Anda di halaman 1dari 12

NAJIS

Dosen pengampu :
Nur Apriyani, S.Hi.,M.Pd

Disusun oleh :
Kelompok l

 Amelia Febrianty.A (221612010023)


 Akbar (221612010015)
 A. Akramunnisa (221612010001)

SEKOLAH TINGGI ILMU MANAJEMEN INDONESIA


2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan yang Maha Esa. Atas Rahmat dan hidayah-Nya, penulis
dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “Najis” dengan tepat waktu.

Makalah disusun untuk memenuhi tugas Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam. Selain
itu, makalah ini bertujuan menambah wawasan tentang apa itu najis dan cara mensucikan
najis bagi para pembaca dan juga bagi penulis.

Penulis Mengucapkan terima kasih kepada Ibu Yani selaku guru Mata pelajaran
Pendidikan Agama Islam. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada semua pihak yang
telah membantu diselesaikannya makalah ini.

Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, saran dan
kritik yang membangun diharapkan demi kesempurnaan makalah ini.

Makassar, 2 Oktober 2021

Kelompok I

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................................................i
DAFTAR ISI..............................................................................................................................ii
BAB I.........................................................................................................................................1
PENDAHULUAN......................................................................................................................1
A. Latar belakang masalah...................................................................................................1
B. Rumusan Masalah...........................................................................................................1
C. Tujuan Pembahasan........................................................................................................1
BAB II........................................................................................................................................2
PEMBAHASAN........................................................................................................................2
A. Pengertian Najis..............................................................................................................2
B. Macam-macam Najis......................................................................................................2
C. Hal-hal yang terlarang karena terkena najis....................................................................3
D. Cara menyucikan najis....................................................................................................5
BAB III.......................................................................................................................................8
PENUTUP..................................................................................................................................8
Kesimpulan.............................................................................................................................8
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................9

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang masalah

Manusia adalah ciptaan Allah Yang Maha Sempurna, dengan dibekali akal untuk
berfikir, mata untuk melihat, dan telinga untuk mendengar, dan semua anggota bagian tubuh
yang lainnya. Jika dalam hati seseorang telah berfikir sebuah keinginan untuk mengerjakan
sesuatu, walaupun pada jalan yang salah, maka secara otomatis maka allah nantinya yang
akan membuat rancangan, bagaimana rencana itu dapat terlaksana.1
Pada dasarnya berapa banyak kaum muslimin yang belum mengetahui dengan benar
masalah najis ini, walaupun sebenarnya permasalahan ini telah banyak dibahas oleh para
ulama, baik dari sisi pengartian maupun penjelasan macam-macamnya secara rinci.
Terkadang suatu yang najis disangka sebagai sesuatu yang bukan najis. Disisi lain, sesuatu
yang sebetulnya tidak najis berusaha dihindari karena disangka najis.

B. Rumusan Masalah

1. Apakah yang dimaksud dengan Najis?


2. Apa saja macam – macam Najis?
3. Apa saja hal-hal terlarang karena terkena Najis?
4. Bagaimana cara menyucikan Najis?

C. Tujuan Pembahasan

1. Mendeskripsikan Apakah yang dimaksud dengan Najis.


2. Memaparkan Apa saja macam – macam Najis.
3. Memaparkan apa saja hal – hal terlarang karena terkena Najis.
4. Mendeskripsikan Bagaimana cara Menyucikan jika terkena Najis.

1
Jaenal Aripin, Filsafat Hukum Islam Tasyri’ dan Syar’I, (Jakarta: UIN Jakarta Press 2006), hlm. 61-62.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Najis

