Anda di halaman 1dari 16

TUGAS MATA KULIAH DOSEN PENGAMPU

FIQIH AHMAD FAUZI, MA

THAHARAH

NAMA KELOMPOK 2 :

1. AMMAR KHATIB

2. AMZ SIREGAR

3. CICI WIDYA SARI

4. ELPIANA

5. IRVAN ZULFIKAR

6. JUSMAN

7. LINDA ANJELI

8. NAZWA ALYA SABRINA

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM AL – KIFAYAH RIAU

PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

2023 / 2024
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur kepada ALLAH SWT atas rahmat dan keberkahannya
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul “THAHARAH”. Dan tidak
lupa juga kami ucapkan terima kasih kepada pihak yang telah membantu dalam
menyelesaikan makalah ini dan terimakasih juga kepada bapak dosen pengampu mata kuliah
HADITS.

Kami sadari makalah ini jauh dari kata sempurna, oleh karna itu kami mengharapkan
adanya kritik dan saran dari pembaca / pendengar yang membangun demi kesempurnaan
makalah ini.

Semoga makalah yang kami susun ini dapat menambah wawasan yang bermanfaat kepada
para pembaca / pendengar.

PENYUSUN

Kelompok 2
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL...........................................................................................................I

KATA PENGANTAR.........................................................................................................ii

DAFTAR ISI ......................................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang...................................................................................................4

B. Rumusan Masalah..............................................................................................4

C. Tujuan Masalah..................................................................................................4

BAB II PEMBAHASAN

A. Definisi Thaharah..............................................................................................5

B. Macam – Macam Thaharah dan Tata Caranya .................................................6

C. Hubungan Thaharah dengan Kebersihan, Kesehatan, dan Keindahan Lingkungan

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan........................................................................................................8

B. Saran....................................................................................................................8

DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................................9
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Thaharah atau bersuci merupakan masalah penting dalam Islam, baik secara hakiki
maupun secara hukmi. Hakiki disini maksudnya adalah hal hal yang terkait dengan
kebersihan badan, pakaian, dan tempat shalat dari najis, sedangkan secara hukmi adalah
sucinya wudhu kita dari hadats. Bersuci dari hadats dan najis adalah syarat sahnya seorang
muslim dalam mengerjakan ibadah. Berdasarkan pengertian tersebut sebenarnya banyak
sekali manfaat yang bisa kita ambil dari fungsi thaharah. Thaharah sebagai bukti bahwa Islam
amat mementingkan kebersihan dan kesucian.

B. Rumusan Masalah

1. Definisi Thaharah

2. Macam – macam Thaharah dan Tata caranya

3. Jenis Jenis Air yang dapat digunakan

4. Hubungan Thaharah dengan Kebersihan, Kesehatan dan Keindahan Lingkungan

C. Tujuan Masalah

Tujuan dari pembahasan ini agar pemateri dan pembaca / pendengar dapat memahami
pengertian dari thaharah, ketentuan thaharah, alat alat bersuci, macam macam najis dan tata
cara mensucikannya, penjelasan dari istinja’, macam macam hadats dan cara mensucikannya.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi Thaharah

Secara bahasa thaharah artinya membersihkan kotoran, baik kotoran yang berwujud
maupun yang tak berwujud. Kemudian secara istilah, thaharah artinya menghlangkan
hadas,najis dan kotoran (dari tubuh, yang menyebabkan tidak sahnya ibadah lainnya)
menggunakan air atau tanah yang bersih. Sedangkan menurut hukum syara’, thaharah artinya
suci dari hadas dan najis.

B. Jenis Thaharah

Thaharah terbagi menjadi dua, secara batin dan lahir, keduanya termasuk di antara
cabang keimanan. Thaharah bathiniyah ialah menyucikan diri dari kotoran kesyirikan dan
kemaksiatan dari diri dengan cara menegakkan tauhid dan beramal saleh. Thaharah lahiriyah
ialah menyucikan diri menghilangkan hadats dan najis.

