Dosen Pengampu:
Kukuh Santoso, S.Pd.I, M.Pd.I.
Disusun Oleh:
Diajeng Berliana Yulia Putri (21901061014)
Rizqi Alvianshah (21901061015)
Dewi Qurrot ‘Aini (21901061016)
JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS ISLAM MALANG
MALANG
2020
FOTO ANGGOTA
21901061014
Rizqi Alvianshah
21901061015
21901061016
ii
Kata Pengantar
Penyusun
iii
Daftar Isi
Foto Anggota.................................................................................................... ii
Kata Pengantar.................................................................................................. iii
Daftar Isi........................................................................................................... iv
BAB I PENDAHULUAN............................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ......................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah....................................................................................... 2
1.3 Tujuan ....................................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN................................................................................. 3
2.1 Permasalahan (Masa’il Fiqhiyah) dalam Thaharah dan Seputar Alat
Bersuci....................................................................................................... 3
2.2 Bersuci (Thaharah) dalam Kondisi Darurat................................................ 9
2.3 Bersuci Memakai Muzah (Kaos kaki)........................................................ 13
2.4 Permasalahan Seputar Hadast Besar dan Hadast Kecil, Najis, dan
Beberapa Perkara yang Berkenaan Dengannya Menurut Prespektif Empat
Madzhab.................................................................................................... 19
2.5 Sirah Nabawiyah II..................................................................................... 24
Daftar Pustaka................................................................................................ 29
iv
BAB I
PENDAHULUAN
1
2
1.3 Tujuan
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut.
1. Untuk Untuk mengetahui tentang permasalahan dalam bersuci.
2. Untuk mengetahui bersuci dalam kondisi darurat.
3. Untuk mengetahui permasalahan bersuci menurut 4 madzhab.
BAB II
PEMBAHASAN
Permasalahan dalam bersuci tentu menjadi hal yang perlu untuk dikaji
mengingat betapa pentingnya suci itu sendi. Selain agar ibadah kita diterima oleh
Allah swt., dengan tubuh dan benda-benda di sekitar kita dalam keadaan suci dan
bersih, hidup kita akan menjadi sehat dan dapat meningkatkan ibadah yang kita
lakukan.
ِ
َ َ{وثِيَاب
{٤}ۖ ك فَطَ ِّه ْر َ َّ { َو َرب٢}ۖ { قُ ْم فَاَنْذ ْر١}ۙ ٰيٓاَيُّ َها الْ ُمدَّثُِّر
َ ٣}ۖ ك فَ َكِّب ْر
Artinya: “Hai orang-orang yang berselimut. Bangunlah, lalu berilah
peringatan!. Dan Tuhanmu agungkanlah, dan pakaianmu
bersihkanlah” (al-Muddatsir : 1-4).
3
4
membuang kotoran di dalam air (Lathifah, 2004). Ibnu Abbas ra, ketika
berjalan melewati dua kuburan, Rasulullah SAW bersabda: “Kedua ahli
kubur itu disiksa, dan tidaklah mereka itu disiksa karena dosa besar,
kemudian Nabi berkata: tetapi, salah seorang dari keduanya itu tidak
menggunakan penutup ketika buang air kecil, dan yang lainnya suka
mengadu domba” (HR. Bukhari).
Demikian sebelum melakukan hubungan dengan Allah Yang Maha
Suci dalam bentuk shalat, orang muslim harus mensucikan dirinya terlebih
dahulu. Mensucikan diri dalam ajaran Islam demikian penting, sehingga
bersuci bukan saja merupakan sistem untuk mensucikan sebelum melakukan
ibadah bahkan sebagai suatu unsur pokok ibadah itu sendiri (Lathifah, 2004).
Dalam hal ini Rasulullah saw. bersabda: “Suci itu sebagian iman” (HR.
Muslim). Dari situ, dapat disimpulkan bahwa thaharah tidak hanya terbatas
masalah lahiriyah, yaitu membersihkan hadats dan nasjis, namun thaharah
memiliki arti yang lebih luas, yaitu menjaga kesucian rohani (batiniah) agar
tidak terjerumus pada perbuatan dosa dan maksiat (Lathifah, 2004).
Dan untuk melakukan hal tersebut, maka harus disesuaikan dengan
macam najis maupun hadas yang tertempel pada pakaian maupun tubuh kita.
