Anda di halaman 1dari 14

Makalah Mengenai Azas Ta’abbudiyah

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Kelompok

Mata Kuliah Ushul Tarbiyah

Dosen Pengampu:

Mukhlisin M.Pd

DISUSUN OLEH :

Kelompok 3

Mohamad Faraz Ramadhan 1908103227

Awalia Dewi 1908103023

Ratu Aulia Randi 1908103175

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN


INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI CIREBON
SYEKH NURJATI CIREBON
TAHUN 2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah Swt. karena berkat Nikmat
dan Karunia-Nya kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini. Disusunnya
makalah ini bertujuan untuk mengetahui tentang azas Ta’abudiyah.

Pada kesempatan ini kami ingin mengucapkan terima kasih kepada pihak-
pihak yang telah membantu dan mendukung penyusunan karya tulis ini. Terutama
kepada Bapak Mukhlisin, M.Pd selaku Dosen Pengampu Mata Kuliah Ushul
Tarbiyah yang telah membimbing dan memberi arahan kepada kami.
Kami menyadari dengan penuh bahwa penyusunan Makalah ini masih
memiliki banyak kekurangan. Oleh karena itu, kami mengharapkan masukan dan
saran agar penyusunan makalah di kemudian hari bisa menjadi lebih baik .

IAIN Syekh Nurjati Cirebon, 11 Maret 2021

Penyusun

2
DAFTAR ISI

Makalah Mengenai Azas Ta’abudiyah........................................................................................1


KATA PENGANTAR...................................................................................................................2
DAFTAR ISI..................................................................................................................................3
BAB I...............................................................................................................................................4
PENDAHULUAN..........................................................................................................................4
1.1 Latar Belakang Masalah................................................................................................4
1.2 Rumusan Masalah...........................................................................................................4
3.1 Tujuan..............................................................................................................................4
BAB II.............................................................................................................................................5
PEMBAHASAN.............................................................................................................................5
2.1 Azas Ta’abudiyah...............................................................................................................5
2.2 Wujud Ta’abudiyah..........................................................................................................6
2.3 Kaitan Azas Ta’abudiyah Dengan Perkembangan Hukum Islam.................................9
2.4 Landasan Hukum Tentang Azas Ta’abudiyah..............................................................11
BAB III.........................................................................................................................................12
PENUTUP....................................................................................................................................12

3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Sebagai umat islam, sudah kewajiban kita untuk beribadah. Ibadah
merupakan suatu upaya kita untuk memperoleh Ridho dan keberkahan Allah
SWT. Banyak sekali amalan ibadah yang bisa kita lakukan dalam hidup ini, mulai
dari ibadah yang Umum diketahui seperti sholat, mengaji, puasa, hingga yang
lebih khusus lagi seperti belajar.

1.2 Rumusan Masalah


1.2.1 Apa yang dimaksud dengan azas ta'abbudiyah?
1.2.2 Apa sajakah wujud-wujud azas ta'abbudiyah?
1.2.3 Apa kaitan azas ta'abbudiyah dengan perkembangan hukum Islam?
1.2.4 Apa landasan hukum Islam tentang azas ta'abbudiyah?

3.1 Tujuan
1.3.1 Untuk mengetahui pengertian azas ta'abbudiyah.
1.3.2 Untuk mengetahui wujud - wujud dari asas ta’abbudiyah.
1.3.3 Untuk mengetahui kaitan azas ta'abbudiyah dengan perkembangan hukum
Islam.
1.3.4 Untuk mengetahui landasan hukum Islam tentang azas ta’abbudiyah.