Pengertian najis berasal dari bahasa Arab najasah artinya najis. Najis menurut istilah
syariat Islam yaitu suatu benda yang kotor yang mencegah sahnya mengerjakan suatu ibadah
yang dituntut harus dalam keadaan suci seperti shalat2.
Benda-benda yang kelihatan kotor atau terkena kotoran, belum tentu najis, demikian
juga sebaliknya benda-benda yang terkena najis kadang-kadang kelihatannya masih bersih.
Dama suatu contoh pakaian yang terkena tanah kelihatannya menjadi kotor tetapi itu tidak
najis dan tetap sah jika dipakai untuk melakukan shalat. Hanya karena pakaian yang kotor
itu tidak bagus kelihatannya maka sebaiknya pakaian itu harus kita bersihkan jangan sampai
kita shalat (beribadah) menghadap Allah Swt. Dengan memakai pakaian yang kotor,
walaupun itu sah hukumnya.
Kebersihan dalam islam merupakan konsekuensi dari keimanan seseorang kepada
Allah, dan sebagai upaya menjadikan dirinya suci/bersih berpeluang mendekat kepada-Nya.
Kebersihan itu bersumber dari iman dan merupakan bagian dari iman. Dengan demikian
kebersihan dalam islam mempunyai aspek ibadah dan aspek iman. Oleh karena itu, untuk
menjelaskan thaharah sering juga dipakai kata “bersuci” sebagai padanan kata
“membersihkan/melakukan kebersihan.”

B. Macam-macam Najis

Macam-macam najis banyak dibicarakan dalam Islam, mulai dari pembagian najis dan
bagaimana tata cara menghilangkannya. Najis adalah setiap benda yang dianggap kotor oleh
syariat islam dan wajib dibersihkan karena menjadi penghalang seseorang dalam beribadah
kepada Allah Swt. Dan setiap muslim wajib menyucikannya tergantung najis itu sendiri.
Najis dapat dibagi menjadi tiga macam yakni:3

2
Zurina. Z dan Amiruddin, Fiqih Ibadah, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah,2008), hlm. 33.
3
Salim bin Smeer Al Hadrami, Safinatunajah, (Bandung: Husaini,2001), hlm. 21.

2
3

1. Najis mukhaffafah (ringan/enteng) yaitu air kencing bayi laki-laki yang umurnya kurang
dari dua tahun dan belum makan apa-apa kecuali air susu ibunya.
2. Najis mutawassithah (pertengahan/sedang) yaitu najis kotoran seperti kotoran manusia
atau binatang, air kencing, nanah, darah, bangkai, (selain bangkai ikan, belalang, mayat
manusia) dan najis-najis yang lain selain yang tersebut dalam najis ringan dan berat.
Najis muthawassithah dapat dibagi menjadi dua bagian:4
a. Najis ‘ainiyah (yang ada zat dan sifat-sifatnya): yaitu najis yang bendanya
berwujud, seperti darah, air kencing dan sebagainya.
b. Najis hukmiyah (yang zat dan sifat-sifatnya tidak ada): yaitu najis yang tidak
berwujud, seperti bekas kencing, arak yang sudah kering.
3. Najis mughallazhah (berat) yaitu najis yang berat, yakni najis anjing dan babi serta
keturunan dari keduanya.
4. Najis yang dapat dimaafkan:
a. Bangkai binatang yang darahnya tidak mengalir, seperti nyamuk, kutu busuk dan
sebagainya.
b. Najis yang sedikit sekali.
c. Nanah atau darah dari kudis atau bisulnya sendiri yang belum sembuh.
d. Debu yang bercampur dengan najis dan lain-lainnya yang suka dihindarkan.
Dalam hal ini, terdapat dua macam benda najis yang menjadi suci dengan sebab
peralihan sifat, yaitu najis yang disamak dan khamar dengan beralih menjadi cuka.
Selain kedua macam ini, tidak ada zat najis yang menjadi suci atau disucikan. Namun,
sesuatu yang dikenai najis dapat dibersihkan kembali dengan cara tertentu sesuai
dengan jenis najis yang mengenainya.

C. Hal-hal yang terlarang karena terkena najis

Suci adalah syarat mutlak dalam beribadah. Karena ibadah merupakan media
komunikasi seorang hamba dengan Allah Swt. Yang maha suci. Oleh karena itu
Rasulullah Saw. Memerintahkan untuk segera membersihkan tiga hal dibawah ini dari
najis.