Secara umum bersuci, baik untuk menghilangkan najis maupun hadats harus
menggunakan air yang statusnya suci dan mensucikan, yaitu air mutlak.
Selain jenis air tersebut maka bersuci tidak dianggap sah. Hanya saja yang
sering menjadi masalah adalah bersuci dengan air mutlak yang jumlahnya
sedikit; kurang dari dua qullah. Bersuci yang paling aman adalah dengan
menggunakan air mutlak dengan jumlah yang banyak. Bersuci dengan cara
apa saja kalau memakai air mutlak yang banyak tidak akan merubah status
kesucian air hingga sesuatu yang disucikan akan menjadi suci dengan air
tersebut (Abdillah, 2018).
Menurut Baihaqi dalam bukunya yang berjudul Fiqih Ibadah
(Agustiningrum, 2018) menyebutkan bahwa terdapat dua alat thaharah, yaitu:
1. Air. Air merupakan salah satu alat yang bisa digunakan untuk
menyucikan diri dari najis dan untuk berwudhu maupun mandi janabah.
Hal ini dinyatakan oleh Rasululah Saw. Dalam sabdanya sebagai berikut:
5
Ada beberapa macam air yang digunakan dalam thaharah, antara lain :
a) Air mutlak, merupakan air yang suci dan dapat digunakan untuk
bersuci serta untuk mencuci. Adapun yang termasuk dalam kategori
air mutlak adalah air hujan, air salju atau es, air laut, dan lain
sebagainya.
b) Air Musta’mal , merupakan air siswa yang mengenai badan manusia
karena telah digunakan untuk wudhu atau mandi. Air musta’mal ini
bukanlah air yang sengaja ditampung dari bekas mandi atau wudhu,
tetapi percikan wudhu atau air bekas dipakai mandi yang bercampur
dengan air dalam bejana atau bak.
c) Air Musyammas, merupakan air suci yang menyucikan, namun
makruh digunakan. Pada hakikatnya, air ini suci zatnya, serta
menyucikan dan sah bila digunakan untuk bersuci tetapi makruh
digunakan untuk bersuci. Adapun yang dimaksud dengan air
musyammas ini adalah air yang dipanaskan pada sinar matahari. Air
ini makruh digunakan karena berdasarkan ilmu kedokteran bisa
menyebabkan penyakit sopak.
6
d) Air Mutanajis, merupakan air yang terkena najis meskipun sedikit. Air
ini terbagi menjadi dua kategori, antara lain:
(1) Air yang sedikit. Dalam hukum fiqih yang dikategorikan dengan
air yang sedikit adalah ukurannya yang kurang dari dua qullah.
Apabila kemasukan najis, maka hukum air ini menjadi najis
walaupun tidak ada perubahan apapun, baik warna, rasa, maupun
baunya. Air ini mutlak tidak boleh digunakan untuk bersuci.
(2) Air yang banyak. Yakni air yang mencukupi, bahkan lebih dari
dua qullah. Jika air ini kemasukan najis, maka hukumnya tetap
suci apabila tidak terjadi perubahan pada warna, rasa, dan baunya.
Akan tetapi, jika ada perubahan pada salah satu sifatnya, meskipun
sedikit, maka hukumnya menjadi najis.
2. Tanaah. Thaharah dengan menggunakan tanah didasarkan pada firman
Allah QS. An-Nisa’ ayat 43:
Adapun cara berthaharah dari benda najis itu ialah dengan mengalirkan
air pada bagian yang terkena najis hingga hilang bekas-bekas najis padanya.
8
Dan bekas-bekas najis itu ialah bau, warna dan rasanya (Rohim, 2008). Hal
ini dicontohkan oleh Nabi shallallahu `alaihi wa sallam dalam suatu peristiwa
berikut ini:
“Dari Anas, dia berkata: Telah datang seorang Arab dari pegunungan,
kemudian dia kencing di salah satu pojok masjid. Maka orang-orang pun
menghardiknya, dan Rasulullah s.a.w melarang mereka untuk
menghardiknya. Maka ketika orang gunung itu telah selesai dari kencingnya,
Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam memerintahkan untuk diambilkan
seember air dan kemudian air itu dituangkan pada tempat yang dikencingi
oleh orang gunung itu.” (HR. Bukhari dan Muslim dalam Shahih keduanya)
Sedangkan cara bersuci dari hadats kecil ialah dengan berwudlu, dan
cara bersuci dari hadats besar ialah dengan mandi junub, yang dinamakan
9
juga mandi wajib (Rohim, 2008). Adapun tata cara bersuci dari najis
disesuaikan dengan jenis najis tersebut.
1. Najis Mughalazhah, yaitu najis berat. Para ulama sepakat bahwa najis ini
ditimbulkan oleh babi dan anjing. Cara mensucikannya adalah dengan
menghilangkan terlebih dahulu wujud benda dari najis tersebut,
kemudian disucikan menggunakan air dengan dialirkan sebanyak tujuh
kali, serta salah satu basuhannya dicampur oleh tanah atau debu yang
suci. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah saw.: “sucinya tempat
(perkakas)mu apabila telah dijilat oleh anjing adalah dengan
mencucinya tujuh kali. Permulaan pencucian itu (harus) dicuci dengan
air yang bercampur dengan tanah.” (HR. Tirmidzi).
2. Najis Mukhaffah, yaitu najis ringan. Contohnya seperti air kencing anak
laki-laki yang belum berusia dua tahun, atau belum memakan apa-apa
selain ASI. Cara mensucikannya cukup memercikkan air bersih pada
benda yang terkena najis tersebut. Hal ini didasarkan pada hadits nabi
saw. Beliau bersabda: “Barang siapa yang terkena air kencing anak
wanita, harus dicuci. Dan jika terkena air kencing anak laki-laki, cukup
dengan memercikkan air padanya.” (HR. Nasa'i, Abu Dawud, dan Ibnu
Majah).
3. Najis Muthawassithah, yaitu najis yang sedang. Dibagi menjadi dua,
yakni najis 'ainiyah dan najis hukmiyah. Cara mensucikannya pun
berbeda, yaitu dengan menghilangkan wujud atau zat najis, lalu
dihilangkan bau, rasa dan warnanya, baru kemudian disiram air sampai
bersih. Tetapi jika najis tersebut sudah maupun tidak berwujud, atau
membekas, maka hanya cukup dialiri oleh air saja.
menunjukkan betapa besar kemurahan dan kasih sayang Allah swt. terhadap
makhluk-makhluk Nya. Keadaan darurat yang dimaksud di sini adalah ketika
tidak adanya air untuk bersuci ataupun dalam keadaan sakit yang tidak
memungkinkan untuk menyentuh air. Seperti yang dijelaskan dalam Al-
Qur’an surah Al-Maidah ayat 6:
وة فَا ْغ ِسلُ ْوا ُو ُج ْو َه ُك ْم َواَيْ ِديَ ُك ْم اِىَل الْ َمَرافِ ِق َّ يٰ ٓاَيُّ َها الَّ ِذيْ َن اٰ َمُن ْٓوا اِذَا قُ ْمتُ ْم اِىَل
ِ الص ٰل
َو ْام َس ُح ْوا بُِرءُ ْو ِس ُك ْم َواَْر ُجلَ ُك ْم اِىَل الْ َك ْعَبنْي ۗ ِن َواِ ْن ُكْنتُ ْم ُجنُبًا فَاطَّ َّه ُر ْو ۗا َواِ ْن ُكْنتُ ْم
ِ ٰ ِ ٍ ٰ ٓ ٰ َّمر
ًِّساۤءَ َفلَ ْم جَت ُد ْوا َماۤء
َ ضى اَْو َعلى َس َفر اَْو َجاۤءَ اَ َح ٌد ِّمْن ُك ْم ِّم َن الْغَاۤ ِٕىط اَْو ل َم ْستُ ُم الن ْ
صعِْي ًدا طَيِّبًا فَ ْام َس ُح ْوا بُِو ُج ْو ِه ُك ْم َواَيْ ِديْ ُك ْم ِّمْنهُ ۗ َما يُِريْ ُد ال ٰلّهُ لِيَ ْج َع َل َعلَْي ُك ْم
َ َفَتيَ َّم ُم ْوا
} َّوٰل ِك ْن يُِّريْ ُد لِيُطَ ِّهَر ُك ْم َولِيُتِ َّم نِ ْع َمتَهٗ َعلَْي ُك ْم لَ َعلَّ ُك ْم تَ ْش ُك ُر ْو َن٦{ ِّم ْن َحَر ٍج
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu hendak
melaksanakan salat, maka basuhlah wajahmu dan tanganmu
sampai ke siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kedua kakimu
sampai ke kedua mata kaki. Jika kamu junub, maka mandilah. Dan
jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat
buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, maka jika kamu
tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan debu yang
baik (suci); usaplah wajahmu dan tanganmu dengan (debu) itu.