C. Bentuk Thaharah

1. Berwudhu

Adalah salah satu cara menyucikan anggota tubuh dengan air. Seorang
muslim diwajibkan bersuci setiap akan melaksanakan shalat.

2. Tayammum

Adalah thaharah dengan tanah (debu) sebagai pengganti air ketika tidak ada
air ataupun sedang berhalangan menggunakan air.

3. Mandi Besar

D. Berwudhu
Sebagaimana yang telah kita pahami bahwa wudhu merupakan(cara bersuci)
dengan menggunakan air, yang berhubungan dengan muka, kedua tangan, kepala dan kedua
kaki.
Penjelasan lebih lanjut mengenai wudhu sebagaimana berikut:

A. dasar diberlakukannya wudhu


wudhu merupakan suatu perbuatan yang disyaratkan berdasarkan pada dalil
berikut:
- dari al-qur’an. Allah berfirman,

ۚ ‫َٰٓيَأُّيَها ٱَّلِذ يَن َء اَم ُنٓو ۟ا ِإَذ ا ُقْم ُتْم ِإَلى ٱلَّص َلٰو ِة َفٱْغ ِس ُلو۟ا ُو ُج وَهُك ْم َو َأْيِدَيُك ْم ِإَلى ٱْلَم َر اِفِق َو ٱْم َسُح و۟ا ِبُرُء وِس ُك ْم َو َأْر ُج َلُك ْم ِإَلى ٱْلَك ْعَبْيِن‬

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka
basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh)
kakimu sampai dengan kedua mata kaki.( al-maidah:5:6)

- dari hadits. Abu hurairah ra. Meriwayatkan, bahwa, rasulullah saw. Bersabda,

‫اَل َي ْق َب ُل َهّٰللا َص اَل َة َأَح ِد ُك ْم ِإَذ ا َأْح َد َث حتى يتوضأ‬

“ shalat salah seorang di antara kalian tidak (akan)ndi terima apabila ia masih
berhadas, sampai ia wudhu.” HR. bukhari, muslim, abu daud dan tirmizi.

Dari ijtima’ ulama (kesepakatan para ulama). Kaum muslimin sepakat tentang di
syariatnya wudhu sejak masa rasulullah SAW. Sampai sekarang. Karnanya, wudhu
merupakan perintah yang harus di ketahui.

B. Rukun wudhu

wudhu mempunyai beberapa rukun yang harus di penuhi secara sempurna. Jika
salah satu rukun tersebut tertinggal, maka yang dilakukan tidak sah menurut hukum
syara’. Uraian lengkapnya sebagai berikut:
1. Syarat (Niat wudhu)
Hakikat niat adalah keinginan yang di tunjukkan pada suatu perbuatan tertentu
demi menggapai ridho allah dan sebagai wujud pelaksaan atas perintahnya. Niat
merupakan perbuatan hati, yang tidak berhubungan dengan ucapan secara lisan. Dan
melafalkan niat tidak ada ajaran dalam syara’. Dalil diwajibkannya niat adalah hadits
umar ra. Rasulullah SAW. Bersabda,

‫ وإنما لكل امرئ ما نوى‬،‫إنما األ عمال بالنيات‬

“ sesungguhnya amal perbuatan tergantung pada niat, dan sesungguhnya setiap


orang(mendapatkan balasan) sesuai dengan niatnya. HR.bukhari dan muslim.

Sebagian ulama berpendapat bahwa niat adalah syarat wudhu, ini adalah
pendapat imam syafi’I, malik, ahmad,abu tsaur dan daud.sementara sebagian yang
lainnya berpendapat bahwa niat bukanlah syarat, ini adalah pendapat abu hanifah dan
ats-tsauri.

