THAHARAH II
Dosen Pengampu:
Disusun Oleh:
Ayunda (2131060113)
Kelompok I
Puji syukur kehadiran Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya
sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang diberikan. Adapun tujuan dari
penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas yang diberikan oleh Ibu Fitri Windari
pada mata kuliah Praktikum Ibadah semester 4 di prodi Psikologi Islam, UIN Raden Intan
Lampung.
Selain itu dibuatnya makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang,
para pembaca dan juga bagi penulis. Kami mengucapkan banyak terima kasih kepada Ibu
Fitri Windari Pembimbing mata kuliah praktikum ibadah yang telah memberikan tugas
ini sehingga bisa menambahkan pengetahuan serta wawasan yang sesuai dalam bidang
studi yang kami tekuni.
Kami menyadari, makalah yang kami tulis masih mempunyai banyak kekurangan
dan belum sempurna. Maka dari itu, kami berharap kritik dan saran yang membangun akan
membuat makalah ini menjadi sempurna.
Penulis
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR............................................................................................................................i
DAFTAR ISI.........................................................................................................................................ii
BAB I....................................................................................................................................................1
PENDAHULUAN.................................................................................................................................1
A. Latar Belakang........................................................................................................................1
B. Rumusan masalah....................................................................................................................2
C. Tujuan......................................................................................................................................2
BAB II...................................................................................................................................................3
PEMBAHASAN...................................................................................................................................3
A. Pengertian Najis.......................................................................................................................3
B. Macam-Macam Najis..............................................................................................................3
C. Jenis-Jenis Najis (Ainiyah dan Hukmiyah)............................................................................4
D. Cara Menyucikan Najis...........................................................................................................5
E. Istinja........................................................................................................................................7
F. Najis Ma'fu...............................................................................................................................9
BAB III................................................................................................................................................10
PENUTUP...........................................................................................................................................10
A. Kesimpulan............................................................................................................................10
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................................................11
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kata thaharah berasal dari Bahasa Arab yang secara bahasa artinya kebersihan
atau bersuci. Sedangkan menurut istilah, thaharah adalah mengerjakan sesuatu yang
dengannya kita boleh mengerjakan shalat, seperti wudhu,mandi, tayamun, dan
menghilangkan najis.. Menurut syara', thaharah adalah suci dari hadats atau najis,
dengan cara yang telah ditentukan oleh syara atau menghilangkan najis, yang dapat
dilakukan dengan mandi dan tayamum. Dari beberapa pengertian tentang thaharah
tersebut, maka thaharah berarti menyucikan dan membersihkan diri dari najis dan
hadats sebagai salah satu syarat melakukan ibadah yang dapat dilakukan dengan
wudhu, mandi dan tayamum dengan alat yang digunakan yaitu air, debu, dan atau
batu.
Hadats dan najis menghalangi untuk beribadah kepada Allah seperti
melaksanakan shalat, puasa, thawaf dan memegang al-Qur'an, maka wajib
berthaharah (bersuci) sebagai kunci untuk dapat melaksanakan ibadah. Para Fuqaha
meletakkan bab thaharah selalu diawal pembahasan. Hal tersebut menunjukkan betapa
pentingnya masalah thaharah. Justru itu, thaharah tidak hanya cukup untuk diketahui,
tetapi juga harus dipraktekkan secara benar,baik hadas maupun najis. Menyucikan diri
dari hadats dan najis memberi isyarat supaya kita senantiasa menyucikan jiwa dari
dosa dan segala perangai yang keji. Hikmah dan manfaat dilakukannya thaharah
tersebut memberikan pengetahuan kepada kita bahwa betapa pentingnya thaharah
tidak hanya sekedar untuk melaksanakan ibadah, tetapi juga untuk menjaga kesehatan
tubuh manusia. Tetapi pada kenyataannya, sebagian umat Islam masih kurang
memahami dalam melaksanakan praktek thaharah. secara benar dikarenakan
kurangnya pengetahuan,sehingga salah dalam pelaksanaannya. Apabila thaharah tidak
benar atau tidak sempurna, maka pelaksanaan ibadah yaitu shalat, puasa, thawaf,
i'tiqaf, memegang al- Qura'an dan lain-lainnya tidak sah atau batal. Karena salah satu
syarat sah pelaksnaan tersebut adalah thaharah,
1
B. Rumusan masalah
C. Tujuan
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Najis
Pengertian najis berasal dari bahasa Arab najasah artinya najis. Najis menurut
istilah syariat Islam yaitu suatu benda yang kotor yang mencegah sahnya mengerjakan
suatu ibadah yang dituntut harus dalam keadaan suci seperti shalat.
