Disusun oleh :
Dosen pengampu :
A. Konsep Alam
Pengertian “alam” dalam kamus umum bahasa Indonesia (W.J.S. Poerwadarminta), mengemukakan
alam: 1. Dunia, misalnya: alam semesta, syah alam. 2. Geografis : daerah, nagari, misalnya : Alam
Minangkabau Minangkabau dalam pengertian sosial budaya merupakan suatu daerah kelompok etnis
yang mendiami daerah Sumatera Barat sekarang, ditambah dengan daerah kawasan pengaruh
kebudayaan Minangkabau seperti: daerah utara dan timur Sumatera Barat, yaitu Riau daratan, Negeri
Sembilan Malaysia; daerah selatan dan timur yaitu; daerah pedalaman Jambi, daerahpesisir pantai
sampai ke Bengkulu, dan sebelah Barat berbatasan dengan Samudera Hindia
Dalam pemahaman umum sekarang ini (terutama orang luar Minangkabau), kata Minangkabau sering
diidentikkan dengan kata Sumatera Barat. Padahal secara subtantif keduanya mempunyai makna yang
berbeda. Daerah geografis Minangkabau tidak sepenuhnya merupakan bagian daerah propinsi Sumatera
Barat (Mansoer, 1970:1).
Sumatera Barat adalah salah satu propinsi menurut administratif pemerintahan RI, sedangkan
Minangkabau adalah teritorial menurut kultur Minangkabau yang daerahnya jauh lebih luas dari
Sumatra Barat sebagai salah satu propinsi (Hakimy, 1994:18).
Alam dalam pengertian wawasan dapat dipahami dari frasa “Baalam laweh” artinya ber-alam luas. Alam
di sini dapat diartikan sebagai alam pikiran atau wawasan. Di alam jenis inilah masyarakat minangkabau
dihidupkan.
Alam dalam pengertian wilayah adalah wilayah tempat bermukimnya suku bangsa Minangkabau.
Wilayah ini akan dibagi kepada beberapa kawasan yang menunjukkan asal hunian, daerah
pengembangan dan daerah pengaruh.
Wilayah Alam Minangkabau secara umum dibagi kepada dua, yaitu luhak nan tigo (Luhak Tanah Datar,
Luhak Agam dan Luhak Limopuluah Koto) dan Rantau. Luhak merupakan kawasan pusat atau wilayah
inti dari alam Minangkabau. Sedangkan Rantau adalah kawasan pinggiran sekaligus daerah perbatasan
yang mengelilingi kawasan pusat (Undri & Nurmatias, 2015:13). Kedua kawasan ini akan dijelaskan pada
pembahasan berikutnya.
B. Konsep Luhak
1. Pengertian Luhak
Luhak atau juga disebut Luak berarti sumur. Sumur adalah sumber mata air yang menjadi dasar
pembentukan hunian settlemen masyarakat. Secara historis, kecendrungan masyarakat cendrung
membentuk pemukiman penduduk memusat dan mendekat sumber-sumber penghidupan mereka, dan
cendrung mendekati mengitari/mendekati mata air.
Luhak dalam pengertian kurang. Misalnya Luhak Tanah Datar memberi tanda geografis bahwa kawasan
ini memiliki struktur tanah yang tidak datar. Luhak Agam berarti kurang (tokoh) agama, Luhak Limapuluh
Kota berarti kawasan yang pada awalnya dihuni oleh lima puluh keluarga.
Luhak adalah wilayah konfederasi dari beberapa nagari di Minangkabau yang terletak di pedalaman
Sumatera Barat. Wilayah ini merupakan wilayah pemukiman awal penduduk Minangkabau yang dikenal
dengan istilah Darek (bahasa Indonesia: darat). Wilayah lainnya yang akan dijelaskan kemudian adalah
rantau.
Luhak Tanah Data. Saat ini wilayah luhak ini meliputi nagari-nagari di kabupaten Tanah Datar,
Kabupaten Sijunjung, kota Padang Panjang, beberapa nagari di dharmasraya dan kota Sawahlunto
sekarang.
Luhak Agam yang meliputi nagari-nagari di kabupaten Agam dan Kota Bukittinggi sekarang.
Luhak Limopuluah yang meliputi kabupaten Lima Puluh Kota dan Kota Payakumbuh sekarang
Ketiga luhak tersebut juga sering disebut dengan Luhak Nan Tigo
Luhak biasanya diikat dengan kesamaan dalam prinsip pelaksanaan hukum adat. Oleh sebab itu, prinsip
pelaksanaan adat di luhak nan tigo berbeda-beda berdasarkan sistem kelarasan yang dianut.
C. Konsep Rantau
Rantau Minangkabau secara teritori adalah daerah di luar “luhak nan tigo” yang merupakan daerah asal
orang minangkabau bermukim dan menjalani kehidupan. Rantau dalam pengertian ekonomi adalah
daerah di luar daerah asal atau tanah tempat mencari kehidupan.
Merantau adalah budaya orang Minangkabau untuk mengembangkan diri dan mencari penghidupan.
Namun tidak tertutup kemungkinan untuk mengembangkan kebudayaan daerah asal diperantauan.
Kedudukan Rantau
Dari segi adat, kedudukan rantau sama dengan luhak. Rantau memiliki otonomi sendiri seperti luhak.
Masyarakat rantau hidup di lingkungan adatnya. Mereka berhak mengurus dirinya, mengurus kekayaan
rantaunya, membangun kehidupan ekonominya, dan menetapkan pemimpinnya. Pedoman utamanya
tetap adat minangkabau. Jadi rantau dan luhak sama-sama wilayah minangkabau dan sama-sama
memakai adat dan budaya minangkabau.
“Alam takambang jadi guru” adalah ungkapan pepatah Minangkabau yang sangat populer. Alam
merupakan sumber belajar (learning resources) bagi masyarakat Minangkabau.
Alam dengan segala bentuk, sifat, serta segala yang terjadi di dalamnya, merupakan sesuatu yang dapat
dijadikan sebagai pedoman, ajaran, dan guru bagi masyarakat Minangkabau.
BAB 2
A. Kerajaan-kerajaan di Minangkabau
Menurut tambo, pada periode abad ke-1 hingga abad ke-16, banyak berdiri kerajaan-kerajaan
kecil di selingkaran Sumatera Barat. Kerajaan-kerajaan tersebut ialah Kesultanan Kuntu, Kerajaan
Kandis, Kerajaan Siguntur, Kerajaan Pasumayan Koto Batu, Bukit Batu Patah, Kerajaan Sungai
Pagu, Kerajaan Inderapura, Kerajaan Jambu Lipo, Kerajaan Taraguang, Kerajaan Dusun Tuo,
Kerajaan Bungo Setangkai, Kerajaan Talu, Kerajaan Kinali, Kerajaan Parit Batu, Kerajaan Pulau
Punjung dan Kerajaan Pagaruyung. Kerajaan-kerajaan ini tidak pernah berumur panjang, dan
biasanya berada dibawah pengaruh kerajaan-kerajaan besar, Malayu dan Pagaruyung.
a) Sejarah Singkat
Sejarah kerajaan Dharmasraya berdiri sekitar tahun 1088 (sekitar abad XI) dengan latar belakang
keagamaan Hindhu dan Budha aliran Tantrayana. Peninggalan lain yang berkaitan dengan kerajaan
ini adalah diketemukannya arca Amoghapasan arca Bhairawa. Kerajaan Dharmasraya terletak di
kawasan kepurakalaan daerah aliran sungai (DAS) Batanghari meliputi wilayah administrasi
pemerintahan kerajaan Dharmasraya. Secara geomarfologis termasuk daerah perbukitan bagian
Barat Sumatera yang dikenal dengan bukit barisan. Dalam catatan sejarah, wilayah sepanjang DAS
Batanghari di pedalaman dikuasai kerajaan Melayu dan Sriwijaya yang memerintah hampir
bersamaan. Kerajaan Melayu dianggap penting masa itu karena eksistensinya diakui oleh beberapa
kerajaan termasuk Majapahit.
Di dalam naskah kuno Nagarakartagama pupuh XIII:1 dan 2 disebutkan, Dharmasraaya sebagai
salah satu kawasan Majapahit. Pada masa raja Kertanegara pusat pemerintahan kerajaan Melayu
sudah berada di Dharmasraya dan lokasinya di bagian hulu Batanghari tepatnya di daerah
rambahan, Jorong Lubuk Bulang, Nagari IV Koto Pulaupunjung Dharmasraya.
Perubahan pusat pemerintahan ini dapat ditelusuri berdasarkan pada Prasast Dharmasraya yang
dipahatkan pada lapik atau alas kaki Arca Amoghapassa yang sekarang berada di Museum
Nasional, Jakarta. Di bagian belakang (punggung) Arca Amoghapasa yang dikirim Kertanegara
tercatat tahun 1347 M, raja yang memerintah adalah Sri Maharajadiraja Adityawarman yang
menyebut dirinya dengan nama Srimat Sri Adayatityawarman.
Hanya ada sedikit catatan sejarah mengenai Dharmasraya ini. Diantaranya yang cukup terkenal
adalah rajanya yang bernama Shri Tribhuana Raja Mauliwarmadhewa (1270-1297) yang menikah
dengan Puti Reno Mandi. Sang raja dan permaisuri memiliki dua putri, yaitu Dara Jingga dan
Dara Petak. Di tahun 1288, Kerajaan Dharmasraya, termasuk Kerajaan Sriwijaya, menjadi taklukan
Kerajaan Singhasari di era Raja Kertanegara, dengan mengirimkan Adwaya Brahman dan Senopati
Mahesa Anabrang, dalam ekspedisi Pamalayu 1 dan 2.
Sebagai tanda persahabatan, Dara Jingga menikah dengan Adwaya Brahman dari Kerajaan
Singasari tersebut. Mereka memiliki putra yang bernama Adityawarman, yang di kemudian hari
mendirikan Kerajaan Pagaruyung, dan sekaligus menjadi penerus kakeknya, Mauliwarmadhewa
sebagai penguasa Kerajaan Dharmasraya. Jadi Sri Maharajadiraja Adityawarman yang menyebut
dirinya dengan nama Srimat Sri Udayatityawarman adalah merupakan cucu dari raja yang terkenal
di kerajaan Dharmasraya yaitu Shri Tribhuana Raja Mauliwarmadhewa.
Warmadewa
2. KERAJAAN PAGARUYUANG
a) Sejarah Singkat
Terdapat tiga faktor yang melatar belakangi berdirinya kerajaan Pagaruyung, yakni kerajaan
Darmasraya, kspedisi Pamalayu, dan Adityawarman. Ketiga faktor tersebut merupakan alasan yang
melatar belakangi kerajaan Pagaruyung. Kerajaan pagaruyung merupakan lanjutan dari kerajaan
Darmasraya. Sebelumnya, kerajaan Darmasraya merupakan kerajaan terbesar dan terkuat di
Sumatera, hal inilah yang mengundang raja Kertanegara untuk mengadakan hubungan
persahabatan ke kerajaan Darmasraya. Maka diadakanlah hubungan diantara kedua kerajaan
tersebut yang dimulai dengan ekspedisi yang dilakukan kerajaan Singashari ke kerajaan
Darmasraya, atau yang lebih dikenal dengan ekspedisi Pamalayu. Dimana ekspedisi Pamalayu ini
merupakan tindakan dari kerajaan Singashari untuk menjalin persahabatan dengan kerajaan
Darmasraya.
Raja Darmasraya kemudian membalasnya dengan mengirimkan kedua putri kerajaan untuk
dipersunting oleh raja Singashari. Kedua putri tersebut adalah Dara Petak dan Dara Jingga. Saat
dalam perjalanan ke Jawa, di kerajaan Singashari terjadi kekacauan politik yang menyebabkan
runtuhnya kerajaan Singashari. Setelah runtuh, kerajaan Singashari digantikan oleh kerajaan
Majapahit yang merupakan lanjutan dari kerajaan Singashari.
Setibanya diJawa, Raden Wijaya, raja Majapahit yang pertama kemudian menikahi salah satu putri
tersebut yakni Dara Petak, hal ini untuk melanjutkan hubungan persahabatan yang telah di
bangun oleh raja Singashari sebelumnya. Sedangkan putri yang seorang lagi, Dara Jingga,
dikawinkan dengan salah satu petinggi istana Majapahit, dan dari pernikahan tersebut lahirlah
Adityawarman.
Adityawarman merupakan salah seorang panglima perang kerajaan Majapahit dan juga seorang
pejabat istana yang memiliki kedudukan penting di istana Majapahit. Setelah gagal menduduki
tahta Majapahit sepeninggalnya Jayanegara yang juga merupakan sepupunya, Adityawarman
kemudian kembali ke kerajaan Dharmasraya dan disana ia dinobatkan sebagai raja. Setelah menjadi
raja di Dharmasraya Adityawarman kemudian memindahkan pusat kekuasaannya ke daerah lebih
pedalaman dan kemudian mendirikan kerajaan Pagaruyung, yang mana nama Pagaruyung diambil
dari nama wilayah tempat pusat kekuasaan kerajaan yang baru didirikan Adityawarman, yakni
Nagari Pagaruyung yang ada di Luhak Tanah Datar.
Pemindahan kekuasaan dan pendirian kerajaan Pagaruyung ini dilakukan untuk memperkuat
kedudukan Adityawarman di Sumatera dan juga untuk melepaskan hubungan dengan Majapahit.
Kerajaan Pagaruyung memiliki sistem pemerintahan tiga raja di puncak pemerintahan, atau yang
disebut juga Rajo Nan Tigo Selo, ketiga raja tersebut adalah, Raja Alam sebagai pemimpin
tertinggi, Raja Adat sebagai pemimpin adat, dan Raja Ibadat sebagai pemimpin agama. Selain
ketiga raja diatas, mereka juga dibantu oleh dewan menteri yang disebut basa empat balai.
Wilayah inti dari kerajaan Pagaruyung terdiri dari tiga Luhak, yakni Luhak Tanah Datar, Luhak
Agam, dan luhak Lima Puluh Kota.
c) Wilayah Kekuasaan
Menurut Tomé Pires dalam Suma Oriental, tanah Minangkabau selain dataran tinggi pedalaman
Sumatra tempat di mana rajanya tinggal, juga termasuk wilayah pantai timur Arcat (antara Aru
dan Rokan) ke Jambi dan kota-kota pelabuhan pantai barat Panchur (Barus), Tiku dan Pariaman.
Dari catatan tersebut juga dinyatakan tanah Indragiri, Siak dan Arcat merupakan bagian dari
tanah Minangkabau, dengan Teluk Kuantan sebagai pelabuhan utama raja Minangkabau tersebut.
Namun belakangan daerah-daerah rantau seperti Siak, Kampar dan Indragiri kemudian lepas dan
ditaklukkan oleh Kesultanan Malaka dan Kesultanan Aceh.
Wilayah pengaruh politik Kerajaan Pagaruyung adalah wilayah tempat hidup, tumbuh, dan
berkembangnya kebudayaan Minangkabau. Wilayah ini dapat dilacak dari pernyataan Tambo
(legenda adat) berbahasa Minang ini:
c) kemunduran
Pada masa pemerintahan Adityawarman, ketiga Luhak tersebut menyatu di bawah pimpinan
pusat, akan tetapi setelah wafatnya Adityawarman, kewibawaan itu mulai pudar, puncaknya apada
abad ke-16, dimana saat itu kekuasaan raja di Pagaruyung sangatlah kabur, raja hanya dianggap
sebagai simbol pemersatu, tidak memiliki kekuasaan yang nyata, dan hanya dianggap sebagai
tokoh sakral yang mengatur ekuilibrium diantara nagari-nagari yang bermusuhan.
Sejak abad ke-16, sudah tidak ada lagi pemerintahan pusat kerajaan Pagaruyung yang berwibawa
dan ditaati, saat itu wilayah kerajaan Pagaruyung telah terpecah-pecah dan berdiri sendiri-sendiri,
yang dipimpin oleh tiap penghulu di tiap kampung yang memeliki kekuasaan yang otonom.
Kampung-kampung yang berdiri sendiri-sendiri itu disebut Nagari, dengan penghulu sebagai
pimpinan kampung yang memiliki kekuasaan otonom dan kepemimpinannya dipilih secara
demokrasi dan musyawarah. Pada saat itu nama kerajaan Pagaruyung tidak lain dari nama
kolektif untuk begitu banyak Nagari, daerah-daerah merdeka berbentuk republik-republik mini,
tetapi dari keturunan yang sama, mempunyai adat istiadat dan bahasa yang sama pula.
Walaupun raja tidak memiliki kekuasaan apa-apa, akan tetapi raja masih sangat di hormati oleh
rakyat. Raja masih menerima upeti dari tiap-tiap Nagari, hanya saja ini meruakan suatu proses
ritual adat. rakyat kerjaan Pagaruyung sangat menghormati adat, mereka menjadikan adat sebagai
pandangan hidup mereka, dan penghormatan kepada raja juga merupakan salah satu yang
dianjurkan oleh adat.
3. KERAJAAN INDERAPURA
a) Sejarah singkat
Kesultanan Inderapura adalah sebuah kerajaan yang terletak di Kabupaten Pesisir Selatan
Sumatera Barat saat ini, berbatasan dengan Provinsi Bengkulu dan Jambi. Secara resmi, kerajaan
ini dulunya merupakan bawahan (vazal) dari Kerajaan Pagaruyong, meskipun sebenarnya kerajaan
ini merdeka dan dapat dengan leluasa mengatur urusan dalam dan luar negeri.
Kerajaan itu meliputi pantai barat Sumatera pada masa kejayaannya, dari Padang di utara hingga
Sungai Hurai di selatan. Produk terpenting Inderapura adalah lada dan emas. Kekuatan Kerajaan
Inderapura mempengaruhi Banten di pulau Jawa. Kesultanan Banten berbasis Sahara Propinsi
Banten, dan telah berdagang dengan Kerajaan Inderapura, simbolnya adalah Sultan Munawar Syah
mempersembahkan hadiah kepada Sultan Hasanuddin Pemberian Keris. Menurut Hamka, Sultan
Munawar Syah (Sultan Munawar Syah) menikahkan putrinya Hasanuddin dan menyerahkan Si Leba
(daerah penghasil lada Bengkulu) kepada Kesultanan Banten.
Inderapura dikenal juga sebagai Ujung Pagaruyung. Melemahnya kekuasaan Pagaruyung selama
abad ke-15, beberapa daerah pada kawasan pesisir Minangkabau lainnya, seperti Inderagiri, Jambi,
dan Inderapura dibiarkan mengurus dirinya sendiri. Namun perkembangan Inderapura baru benar-
benar dimulai saat Malaka jatuh ke tangan Portugis pada 1511. Arus perdagangan yang tadinya
melalui Selat Malaka sebagian besar beralih ke pantai barat Sumatra dan Selat Sunda.
Perkembangan dan ekspansi Inderapura terutama ditunjang oleh lada.
Inderapura dikenal juga sebagai Ujung Pagaruyung. Melemahnya kekuasaan Pagaruyung selama
abad ke-15, beberapa daerah pada kawasan pesisir Minangkabau lainnya, seperti Inderagiri, Jambi,
dan Inderapura dibiarkan mengurus dirinya sendiri. Namun perkembangan Inderapura baru benar-
benar dimulai saat Malaka jatuh ke tangan Portugis pada 1511. Arus perdagangan yang tadinya
melalui Selat Malaka sebagian besar beralih ke pantai barat Sumatra dan Selat Sunda.
Perkembangan dan ekspansi Inderapura terutama ditunjang oleh lada. Kapan tepatnya Inderapura
mencapai status negeri merdeka tidak diketahui dengan pasti. Namun, ini diperkirakan bertepatan
dengan mulai maraknya perdagangan lada di wilayah tersebut pada pertengahan abad ke-16,
didorong usaha penanaman lada di batas selatan Inderapura mencapai Silebar (sekarang di
Provinsi Bengkulu). Pada masa ini, Inderapura telah menjalin persahabatan dengan Banten dan
Aceh.
Saat Kesultanan Aceh melakukan ekspansi sampai wilayah Pariaman, Inderapura menghentikan
ekspansinya dan menjalin persahabatan dengan Aceh melalui ikatan perkawinan antara Raja Dewi,
putri Sultan Munawar Syah dari Inderapura dengan Sultan Firman Syah, saudara raja Aceh saat
itu, Sultan Ali Ri'ayat Syah (1568-1575). Lewat hubungan perkawinan ini dan kekuatan ekonominya
Inderapura mendapat pengaruh besar di Kotaraja (Banda Aceh), bahkan para hulubalang dari
Inderapura disebut-sebut berkomplot dalam pembunuhan putra Sultan Ali Ri'ayat Syah, sehingga
melancarkan jalan buat suami Raja Dewi naik tahta dengan nama Sultan Sri Alam pada 1576.
Walau kekuasaannya hanya berlangsung selama tiga tahun sebelum tersingkir dari tahtanya
karena pertentangan dengan para ulama di Aceh. Namun pengaruh Inderapura terus bertahan di
Kesultanan Aceh, dari 1586 sampai 158. Ssalah seorang yang masih berkaitan dengan Raja Dewi,
yakni Sultan Buyong, memerintah dengan gelar Sultan Ali Ri'ayat Syah II sebelum akhirnya
terbunuh oleh intrik ulama Aceh.
b) Perekonomian
Berdasarkan laporan Belanda, pada tahun 1616 Inderapura digambarkan sebagai sebuah kerajaan
yang makmur di bawah pemerintahan Raja Itam, serta sekitar 30.000 rakyatnya terlibat dalam
pertanian dan perkebunan yang mengandalkan komoditas beras dan lada. Selanjutnya pada masa
Raja Besar sekitar tahun 1624, VOC berhasil membuat perjanjian dalam pengumpulan hasil
pertanian tersebut langsung dimuat ke atas kapal tanpa mesti merapat dulu di pelabuhan, serta
dibebaskan dari cukai pelabuhan. Begitu juga pada masa Raja Puti, pengganti Raja Besar,
Inderapura tetap menerapkan pelabuhan bebas cukai dalam mendorong perekonomiannya.
Setelah ekspedisi penghukuman tahun 1633 oleh Kesultanan Aceh, sampai tahun 1637 Inderapura
tetap tidak mampu mendongkrak hasil pertaniannya mencapai hasil yang telah diperoleh pada
masa-masa sebelumnya. Di saat penurunan pengaruh Aceh, Sultan Muzzaffar Syah mulai
melakukan konsolidasi kekuatan, yang kemudian dilanjutkan oleh anaknya Sultan Muhammad Syah
yang naik tahta sekitar tahun 1660 dan mulai kembali menjalin hubungan diplomatik dengan
Belanda dan Inggris.
c) Kemunduran
Di bawah Sultan Iskandar Muda, kesultanan Aceh memerangi negeri-negeri penghasil lada di
Semenanjung Malaya sambil berusaha memperkuat cengkeramannya atas monopoli lada dari
pantai barat Sumatra. Kendali ketat para wakil Aceh (disebut sebagai panglima) di Tiku dan
Pariaman atas penjualan lada mengancam perdagangan Inderapura lewat pelabuhan di utara.
Karena itu Inderapura mulai mengembangkan bandarnya di selatan, Silebar, yang biasanya
digunakan untuk mengekspor lada lewat Banten.
Inderapura juga berusaha mengelak dari membayar cukai pada para panglima Aceh. Ini
memancing kemarahan penguasa Aceh yang mengirim armadanya pada 1633 untuk menghukum
Inderapura. Raja Puti yang memerintah Inderapura saat itu dihukum mati beserta beberapa
bangsawan lainnya, dan banyak orang ditawan dan dibawa ke Kotaraja. Aceh menempatkan
panglimanya di Inderapura dan Raja Malfarsyah diangkat menjadi raja menggantikan Raja Puti.
Kendali Aceh melemah keetika dipimpin pengganti Iskandar Muda, Sultan Iskandar Tsani.
Selanjutnya, pada masa pemerintahan Ratu Tajul Alam pengaruh Aceh di Inderapura mulai
digantikan Belanda (VOC). Dominasi VOC diawali ketika Sultan Muhammad Syah meminta bantuan
Belanda memadamkan pemberontakan di Inderapura pada tahun 1662. Pemberontakan ini dipicu
oleh tuntutan Raja Adil yang merasa mempunyai hak atas tahta Inderapura berdasarkan sistem
matrilineal. Akibatnya, Sultan Inderapura terpaksa melarikan diri beserta ayah dan kerabatnya.
Kemudian Sultan Mansur Syah, dikirim ke Batavia menanda-tangani perjanjian yang disepakati
tahun 1663 dan memberikan VOC hak monopoli pembelian lada serta hak pengerjaan tambang
emas. Pada Oktober 1663 pemerintahan Inderapura kembali pulih, dan Sultan Inderapura
mengakui Raja Adil sebagai wakilnya yang berkedudukan di Manjuto.
Pada masa Sultan Muhammad Syah, Inderapura dikunjungi oleh para pelaut Bugis yang dipimpin
oleh Daeng Maruppa yang kemudian menikah dengan saudara perempuan Sultan Muhammad
Syah, kemudian melahirkan Daeng Mabela yang bergelar Sultan Seian. Berdasarkan catatan
Inggris, Daeng Mabela pada tahun 1688 menjadi komandan pasukan Bugis untuk EIC.
Sultan Muhammad Syah digantikan oleh anaknya Sultan Mansur Syah (1691-1696). Pada masa
pemerintahannya bibit ketidakpuasan rakyatnya atas penerapan cukai yang tinggi serta dominasi
monopoli dagang VOC kembali muncul. Namun pada tahun 1696 Sultan Mansur Syah meninggal
dunia dan digantikan oleh Raja Pesisir, yang baru berusia 6 tahun dan pemerintahannya berada di
bawah perwalian neneknya. Puncak perlawanan rakyat Inderapura menyebabkan hancurnya pos
VOC di Pulau Cingkuak, sebagai reaksi terhadap serbuan itu. Pada 6 Juni 1701, VOC membalas
dengan mengirim pasukan dan berhasil mengendalikan Inderapura. Inderapura akhirnya benar-
benar runtuh pada 1792 ketika garnisun VOC di Air Haji menyerbu Inderapura karena
pertengkaran komandannya dengan Sultan Inderapura, kemudian Sultan Inderapura mengungsi ke
Bengkulu dan meninggal di sana (1824).
2) 1580 : Raja Dewi (Nama lainnya adalah Putri Rekna Candra Dewi)
8) 1691 : Sultan Mansur SyahSultan Gulemat putra Raja Adil berkedudukan di Manjuto
melepaskan diri dari Inderapura.
a) Sejarah singkat
Para ahli sejarah sampai saat ini belum mempunyai kesepakatan mengenai waktu yang tepat
masuknya Islam ke Minangkabau. Hal ini terutama karena belum ditemukannya bukti-bukti sejarah
tertulis di Minangkabau. Peninggalan sejarah berupa bangunan, seperti masjid, batu nisan lainnya,
maupun catatan tertulis lainnya tidak dapat memberikan kepastian. Beberapa sumber yang dapat
dipercaya dan lebih memberikan kepastian terutama berasal dari luar Minangkabau. Berdasarkan
berita dari China, Hamka (1976) mengatakan bahwa pada tahun 684 M sudah didapati suatu
kelompok masyarakat Arab di Minangkabau.
Hal ini berarti bahwa 42 tahun setelah Nabi Muhammad SAW wafat, orang Arab sudah
mempunyai perkampungan di Minangkabau. Sehubungan dengan itu Hamka memperkirakan
bahwa kata “Pariaman”, nama salah satu kota di pesisir barat Minangkabau berasal dari bahasa
Arab, “barri aman” yang berarti tanah daratan yang aman sentosa. Selanjutnya diduga pula
bahwa orang-orang Arab ini di samping berdagang juga berperan sebagai mubalighmubaligh yang
giat melakukan dakwah Islam, sehingga pada waktu itu diperkirakan sudah ada orang
Minangkabau yang memeluk agama Islam.
Sejalan dengan itu, M.D. Mansur (1970), juga menyimpulkan bahwa pada abad ke-7 agama Islam
sudah dikenal di Minangkabau Timur, mengingat pada waktu itu telah ada hubungan dagang
antara Cina di Asia Timur dan Arab di Asia Barat melalui Selat Malaka. Pada waktu itu di Asia
Barat, dengan Damaskus sebagai pusat, sedang berkuasa Daulat Umayyah. Mereka sekaligus juga
menguasai hubungan perdagangan antara Timur (China) dan Barat (Laut Tengah).
Walaupun demikian, dakwah Islam pada waktu itu belumlah pesat dan malah kemudian berhenti
dan akhirnya lenyap sama sekali akibat larangan yang dilakukan oleh Dinasti T’ang dari China
yang merasa kepentingannya di Minangkabau terancam oleh Khilafah Umayyah. Adanya hubungan
dagang laut yang langsung antara Minangkabau sebagai produsen lada dengan Timur Tengah
dilihat China akan merugikannya sebagai pemasok lada. Pengaruh politik Khilafah Umayyah dengan
pengaruh ideologinya dipandang akan meruntuhkan wibawa dan kepentingan ekonomi China
sebagai “Pemimpin Asia” waktu itu.
Burhanuddin Daya (1995) tampaknya setuju dengan pendapat ini. Daya mengatakan bahwa Selat
Malaka sudah dilalui oleh pedagang-pedagang Muslim dalam pelayaran mereka ke Asia Tenggara
dan Timur pada abad VII dan VIII M. Daya menduga bahwa pada abad-abad tersebut sudah ada
masyarakat Islam di Sumatera. Berbeda dengan pendapat di atas, Ismail Ya’koeb (1956)
memperkirakan agama Islam masuk ke Minangkabau melalui dua jalan.
1) Jalur pertama dari Selat Malaka melalui Sungai Siak dan Kampar, lalu berlanjut ke pusat
Minangkabau. Di zaman kebesaran Malaka sudah ada raja-raja Islam di Kampar dan Indragiri. Dari
sinilah masuknya agama Islam ke bagian Timur Minangkabau dan seterusnya menyusup ke
pedalaman.
2) Jalur yang kedua adalah dari Aceh masuk melalui pesisir barat Sumatera terus ke Ulakan
Pariaman, yang pada waktu itu merupakan pelabuhan Aceh terpenting di Minangkabau, terutama
pada zaman Sultan Iskandar Muda (16071636).
Walaupun Aceh diduga sudah memeluk agama Islam sejak dini, namun bukti sejarah tertulis yang
pertama di Aceh adalah batu nisan yang ditemukan di Samudra, Muara Sungai Pase yang
berangka tahun 1292 M. Dari batu inilah diketahui adanya Kerajaan Samudra Pasai yang sejak
zaman pemerintahan AlMalikus Shaleh telah memeluk Islam. Menurut catatan Ibnu Batutah yang
singgah di Pasai pada awal abad ke- 14, sebagaimana dikutip Munir (1993), raja Al-Malik Az-Zahir
adalah raja yang aktif menyebarkan Islam ke Minangkabau.
Mereka diduga beraliran Syi’ah, feodal, dan bangsawan. Diperkirakan pula raja yang prtama di-
Islam-kan di Minangkabau adalah raja Sumpurkudus yang kemudian disebut Raja Ibadat. Buchari
(1981), menerima pendapat bahwa agama Islam memasuki daerah pedalaman Minangkabau
melalui daerah Pariaman, lebihlebih setelah Aceh berkuasa di pesisir Barat Minangkabau mulai
abad ke-16, yaitu sesudah jatuhnya Malaka pada tahun 1511 ke tangan Portugis. Sejalan dengan
penguasaan Aceh atas daerah Pesisir, muncullan kota-kota pelabuhan penting di Minangkabau,
yaitu Pariaman, Tiku, Padang, Indrapura, Painan, Salido, Batangkapas, dan lain-lain.
Mengenai cara masuknya agama Islam ke Minangkabau, ada yang berpendapat bahwa orang
Minangkabau adalah pelaku aktif. Sebagai sukubangsa dengan tingkat mobilitas yang tinggi, pada
waktu itu sudah banyak di antara mereka yang mengadakan hubungan dengan Malaka. Mereka
menghiliri Sungai Kampar dan Sungai Siak dan kemudian berlayar menuju Malaka.
Di Malaka mereka kemudian memeluk Islam, karena tertarik dengan ajaran dan pola hidup orang
Islam yang mereka temui. Sewaktu pulang ke Minangkabau, mereka membawa dan
memperkenalkan agama baru itu kepada kerabatkerabatnya di kampung halaman. Karena agama
Islam yang datang ke Minangkabau melalui daerah Siak, sampai sekarang di Minangkabau,
terutama di daerah Darek, dikenal istilah “Orang Siak” sebagai sebutan terhadap pelajar-pelajar
madrasah atau orang yang dianggap alim atau shaleh. Mereka bermazhab Syafi’i, bersifat alim,
sederhana, dan hemat.
1) Tahap pertama berlangsung melalui jalur perdagangan yang terjadi antara penduduk lokal dan
para pelaut Muslim asal Arab, Persia, dan Gujarat. Mereka tidak hanya berniaga, tetapi juga
menyampaikan ajaran Islam. Bahkan, sebagian di antaranya menikah dengan perempuan
setempat. Islam dinilai berkesesuaian dengan falsafah adat Minangkabau yang memang sudah
mengakar lama saat itu.
2) Tahap kedua berlangsung sekira abad ke-15 di sekitar pesisir barat Minangkabau. Kali ini,
dakwah Islam terjadi dengan perantaraan para saudagar Aceh. Memang, daerah di ujung Pulau
Sumatra itu lebih dahulu menerima risalah Islam. Pada tahap inilah dakwah Islam berkembang
pesat dan lebih sistematis dalam menjangkau seluruh penduduk Minangkabau.
3) Tahap ketiga ditandai dengan perkembangan Islam dari daerah rantau (pesisir) ke darek
(dataran tinggi).
4) menerima Islam karena di sanalah para pemangku adat memegang peran dalam akulturasi
kebudayaan Hindu-Buddha (Jawa) yang diinisiasi Kerajaan Pagaruyung.
Rumah tempat mengaji adalah rumah keluarga yang disediakan untuk tempat anak-anak mengaji. Guru
mengaji biasanya salah seorang anggota rumah bersangkutan atau guru lain yang didatangkan mengajar
ke situ dan dibantu oleh murid yang sudah agak lanjut kajinya. Anak-anak yang belajar mengaji biasanya
disebut anak mengaji, terdiri dari laki-laki dan perempuan. Hanya kelompok duduk mereka dipisahkan,
walaupun dalam ruang yang sama, tanpa tabir. Belajar mengaji biasanya tiap malam sehabis shalat
Maghrib sampai sekitar pukul 9 malam.
Sesuai mengaji, umumnya anak anak pulang ke rumah masing-masing, tetapi ada juga yang tidur di
rumah mengaji itu, paginya baru pulang. Mengaji di surau tidak berbeda dengan mengaji di rumah
mengaji. Hanya anak mengaji di surau lebih banyak, dan pengaturan kelompoknya tidak hanya laki-laki
dan perempuan, melainkan juga diadakan pengelompokan menurut tinggi rendah kaji.
Sebagaimana sudah dikemukakan di atas, bahwa penyiaran agama Islam kepada rakyat Minangkabau
sudah lebih intensif dilakukan oleh ulama-ulama Aceh bersamaan waktunya dengan penguasaan pantai
barat Sumatera oleh Aceh pada akhir abad ke-16 dan awal abad ke-17. Pada waktu itu pusat-pusat
perdagangan di pantai Barat Sumatera dikuasai oleh Aceh, dan daerah itu menjadi perantara masuknya
pengaruh Islam ke pedalaman Minangkabau (Martamin, 1986).
Setelah Islam masuk ke Minangkabau, agama ini tidak serta merta menjadi agama masyarakat. Menurut
A.S. Harahap (1951), Islam berkembang di Minangkabau secara perlahan-lahan. Cara ini dilakukan
karena tidak mudah mengubah keyakinan suatu masyarakat dengan cepat, apalagi Islam masuk ke
Minangkabau dengan cara damai, bukan dengan paksaan. Para mubaligh menyebarkan Islam di
Minangkabau dengan jalan menanamkan budi dan memperlihatkan akhlak yang baik kepada
masyarakat.
Masyarakat Minangkabau yang terkesan dengan sifat-sifat mubaligh Islam itu kemudian
mengikutinya. Selanjutnya, setelah mempelajari Islam banyak pula penduduk Minangkabau yang
ikut menyebarkan Islam ke daerah-daerah lainnya di Nusantara dengan jalan yang lebih baik dan
teratur, seperti yang terjadi kemudian ketika Datuk Ri Bandang dan Datuk Ri Patimang
menyebarkan Islam di Makassar. Kerajaan Aceh yang selama berkuasa di sepanjang pesisir Barat
Minangkabau di samping membawa misi politik juga membawa misi agama (Harahap, 1951). Pada
masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda, agama Islam berkembang pesat di Aceh sehingga
mendapat julukan sebagai Serambi Mekkah. Menurut riwayat, seorang ulama sufi penganut
thariqat Naqshabandiyah dari Aceh yang berkunjung ke Pariaman, sempat mnetap di Luhak Agam
dan Lima Puluh Kota.
Kemudian Syekh Burhanuddin, murid Syekh Abdurrauf Singkil dari Aceh, seorang penganut thariqat
Syattariyah, datang dan bermukim di Ulakan Pariaman. Dalam usaha meresapkan ajaran Islam, Syekh
Burhanuddin lebih menujukannya kepada anak-anak yang masih dalam keadaan “bersih” dan mudah
dipengaruhi.
Syekh Burhanuddin mengajak anak-anak bermain di halaman surau yang didirikannya. Syekh
Burhanuddin sendiri ikut pula bermain bersama-sama dengan anak-anak itu. Setiap memulai permainan
Syekh Burhanuddin selalu mengucapkan bismillahirrahmanirrahim dan bacaan doa-doa lainnya.
Mendengar ucapan Syekh Burhanuddin anak-anak merasa heran dan ingin mengetahui apa yang
telahdibacanya.
Pada saat itulah Syekh Burhanuddin menunjuki anak-anak akan kebesaran Allah, Tuhan yang
seharusnya disembah, yang menciptakan dan mengatur alam semesta (Boestami, 1981). Melalui
bermain bersama ini, tanpa disadari ajaran Islam sudah mulai tertanam di lubuk hati anak-anak
itu. Tingkah laku dan budi pekerti anak-anak sedikit demi sedikit diperbaiki menurut moral Islam.
Syekh Burhanuddin ini kemudian disampaikan olehanak-anakitu kepada orangtua mereka di rumah
masing-masing. Orangtuamerekapun menerima pula dengan baik ajaran Islam yang mereka
dengardariSyekh Burhanuddin. Akhirnya mereka menjadi pemeluk Islam yangtaatmenjalankan ibadah.
Bersama dengan SyekhBurhanuddin mereka melakukan shalatberjama’ah dan belajar membaca ayat
suci AlQur’an.
Pengaruh Syekh Burhanuddin di daerah pedalaman Minangkabau menjadi besar sekali. Para tuanku dan
guru agama terpenting di daerah Darek pada akhir abad ke-18 hampir semuanya belajar di Ulakan. Di
Pamansiangan, Luhak Agam, kemudian didirikan pula pusat pengajian aliran Syattariah dengan
pemimpinnya Tuanku Pamansiangan. Meskipun demikian, dari Luhak Agam masih ada yang menuntut
ilmu ke Ulakan kepada Syekh Burhanuddin. Salah seorang di antaranya yang terpandai adalah Tuanku
Nan Tuo yang biasa dikenal dengan Tuanku Koto Tuo (Martamin, 1986).
Perkembangan Islam di Minangkabau pada masa itu diwarnai pula dengan perbedaan pendapat yang
cukup mendasar sampai memasuki awal abad ke-19, ketika di Pandai Sikek muncul Kaum Paderi atau
Kaum Putih yang menganut paham Wahabi di 12 bawah pimpinan Haji Miskin yang baru pulang dari
Mekkah. Pengikut Haji Miskin adalah murid-murid Tuanku Koto Tuo yang memang sudah berkeinginan
untuk mengadakan pembaharuan di Minangkabau.
Haji Miskin dan para pengikutnya mendapati praktik-praktik keagamaan di Minangkabau yang
sangat mengkhawatirkan, seperti guru-guru agama masih berkhidmat kepada kuburan yang dianggap
keramat, sabung ayam menjadi menu harian, judi merajalela, dan sebagainya.
Gebrakan yang dilakukan Kaum Paderi dimulai dengan menata kekuatan pada tahun 1801-1806. Tahun
1826-1837, mereka mulai menebar pengaruh, termasuk dengan cara kekerasan, yang membawa mereka
dalam perselisihan panjang dengan kaum adat. Belanda yang sedang berusaha meluaskan pengaruhnya
mendapatkan jalan dengan mendukung Kaum Adat, sehingga gerakan agama kemudian berubah
menjadi perlawanan menantang masuknya pengaruh dan kekuasaan Belanda di Minangkabau yang
terkenal dengan Perang Paderi. Meskipun pada akhirnya Kaum Paderi kalah, namun banyak perubahan
yang terjadi dalam praktik keagamaan di Minangkabau dan Minangkabau pun memasuki fasebaru.
BAB 3
Menurut Dr. Mochtar Naim, adat minangkabau sebelum bersentuhan dengan islam adalah adat yang
praktis, tidak mengenal ajaran “Kosmologi- Okultisme” yaitu pengetahuan tentang pengkajian asal
usul kejadian Bumi, serta kajian tentang kekuatan ghaib, dan bahkan tidak mengenal ajaran
“Spiritisme-Animisme”apapun.
Ajaran agama Islam tidak berdiri sendiri, dengan menghindari persinggungan dengan lalu lintas ide
atau pemikiran yang ada di sekitarnya. Bahkan, ajaran Islam mengkoreksi pemikiran yang
berkembang tidak sesuai kepada kondisi positif. Interaksi ini mengharuskan pemahaman ajaran
agama Islam tidak lagi secaraeksklusif.
Kedatangan Islam pada medium 1500-an tidak menunjukkan pertentangan yang kuat antara adat
dan Islam. Menurut falsafah hidup masyarakat Minangkabau, adat dan Islam berjalan beriringan,
seiya sekata tanpa harus adanya perbenturan karena ketidaksesuaian antara adat dan syariat.
Hal ini dikarenakan adat berfungsi sebagai institusi kebudayaan yang berlaku dalam masyarakat setelah
mendapat legitimasi dan syariat. Hal ini tercermin dari falsafah: Adat Basandi Syarak, Syarak
Basandi Kitabullah, Syarak Mangato, Adat Mamakai, Camin nan Indak Kabua, Palito nan Indak
Padam.
Pengalaman kompromistis masyarakat Minangkabau atas masuknya nilai baru telah mendidik
masyarakat dalam mengelola konflik. Norma adat dan Islam didudukkan dalam timbangan
praksismasyarakat.
Adat dan agama menimbulkan efek positif, Islam dapat masuk dengan mudah, diterima dan
berkembang di Minangkabau dengan damai tanpa ada pergeseran nilai dan norma yang berarti
karena keduanya dapat dipadukan dandisesuaikan.
Setelah masuknya Islam ke Minangkabau, maka adat dan budaya masyarakat melebur dan menyatu
dengan ajaran Islam. Sebab agama Islam tidak menghapuskan adat, bahkan menyempurnakan dan
memperkokohnya, selama tidak bertentangan dengan prinsip ajaran Islam. Pembawa Islam ke
Minangkabau dengan cara persuasif dan damai melalui perdagangan dan dakwah yang bijak,
sehingga dapat diterima masyarakat dengan cepat. Dengan demikian adat dan budaya
masyarakat Minangkabau saling menunjang dengan ajaran Islam dan semakin kokoh serta
mendarah daging dalam kehidupan masyarakat.
Agama Islam menyebabkan pembauran adat dan agama dalam masyarakat Minangkabau. Walaupun
pernah terjadi konflik bahkanberlanjut dalam bentuk peperangan (Perang Paderi) antara radikalisme
dari kelompok Paderi yang dikenal dengan kelompok “Harimau Nan Salapan” (Harimau yang
delapan) dengan kalangan kaum adat, namun integrasi adat dan agama Islam tetapberjalan.
Perang Paderi sendiri akhirnya reda setelah diadakan perjanjian Marapalam pada 1920-an.
Perjanjian ini merupakan kompromistis kaum adat dan kaum Paderi sehingga muncul prinsip
Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah. Kepaduan adat dan agama berlangsung hingga
perang terhadap Belanda usai. Kepaduan itu membangun karakteristik masyarakat Minang yang
terendap dalam etika pergaulankeseharian.
Pada waktu perang Paderi, kaum adat mengalami kekalahan dan menyadari kesalahannya (diadu
domba oleh Belanda), terjadilah kesepakatan antara kaum agama (Paderi) dengan pemuka adat
yang terkenal dengan sebutan “Sumpah Sati Bukik Marapalan” yang berbunyi “ Adat basandi
syarak, syarak basandi kitabullah”. Semenjak itu sistem adat harus sesuai dengan ajaran agama
Islam. Pembauran dan perubahan tersebut tidaklah bertentangan dengan prinsip dasar adat
Minangkabau, yaitu alam takambang jadi guru. Sebab adat Minangkabau itu terbuka terhadap
perubahan selama tidak bertentangan dengan prinsipdasarnya.
Adat dengan agama berjalan dengan baik, seperti acara balimau menyambut bulan Ramadhan.
Balimau merupakan varian adat yang berbaur diMinangkabau. Mensucikan badan menyambut
bulan Ramadhan merupakan kebiasaan kolektif masyarakat Minangkabau yang telah membudaya.
Dalam perkembangan akhir-akhir ini, tradisi balimau telah bercampur antara hak dengan yang bathil,
suruhan dengan larangan dan ibadah dengan maksiat, sehingga menimbulkan dampak negatif.
Melestarikan budaya balimau masyarakat Minangkabau pada awalnya sejalan dengan dakwah
Islam yaitu untuk menggairahkan menyambut bulan Ramadhan dan mempererat ukhuwah
sesama umat serta membersihkan diri. Akan tetapi karena pengaruh budaya lain, maka kultur asli
dapat dikalahkan dan bahkan berlawanan dengan norma adat danagama.
Jika balimau adalah suatu pembauran adat dengan agama Islam di Minangkabau, ada juga
pertentangan hukum adat dengan Islam di Minangkabau. Pertentangan itu adalah menikah sesama
suku. Nagari Minangkabau adalah nagaro yang beradat. Dalam Minangkabau, tidak diperbolehkan
menikah satu suku karena dianggap menikahi saudara (dunsanak) sendiri walaupun dalam Islam
tidak ada peraturan seperti itu. Dalam Islam, yang ada hanya larangan menikah dengan orang bertali
darah. Tetapi, peraturan adat lebih dipegang oleh masyarakat daripada hukum agama.
Di nagari Minangkabau, jika seseorang melanggar aturan adat maka kemungkinannya seseorang itu
bisa dibenci bahkan dikucilkan dalam masyarakat. Selain dibenci dan akan dikucilkan, seseorang
yang melanggar aturan adat dinagari Minang akan mandapatkan malu dan menjadi perbincangan di
masyarakat, atau bahkan harus meninggalkan nagari Minang dan tidak akan akan dianggap lagi
sebagai masyarakatMinang.
Peraturan adat di Nagari Minang sangat kental di tengah masyarakat, namun tidak semua
masyarakat di Nagari Minang mengutamakan aturan adat dalam segala hal termasuk dalam hal
perkawinan, karena masyarakat Minangkabau juga masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai
agama, sehingga terkadang jika menurut mereka bertentangan dengan adat tetapi tidak
bertentangan dengan hukum Islam maka mereka akan tetap melaksanakan hal yang
merekainginkan.12
Sifat adat Minangkabau dinamis dan dapat bertahan lama adalah karena melaksanakan ketentuan
alam terkembang jadi guru. Bila dikaitkan dengan hukum Islam, sifatnya hampir sama yaitu
universal dan dinamis, sehingga dapat menyahuti dan dapat dipedomani oleh setiapzaman.
Ajaran budi pekerti yang baik berfungsi memberikan arah yang baik dalam kehidupan masyarakat
untuk mencapai segala tujuan yang baik, dan mewujudkan perdamaian agar tercapainya kebahagiaan
dan kemakmuran yang diridhai oleh Allah SWT. Dalam menghadapi setiap masalah,
masyarakat dituntut untuk membiasakan diri melakukan raso jo pareso (mempertajam rasa
kemanusiaan atau hati nurani), dengan melakukan penelitian yang cermat untuk mendapatkan
kebenaran yang hakiki dan tidak tergesa-gesa dalambertindak.
Masyarakatnya dikenal kuat dalam memegang ajaran adat Minangkabau dan agama Islam.
Mereka mempunyai falsafah “Adat basandi syara', syarak basandi kitabullah”. Ikrar ini dicetuskan
di Tanah Datar tepatnya di Bukit Marapalam Puncak Pato Kecamatan Lintau Buo dan lebih
populer dengan sebutan “Sumpah Satie Bukit Marapalam” yang berarti bahwa ajaran Islam telah
menjadi fundamental dalam kehidupan masyarakat Minang yang juga sejalan dengan ajaran
adatistiadat.
Adat dan syara' bersumber dari dua sumber budaya yang berbeda, tetapi keduanya secara
fundamental, memiliki kesamaan dan kesejalanan dalam cara pandang. Adat di satu sisi adalah
ajaran kehidupan yang bersifat filosofi kultur, yang menawarkan kearifan-kearifan budaya dengan
cara berguru pada alam .yang bersifat kontekstual dengan konsep“Alam Takambang Jadi Guru”. Syara'
adalah norma dan ketentuan agama yang berorientasi keimanan mengacu pada kitab suci Al-
Qur’an dan Hadist Rasulullah SAW yang bersifat absolut. Falsafah adat memberikan nilai
tambah terhadap psikologis bahwa adat mengacu pada ajaran budi dan kearifan budaya,
sementara ajaran Islam memberi isi kepada hal-hal yang bersifatspiritual.
BAB 4
A. Gerakan Pemurnian
Munculnya berbagai macam krisis keagamaan yang dialami oleh umat Islam Minangkabau
pada saat itu, pada awalnya tidak ada seorang ulama pun yang berani campur tangan memperbaiki
semuanya itu. Kalaupun ada tidak berpengaruh secara siginifikan, karena ulama bagi masyarakat
cenderung dianggap tidak berwibawa lagi, bahkan mungkin sebagian mereka juga ikut serta terlibat di
dalamnya.Namun, dengan kembalinya tiga orang haji dari Makkah, yaitu Haji Sumanik, Haji Piobang
dan Haji Miskin telah membawa perubahan yang cukup signifikan.Kepulangan mereka itu terjadi
sekitar tahun 1803 M. Ketiga haji tersebut dipengaruhi oleh paham Wahabi.
Wahabi yaitu paham dan gerakan yang dipelopori oleh Muhammad bin Abd al Wahab(1703-1787M.).
Gerakan ini sendiri dikenal dengan nama Wahabiah, yaitu sebuah gerakan radikal dan keras yang
berusaha untuk membersihkan Islam dari segala unsur yang menodainya, terutama paham tauhid yang
menyimpang.
Tampaknya, ketiga orang Haji tersebut sepakat untuk berbuat seperti paham gerakan Wahabi
yang telah mereka saksikan sendiri itu. Mereka lakukan tindakantindakan keras untuk memperbaiki
semua keadaan dan jika perlu dengan cara menumpahkan darah. Karena tindakan-tindakan keras itu,
mereka mendapat tantangan yang hebat pula dari pihak adat dan penganut tarekat yang dibantu oleh
pasukan Belanda, hingga akhirnya terjadilah peperangan yang disebut dengan Perang Paderi.
Gerakan yang dimotori oleh tiga haji dengan pengikutnyamemunculkan sebuah varian baru
atau kelompok pemurni atau pembaharu di Minangkabau, yang disebut Paderi. Dalam pandangan
Kaum Paderi ini, umat Islam di Minangkabaubaru sekedar namanya menganut Islam, tetapi belum
benar-benar mengamalkan ajaran Islam yang hakiki. Gerakan Paderi itu sendiri ada yang
mengelompokkan menjadi tiga periode, yang di dalamnya terdapat berbagai varian konflik dan
integrasi sekaligus.Periode pertama yaitu 1809-1821. Pada periode ini adalah usaha pembaharuan
dalam bentuk pemurnian (pembersihan) oleh Kaum Paderi terhadap penghulu adat dan masyarakat
yang menyimpang dari ajaran atau syariat Islam.Artinya, pada periode ini terjadi konflik utama antara
Kaum Paderi (ulama) dengan penghuluadat.
Periode kedua adalah pada tahun 1821-1832. Periode ini adalah peperangan dan pertempuran
antara Paderi dan Kolonial Belanda, yang dibantu oleh kaum penghulu adat.Artinya pada periode
kedua ini telah terjadi kanflik sekaligus integrasi.Konflik utama antara Paderi dan Kolonial Belanda
yang ingin menguasai Minangkabau, sedangkan integrasi terjadi antara Kolonial Belanda dan kaum
adat (penghulu) yang ingin mempertahankan eksistensi sebagai penguasa lokal.Periode ketiga yang
terjadi pada tahun 1832-1837. Sebagai periode terakhir dari Paderi, disini konflik terjadi antara Paderi
yang beritegrasi dengan kaum adat melawan penjajahan Belanda.Pada periode terakhir ini walaupun
arus utama konfliknya tetap antara Paderi dengan Belanda tetapi arus integrasinya sudah berbeda, yang
semula antara golongan adat dan Belanda, sekarang integrasinya malah terjadi antara Paderi dan kaum
adat.
Pembaharuan yang dilakukan oleh golongan Paderi ini disebut pemurnian gelombang pertama
di Minangkabau, yang berusaha untuk mengembalikan ajaran dasar Islam, dengan menghilangkan
segala tambahan dalam agama yang datangnya kemudian, dan dengan melepaskan penganut Islam dari
jumud, kebekuan dalam masalah dunia. Namun, dalam sejarah, gelombang pertama gerakan
pemurnian Islam di Minangkabau ini berakhir dengan kekalahan, kalau tidak ingin menyatakan
kegagalan.Azra menyatakan secara gamblang bahwa ketika Perang Paderi berakhir 1837, jelas gerakan
Paderi secara substansial tidak berhasil mengubah struktur sosial, kultural dan politik di
Minangkabau.Namun, penting dicatat ia berhasil memperkuat dan mempebesar pengaruh agama dalam
sistem masyarakat Minangkabau.
Setelah gerakan pembaharuan Islam gelombang pertama itu seolaholah terhenti, lebih kurang
70 tahun setelahnya, ternyata muncul kembali gerakan pembaharuan dan pemurnian di awal abad ke-
20. Gerakan yang juga penuh dengan aroma konflik yang disebut sebagai gelombang kedua gerakan
pembaharuan Islam di Minangkabau.Bangkitnya gelombang kedua ini,kemudian dikenali sebagai
―Kaum Muda, yang dikembangkan oleh Syaikh Abdullah Ahmad (1878-1933), Haji Abdul Karim
Amrullah (1878-1949), Muhammad Jamil Jambek (1860-1947), dan lain-lain. Mereka mengadakan
pembaharuan dalam bentuk pranata sosial seperti kegiatan ceramah, pengajian, mendirikan madrasah
dan sekolah-sekolah serta penerbitan majalah-majalah.
Dengan kata lain, kekalahan ataupun kegagalan pembaharuan dan pemurnian gelombang
pertama ini, pada satu sisi telah menyuburkan kemapanan beragama ala kaum tradisional dalam
komunitas kehidupan dan masyarakat Minangkabau.
Tasawuf dan tarekat telah lama berkembang di Indonesia.Keduanya dikembangkan oleh sufi-sufi yang
berasal dari TimurTengah dan AsiaTengah maupun ulama-ulama Nusantara yang belajar tasawuf dan
tarekat di kawasan pusat dunia Islam. Di antaratarekat yang berkembang adalah tarekat Qâdirîyah,
Khalwatîyah, Naqshabandîyah. Kawasan-kawasan Nusantara yang pertama sekali dimasuki oleh
pendakwah-pendakwah Islam adalah Aceh dan pesisir Sumatera Timur (kini Sumatera Utara,) dan kaum sufi
telah memainkan peranan bagi penyebaran Islam dan tradisi tasawuf di daerah tersebut. Di kedua kawasan
tersebut, beberapa tarekat telah tumbuh dan berkembang,terutama tarekat Naqshabandîyah yang
dikembangkan Shaykh Abdul Wahab Rokan diLangkat.
Mengenai tarekat Shaykh Hasan, akan ditelaah jenis tarekat,silsilah spiritual, dan ajaran dalam tasawufnya.
Dari aspek jenis tarekat,diskusi selama ini menegaskan bahwa ia tidak banyak dikenal sebagai seorang sufi.
Ia lebih dikenal sebagai ulama mazhab Shâfi‘îyah dan Ahy‘arîyah.Siradjuddin Abbas sebagai ulama
terkemuka dari organisasi PersatuanTarbiyah Islamiyah (Perti) telah menempatkanShaykh Hasan sebagai
ulama mazhab Shâfi‘îyah abad ke-14 hijriah setara dengan ulama-ulama seperti, Shaykh Ahmad Khathib,
Shaykh Nawawî al-Bantanî, dan KH. M. HasyimAsy‘ari. Berbeda dariAbbas,Tengku Luckman Sinar
menyebut Shaykh Hasan sebagai pengikut tarekat Naqshabandîyah dan Khalwatîyah.Martin van
Bruinessen yang menulisTarekat Naqsyabandiah di Indonesia, tidak menyebut nama Shaykh Hasan,
danhanya menyebut nama Shaykh Abdul Wahab Rokan dan Shaykh Kadirun Yahya sebagai sufi dari
tarekat Naqshabandîyah di Sumatera Utara. Tampak bahwa ia menjadi sosok yang kurang dikenal dalam
bidang tasawuf, meskipun ia memiliki karya-karya dalam bidang tasawuf,dan menganut tarekat
Naqshabandîyah.
Hubungan guru murid tidak membuat Shaykh Hasan memiliki kesamaan pendapat dalam bidang tasawuf.
Gurunya, Shaykh Ahmad Khatib Minangkabawi, dikenal sebagai penentang tarekat
Naqshabandîyah,tetapi ternyata muridnya mendukung tarekat tersebut. Hal ini dapat dimaklumi, sebab
Shaykh Hasan hanya belajar fiqh kepada gurunya tersebut, tetapi tidak dalam bidang tasawuf.
Silsilah Shaykh Hasan dalam bidang tasawuf tidak sejelas silsilahnya dalam bidang hadis, fiqh dan tauhid.
Di Makkah, ia belajar fiqh kepada kepada Shaykh Ahmad Khatib al-Minangkabawi dan Shaykh‘Abdul
Qadiral-Mandil yang merupakan murid Shaykh Sayyid Bakri Syatha’, sedangkan Shaykh Ahmad Khatib juga
belajar kepada Shaykh Sayyid Ah}mad Zaini Dah}lân (w.1886). Dari keduanya,sanad keilmuan Shaykh Hasan
menyambung sampai kepada Imamal-Bukhârî yang menyusun kitab S}ah}îh}al-Bukhârî, dan Abûal-Ha}sanal-
Ash‘arîdanAbûal-Mans}ûral-Mâturidî sebagai dua ulama pendiri teologi Ahlal-Sunnah waal-Jamâ‘ah.
Dari aspek ajaran mistis, sebagai seorang sufi, Shaykh Hasan telah menulis dua karya tasawuf. Kitab pertama
berjudul Tadhkîr al-MurîdînSulûkTa}rîqahal-Muhtadîn.Kitab ini menggunakan bahasa Arab Melayu, terdiri atas
40 halaman, dan diterbitkan oleh penerbit PercaTimur Medan Deli pada tahun 1353 hijriah. Kitab ini
membicarakan masalah tasawuf,adab-adab bagi guru dan murid dalam bidang tasawuf, relasi sharî‘ah, tarekat
dan hakikat, serta zikir-zikir. Kitabtasawuf ini belum pernah ditelaah dan dianalisis oleh para peneliti tasawuf
modern. Kitab kedua berjudul As‘âf al-Murîdîn yang ditulis diMakkah dalam bahasa Arab. Dalam versi
Arabnya, kitab ini berjudulal-Nubdhah al-Lu’lu’iyah. Atas permintaan murid dan kolega, akhirnya kitab
tasawuf yang berbahasa Arab tersebut diterjemahkan ke dalam bahasaArab-Melayu. Dalam kitabTadhkîral-
Murîdîn,ShaykhHasan membicarakan konsep guru spiritual, dan para pelajar tasawuf harus mencari dan
menemukan profil guru tersebut.
Menurutnya,guru ideal hanya disandang oleh para wali (awliyâ’) sebagai pewaris para nabi dan rasul.Ia
menyimpulkan bahwa para sufi (wali) sejati menyadari urgensipemaduan antara sharî‘ah, tarekat, dan
hakikat. Sharî‘ah diartikan sebagai segala hukum Allah, tarekat dimaknai sebagai amalan-amalan tasawuf,
sedangkan hakikat dipahami sebagai segala rahasia sharî‘ah,buah dari pengamalan tarekat,dan ilmu-
ilmudariAllah.Harus disadari bahwa hakikat tidak akan dapat diraih oleh seorang sufi tanpa pengalaman
terhadap sharî‘ah dan tarekat secara konsisten. ShaykhHasan hendak mengungkapkan bahwa seorang guru
diharapkan dapat menguasai dan mengamalkan ilmu sharî‘ah, tarekat dan hakikat demimeraih derajat kaum
wali, sehingga mereka dapat benar-benar menjadi dekat kepada Allah.
Shaykh Hasan menyatakan bahwa seorang guru spiritual harusmemiliki dua hal. Pertama, ia memiliki sifat-
sifat para wali misalnya menjalankan sharî‘ah secara konsisten, menjauhipenjaradankenikmatan dunia,
wara‘, beribadah, berperangai baik, melaksanakanwirid-wirid, puasa, salat, membaca Alquran, bertasbih,
berkhidmad kepada ulama (ahli sufi dan ahli agama), memperbanyak sedekah,memiliki kesempurnaan
ilmu dan memiliki dhawq. Kedua, ia harusmemiliki kompetensi terbaik seperti mampu meraih ilham,
memahami Alquran-hadis dan ijmak ulama, dan memiliki sanad keilmuan secarajelas. Guru ideal tersebut
diharapkan mampu menjauhi murid darikhayalan-khayalan, ilusi-ilusi, keyakinan sesat, pikiranjahat,
tipudaya, dan sifat zindik.
Seorang tipikal guru ideal tersebut dan menjauhi guru-guru bertabiat buruk. Shaykh Hasan pernah
menjelaskan tentang konsep murid (sâlik).Pertama, setiap murid harus mencari dan menemukan guru
idealdengansifat-sifat parawali,sehingga murid tersebut dapat memasrahkan diri kepada guru tersebut
seperti mayat di hadapan bilalmayat. 48Kedua, setiap murid harus menghiasi diri dengan mengamal-kan
sharî‘ah sehingga hatinya dicahayai oleh cahaya sharî‘ah.
Dapat disimpulkan bahwa Shaykh Hasan merupakan pengikut tarekat Naqshabandîyah berdasarkan karya
dan pengakuannya. Sebab itulah, ia dapat disejajarkan dengan Shaykh Abdul Wahab Rokan diLangkat
dan Shaykh Kadirun Yahya di Medan. Sebagai pengikut tarekat, ia sangat menghormati sharî‘ah, sebab
diketahui bahwa ia lebih mengembangkan mazhab fiqh Shâfi‘îyah dari pada tasawuf dan tarekat di Sumatera
Timur, dan menerima jabatan mufti Kerajaan Deliyang dipercayakan oleh Sultan Deli kepadanya. Ia
bahkan banyak memberikan kontribusi bagi pengembangan al-Was}lîyah dan al-Ittihâ}dîyah yang merupakan
organisasi yang setia terhadap mazhab Shâfi‘i bahkan tidak mengembangkan dan mendukung tasawuf
dantarekat tertentu sebagaimana Nahdlatul Ulama. Ia bahkan pernah menjabat Ketua Majlis Fatawaal-
Jam‘iyahal-Was}lîyah yang membidangi masalah hukum Islam dalam organisasial-Wasl}îyah.
Shaykh Hasanuddin bin Muhammad Maksum bin Abi Bakar al-Delial-Sumatrawi dilahirkan di Labuhan Deli,
Sumatera Timur, pada hariSabtu pada tanggal 17 Muharram 1301 H, bertepatan dengan tahun1884
M.Hasan benar-benar mewarisi bakat dari sang ayah yangbernama Shaykh Muhammad Maksum yang
dikenal sebagai ahlidalam bidang tasawuf,bahkan merupakan seorang hartawan yang berpangkat Syah
bandar bergelar Datuk.Sejak kecil Hasan telah menampakkan sifat zuhud dan ilmuwan,meskipun berasal
dari keluarga hartawan.
Shaykh Muhammad Maksum telah menunjukkan tanggung jawab sebagai orangtua dengan memberikan
pendidikan terbaik bagi Hasan.Menilai bahwa pendidikan sekolah dan madrasah sangat penting, sejak berusia
tujuh tahun Hasan dimasukkan ke sekolah Inggris pada pagihari, dan madrasah pada sore hari.Sebagai
seorang pelajar, Hasan mengikuti kedua sistem pendidikan tersebut dengan baik dan meraih prestasi
memukau,dan harta orang tuanya ia gunakan sebagai sarana belajar,bukan untuk meraih kesenangan
duniawi.
Sebagai pelajar, Hasan telah mampu menemukan bakatnya dan memberikan pilihan tepat tentang masa
depannya.Setelah menyelesaikan studi dan meraih prestasi, Mr. Henry sebagai guru sekolah
menganjurkan Hasan melanjutkan studi ke Singapura,Hasan memutuskan untuk melanjutkan studi agama
ke Makkah dengan pertimbangan bahwa Sumatera Timur masih membuthkan ulama.
Pada tahun 1894, Hasan akhirnya melanjutkan studi agama keMakkah, dan minat untuk mendalami ilmu-
ilmu agama sangat tinggi,padahal perjalanan dari Labuhan (SumateraTimur) menuju Makkahvia kapal laut
saat itu membutuhkan waktu selama tiga bulan dan paling cepat 75 hari.Hasan memiliki keyakinan
tinggi terhadap kewajiban mengkaji agama Islam, dan meskipun kedua orang tuanya sangat kaya tidak
membuatnya berubah pikiran, sebab Islam telah mengajarkan bahwa ilmu lebih mulia dari pada harta.
Tidak kurang dari 20 tahun,Hasan menimba ilmu-ilmu agama di Haramain (Makkah dan Madinah),dan
tidak sedikit pun merasa menyesal dengan pilihan hidup tersebut. Selama di Haramain,ia belajar ilmu-
ilmu agama Islam kepada para ulama seperti Shaykh ‘Abdal-Salâm,Shaykh AhmadKhatibal-
Minangkabawi,Shaykh Ahmad Hayat, Shaykh ‘Abdal-Hamîdal-Quddûs, Shaykh ‘Utsmân Tanjung Pura,
Shaykh ‘Abdal-Qâdiral-Mandilî, Shaykh Saleh Bafadil,Shaykh Sa‘id Yamanî, Shaykh ‘Abdal-Karîm
Dgestanî, Shaykh ‘AliMalikî, Shaykh Muhammad Khayyath, dan Shaykh Âmîn Rid}wân.
Dalam usia 32 tahun, kedudukan sebagai guru diMakkah menjadi indikasi bahwa Hasan diakui sebagai
ulama berbakat,sedangkan keberadaan empat karya berbahasa Arab tersebut menjadi bukti kepakaran nya
dalam bidang tauhid, fiqh dan tasawuf. Pada periode ini, ia telah menjadi seorang Shaykh, ulama
terkenal diMakkah,dan memiliki sejumlah murid diMasjidal-Haram.
Hasan mendapatkan kepercayaan dari Shaykh Ahmad Khathib al-Minangkabawi (mufti Kerajaan Hijaz dan
Imam Mazhab Shâfi‘î diMasjidal-Haram)sebagai pengajar diMasjidal-Haram.Banyakulama-ulama
Nusantara pernah berguru kepada Shaykh Ahmad Khathib,dan diantara mereka adalah Shaykh
M.HasyimAsy‘ariyangmendirikan organisasi Nahdlatul Ulama dan KH Ahmad Dahlan yang mendirikan
organisasi Muhammadiyah.Sanadintelektual Shaykh Ahmad Khatib bersambung sampai kepada pendiri
dan ulama-ulama mazhab Shâfi‘îyah dan Ash‘arîyah. Sebab itulah, Hasan Maksum,dan murid-muridnya dari
organisasial-Wasl}îyahjuga memiliki hubungan intelektual dan spiritual dengan ulama-ulamamazhab
Shâfi‘îyah dan Ay‘arîyah.Fakta tersebut membuat al-Washlîyah dapat dikatakan sebagai benteng
mazhab Sunni diIndonesia.Sebagai guru diMasjidal-Haram,Hasan kerap berinteraksi dengan ulama-
ulama Makkah dari berbagai bangsa untuk menyelesaikan persoalan-persoalan keagamaan yang terjadi di
dunia Islam, khususnya Nusantara.
Shaykh Hasan diakui sebagai ulama, dan studi agama selama 20tahun (1894-1916) di Makkah berhasil
mengantarkannya menjadi pemuka kaum Muslim di Sumatera Timur. Sebagai ulama, ia menjadi ulama
zuhud dan tidak menyukai popularitas; tidak mengincar jabatan publik; produktif menulis karya-karya
akademik dalam berbagai bidang ilmu keislaman;mendidik ulama-ulama muda berbakat; mendakwah
kan Islam melalui organisasi;menang kalresistensi dari musuh-musuh Islam;dan menimba ilmu sampai
akhir hidup.
Meskipun sudah menjadi ulama terkemuka di Masjid al-Haram,Shaykh Hasan tetap menjalani kehidupan
zuhud dan tidak menyukai popularitas. Setelah menimba ilmu selama 20 tahun di Makkah, dan menjadi
guru di Masjid al-Haram, Shaykh Hasan kembali pulang keSumatera Timur pada tahun 1916, dan memulai
kehidupan baru ditanah kelahiran. Sampai tahun 1925, ia mulai mengajar beberapa orang murid, tetapi
tidak menjadi figur terkenal dan masyarakat Muslim Sumatera Timur tidak mengenalnya sebagai ulama
terkemuka.
Shaykh Hasan tidak memanfaatkan keulamaannya sebagai alat untuk mencari dan mengejar jabatan
publik. Berkat testimoni dariShaykh‘Abdal-Qâdiral-Mandilî,akhirnya masyarakat Muslim Sumatera
Timur menyadari kelalaian mereka selama ini, karena tidak sadar bahwa SumateraTimur memiliki seorang
ulama terkenal dari Makkah. Sejak pertemuan itu, pelajar-pelajar agama dari seantero Sumatera Timur
mulai mendatangi dan menimba ilmu kepada ShaykhHasan, dan kondisi ini mendapatkan perhatian dari
Sultan KerajaanDeli yang bernama Sultan Makmun al-Rasyid yang meminta Shaykh Hasan menjadi ulama
Kerajaan Deli. Shaykh Hasan tidak langsung menerima tawaran tersebut,dan setelah berpikir beberapa
lama serta dengan alasan bahwa Sumatera Timur membutuhkan benteng agama,akhirnya ia menerima jabatan
tersebut. Shaykh Hasan diangkat olehSultan Deli, Sultan Perkasa Alamsyah, menjadi Mufti Kerajaan Deli,
Penasehat (adviseur) di Mahkamah Kerapatan Sultan Deli dalambidang Hukum Islam, dan Imam
sekaligus Khatib Masjid Raya al-Mashun.Seperti kebanyakan fukaha klasik, ia sempat menolak jabatan
mufti karena takut kebebasan akademiknya semakin terbatas,meskipun belakangan ia menerima jabatan
tersebut dengan alasan bahwa Kerajaan Deli membutuhkan seorang benteng agama.
Sebagai ulama, Shaykh Hasan berhasil memainkan peran sebagai pelestari tradisi Ahl al-Sunnah wa al-
Jamâ‘ah, dan salah satu wujudnya adalah kesuksesannya menjadikan murid-muridnya sebagai ulama masa
depan,bahkan menjadi ulama terkemuka bagi tiga organisasi Islam seperti al-Was}lîyah, al-Ittih}âdîyah, dan
Nahdlatul Ulama.
Shaykh Hasan menilai bahwa Islam akan dapat dikembangkanoleh umat Islam melalui lembaga-lembaga
keagamaan secara kolektif.Sebab itulah, ia ikut berpartisipasi melestarikan tradisi Islam melalui dua organisasi
Islam asal SumateraTimur:Al-Jam‘îyahal-Was}lîyah danal-Ittih}âdîyah.Dalam organisasial-Was}lîyah,ia pernah
menjadi Penasehat al-Wasl}îyah(1932-1937)dan Ketua Majelis Fatawaal- Wasl}îyah(1933-1937).Ia juga menjadi
Penasehat Badan Chazanatul Islahijahal-Was}lîyah.Pokok-pokok pikiran mendirikan badan ini adalah
memperhatikan usaha al-Was}lîyah yang akan sangat membutuhkan finansial seperti pemeliharaan anak yatim
dan miskin,dakwah Islam,penyantunan para muallaf dan pendirian masjid-masjid madrasah madrasah dan
kursus-kursus untuk umat Islam.
Pendirian badan ini bertujuan untuk mencari dana untuk merealisasikan usaha-usahaal-Was}lîyah tersebut.
Dalam organisasi al-Ittihâ}dîyah,ia pernah dipercaya sebagai Penasehat Pengurus Besaral-Ittih}âdîyah. Ia telah
memberikan kontribusi bagi kemajuan kedua organisasi tersebut. Shaykh Hasan juga berhasil memainkan
peran sebagai benteng agama dari resistensi musuh-musuh internal dan eksternal umat Islam.Ia telah
melestarikan tradisi Ahl al-Sunnah waal-Jamâ‘ah dan pernah memfatwakan kesesatan aliran Ahmadiyah
diSumatera Timur, bahkan pernah menghadapi dan berhasil mematahkan gugatan Dr.Zwemmer,seorang
orientalis,terhadap agama Islam.Dengan demikian,ia memiliki andil dalam melawan penetrasi intelektual
dari mazhab Ahmadiyah dan orientalis terhadap kebenaran Islam selama erakolonial Belanda.
Shaykh Hasan tidak pernah menghentikan kegiatan akademik,mengajar dan belajar.Dengan berbagai
kesibukan, ia terus mengajar umat Islam secaraformal maupun non-formal, terutama di Madrasah
Hasaniyah danMasjidRayaal-Mashun,terutama dalam bidang fiqh dengan menggunakan kitab-kitab
standar dalam mazhab Shâfi‘îyah. Ia juga tidak pernah puas mendalami ilmu-ilmu agama,meskipun telah
menduduki jabatan tertinggi dalam bidang keagamaan,selalu membaca kitab dan mendiskusikan masalah-
masalah agama sampai menjelang subuh, dan akhirnya tradisi akademik tersebut membuatnya jatuh sakit
selama enam bulan.Menurut dokter,kebiasaan membaca sampai menjelang subuh membuat urat yang
menghubungkan keotaknya tertutup, dan akhirnya ia meninggal dunia pada usia 53 tahun,Kamis, 24 Syawal
1355 H/7 Januari 1937 M, dan dimakamkan diperkuburan Masjid Raya al-Mashun, tidak jauh dari Istana
KerajaanDeli. Tampak bahwa meskipun telah menjadi ulama besar dan menduduki jabatan keagamaan
terpenting, Shaykh Hasan tetap terus menggaliilmu,menulis banyak karyaak ademik,serta menjadik
keheningan malam sebagai waktu terbaik untuk menelaah kitab-kitabagama dan menyelesaikan persoalan-
persoalan akidah dan hukumIslam. Usia tua, pangkat, dan jabatan tidak membuat Shaykh Hasan menjadi
lalai mengkaji ilmu dan menulis karya akademik bermutu.
BAB 6
C. PERKAWINAN
Berdasarkan adat Minangkabau tidak dibenarkan orang yang sekaum melakukan perkawinan
meskipun mereka sudah berkembang menjadi ratusan orang. Walaupun agama Islam sudah
merupakan anutan bagi masyarakat Minangkabau, namun kawin sesama anggota kaum masih
dilarang oleh adat. Hal ini mengingat keselamatan hubungan sosial dan kerusakan turunan (Amir,
2006: 10). Demikian pula bila teijadi perkawinan sesama anggota kaum, itu mempunyai akibat
terhadap harta pusaka dan sistem kekerabatan matrilineal. Oleh karena itu, sampai sekarang
perkawinan masih tetap dilakukan dengan orang di luar sukunya (exogami). Perkawinan merupakan
inisiasi ke alam baru bagi seorang manusia dan merupakan perubahan dari tingkat umur, seperti
masa bayi ke kanak-kanak, dari kanak-kanak ke alam dedewasa dan kemudian ke jenjang
perkawinan. Beberapa hal yang perlu dikemukakan yang berkaitan dengan perkawinan ini adalah
sebagai berikut:
1. Inisiatif datang dari pihak keluarga perempuan
Pada masa lalu seorang mamak akan merasa malu bila kemenakannya, yang menurut ukuran
masyarakat sudah sepantasnya untuk kawin, belum juga mendapat jodoh. Ia malu bila dikatakan
kemenakannya gadih gadang alun balaki (gadis besar belum bersuami). Pada masa lalu dibenarkan
untuk menggadaikan harta pusaka tinggi bila terdapat gadih gadang alun balaki. Segala upaya
dilakukan demi memperoleh jodoh bagi kemenakan. Mencari calon suami untuk kemenakan
dikatakan juga mencari junjungan untuk tempat kemenakannya menyadarkan diri. Hal ini juga tidak
terlepas dari alam takambang jadi guru, ibarat kacang panjang membutuhkan junjungan untuk
membelitkan dirinya.
Lazimnya pada masa lalu si gadis tidak ditanya terlebih dahulu apakah ia mau kawin atau
tidak, atau calon suaminya disukai atau tidak. Hal ini karena seseorang yang belum kawin masih
dianggap belum dewasa. Apalagi pada masa lalu seorang wanita sudah dicarikan suami dalam umur
yang relatif muda, seperti umur 13, 14 atau 15 tahun. Bila sudah menjanda baru ditanya
pendapatnya karena ia dianggap sudah matang untuk melakukan pilihan.
Dalam masyarakat Minangkabau pada masa lalu inisiatif untuk mengawinkan anak
kemenakan datang dari pihak keluarga perempuan sesuai dengan sistem keibuan yang dipakai.
Datuk atau mamaknya atau keduanya pada suatu waktu yang baik dan dalam suasana yang tenang
dan resmi mengajak ayah gadis tersebut berunding dan bertanya, apakah sudah terlintas dalam
pikirannya seorang laki-laki yang layak untuk diminta menjadi menantunya.Dapat disimpulkan
antara mamak dengan ayah kemenakannya melakukan pendekatan terlebih dahulu. Setelah itu baru
dibawa kepada anggota kaum untuk dirundingkan atau dilakukan musyawarah bersama. Dalam hal
ini urang sumando mengajukan calonnya pula. Setelah dapat kata sepakat barulah diutus utusan
untuk menjajaki keluarga laki-laki yang diharapkan menjadi calon junjungan kemenakannya.
Perkawinan yang dilakukan atas musyawarah seluruh anggota kaum dan antara dua kaum
sangat diharapkan dalam adat, karena pada akhirnya bukan hanya mempertemukan seorang gadis
dengan seorang laki-laki, melainkan mempertemukan dua keluarga besar. Seandainya terjadi hal
yang tidak diinginkan, seperti pertengkaran suami istri, perceraian dan lain-lain, maka seluruh
anggota keluarga merasa bertanggung jawab untuk menyelesaikannya dan menanggung segala
resikonya. Pada saat ini mungkin saja calon suami atau istri datang dari pihak gadis atau laki-laki,
namun jalur adat harus diikuti juga. Segala permasalahan tentang calon suami/isteri dibawa kepada
mamak atau kaum keluarga sehingga nilai-nilai adat tetap terpelihara. Sangat tercela bila pemuda
mencari jodoh sendiri dan melangsungkan perkawinan sendiri tanpa melibatkan masing-masing
anggota keluarga.
2. Calon menantu yang diidamkan
Pada umumnya orang Minangkabau pada masa lalu dalam mencari calon menantu
mempunyai ukuran-ukuran tertentu atau syarat-syarat/tata nilai yang berlaku pada waktu itu. Yang
paling disukai adalah urang babangso (orang berbangsa). Orang ini dalam keluarga laki-laki
mamaknya adalah pemangku adat atau penghulu yang disegani dalam masyarakat adat. Mendapat
calon menantu yang merupakan pemangku adat dan berpredikat datuk serta baik budi agar
keturunannya nanti menjadi anak orang terpandang, dan soal pekeijaan atau jaminan ekonomi tidak
dipermasalahkan. Setelah Islam masuk ke Minangkabau calon menantu yang diinginkan adalah
orang yang alim serta taat beragama. Kesemuanya itu tidak lain untuk menambah martabat bagi
seseorang dan anggota kaum pada umumnya.
Namun pada saat ini terjadi perubahan sistem nilai, yakni kecenderungan mencari calon
menantu yaitu orang yang penuh tanggung jawab dan mempunyai pekerjaan tetap, meskipun segi
ketaatan beragama dan budi yang baik tetap menjadi pertimbangan. Dahulu soal ekonomi dari calon
menantu kurang dipertimbangkan, bukan berarti pihak suami tidak bertanggung jawab, melainkan
pada waktu itu hasil harta pusaka sawah dan ladang sudah memadai. Tentu penduduk belum
sebanyak sekarang jika dibandingkan dengan harta pusaka yang ada.
3. Kecenderungan Mencari Menantu dari Hubungan Keluarga Terdekat
Merupakan ciri khas juga pada masa lalu calon suami atau istri dicarikan dari hubungan
keluarga terdekat, seperti pulang kebako, atau pulang ke anak mamak. Hal ini tidak lain agar
hubungan keluarga itu jangan sampai putus dan berkesinambungan pada generasi selanjutnya.
Secara tersirat ada juga alasan agar harta pusaka dapat dimanfaatkan bersama antara anak dan
kemenakan. Hubungan perkawinan keluarga terdekat ini dalam adat dikatakan juga kuah tatumpah
ka nasi, siriah pulang ka gagangnyo (kuah tertumpah ke nasi, sirih pulang ke gagangnya).
Pada masa lalu perkawinan dalam lingkungan dekat sangat diharuskan. Bila terjadi seorang
laki-laki kawin di luar nagarinya akan diberi sanksi dalam pergaulan masyarakat adat. Tujuan lain
adalah untuk memperkokoh hubungan kekerabatan sesama warga nagari. Sangat tidak disenangi
bila seorang pemuda yang berhasil dalam kehidupannya tiba-tiba kawin dengan orang dari luar
kampung atau nagarinya. Hal ini dikatakan ibarat mamaga karambia condong, buahnyo jatuah
kaparak urang (memagari kelapa condong, buahnya jatuh ke kebun orang). Keberhasilan seseorang
dianggap tidak terlepas dari peranan anggota kaum, kampung dan nagari. Oleh sebab itu, sudah
sepantasnya jangan orang lain yang mendapat untungnya.
4. Setelah Perkawinan Suami Tinggal di Rumah Isteri
Berkaitan dengan sistem kekerabatan matrilineal, setelah perkawinan suami tinggal di rumah
istri (dalam istilah antropologi budaya disebut matrilokal). Pada zaman dahulu suami pulang ke
rumah istrinya pada sore hari dan subuhnya kembali ke rumah orangtuanya. Hal ini mungkin terjadi
bila teijadi dalam lingkungan daerah yang masih kecil, seperti sekampung, senagari asalkan tidak
bersamaan suku. Namun sejak dahulu sampai sekarang orang Minangkabau teta mengatakan bahwa
suami tinggal di rumah istri bila berlangsung perkawinan.
5. Tali Kekerabatan Setelah Perkawinan
Sebagai akibat dari hasil perkawinan adalah timbulnya tali-tali kerabat antara keluarga istri
dengan keluarga rumah gadang suami atau sebaliknya. Tali kerabat itu seperti tali induak bako anak
pisang, tali kerabat sumando dan pasumandan, tali kerabat ipar, besan dan menantu (Putiah, 2004:
312-316).
Bagi orang Minangkabau menantu dibedakan atas dua bagian. Pertama, menantu sepanjang
syarak. Maksudnya, bagi seorang mamak beserta istri dan saudara laki-lakinya, istri/suami anaknya
merupakan menantu sepanjang syarak. Yang kedua, menantu sepanjang adat. Maksudnya, bagi
seorang mamak beserta istri dan saudara laki-lakinya, istri/suami kemenakan merupakan menantu
sepanjang adat.
6. Sumando yang diidamkan
Nilai seorang sumando sekaligus merupakan nilai seorang mamak di luar lingkungan sosial
rumah gadang, karena orang sumando tersebut adalah juga seorang mamak di rumah gadangnya.
Sampai sejauh mana tingkah laku seorang sumando dalam melakukan perannya, orang
Minangkabau mengklasifikasikannya sebagai berikut (Diradjo, 2009: 263-266):
a) Sumando bapak paja atau sumando ayam gadang (ayam besar). Maksudnya orang sumando
hanya pandai beranak saja seperti ayam besar, sedangkan tanggung jawab kepada anak istrinya
tidak ada.
b) Sumando langau hijau (lalat hijau). Penampilan gagah dan meyakinkan tetapi perangai tidak
baik. Suka kawin cerai dengan meninggalkan anak. Seperti langau hijau suka hinggap di mana-
mana dan kemudian terbang meninggalkan bangan (kotoran).
c) Sumando kacang miang. Orang sumando kacang miang punya perngai yang suka memecah-
belah kaum keluarga istrinya, seperti kacang miang yang membuat orang gatal-gatal.
d) Sumando lapiak buruak (tikar buruk). Sumando lapiak buruak (tikar buruk) orang sumando
seperti ini tidak menjadi perhitungan di tengah-tengah kaum istrinya. Ibarat tikar buruk hanya
dipakai kalau betul-betul diperlukan, kalau tidak perlu, tikar buruk ini tidak digunakan.
e) Sumando kutu dapua. Sumando seperti ini banyak di rumah daripada di luar, suka melakukan
pekeijaan yang hanya pantas dilakukan oleh wanita, seperti memasak, mencuci piring, menumbuk
lada, menggendong anak dan lain-lain.
f) Sumando ninik mamak. Sumando ninik mamak adalah sumando yang diharapkan oleh keluarga
istrinya. Sumando ninik mamak di rumah gadang istrinya akan bersikap nan tahu dikieh kato
sampai mengampuangkan nan taserak, mangamehi nan tacicia (tahu dengan kias kata sampai
mengapungkan yang terserak, mengemasi yang tercecer). Maksudnya halus budi bahasanya, suka
membantu kaum keluarga istrinya, baik secara moril maupun materiil. Demikian pula di rumah
gadang kaumnya ia berfungsi mauleh mano nan putuih, senteng mambilai, kurang manukuak
(mangulas mana yang putus, senteng menyambung, kurang menambah). Dengan pengertian dia
suka turun tangan dan cepat tanggap menyelesaikan segala persoalan dalam anggota kaumnya.
Dengan adanya pengklasifikasian orang sumando ini, bagi orang Minangkabau sendiri,
terutama bagi laki-laki, akan dapat berpikir jenis manakah yang akan dipakainya seandainya dia
kawin dan menjadi sumando di rumah istrinya.
Perkawinan tidak menciptakan keluarga inti (nuclear family) yang baru, sebabsuami atau istri
tetap menjadi anggota dari garis keturunan masing-masing. Oleh karena itu, pengertian keluarga
inti yang terdiri dari ibu, ayah, dan anak-anak sebagai suatu unit yang tersendiri tidak terdapat
dalam struktur sosial Minangkabau. Yang dimaksud dengan keluarga dalam struktur sosial
masyarakat Minangkabau adalah paruik yang terdiri dari individu-individu yang dikemukakan di
atas. Dalam proses sosialisasi seorang individu dalam rumah gadang banyak ditentukan oleh
peranan ibu dan mamak. Sedangkan ayahnya lebih berperan di tengah-tengah paruiknya pula.
Pengertian ibu dalam hal ini bukan berarti ibu dari anak-anaknya, melainkan sebagai sebutan
dari semua wanita yang sudah berkeluarga dalam sebuah rumah gadang. Sedangkan untuk wanita
keseluruhan orang Minangkabau menyebut 'perempuan'. Perempuan berasal dari kata Sansekerta,
yaitu empu yang berarti dihormati. Begitu dihormati perempuan Minangkabau dapat dilihat pada
garis keturunan yang ditarik dari garis ibu, rumah tempat kediaman diperuntukkan bagi wanita,
hasil sawah ladang juga untuk wanita dan lain-lain. Peranan seorang ibu sangat besar sekali.
Semasa seseorang masih bayi, orang yang dikenal pertama kali hanya ibunya dan saudaranya seibu.
Dia mencintai ibunya sebagai orang yang mengasuh dan memberinya makan. Ia, ibunya dan
saudara-saudaranya merupakan suatu kelompok yang terasing dari orang-orang di luar kelompok.
Bila terjadi sesuatu hal terhadap ibunya atau saudara-saudaranya dia akan berpihak kepadanya.
Setelah menanjak dewasa mulai diadakan pemisahan antara pemuda dan gadis. Bagi anak
laki-laki tidak dibenarkan lagi tinggal di rumah gadang, ia dengan teman-teman sebaya tidur di
surau atau di rumah pembujangan. Proses sosialisasi selanjutnya banyak diperoleh di surau ini,
karena di surau bukan hanya para pemuda dan remaja saja yang tinggal, tetapi juga anggota
keluarga laki-laki yang sekaum dengannya dan belum kawin atau menduda, dan umumnya sudah
dewasa. Surau adalah tempat mengaji, tempat belajar adat-istiadat dan tempat mendengar kisah-
kisah lama yang bersumber dari tambo alam Minangkabau. Adakalanya sebelum tidur mereka juga
belajar pencak silat sebagai ilmu bela diri untuk membekali dirinya, baik untuk di kampung
maupun persiapan untuk pergi ke rantau nantinya. Proses sosialisasi anak laki-laki menuju remaja
dan dewasa banyak ditentukan oleh peranan mamak-mamaknya dalam rumah gadang.
Anak-anak perempuan yang meningkat gadis selalu berada di samping ibunya dan
perempuan-perempuan yang sudah dewasa di dalam rumah gadang. Dia diajar memasak membantu
ibunya di dapur, dan mengurus rumah tangga. Di samping itu juga diajar menjahit, dan menyulam,
serta semua kepandaian yang dibutuhkan dalam mempersiapkan diri berumah tangga nantinya.
Dalam sistem keturunan matrilineal, ayah bukanlah anggota dari garis keturunan anak-
anaknya. Dia dipandang sebagai tamu dan diperlakukan sebagai
tamu dalam keluarga, yang tujuannya terutama memberi keturunan. Seorang suami di rumah
gadang istrinya adalah seorang sumando. Namun demikian, bukanlah berarti laki-laki tersebut
hilang kemerdekaannya. Ia tetap merdeka seperti sebelum kawin, dan ia boleh beristri dua, tiga atau
sampai empat, tanpa dapat dihalangi oleh istrinya. Dia boleh menceraikan istrinya jika dia atau
keluarganya tidak senang dengan kelakuan istrinya. Sebaliknya istri dapat pula meminta cerai dari
suaminya jika dia tidak cinta lagi kepada suaminya, atau jika pihak keluarganya tidak senang
melihat kelakuan menantunya atau kelakuan salah seorang keluarga menantunya.
Bila diperhatikan, ungkapan-ungkapan adat memperlihatkan bahwa seorang ayah atau
seorang sumando di dalam kaum istrinya tidak mempunyai kekuasaan apa-apa dalam keluarga
istrinya, termasuk terhadap anak-anaknya, sebagaimana dikatakan sedalam-dalam payo, sahinggo
dado itiak, saelok-elok urang sumando sahingga pintu biliak (sedalam-dalam payau, hanya sampai
dada itik, sebaik-baik orang semenda hanya sampai pintu bilik). Demikian pula dikatakan, orang
sumando ibarat abu di ateh tunggua (abu di atas tunggul), datang angin berterbangan. Ada beberapa
hal yang mendukung mengapa peranan ayah begitu kecil sekali terhadap anak/ istri, dan kaum
keluarga istrinya waktu itu. Kehidupan waktu itu masih bersifat rural agraris, yaitu kehidupan
petani sebagai sumber penghidupan. Penduduk masih jarang, harta masih luas, dan memungkinkan
seorang ayah tidak perlu memikirkan kehidupan sosial ekonominya. Di samping itu seorang ayah
tidak perlu memikirkan tentang pendidikan anak-anaknya beserta biayanya, karena sekolah formal
waktu itu tidak ada. Secara tradisional seorang anak meniru pekerjaan mamaknya.
Bila mamaknya bertani maka kemenakannya dibawa pula bertani. Jika mamaknya berdagang
maka kemenakannya dibawa pula untuk membantunya. Kawin cerai tidak menjadi persoalan, yang
penting keturunan dan martabat dari ayahnya. Demikian pula anak-anak perempuan, pendidikannya
hanya terbatas dalam lingkungan rumah gadang saja, dan proses pendidikan lebih banyak diarahkan
kepada persiapan untuk menempuh jenjang perkawinan. Di samping itu karena interaksi dengan
dunia luar belum ada sehingga kemungkinan untuk mengubah pola struktur yang telah ada sedikit
sekali. Barangkali bagi orang Minangkabau sekarang kurang tepat bila memandang masa lalu
dengan kacamata sekarang, karena ruang lingkup waktu dan tempat yang berbeda.
Dalam proses selanjutnya, terjadi perubahan peranan ayah terhadap anak dan istrinya karena
berbagai faktor sesuai dengan perkembangan sejarah. Munculnya keinginan merantau dari orang
Minangkabau, masuknya pengaruh Islam dan pendidikan modem telah membawa perubahan-
perubahan cara berpikir dalam hidup berkeluarga dan dalam tanggung jawab terhadap anak istrinya.
Bagi yang pergi merantau dia melihat struktur sosial yang berbeda dari masyarakat kampung
yang ditinggalkan selama ini. Bisa jadi ia melihat betapa akrabnya hubungan suami-istri beserta
anak-anaknya yang tinggal dalam satu rumah. Membawa istri ke daerah rantau dan hidup bersama
dengan anak-anak merupakan sejarah baru yang selama ini tidak pernah ditemui. Hidup yang bebas
dengan anak-anaknya dalam rumah sendiri telah membawa gema ke kampung halaman. Bila
mendapat rezeki di rantau, si ayah membuatkan rumah untuk anak istrinya di kampung untuk
membuktikan keberhasilannya di rantau. Rumah yang didirikan walaupun masih di tanah kaum
istrinya, tetapi sudah berpisah dari rumah gadang.
BAB 7
Karena adanya pertentangan dari dua sistem adat dan politik di Minangkabau itu, maka
timbulah suatu sintesis politik yang mengambil corak kedua-duanya itu. Sehingga dalam
perkembangannya, politik Minangkabau bisa menerapkan sistem Koto Piliang yang hierarkis beserta
sistem Bodi Caniago yang egaliter. Ketegangan di antara dua kubu sistem politik itu merupakan salah
satu dikotomi yang memelihara keseimbangan di masyarakat.
Untuk konsep kepemimpinan politik, masyarakat Minangkabau tidak memposisikan pemimpinnya
sebagai orang yang dikultuskan. Sehingga ketika pemimpin itu tidak amanah atas jabatannya ia bisa
disanggah ataupun diganti melalui dewan adat. Hal ini berdasarkan kepada filosofi Minangkabau yang
menempatkan pemimpin itu "ditinggikan seranting didahulukan selangkah" (ditinggikan sarantiang
didahulukan salangkah). Dengan filosofi kepemimpinan politik seperti ini, Minangkabau kemudian
banyak melahirkan pemimpin sejati yang rendah hati dan penuh pengabdian karena ia memahami
bahwa ia hanya ditinggikan seranting serta didahulukan selangkah oleh masyarakatnya.[8] Atau juga
berdasarkan kepada filosofi "raja adil raja disembah, raja zalim raja disanggah" (rajo adia rajo disambah,
rajo zalim rajo disanggah). Adanya dewan adat yang terdiri dari para penghulu dan ninik mamak di
seluruh nagari, menciptakan sistem check and balances dalam politik Minangkabau.
Sejak masuknya Islam ke Sumatra, sistem politik Minangkabau diperkuat oleh tiga unsur
(triumvirat) yang disebut Tigo Tungku Sajarangan. Triumvirat ini terdiri dari tiga unsur masyarakat yang
mencakup kaum adat, kaum cerdik pandai, dan kaum ulama.
Kaum Adat diwakili oleh beberapa orang penghulu dari suku/klan yang ada dalam sistem adat
Minangkabau, seperti suku Koto dan Piliang, Bodi dan Caniago serta berbagai suku pecahan baru
lainnya. Setiap suku/klan diwakili oleh beberapa orang datuk yang merupakan kepala kaum atau
keluarga besar.
Kaum Ulama diwakili oleh orang-orang yang menguasai ilmu agama Islam, tapi tidak memegang
posisi dalam struktur adat.
Kaum Cerdik Pandai diwakili oleh orang-orang yang dianggap punya pengetahuan yang luas,
pintar dan pandai, tapi juga tidak memegang posisi dalam struktur adat.
Ketiga unsur ini saling berinteraksi, berdialektika, bahkan juga berkonflik dalam suatu sistem
politik yang diwadahi oleh suatu lembaga Kerapatan Adat Nagari. Di dalam lembaga inilah
dimusyawarahkan segala sesuatu permasalahan yang ada dalam suatu nagari sehingga dapat ditemukan
solusi yang disepakati oleh semua pihak demi keadilan dan kesejahteraan masyarakat itu sendiri.
Keputusan lembaga ini bersifat otonom tanpa harus meminta persetujuan dari otoritas politik yang lebih
tinggi seperti raja atau gubernur.
C. Sejarah Politik di Minangkabau
1. Zaman Pra-Kerajaan
Jauh sebelum terbentuknya kerajaan-kerajaan di tanah Minang, sistem sosial dan politik
masyarakat Minangkabau telah dijalankan dengan prinsip yang demokratis, egaliter, dan berkeadilan
sosial. Hal ini terlihat dari berlakunya sistem kanagarian yang otonom, dimana masing-masing nagari
mengatur sistem politiknya sesuai dengan tata cara dan pola kehidupan masyarakatnya. Pada masa ini
nagari di Minangkabau merupakan sebuah republik mini yang memiliki otonomi dan kemerdekaannya
masing-masing.
2. Zaman Kerajaan
Memasuki zaman kerajaan pada abad ke-7, kehidupan politik di tanah Minang tak banyak
mengalami perubahan. Para pemimpin politik biasanya juga menjadi seorang pemimpin dalam kafilah
perdagangan. Semula kerajaan-kerajaan Minangkabau berkembang di sekitar hulu sungai-sungai besar.
Namun untuk memperluas usaha dagang mereka, banyak di antara pemimpin tersebut yang kemudian
mengembangkan koloni dagang dan kerajaan-kerajaan di perantauan. Salah satu kerajaan yang
berkembang di hulu Sungai Kampar ialah Kerajaan Minanga. Seorang pempimpin politiknya Dapunta
Hyang Sri Jayanasa, pada tahun 671 melakukan ekspedisi militer ke Palembang dan mendirikan Kerajaan
Sriwijaya. Ekspedisi ini juga bertujuan untuk memindahkan pusat kerajaannya di pedalaman ke daerah
yang strategis di tepi laut. Selain Minanga, di hulu Sungai Kampar juga berdiri Kesultanan Kuntu.
Di daerah aliran Sungai Batanghari, pada tahun 645 konfederasi politik Minangkabau dan
masyarakat setempat mendirikan Kerajaan Melayu. Kerajaan ini dibentuk untuk memperkuat basis
perdagangan emas Minangkabau di Selat Malaka.
Dalam perjalanan sejarahnya, kerajaan ini kemudian menjadi Kerajaan Dharmasraya, yang
bercabang menjadi Kerajaan Pagaruyung dan Kesultanan Melaka. Menurut Thomas Stamford Raffles,
salah seorang raja Dharmasraya Sri Tribuwana Mauliwarmadewa merupakan pendiri Singapura, yang
kemudian anak keturunannya Parameswara mendirikan Kesultanan Melaka di Semenanjung Malaysia.]
Di muara Sungai Indragiri, raja-raja Minangkabau juga membentuk sebuah kerajaan pada abad ke-16
yang disebut Kerajaan Inderagiri.
Karena penguasaan tambang emas di pedalaman Sumatra, pada abad ke-14 hingga abad ke-18
Kerajaan Pagaruyung menjadi salah satu kerajaan yang cukup berpengaruh di Sumatra dan
Semenanjung Malaysia. Sistem politik Pagaruyung terdiri dari tiga raja (Rajo Tigo Selo) yang dipimpin
oleh Raja Alam yang bertugas melaksanakan pemerintahan. Raja Alam dibantu oleh dua orang
pembantu utamanya (wakil raja), yaitu Raja Adat dan Raja Ibadat. Selain kedua raja tadi, Raja Alam juga
dibantu oleh para pembesar yang disebut Basa Ampek Balai yang terdiri dari Bandaro, Makhudum,
Indomo, dan Tuan Gadang. Untuk memperkuat kedudukan Raja Alam, pemerintahan Pagaruyung juga
mengangkat raja-raja vassal di seluruh Sumatra.
Koloni dagang serta kerajaan orang-orang Minang juga terbentang di sepanjang pantai barat
Sumatra dari Tapaktuan, Barus, Sibolga, Natal, Pariaman, Bengkulu, hingga Lampung Barat. Di wilayah
ini politik Minangkabau direpresentasikan oleh Kesultanan lndrapura. Di pesisir timur Sumatra, politik
Minangkabau direpresentasikan oleh Kesultanan Kota Pinang yang kemudian para keturunannya
menjadi raja-raja di Kesultanan Asahan, Pannai, dan Bilah. Sama seperti halnya dengan pendirian nagari-
nagari di dataran tinggi Minangkabau yang mensyaratkan adanya empat suku, pendirian kota-kota
dagang dan kerajaan di rantau timur-pun pada umumnya mengambil sistem politik "Datuk Empat Suku".
Dimana musyawarah para datuk tersebut yang akan menentukan pemimpin dan para sultan di kerajaan.
Pada abad ke-17, kedudukan politik Minangkabau di Selat Malaka dan Semenanjung Malaysia mulai
menguat. Tahun 1718 di bawah kepemimpinan Raja Kecil, para politisi Minangkabau menduduki tahta
Kesultanan Johor-Riau. Empat tahun kemudian, tahta Raja Kecil dikudeta oleh pasukan Bugis pimpinan
Daeng Parani. Kemudian ia pergi ke Riau dan mendirikan Kesultanan Siak Sri lnderapura.
tahun 1773, untuk memperkuat kedudukan politik orang Minang di Semenanjung Malaysia,
masyarakat Negeri Sembilan menjemput Raja Melewar dari Pagaruyung. Keturunan Raja Melewar inilah
kemudian yang banyak menjadi pemimpin politik di Malaysia.
3. Zaman Kolonial
Pada zaman kolonial sistem politik Minangkabau tidak mendapatkan tempat yang semestinya.
Nagari-nagari bukan lagi menjadi sistem politik yang otonom, namun berada di bawah Laras yang para
pemimpinnya diangkat oleh kolonial Belanda. Akibat dianulirnya peran politik masyarakat Minang,
banyak dari tokoh-tokoh Minang yang melakukan pemberontakan terhadap pemerintah Belanda. Pada
tahun 1908 terjadi Pemberontakan Anti- Pajak di seluruh Sumatra Barat. Karena aspirasi politiknya tak
didengar, pada tahun 1927 sekali lagi rakyat Minangkabau melakukan pemberontakan terhadap
pemerintah kolonial. Pemberontakan ini dimotori oleh kaum Islam-komunis di Silungkang, Padang, dan
Padang Panjang, yang kemudian memberikan dampak luas ke seluruh Hindia Belanda. Untuk meredakan
ketegangan di Minangkabau, pemerintah Belanda memberikan kesempatan kepada masyarakat Minang
untuk membentuk Dewan Minangkabau (Minangkabau Raad). Dewan ini menjadi saluran aspirasi politik
Minangkabau, dimana banyak dari tokoh-tokoh Minang yang kemudian duduk menjadi anggota
Volksraad. Beberapa anggota Volksraad dari ranah Minang yang cukup vokal antara lain Abdul Muis,
Agus Salim, dan Jahja Datoek Kajo.
Akibat sistem politik kolonial Belanda yang merugikan, banyak dari anak-anak muda Minang yang
mencita-citakan kemerdekaan. Salah satu anak muda tersebut yang kemudian terinspirasi dengan
sistem politik di Minangkabau ialah Tan Malaka, la memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dan
mencita-citakannya menjadi sebuah negara republik. Atas perjuangannya dalam mendirikan Republik
Indonesia, ia kemudian dikenal sebagai "Bapak Republik Indonesia". Satu lagi tokoh politik Minang yang
memiliki kedudukan cukup penting ialah Roestam Effendi, la merupakan satu-satunya orang Hindia
Belanda yang pernah menjadi anggota parlemen (Tweede Kamer) di Belanda.
Di Malaysia dan Singapura, banyak pula pemuda-pemudi Minang yang berjuang menentang
kolonialisme Inggris. Mereka diantaranya Burhanuddin al-Hilmi, Ahmad Boestamam, Shamsiah Fakeh,
dan Khatijah Sidek. Mereka merupakan pendiri-pendiri organisasi kemerdekaan radikal, di Malaysia dan
Singapura, banyak pula pemuda-pemudi Minang yang berjuang menentang kolonialisme Inggris. Mereka
diantaranya Burhanuddin al-Hilmi, Ahmad Boestamam, Shamsiah Fakeh, dan Khatijah Sidek. Mereka
merupakan pendiri-pendiri organisasi kemerdekaan radikal, seperti Angkatan Pemuda Insaf dan
Kesatuan Melayu Muda. Sedangkan di Singapura, Mohammad Eunos Abdullah mendirikan Kesatuan
Melayu Singapura, sebuah organisasi politik yang membela hak-hak kaum Melayu Singapura.
Pada masa kemerdekaan Indonesia, sistem politik Minangkabau yang demokratis dan egaliter
kembali mendapatkan tempat. Sistem politik ini kemudian menjadi anti-tesis bagi sistem politik besar
lainnya di Indonesia yang diusung oleh budaya Jawa yang cenderung sentralistik, patron klien, dan
feodalistik. Dalam sejarah Indonesia merdeka, kedua sistem politik ini saling berinteraksi, bersaing, dan
berdialektika dalam rangka pengelolaan negara demi pencapaian tujuan bernegara, yaitu masyarakat
adil dan makmur. Pada awal kemerdekaan, sistem politik Minangkabau yang termanifestasi dalam lakon
politik tokoh-tokoh Minangkabau, seperti Hatta, Syahrir, Natsir, Agus Salim, Assaat, dan Muhammad
Yamin, mendapatkan tempat yang lebih luas. Hal ini ditandai dengan berlakunya sistem parlementer
yang diwarnai dengan berdirinya berbagai macam partai politik. Pada masa ini, banyak pendiri dan
aktivis partai politik yang datang dari kalangan Minangkabau. Akibatnya pada masa itu parlemen
Indonesia didominasi oleh politisi Minang yang berada di semua spektrum ideologi: nasionalis, sosialis,
islamis, dan komunis.
Sistem ini berlaku sampai keluarnya Dekret Presiden pada tahun 1959. Sistem politik demokratis
yang berumur 14 tahun itu kemudian berganti dengan sistem politik sentralistik dan feodalistik yang
dijalankan oleh Presiden Soekarno. Sistem politik Demokrasi Terpimpin dengan kekuasaan yang hampir
tak terbatas itu, tidak cocok dengan kultur politik Minangkabau yang demokratis dan egaliter. Akibatnya
masyarakat Minangkabau melakukan pemberontakan PRRI (1958-1960). Pada tahun 1966, rezim
Soekarno tumbang dan digantikan oleh Soeharto. Selama 32 tahun, Presiden Soeharto-pun menjalankan
sistem yang hampir sama dengan pendahulunya. Namun perlakuan Soeharto yang mengakomodasi
kepentingan politik Minangkabau, tidak menimbulkan riak yang bisa menyebabkan terjadinya
pemberontakan. Setelah reformasi 1998, perpolitikan Indonesia kembali ke sistem demokrasi, dan
memberikan otonomi yang seluas- luasnya kepada seluruh propinsi/kabupaten-kota di Indonesia. Sistem
ini pada hakekatnya menyerupai sistem nagari-nagari di tanah Minang, yang menjadi cita-cita dan
perjuangan para politisi Minang.
BAB 8
Yang dimaksud "enggang dari laut" ialah kedatangan ekspedisi Adityawarman dengan melalui laut,
"Ditembak datuk yang berdua" artinya diributkan oleh dua saudara Datuk katumangguangan dan Datuak
Parapatiah nan sabatang, "Bedil sedetak dua dentumnya" maksudnya diantara kedua datuk tidak ada
kata sepakat.
Menurut Datuk Katumanggunan, bentuk negara yang didirikan itu adalah kerajaan, segala
kekuasaan berada ditangan raja, karena raja yang berdaulat. Di bawah raja hanya ada "Basa" (menteri)
sebagai pembantu raja.
Tetapi Datuak Parapatiah Nan Sabatang menolak bentuk kerajaan yang berdaulat kepada seorang
raja, la mempertahankan "adat lama pusaka usang", yaitu beraja kepada mufakat, hanya kata
mufakatlah yang berdaulat, dan mufakat itulah kata ganti Raja.
Akhirnya perbedaan pendapat itu memuncak menjadi suatu pertentangan yang sengit, dimana
Datuak Katumanggungan tetap mempertahankan "kata pilihannya"(asal kata Koto- Piliang) yaitu system
kerajaan. Begitu juga Datuak Parapatiah nan sabatang tidak mau beranjak dari pilihannya semula, ia
tetap mempertahankan system kedaulatan rakyat atas dasar musyawarah dan mufakat, bagi dia "Budi
yang berharga" (asal kata Bodi Chaniago), oleh karena itu pula dia tidak mau mengakui Adityawarman
sebagai raja alam Minangkabau.
Kelarasan Koto Piliang adalah mewakili adat lembaga yang bersifat konservatif, lazimnya disebut adat
beraja (adaik barajo-rajo).
Yang menjadi adat pusaka adalah :
Bajanjang naiak batanggo turun
Bapucuak bulek baurek tunggang
Batali buliah dihirik
Batampuak buliah dijinjiang
Dengan system adat datuak katumanggungan dijumpai adanya tingkatan-tingkatan penguasa
sebagai pembantu raja (berjenjang naik bertangga turun). Juga sudah dikenal adanya pembagian
kekuasaan. Ada tiga kekuasaan yang penting, yaitu dikenal dengan anma "Rajo nan tigo selo", yang
pertama "rajo di buo" (raja adat), kedua "Rajo disumpua kuduih" (Raja ibadat) dan yang ketiga "Rajo
Pagaruyuang" (Rajo Alam) yang dijadikan daulat yang dipertuan dalam lareh koto piliang sebagai instansi
tertinggi dalam membanding hukum. Dibawah rajo nan tigo selo ada lagi "Basa Ampek Balai"
Demikian juga system pemerintahan nagari, kedudukan pengulu juga bertingkat tingkat, ada "pengulu
pucuak", "pengulu suku" dan "pengulu andiko".