Perbedaan pendapat mereka dalam menentukan wudhu antara ibadah mahdhah


(maksudnya, ibadah yang tidak bias dipahami secara akal, ia merupakan bentuk ketaan
saja seperti shalat dan yang lainnya) dan ibadah ghair madhah (yang bias dipahami
secara akal)seperti najis, pada dasarnya mereka tidak berbeda pendapat bahwa ibadah
mahdhah membutuhkan niat, sementara wudhu ada diantara dua macam ibadah ini,
karna itulah terjadi perbedaan pendapat, maksudnya karna wudhu berada diantara
ibadah dan membersihkan, sementara fiqh mempertimbangan mana yang lebih serupa
diantaranya keduanya sehingga mangambil salah satunya.

2. Tata tertib dan berurutan dalam praktek wudhu)


Allah swt. Menyebutkan rukun-rukun wudhu dalam ayat tersebut secara berurutan
dengan memisahkan antara kedua kaki dari kedua tangan-padahal kedua anggota tubuh
tersebut wajib dibasuh dan kepala wajib di usap. Dalam masalah ini, tentunya agar
mengerjakan rukun-rukun wudhu secara berurutan dan tertib. Di samping itu ayat tersebut
menjelaskan perkara-perkara yang wajib dilakukan. Dalil lain yang mewajibkan tertib dan
berurutan dalam mengerjakan rukun wudhu adalah makna umum dari sabda rasulullah.”
Mulailah suatu perkara berdasarkan apa yang telah di mulai oleh allah.”1

Para ulama berbeda pendapat tentang berturut-turut (muwalah) dalam amalan wudhu:
1. Malik berpendapat bahwa berturut-turut adalah fardhu hukumnya jika ingat
dan sanggup menunaikannya, lalu kewajiban tersebut gugur ketika lupa, atau

1
Sabiq sayyid, Op.Cit., hal.73
tidak lupa tapi tidak sanggup menunaikannya dengan syarat tidak terlalu lama
masa jedanya.
2. Sementara imam Syaf i dan Abu Hanifah berpendapat bahwa berturut-turut
tidak termasuk kewajiban dalam wudhu.2

Para ulama berbeda pendapat tentang wajibnya tertib dalam praktek wudhu sesuai
dengan urutan ayat: Sebagian ulama berpendapat tertib adalah sunah, ini adalah pendapat
yang diungkapkan dari ulama-ulama muta'akhir dari kalangan pengikut Imam Malik yang
diambil dari madzhab Maliki, ini pula pendapat yang dipegang oleh Abu Hanifah, Ats-T'sauri
dan Daud.
Sebagian ulama lain berpendapat tertib adalah fardhu, inilah pendapat yang dipegang
oleh Imam Syaf i, Ahmad dan Abu Ubaid. Tertib ini berlaku antara vang fardhu dengan
fardhu. adapun tertib antara fardhu dengan sunah para ulama berbeda pendapat:
1. Malik berpendapat mustahab (dianjurkan).
2. Sementara Abu tlanifah berpendapat sunair. 3

Adapun jenis jenis air yang dipakai yaitu :


1. Air yang terkena najis
Para ulama berbeda pendapat tentang air yang telah tercampur dengan najis
akan tetapi salah satu sifatnya tidak berubah:
a. Sebagian ulama berpendapat bahwa air tersebut tetap suci baik air itu sedikit
ataupun banyak, ini adalah salah satu riwayat Malik, dan pendapat inilah yang
dipegang oleh ahli zhahir.
b. Sebagian ulama yang lain membedakan antara air banyak dan sedikit, mereka
berpendapat jika airnya sedikit maka air itu menjadi najis, dan jika air itu banyak
maka air itu tidak menjadi najis. Merekapun berbeda pendapat mengenai batasan
banyak dan sedikitnya air:
 Abu Hanifah memberikan batasan bahwa yang disebut air
banyak adalah jika air itu berada dalam satu wadah (kolam) lalu salah
seorang menggerakan salah satu tepinya maka gerakan tersebut tidak akan
sampai ke tepi yang lainnya.
2
Ibnu rusyd, Op.Cit., h.35.

