalah najis yang tidak kotor.
Contohnya cacing.
9. Mubah: Jika beristinja dari keringat.

9
10. Makruh: Istinja hukumnya makruh jika yang keluar adalah kentut.
11. Haram: Haram namun sah jika beristinja dengan benda hasil ghashab. Istinja
hukumnya haram dan tidak sah jika beristinja dengan benda yang dimuliakan
seperti buah-buahan.
12. Khilaf al-aula yakni antara mubah dan makruh: Jika beristinja dengan air zam-
zam.

• Alat-alat instinja' :
1. Air
2. Batu atau benda lain yang memiliki kesamaan sifat dan fungsi dengannya.

Dalil tentang intinja

ِ‫عنهزه ة فه هي ْسته ْن ِجي ِب ْال هماء‬ ُ ‫سل هم هيدْ ُخ ُل ْال هخاله هء فهأهحْمِ ُل أهنها هو‬
‫غ هالم نهحْ ِوي ِإده هاوة مِ ْن هماء و ه‬ ُ ‫ هكانه هر‬.
‫س ْو ُل هللا ه‬
‫صلى هللا عليه و ه‬
(‫عله ْي ِه‬
‫) ُمتفهق ه‬

Artinya : “ Bilamana Rasulullah saw masuk ke kamar kecil untuk buang hajat, maka
saya (Anas ra) dan seorang anak seusia saya membawakan wadah berisi air dan satu tombak
pendek, lalu beliau istinja dengan air tersebut.” (HR Bukhari dan Muslim). (Ibnu Hajar al-
Asqalani, Bulûghul Marâm dicetak bersama Ibânatul Ahkâm, [Dârul Fikr: 2012], juz I,
halaman 113)

• Ketentuan Istinja'

Dalam istinja, orang boleh memilih tiga cara;

(1) Istinja dengan batu terlebih dahulu lalu dengan air, dan ini cara terbaik;
(2) Istinja dengan air saja; dan
(3) Istinja dengan batu saja. Namun, jika dibandingkan antara pilihan kedua dan ketiga,
lebih baik pilihan kedua, yaitu menggunakan air.

Ada beberapa ketentuan khusus yang harus dipenuhi ketika orang istinja dengan batu
atau benda lain yang memiliki kesamaan fungsi dengannya.

1. Minimal menggunakan tiga batu, atau satu namun memiliki tiga sisi.
2. Tiga batu tersebut dapat membersihkan tempat keluarnya kotoran, kubul atau
dubur, sehingga bila belum bersih, maka harus ditambah.

10
3. Tidak boleh ada tetesan air atau najis lain selain tinja dan kencing yang mengenai
kubul dan dubur.
4. Najis yang keluar saat buang hajat tidak boleh melewati shafhah (lingkaran batas
dubur), atau melewati hasyafah (pucuk zakar).
5. Najis yang dibersihkan bukan najis yang sudah kering.
6. Najis yang keluar tidak berpindah ke anggota tubuh yang lain semisal
selangkangan, paha, dan lain-lain.

Bila tidak memenuhi ketentuan-ketentuan di atas, maka mustanji atau seorang yang
istinja harus menggunakan air, tidak boleh menggunakan batu atau yang serupa dan
sefungsi.

11
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Thaharah merupakan salah satu syarat sah dalam pelaksanaan ibadah baik Shalat, puasa
maupun haji juga ibadah – ibadah -ibadah sunat lainnya.maka ibadah yang paling sering
dilaksanakan terutama shalat wajib lima waktu, jika dalam pelaksanaannya shalat tersebut
tidak sah kecuali seluruh keadaan, pakaian, badan, tempat dan sebagainya dalam keadaan
bersih dan suci, baik suci dari hadas besar, maupun hadas kecil, dan najis. Hadas
menghalangi salat, maka bersuci adalah seperti kunci yang diletakkan kepada orang yang
berhadas. Jika ia berwudhu, otomatis kunci itu pun terbuka. Hal ini juga ditunjukkan oleh
ijtihad para fuqaha dalam tulisan-tulisan mereka yang selalu diawali dengan pembahasan
thaharah. Hal tersebut menunjukkan betapa pentingnya masalah thaharah ini. Untuk itu,
thaharah tidak hanya cukup untuk diketahui, tetapi juga harus dipraktekkan secara benar.
Dalam kenyataannya, ada sebagian umat Islam yang masih kurang tepat dalam melakukan
praktek thaharah. dikarenakan kurangnya pengetahuan atau semata-mata salah dalam
pelaksanaannya.

1) Thaharah dari hadats, dilakukan karena dasar-dasar kebajikan.pokok pegangannya


bahwa perasaan halus dan jiwa yang mendapat cahaya kemalaikatan,serta perasaan
yang meminta kita menjauhkan diri dari keadaan yang tidak menyenangkan
perasaan (hadats), dan jiwa yang merasa tentram dan senang dengan keadaan suci.
Thaharah dapat meliputi seluruh tubuh seperti jima’, keluar mani, haid dan nifas
atau bagian tertentu dari tubuh seperti kencing, kemih, buang air besar dan yang
disamakan dengannya.dapat diambil kesimpulan bahwa thaharah yang lengkap
dibebankan bagi orang yang hadats lengkap, dan thaharah tidak lengkap dibebankan
bagi orang yang berhadats tidak lengkap pula.
2) Thaharah dari najis yang terdapat di badan, kain dan tempat baik tempat ibadah
maupun tempat umum.Thaharah dari najis digerakkan oleh kehajatan hidup
manusia yang secara kodratnya manusia tidak menyukai dirinya kotor.
3) Thaharah dari kotoran yang bersifat fitrah, seperti bulu ketiak, bulu hidung dan bulu
kemaluan.

12
3.2 Saran
Agama Islam sangat memperhatikan masalah thararah karena dalam ilmu fiqih poin
pertama yang dijumpai adalah masalah thaharah. Shalat, adalah tiang agama karena tanpa
shalat berarti kita sama saja meruntuhkan agama. Ibarat rumah, kalau tidak ada
tiangnya tentu akan runtuh. Puasa adalah menahan nafsu. Islam mengajak kita berpuasa
agar menahan nafsu. Semoga makalah ini sangat bermanfaat bagi kita semua. Jika terdapat
kesalahan harap dimaklumi, karena manusia tidak pernah luput dari kesalahan.

13
DAFTAR PUSTAKA

Ahsin W Al-Hafidz, fikih kesehatan, 1 Suad Ibrahim shalih,Fiqh Ibadah Wanita

Suad Ibrahim shalih,Fiqh Ibadah Wanita, Jakarta:AMZAH,2011


Abdul Qadir Ar-Rahbawi, Fikih Shalat Empat Madzhab, Jogjakarta: Hikam
Sa’id bin Ali bin Wahaf al-Qahthani, Panduan Bersuci,Jakarta: Almahira, 2006

Yasmin, P. (2021, March 4). Pengertian Thaharah dalam Islam dan Macam-macamnya.

Detikedu; detikcom. https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-5480457/pengertian-

thaharah-dalam-islam-dan-macam-macamnya

Ahmad Dirgahayu Hidayat. (2021, August 26). Istinja: Pengertian, Hukum, dan Tata

Caranya. Nu.or.id; https://islam.nu.or.id. https://islam.nu.or.id/thaharah/istinja-

pengertian-hukum-dan-tata-caranya-L1KH6

14

Anda mungkin juga menyukai