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Azas Ta’abbudiyah

4
Azas ta’abbudiyah berasal dari 2 kata, yaitu azas dan ta’abbudiyah. Azas
adalah prinsip dasar yang menjadi acuan berfikir seseorang dalam mengambil
keputusan-keputusan penting dalam hidupnya. Kemudian Ta’abbudiyah yang
merupakan bentukan dari kata 'abada, ya'budu, 'ibadah. Dalam hal ini azas yang
dimaksud adalah azas ibadah dalam konteks pendidikan yaitu pada saat belajar.
Karena dalam islam ibadah merupakan suatu kewajiban yang bisa bernilai ibadah
jika dilakukan atas dasar untuk Allah SWT (Lillahita’ala).
Menurut al-Syatibi, ta'abbudiyah adalah "hanya mengikuti apa yang telah
ditetapkan oleh Syari, atau sesuatu yang secara khusus menjadi hak Allah".
Sedangkan menurut Muhammad Salam Madkur, ta'abbudiyah adalah semata-mata
mengabdi kepada Allah dengan melakukan perintah-perintah-Nya dari al-Qur'an
atau Sunah Rasul, tidak berubah, mengurangi atau menambahnya. Dengan
demikian, dalam masalah ta'abbudiyah, manusia hanya menerima ketentuan
hukum syariat apa adanya dan melaksanakannya sesuai dengan ketentuan
tersebut. Sehingga dapat melaksanakan bahwa ketentuan nas yang bersifat
ta'abbudiyah atau absolute, tidak memerlukan nalar dan tidak dapat ditawar-tawar.

Misalnya dalam bidang ibadah terdapat nilai-nilai ta'abbudiyah (gair ma'qül al-
ma'nā,), di mana manusia tidak boleh beribadah kecuali dengan apa yang telah
disyariatkan. Dalam bidang ini tidak ada pintu ijtihad bagi manusia untuk
Mengubah kaifyāt (tata cara) pelaksanaan ibadah mahdah, berbeda dengan yang
dicontohkan oleh Rasulullah SAW dalam salat dan haji misalnya. Demikian juga
manusia tidak bisa mengubah waktu pelaksanaan ibadah mahdah baik salat lima
waktu, puasa Ramadan, maupun haji ke waktu-waktu di luar yang telah
disyariatkan.

Makna ta'abbudiyah di atas selaras dengan hadits Nabi SAW bahwa:


barangsiapa yang mengamalkan suatu amalan (ibadah) yang tidak kami
perintahkan, maka dia tertolak).

Hal ini ditekankan lagi dalam ayat yang pertama turun dalam Al-Quran yaitu
surat Al-Alaq ayat 1 yang mana Allah memerintahkan umat manusia untuk
membaca yang pada hakikatnya Allah memerintahkan manusia untuk belajar.
Oleh sebab itu belajar sebagai ibadah merupakan sebuah azas yang sangat perlu
diterapkan dalam hidup. Disamping perinntah dan kewajiban langsung dari Allah
SWT, belajar juga merupakan sebuah kebutuhan untuk bekal hidup baik di Dunia
maupun di Akhirat.

Belajar bisa menjadi ibadah karena pada hakikatnya untuk memahami ayat-
ayat Al-Quran dan perintah dari Allah SWT perlu adanya ilmu agar mendapatkan
pemahaman yang utuh, sehingga ibadah yang dilakukan akan lebih diterima oleh
Allah SWT dibandingkan dengan hanya beribadah tetapi tidak memiliki ilmu
yang cukup.
5
2.2 Wujud Azas Ta'abbudiyah

Hukum Islam dalam garis besar dapat dibagi menjadi dua, yaitu yang bisa
dinalar akal manusia dan yang tidak bisa dinalar akal manusia. Dan menurut hasil
penelitian, jumlah naş yang bisa dinalar akal manusia jauh lebih banyak dibanding
nas yang tidak bisa dinalar.

Wujud azas ta'abbudiyah menjadi kajian ulama usul fiqh. Dalam hal ini ulama
ushul fiqh telah bersepakat bahwa hukum-hukum yang berhubungan dengan
masalah ibadah mahdal (murni) dan hal-hal yang darüriyyah termasuk dalam
wujud ta'abbudiyah. Umat Islam tidak dapat dan tidak boleh melakukan
interpretasi terhadap nas dan hukum-hukum yang bersifat ta'abbudiyah, seperti
misalnya jumlah rakaat salat lima waktu, puasa Ramadhan, kewajiban zakat, dan
haji. Semua ketentuan mutlak dan manusia hanya melaksanakannya saja sesuai
dengan nas (al-Qur'an, hadis).