3
Ibnu rusyd, Bidayatul Mujtahud, Terj.Abu Usamah Fakhtur Rokhman(Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), hal. 19.
 Syaf I berpendapat bahwa batasan banyak adalah dua kulah dengan
ukuran kulah Hajar, tepatnya sama dengan lima ratus liter.
 Ulama lainnya tidak memberikan batasan, akan tetapi mereka
berkata, "Bahwa najis dapat merusak air yang sedikit walaupun salah satu
sifatnya tidak berubah," pendapat ini diriwayatkan dari Imam Malik.4

2. Air musta’mal ( yang sudah terpakai)


Mengenai air musta'mal yang digunakan dalam thaharah para ulama berbeda
pendapat:
l. Sebagian ulama membolehkan bersuci dengannya dalam berbagai keadaan, ini
adalah pendapat
2. Sebagian ulama lain memakruhkannya, akan tetapi tidak membolehkan tayammum
selama air tersebut didapatkan, ini adalah pendapat Imam Malik dan pengikutnya.
3. Sebagian ulama lainnya tidak melihat adanya perbedaan antara air musta'mal
dengan air mutlak, inilah pendapat yang dipegang oleh Abu Tsaur, Daud, dan para
pengikutnya. Sementara Abu Yusuf mengeluarkan pendapat yang syadz, bahwa air
musta'mal adalah najis.

3. Air yang berubah


Air yang tercampur minyak ja'faran atau segala macatn benda suci yang
biasanya bisa dipisahkan, jika semua itu bisa merubah salah satu sifat air maka airnya
tetap suci menurut semua ulama, akan tetapi tidak menyucikan menurut Malik dan
Syaf i, dan menyucikan menurut Abu Hanifah selama perubahannya bukan dengan
dimasak.
Sebab perbedaan pendapat: Tidak jelasnya cakupan air mutlak untuk air yang
tercampur hal-hal seperti ini (maksudnya apakah masih dikatakan air mutlak jika
tercampur dengan hal-hal seperti diatas tadi).
l. Sebagian ulama yang menyatakan bahwa air yang bercampur tersebut tidak
rnasuk dalarn kategori air mutlak, akan tetapi dihubungkan kepada campurannya, kita
sebut air ja'faran atau lainnya, bukan air mutlak, menurut mereka air ini tidak bisa
digunakanuntukberwudhu,karenaberwudhuhanyamenggunakanairyangmutlak.

4
Ibnu rusyd, Op.Cit., h.50.
2. Sebagian ulama lainnya menyatakan bahwa air bercampur tersebut masih

dalam kategori air mutlak, mereka membolehkan berwudhu dengannya.

E. Tayamum
 Praktek Bersuci yang dapat Diganti dengan Tayammum
Para ulama telah sepakat bahwa tayammum sebagai pengganti dari bersuci
kecil (wudhu), dan mereka berbeda pendapat apakah dapat mengganti bersuci
besar(mandi

l. Diriwayatkan dari Umar dan Ibnu Mas'ud bahwa tayammum tidak bisa
dijadikan pengganti untuk mandi (menghilangkan hadats besar).

2. Ali dan beberapa sahabat yang lain berpendapat bahwa tayammum bisa
menjadi pengganti untuk bersuci dari hadats besar, dan pendapat inijuga
dianut oleh mayoritas ulama fikih.

 Siapakah yang Boleh Melakukan Tayammum?