Benda-benda yang kelihatan kotor atau terkena kotoran, belum tentu najis,
demikian juga sebaliknya benda benda yang terkena najis kadang-kadang
kelihatannya masih bersih. Dalam suatu contoh, pakaian yang terkena tanah
kelihatannya menjadi kotor tetapi itu tidak najis dan tetap sah jika dipakai untuk
melakukan shalat. Hanya karena pakaian yang kotor itu tidak bagus kelihatannya
maka sebaiknya pakaian itu harus kita bersihkan jangan sampai kita shalat (beribadah)
menghadap Allah Swt. Dengan memakai pakaian yang kotor, walaupun itu sah
hukumnya.
B. Macam-Macam Najis
3
2. Najis mukhaffafah (ringan)
najis mukhaffafah adalah najis ringan yang berasal dari air kencing bayi laki-
laki berumur kurang dari 2 tahun dan belum makan apa-apa kecuali, air susu ibu
(ASI).
3. Najis mutawassithah (sedang)
Najis muttawasitoh (pertengahan/sedang) yaitu najis kotoran seperti kotoran
manusia atau binatang, air kencing, nanah, darah, bangkai, (selain bangkai ikan,
belalang, mayat manusia) dan najis-najis yang lain selain yang tersebut dalam
najis ringan dan berat. 1
Bentuk najis ainiyah dan hikmiyah merupakan bagian dari najis mutawasittah
(sedang)
a. Najis Ainiyah
Najis Ainiyah adalah najis yang masih ‘ain atau tampak wujudnya dengan
jelas atau terlihat dan berwujud (masih ada zat nya, rasa, warna dan baunya). Dan
dalam realitasnya ketiganya bisa ada secara bersamaan bisa juga berkurang satu atau
bahkan dua dari 4 sifat tersebut, seperti kotoran binatang, darah, air kencing dan
sebagainya
b. Najis Hukmiyah
Najis Hukmiyah adalah najis yang hanya tinggal hukumnya. Artinya benda
tersebut dinilai najis tetapi wujud atau ain najis tidak kelihatan, tetapi karena benda
tersebut belum pernah disucikan, maka wujud najisnya adalah dalam bentuk sifat
yang tidak tampak kelihatan. tidak tampak wujudnya namun terasa baunya (yang zat
dan sifat-sifatnya tidak ada) seperti bekas kencing, arak yang sudah kering dan
sebagainya. Syaikh Muhammad bin Qosim al-Ghazi yang lebih dikenal dengan Abi
Syuja’ dalam kitab Fath al-Qarib al-Mujib di halaman 9 berkata, bahwa; Semua yang
keluar dari dua jalan (qubul dan dubur) adalah najis kecuali mani, baik dari manusia
atau binatang.2
1
Kamaludin “Konsep Najis dan Pencuciannya Dalam Fatwa MUI” hal.10-1
2
Qasim Ardasani “Anjing Dalam Prespektif Ta’abbudl Versus Ta’aqqull” Mizan; Vol 3 No 1 (2015)
4
D. Cara Menyucikan Najis
Najis adalah kotoran yang bagi setiap muslim wajib menyucikannya, dan
menyucikan apa yang dikenainya. Thaharah memiliki empat sarana untuk bersuci,
yaitu air, debu, sesuatu (kulit binatang) yang bisa disamak dan bebatuan untuk
beristinja. Air dapat dipergunakan untuk berudu atau mandi. Debu dapat digunakan
untuk bertayamum, sebagai ganti air dalam berwudu atau mandi. Bangkai kulit
binatang bisa disamak (dibersihkan menjadi suci) kecuali kulit babi dan kulit anjing
serta hewan keturunan dari keduanya. Bebatuan digunakan untuk bersuci setelah
buang air kecil dan air besar.
Cara menyucikan najis berbeda-beda, tergantung najisnya. Cara yang lebih
banyak dilakukan adalah mencuci atau membasuhnya dengan air, meskipun telah
bersuci menggunakan tiga batu setelah istinja misalnya. Bahkan, bila diikuti dengan
air setelah menggunakan tiga batu tersebut, maka menjadi lebih baik (afdhal), Bila
ingin meringkas dengan salah satu dari air atau batu, maka bersuci dengan
menggunakan air lebih utama. Karena air lebih bisa menghilangkan benda dan
bekasnya.
Dalam hal ini,ada tiga cara melakukan thaharah (membersihkan najis)
tergantung pada jenis najis yang mengenai suatu benda, antara lain sebagai berikut:
a. Najis mughallazhah menurut jumhur ulama, jika suatu benda terkena najis
yang berasal dari anjing dan babi, seperti kotorannya, air liurnya dan lain- lain,
maka cara menyucikannya ialah benda itu dicuci dengan air sebanyak tujuh
kali, satu kali di antaranya dicampurkan degan debu/tanah. Adapun salah satu
di antaranya dicampur dengan tanah berdasarkan hadis Rasul Saw:
) (رواه مسلم. ثم ليغسله سبع مرار: إذا ولغ الكلب في إناء أحدكم فليرقه
3
Kamaludin “Konsep Najis dan Pencuciannya Dalam Fatwa MUI” hal.15
5
b. Najis mutawassithah (pertengahan), yaitu najis yang lain dari pada kedua
macam tersebut. Najis pertengahan ini dibedakan berdasarkan keadaannya
yaitu najis hukmiyah (yang zat dan sifat-sifatnya tak ada lagi) atau ainiyah
(yang ada zat dan sifat-sifatnya). Cara menghilangkan najis ini adalah dengan
mencuci najis tersebut hingga hilang rasa, bekas, dan baunya. Kemudian
dibilas. Najis mutawassithah dibagi dua, yaitu sebagai berikut:
a. Najis ainiyah, yakni najis yang tampak wujudnya dengan jelas seperti
kotoran manusia, kotoran binatang, darah, dan seba- gainya. Cara
menghilangkan najis ini adalah dengan meng- hilangkan benda atau najis
itu terlebih dahulu, kemudian mencucinya dengan air. Diutamakan,
menggunakan sabun atau sejenisnya saat mencuci sehingga hilang bau,
rasa, dan warnanya.
b. Najis hukmiyah, yakni najis yang tidak tampak wujudnya, namun terasa
baunya, seperti bau kencing atau arak dan sejenisnya. Cara membersihkan
najis ini cukup dengan menyiramkan air pada tempat yang terasa bau
tersebut atau lebih utama menggunakan sabun dan sejenisnya.
Ada juga najis yang awalnya bersifat najis ainiyah, namun kemudian dijadikan
najis hukmiyah berdasarkan sebab-sebab tertentu. Contoh, Anda melihat
kotoran ayam di lantai tengah-tengah masjid. Dalam hal ini, tidak mungkin
menyiram seluruh lantai. Karena itu, najis yang semula bersifat ainiyah itu
harus diganti menjadi hukmiyah. Caranya adalah dengan. membuang kotoran
itu terlebih dahulu. Lalu, bekas kotorannya juga dibersihkan menggunakan
benda, seperti batu, sampai tidak terlihat bekasnya. Kemudian, digosok lagi
sampai hilang baunya. Setelah bekas dan baunya sudah tidak terlihat atau tidak
terasa, maka tempat yang semula ada najisnya itu disiram dengan sedikit air,
dan biarkan hingga kering.4
4
Abu Aunillah Al-Baijury “Buku Pintar Agama Islam: Panduan Lengkap Berislam Secara Kafah” hal. 51
6
laki-laki itu telah mengkonsumsi makanan, maka pakaian yang terkena air
kencing itu harus dicuci (najis mutawassithal). Sedangkan jika bayi itu
perempuan maka pakaian yang terkena air kencingnya harus dicuci baik la
sudah mengkonsumsi makanan atau belum (najis mutawassithah) Berdasarkan
hadis, sebagai berikut:
E. Istinja’
5
Kamaludin “Konsep Najis dan Pencuciannya Dalam Fatwa MUI” hal.19
7
Dra. Hj. Aisyah Maawiyah, M.Ag. “THAHARAH SEBAGAI KUNCI IBADAH”
7
atau air kecil disebut dengan istilah istijmar. Untuk ber istijmar, batu dapat diganti
dengan benda keras apapun asal tidak haram dan punya sifat bisa menghilangkan
najis. Pada zaman sekarang, kamar-kamar kecil biasanya menyediakan fasilitas tisu
khusus untuk menghilangkan najis. Dengan menggunakannya, kita dapat
menghilangkan kotoran dan menjaga kebersihan tangan. Sebab, tisu memiliki
kesamaan fungsi dengan batu dalam konteks sebagai alat istinja.8
Rukun Istinja:
1. menghilangkan rasa;
2. menghilangkan bau; dan
3. menghilangkan warna.
