Anda di halaman 1dari 15

THAHARAH

MAKALAH
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Fiqh I
Dosen Pengampu: Prof. Dr H. Oyo S. Mukhlas, M.Si.
Asisten Dosen: Kefi Fadilah, M.Pd.

Disusun Oleh:

Muhammad Muslim (020.011.0017) PAI Reg Smt II


Elis Sriwinarni (020.011.0006) PAI Reg Smt II

FAKULTAS TARBIYAH
PROGAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM SILIWANGI BANDUNG
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur senantiasa kami panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini guna
memenuhi tugas kelompok mata kuliah Fiqh I, dengan tema “Thaharoh”. Tidak lupa juga
shalawat serta salam kami curah limpahkan kepada nabi Muhammad SAW.

Kemudian kami ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Rekan kelompok
kami yang telah membantu dalam proses penyusunan makalah ini. Sehingga makalah ini
dapat diselesaikan tepat pada waktunya.

Kami menyadari bahwasanya makalah ini masih jauh dari kata sempurna dikarenakan
terbatasnya pengalaman dan pengetahuan kami. Oleh karena itu, kami mengharapkan segala
bentuk saran maupun kritikan dari berbagai pihak.

Akhirul kalam, kami harap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi para
pembacanya.

i
Cimahi, 04 Maret 2021

Penyusun,

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..........................................................................................................................i
DAFTAR ISI........................................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN....................................................................................................................1
A. LATAR BELAKANG...............................................................................................................1
B. RUMUSAN MASALAH...........................................................................................................1
C. TUJUAN...................................................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN......................................................................................................................2
A. PENGERTIAN THAHARAH...................................................................................................2
B. PEMBAGIAN THAHARAH....................................................................................................3
C. MACAM-MACAM DAN PEMBAGIAN AIR.........................................................................3
D. BENDA-BENDA YANG TERMASUK NAJIS........................................................................5
E. KAIFIAT (CARA) MENCUCI BENDA YANG KENA NAJIS...............................................7
F. HIKMAH BERSUCI.................................................................................................................8
BAB III PENUTUP.............................................................................................................................9
SIMPULAN......................................................................................................................................9
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................................................10

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Allah itu bersih dan suci. Untuk menemuinya, manusia harus terlebih dahulu
bersuci atau disucikan. Allah mencintai sesuatu yang bersih dan suci. Dalam hukum
Islam bersuci dan segala seluk beluknya adalah termasuk bagian ilmu dan amalan yang
penting terutama karena diantaranya syarat-syarat sholat telah ditetapkan bahwa
seseorang yang akan melaksanakan sholat, wajib suci dari hadas dan suci pula badan,
pakaian dan tempatnya dari najis. Dalam kehidupan sehari-hari kita tidak terlepas dari
sesuatu (barang) yang kotor dan najis sehingga thaharah dijadikan sebagai alat dan cara
bagaimana mensucikan diri sendiri agar sah saat menjalankan ibadah.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana Pengertian Thaharah?
2. Bagaimana pembagian Thaharah?
3. Bagaimana macam-macam dan pembagian Air?
4. Bagaimana benda-benda yang termasuk najis?
5. Bagaimana cara mencuci benda yang kena najis?
6. Bagaimana hikmah bersuci?

C. TUJUAN
1. Untuk mengetahui pengertian Thaharah.
2. Untuk mengetahui pembagian Thaharah.
3. Untuk mengetahui macam-macam dan pembagian Air.
4. Untuk mengetahui benda-benda yang termasuk najis.
5. Untuk mengetahu cara mencuci benda yang terkena najis.
6. Untuk mengetahui hikmah bersuci.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN THAHARAH
Thaharah menurut bahasa ialah bersih dan bersuci dari segala kotoran, baik yang
nyata seperti najis, maupun yang tidak nyata seperti aib. Menurut istilah
para fuqaha’ berarti membersihkan diri dari hadas dan najis, seperti mandi berwudlu
dan bertayammum. Suci dari hadats ialah dengan mengerjakan wudlu, mandi
dan tayammum. Suci dari najis ialah menghilangkan najis yang ada di badan, tempat
dan pakaian.
Firman Allah SWT.

‫اِ َّن هّٰللا َ ي ُِحبُّ التَّ َّوابِي َْن َوي ُِحبُّ ْال ُمتَطَه ِِّري َْن‬
Artinya: “...sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertaubat dan ia
mencintai orang orang yang suci (bersih, baik dari kotoran jasmani ataupun
kotoran rohani).
(Q.S. Al-Baqarah:222)
Dan sabda Nabi SAW: “Kebersihan adalah setengah bagian keimanan. (H.R Muslim
dan Tirmidzi) dan sabda beliau pula sesungguhnya Allah Maha Baik lagi menyukai
kebaikan. Dia adalah Maha Bersih lagi menyukai kebersihan. Dia adalah Maha
Dermawan lagi menyukai kedermawanan. Maka bersihkanlah halaman rumah-rumah
kalian dan jangan menyerupai kaum yahudi.” (H.R Tirmidzi).
Ibadah merupakan tujuan utama. Oleh sebab itu, Allah menciptakan orang-orang yang
mendapat beban dari hamba-hamba nya Allah SWT.
Ibadah yang paling agung dan paling utama adalah sholat yang merupakan tiang agama
dan syarat utama dari shalat adalah Thaharah (Bersuci).
Urusan bersuci meliputi beberapa perkara sebagai berikut:
1) Alat bersuci seperti air, tanah, dan sebagainya.
2) Kaifiat (cara) bersuci.
3) Macam dan jenis-jenis najis yang perlu disucikan.
4) Benda yang wajib disucikan.
5) Sebab-sebab atau keadaan yang menyebabkan wajib bersuci. (H. Sulaeman)

2
Adapun thaharah dalam ilmu fiqh ialah:
a. Menghilangkan najis.
b. Berwudlu.
c. Mandi.
d. Tayammum.
Alat yang terpenting untuk bersuci ialah air. Jika tidak ada air maka tanah, batu dan
sebagainya dijadikan sebagai alat pengganti air.

B. PEMBAGIAN THAHARAH
Bersuci ada dua bagian
1) Bersuci dari hadats. Bagian ini tertentu dengan badan: seperti mandi, mengambil
air sembahyang (berwudhu) dan tayammum.
2) Bersuci dari najis. Bagian ini berlaku pada badan, pakaian dan tempat. (H.
Sulaeman)

C. MACAM-MACAM DAN PEMBAGIAN AIR


1. Air yang suci dan menyucikan
Air yang demikian boleh diminum dan sah dipakai untuk penyucikan
(pembersihan) benda yang lain. Yaitu air yang jatuh dari langit atau terbit dari bumi
dan masih tetap (belum berubah) keadaanya, seperti: air hujan, air laut, air es yang
sudah hancur kembali, air embun, dan air yang keluar dari mata air.

‫َويُنَ ِّز ُل َعلَ ْي ُك ْم ِّم َن ال َّس َم ۤا ِء َم ۤا ًء لِّيُطَه َِّر ُك ْم بِ ٖه‬


Artinya: “... diturunkannya air bagimu dari langit, supaya kamu bersuci dengan
dia”. (Q.S. Al-Anfal:11)
Sabda Rasullullah SAW
Tatkala Nabi yang mulia ditanya bagaimana hukumnya sumur, “Budha’ah”, beliau
berkata: “airnya tak dinajisi sesuatu apapun”. (Riwayat Ahmad dan Tirmidzi).
Perubahan air yang tidak menghilangkan keadaan atau sifat suci-menyucikan baik
perubahan itu pada salah satu sifatnya semua sifat-sifatnya yang tiga
(warna,rasa,dan baunya) adalah sebagai berikut:

3
a. Berubah dengan sebab tempatnya, seperti air yang tergenang atau mengalir
dibatu belerang.
b. Berubah karena lama terletak, seperti air kolam.
c. Berubah karena sesuatu yang terjadi padanya, sseperti berubah dengan sebab
ikan atau kiambang.
d. Berubah dengan sebab tanah yang suci, begitu juga segala perubahan yang
sukar memeliharanya, seperti berubah oleh sebab daun-daunan yang jatuh
dari pohon-pohon yang berdekatan dengan sumur atau tempat-tempat air itu.
2. Air suci, tetapi tidak menyucikan
Berarti zatnya suci tetapi tidak sah dipakai untuk menyuci sesuatu. Termasuk
dalam bagian ini tiga macam air.
a. Air yang telah berubah salah satu sifatnya dengan sebab bercampur dengan
suatu benda yang suci selain daripada perubahan yang tersebut di atas,
seperti air kopi, teh dan sebagainya.
b. Air sedikit, berarti kurang dari dua Qullah, sudah terpakai untuk
mengangkatkan hadats atau menghilangkan hokum najis, sedang air itu tidak
berubah sifatnya dan tidak pula bertambah timbangannya.
c. Air pohon-pohonan atau air buah-buahan, seperti air yang keluar dari
tekukan pohon kayu(air nira), air kelapa dan sebagainya.
3. Air yang bernajis
Air yang termasuk bagian ini ada dua macam:
a. Sudah berubah salah satu sifatnya dengan najis, air ini tidak harus (tidak
boleh) dipakai lagi, baik airnya sedikit ataupun banyak, hukumnya seperti
najis.
b. Air bernajis tetapi tidak berubah salah satu sifatnya, air ini kalau sedikit
berarti, kurang dari dua Qullah, tidak pula harus (boleh) dipakai lagi,
hukumnya sama dengan najis. Jika air itu banyak berarti dua qullah atau
lebih hukumnya tetap suci-menyucikan.
Sabda Rasulullah SAW
Berkata Rasulullah SAW: “apabila cukup air dua qullah tidaklah dinajisi sesuatu
apapun”. (Riwayat Lima Ahli Hadis)
4. Air yang makruh dipakai

4
Yaitu yang terjemur pada matahari dalam bejana selain bejana emas dan perak,
air ini makruh dipakai untuk badan, tidak untuk pakaian, terkecuali air yang
terjemur di tanah seperti air sawah, air kolam dan tempat-tempat yang bukan bejana
yang mungkin berkarat. (H. Sulaeman:31)

Sabda Rasulullah SAW.


Dari `Aisyah, sesungguhnya ia telah memanaskan air pada cahaya matahari, maka
berkata Rasulullah SAW kepadanya: “janganlah engkau berbuat demikian, ya
`Aisyah, sesungguhnya air yang dijemur itu dapat menimbulkan penyakit sopak”.
(Riwayat Baihaqi).

D. BENDA-BENDA YANG TERMASUK NAJIS


Sesuatu barang (benda) menurut hokum aslinya adalah suci, selama taka da dalil
yang menunjukkan bahwa benda itu najis, benda najis itu banyak, diantaranya sebagai
berikut:
1. Bangkai binatang darat yang berdarah selain dari mayat manusia.
Firman Allah SWT:

ُ‫ت َعلَ ْي ُك ُم ْال َم ْيتَة‬


ْ ‫حُرِّ َم‬
“Diharamkan atas kamu bangkai”. (Q.S Al-Maidah:3)
Adapun bangkai ikan dan binatang darat yang tidak berdarah, begitu juga mayat
manusia, tidak masuk dalam umum arti bangkai dalam ayat tersebut, karena ada
keterangan lain. Juzu (bagian) bangkai, seperti daging, kulit, tulang, urat, bulu
dan gemuknya, semua itu najis menurut mazhab Syafi’i. sedangkan menurut
mazhab Hanafi, yang najis hanya suku-suku yang mengandung roh (suku-suku
yang bernyawa) saja, seperti daging dan kulit, sedangkan suku-suku yang tidak
bernyawa seperti kuku, tulang, tanduk, dan bulu, semuanya itu suci. Suku-suku
yang tak bernyawa dari anjing dan babi tidak termasuk najis.
Dalil kedua mazhab tersebut:
Mazhab pertama, mengambil dalil dari umma ma’na bangkai dalam ayat
tersebut, karena bangkai itu sesuatu yang tersusun dari suku-suku tersebut.
Mazhab kedua beralasan dengan hadis “Maimunah”.
2. Darah. Segala macam darah najis selain dari pada hati dan limpa.

5
Firman Allah SWT:

‫ت َعلَ ْي ُك ُم ْال َم ْيتَةُ َوال َّد ُم َولَحْ ُم ْال ِخ ْن ِزي ِْر‬


ْ ‫حُرِّ َم‬
“diharamkan atas kamu memakan bangkai, darah dan daging babi”.
(Q.S. Al-Maidah:3)
Sabda Rasulullah SAW
“telah di halalkan bagi kita dua macam bangkai dan dua macam darah, ikan
dan belalang, hati dan limpa”. (Riwayat Ibnu Majah).
Dikecualikan juga, darah yang ketinggalan dalam daging binatang yang sudah di
sembelih, begitu juga darah ikan, kedua darah ini suci/dimaafkan artinya
boleh/dihalalkan.
3. Nanah
Segala macam nanah najis, baik yang kental maupun yang cair, karena nanah itu
darah yang sudah busuk.
4. Segala benda cair yang keluar daripada dua pintu.
Semua itu najis selain daripada mani, baik yang biasa seperti kencing atau yang
tidak biasa seperti madzi. Baik daripada hewan yang halal dimakan ataupun
daripada hewan tidak halal dimakan.
5. Arak: tiap-tiap minuman keras yang memabukkan
Firman Allah SWT

‫صابُ َوااْل َ ْزاَل ُم ِرجْ سٌ ِّم ْن َع َم ِل ال َّشي ْٰط ِن‬


َ ‫اِنَّ َما ْال َخ ْم ُر َو ْال َمي ِْس ُر َوااْل َ ْن‬
“...sesungguhnya arak, judi, berhala, dan bertenung itu najis keji termasuk
perbuatan setan”. (Q.S.Al-Maidah: 90)
6. Anjing dan babi
Semua hewan suci, kecuali anjing dan babi.
Sabda Rasulullah SAW:
“cara mencuci bejana seorang kamu, apabila dijilat anjing hendaklah dibasuh
tujuh kali, air yang pertama hendaklah dicampur dengan tanah”. (Riwayat
Muslim)
7. Bagian badan binatang yang diambil dari tubuhnya selagi hidup.

6
Hukum bagian-bagian badan binatang yang diambil selagi hidup, seperti
bangkainya. Maksuudnya kalau bangkai itu najis maka yang dipotong itu juga
najis. Jika bangkainya suci, yang dipotong sewaktu hidupnya pun suci pula.
Firman Allah SWT:

‫ارهَٓا اَثَاثًا‬
ِ ‫ارهَا َواَ ْش َع‬
ِ َ‫َو ِم ْن اَصْ َوافِهَا َواَ ْوب‬
“...dari bulu-bulu binatang baik yang berupa bulu domba dan bulu unta, atau
berupa bulu kambing semua itu boleh di pakai (dibuat) perkakas rumah
tangga”. (Q.S. An-Nahl:80)

E. KAIFIAT (CARA) MENCUCI BENDA YANG KENA NAJIS


Untuk melakukan kaifat mencuci benda yang kena najis, maka baiklah
diterangkan, bahwa najis terbagi atas tiga bagian:
1. Najis “Mughallazhah” (tebal), yaitu anjing. Kaifat mencuci benda yang kena
najis ini, hendaklah dibasuh tujuh kali, satu kali dari padanya hendaklah airnya
dicampur dengan tanah.
Sabda Rasulullah SAW:
“cara mencuci bejana seorang kamu, apabila dijilat anjing hendaklah dibasuh
tujuh kali, air yang pertama hendaklah dicampur dengan tanah”. (Riwayat
Muslim)
2. Najis “mukhaffafah” (enteng) seperti kencing anak-anak laki-laki yang belum
makan-makanan selain dari ASI. Kaifat mencuci benda yang kena najis ini,
memadai dengan memercikkan air atas benda itu meskipun tidak mengalir.
Adapun kencing anak anak perempuan yang belum makan selain dari ASI maka
kaifat mencucinya hendaklah dibasuh sampai mengalir air di atas benda yang
kena najis itu, dan hilang zat najis itu.
Sabda Rasulullah SAW:
“kencing anak-anak perempuan dibasuh dan kencing anak-anak laki-laki di
siram”. (Riwayat Tirmidzi).
3. Najis “Mutawassithah” (pertengahan) yaitu najis yang lain daripada dua macam
yang tersebut di atas. Najis pertengahan ini terbagi atas dua bagian:

7
a. Dinamakan najis Hukmiah yaitu yang kita yakini adanya tetapi tidak
nyata zatnya, baunya, rasanya, dan warnanya. Seperti kencing yang
sudah lama kering.
b. Najis `Ainah yaitu yang masih ada zat, warna, rasa, atau baunya,
terkecuali warna atau bau yang sangat sukar menghilangkannya, sifat ini
di maafkan. Cara mencuci najis ini hendaklah dengan menghilangkan
zat, rasa, warna dan baunya.

F. HIKMAH BERSUCI
1. Thaharah termasuk tuntutan fitrah.
2. Memelihara kehormatan dan harga diri orang Islam.
3. Memelihara kesehatan.
4. Menghadap Allah dalam keadaan suci dan bersih.
5. Thaharah berfungsi menghilangkan hadas dan najis juga berfungsi sebagai
penghapus dosa kecil dan berhikmah membersihkan kotoran indrawi.

8
9
BAB III
PENUTUP

SIMPULAN
Kebersihan yang sempurna menurut syara’ disebut thaharah, merupakan
masalah yang sangat penting dalam beragama dan menjadi pangkal dalam beribadah
yang menghantarkan manusia berhubungan dengan Allah SWT. Tidak ada cara bersuci
yang lebih baik dari pada cara yang dilakukan oleh syarit Islam, karena syariat Islam
menganjurkan manusia mandi dan berwudlu. Walaupun manusia masih dalam keadaan
bersih, tapi ketika hendak melaksanakan sholat dan ibadah-ibadah lainnya yang
mengharuskan berwudlu, begitu juga dia harus pula membuang kotoran pada diri dan
tempat ibadahnya dan mensucikannya karena kotoran itu sangat menjijikkan bagi
manusia.

10
DAFTAR PUSTAKA

Dr.Yusuf Al-Qaradhawi, Fiqih thaharah. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar. 2004


H. Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam. Jakarta: Penerbit Attahiriyah. Cetakan ketujuhbelas.
Muhammad Bagir Al-Habsyi. fiqih praktis. Bandung: Media Utama.
Muhammad Jawad Mughaniyah. fiqih lima madzab. Jakarta: PT Lentera Basri Tama

11

Anda mungkin juga menyukai