Para ulama sepakat bahwa tayammum diperbolehkan kepada dua
kelompok; orang sakit dan yang sedang melakukan perjalanan apabila tidak
mendapatkan air, lalu mereka berbeda pendapat mengenai empat orang: Orang
sakit yang mendapatkan air, akan tetapi ia takut apabila menggunakannya
dapat membahayakankeselamatandirinya.
- Orang yang tidak dalam perjalanan (mukim) dan tidak memiliki air.
- Orang sehat yang dalam perjalanan dan mendapatkan air, hanya saja ia
terhalang untuk menggapainya lantaran takut. Orang yang takut menggunakan
air karena cuaca yang sangat dingin. Orang sakit yang mendapatkan air,
namun merasakhawatirapabilamenggunakannya, dalam hal ini ada perbedaan
pendapat:
l. Mayoritas ulama berpendapat: dia boleh bertayammum, juga bagi orang
sehat yang takut celaka atau akan menderita sakit keras karena suhu air
yang sangat dingin, juga bagi orang yang takut keluar rumah (kondisi tidak
aman) untuk mendapatkan air, hanya saja kebanyakan dari
mereka mewajibkannya untuk mengulang (shalatnya) apabila telah
mendapatkanair.
2. Atha berkata, "Orang sakit dan lainnya (sehat) tidak boleh
bertayammum apabi la terdap
Adapunorangsehatyangmukim(tidak"dalamperjalanan)yang
tidakmendapatkanair:
l.ImanMalikdanSyafi,imembolehkannyauntukbertayammum.
2. Abu Hanifah berkata, "Orang sehat yang mukim tidak diperbolehkan
bertayammum, apabila terdapat air.
 Syarat-Syarat yang Membolehkan Tayammum
Ada tiga masalah utama yang berkaitan dengannya: Pertama: Apakah niat
termasuksyarattayammumatautidak?
Kedua:Apakahthalab(usahamencariair)merupakansyarat bolehnya tayammum ketika
tidakmemiliki air? Ketiga:Apakahmasuknyawaktutermasuksyaratbolehnya
tayammum atau tidak?
1. Niat
. 1. Jumhur ulama berpendapat bahwa niat adalah syarat tayammum,
karena niat merupakan ibadah yang tidak dapat dipahami secara akal
(logika).
2. Sementara Zufar berkata dengan pendapatnya yang sangat janggal,
"Sesungguhnya niat tidak termasuk syarat tayammum karena memang
pada dasarnya tayammum tidak membutuhkan niat." Juga, diriwayatkan
dari Al Auza'i, dan Hasan bin Hay, hanya saja pendapat ini dho'if (lemah).
2. Upaya Mencari Air
Imam Malik dan Syaf i mensyaratkan adanya upaya mencari air,
sementara Abu Hanifah tidak mensyaratkannya.
3. Masuk waktu
. Sebagaian ulama mensyaratkan telah masuknya waktu (shalat Batasan
Mengusap Kedua Tangan ini adalah pendapat Malik dan Syaf i. 2.
Sebagian yang lain tidak mensyaratkannya, ini adalah pendapat Abu
Hanifah, ahlu zhahir, dan Ibnu Sya'ban yang termasuk pengikut imam
Malik.

 Tata Cara Tayammum

1. Mengusap Kedua Tangan

2. Tepukan tanah ketika bertayamum

3. Sampainya tanah keseluruh anggota tayamum

 Sesuatu yang Digunakan untuk Bertayammum

Sebelumnya mereka bersepakat bahwa tayammum bisa dilakukan dengan


menggunakan tanah yang baik, lalu mereka berbeda pendapat padi selain tanah
dari berbagai unsur lain dari tanah, seperti batu.
l. Menurut Syafiri, tayammum tidak boleh dilakukan kecuali dengan debu
murni, sementara Malik dalam pendapatnya yang masyhur' taya-mrnum dapat
dilakukan dengan apa saja yang terdapat di bagian atas, tanah,kerikil dll

2.Abu Hanifah menambahkan, Bisa saja dengan segala Sesuatu yang


keluar dari bumi, seperti batu, kafur, tanah liat, bata dan malner.

3. Diantara mereka ada juga yang mensyaratkan bahwa debunya harus


berada di atas permukaan bumi, ini adalah pendapat jumhur, lalu
AhmadbinHanbal berpendapat boleh bertayammum dengan menggunakan
debu pakaian dan rambut.

