Anda di halaman 1dari 34

TUGAS MAKALAH

MATA KULIAH AGAMA ISLAM III


FIQIH THAHARAH 2

Dosen Pengampu:
Kukuh Santoso, S.Pd.I, M.Pd.I.

Disusun Oleh:
Diajeng Berliana Yulia Putri (21901061014)
Rizqi Alvianshah (21901061015)
Dewi Qurrot ‘Aini (21901061016)

JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS ISLAM MALANG
MALANG
2020
FOTO ANGGOTA

Diajeng Berliana Yulia Putri

21901061014

Rizqi Alvianshah

21901061015

Dewi Qurrot ‘Aini

21901061016

ii
Kata Pengantar

Alhamdulillah puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena


nikmat dan karunia-Nya kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini dengan baik
dan tepat waktu. Makalah ini dibuat untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah
Agama Islam III. Dalam makalah ini kami akan membahas mengenai “Fiqih
Thaharah II”. Dalam kesempatan ini kami ingin mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam pembuatan
makalah ini. Terutama kepada bapak Kukuh Santoso, S.Pd.I, M.Pd.I selaku dosen
pengajar Agama Islam III. Kami sebagai penyusun berharap semoga makalah ini
bermanfaat bagi kami sendiri maupun pembaca lainnya.
Apabila terdapat kesalahan yang tidak kami sadari dalam penulisan makalah
ni, maka dari itu kami mohon saran dan kritik untuk makalah ini supaya menjadi
lebih baik. Dengan segala kerendahan hati kami selaku penyusun mengucapkan
terima kasih.
Semoga tugas Makalah ini, bermanfaat dan berguna bagi kita semua. Kami
memohon maaf, jika ada yang salah dan kurang dari analisis yang kami berikan.
Semoga Allah SWT senantiasa memberikan hidayah-Nya kepada kita semua.
Amin Yaa Robbal ‘Aalamin.

Malang, 07 November 2020

Penyusun

iii
Daftar Isi

Foto Anggota.................................................................................................... ii
Kata Pengantar.................................................................................................. iii
Daftar Isi........................................................................................................... iv

BAB I PENDAHULUAN............................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ......................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah....................................................................................... 2
1.3 Tujuan ....................................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN................................................................................. 3
2.1 Permasalahan (Masa’il Fiqhiyah) dalam Thaharah dan Seputar Alat
Bersuci....................................................................................................... 3
2.2 Bersuci (Thaharah) dalam Kondisi Darurat................................................ 9
2.3 Bersuci Memakai Muzah (Kaos kaki)........................................................ 13
2.4 Permasalahan Seputar Hadast Besar dan Hadast Kecil, Najis, dan
Beberapa Perkara yang Berkenaan Dengannya Menurut Prespektif Empat
Madzhab.................................................................................................... 19
2.5 Sirah Nabawiyah II..................................................................................... 24

BAB III PENUTUP......................................................................................... 27

Daftar Pustaka................................................................................................ 29

iv
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Disini kita akan membahas masalah thaharah, dimana thaharah atau bersuci
ini menduduki masalah perting dalam islam, baik secara hakiki maupun secara
hokum. Secara hakiki maksudnya adalah hal-hal yang berkaitan dengan kebersilan
badan, pakaian dan tempat solat dari najis. Sedangkan secara hukmi maksudnya
adalah sucinya whudu' kita dari hadast atau sucinya diri kita dari kondisi janabah.
Sebab hal itu merupakan syarat abadi untuk bisa melakukan beragam ritual
peribadatan dalam islam.
Hukum Islam adalah hukam yang bersumber dan menjadi bagian dari
agama Islam. Dengan adanya hukum, perilaku kehidupan kaum muslimin secara
keseluruhan dapat diatur dengan tersruktur. Oleh karena itu, kaum muslimin
dalam menjalani kehidupan sehari-hari tidak akan pernah lepas dari hukum Islam.
Salah satunya yaitu dalam konteks bersuci (tahaharah). Thaharah atau mensucikan
badan dari najis hukumya menjadi wajib karena menjadi suatu keharusan.
Misalnya dalam melakukan sebuah ibadah kepada Allah, kaum muslimin harus
bersih dari segala najis, sedangkan manusia itu sendiri tidak pernah lepas dari
yang namanya najis (kotoran).
Apabila kaum musimin tidak bersuci terlebih dahulu ketika akan melakukan
suatu ibadah, maka segala ibadah yang dilakukan akan sia-sia bahkan mendapat
dosa dari Allah SWT. Meskipun bersuci terlihat sederhana dalam prakteknya,
namun menjadi keliru atau menimbulkan madharat apabila dalam bersuci tidak
memakai tata cara bersuci dengan baik dan benar yang sesuai dengan ketentuan
yang telah ditentukan oleh syariat Islam.
Maka dari itu, dalam makalah kali ini akan membahas tentang bagaimana
cara bersuci dengan baik dan benar yang sesuai dengan syariat agama Islam yang
telah disyariatkan sebelumnya. Serta menjelaskan beberapa hal yang menjadikan
kaum muslimin diharuskan untuk meakukan bersuci (thaharah).

1
2

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang di atas dan untuk memudahkan pemahaman,
maka perlu dirumuskan masalah dalam makalah ini. Adapun rumusan makalah ini
adalah sebagai berikut.
1. Apa saja permasalahan dalam bersuci?
2. Bagaimana bersuci dalam kondisi darurat?
3. Bagaimana permasalahan bersuci menurut 4 madzhab?

1.3 Tujuan
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut.
1. Untuk Untuk mengetahui tentang permasalahan dalam bersuci.
2. Untuk mengetahui bersuci dalam kondisi darurat.
3. Untuk mengetahui permasalahan bersuci menurut 4 madzhab.
BAB II
PEMBAHASAN

Permasalahan dalam bersuci tentu menjadi hal yang perlu untuk dikaji
mengingat betapa pentingnya suci itu sendi. Selain agar ibadah kita diterima oleh
Allah swt., dengan tubuh dan benda-benda di sekitar kita dalam keadaan suci dan
bersih, hidup kita akan menjadi sehat dan dapat meningkatkan ibadah yang kita
lakukan.

2.1 Permasalahan (Masa’il Fiqhiyah) dalam Thaharah dan Seputar Alat


Bersuci
Dalam permasalahan Fiqhiyah mengenai Thaharah, ada banyak hal
yang perlu kita pelajari dan pahami agar tubuh kita benar-benar bersih dan
suci dari hadas dan najis, sehingga amal ibadah kita bisa diterima oleh Allah
swt. Bersuci dengan baik dan benar tentu tidak sembarang menjadi hal yang
mudah atau diremehkan. Baik itu terkena hadas maupun najis, masing-masing
memiliki tata cara bersuci yang sudah ditentukan oleh para ulama. Seorang
muslim diperintahkan menjaga pakaiannya agar suci dan bersih dari segala
macam najis dan kotoran, karena kebersihan itu membawa keselamatan dan
kesenangan. Apabila kita berpakaian bersih, terjauhlah kita dari penyakit dan
memberi kesenangan bagi si pemakai dan orang lain yang melihatnya
(Lathifah, 2004). Hal ini sesuai dengan Firman Allah SWT. dalam surat al-
Muddatsir ayat 1-4 sebagai berikut:

ِ
َ َ‫{وثِيَاب‬
{٤}ۖ ‫ك فَطَ ِّه ْر‬ َ َّ‫ { َو َرب‬٢}ۖ ‫{ قُ ْم فَاَنْذ ْر‬١}ۙ ‫ٰيٓاَيُّ َها الْ ُمدَّثُِّر‬
َ ٣}ۖ ‫ك فَ َكِّب ْر‬
Artinya: “Hai orang-orang yang berselimut. Bangunlah, lalu berilah
peringatan!. Dan Tuhanmu agungkanlah, dan pakaianmu
bersihkanlah” (al-Muddatsir : 1-4).