9
Pirhat Abbas, PAHAM KEAGAMAAN H. YUNUS BIN H. SHALEH: ANALISIS KITAB DILĀLAT AL-`AMMI. Jurnal
Paham Keagamaan H. Yunus
8
F. Najis Ma'fu
Dikatakan najis ma'fu karena tidak perlu bersuci jika terkena benda-benda
yang tergolong dalam najis ini. Termasuk najis ma’fu adalah debu atau air di lorong
yang memercik sedikit, dan kita sulit menghindarinya.
Seberapa benda yang dikategorikan ma'fu antara lain:
Bangkai binatang yang darahnya tidak mengalir, seperti nyamuk, lalat, kutu, semut
dan sejenisnya. Jika Binatang ini masuk ke minuman maka bangkainya dibuang dan
minumannya boleh diminum.
Darah atau nanah yang keluar dari tubuh sendiri, namun jumlahnya tidak sampai
setetes.
Bulu yang najis namun tidak banyak.
Paruh atau mulut binatang yang menyentuh air, maka airnya dihukumi najis ma'fu dan
tetap boleh digunakan selagi tidak jijik. Kalau jijik maka hukumnya berubah menjadi
najis dan haram dimakan.
Debu yang bercampur najis seperti debu pembakaran kotoran binatang.
Ujung pakaian, seperti celana atau sarung yang terkena cairan namun tidak diketahui
Apakah cairan itu najis atau ttida. Tapi bila dikenali baunya sebagai bau najis seperti
kotoran ayam atau bau kencing maka pakaian itu harus dicuci.
Seandainya, ada bangkai tikus atau cicak yang jatuh mengenai makanan yang beku
maka bagian makanan ini harus dibuang. Sementara, sisanya boleh dimakan. Tapi
kalau mengenai makanan yang cair atau minuman, makan semuanya harus dibuang
karena sulitnya membedakan mana yang terkena najis dan mana yang tidak.10
10
Abu Aunillah Al-Baijury. Buku Pintar Agama Islam
9
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Najis menurut istilah syariat Islam yaitu suatu benda yang kotor yang
mencegah sahnya mengerjakan suatu ibadah yang dituntut harus dalam keadaan suci
seperti shalat. Najis ada 3 macam yaitu najis mughallazhah (berat), Najis mukhaffafah
(ringan) dan najis mutawassithah (sedang). Jenis najis yaitu ainiyah dan hukmiyah.
Najis Ainiyah adalah najis yang masih ‘ain atau tampak wujudnya dengan jelas atau
terlihat dan berwujud (masih ada zat nya, rasa, warna dan baunya) sedangkan Najis
Hukmiyah adalah najis yang hanya tinggal hukumnya.
Cara menyucikan najis berbeda-beda, tergantung najisnya. Najis
mughallazhah menurut jumhur ulama cara menyucikannya ialah benda itu dicuci
dengan air sebanyak tujuh kali, satu kali di antaranya dicampurkan degan debu/tanah.
Najis mutawassithah (pertengahan) Cara menghilangkan najis ini adalah dengan
mencuci najis tersebut hingga hilang rasa, bekas, dan baunya. Kemudian dibilas. Najis
ainiyah, Cara menghilangkan najis ini adalah dengan meng-hilangkan benda atau
najis itu terlebih dahulu, kemudian mencucinya dengan air. Najis hukmiyah Cara
membersihkan najis ini cukup dengan menyiramkan air pada tempat yang terasa bau
tersebut. Najis mukhaffafah (ringan) misalnya kencing bayi laki-laki yang belum
memakan makanan selain ASI. Cara untuk menghilangkan najis pada kencing bayi itu
cukup dicipratkan dengan air pada pakaian yang terkena kencing. Istinja adalah
menghilangkan sesuatu yang keluar dari kubul atau dubur dengan menggunakan air
suci lagi mensucikan atau batu yang suci atau benda-benda lain yang memiliki fungsi
sama dengan air dan batu. Najis Ma'fu adalah najis yang kadarnya sedikit dan
statusnya di maafkan. Dikatakan najis ma'fu karena tidak perlu bersuci jika terkena
benda-benda yang tergolong dalam najis ini.
10
DAFTAR PUSTAKA
(Al-Baijury, 2015)
(KAMALUDIN, 2014)
(Abbas, 2018)
(Maawiyah, 2016)
(Ardasani, 2015)