F. Mandi besar

 Mengetahui tata cara mandi


1. Ad-dolk (menggosok-gosok badan)
Para ulama berbeda pendapat apakah di antara syarat bersuci dengan mandi
diharuskan terjadinya mengeluskan tangan ke semua bagian badan seperti dalam
berwudhu, ataukah cukup hanya dengan mengucurkan air ke semua bagian badan
walau tanpa sentuhan langsung kedua tangan.
Mayoritas ulama berpendapat bahwa mengucurkan air saja sudah cukup.
Sementara Malik dan mayoritas pengikutnya, serta Al Muzanni (pengikut Syaf i)
berpendapat bahwa jika terlewat satu bagian saja maka bersucinya belum
sempurna.5
2. Niat
Para ulama berbeda pendapat apakah niat termasuk dalam syarat mandi hadats
ataukah tidak. Kondisi ini sama seperti perbedaan mereka dalam hukum niat saat
berwudhu: Malik, Syaf i, Ahmad, Abu Tsaur, Daud dan para pengikutnya
berpendapat bahwa niat termasuk syarat mandi. Sementara Abu Hanifah dan
pengikutnya, serta Ats-Tsauri berpendapat bahwa mandi cukup dilakukan tanpa
niat, seperti halnya berwudhu.
3. Berkumur dan istinsyaq (memasukan air mengeluarkan air dari hidung)
Para ulama berbeda pendapat tentang hukum berkumur dan istinsyaq seperti
perbedaan pendapat mereka dalam masalah wudhu (antara wajib atau tidak).
Sekelompok ulama menilai bahwa keduanya adalah wajib untuk dilakukan.
Sementara ulama lain berpendapat tidak wajib. Di antara ulama yang tidak
berpendapat wajib adalah Malik dan Syaf i. Dan yang menilainya wajib adalah
Abu Hanifah dan para pengikutnya.
4. Bersegera dalam membasuh dan melakukannya secara tertib (berurutan)
Para ulama juga berbeda pendapat apakah dalam hukum mandi disyaratkan
untuk melakukannya segera dan tertib (berurutan), ataukah kedua tindakan ini
(bersegera dan tertib) bukan termasuk syarat bagijenis thaharah ini, seperti halnya
beda pendapat mereka dalam masalah hukum wudhu.

5
Ibnu rusyd, Op.Cit., h.92.
 Hal-hal yang Membatalkan Mandi Hadats
1. Keluarnya mani

l. Keluar mani dengan cara sehat saat tidur ataupun terjaga, baik bagi laki-laki
maupun perempuan wajib hukumnya untuk mandi hadats.Takhrij-nyatelahdisebutkan.
Kecuali sebuah pendapat yang disampaikan An-Nakha'i yang tidak mewajibkan
mandi bagi seorang wanita disebabkan mimpi bersenggama'
2. Hanya saja, jumhur ulama sepakat untuk menyamakan konteks hukum bagi
laki-laki dan perempuan dalam hal mimpiTima' (senggama). Berdalit dengan hadits
Ummu Salamah RA yang tsabit, "Wahai Rasulultah, seorang wanita telah bermimpi
seperti yang dilihat oleh lakilaki datam tidurnya. Apakah wajib baginya untuk mandi
hadats?" Beliau
menjawab, "Ya,.iika dia melihat air (mani).
1. Haid
Adapun hadats kedua yang disepakati untuk dilakukannya mandi hadats
adalah darah haid (kala berhenti keluar). lni berdasarkan firman Allah SWT: Dan
mereka bertanya kepadamu tentang haidh.--" (Qs' Al Baqarah [2]:222) Demikian pula
berdasarkan perbuatan Nabi SAW yang mengajarkan mandi kepada Aisyah RA
karena haid, dan para istri beliau lainnya. Para ulama berbeda pendapat dalam hal
ushul pada masalah ini. Dan terbagi dalam dua masalah yang cukup populer berikut
ini:
2. Jima' (senggama)
Para sahabat Rasulullah SAW berbeda pendapat seputar batasan jima' yang
mewajibkan untuk mandi: Sebagian para sahabat ada yang berpendapat bahwa yang
mewajibkan mandi adalah ketika bertemunya dua khitan (alat kelamin), baik yang
menyebabkan keluarnya mani ataupun tidak. Inilah pendapat yang dipegang oleh
kebanyakan ulama di berbagai negeri, Malik dan pengikutnya, Syaf i dan
pengikutnya, demikian pula sekelompok dari kalangan Ahluzh-Zhuftn' (kalangan
tekstualis pengikut madzhab Daud Azh-Zhahiri). Sementara sekelompok ulama dari
kalangan Ahluzh-Zhahir
berpendapat bahwa mandi hanya wajib dilakukan karena keluarnya mani.6
3. Jenis mani yang mewajibkan mandi
Para ulama berbeda pendapat tentang karakter (enis) mani yang
andai keluar maka mewajibkan dilakukannya bersuci: Malik mempertimbangkan
keluarnya mani disebabkan oleh adanya syahwat. Syaf i menilai konteks keluarnya
mani-lah yang mewajibkan dilakukannya mandi, baik dengan adanya syahwat
ataupun tidak.