Ayat di atas menunjukkan betapa Islam memperhatikan masalah


bersuci. Selain memperhatikan orang muslim untuk bersuci dari hadats dan
najis, Islam juga sangat memperhatikan untuk menjaga kebersihan dan

3
4

membuang kotoran di dalam air (Lathifah, 2004). Ibnu Abbas ra, ketika
berjalan melewati dua kuburan, Rasulullah SAW bersabda: “Kedua ahli
kubur itu disiksa, dan tidaklah mereka itu disiksa karena dosa besar,
kemudian Nabi berkata: tetapi, salah seorang dari keduanya itu tidak
menggunakan penutup ketika buang air kecil, dan yang lainnya suka
mengadu domba” (HR. Bukhari).
Demikian sebelum melakukan hubungan dengan Allah Yang Maha
Suci dalam bentuk shalat, orang muslim harus mensucikan dirinya terlebih
dahulu. Mensucikan diri dalam ajaran Islam demikian penting, sehingga
bersuci bukan saja merupakan sistem untuk mensucikan sebelum melakukan
ibadah bahkan sebagai suatu unsur pokok ibadah itu sendiri (Lathifah, 2004).
Dalam hal ini Rasulullah saw. bersabda: “Suci itu sebagian iman” (HR.
Muslim). Dari situ, dapat disimpulkan bahwa thaharah tidak hanya terbatas
masalah lahiriyah, yaitu membersihkan hadats dan nasjis, namun thaharah
memiliki arti yang lebih luas, yaitu menjaga kesucian rohani (batiniah) agar
tidak terjerumus pada perbuatan dosa dan maksiat (Lathifah, 2004).
Dan untuk melakukan hal tersebut, maka harus disesuaikan dengan
macam najis maupun hadas yang tertempel pada pakaian maupun tubuh kita.
Secara umum bersuci, baik untuk menghilangkan najis maupun hadats harus
menggunakan air yang statusnya suci dan mensucikan, yaitu air mutlak.
Selain jenis air tersebut maka bersuci tidak dianggap sah. Hanya saja yang
sering menjadi masalah adalah bersuci dengan air mutlak yang jumlahnya
sedikit; kurang dari dua qullah. Bersuci yang paling aman adalah dengan
menggunakan air mutlak dengan jumlah yang banyak. Bersuci dengan cara
apa saja kalau memakai air mutlak yang banyak tidak akan merubah status
kesucian air hingga sesuatu yang disucikan akan menjadi suci dengan air
tersebut (Abdillah, 2018).
Menurut Baihaqi dalam bukunya yang berjudul Fiqih Ibadah
(Agustiningrum, 2018) menyebutkan bahwa terdapat dua alat thaharah, yaitu:
1. Air. Air merupakan salah satu alat yang bisa digunakan untuk
menyucikan diri dari najis dan untuk berwudhu maupun mandi janabah.
Hal ini dinyatakan oleh Rasululah Saw. Dalam sabdanya sebagai berikut:
5

“Air itu tidaklah menyebabkan najisnya sesuatu, kecuali jika berubah


rasa, warna, atau baunya.” (HR. Ibnu Majah dan Baihaqi) Juga
berdasarkan firman Allah dalam QS. Al-Anfal ayat 11 :
ِ ِ ِ َّ ‫اِ ْذ يغشِّي ُكم النُّعاس اَمنةً ِّمْنه وينِّز ُل علَي ُكم ِّمن‬
َ ‫الس َماۤء َماۤءً لِّيُطَ ِّهَر ُك ْم بهٖ َويُ ْذه‬
‫ب‬ َ ْ ْ َ َُ َ ُ َ َ َ َ ُ ْ َ ُ
{١١} ‫ت بِِه ااْل َقْ َدا ۗ َم‬ ِ
َ ِّ‫َعْن ُك ْم ِر ْجَز الشَّْي ٰط ِن َولَي ْربِ َط َع ٰلى ُقلُ ْوبِ ُك ْم َويُثَب‬
Artinya: “(Ingatlah), ketika Allah membuat kamu mengantuk untuk
memberi ketenteraman dari-Nya, dan Allah menurunkan air
(hujan) dari langit kepadamu untuk menyucikan kamu dengan
(hujan) itu dan menghilangkan gangguan-gangguan setan dari
dirimu dan untuk menguatkan hatimu serta memperteguh
telapak kakimu (teguh pendirian).”

Ada beberapa macam air yang digunakan dalam thaharah, antara lain :
a) Air mutlak, merupakan air yang suci dan dapat digunakan untuk
bersuci serta untuk mencuci. Adapun yang termasuk dalam kategori
air mutlak adalah air hujan, air salju atau es, air laut, dan lain
sebagainya.
b) Air Musta’mal , merupakan air siswa yang mengenai badan manusia
karena telah digunakan untuk wudhu atau mandi. Air musta’mal ini
bukanlah air yang sengaja ditampung dari bekas mandi atau wudhu,
tetapi percikan wudhu atau air bekas dipakai mandi yang bercampur
dengan air dalam bejana atau bak.
c) Air Musyammas, merupakan air suci yang menyucikan, namun
makruh digunakan. Pada hakikatnya, air ini suci zatnya, serta
menyucikan dan sah bila digunakan untuk bersuci tetapi makruh
digunakan untuk bersuci. Adapun yang dimaksud dengan air
musyammas ini adalah air yang dipanaskan pada sinar matahari. Air
ini makruh digunakan karena berdasarkan ilmu kedokteran bisa
menyebabkan penyakit sopak.
6

d) Air Mutanajis, merupakan air yang terkena najis meskipun sedikit. Air
ini terbagi menjadi dua kategori, antara lain:
(1) Air yang sedikit. Dalam hukum fiqih yang dikategorikan dengan
air yang sedikit adalah ukurannya yang kurang dari dua qullah.
Apabila kemasukan najis, maka hukum air ini menjadi najis
walaupun tidak ada perubahan apapun, baik warna, rasa, maupun
baunya. Air ini mutlak tidak boleh digunakan untuk bersuci.
(2) Air yang banyak. Yakni air yang mencukupi, bahkan lebih dari
dua qullah. Jika air ini kemasukan najis, maka hukumnya tetap
suci apabila tidak terjadi perubahan pada warna, rasa, dan baunya.
Akan tetapi, jika ada perubahan pada salah satu sifatnya, meskipun
sedikit, maka hukumnya menjadi najis.
2. Tanaah. Thaharah dengan menggunakan tanah didasarkan pada firman
Allah QS. An-Nisa’ ayat 43:

َّ ‫ٰيٓاَيُّ َها الَّ ِذيْ َن اٰ َمُن ْوا اَل َت ْقَربُوا‬


‫الص ٰلوةَ َواَْنتُ ْم ُس َك ٰارى َحىّٰت َت ْعلَ ُم ْوا َما َت ُق ْولُْو َن َواَل ُجنُبًا‬
ٓ ٰ ‫اِاَّل عابِ ِري سبِي ٍل حىّٰت َت ْغتَ ِسلُوا ۗ واِ ْن ُكْنتُم َّمر‬
‫ضى اَْو َع ٰلى َس َف ٍر اَْو َجاۤءَ اَ َح ٌد ِّمْن ُك ْم‬ ْ ْ َ ْ َ َْ ْ َ
‫صعِْي ًدا طَيِّبًا فَ ْام َس ُح ْوا‬ ِ
َ ‫ِّساۤءَ َفلَ ْم جَت ُد ْوا َماۤءً َفَتيَ َّم ُم ْوا‬ ٰ ِ
َ ‫ِّم َن الْغَاۤ ِٕىط اَْو ل َم ْستُ ُم الن‬
‫} َواَيْ ِديْ ُك ْم ۗ اِ َّن ال ٰلّهَ َكا َن َع ُف ًّوا َغ ُف ْو ًرا‬٤٣{ ‫بُِو ُج ْو ِه ُك ْم‬
Artinya: “Wahai orang yang beriman! Janganlah kamu mendekati salat
ketika kamu dalam keadaan mabuk, sampai kamu sadar apa
yang kamu ucapkan, dan jangan pula (kamu hampiri masjid
ketika kamu) dalam keadaan junub kecuali sekedar melewati
jalan saja, sebelum kamu mandi (mandi junub). Dan jika kamu
sakit atau sedang dalam musafir atau kembali dari tempat
buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian
kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan
tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu.
Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.”
7

Dalam fungsinya sebagai alat thaharah, tanah bermafaat untuk


tayamum dan membersihkan najis karena sentuhan atau jilatan baik
anjing maupun babi terhadap seseorang maupun benda yang dipakai
seorang muslim. Tanah yang digunakan sebagai alat thaharah hendaknya
diambil tanah yang bersih dan menggali m300 cm ke dalam tanah yang
keras da bukan pada tanah comberan atau yang berdekatan dengan
limbah pabrik atau daerah pembuangan air selokan pembuangan. Dengan
demikian tanah atau debu yang bisa dipakai bersuci hanyalah tanah atau
debu yang suci yang tidak berdekatan dengan comberan, limbah pabrik
atau air selokan pembuangan (Humaerah, 2016).
3. Batu, tembikar, kayu, kertas, dan tisu. Alat-alat ini hanya digunakan untuk
membersihkan kotoran yang keluar dari qubul atau dubur (istinja’). Alat
ini tidak dapat digunakan untuk berwudhu atau mandi. Tidak dianjurkan
untuk memakai batu atau sjenisnya yang licin, tajam, gatal dan hal-hal
yang dapat membahayakan seseorang (Humaerah, 2016). Untuk batu
sendiri yang dianjurkan adalah batu yang permukaannya memiliki 3 sisi.
4. Disamak. Disamak merupakan cara mensucikan kulit bangkai binatang
dengan menggunakan alat penyamak, kecuali kulit babi dan anjing tidak
dapat disamak dengan alat apapun juga. Dan ini suatu peringatan bahwa
menyamak adalah berfungsi sebagai penyembelihan (Humaerah, 2016).
Sebagaimana dalam hadis riwayat Abu Dawud dan Nasa’i dikatakan:
“Dari Maimunah ra. berkata (bahwa) Rasuluallah saw. melewati seekor
kambing (yang telah menjadi bangkai) yang telah diseret oleh orang
banyak. “Lalu beliau bersabda, “kenapa kalian tidak mengambil
(memanfaatkan) kulitnya?” Mereka menjawab, “kambing ini sudah
menjadi bangkai.” Beliau bersabda: “ia bisa menjadi suci dengan air
dan daun akasia”.
Dalam hal ini, penyamakan dilakukan untuk menghilangkan sisa
daging hewan yang telah menjadi bangkai dan sisa-sisa kotoran yang
masih menempel pada kulit hewan tersebut.