4
Moh.Rifa’I, Ilmu Fiqih Islam Lengkap, (Semarang: Cv. Toha Putra 1978), hlm. 49.
4

a. Badan
Badan seseorang tidak boleh berlama-lama terkena najis. Karena hal ini bisa
merusak kesehatan sekaligus mengundang penyakit. Dan yang lebih penting lagi,
najis dibadan akan menghalangi seseorang mendekati yang Maha suci.

b. Pakaian
Pakaian menjadi hal terpenting setelah bada untuk dihindarkan dari najis. Maka dari
itu pakaian yang telah terkena najis tidak dapat digunakan untuk beribadah dan juga
akan mengurangi aura pemakainya. Syariat dari Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Diantaranya sebagaimana Firman Allah swt. Dalam al-Qur’an surah Al mudatsir
ayat 4

٤ ‫ك فَطَه ِّۡر‬
َ َ‫َوثِيَاب‬
Artinya: ‘dan pakaianmu bersihkanlah’.

c. Tempat shalat
Hal ketiga yang harus segera dibersihkan ketika terkena najis adalah tempat shalat
khususnya Masjid. Masjid secara bahasa merupakan tempat bersujud. Ruang mulia
pertemuan hamba dengan Tuhannya. Masjid juga merupakan symbol kebesaran
umat Islam. Oleh karena itu masjid harus senantiasa suci. Seperti yang
diperintahkan oleh Allah Swt. Dalam surah Al-Baqarah ayat 125

ۖ‫ص ٗلّى‬ ْ ‫اس َوَأمۡ ٗنا َوٱتَّ ِخ ُذ‬


َ ‫وا ِمن َّمقَ ِام ِإ ۡب ٰ َر ِ‍هۧ َم ُم‬ َ ‫َوِإ ۡذ َج َع ۡلنَا ۡٱلبَ ۡي‬
ِ َّ‫ت َمثَابَ ٗة لِّلن‬
َ ِ‫َو َع ِه ۡدنَٓا ِإلَ ٰ ٓى ِإ ۡب ٰ َر ِ‍هۧ َم َوِإ ۡس ٰ َم ِعي َل َأن طَهِّ َرا بَ ۡيتِ َي لِلطَّٓاِئف‬
‫ين‬
١٢٥ ‫ين َوٱلرُّ َّك ِع ٱل ُّسجُو ِد‬ َ ِ‫َو ۡٱل ٰ َع ِكف‬
Artinya: ‘Dan (ingatlah), ketika Kami menjadikan rumah itu (Baitullah) tempat
berkumpul bagi manusia dan tempat yang aman. Dan jadikanlah sebahagian
maqam Ibrahim tempat shalat. Dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan
Ismail: "Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang thawaf, yang i´tikaf,
yang ruku´ dan yang sujud."
5

D. Cara menyucikan najis

Najis adalah kotoran yang bagi setiap muslim wajib menyucikannya, dan
menyucikan apa yang dikenainya.5 Thaharah memiliki empat sarana untuk bersuci,yaitu
air, debu, sesuatu (kulit binatang) yang bisa disimak dan bebatuan untuk beristinja. Air
dapat dipergunakan untuk beradu atau mandi. Debu dapat digunakan untuk bertayamum,
sebagai ganti air dalam berwudhu atau mandi. Bangkai kulit binatang bisa disamak
(dibersihkan menjadi suci) kecuali kulit babi dan kulit anjing serta hewan keturunan dari
keduanya. Bebatuan digunakan untuk bersuci setelah buang air kecil dan air besar.
Cara menyucikan najis berbeda-beda, tergantung najisnya. Cara yang lebih
banyak dilakukan adalah mencuci atau membasuhnya dengan air, meskipun telah bersuci
menggunakan tiga batu setelah istinja misalnya. Bahkan, bila diikuti dengan air setelah
menggunakan tiga batu tersebut, maka menjadi lebih baik (afdhal). Bila ingin meringkas
dengan salah satu dari air atau batu, maka bersuci dengan menggunakan air lebih utama.
Karena air lebih bisa menghilangkan benda dan bekasnya.
Dalam hal ini, ada tiga cara melakukan thaharah (membersihkan najis)
tergantung pada jenis najis yang mengenai suatu benda, antara lain sebagai berikut :6
a. Najis mughallazhah menurut jumhur ulama, jika suatu benda terkena najis yang
berasal dari anjing dan babi seperti kotorannya, air liurnya dan lain-lain, maka cara
menyucikannya ialah benda itu dicuci dengan air sebanyak tujuh kali satu kali di
antaranya dicampurkan dengan debu/tanah. Adapun salah satu di antaranya dicampur
dengan tanah berdasarkan hadis Rasul Saw:

‫اغسِ لُوهُ اِإل َنا ِء فِى ْال َك ْلبُ َو َل َغ ِإ َذا‬ َّ ‫ب فِى‬


ٍ ‫الثا ِم َن َة َو َع ِّفرُوهُ َمرَّ ا‬
ْ ‫ت َسب َْع َف‬ ِ ‫ال ُّت َرا‬

Artinya: Rasulullah Saw :‘Apabila ada anjing menjilat kedalam bejana dari kalian,
maka bersihkalah dengan tanah, kemudian membasuhnya tujuh kali.’ (HR. Muslim).7

5
Zurina. Z dan Amiruddin, Fiqih Ibadah, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah,2008), hlm. 33.
6
Lahmuddin Nasution, Fiqh I, (Jakarta: Pustaka Setia, 2001), hlm. 51.
7
Al-Imam Abi al-Husein Muslim bin al-Hajjaj bin Muslim al-Qusyairi al-Naisaburi, Shahih Muslim, Jilid I,
(Riyadh: Dar al-Salam, 1998M/1419H), h. 131
6

b. Najis mutawassithah (pertengahan), yaitu najis yang lain dari pada kedua macam
tersebut. Najis pertengahan ini dibedakan berdasarkan keadannya yaitu najis
hukmiya (yang zat dan sifat-sifatnya tidak ada lagi) atau ainiyah (yang ada zat dan
sifat-sifatnya).8
a. Najis hukmiyyah, yaitu najis yang tidak terlihat (tidak Nampak), seperti bekas
kencing, arak yang sudah kering. Cara mencuci najis ini cukup dengan
mengalirkan air diatas benda yang terkena najis tersebut. Apabila rupa najis ini
tidak mau hilang serta digosok-gosok, dimaafkan.
b. Najis ‘ainiyyah, yaitu yang terlihat atau berwujud (masih ada zatnya, rasa, warna,
dan baunya), seperti darah, nanah, air kencing dan sebagainya. Maka cara
mensucikan najis ini hendaklah dengan dihilangkan zat, rasa, warna, dan baunya.
Adanya bau dan warna pada benda menunjukkan adanya najis dibenda tersebut,
kecuali bila setelah dihilangkan dengan cara digosok dan dikucek, maka
dimaafkan.9
c. Najis mukhaffafah (ringan), misalnya kencing bayi laki-laki yang belum memakan
makanan selain ASI. Cara untuk menghilangkan najis pada kencing bayi itu cukup
dicipratkan dengan air pada pakaian yang terkena kencing bayi laki-laki itu telah
mengkomsumsi makanan (najis mukhaffafah), jika bayi laki-laki itu telah
mengkonsumsi makanan, maka pakaian yang terkena air kencing itu harus dicuci
(najis muthawassithah). Sedangkan jika bayi itu perempuan maka pakaian yang
terkena air kencingnya harus dicuci baik ia sudah mengkonsumsi makanan atau
belum (najis mutawassithah).
Berdasarkan hadis sebagai berikut:

8
Moh. Rifa’I, Ilmu Fiqih Islam Lengkap, (Semarang:CV. Toha Putra, 1978), hlm. 49.
9
Salim bin Smeer Al Hadrami, Safinatunajah, hlm. 22.
7

Artinya : ‘kencing bayi perempuan (cara mensucikannya) disiram,dan kencing bayi


laki-laki diciprati air’. (HR. Bukhari).10

Menurut para ulama, hukum kencing bayi laki-laki dibedakan dari bayi
perempuan karena air kencing bayi perempuan lebih baud an lebih kotor dari pada
kencing bayi laki-laki.11
Dengan demikian cara menghilangkan dan membersihkan najis adalah bisa
dengan mencuci, menyiram, menyiprat, dan mengusap dengan air. Cara-cara tersebut
berdasarkan ketetapan syara’ yang dirinci dalam beberapa hadis shahih. Cara
mencuci dan menyiramnya dapat dilakukan bagi semua jenis dan macam najis bagi
semua tempat, sedangkan mengusap dengan menggunakan dengan beberapa batu
diperolehkan pada najis yang melekat pada kubul dan dubur (istinja).

10
Al-Imam Abi Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim Ibnu al-Bukhori, Shahih al-Bukhari, Jilid I, (Beirut:
Dar al-Fikri, 1994M/1414H), hlm. 70.
11
Yusuf Qardhawi, Fiqhu at-thaharah, Penerjemah Samson Rahman, (Jakarta: Pustaka al- Kausar, 2004), hlm. 59.
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan

Najis menurut istilah syariat Islam yaitu suatu benda yang kotor yang mencegah sahnya
mengerjakan suatu ibadah yang dituntut harus dalam keadaan suci seperti shalat . Benda-benda
yang kelihatan kotor atau terkena kotoran, belum tentu najis, demikian juga sebaliknya benda-
benda yang terkena najis kadang-kadang kelihatannya masih bersih.
Hal-hal yang terlarang karena terkena najis yaitu, badan, pakaian, dan tempat sholat.
Macam-macam najis banyak dibicarakan dalam Islam, mulai dari pembagian najis dan
bagaimana tata cara menghilangkannya.
Najis mukhaffafah (ringan/enteng), kencing bayi laki-laki yang belum memakan makanan selain
ASI. Cara untuk menghilangkan cukup dicipratkan dengan air pada pakaian yang terkena
kencing bayi laki-laki.
Najis mutawassithah (pertengahan/sedang), Najis muthawassithah dibagi menjadi dua bagian:
Najis ‘ainiyah (yang ada zat dan sifat-sifatnya), seperti darah, air kencing dan sebagainya. Cara
Menghilangkan hendaklah dengan dihilangkan zat, rasa, warna, dan baunya
Dan Najis hukmiyah (yang zat dan sifat-sifatnya tidak ada): yaitu najis yang tidak berwujud,
seperti bekas kencing, arak yang sudah kering. Cara menghilangkan cukup dengan mengalirkan
air diatas benda yang terkena najis tersebut.
Najis mughallazhah (berat), yakni najis anjing dan babi serta keturunan dari keduanya. Cara
menghilangkan dicuci dengan air sebanyak tujuh kali satu kali di antaranya dicampurkan dengan
debu/tanah.

8
DAFTAR PUSTAKA

Aripin, Jaenal. 2006. Filsafat Hukum Islam Tasyri dan Syar‟i. Jakarta : UIN Jakarta
Press.

Muslim, Al-Imam, Abi al-Husein ibn al-Hajjaj al-Qusyairi al-Naisaburi, Shahih


Muslim, Jilid I, Riyadh: Dar al-Salam.

Nasution, Lahmuddin, Fiqh I, Jakarta: Pustaka Setia, 2001.

Qardhawi, Yusuf, Fiqhu at-thaharah, Penerjemah Samson Rahman, Jakarta: Pustaka al-
Kausar, 2004.

Rifa’i, Moh., Ilmu Fiqih Islam Lengkap, Semarang: Cv. Toha Putra, 1978.

Salim bin Smeer Al Hadrami, Safinatunajah, Bandung: Husaini, 2001.

Zurina. Z dan Amiruddin, Fiqih Ibadah, Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif
Hidayatullah, 2008.

Anda mungkin juga menyukai