6
Ibnu rusyd, Op.Cit., h98..
 Hukum Janabah dan Haid
1. Masuk ke dalam masjid
Para ulama berbeda pendapat tentang hukum masuknya orang yang tengah
junub ke dalam masjid, menjadi tiga pendapat: l. Sekelompok ulama melarangnya
secara mutlak. Ini adalah pendapat madzhab Maliki dan pengikutnya. 2.ulama lain
melarangnya, kecuali bagi yang hanya sekedar lewat masjid dan tidak berdiam di
dalamnya. Di antara yang berpendapat demikian adalah Syaf i.
.BolehuntukSemuaorang(baikyangberjunubmaupuntidak)'Di antara yang
berpendapat demikian setahu kami adalah Daud Azh-zhahiri dan para
pengikutnya.
2. Menyentuh mushaf Al Qur'an
Sekelompok ulama menyatakan orang yang junub boleh hanya sekedar
menyentuhnya. Sedangkan ulama lain melarangnya, mereka adalah kalangan
ulama yang melarang seorang yang junub untuk menyentuh mushaf ketika tidak
berwudhu.
3. Membaca Al Qur'an bagi orang yang tengah junub
Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini. Jumhur ulama melarangnya,
sedangkan sekelompok ulama membolehkannya.

H. Hubungan antara Thaharah dengan Kebersihan, Kesehatan dan Keindahan


Lingkungan

Dalam hubungan Thaharah dengan Kesehatan memiliki hubungan yaitu menjaga keadaan
tubuh tetap bersih dan suci sehingga cenderung lebih hati hati dalam bertindak dan
menyentuh barang atau yang lainnya sehingga meminimalisir terjangkitnya virus penyakit.

Sedangkan hubungan Thaharah dengan Kebersihan suatu hakikat yang utama dimana
agama kita menekankan dan memperhatikan perihal bersuci.hakikat dmna umat Islam harus
selalu menjaga kebersihan agar terhindar dari penyakit.

Hubungan Thaharah dengan Keindahan Lingkungan adalah


BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Thaharah berarti bersuci. Thaharah memiliki macam macam cara yakni berwudu,
bertayammum, dan mandi kecil / besar. Dalam melakukan thaharah juga memiliki sarana
berupa air yang mempunyai macam – macam jenis ada yang bisa digunakan untuk bersuci
ada juga yang tidak.Thaharah pun memliki hubungan bagi kebersihan,kesehatan,dan
keindahan lingkungan kita.

B. saran

Semoga isi dari makalah ini dapat menambah wawasan pemateri dan pembaca / pendengar,
menambah ilmu pengetahuan dll.
DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai