Dosen Pengampu:
Mukhlisin M.Pd
DISUSUN OLEH :
Kelompok 3
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah Swt. karena berkat Nikmat
dan Karunia-Nya kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini. Disusunnya
makalah ini bertujuan untuk mengetahui tentang azas Ta’abudiyah.
Pada kesempatan ini kami ingin mengucapkan terima kasih kepada pihak-
pihak yang telah membantu dan mendukung penyusunan karya tulis ini. Terutama
kepada Bapak Mukhlisin, M.Pd selaku Dosen Pengampu Mata Kuliah Ushul
Tarbiyah yang telah membimbing dan memberi arahan kepada kami.
Kami menyadari dengan penuh bahwa penyusunan Makalah ini masih
memiliki banyak kekurangan. Oleh karena itu, kami mengharapkan masukan dan
saran agar penyusunan makalah di kemudian hari bisa menjadi lebih baik .
Penyusun
2
DAFTAR ISI
3
BAB I
PENDAHULUAN
3.1 Tujuan
1.3.1 Untuk mengetahui pengertian azas ta'abbudiyah.
1.3.2 Untuk mengetahui wujud - wujud dari asas ta’abbudiyah.
1.3.3 Untuk mengetahui kaitan azas ta'abbudiyah dengan perkembangan hukum
Islam.
1.3.4 Untuk mengetahui landasan hukum Islam tentang azas ta’abbudiyah.
BAB II
PEMBAHASAN
4
Azas ta’abbudiyah berasal dari 2 kata, yaitu azas dan ta’abbudiyah. Azas
adalah prinsip dasar yang menjadi acuan berfikir seseorang dalam mengambil
keputusan-keputusan penting dalam hidupnya. Kemudian Ta’abbudiyah yang
merupakan bentukan dari kata 'abada, ya'budu, 'ibadah. Dalam hal ini azas yang
dimaksud adalah azas ibadah dalam konteks pendidikan yaitu pada saat belajar.
Karena dalam islam ibadah merupakan suatu kewajiban yang bisa bernilai ibadah
jika dilakukan atas dasar untuk Allah SWT (Lillahita’ala).
Menurut al-Syatibi, ta'abbudiyah adalah "hanya mengikuti apa yang telah
ditetapkan oleh Syari, atau sesuatu yang secara khusus menjadi hak Allah".
Sedangkan menurut Muhammad Salam Madkur, ta'abbudiyah adalah semata-mata
mengabdi kepada Allah dengan melakukan perintah-perintah-Nya dari al-Qur'an
atau Sunah Rasul, tidak berubah, mengurangi atau menambahnya. Dengan
demikian, dalam masalah ta'abbudiyah, manusia hanya menerima ketentuan
hukum syariat apa adanya dan melaksanakannya sesuai dengan ketentuan
tersebut. Sehingga dapat melaksanakan bahwa ketentuan nas yang bersifat
ta'abbudiyah atau absolute, tidak memerlukan nalar dan tidak dapat ditawar-tawar.
Misalnya dalam bidang ibadah terdapat nilai-nilai ta'abbudiyah (gair ma'qül al-
ma'nā,), di mana manusia tidak boleh beribadah kecuali dengan apa yang telah
disyariatkan. Dalam bidang ini tidak ada pintu ijtihad bagi manusia untuk
Mengubah kaifyāt (tata cara) pelaksanaan ibadah mahdah, berbeda dengan yang
dicontohkan oleh Rasulullah SAW dalam salat dan haji misalnya. Demikian juga
manusia tidak bisa mengubah waktu pelaksanaan ibadah mahdah baik salat lima
waktu, puasa Ramadan, maupun haji ke waktu-waktu di luar yang telah
disyariatkan.
Hal ini ditekankan lagi dalam ayat yang pertama turun dalam Al-Quran yaitu
surat Al-Alaq ayat 1 yang mana Allah memerintahkan umat manusia untuk
membaca yang pada hakikatnya Allah memerintahkan manusia untuk belajar.
Oleh sebab itu belajar sebagai ibadah merupakan sebuah azas yang sangat perlu
diterapkan dalam hidup. Disamping perinntah dan kewajiban langsung dari Allah
SWT, belajar juga merupakan sebuah kebutuhan untuk bekal hidup baik di Dunia
maupun di Akhirat.
Belajar bisa menjadi ibadah karena pada hakikatnya untuk memahami ayat-
ayat Al-Quran dan perintah dari Allah SWT perlu adanya ilmu agar mendapatkan
pemahaman yang utuh, sehingga ibadah yang dilakukan akan lebih diterima oleh
Allah SWT dibandingkan dengan hanya beribadah tetapi tidak memiliki ilmu
yang cukup.
5
2.2 Wujud Azas Ta'abbudiyah
Hukum Islam dalam garis besar dapat dibagi menjadi dua, yaitu yang bisa
dinalar akal manusia dan yang tidak bisa dinalar akal manusia. Dan menurut hasil
penelitian, jumlah naş yang bisa dinalar akal manusia jauh lebih banyak dibanding
nas yang tidak bisa dinalar.
Wujud azas ta'abbudiyah menjadi kajian ulama usul fiqh. Dalam hal ini ulama
ushul fiqh telah bersepakat bahwa hukum-hukum yang berhubungan dengan
masalah ibadah mahdal (murni) dan hal-hal yang darüriyyah termasuk dalam
wujud ta'abbudiyah. Umat Islam tidak dapat dan tidak boleh melakukan
interpretasi terhadap nas dan hukum-hukum yang bersifat ta'abbudiyah, seperti
misalnya jumlah rakaat salat lima waktu, puasa Ramadhan, kewajiban zakat, dan
haji. Semua ketentuan mutlak dan manusia hanya melaksanakannya saja sesuai
dengan nas (al-Qur'an, hadis).
Dalam hal ini, belajar dan menuntut ilmu merupakan sesuatu yang sangat
berkaitan dengan hukum daruriyyah yang termasuk ke dalam wujud azas
ta'abbudiyah. Karena pendidikan sangat berpengaruh pada kelima aspek
daruriyyah yaitu agama, jiwa, harta, akal, serta keturunan seorang manusia. Oleh
karena itu, pendidikan dan proses menuntut ilmu termasuk ke dalam ibadah
ta'abbudiyah atau ibadah yang mutlak.
Seperti yang Allah perintahkan dalam Al - Qur'an surah Al - Alaq ayat 1-5
yang merupakan dasar perintah untuk belajar atau menuntut ilmu, ayat tersebut
berbunyi :
6
ٍ َق ااْل ِ ْن َسا نَ ِم ْن َعل
ق َ َۚ َخل
َ ُّ ۙ اِ ْق َر ْأ َو َرب
ك ااْل َ ْك َر ُم
Yang artinya :
Surah Al - Alaq ayat 1-5 ini merupakan perintah tersirat kepada manusia untuk
belajar. Karena niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman dan
orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.
Menuntut ilmu wajib hukumnya bagi muslim laki-laki mau pun perempuan.
Banyak pula hadits - hadits yang menyerukan kewajiban menuntut ilmu.
Demikian disarikan dari hadits yang diriwayatkan Ibnu Majah, dan dishahihkan
oleh Syaikh Albani dalam Shahih wa Dha'if Sunan Ibnu Majah no. 224.
) َرواهُالطَّ ْب َرانِ ْي ( لِ ُم َعلِّ ِم ْي ُك ْم َولَيَلَوْ ا ضعُوْ الِ ُم َعلِّ ِم ْي ُك ْم َ ْتَ َعلَّ ُموْ ا َو َعلِّ ُمو
َ اوتَ َوا
Artinya, "Belajarlah kamu semua, dan mengajarlah kamu semua, dan hormatilah
guru-gurumu, serta berlaku baiklah terhadap orang yang mengajarkanmu." (HR
Tabrani)
7
Dalam hadits lain dijelaskan tentang keutamaan menuntut ilmu. Terutama
ilmu-ilmu yang membuat kita semakin ingat dan syukur kepada Allah. Seperti
dalam sabda Rasulullah SAW berikut :
ُم ْسلِم ُ َر َواه . إِلَىال َجنَّ ِة طَ ِر ْيقًا ُلَه ُهللا َسهَّ َل, ِع ْل ًما فِ ْي ِه ُطَ ِر ْيقًايَ ْلتَ ِمس ك
َ َ َسل َم ْن
"Barang siapa menempuh satu jalan (cara) untuk mendapatkan ilmu, maka
Allah pasti mudahkan baginya jalan menuju surga." (HR. Muslim)
Artinya :"Belajarlah kalian ilmu untuk ketentraman dan ketenangan serta rendah
hatilah pada orang yang kamu belajar darinya."
ُلَه يَ ْدعُو ح َ َولَ ٍد ْأَو بِ ِه يُ ْنتَفَ ُع ِع ْل ٍم ْأَو اريَ ٍة
ٍ ِصال َ ِم ْن َّإِال ثَالَثَ ٍة ِم ْن َّإِال ُ َع َملُه ُ َع ْنه ا ْنقَطَ َع ُا ِإل ْن َسان َ َمات إِ َذا
ِ ص َدقَ ٍة َج
"Jika seorang manusia mati, maka terputuslah darinya semua amalnya kecuali
dari tiga hal; dari sedekah jariyah atau ilmu yang diambil manfaatnya atau anak
shalih yang mendoakannya." (HR. Muslim no. 1631)
Oleh karena itu, belajar dan menuntut ilmu merupakan suatu ibadah dan
kewajiban yang harus dilaksanakan oleh seluruh umat manusia. Karena ilmu dapat
menghantarkan kita menuju kesuksesan di dunia dan juga sebagai bekal kita di
akhirat.
Hal-hal lain yang juga termasuk ke dalam wujud azas ta'abuddiyah adalah
tindakan-tindakan yang bersifat permanen, misalnya kewajiban anak berbakti
kepada kedua orang tuanya. Kewajiban tersebut tidak dapat berubah walau salah
8
satu atau kedua orang tua telah murtad sekalipun. Dalam ini, Allah menegaskan
dalam QS Al-Isra : 23:
Kewajiban anak untuk berbakti kepada kedua orangtuanya itu merupakan salah
satu bentuk akhlak yang bersifat permanen atau qat'i sebab tidak terbuka peluang
anak boleh durhaka kepada orang tuanya. Meskipun keyakinan antara anak dan
orang tua berbeda, namun perbedaan agama itu hanya mempengaruhi hubungan
perdata seperti perwalian dan kewarisan, namun hubungan anak dengan orang tua
tidak berubah karena di antara mereka terdapat hubungan darah.
Karena itu, mereka menggunakan nalar dalam mencari cara pelaksanaan yang
lebih cocok dengan kondisi mereka. Pertimbangan utama adalah kepentingan
masyarakat dan nilai keadilan, dengan tokoh utama dalam hal ini adalah Umar bin
Khattab (w.23 H / 644M) Dalam beberapa masalah, Umar tidak melaksanakan naş
yang tegas oleh Allah dan Nabi SAW, karena kasus-kasus yang dihadapinya
tidak sama dengan yang dimaksud ayat atau terdapat syubhat (pertentangan dua
dalil dalam kasus yang sama). Atas dasar ini, illatnya sudah berbeda, yang
berakibat hukumnya pun berbeda. Umar berijtihad sendiri sesuai dengan tuntunan
Islam yang saat itu sudah meluas dengan tetap menjadikan illat sebagai dasar
pertimbangan.
Ibadat, karena bersifat ta’abbud murni. Oleh karena itu, makna yang
terkandung di dalamnya tidak dapat dinalar, maka manusia harus menerima apa
saja yang telah ditetapkan syariat. Pelaksanaan ibadat yang berbeda dari tata cara
yang ditentukan oleh syariat bukan ibadat lagi. Batasan-batasan syariat
menyangkut ṭahārah dan salat misalnya, mutlak ditaati tanpa lebih dahulu
memikirkan mengapa caranya demikian dan mengapa diperintahkan. Akal tidak
perlu mempertanyakan mengapa tayamum yang menurut pandangan mata tidak
mengandung arti kebersihan, dapat menjadi pengganti wudhu dan mandi untuk
bersuci. Hal yang dapat dipahami dari soal ibadat hanyalah kepatuhan pada
perintah Allah, merendahkan diri kepada-Nya dan mengagungkan-Nya.
Kepatuhan itulah yang menjadi illat bagi diperintahkannya suatu ibadat, tidak
lebih dan tidak kurang dari itu. Walaupun memang di balik kepatuhan kepada
Tuhan itu terdapat kemaslahatan bagi manusia juga.
Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa aturan-aturan hukum yang murni
bersifat ta’abbudi tidak bisa diubah dengan berdasarkan rasio, namun memahami
rahasia dan hikmah di balik suatu ta’abbudi tidaklah berarti mengubah ketentuan
ta’abbudi tersebut. Begitu pula memperluas objek suatu ibadah maḥḍah yang
10
bersifat ta’abbudi, sangat dimungkinkan dan hal ini berimplikasi terhadap
perkembangan hukum Islam. Zakat sebagai salah satu ibadah adalah bersifat
ta’abbudi, namun objek zakat dalam konteks kehidupan sekarang bisa diperluas,
seperti zakat profesi atau jasa, dan zakat barang mewah. Ibadah zakat walaupun
tergolong ibadah maḥḍah namun mempunyai nilai kemaslahatan bagi manusia
(fungsi sosial).
Allah SWT menjamin kasih sayangnya kepada orang yang secara konsisten
mengamalkan ta'abbud. Allah SWT menegaskan dalam surah at-taubah ayat 105:
الش َها َد ِة َف ُي َن ِّب ُئ ُك ْم ِب َما ُك ْن ُت ْم ِ َو ُق ِل اعْ َملُ ْوا َف َس َي َرى هّٰللا ُ َع َم َل ُك ْم َو َر ُس ْولُ ٗه َو ْالم ُْؤ ِم ُن ْو ۗ َن َو َس ُت َرد ُّْو َن ا ِٰلى ٰعل ِِم ْال َغ ْي
َّ ب َو
َتعْ َملُ ْو ۚ َنDan katakanlah, “Bekerjalah kamu, maka Allah akan melihat pekerjaanmu,
begitu juga Rasul-Nya dan orang-orang mukmin, dan kamu akan dikembalikan
kepada (Allah) Yang Mengetahui yang gaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya
kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.”
ط ِريقًا يَ ْلتَ ِمسُ فِي ِه ِع ْل ًما َسه ََّل هَّللا ُ لَهُ بِ ِه طَ ِريقًا إِلَى ْال َجنَّ ِة
َ ك
َ ََو َم ْن َسل
Artinya: “Siapa yang menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan
mudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR. Muslim, no. 2699)
11
12
BAB III
PENUTUP
Simpulan
Jika ditilik dari pemaparan yang telah dijelaskan tadi. Dapat disimpulkan
bahwa belajar merupakan amalan yang sangat mulia. Dimana Allah
memerintahkan umat manusia untuk belajar. Ini dibuktikan dengan banyaknya
dalil-dalil yang menyebutkanbetapa pentingnya belajar dan sebagai umat manusia
seseorang diperintahkan untuk belajar. Bahkan Amalan belajar bisa disetarakan
dengan amalan jihad di medan pertempuran. Oleh sebab itu, sangat penting bagi
seseorang terutama umat muslim untuk menerapkan azas ta’abudiyah dalam
konteks pembelajaran atau pendidikan.
13
REFERENSI
https://www.gontor.ac.id/berita/kewajiban-menuntut-ilmu-dalil-dari-al-quran-dan-
hadits
https://jateng.inews.id/berita/hadis-mencari-ilmu
14