Ibadah mahdah, yaitu ibadah yang dilaksanakan hanya semata-mata kepada


Allah. Ketika ibadah itu dilaksanakan, maka tidak ada makna langsung pada
waktu pelaksanaannya, nilai atau nilai sosialnya. Saat seseorang melaksanakan
salat, ia sendiri- mata melakukan hubungan dengan Tuhan dan sama sekali tidak
memberi suatu bantuan sosial kepada sesamanya. Ibadah puasa pun demikian.
Demikian juga hukum-hukum darüriyyah yang merupakan kebutuhan primer
manusia untuk mempertahankan eksistensinya dan mengembangkan fungsinya
sebagai khalifah Allah di bumi. Dalam hal ini, ada lima aspek darüriyyah yang
harus dipelihara umat manusia, yaitu agama, jiwa, harta, akal, dan keturunan.
Semua ketentuan nas dalam aspek ini bersifat ta'abbudiyah, tidak membutuhkan
interpretasi akal manusia untuk daerah atau ruang.

Dalam hal ini, belajar dan menuntut ilmu merupakan sesuatu yang sangat
berkaitan dengan hukum daruriyyah yang termasuk ke dalam wujud azas
ta'abbudiyah. Karena pendidikan sangat berpengaruh pada kelima aspek
daruriyyah yaitu agama, jiwa, harta, akal, serta keturunan seorang manusia. Oleh
karena itu, pendidikan dan proses menuntut ilmu termasuk ke dalam ibadah
ta'abbudiyah atau ibadah yang mutlak.

Seperti yang Allah perintahkan dalam Al - Qur'an surah Al - Alaq ayat 1-5
yang merupakan dasar perintah untuk belajar atau menuntut ilmu, ayat tersebut
berbunyi :

َ َ‫ ۚ اِ ْق َر ْأ بِا س ِْم َربِّكَ الَّ ِذيْ خَ ل‬


‫ق‬

6
ٍ َ‫ق ااْل ِ ْن َسا نَ ِم ْن َعل‬
‫ق‬ َ َ‫ۚ  َخل‬

َ ُّ‫ ۙ اِ ْق َر ْأ َو َرب‬
‫ك ااْل َ ْك َر ُم‬

‫ ۙ الَّ ِذيْ َعلَّ َم بِا ْلقَلَ ِم‬

‫ ۗ  َعلَّ َم ااْل ِ ْن َسا نَ َما لَ ْم يَ ْعلَ ْم‬

Yang artinya :

"Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan, Dia telah


menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang
Maha Mulia. Yang mengajar (manusia) dengan pena. Dia mengajarkan manusia
apa yang tidak diketahuinya."

Surah Al - Alaq ayat 1-5 ini merupakan perintah tersirat kepada manusia untuk
belajar. Karena niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman dan
orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.

Menuntut ilmu wajib hukumnya bagi muslim laki-laki mau pun perempuan.
Banyak pula hadits - hadits yang menyerukan kewajiban menuntut ilmu.
Demikian disarikan dari hadits yang diriwayatkan Ibnu Majah, dan dishahihkan
oleh Syaikh Albani dalam Shahih wa Dha'if Sunan Ibnu Majah no. 224.

َ ‫فَ ِر ْث‬ ‫ ْال ِع ْل ْم‬  ُ‫طَلَب‬


‫ ُم ْسلِ ٍم‬ ‫ ُك ِّل‬ ‫ َعلَى‬ ٌ‫ضة‬

"Menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap individu muslim."

Kemudian dalam hadits tentang menuntut ilmu lainnya, Rasulullah SAW


bersabda :

)‫ َرواهُالطَّ ْب َرانِ ْي‬ ( ‫لِ ُم َعلِّ ِم ْي ُك ْم‬ ‫ َولَيَلَوْ ا‬ ‫ضعُوْ الِ ُم َعلِّ ِم ْي ُك ْم‬ َ ْ‫تَ َعلَّ ُموْ ا َو َعلِّ ُمو‬
َ ‫اوتَ َوا‬

Artinya, "Belajarlah kamu semua, dan mengajarlah kamu semua, dan hormatilah
guru-gurumu, serta berlaku baiklah terhadap orang yang mengajarkanmu." (HR
Tabrani)

7
Dalam hadits lain dijelaskan tentang keutamaan menuntut ilmu. Terutama
ilmu-ilmu yang membuat kita semakin ingat dan syukur kepada Allah. Seperti
dalam sabda Rasulullah SAW berikut :

‫ ُم ْسلِم‬ ُ‫ َر َواه‬ . ‫إِلَىال َجنَّ ِة‬ ‫طَ ِر ْيقًا‬ ُ‫لَه‬ ُ‫هللا‬ ‫ َسهَّ َل‬,‫ ِع ْل ًما‬ ‫فِ ْي ِه‬  ُ‫طَ ِر ْيقًايَ ْلتَ ِمس‬ ‫ك‬
َ َ‫ َسل‬ ‫َم ْن‬

"Barang siapa menempuh satu jalan (cara) untuk mendapatkan ilmu, maka
Allah pasti mudahkan baginya jalan menuju surga." (HR. Muslim)

Keutamaan lainnya juga disebutkan dalam hadits tentang menuntut ilmu yang


diriwayatkan At-Tabrani,

ُ‫ ِم ْنه‬  َ‫لِ َم ْنتَتَ َعلّ ُموان‬ ‫ضعُوْ ا‬


َ ‫ َوتَ َوا‬ ‫ َر‬ ‫ َو ْال َوقَا‬ َ‫ال ّس ِك ْينَة‬ ‫لِ ْل ِع ْل ِم‬ ‫ َوتَ َعلّ ُموْ ا‬ ‫تَ َعلّ ُمواال ِع ْل َم‬

Artinya :"Belajarlah kalian ilmu untuk ketentraman dan ketenangan serta rendah
hatilah pada orang yang kamu belajar darinya."

Kemudian, Rasulullah SAW juga menegaskan keutamaan ilmu yang


bermanfaat, baik semasa di dunia bahkan setelah manusia itu wafat. Seperti dalam
hadits tentang menuntut ilmu berikut, dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam bersabda :

ُ‫لَه‬ ‫يَ ْدعُو‬ ‫ح‬ َ  ‫ َولَ ٍد‬  ْ‫أَو‬ ‫بِ ِه‬ ‫يُ ْنتَفَ ُع‬ ‫ ِع ْل ٍم‬  ْ‫أَو‬ ‫اريَ ٍة‬
ٍ ِ‫صال‬ َ  ‫ ِم ْن‬ َّ‫إِال‬ ‫ثَالَثَ ٍة‬ ‫ ِم ْن‬ َّ‫إِال‬ ُ‫ َع َملُه‬ ُ‫ َع ْنه‬ ‫ا ْنقَطَ َع‬  ُ‫ا ِإل ْن َسان‬  َ‫ َمات‬ ‫إِ َذا‬
ِ ‫ص َدقَ ٍة َج‬
"Jika seorang manusia mati, maka terputuslah darinya semua amalnya kecuali
dari tiga hal; dari sedekah jariyah atau ilmu yang diambil manfaatnya atau anak
shalih yang mendoakannya." (HR. Muslim no. 1631)

Oleh karena itu, belajar dan menuntut ilmu merupakan suatu ibadah dan
kewajiban yang harus dilaksanakan oleh seluruh umat manusia. Karena ilmu dapat
menghantarkan kita menuju kesuksesan di dunia dan juga sebagai bekal kita di
akhirat.

Di samping itu, beberapa aspek dalam hukum keluarga (al-ahnal al-


syakhşiyyah) juga ada yang termasuk dalam kategori ta'abbudiyah, di antaranya
ketentuan batas talak yang dapat dirujuk oleh suami hanyalah dua kali (QS 2:
229), ketentuan tentang batas iddah atau masa tunggu seorang ditalak suaminya
(QS 2: 228, dan 234; QS 65: 4), sanksi kaffarat terhadap pelaku zihār dan ila '(QS
2: 226; 58: 2-4). Semua ini telah Allah jelaskam secara gamblang dan teperinci.
Sehingga ketentuan ini tidak membutuhkan ijtihad.

Hal-hal lain yang juga termasuk ke dalam wujud azas ta'abuddiyah adalah
tindakan-tindakan yang bersifat permanen, misalnya kewajiban anak berbakti
kepada kedua orang tuanya. Kewajiban tersebut tidak dapat berubah walau salah

8
satu atau kedua orang tua telah murtad sekalipun. Dalam ini, Allah menegaskan
dalam QS Al-Isra : 23:

"Dan Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain


Dia dan baiklah yang baik kepada ibu bapak. Jika salah seorang di antara
mereka atau kedua-duanya sampai sakit parah dalam pemeliharaanmu, maka
sekali-kali janganlah engkau menyerukan kepada perkataan "ah" dan janganlah
engkau membentak, dan mengucapkanlah kepada nasihat yang baik."

Kewajiban anak untuk berbakti kepada kedua orangtuanya itu merupakan salah
satu bentuk akhlak yang bersifat permanen atau qat'i sebab tidak terbuka peluang
anak boleh durhaka kepada orang tuanya. Meskipun keyakinan antara anak dan
orang tua berbeda, namun perbedaan agama itu hanya mempengaruhi hubungan
perdata seperti perwalian dan kewarisan, namun hubungan anak dengan orang tua
tidak berubah karena di antara mereka terdapat hubungan darah.

Namun demikian, dalam penerapan naș yang qat'i mengalami perbedaan


pendapat di kalangan sahabat. Sebagian sahabat tidak menerapkan tekstual hukum
yang qat'i dilakukan Umar bin Khattab. Para sahabat juga berbeda pendapat
tentang objek ta'abbudiyah. Pada masa Rasulullah SAW, sebagian kecil sahabat
seperti Bilal bin Abi Rabah (W. 20 H / 641 M) menganggap semua perintah dan
larangan Rasul baik dalam masalah ibadah maupun muamalah duniawi adalah
sunnah yang harus ditaati (ta'abbudi bi al-nuş üş). Namun, sebagian besar sahabat
memandang objek ta'abudiyah hanyalah yang berkaitan dengan masalah ibadah
mahdah. Mereka tidak terikat pada naș-nas yang berhubungan dengan muamalah
duniawi.

Karena itu, mereka menggunakan nalar dalam mencari cara pelaksanaan yang
lebih cocok dengan kondisi mereka. Pertimbangan utama adalah kepentingan
masyarakat dan nilai keadilan, dengan tokoh utama dalam hal ini adalah Umar bin
Khattab (w.23 H / 644M) Dalam beberapa masalah, Umar tidak melaksanakan naş
yang tegas oleh Allah dan Nabi SAW, karena kasus-kasus yang dihadapinya
tidak sama dengan yang dimaksud ayat atau terdapat syubhat (pertentangan dua
dalil dalam kasus yang sama). Atas dasar ini, illatnya sudah berbeda, yang
berakibat hukumnya pun berbeda. Umar berijtihad sendiri sesuai dengan tuntunan
Islam yang saat itu sudah meluas dengan tetap menjadikan illat sebagai dasar
pertimbangan.

2.3 Kaitan Azas Ta'abbudiyah dengan Perkembangan Hukum Islam

Posisi eksistensi manusia di antara kewajiban bersyukur dengan hak


memperoleh kehidupan yang layak dan sejahtera di dunia, menuntut manusia
menunaikan hukum-hukum syariat dalam dua bentuk: ta’abbudāt (kepatuhan
9
beribadah kepada Tuhan), dan ta’aqqulāt (perbuatan muamalah yang sifatnya
rasional).

Ibadat, karena bersifat ta’abbud murni. Oleh karena itu, makna yang
terkandung di dalamnya tidak dapat dinalar, maka manusia harus menerima apa
saja yang telah ditetapkan syariat. Pelaksanaan ibadat yang berbeda dari tata cara
yang ditentukan oleh syariat bukan ibadat lagi. Batasan-batasan syariat
menyangkut ṭahārah dan salat misalnya, mutlak ditaati tanpa lebih dahulu
memikirkan mengapa caranya demikian dan mengapa diperintahkan. Akal tidak
perlu mempertanyakan mengapa tayamum yang menurut pandangan mata tidak
mengandung arti kebersihan, dapat menjadi pengganti wudhu dan mandi untuk
bersuci. Hal yang dapat dipahami dari soal ibadat hanyalah kepatuhan pada
perintah Allah, merendahkan diri kepada-Nya dan mengagungkan-Nya.
Kepatuhan itulah yang menjadi illat bagi diperintahkannya suatu ibadat, tidak
lebih dan tidak kurang dari itu. Walaupun memang di balik kepatuhan kepada
Tuhan itu terdapat kemaslahatan bagi manusia juga.

Sebelum datangnya syariat Islam, pada mulanya orang hanya dibolehkan


berpegang pada bentuk-bentuk ibadat yang terdapat dalam syariat sebelumnya.
Nanti setelah datang syariat Islam, barulah tata cara peribadatan mengacu kepada
ketentuan syariat Islam yang disampaikan lewat al-Qur’an dan sunnah.

Dalam penerapan konsep ta’abbudiyah, perbuatan manusia terbagi dalam tiga


macam. Pertama, perbuatan yang di dalamnya hanya terdapat hak Allah saja, yang
dengan sendirinya bersifat ta’abbud murni, yaitu semua ibadat. Kedua, perbuatan
yang di dalamnya terdapat hak Allah dan hak hamba bersama-sama, tetapi bobot
hak Allah lebih besar. Misalnya soal pemeliharaan jiwa, walaupun kelestarian
hidup manusia merupakan hak asasi manusia, hak tersebut berada di tangan Allah.
Karena itulah dilarang membunuh orang lain dan bunuh diri atau meminta
bantuan tenaga medis mengakhiri hidupnya sendiri yang dalam dunia kedokteraan
modern dikenal dengan euthanasia. Ketiga, perbuatan yang di dalamnya terdapat
hak hamba dan hak Allah, tetapi bobot hak hamba lebih besar. Dalam hal ini, akal
sangat besar peranannya untuk memahami arti kemaslahatan yang dikandungnya,
misalnya kemaslahatan yang terkandung dalam perdagangan Dalam hal ini, salat
bersifat ta’abbudiyah. Ketentuan salat bersifat absolut, sedangkan pakaian yang
dikenakan saat salat tetapi bersifat relatif, dapat berubah mengikuti irama
perubahan sosial. Tata cara salat, tawaf, jumlah rakaat salat, dan penentuan waktu
salat, puasa Ramadan, haji bersifat permanen, tidak bisa diubah.

Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa aturan-aturan hukum yang murni
bersifat ta’abbudi tidak bisa diubah dengan berdasarkan rasio, namun memahami
rahasia dan hikmah di balik suatu ta’abbudi tidaklah berarti mengubah ketentuan
ta’abbudi tersebut. Begitu pula memperluas objek suatu ibadah maḥḍah yang
10
bersifat ta’abbudi, sangat dimungkinkan dan hal ini berimplikasi terhadap
perkembangan hukum Islam. Zakat sebagai salah satu ibadah adalah bersifat
ta’abbudi, namun objek zakat dalam konteks kehidupan sekarang bisa diperluas,
seperti zakat profesi atau jasa, dan zakat barang mewah. Ibadah zakat walaupun
tergolong ibadah maḥḍah namun mempunyai nilai kemaslahatan bagi manusia
(fungsi sosial).

2.4. Landasan hukum Islam tentang azas ta’abbudiyah

Allah SWT menjamin kasih sayangnya kepada orang yang secara konsisten
mengamalkan ta'abbud. Allah SWT menegaskan dalam surah at-taubah ayat 105:

‫الش َها َد ِة َف ُي َن ِّب ُئ ُك ْم ِب َما ُك ْن ُت ْم‬ ِ ‫َو ُق ِل اعْ َملُ ْوا َف َس َي َرى هّٰللا ُ َع َم َل ُك ْم َو َر ُس ْولُ ٗه َو ْالم ُْؤ ِم ُن ْو ۗ َن َو َس ُت َرد ُّْو َن ا ِٰلى ٰعل ِِم ْال َغ ْي‬
َّ ‫ب َو‬
‫ َتعْ َملُ ْو ۚ َن‬Dan katakanlah, “Bekerjalah kamu, maka Allah akan melihat pekerjaanmu,
begitu juga Rasul-Nya dan orang-orang mukmin, dan kamu akan dikembalikan
kepada (Allah) Yang Mengetahui yang gaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya
kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.”