Adapun cara berthaharah dari benda najis itu ialah dengan mengalirkan
air pada bagian yang terkena najis hingga hilang bekas-bekas najis padanya.
8

Dan bekas-bekas najis itu ialah bau, warna dan rasanya (Rohim, 2008). Hal
ini dicontohkan oleh Nabi shallallahu `alaihi wa sallam dalam suatu peristiwa
berikut ini:

“Dari Anas, dia berkata: Telah datang seorang Arab dari pegunungan,
kemudian dia kencing di salah satu pojok masjid. Maka orang-orang pun
menghardiknya, dan Rasulullah s.a.w melarang mereka untuk
menghardiknya. Maka ketika orang gunung itu telah selesai dari kencingnya,
Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam memerintahkan untuk diambilkan
seember air dan kemudian air itu dituangkan pada tempat yang dikencingi
oleh orang gunung itu.” (HR. Bukhari dan Muslim dalam Shahih keduanya)

Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam menuntunkan cara


membersihkan najis dengan cara menyiramkan air padanya adalah karena
masjid beliau waktu itu lantainya berupa tanah berpasir, sehingga dengan
disiram air sebanyak itu, akan hilang bau dan bekas najis yang lainnya. Tapi
bila sudah dicuci dengan sungguh-sungguh kain itu namun sebagian bekas
najisnya masih belum hilang, maka yang demikian ini tidaklah mengapa
(Rohim, 2008). Hal ini telah diterangkan dalam riwayat berikut ini:

Dari Abu Hurairah radliyallahu `anhu bahwa Khaulah bintu Yasar


pernah mendatangi Nabi s.a.w. Maka dia pun bertanya kepada beliau: “Wahai
Rasulullah, aku tidak memiliki baju kecuali hanya sepotong saja yang aku
pakai ketika dalam keadaan haidl, maka bagaimana pula yang harus aku
lakukan?” Beliau menjawab: “Apabila telah berhenti haidl-mu, maka cucilah
baju itu.” Khaulah bertanya lagi: “Bagaimana kalau bekas darahnya tidak
bisa hilang dengan dicuci?” Beliau menjawab: “Cukup bagimu dengan
dicucinya darah yang mengena baju itu. dan tidak mengapa bekas darah
haidl yang tidak bisa hilang itu.” (HR. Abu Dawud Kitabut Thaharah bab
Keterangan tentang Wanita yang Mencuci Bajunya yang Dipakainya ketika
Haidl , hadits no. 365)

Sedangkan cara bersuci dari hadats kecil ialah dengan berwudlu, dan
cara bersuci dari hadats besar ialah dengan mandi junub, yang dinamakan
9

juga mandi wajib (Rohim, 2008). Adapun tata cara bersuci dari najis
disesuaikan dengan jenis najis tersebut.

Sumaji (2008) menyebutkan dalam bukunya yang berjudul “125


Masalah Thaharah”, bahwa najis jika dilihat dari segi berat ringannya, para
ulama membaginya menjadi tiga bagian:

1. Najis Mughalazhah, yaitu najis berat. Para ulama sepakat bahwa najis ini
ditimbulkan oleh babi dan anjing. Cara mensucikannya adalah dengan
menghilangkan terlebih dahulu wujud benda dari najis tersebut,
kemudian disucikan menggunakan air dengan dialirkan sebanyak tujuh
kali, serta salah satu basuhannya dicampur oleh tanah atau debu yang
suci. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah saw.: “sucinya tempat
(perkakas)mu apabila telah dijilat oleh anjing adalah dengan
mencucinya tujuh kali. Permulaan pencucian itu (harus) dicuci dengan
air yang bercampur dengan tanah.” (HR. Tirmidzi).
2. Najis Mukhaffah, yaitu najis ringan. Contohnya seperti air kencing anak
laki-laki yang belum berusia dua tahun, atau belum memakan apa-apa
selain ASI. Cara mensucikannya cukup memercikkan air bersih pada
benda yang terkena najis tersebut. Hal ini didasarkan pada hadits nabi
saw. Beliau bersabda: “Barang siapa yang terkena air kencing anak
wanita, harus dicuci. Dan jika terkena air kencing anak laki-laki, cukup
dengan memercikkan air padanya.” (HR. Nasa'i, Abu Dawud, dan Ibnu
Majah).
3. Najis Muthawassithah, yaitu najis yang sedang. Dibagi menjadi dua,
yakni najis 'ainiyah dan najis hukmiyah. Cara mensucikannya pun
berbeda, yaitu dengan menghilangkan wujud atau zat najis, lalu
dihilangkan bau, rasa dan warnanya, baru kemudian disiram air sampai
bersih. Tetapi jika najis tersebut sudah maupun tidak berwujud, atau
membekas, maka hanya cukup dialiri oleh air saja.

2.2 Bersuci (Thaharah) dalam Kondisi Darurat


Berbeda dengan tata cara bersuci seperti biasa, keadaan darurat sama
seperti hukum-hukum lainnya diberikan keringanan oleh Allah swt. Hal ini
10

menunjukkan betapa besar kemurahan dan kasih sayang Allah swt. terhadap
makhluk-makhluk Nya. Keadaan darurat yang dimaksud di sini adalah ketika
tidak adanya air untuk bersuci ataupun dalam keadaan sakit yang tidak
memungkinkan untuk menyentuh air. Seperti yang dijelaskan dalam Al-
Qur’an surah Al-Maidah ayat 6:

‫وة فَا ْغ ِسلُ ْوا ُو ُج ْو َه ُك ْم َواَيْ ِديَ ُك ْم اِىَل الْ َمَرافِ ِق‬ َّ ‫يٰ ٓاَيُّ َها الَّ ِذيْ َن اٰ َمُن ْٓوا اِذَا قُ ْمتُ ْم اِىَل‬
ِ ‫الص ٰل‬

‫َو ْام َس ُح ْوا بُِرءُ ْو ِس ُك ْم َواَْر ُجلَ ُك ْم اِىَل الْ َك ْعَبنْي ۗ ِن َواِ ْن ُكْنتُ ْم ُجنُبًا فَاطَّ َّه ُر ْو ۗا َواِ ْن ُكْنتُ ْم‬
ِ ٰ ِ ٍ ٰ ٓ ٰ ‫َّمر‬
ً‫ِّساۤءَ َفلَ ْم جَت ُد ْوا َماۤء‬
َ ‫ضى اَْو َعلى َس َفر اَْو َجاۤءَ اَ َح ٌد ِّمْن ُك ْم ِّم َن الْغَاۤ ِٕىط اَْو ل َم ْستُ ُم الن‬ ْ
‫صعِْي ًدا طَيِّبًا فَ ْام َس ُح ْوا بُِو ُج ْو ِه ُك ْم َواَيْ ِديْ ُك ْم ِّمْنهُ ۗ َما يُِريْ ُد ال ٰلّهُ لِيَ ْج َع َل َعلَْي ُك ْم‬
َ ‫َفَتيَ َّم ُم ْوا‬
‫} َّوٰل ِك ْن يُِّريْ ُد لِيُطَ ِّهَر ُك ْم َولِيُتِ َّم نِ ْع َمتَهٗ َعلَْي ُك ْم لَ َعلَّ ُك ْم تَ ْش ُك ُر ْو َن‬٦{ ‫ِّم ْن َحَر ٍج‬
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu hendak
melaksanakan salat, maka basuhlah wajahmu dan tanganmu
sampai ke siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kedua kakimu
sampai ke kedua mata kaki. Jika kamu junub, maka mandilah. Dan
jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat
buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, maka jika kamu
tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan debu yang
baik (suci); usaplah wajahmu dan tanganmu dengan (debu) itu.
Allah tidak ingin menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak
membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu,
agar kamu bersyukur”