Allah tidak ingin menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak
membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu,
agar kamu bersyukur”
Allah sama sekali tidak ingin memberatkan hamba-Nya. Dan itulah diantara
hikmah tayyamum, disaat kita tidak menemukan air untuk bersuci atau karena
kedaan yang tidak memungkinkan untuk bersentuhan dengan air (Misliyani,
2011).
Tayamum sendiri merupakan mengusap wajah dan kedua telapak
tangan dengan tanah (permukaan bumi) dengan tata cara tertentu atau bersuci
dengan menggunakann debu, sebagai pengganti wudhu’ atau mandi jambat
(Misliyani, 2011). Rasulullah bersabda:
“Dari sa’id bin Abdurrahman bin abza, dari ayahnya : sesungguhnya
datang seorang laki – laki bertanya kepada umar, “ “aku junub akan tetapi
aku tidak memperoleh air ( bagaimana bisa aku shalat?), Umar menjawab :
jangan shalat.” Kemudian Ammar berkata, “Ya Amiril mukminin, tidaklah
engaku ingat ketika aku dan engkau bersama- sama dalam suatu
perjalanan ? sementara kita bersama-sama junub dan tidak memperoleh air!
Kemudian engkau tidak shalat, tetapi aku bergulingan ditanah lalu aku
melakukan shalat. Sesudah itu Rasulullah SAW. Bersabda: sesungguhnya
sudah cukup kalau engkau memukulkan kedua telapak tangan engkau
ketanah, susudah itu meniupnya lalu disapukan, keduanya kewajah dan
ketangan”.Umar berkata, “Jika engkau kehendaki, aku tidak akan
menceritakan hadits ini”. (HR.Muslim).
Dari hadis tersebut, bisa kita ketahui bahwa tata cara tayamum adalah
dengan memukulkan kedua telapak tangan ke tanah, lalu diusapkan kewajah,
kemudian dipukulkan kembali ketanah dan diusapkan ke tangan sampai
kepersendian. Adapaun sebab – sebabnya tidak hanya karena kesepian air
sehingga tidak bisa berwudlu, di antara lain:
1. Tidak ada air baik ketika berpergian atau didaerahnya sendiri, namun
masih diharuskan berusaha kesana kemari untuk mencarinya.
2. Ada sebab – sebab yang tidak dibolehkan menyentuh air, misal sakit
keras, yang seumpama disentuhkan air sakitnya semakin parah.
3. Memuliakan hewan yang dimuliakan. Maksudnya, apabila ada air yang
hanya cukup sekali wudlu dan pada waktu itu ada hewan yang
dimuliakan sangat haus sekali, maka sebaiknya air itu tidak jadi
12
digunakan untuk wudlu namun diberikan kepada hewan yang haus itu.
Hewan yang dimaksud di sini adalah hewan dan manusia kecuali, anjing
dan babi, orang murtad, orang yang meninggalkan salat, orang yang zina,
dan orang kafir.
Adapun tata cara berwudhu bagi orang sakit yang masih bisa
menyentuh air, tetapi tidak kuat untuk bergerak, maka bisa wudu tetap bisa
dilakukan dengan bantuan orang lain yang semahram atau sesama jenis.
Seperti yang dijelaskan pada salah satu rumah sakit di Yogyakarta, yaitu
Rumah Sakit JIH (Jogja International Hospital), bahwa pasien yang masih
bisa menyentuh air tetapi tidak kuat untuk bergerak, maka dilakukan wudu
secara normal. Pasien tidak wudhu di kran, namun berwudhu di tempat
tidurnya dengan air yang telah disiapkan. Maka alat yang perlu disiapkan
ialah : 1) air untuk berkumur, 2) air untuk membasuh anggota wudhu (bisa
disiapkan dengan sprayer, 3) baskom/ wadah untuk menampung air bekas
kumur, dan jika perlu handuk untuk menampung tetesan air wudu. Pada
kondisi dimana pasien tidak dapat berwudhu sendiri, ia diwudhukan oleh
istri/suami, sesama jenis, atau mahramnya. Jika yang ada hanya lawan jenis
yang bukan mahram, maka ia ditayamumkan, bukan diwudhukan. Hukum ini
dianalogikan dengan hukum jenazah yang tidak ada yang memandikannya
selain lawan jenis yang bukan mahram. Maka menurut tinjauan fiqih, jenazah
tersebut ditayamumkan, bukan dimandikan.
3. Memperkirakan di sana ada air, misal di atas sana pada daerah pegunungan
atau lembah ada burung – burung yang berterbangan mengitari di atasnya,
sebagai tanda bahwa di bawahnya ada air. Melihat semacam ini sudah
batal kalau tayammumnya di sebabkan karena tidak adanya air.
4. Murtad (keluar dari agama islam).
ول
َ ت َر ُس ْ ف َْأوىَل بِالْ َم ْس ِح ِم ْن
ُ َْأعالَهُ َوقَ ْد َرَأي ْ الرْأ ِى لَ َكا َن
ِّ َُأس َف ُل اخْل َّ ِِّين ب
ُ لَ ْو َكا َن الد
ِ َ مَيْسح علَى ظ-صلى اهلل عليه وسلم- اللَّ ِه
اه ِر ُخف َّْي ِه َ َُ
“Seandainya agama itu dengan logika semata, maka tentu bagian bawah
khuf lebih pantas untuk diusap daripada bagian atasnya. Namun sungguh
aku sendiri telah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusap
bagian atas khufnya.”
ول
َ ت َر ُس ْ ف َْأوىَل بِالْ َم ْس ِح ِم ْن
ُ َْأعالَهُ َوقَ ْد َرَأي ْ الرْأ ِى لَ َكا َن
ِّ َُأس َف ُل اخْل َّ ِِّين ب
ُ لَ ْو َكا َن الد
ِ َ مَيْسح علَى ظ-صلى اهلل عليه وسلم- اللَّ ِه.
اه ِر ُخف َّْي ِه َ َُ
17
“Seandainya agama itu dengan logika semata, maka tentu bagian bawah khuf
lebih pantas untuk diusap daripada bagian atasnya. Namun sungguh aku
sendiri telah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusap bagian
atas khufnya.”
6. Jangka Waktu Bolehnya Mengusap Khuf
Keringanan mengusap khuf di sini bukan selamanya, ada masanya
yang dibatasi oleh ajaran Islam. Bagi orang yang mukim, jangka waktu
mengusap khuf adalah sehari semalam (1×24 jam), sedangkan untuk
musafir selama tiga hari tiga malam (3×24 jam).
Dari Shafwan bin ‘Assal, ia berkata,
ًفَ ََأم َرنَا َأ ْن مَنْ َس َح َعلَى اخْلَُّفنْي ِ ِإذَا حَن ْ ُن َْأد َخلْنَامُهَا َعلَى طُ ْه ٍر ثَالَثاً ِإذَا َسا َف ْرنَا َويَ ْوما
َولَْيلَةً ِإذَا َأقَ ْمنَا َوالَ خَن ْلَ َع ُه َما ِم ْن َغاِئ ٍط َوالَ بَ ْو ٍل َوالَ نَ ْوٍم َوالَ خَن ْلَ َع ُه َما ِإالَّ ِم ْن َجنَابٍَة
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepada kami untuk
mengusap khuf yang telah kami kenakan dalam keadaan kami suci sebelumnya.
Jangka waktu mengusapnya adalah tiga hari tiga malam jika kami bersafar dan
sehari semalam jika kami mukim. Dan kami tidak perlu melepasnya ketika kami
buang hajat dan buang air kecil (kencing). Kami tidak mencopotnya selain
ketika dalam kondisi junub.”
Dari Syuraih bin Haani’, ia berkata, aku pernah mendatangi ‘Aisyah,
lalu akan menanyakannya mengenai cara mengusap khuf. ‘Aisyah
menjawab, “Lebih baik engkau bertanya pada ‘Ali bin Abi Tholib,
tanyakanlah padanya karena ‘Ali pernah bersama Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam.” Kemudian aku bertanya kepada ‘Ali, lantas ia menjawab,
ً ثَالَثَةَ َأيَّ ٍام َولَيَالَِي ُه َّن لِلْ ُم َسافِ ِر َويَ ْو ًما َولَْيلَة-صلى اهلل عليه وسلم- ول اللَّ ِه
ُ َج َع َل َر ُس
Kapan dihitung 1×24 jam (bagi mukim) atau 3×24 jam (bagi musafir)?
Hitungannya adalah dimulai dari mengusap pertama kali setelah
berhadats. Demikian pendapat Imam Ahmad, Al Auzai, An Nawawi,
Ibnul Mundzir, dan Ibnu ‘Utsaimin. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam katakan “musafir mengusap” atau “mukim mengusap”. Ini
menunjukkan bahwa waktu permulaan sebagai hitungan memulai
mengusap adalah ketika mengusap khuf pertama kali. Demikian
pemahaman tekstual (zhohir) dari hadits. Wallahu a’lam.
Contoh: Ahmad berwudhu sebelum memulai safar pada pukul
06.00. Pada pukul 09.00, wudhu Ahmad batal karena hadats kecil
(kentut). Namun ia berwudhu pada pukul 12.00 saat akan melaksanakan
shalat Zhuhur. Maka pada pukul 12.00 mulai hitungann 3×24 jam bagi
Ahmad. Jadi setelah 3×24 jam (pukul 12.00 tiga hari berikutnya), masa
mengusap khuf bagi Ahmad usai.
7. Cara Mengusap Khuf
Setelah berwudhu secara sempurna lalu mengenakan khuf, kemudian
setelah itu tatkala ingin berwudhu cukup khuf saja yang diusap sebagai
ganti dari mencuci (membasuh) kaki. Keringanan seperti ini diberikan bagi
orang mukim selama 1×24 jam dan bagi musafir selama 3×24 jam. Namun
ketika seseorang terkena hadats besar (yaitu junub), wajib baginya melepas
sepatunya saat bersuci. Sebagaimana hal ini dijelaskan dalam hadits
Shafwan di atas.
8. Pembatal Mengusap Khuf
2.4 Permasalahan Seputar Hadast Besar dan Hadast Kecil, Najis, dan
Beberapa Perkara yang Berkenaan Dengannya Menurut Prespektif
Empat Madzhab
Hadas kecil yang sudah disepakati para ahli fikih diantaranya adalah
keluar air kencing, air besar atau tinja, angin, mazi atau air putih bergetah
yang keluar sewaktu mengingat senggama atau sedang bercanda, dan wadi
atau semacam cairan putih kental yang keluar dari alat kelamin mengiringi air
kencing yang semuanya terjadi dalam keadaan sehat. Sementara hilangnya
akal karena pingsan, gila, atau mabuk, oleh jumhur ulama dikiaskan
sebagaimana keadaan ketika tertidur, dan termasuk ke dalam hadas kecil.
Ada pula hadas kecil yang masih dalam perdebatan, yaitu segala najis
yang keluar dari tubuh, tidur, menyentuh wanita dengan tangan atau dengan
anggota tubuh lain yang sensitif, menyentuh zakar, memakan makanan yang
dibakar api, tertawa dalam sholat, dan membawa mayat.
Hadas kecil bisa dihilangkan dengan melakukan thaharah syar’iyyah
yang disebut wudhu. Hal ini dikuatkan firman Allah SWT yang artinya: Hai
orang orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan sholat, maka
basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku. (QS Al Maa’idah:6)
Juga sabda Nabi Muhammad SAW yang artinya : “Allah tidak
menerima sholat tanpa bersuci.”(HR Muslim.)
Hadas besar terjadi pada orang yang dalam keadaan janabah atau
orangnya disebut junub dan wanita dalam keadaan haid. Untuk mensucikan
diri, seorang junub atau wanita haid wajib melakukan mandi. Dasar
hukumnya ada pada firman Allah SWT yang artinya :Dan jika kamu junub
maka mandilah.(QS.Al Maa’idah 6.)
Dan firman lainnya yang artinya : Mereka bertanya kepadamu tentang
haid. Katakanlah :Haid itu adalah suatu kotoran. (QS Al Baqarah 222.)
20
Bagi seseorang yang sedang berhadas, baik hadas kecil maupun besar,
ada beberapa hal yang tidak boleh dilakukan. Amalan tersebut boleh
dilakukan setelah mereka bersuci.
Dr Abd al-Karim az-Zaidan dalam kitabnya yang berjudul al-Mufashal
fi Ahkam al-Mar’at mengatakan, pada dasarnya amalan yang dilarang saat
berhadas kecil tidak boleh dilakukan pula oleh mereka yang berhadas besar.
Ketentuan ini sama, baik bagi laki.laki maupun perempuan. Orang yang
berhadas tak boleh menunaikan shalat dan memegang mushaf Alquran.
Sebelum menguraikan panjang lebar hukum membaca Alquran kese
luruhan atau hanya sebagaian, az- Zaidan terlebih dahulu memaparkan hukum
memegang mushaf. Menurut mayoritas ahli fikih hukumnya tidak boleh.
Sedangkan, dalam pandangan Maz hab Dhahiri, tak ada larangan bagi
me reka yang berhadas untuk memegang mushaf. Sedangkan, di kalangan
Maz hab Syafii, memegang mushaf saat berhadas hanya diperbolehkan bagi
anak laki-laki yang telah mumayiz.
Mereka boleh menyentuh atau membawanya. Mengapa dispensasi
diberikan kepada mereka? Menurut kelompok ini ialah memberikan ke ringan
an agar mereka tak keberatan dengan sering berwudhu.
Lantas, bagaimana dengan hukum membaca Alquran? Mayoritas ulama
sepakat, mereka yang tengah junub tidak diperbolehkan membaca Alquran.
Sedangkan, menurut Ibnu Hazm dan sebagian penganut Mazhab Dhahiri,
kondisi junub tak memengaruhi diperbolehkannya membaca Alquran.
Menurutnya, aktivitas membaca Alquran termasuk perbuatan yang baik dan
dianjurkan. Pelakunya pun akan diganjar pahala. Karena itu, siapa pun yang
beranggapan orang junub dilarang membaca Alquran maka hendaknya ia
memberikan argumentasi kuat. Dalam pandangannya, hadis hadis yang
menyatakan tentang larangan menyentuh atau membaca Alquran saat junub
diragukan validitasnya dan kurang kuat.
Pendapat ini sama persis dengan pandangan yang disampaikan oleh
Said bin al-Musayyib. Tokoh Tabiin tersebut memperbolehkan mereka yang
junub membaca Alquran. Sedangkan, pendapat mayoritas ulama merujuk
antara lain pada hadis yang diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib. Hadis itu
22
yang keluar dari lubang depan ketika ada rangsangan seksual dan wadzi
adalah air amis yang keluar setelang kencing atau dalam kondisi capek.
لة كري الف ذان أمل يف رتول اهلل لنوة حستة ملن كان زجو اللة و اليوم األخر ونذكر
الط
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rosululloh itu suri teladan yang baik
bagimu (yaitu) bagi orang yang megharap (rahmat) Alloh dan (kedatangan)
hari kiamat dan dia banyak menyebut Alloh” (QS. Al Ahzab [33]: 22).
يتخل يب ويا اأي فن التطان العن أن سضن امل عغة ال ل اليب ملى اه عليه و سلم
من زراين يف املنام فقذ وزنبني جرءا من الثوة املؤمن جرة من سثة
“Dari Anas radiallahu 'anhu mengatakan, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam
bersabda: "Siapa melihatku dalam mimpi, berarti ia telah melihatku, sebab
setan tidak bisa menjelma sepertiku, dan mimpi seorang mukmin adalah
sebagian dari empat puluh enam bagian kenabian.” (Ensiklopedi Hadits
Kitab 9 Imam, Shahih Bukhari: 6479).
Jika ada yang mengatakan mimpi bertemu dengan Nabi Muhammad
Sholalohu Alaihi wa Salam maka tanyakanlah ciri-cirinya sebagaimana Ibnu
Sirin menanyakan seseorang yang menyebutkan pernah bermimpi bertemu
Nabi Setan tidak pernah bisa menjelma menjadi Nabi Muhammad Sholallohu
Alaihi wa Salam akan tetapi setan bisa berbohong dalam mimpi dan mengaku
26
sebagai Nabi Dengan mengetahui ciri-ciri fisiknya maka dengan mudah kita
mengetahui apakah benar kita bermimpi bertemu dengan Nabi atau tidak.
Rosululloh adalah manusia yang paling mulia yang bahkan namanya
selalu disebutkan bergandengan setelah lafadz Alloh. Alloh telah memujinya,
meninggikan namanya dan mengabadikanya pada beberapa tempat. Sebagai
contoh pada syahadat pada lafadz adzan dan iqomah, di dalam solat bahkan di
dalam Al-Quran juga disebutkan. Hal ini tertera jelas dalam firman Alloh:
ورفغا لك ذگاف
“Dan Kami tinggikan bagimu sebutan (nama)mu” (QS. A-Sharh [94]:4)
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan paparan mengenai permasalahan dalam thaharah, maka
penyusun menyimpulkan bahwa:
1. Dalam permasalahan Fiqhiyah mengenai Thaharah, ada banyak hal yang
perlu dipelajari dan pahami agar tubuh kita benar-benar bersih dan suci
dari hadas dan najis, sehingga amal ibadah kita bisa diterima oleh Allah
swt.
2. Secara umum bersuci, baik untuk menghilangkan najis maupun hadats
harus menggunakan air yang statusnya suci dan mensucikan, yaitu air
mutlak. Bersuci dengan cara apa saja kalau memakai air mutlak lebih
dari dari dua qullah, maka tidak akan merubah status kesucian air hingga
sesuatu yang disucikan akan menjadi suci dengan air tersebut. Selain air,
juga bisa menggunakan tanah, batu, kayu, tisu, tembikar, dan samak.
3. Adapun cara berthaharah dari benda najis itu ialah dengan mengalirkan
air pada bagian yang terkena najis hingga hilang bekas-bekas najis
padanya. Dan bekas-bekas najis itu ialah bau, warna dan rasanya.
4. Berbeda dengan tata cara bersuci seperti biasa, keadaan darurat sama
seperti hukum-hukum lainnya diberikan keringanan oleh Allah set.,
yakni ketika tidak adanya air untuk bersuci ataupun dalam keadaan sakit
yang tidak memungkinkan untuk menyentuh air. Maka cara bersucinya
dengan cara bertayammum.
5. Hukum asal mengusap khuf adalah boleh. Menurut mayoritas ulama,
mencuci kaki lebih afdhol (lebih utama) daripada mengusap khuf.
Mengusap khuf adalah rukhsoh (keringanan) dalam ajaran Islam.
Syaratnya adalah sebelum mengenakan khuf dalam keadaan bersuci
(berwudhu atau mandi) terlebih dahulu. Bagian khuf yang diusap cukup
bagian atas khuf yang dibasahi lalu khuf diusap (tidak perlu air
dialirkan)
27
28
6. Hadas kecil yang sudah disepakati para ahli fikih diantaranya adalah
keluar air kencing, air besar atau tinja, angin, mazi atau air putih
bergetah yang keluar sewaktu mengingat senggama atau sedang
bercanda, dan aadi. Sementara hilangnya akal karena pingsan, gila, atau
mabuk, oleh jumhur ulama dikiaskan sebagaimana keadaan ketika
tertidur, dan termasuk ke dalam hadas kecil. Cara bersucinya dengan
berwudhu’.
7. Hadas besar terjadi pada orang yang dalam keadaan janabah atau
orangnya disebut junub dan wanita dalam keadaan haid. Untuk
mensucikan diri, seorang junub atau wanita haid wajib melakukan
mandi.
8. Hal-hal yang dilarang untuk dilakukan ketika sedang berhadats, baik
besar maupun kecil, menuai banyak pendpat dari 4 madzhab. Apapun
yang sudah disepakati berdasarkan mazhabnya masing-masing adalah
benar, karena merupakan hasil ijma’ dan qiyas dari 4 ulama’besar.
29
Daftar Pustaka
Misliyani. 2011. Artikel Ibadah Tayammum Pengganti Wudhu’ dan Mandi Wajib
[Online]. Diakses pada tanggal 6 November 2020 di
https://sumsel.kemenag.go.id/files/sumsel/file/file/TULISAN/mnck1411352
401.pdf
Al Mughrib fii Tartiibil Mu’rob, Abul Fath Nashiruddin bin ‘Abdis Sayyidin ‘Ali
bin ‘Ali bin Al Mathrizi, terbitan Maktabah Usamah bin Zaid, cetakan
pertama, 1979.
Majmu’ Al Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, terbitan Darul Wafa’, cetakan
ketiga, 1426 H.
30
Shahih Fiqh Sunnah, Abu Malik Kamal bin Asy Sayyid Salim, cetakan Al
Maktabah At Taufiqiyah.