Allah menerangkan anjuran untuk menuntut ilmu di dalam Q.S. Al-Mujadalah


ayat 11:
۟ ‫وا فَٱن ُش ُز‬
ُ ‫وا يَرْ فَ ِع ٱهَّلل‬ ۟ ‫ُوا يَ ْف َسح ٱهَّلل ُ لَ ُك ْم ۖ َوإ َذا قِي َل ٱن ُش ُز‬ ۟ ‫ٰيَٓأَيُّهَا ٱلَّ ِذينَ َءامنُ ٓو ۟ا إ َذا قِي َل لَ ُك ْم تَفَ َّسح‬
۟ ‫ُوا فِى ْٱلم ٰ َجلِس فَٱ ْف َسح‬
ِ ِ ِ َ ِ َ
ُ ‫هَّلل‬
‫ت ۚ َوٱ ُ بِ َما تَ ْع َملونَ َخبِي ٌر‬ ٰ ْ ْ ۟ ُ ُ َّ ُ ۟ ُ
ٍ ‫ٱل ِذينَ َءا َمنوا ِمنك ْم َوٱل ِذينَ أوتوا ٱل ِعل َم َد َر َج‬ َّ

Artinya: “Hai orang-orang beriman apabila dikatakan kepadamu: “Berlapang-


lapanglah dalam majlis”, maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi
kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: “Berdirilah kamu”, maka berdirilah,
niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan
orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha
Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”

Dalam sebuah Hadis pun disebutkan tentang keutamaan mempelajari ilmu


pengetahuan dalam Islam, Rasulullah SAW bersabda:

‫ط ِريقًا يَ ْلتَ ِمسُ فِي ِه ِع ْل ًما َسه ََّل هَّللا ُ لَهُ بِ ِه طَ ِريقًا إِلَى ْال َجنَّ ِة‬
َ ‫ك‬
َ َ‫َو َم ْن َسل‬

Artinya: “Siapa yang menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan
mudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR. Muslim, no. 2699)

Di dalam kata-kata mutiara orang Arab juga menjelaskan tentang belajar:

‫ب ْال ِع ْل َم ِمنَ ْال َم ْه ِد ِإلَى اللَّحْ ِد‬ ْ ُ‫أ‬


ِ ُ ‫طل‬

Artinya: “Tuntutlah ilmu dari buaian (bayi) hingga liang lahat.”

11
12
BAB III

PENUTUP

Simpulan

Jika ditilik dari pemaparan yang telah dijelaskan tadi. Dapat disimpulkan
bahwa belajar merupakan amalan yang sangat mulia. Dimana Allah
memerintahkan umat manusia untuk belajar. Ini dibuktikan dengan banyaknya
dalil-dalil yang menyebutkanbetapa pentingnya belajar dan sebagai umat manusia
seseorang diperintahkan untuk belajar. Bahkan Amalan belajar bisa disetarakan
dengan amalan jihad di medan pertempuran. Oleh sebab itu, sangat penting bagi
seseorang terutama umat muslim untuk menerapkan azas ta’abudiyah dalam
konteks pembelajaran atau pendidikan.

13
REFERENSI

Zaelani. 2014. “KONSEP TA’AQQULI DAN TA’ABBUDI DALAM KONTEKS HUKUM


KELUARGA ISLAM”. ASAS, Vol.6, No.1

Jamaa, L. (2013). Konsep Ta'abbudi Dan Ta'aqquli Dan Implikasinya Terhadap


Perkembangan Hukum Islam. Asy-Syir'ah: Jurnal Ilmu Syari'ah dan
Hukum, 47(1).

Rizal, A. S. (2015). Orientasi Dan Konteks Sosial Pendidikan Islam: Memahami


Dimensi Eksiologis Pendidikan Islam. taklim, 463.

Rizal, A. S. ORIENTASI DAN KONTEKS SOSIAL PENDIDIKAN ISLAM.

https://www.gontor.ac.id/berita/kewajiban-menuntut-ilmu-dalil-dari-al-quran-dan-
hadits

https://jateng.inews.id/berita/hadis-mencari-ilmu

14

Anda mungkin juga menyukai