Berdasarkan penjelasan ayat di atas, saat kita tidak menemukan atau


berhalangan memakai air, maka dilakukan dengan cara tayamum. Para ulama’
pun telah bersepakat memperbolehkan bertayammum bagi orang yang tidak
mampu bersuci dengan menggunakan air. Subhanallah Islam itu begitu indah
dan memberikan banyaqk Rukhshoh (kemudahan) karena sesungguhnya
11

Allah sama sekali tidak ingin memberatkan hamba-Nya. Dan itulah diantara
hikmah tayyamum, disaat kita tidak menemukan air untuk bersuci atau karena
kedaan yang tidak memungkinkan untuk bersentuhan dengan air (Misliyani,
2011).
Tayamum sendiri merupakan mengusap wajah dan kedua telapak
tangan dengan tanah (permukaan bumi) dengan tata cara tertentu atau bersuci
dengan menggunakann debu, sebagai pengganti wudhu’ atau mandi jambat
(Misliyani, 2011). Rasulullah bersabda:
“Dari sa’id bin Abdurrahman bin abza, dari ayahnya : sesungguhnya
datang seorang laki – laki bertanya kepada umar, “ “aku junub akan tetapi
aku tidak memperoleh air ( bagaimana bisa aku shalat?), Umar menjawab :
jangan shalat.” Kemudian Ammar berkata, “Ya Amiril mukminin, tidaklah
engaku ingat ketika aku dan engkau bersama- sama dalam suatu
perjalanan ? sementara kita bersama-sama junub dan tidak memperoleh air!
Kemudian engkau tidak shalat, tetapi aku bergulingan ditanah lalu aku
melakukan shalat. Sesudah itu Rasulullah SAW. Bersabda: sesungguhnya
sudah cukup kalau engkau memukulkan kedua telapak tangan engkau
ketanah, susudah itu meniupnya lalu disapukan, keduanya kewajah dan
ketangan”.Umar berkata, “Jika engkau kehendaki, aku tidak akan
menceritakan hadits ini”. (HR.Muslim).
Dari hadis tersebut, bisa kita ketahui bahwa tata cara tayamum adalah
dengan memukulkan kedua telapak tangan ke tanah, lalu diusapkan kewajah,
kemudian dipukulkan kembali ketanah dan diusapkan ke tangan sampai
kepersendian. Adapaun sebab – sebabnya tidak hanya karena kesepian air
sehingga tidak bisa berwudlu, di antara lain:
1. Tidak ada air baik ketika berpergian atau didaerahnya sendiri, namun
masih diharuskan berusaha kesana kemari untuk mencarinya.
2. Ada sebab – sebab yang tidak dibolehkan menyentuh air, misal sakit
keras, yang seumpama disentuhkan air sakitnya semakin parah.
3. Memuliakan hewan yang dimuliakan. Maksudnya, apabila ada air yang
hanya cukup sekali wudlu dan pada waktu itu ada hewan yang
dimuliakan sangat haus sekali, maka sebaiknya air itu tidak jadi
12

digunakan untuk wudlu namun diberikan kepada hewan yang haus itu.
Hewan yang dimaksud di sini adalah hewan dan manusia kecuali, anjing
dan babi, orang murtad, orang yang meninggalkan salat, orang yang zina,
dan orang kafir.

Adapun tata cara berwudhu bagi orang sakit yang masih bisa
menyentuh air, tetapi tidak kuat untuk bergerak, maka bisa wudu tetap bisa
dilakukan dengan bantuan orang lain yang semahram atau sesama jenis.
Seperti yang dijelaskan pada salah satu rumah sakit di Yogyakarta, yaitu
Rumah Sakit JIH (Jogja International Hospital), bahwa pasien yang masih
bisa menyentuh air tetapi tidak kuat untuk bergerak, maka dilakukan wudu
secara normal. Pasien tidak wudhu di kran, namun berwudhu di tempat
tidurnya dengan air yang telah disiapkan. Maka alat yang perlu disiapkan
ialah : 1) air untuk berkumur, 2) air untuk membasuh anggota wudhu (bisa
disiapkan dengan sprayer, 3) baskom/ wadah untuk menampung air bekas
kumur, dan jika perlu handuk untuk menampung tetesan air wudu. Pada
kondisi dimana pasien tidak dapat berwudhu sendiri, ia diwudhukan oleh
istri/suami, sesama jenis, atau mahramnya. Jika yang ada hanya lawan jenis
yang bukan mahram, maka ia ditayamumkan, bukan diwudhukan. Hukum ini
dianalogikan dengan hukum jenazah yang tidak ada yang memandikannya
selain lawan jenis yang bukan mahram. Maka menurut tinjauan fiqih, jenazah
tersebut ditayamumkan, bukan dimandikan.

Sebaliknya, jika saat kondisi darurat tersebut tiba-tiba menjadi normal,


seperti tersedianya air atau sudah sembuh dari penyakitnya. Maka hak untuk
tayamum akan batal seketika itu juga, dan dianjurkan untuk segera berwudhu
secara normal. Adapun hal-hal yang membatalkan tayamum (Misliyani,
2011) adalah sebagai berikut:

1. Segala perkara yang membatalkan wudlu’ juga membatalkan tayamum.


2. Menemukan air sebelum menunaikan shalat apabila yang menyebabkan
tayammum karena tidak adanya air. Kalau tayammumnya disebabkan
karena sakit akan batal apa bila sakitnya itu tidak bahaya lagi karena oleh
air.
13

3. Memperkirakan di sana ada air, misal di atas sana pada daerah pegunungan
atau lembah ada burung – burung yang berterbangan mengitari di atasnya,
sebagai tanda bahwa di bawahnya ada air. Melihat semacam ini sudah
batal kalau tayammumnya di sebabkan karena tidak adanya air.
4. Murtad (keluar dari agama islam).

2.3 Bersuci Memakai Muzah (Kaos kaki)

1. Dalil Pensyariatan Khuf/Muzah

Tentang dalil pensyariatan mengusap khuf adalah dari berbagai hadits


Nabawiyah. Di antaranya dari hadits ‘Ali bin Abi Tholib radhiyallahu
‘anhu,

‫ول‬
َ ‫ت َر ُس‬ ْ ‫ف َْأوىَل بِالْ َم ْس ِح ِم ْن‬
ُ ْ‫َأعالَهُ َوقَ ْد َرَأي‬ ْ ‫الرْأ ِى لَ َكا َن‬
ِّ ُ‫َأس َف ُل اخْل‬ َّ ِ‫ِّين ب‬
ُ ‫لَ ْو َكا َن الد‬
ِ َ‫ مَيْسح علَى ظ‬-‫صلى اهلل عليه وسلم‬- ‫اللَّ ِه‬
‫اه ِر ُخف َّْي ِه‬ َ َُ
“Seandainya agama itu dengan logika semata, maka tentu bagian bawah
khuf lebih pantas untuk diusap daripada bagian atasnya. Namun sungguh
aku sendiri telah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusap
bagian atas khufnya.”

Ada juga riwayat dari Jarir bin ‘Abdillah Al Bakhili radhiyallahu


‘anhu bahwa beliau kencing, kemudian berwudhu lalu mengusap kedua
khufnya. Ada yang mengatakan padanya, “Betul engkau melakukan seperti
itu?” “Iya betul”, jawab Jarir. Saya pernah melihat Rasulullah shallahu
‘alaihi wa sallam kencing, kemudian beliau berwudhu, lalu hanya
mengusap kedua khufnya saja. Dan perlu diketahui bahwa Jarir masuk Islam
setelah turun firman Allah yaitu surat Al Maidah berikut:
14

‫وه ُك ْم َوَأيْ ِديَ ُك ْم ِإىَل الْ َم َرافِ ِق‬ ِ ِ


َ ‫ين آَ َمنُوا ِإذَا قُ ْمتُ ْم ِإىَل الصَّاَل ة فَا ْغسلُوا ُو ُج‬
ِ َّ
َ ‫يَا َأيُّ َها الذ‬
ِ ِ
ِ ‫وس ُكم و َْأر ُجلَ ُكم ِإىَل الْ َك ْعَبنْي‬
ْ َ ْ ُ‫َو ْام َس ُحوا ب ُرء‬
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat,
maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah
kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki.” (QS. Al
Maidah: 6)

Penulis Tuhfatul Ahwadzi rahmatullah menjelaskan bahwa


seandainya Jarir masuk Islam lebih dulu sebelum turunnya surat Al Maidah
di atas, maka dapat dipahami kalau mengusap khuf itu sudah dihapus
dengan ayat Al Maidah tersebut. Namun Islamnya Jabir ternyata belakangan
setelah turun surat Al Maidah tadi. Dari sini dapat diketahui bahwa hadits
mengusap khuf itu masih tetap diamalkan. Sedangkan yang dimaksud
mencuci kaki (bukan mengusap khuf) dalam surat Al Maidah di atas berlaku
untuk selain yang mengenakan khuf. Oleh karena itu, sunnah di sini menjadi
pengkhusus bagi ayat di atas. Demikian kata An Nawawi.
Dalil yang menjelaskan disyari’atkannya mengusap khuf diriwayatkan
lebih dari 80 sahabat radhiyallahu ‘anhum, di antara mereka adalah sepuluh
sahabat yang diberi kabar gembira masuk surga.
Ibnul Mubarok rahimahullah mengatakan, “Tidak ada beda pendapat
di kalangan sahabat akan bolehnya mengusap khuf. Karena setiap riwayat
yang menunjukkan kalau mereka mengingkari bolehnya hal itu, dalam
riwayat lainnya menunjukkan kebalikannya yaitu mereka membolehkan
mengusap khuf.”
Ibnu ‘Abdil Barr rahimahullah mengatakan, “Aku tidak mengetahui
riwayat dari salaf yang mengingkari bolehnya mengusap khuf kecuali dari
Malik. Namun riwayat shahih dari Imam Malik adalah beliau membolehkan
mengusap khuf.”

2. Hukum Mengusap Khuf


15

Hukum asal mengusap khuf adalah boleh. Menurut mayoritas


ulama, mencuci kaki lebih afdhol (lebih utama) daripada mengusap khuf.
Mengusap khuf adalah rukhsoh (keringanan) dalam ajaran Islam.
Allah subhanahu wa ta’ala amat menyukai orang yang mengambil rukhsoh
(keringanan), sebagaimana Dia suka jika seseorang menjauhi larangan-Nya.
Namun menurut ulama Hambali, mengusap khuf itu lebih afdhol karena itu
berarti seseorang mengambil rukhsoh dan kedua-keduanya (antara
mengusap khuf dan mencuci kaki saat wudhu) adalah suatu hal yang sama-
sama disyari’atkan.

3. Hikmah Mengusap Khuf


Hikmah mengusap khuf adalah untuk mendatangkan kemudahan dan
keringanan bagi setiap muslim. Kesulitan yang dihadapi barangkali adalah
kesulitan untuk melepas khuf dan mencuci kedua kaki, apalagi saat musim
dingin atau ketika mendapati cuaca yang amat dingin. Begitu pula kesulitan
tersebut bisa jadi didapati ketika safar yang biasanya terjadi ketergesa-
gesaan sehingga sulit untuk mencuci kaki secara langsung.
4. Syarat Bolehnya Mengusap Khuf
Syarat yang harus dipenuhi agar dibolehkan mengusap khuf adalah
sebelum mengenakan khuf dalam keadaan bersuci (berwudhu atau mandi)
terlebih dahulu. Hal ini berdasarkan hadits Al Mughiroh bin Syu’bah, ia
berkata, “Pada suatu malam di suatu perjalanan aku pernah bersama
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu aku sodorkan pada beliau bejana
berisi air. Kemudian beliau membasuh wajahnya, lengannya, mengusap
kepalanya. Kemudian aku ingin melepaskan sepatu beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam, namun beliau berkata,
ِ َ‫ فَِإىِّن َأدخلْتهما ط‬، ‫دعهما‬
‫ فَ َم َس َح َعلَْي ِه َما‬. » ِ ‫اه َر َتنْي‬ َ ُُ َ ْ َ ُْ َ
“Biarkan keduanya (tetap kukenakan). Karena aku telah memakai keduanya
dalam keadaan bersuci sebelumnya.”
16

Lalu beliau cukup mengusap khufnya saja. Syarat ini yaitu


mengenakan khuf dalam keadaan sudah bersuci dengan sempurna adalah
syarat yang disepakati oleh para ulama.
Adapun syarat yang dikatakan oleh sebagian ulama bahwa khuf
tersebut harus menutupi kaki (yang wajib dibasuh saat wudhu), harus kokoh
dan kuat digunakan untuk berjalan, maka tentang hal ini telah dijelaskan
oleh Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam fatwanya akan lemahnya pendapat
tersebut.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Mengusap khuf disebutkan
secara mutlak. Dan diketahui bahwa cacat ringan secara adat yang didapati
pada khuf seperti adanya belahan, sobekan, lebih-lebih lagi jika khuf
tersebut sudah lama dikenakan dan para sahabat di masa dahulu kebanyakan
miskin, yang tidak mungkin mereka terus menggunakan khuf
baru.”. Pendapat yang tepat adalah masih bolehnya mengusap khuf yang
cacat (seperti ada sobekan) selama masih disebut khuf dan selama masih
kuat untuk digunakan berjalan.

5. Bagian Mana yang Diusap?


Bagian khuf yang diusap bukanlah seluruh khuf, atau bukan pula pada
bagian bawah yang biasa menginjak tanah atau kotoran. Yang diajarkan
dalam Islam, ketika berwudhu bagian khuf yang diusap adalah bagian
punggung khuf (atas). Jadi cukup bagian atas khuf yang dibasahi lalu khuf
diusap (tidak perlu air dialirkan), sebagaimana definisi “mengusap” ( ِ‫) َمسْح‬
yang sudah disebutkan di awal.
Dalilnya adalah hadits dari ‘Ali bin Abi Tholib, Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,

‫ول‬
َ ‫ت َر ُس‬ ْ ‫ف َْأوىَل بِالْ َم ْس ِح ِم ْن‬
ُ ْ‫َأعالَهُ َوقَ ْد َرَأي‬ ْ ‫الرْأ ِى لَ َكا َن‬
ِّ ُ‫َأس َف ُل اخْل‬ َّ ِ‫ِّين ب‬
ُ ‫لَ ْو َكا َن الد‬
ِ َ‫ مَيْسح علَى ظ‬-‫صلى اهلل عليه وسلم‬- ‫اللَّ ِه‬.
‫اه ِر ُخف َّْي ِه‬ َ َُ
17

“Seandainya agama itu dengan logika semata, maka tentu bagian bawah khuf
lebih pantas untuk diusap daripada bagian atasnya. Namun sungguh aku
sendiri telah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusap bagian
atas khufnya.”
6. Jangka Waktu Bolehnya Mengusap Khuf
Keringanan mengusap khuf di sini bukan selamanya, ada masanya
yang dibatasi oleh ajaran Islam. Bagi orang yang mukim, jangka waktu
mengusap khuf adalah sehari semalam (1×24 jam), sedangkan untuk
musafir selama tiga hari tiga malam (3×24 jam).
Dari Shafwan bin ‘Assal, ia berkata,

ً‫فَ ََأم َرنَا َأ ْن مَنْ َس َح َعلَى اخْلَُّفنْي ِ ِإذَا حَن ْ ُن َْأد َخلْنَامُهَا َعلَى طُ ْه ٍر ثَالَثاً ِإذَا َسا َف ْرنَا َويَ ْوما‬

‫َولَْيلَةً ِإذَا َأقَ ْمنَا َوالَ خَن ْلَ َع ُه َما ِم ْن َغاِئ ٍط َوالَ بَ ْو ٍل َوالَ نَ ْوٍم َوالَ خَن ْلَ َع ُه َما ِإالَّ ِم ْن َجنَابٍَة‬
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepada kami untuk
mengusap khuf yang telah kami kenakan dalam keadaan kami suci sebelumnya.
Jangka waktu mengusapnya adalah tiga hari tiga malam jika kami bersafar dan
sehari semalam jika kami mukim. Dan kami tidak perlu melepasnya ketika kami
buang hajat dan buang air kecil (kencing). Kami tidak mencopotnya selain
ketika dalam kondisi junub.”
Dari Syuraih bin Haani’, ia berkata, aku pernah mendatangi ‘Aisyah,
lalu akan menanyakannya mengenai cara mengusap khuf. ‘Aisyah
menjawab, “Lebih baik engkau bertanya pada ‘Ali bin Abi Tholib,
tanyakanlah padanya karena ‘Ali pernah bersama Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam.” Kemudian aku bertanya kepada ‘Ali, lantas ia menjawab,

ً‫ ثَالَثَةَ َأيَّ ٍام َولَيَالَِي ُه َّن لِلْ ُم َسافِ ِر َويَ ْو ًما َولَْيلَة‬-‫صلى اهلل عليه وسلم‬- ‫ول اللَّ ِه‬
ُ ‫َج َع َل َر ُس‬

‫لِلْ ُم ِقي ِم‬


“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam enjadikan tiga hari tiga malam
sebagai jangka waktu mengusap khuf bagi musafir, sedangkan sehari semalam
untuk mukim.”
18

 Kapan dihitung 1×24 jam (bagi mukim) atau 3×24 jam (bagi musafir)?
Hitungannya adalah dimulai dari mengusap pertama kali setelah
berhadats. Demikian pendapat Imam Ahmad, Al Auzai, An Nawawi,
Ibnul Mundzir, dan Ibnu ‘Utsaimin. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam katakan “musafir mengusap” atau “mukim mengusap”. Ini
menunjukkan bahwa waktu permulaan sebagai hitungan memulai
mengusap adalah ketika mengusap khuf pertama kali. Demikian
pemahaman tekstual (zhohir) dari hadits. Wallahu a’lam.
Contoh: Ahmad berwudhu sebelum memulai safar pada pukul
06.00. Pada pukul 09.00, wudhu Ahmad batal karena hadats kecil
(kentut). Namun ia berwudhu pada pukul 12.00 saat akan melaksanakan
shalat Zhuhur. Maka pada pukul 12.00 mulai hitungann 3×24 jam bagi
Ahmad. Jadi setelah 3×24 jam (pukul 12.00 tiga hari berikutnya), masa
mengusap khuf bagi Ahmad usai.
7. Cara Mengusap Khuf
Setelah berwudhu secara sempurna lalu mengenakan khuf, kemudian
setelah itu tatkala ingin berwudhu cukup khuf saja yang diusap sebagai
ganti dari mencuci (membasuh) kaki. Keringanan seperti ini diberikan bagi
orang mukim selama 1×24 jam dan bagi musafir selama 3×24 jam. Namun
ketika seseorang terkena hadats besar (yaitu junub), wajib baginya melepas
sepatunya saat bersuci. Sebagaimana hal ini dijelaskan dalam hadits
Shafwan di atas.
8. Pembatal Mengusap Khuf

 Berakhirnya waktu mengusap khuf.


 Terkena junub.
 Melepas sepatu.
Jika khuf dilepas –dan masa mengusap khuf belum selesai-
kemudian berhadats, maka tidak diperkenankan mengenakan khuf dan
mengusapnya, karena ketika itu berarti seseorang memasukkan kakinya
dalam keadaan tidak suci.
19

Jika salah satu pembatal di atas ada, maka tidak diperkenankan


mengusap khuf. Wajib baginya ketika berhadats, ia berwudhu lagi, lalu ia
mencuci kakinya secara langsung saat itu. Kemudian setelah itu, ia boleh
lagi mengenakan khuf dan mengusapnya.

2.4 Permasalahan Seputar Hadast Besar dan Hadast Kecil, Najis, dan
Beberapa Perkara yang Berkenaan Dengannya Menurut Prespektif
Empat Madzhab
Hadas kecil yang sudah disepakati para ahli fikih diantaranya adalah
keluar air kencing, air besar atau tinja, angin, mazi atau air putih bergetah
yang keluar sewaktu mengingat senggama atau sedang bercanda, dan wadi
atau semacam cairan putih kental yang keluar dari alat kelamin mengiringi air
kencing yang semuanya terjadi dalam keadaan sehat. Sementara hilangnya
akal karena pingsan, gila, atau mabuk, oleh jumhur ulama dikiaskan
sebagaimana keadaan ketika tertidur, dan termasuk ke dalam hadas kecil. 
Ada pula hadas kecil yang masih dalam perdebatan, yaitu segala najis
yang keluar dari tubuh, tidur, menyentuh wanita dengan tangan atau dengan
anggota tubuh lain yang sensitif, menyentuh zakar, memakan makanan yang
dibakar api, tertawa dalam sholat, dan membawa mayat.
Hadas kecil bisa dihilangkan dengan melakukan thaharah syar’iyyah
yang disebut wudhu. Hal ini dikuatkan firman Allah SWT yang artinya: Hai
orang orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan sholat, maka
basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku. (QS Al Maa’idah:6)
Juga sabda Nabi Muhammad SAW yang artinya : “Allah tidak
menerima sholat tanpa bersuci.”(HR Muslim.)
Hadas besar terjadi pada orang yang dalam keadaan janabah atau
orangnya disebut junub dan wanita dalam keadaan haid. Untuk mensucikan
diri, seorang junub atau wanita haid wajib melakukan mandi. Dasar
hukumnya ada pada firman Allah SWT yang artinya :Dan jika kamu junub
maka mandilah.(QS.Al Maa’idah 6.)
Dan firman lainnya yang artinya : Mereka bertanya kepadamu tentang
haid. Katakanlah :Haid itu adalah suatu kotoran. (QS Al Baqarah 222.)
20

Terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama. Jumhur ulama sepakat


bahwa keluarnya mani dari seseorang baik laki laki maupun perempuan,
dalam keadaan sehat, baik waktu tidur ataupun bangun, merupakan hadas
besar dan diwajibkan mandi. 
Hal ini didasarkan pada hadis Ummu Salamah atau salah seorang istri
Nabi Muhammad SAW yang artinya : Ya Rasulullah, wanita bermimpi
seperti mimpinya laki laki.Apakah ia wajib melakukan mandi ?Rasulullah
menjawab : Ya apabila ia meliahat air keluar air mani. 
Namun, ada pendapat lain dari An-Nakha’i, seorang ulama fikih di
Kufah dan seorang tabiin yang mulia. Ia berpendapat bahwa wanita tidak
wajib melakukan mandi karena bermimpi bersetubuh lalu keluar mani.
Hadas besar karena janabah juga masih diperselisihkan di kalangan
ulama. Imam Malik, Imam Syafi’i, dan sekelompok Ahl Az Zahir atau ulama
yang mendasarkan pendapatnya pada teks dalil mewajibkan mandi karena
bertemunya dua alat kelamin lelaki dan wanita, baik mengeluarkan mani
ataupun tidak. 
Akan tetapi, sekelompok Ahl az-Zahir lain hanya mewajibkan apabila
pertemuan dua alat kelamin lelaki dan wanita disertai keluarnya mani. Selain
itu, ulama juga berselisih mengenai sifat keluarnya mani tersebut. 
Imam Malik berpendapat bahwa kenikmatan saat keluarnya mani itu
yang mewajibkan mandi. Sementara Imam Syafi’i berpendapat keluarnya
mani itu sendiri yang telah mewajibkan mandi, baik disertai atau tanpa
kenikmatan. Ada beberapa perbuatan yang tidak boleh dilakukan oleh orang
yang berhadas besar. Imam Malik melarang memasuki masjid sama sekali.
Imam Syafi’i hanya membolehkan lewat tanpa menetap di dalamnya. 
Sementara Dawud membolehkan semuanya, untuk wanita haid, jumhur
ulama melarang membaca Alquran, namun ada golongan ulama yang
membolehkannya. 
Imam Malik membolehkan wanita haid membaca Alquran karena
panjangnya masa haid.Selain itu, bagi wanita haid dan nifas juga terdapat
larangan puasa dan bersetubuh. Bolehkah Muslimah Hadas Membaca
Alquran? Menurut mayoritas ahli fikih hukumnya tidak boleh.
21

Bagi seseorang yang sedang berhadas, baik hadas kecil maupun besar,
ada beberapa hal yang tidak boleh dilakukan. Amalan tersebut boleh
dilakukan setelah mereka bersuci.
Dr Abd al-Karim az-Zaidan dalam kitabnya yang berjudul al-Mufashal
fi Ahkam al-Mar’at mengatakan, pada dasarnya amalan yang dilarang saat
berhadas kecil tidak boleh dilakukan pula oleh mereka yang berhadas besar.
Ketentuan ini sama, baik bagi laki.laki maupun perempuan. Orang yang
berhadas tak boleh menunaikan shalat dan memegang mushaf Alquran.
Sebelum menguraikan panjang lebar hukum membaca Alquran kese
luruhan atau hanya sebagaian, az- Zaidan terlebih dahulu memaparkan hukum
memegang mushaf. Menurut mayoritas ahli fikih hukumnya tidak boleh.
Sedangkan, dalam pandangan Maz hab Dhahiri, tak ada larangan bagi
me reka yang berhadas untuk memegang mushaf. Sedangkan, di kalangan
Maz hab Syafii, memegang mushaf saat berhadas hanya diperbolehkan bagi
anak laki-laki yang telah mumayiz.
Mereka boleh menyentuh atau membawanya. Mengapa dispensasi
diberikan kepada mereka? Menurut kelompok ini ialah memberikan ke ringan
an agar mereka tak keberatan dengan sering berwudhu.
Lantas, bagaimana dengan hukum membaca Alquran? Mayoritas ulama
sepakat, mereka yang tengah junub tidak diperbolehkan membaca Alquran.
Sedangkan, menurut Ibnu Hazm dan sebagian penganut Mazhab Dhahiri,
kondisi junub tak memengaruhi diperbolehkannya membaca Alquran.
Menurutnya, aktivitas membaca Alquran termasuk perbuatan yang baik dan
dianjurkan. Pelakunya pun akan diganjar pahala. Karena itu, siapa pun yang
beranggapan orang junub dilarang membaca Alquran maka hendaknya ia
memberikan argumentasi kuat. Dalam pandangannya, hadis hadis yang
menyatakan tentang larangan menyentuh atau membaca Alquran saat junub
diragukan validitasnya dan kurang kuat.
Pendapat ini sama persis dengan pandangan yang disampaikan oleh
Said bin al-Musayyib. Tokoh Tabiin tersebut memperbolehkan mereka yang
junub membaca Alquran. Sedangkan, pendapat mayoritas ulama merujuk
antara lain pada hadis yang diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib. Hadis itu
22

menyatakan bahwa kondisi junub menjadi penghalang bagi mereka yang


ingin membaca Alquran.
Jika soal membaca Alquran keseluruhan mayoritas ulama bersepakat
untuk melarangnya, namun tidak demikian dengan halnya membaca sebagian
ayat atau surah Alquran tanpa memegang mushaf. Misalnya, membaca surah
al-Fatihah, al-Ikhlas, an-Naas, atau ayat kursi untuk kepentingan rukiah.
Terdapat perbedaan pendapat di antara ulama. Di kalangan Mazhab
Hanafi, orang yang junub tidak boleh membaca Alquran, baik satu ayat surah
maupun berapa pun yang dibaca. Pendapat ini dipopulerkan oleh Imam al-
Kasani. Ia merujuk hadis riwayat Ali di atas. Selain itu, menurutnya,
pelarangan ini dinilai dapat menjaga kehormatan dan kesucian Alquran.
Tak jauh berbeda dengan Mazhab Hanafi, di kalangan Mazhab Syafi’I,
seseorang yang berhadas tidak boleh membaca apa pun dari Alquran.
Dengan membacanya maka mengurangi kesucian Alquran. Sebuah hadis juga
menyatakan bahwa orang yang junub atau haid tak boleh membaca apa pun
dari Alquran. Pun demikian dengan Mazhab Hanbali. Menurut mereka,
membaca Alquran tidak diperbolehkan selama berhadas. Kecuali, bila yang
bersangkutan telah bersuci.
Berbeda dengan kedua mazhab di atas, boleh hukumnya bagi orang
hadas atau junub untuk membaca beberapa ayat atau surah saja dari Alquran.
Yang dimaksud oleh mazhab ini, misalnya, ayat atau surah yang sering
difungsikan untuk benteng diri sehari hari. Di antaranya, ayat Kursi, surah al-
Ikhlas, an-Naas dan al-Alaq. Serupa dengan kelompok ini, Mazhab Zaidiyah
juga berpandangan demikian. Orang junub dan berhadas boleh membaca
Alquran bila tujuannya ialah untuk doa, pujian, atau meminta perlindungan.
Bukan untuk kepentingan tilawah.

Adapun macam-macam benda najis adalah sebagai berikut:


1. Anjing: najis. kecuali Mazhab Maliki yang berkata: bejana yang di
basuh 7 kali jka terkena jilatan anjing bukanlah karena najis melainkan
karena ta’abbud (beribadat. Syafi’I dan Hambali berkata: bejana yang
terkena jilatan anjing meski dibasuh sebanyak 7 kali, satu kali di
23

antaranya dengan tanah. Imamiyah berkata: bejana yang dijilat anjing


harus dibasuh sekali dengan tanah dan 2 kali dengan air.
2. Babi: Semua mazhab berpendapat bahwa hukumnya sama seperti
anjing, kecuali mazhab Imamiyah yang mewajibkan membasuh bejana
yang terkena babi sebanyak 7 kali dengan air. Begitu juga hukumnya
dengan bangkai tikus darat (yang besar).
3. Bangkai: Semua mazhab sepakat bahwa bangkai binatang darat selain
manusia adalah najis jika pada binatang itu keluar darah yang mengalir.
Adapun bangkai manusia Maliki, Syafi’I dan Hambali mengatakan
suci. Hanafi berpendapat bahwa bangkai manusiaitu najis, dan yang
terkena dapat menucikannya dengan mandi.
4. Darah: Semua mazhab sepakat darah adalah najis kecuali darah orang
yang mati syahid, selama darah itu berada di atas jasadnya. Begitu juga
dengan darah yang tertinggal pada persembelihan, darah ikan, darah
kutu, dan darah kepinding (tertinggi).
5. Mani: Maliki dan Hanafi berpendapat bahwa mani anak adam adalah
suci, begitu juga dengan semua binatang selain anjing dan babi.
Hambali berpendapat mani anak adam dan mani binatang yang
dagingnya dimakan adalah suci, tetapi mani binatang yang dagingnya
tidak dimakan adalah najis.
6. Nanah: Keempat mazhab sepakat bahwa nanah adalah hukumnya najis.
7. Kencing: Semua mazhab sepakat air kencing dan kotoran anak adam
adalah najis.
8. Benda cair yang memabukkan: adalah najis menurut semua mazhab,
tetapi Imamiyah menambahkan satu ketentuan, bahwa benda cair
tersebut asalnya cair. Hal ini dimaksudkan agar tidak upaya menjadikan
benda-benda yang memabukkan yang cair di ubah menjadi beku untuk
menghindari hukum najisnya, yang padahal hukumnya tetap najis.
9. Muntah: hukumnya najis menurut empat mazhab
10. Madzi dan wadzi: keduanya najis menurut Syafi’i, Maliki dan Hanafi.
Hambali berpendapat madzi suci sedangkan wadzi najis. Madzi adalah
24

yang keluar dari lubang depan ketika ada rangsangan seksual dan wadzi
adalah air amis yang keluar setelang kencing atau dalam kondisi capek.

2.5 Sirah Nabawiyah II

‫لة كري الف ذان أمل يف رتول اهلل لنوة حستة ملن كان زجو اللة و اليوم األخر ونذكر‬

‫الط‬
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rosululloh itu suri teladan yang baik
bagimu (yaitu) bagi orang yang megharap (rahmat) Alloh dan (kedatangan)
hari kiamat dan dia banyak menyebut Alloh” (QS. Al Ahzab [33]: 22).

Seorang muslim tentu sangat memahami bahwa kita memiliki suri


teladan dalam meniti agama ini. Siapa yang tidak mengenal sosok terbaik
dengan akhlak yang paling mulia di seluruh zaman? Dengan fisik dan hati
yang sempurna, Alloh telah memilih Muhammad sebagai pelita yang
membawa umat manusia dari lembah kegelapan menuju cahaya yang terang
benderang. Dalam periode kurang lebih 22 tahun beliau berhasil mengubah
masyarakat yang tidak pernah dipandang sedikipun oleh paral penguasa di
masanya menjadi kaum yang sangat disegani karena ketinggian akhlak dan
budi pekertinya. Dihormati karena berpegang dengan teguh agamanya.
Disegani karena tidak menjadikan dunia menjadi tujuan utamanya sekalipun
dunia telah berada pada genggamannya. Ditakuti karena ketangguhannya di
medan laga.
Tidaklah kesempurnaan menjadikan beliau menjadi sosok yang
melebihi makhluk seperti malaikat yang tidak pernah berbuat kesalahan.
Beliau adalah manusia biasa yang perilaku dan akhlaknya dapat ditiru oleh
seluruh manusia dan ajaran yang dibawanya yakni Islam menjadi rahmat bagi
seluruh semesta. Tak heran jika ada siapa saja yang berani merendahkan
kehormatannya maka umatnya yang selalu mencintainya akan bergerak dan
siap untuk menghunuskan pedang membela kehormatannya.
25

1. Pengertian As-Sirah An-Nabawiyah


Kata Sirah secara etimologis bermakna perjalanan, adapun pengertian
secara terminologis adalah perjalanan kehidupan seseorang. Huruf alif lam
yang menyertai As-Sirah berarti perjalanan hidup seseorang yang akan
dibahas. Kata Nabawiyah bermakna kenabian. Adanya huruf alif lam pada
kata An-Nabawivah bermakna Nabi tertentu dan disini tentunya bermakna
Nabi Muhammad Sholallohu alaihi wa Salam.

2. Mengenal Karakteristik Nabi Muhammad Sholallahu Alaihi wa Salam


Jika seorang muslim ditanya siapa Nabimu? Maka akan djawab
Muhammad Sholallohu Alaihi wa Salam. Jika ditanya bagaimana ciri-ciri
beliau? Mereka bisa menjawab banyak hal dari mulai akhlak dan periaku,
pemimpin umat Islam dan lainnya. Tapi bagaimana jika ditanya ciri fisik
beliau? Hampir sebagian besar orang tidak mengetahui ciri fisik beliau.
Bagaimana bentuk matanya? Bagaimana tinggi badannya? Bagaimana
rambutnya? Kenapa ini menjadi penting? Dengan mengetahui karakteristik
Nabi maka kita akan menjadi tahu apabila kita bermimpi bertemu dengan
beliau sebagaimana disebutkan dalam hadits Shahih Bukhari berikut.

‫يتخل يب ويا اأي فن التطان العن أن سضن امل عغة ال ل اليب ملى اه عليه و سلم‬

‫من زراين يف املنام فقذ وزنبني جرءا من الثوة املؤمن جرة من سثة‬
“Dari Anas radiallahu 'anhu mengatakan, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam
bersabda: "Siapa melihatku dalam mimpi, berarti ia telah melihatku, sebab
setan tidak bisa menjelma sepertiku, dan mimpi seorang mukmin adalah
sebagian dari empat puluh enam bagian kenabian.” (Ensiklopedi Hadits
Kitab 9 Imam, Shahih Bukhari: 6479).
Jika ada yang mengatakan mimpi bertemu dengan Nabi Muhammad
Sholalohu Alaihi wa Salam maka tanyakanlah ciri-cirinya sebagaimana Ibnu
Sirin menanyakan seseorang yang menyebutkan pernah bermimpi bertemu
Nabi Setan tidak pernah bisa menjelma menjadi Nabi Muhammad Sholallohu
Alaihi wa Salam akan tetapi setan bisa berbohong dalam mimpi dan mengaku
26

sebagai Nabi Dengan mengetahui ciri-ciri fisiknya maka dengan mudah kita
mengetahui apakah benar kita bermimpi bertemu dengan Nabi atau tidak.
Rosululloh adalah manusia yang paling mulia yang bahkan namanya
selalu disebutkan bergandengan setelah lafadz Alloh. Alloh telah memujinya,
meninggikan namanya dan mengabadikanya pada beberapa tempat. Sebagai
contoh pada syahadat pada lafadz adzan dan iqomah, di dalam solat bahkan di
dalam Al-Quran juga disebutkan. Hal ini tertera jelas dalam firman Alloh:

‫ورفغا لك ذگاف‬
“Dan Kami tinggikan bagimu sebutan (nama)mu” (QS. A-Sharh [94]:4)

Syaikh As-Sa'di dalam tafsinya bahkan menyebutkan tentang ayat ini


bahwa nama beliau tidak hanya selalu disebutkan dalam khutbah namun juga
tersimpan dalam dada umatnya yang mencintainya dengan penuh
penghormatan dan pengagungan.
Tidak ada satu khutbah pun kecuali nama beliau akan disebutkan
selepas kita memuji Alloh atas rahmat dan hidayahnya dalam bentuk
sholawat. Rosululoh adalah manusia yang memiliki kasih sayang kepada
seluruh alam. Alloh telah mengutusnya dengan penuh rahmat. Pengutusan
Nabi Muhammad sendiri adalah rahmat dan beliau adalah pembawa pesan
yang penuh dengan rahmat. Ajarannya adalah rahmat dan segala hal yang ada
pada diri beliau adalah rahmat dan inilah yang dimaksud dengan rahmatan lil
alamin.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Berdasarkan paparan mengenai permasalahan dalam thaharah, maka
penyusun menyimpulkan bahwa:
1. Dalam permasalahan Fiqhiyah mengenai Thaharah, ada banyak hal yang
perlu dipelajari dan pahami agar tubuh kita benar-benar bersih dan suci
dari hadas dan najis, sehingga amal ibadah kita bisa diterima oleh Allah
swt.
2. Secara umum bersuci, baik untuk menghilangkan najis maupun hadats
harus menggunakan air yang statusnya suci dan mensucikan, yaitu air
mutlak. Bersuci dengan cara apa saja kalau memakai air mutlak lebih
dari dari dua qullah, maka tidak akan merubah status kesucian air hingga
sesuatu yang disucikan akan menjadi suci dengan air tersebut. Selain air,
juga bisa menggunakan tanah, batu, kayu, tisu, tembikar, dan samak.
3. Adapun cara berthaharah dari benda najis itu ialah dengan mengalirkan
air pada bagian yang terkena najis hingga hilang bekas-bekas najis
padanya. Dan bekas-bekas najis itu ialah bau, warna dan rasanya.
4. Berbeda dengan tata cara bersuci seperti biasa, keadaan darurat sama
seperti hukum-hukum lainnya diberikan keringanan oleh Allah set.,
yakni ketika tidak adanya air untuk bersuci ataupun dalam keadaan sakit
yang tidak memungkinkan untuk menyentuh air. Maka cara bersucinya
dengan cara bertayammum.
5. Hukum asal mengusap khuf adalah boleh. Menurut mayoritas ulama,
mencuci kaki lebih afdhol (lebih utama) daripada mengusap khuf.
Mengusap khuf adalah rukhsoh (keringanan) dalam ajaran Islam.
Syaratnya adalah sebelum mengenakan khuf dalam keadaan bersuci
(berwudhu atau mandi) terlebih dahulu. Bagian khuf yang diusap cukup
bagian atas khuf yang dibasahi lalu khuf diusap (tidak perlu air
dialirkan)

27
28

6. Hadas kecil yang sudah disepakati para ahli fikih diantaranya adalah
keluar air kencing, air besar atau tinja, angin, mazi atau air putih
bergetah yang keluar sewaktu mengingat senggama atau sedang
bercanda, dan aadi. Sementara hilangnya akal karena pingsan, gila, atau
mabuk, oleh jumhur ulama dikiaskan sebagaimana keadaan ketika
tertidur, dan termasuk ke dalam hadas kecil. Cara bersucinya dengan
berwudhu’.
7. Hadas besar terjadi pada orang yang dalam keadaan janabah atau
orangnya disebut junub dan wanita dalam keadaan haid. Untuk
mensucikan diri, seorang junub atau wanita haid wajib melakukan
mandi.
8. Hal-hal yang dilarang untuk dilakukan ketika sedang berhadats, baik
besar maupun kecil, menuai banyak pendpat dari 4 madzhab. Apapun
yang sudah disepakati berdasarkan mazhabnya masing-masing adalah
benar, karena merupakan hasil ijma’ dan qiyas dari 4 ulama’besar.
29

Daftar Pustaka

Agustinignrum, S. 2018. Pengaruh Pembelajaran Fiqih Thaharah Terhadap


Kemampuan Praktik Bersuci Siswa SMP Plus Arroudhoh Sedati [Skripsi].
Fakultas Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Sunan Ampel Surabaya.

Latifah. 2004. Makna Thaharah Dalam Perspektif Musaffir (Studi Komparatif


Penafsiran Fahr al-Razi, al-Qurtubi dan al-Alusi) [Skripsi]. Fakultas
Ushuluddin, Institut Agama Islam Negeri Walisongo Semarang.

Rohim, H. 2018. Apa Dan Bagaimana Thaharah (Cara Bersuci)?. Institut


Pertanian Bogor.

Humaerah. 2016. Hubungan Antara Pemahaman Thaharah Dengan Keterampilan


Bersuci bagi Santri Kelas VII MTs Pondok Pesantren Al-Urwatul Wutsqaa
Benteng Kec. Baranti Kab. Sidrap [Skripsi]. Fakultas Tarbiyah dan
Keguruan, Universitas Islam Negeri Alauddin Makssar.

RS JIH. -------. Panduan Bersuci Untuk Pasien [Brosur]. Yogyakarta: Rumah


Sakit JIH.

Abdillah, I. 2018. Fiqih Thaharah: Panduan Praktis Bersuci. Surabaya: Pustaka


Media.

Sumaji, M.A. 2008. 125 Masalah Thaharah. Solo: Tiga Serangkai.

Misliyani. 2011. Artikel Ibadah Tayammum Pengganti Wudhu’ dan Mandi Wajib
[Online]. Diakses pada tanggal 6 November 2020 di
https://sumsel.kemenag.go.id/files/sumsel/file/file/TULISAN/mnck1411352
401.pdf

Ad Durul Mukhtar, Al Hish-faki, Mawqi’ Ya’sud (sesuai cetakan).

Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, terbitan Kementrian Agama Kuwait.

Al Mughrib fii Tartiibil Mu’rob, Abul Fath Nashiruddin bin ‘Abdis Sayyidin ‘Ali
bin ‘Ali bin Al Mathrizi, terbitan Maktabah Usamah bin Zaid, cetakan
pertama, 1979.

Al-Qur’an dan Hadist, https://belajarislam.com/artikel-baru/keutamaan-


mempelajari-sirah-nabawiyah-2/ (diakses pada tanggal 10 November 6,
2020)

Fiqih Sunnah, Sayyid Sabiq, tahqiq: Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani,


terbitan Muassasah Ar Risalah, cetakan ketiga, 1430 H.

Majmu’ Al Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, terbitan Darul Wafa’, cetakan
ketiga, 1426 H.
30

Shahih Fiqh Sunnah, Abu Malik Kamal bin Asy Sayyid Salim, cetakan Al
Maktabah At Taufiqiyah.

Subulus Salam, Muhammad bin Ismai’l Al Amir Ash Shan’ani, tahqiq:


Muhammad Shabhi Hasan Hallaq, terbitan Dar Ibnul Jauzi, cetakan kedua,
Muharram 1432 H.

Tuhfatul Ahwadzi, Muhammad bin ‘Abdirrahman bin ‘Abdirrahim Al


Mubarakfuri Abul ‘Alaa, terbitan Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah.

Anda mungkin juga menyukai