Berbeda dengan system adat Datuak Katumanggungan, maka menurut adat Parapatiah Nan Sabatang,
pemerintahan nagari dijalankan secara kolektif oleh para pengulu andiko didalam suatu kerapatan
nagari. Disini tidak dijumpai adanya tingkatan pengulu semua berandiko, "duduak samo randah tagak
samo tinggi (duduk sama rendah berdiri sama tinggi). Salah seorang diantara mereka dipilih jadi ketua,
biasanya orang yang sudah tua dalam usia dan pengalaman, sehingga dikatakan dalam pepatah :
Bajalan ba nan tuo
Balayia banangkodo
Pengertian berjenjang naik bertangga turun sepanjang adat Bodi Chaniago (Parapatiah Nan Sabatang)
ialah :
Diluar daerah yang tiga luhak ini dinamakan "Rantau" meliputi daerah pesisir barat, juga termasuk
daerah pesisir timur seperti Rokan, Siak, Kampar, Batang Hari dan Negeri sembilan di Malaysia Barat.
Daerah rantau dipimpin oleh pangulu (Memakai adat Bodi Chaniago)
Yang dimaksud "enggang dari laut" ialah kedatangan ekspedisi Adityawarman dengan melalui laut,
"Ditembak datuk yang berdua" artinya diributkan oleh dua saudara Datuk katumangguangan dan Datuak
Parapatiah nan sabatang, "Bedil sedetak dua dentumnya" maksudnya diantara kedua datuk tidak ada
kata sepakat.
Menurut Datuk Katumanggunan, bentuk negara yang didirikan itu adalah kerajaan, segala
kekuasaan berada ditangan raja, karena raja yang berdaulat. Di bawah raja hanya ada "Basa" (menteri)
sebagai pembantu raja.
Tetapi Datuak Parapatiah Nan Sabatang menolak bentuk kerajaan yang berdaulat kepada seorang
raja, la mempertahankan "adat lama pusaka usang", yaitu beraja kepada mufakat, hanya kata
mufakatlah yang berdaulat, dan mufakat itulah kata ganti Raja.
Akhirnya perbedaan pendapat itu memuncak menjadi suatu pertentangan yang sengit, dimana
Datuak Katumanggungan tetap mempertahankan "kata pilihannya"(asal kata Koto- Piliang) yaitu system
kerajaan. Begitu juga Datuak Parapatiah nan sabatang tidak mau beranjak dari pilihannya semula, ia
tetap mempertahankan system kedaulatan rakyat atas dasar musyawarah dan mufakat, bagi dia "Budi
yang berharga" (asal kata Bodi Chaniago), oleh karena itu pula dia tidak mau mengakui Adityawarman
sebagai raja alam Minangkabau.
Kelarasan Koto Piliang adalah mewakili adat lembaga yang bersifat konservatif, lazimnya disebut adat
beraja (adaik barajo-rajo).
Yang menjadi adat pusaka adalah :
Bajanjang naiak batanggo turun
Bapucuak bulek baurek tunggang
Batali buliah dihirik
Batampuak buliah dijinjiang
Dengan system adat datuak katumanggungan dijumpai adanya tingkatan-tingkatan penguasa
sebagai pembantu raja (berjenjang naik bertangga turun). Juga sudah dikenal adanya pembagian
kekuasaan. Ada tiga kekuasaan yang penting, yaitu dikenal dengan anma "Rajo nan tigo selo", yang
pertama "rajo di buo" (raja adat), kedua "Rajo disumpua kuduih" (Raja ibadat) dan yang ketiga "Rajo
Pagaruyuang" (Rajo Alam) yang dijadikan daulat yang dipertuan dalam lareh koto piliang sebagai instansi
tertinggi dalam membanding hukum. Dibawah rajo nan tigo selo ada lagi "Basa Ampek Balai"
Demikian juga system pemerintahan nagari, kedudukan pengulu juga bertingkat tingkat, ada "pengulu
pucuak", "pengulu suku" dan "pengulu andiko"
Berbeda dengan system adat Datuak Katumanggungan, maka menurut adat Parapatiah Nan
Sabatang, pemerintahan nagari dijalankan secara kolektif oleh para pengulu andiko didalam suatu
kerapatan nagari. Disini tidak dijumpai adanya tingkatan pengulu semua berandiko, "duduak samo
randah tagak samo tinggi (duduk sama rendah berdiri sama tinggi). Salah seorang diantara mereka
dipilih jadi ketua, biasanya orang yang sudah tua dalam usia dan pengalaman, sehingga dikatakan dalam
pepatah :
Bajalan ba nan tuo
Balayia banangkodo
Pengertian berjenjang naik bertangga turun sepanjang adat Bodi Chaniago (Parapatiah Nan Sabatang)
ialah :
Diluar daerah yang tiga luhak ini dinamakan "Rantau" meliputi daerah pesisir barat, juga termasuk
daerah pesisir timur seperti Rokan, Siak, Kampar, Batang Hari dan Negeri sembilan di Malaysia Barat.
Daerah rantau dipimpin oleh pangulu (Memakai adat Bodi Chaniago)
BAB 9
Dalam konteks Minagkabau, pembedaan di atas memang merupakan pembedaan yang cukup penting.
Adat tidak saja dianggap sebagai sesuatu yang bertentangan dengan Islam, tetapi dalam masyarakat
Minangkabau, individu ataupun komunitas dipandang sebagai dalam dua sistem perilaku yang
bertentangan. Sikap seseorang terhadap sesama anggota masyarakat dipahami diatur oleh adat, sedangkan
hubungannya dengan unsur transedental ditentukan oleh agama. Bila saja seseorang tidak mampu
mengontrol keseimbangan dan meyerasikan kedua nilai tersebut sudah dapat dipastikan akan berimplikasi
pada perpecahan sosial. Oleh karenanya tidak mengherankan dalam masayarakat Minangkabau seringkali
terdapat pergumulan konflik yang terus menerus antara kaum adat dengan kaum aagama. Adat di satu sisi
sebagai suatu sistem nilai, dengan sendirinya akan mempengaruhi individu dan sebaliknya. Di sisi lain
Islam juga merupakan suatu sistem nilai yang mengatur individu. Proses interaksi sistem nilai adat dan
agama dalam mempengaruhi individu tanpa dapat dihindari akan menimbulkan gesekan, tarik menarik
kepentingan antara adat dan agama.
Konflik tidak selamanya bermakna negatif yang membawa pada disintegrasi. Konflik juga bersifat
posistif yang dapat dijadikan sebagai media untuk meningkatkan integrasi. Hal ini sangat erat kaitannya
dengan sejauh mana kita dapat mengendalikannya. Memang secara teoritis konflik adat dengan agama di
Minangkabau yang seolah-olah bertentangan, akan tetapi dalam kenyataanya tidaklah seperti demikian
adanya, karena pada hakikatnya tradisi lama Minangakabau didaskaran pada ajaran bahwa "Alam
Takambang Jadi Guru"Hal Inii termanifestasi dalam suatu ungkapan yang cukup dikenal "Adat basandi
syara', Syara' basandi kitabullah" yang berarti tidak ada sesuatu ketentuan adat dalam masyarakat
Minangkabau yang tidak sejalan dengan ketentuan Islam. Islam sudah menafasi setiap nadi kehidupan
masayarakat, baik dalam masalah yang berkaitan dengan aktivitas kehidupan pribadi, maupun yang
menyangkut dengan tatanan kemasyarakatan. Ini juga sekaligus dapat dilihat bahwa masuk dan
diterimanya Islam oleh komunitas masyarakat merupakan bukti keberhasilan Islam dalam beradaptasi
dengan budaya lokal. Dan masyarakatnya pun menjadikan konflik sebagai suatu yang terkendali dan
menjadi sarana integrasi, baik dalam intern adat itu sendiri, ataupun antara adat dengan Islam, seperti
"adat basadi syara', syara' basandi kitabullah., Syara' mandaki, adat manuru., Syara' mangato, adat
mamakai".
Adat dapat berdampingan dengan agama, dan konflik menjadi spirit integrasi adalah karena sikap adat
sendiri di Minangkabau sangat elastis dan fleksibel" sakaliaia gadang, sakali tapian barubah" meskipun
begitu adat bukan mudah tercerabut dari masyarakat tak lakang dek paneh, tak lapuak dek hujan. Dengan
demikian, secara implisit dalam adat, harus dilakukan pembaharuan serta penyesuaian terhadap kedaan
usang-usang dipabarui.
Islam sebagai salah satu bagian unsur penting pembentuk karakter/identitas masayarakat Mianangkabau
sering kali diasosiasikan sebagai sesuatu yang bertentangan atau dipertentangan dengan adat. Asumsinya
adalah, adat sebagai suatu kebiasaan setempat mengatur interaksi masyarakat dalam suatu komunitas,
sedangkan Islam sendiri juga suatu sistem yang mengatur pola relasi dan integrasi suatu masyarakat.
Memang, adat bagi masyarakat Minangkabau mempunyai arti ganda, di satu sisi, adat berarti kumpulan
kebiasaan setempat, di pihak lain, adat juga dianggap sebagai keseluruhan sistem struktural masya-rakat.
Dalam konteks ini, adat adalah seluruh sistem nilai, dasar dari keseluruhan penilaian etis dan hukum, dan
juga sumber dan harapan sosial yang mewujudkan pola perilaku ideal.Dari paparan di atas dapat dilihat
bahwa tidak selamanya konflik membawa pada perpecahan yang merusak suatu sistem, bahkan melalui
konflik intensitas integritas semakin kuat. Dari bebarapa konflik internal disadari dan kadang
dipertahankan untuk sebuah ke-langsungan kelestarian seluruh sistem sosial.
Adat dan agama, di mana kedua sistem nilai ini ada perbedaannya, dan keduanya saling memainkan
perananya terhadap individu, maka tak mustahil terjadinya suatu konflik. Akan tetapi konflik yang terjadi
antara keduanya bukanlah membawa efek perpecahan sosial, melainkan justru berfungsi
mengintegrasikan suatu tatanan masyarakat itu sendiri. Hal ini sebabkan oleh, pertama, keleturan adat
dalam melihat perobahan dan agama dengan segala kearifannya menyikapi realitas yang berkembang.
Kedua spirit dialektika bagi masyarakat Minangkabau yang melihat konflik adalah sesuatu bagian dari
dirinya dan sekaligus pendorong bagi kemajuan, paling tidak munculnya sintesis dalam
kehidupan.Fitrahnya manusia yang di satu sisi harus mengembangkan potensi dirinya untuk
meningkatkan kualitas hidup yang lebih bermakna dan berarti. Namun di lain pihak ia dituntut untuk
mengaktualisasikan iman, ilmu dan amalnya ke dalam masyarakat demi terwujudnya tatanan sosial yang
harmoni. Masyarakat Minang sadar betul akan hal itu, di mana mereka sangat menjaga suatu
keseimbangan dan keharmonian dalam hidup. Keharmonian dan keseimbangan bagi mereka merupakan
dasar etika dan estetika dalam tatanan kehidupan masyarakatnya. Tak ada yang tidak terpakai dan tak
berguna dalam hidup," nan cadiak jadi pimpinan, nan buto paambiuh lasuang, nan lumpuah pauni rumah,
nan tuli palapeh badia"
Selanjutnya, keunikan dan kekhasan adat Minangkabau ini akan semakin Nyata bila dihubungkan dengan
Agama (Islam). Secara konseptual dalam falsafah adat, orang Minang menyatakan bahwa adat dan agama
itu tidak pernah bertentangan, bahkan ia bisa berjalan seiring, dan tidak harus terjadi konflik karena adat
sebagai
Institusi kebudayaan dalam masyarakat memperoleh posisi yang sejalan dan harmonis dengan agama
(Islam). Konflik dalam suatu masyarakat bukanlah ditimbulkan oleh masalah-masalah ideologi,
melainkan oleh kelemahan-kelamahan manusia, di mana manusia sebagai perorangan ataupun sebagai
komunitas mengalami unsur-unsur kehidupan yang bersifat keagamaan maupun non- keagamaan, sebagai
bagian perkembangan yang tak dapat dipasah-pisahkan.
Prinsip ini kemudian diturunkan dalam pepatah; "Syara' mangato, Adat Mamakai" yang bermakna segala
bentuk ajaran agama, khususnya yang bersumber dari Al- Quran dan Hadis Nabi diterapkan melalui adat;
atau pepatah lain; "syara' batalanjang, adat basisampiang," yang bermakna apa yang dikatakan agama
adalah tegas dan terang, tetapi setelah diterapkan dalam adat, dibuatlah peraturan pelaksananya yang
sebaik-baiknya. Atau pepatah lain; "adat yang kawi, syarak yang lazim," yang bermakna; adat tidak akan
tegak jika tidak diteguhkan oleh agama, sedangkan agama sendiri tidak akan berjalan jika tidak
dilazimkan (diterapkan) melalui adat.Wacana tentang adat dan islam umumnya mencakup konsistensi
menjaga sistem kekeluargaan berdasarkan adat yang bersifat matrilineal, yang kontras dengan sistem
kekerabatan islam yang bersifat patrilineal. Masyarakat Minangkabau memperlihatkan keteguhan
menganut islam di sisi lain dengan tetap mempertahankan sistem kekerabatan adat. Ketegangan relasi
antara adat dengan islam tidak berarti memudar paska padri. Ketegangan terjadi terutama pada awal abad
ke-20, yang lebih pada pertentangan intelektual, dengan melanjutkan pertentangan antara kelompok
pembaharu (kaum muda) dengan kelompok tradisionalis (kaum tua).
Awal abad ke-20 menjadi acuan waktu penelitian sebab pada periode inilah perubahan besar terjadi dalam
masyarakat Minangkabau. Sebuah masa transisi antara kehidupan yang masih diatur oleh adat dengan
kehidupan baru yaitu modernitas yang masuk dalam kehidupan masyarakat Minangkabau. Melalui tulisan
ini disimpulkan, ada dua poin penting mengenai pembahasan pengaruh modernitas terhadap perempuan
Minangkabau dalam hal perkawinan.
Pertama, proses modernisasi telah membuat perempuan Minangkabau tidak hanya sebagai subjek tetapi
objek dari modernisasi, dimana mereka telah memiliki andil dalam perubahan adat perkawinan.
Kedua, kemajuan telah membuat perempuan Minangkabau memiliki kedudukan dan peran penting dalam
hal perkawinan. Modernitas masuk dalam kehidupan keluarga- keluarga bangsawan dan saudagar
Minangkabau. Modernitas pun ikut mempengaruhi kehidupan perkawinan perempuan Minangkabau.
Perubahan dalam kehidupan perkawinan, tidak mengubah identitas mereka sebagai keluarga
Minangkabau. Tetapi Kondisi inilah yang kemudian menguatkan identitas perempuan Minangkabau
dalam perkawinan yang telah membentuk keluarga Minangkabau. Menjadi keluarga kecil (inti) yang
solid, harmonis dan terbuka. Hal ini sekaligus membuktikan bahwa ketika budaya Minangkabau
mendapatkan tantangan dengan adanya modernitas, adat Minangkabau tidak begitu saja hilang dan
tergantikan dengan yang baru. Tetapi malah sebaliknya, modernitas telah menjadikan keluarga
Minangkabau menjadi sebuah keluarga modern yang terbuka dengan segala perubahan yang masuk dalam
kehidupan masyarakat Minangkabau.
Modrenitas yang terjadi dalam masyarakat minangkabau telah membawa pengaruh terhadap kehidupan
perempuan diminangkabau.Perempuan Minangkabau yang sebelumnya bergerak dalam bidang dosmetik,
berada diseputaran rumah gadang akhirnya beralih kedunia publik dengan pindah kerantau.Mereka
diantarnya memasuki dunia jurnalistik yang selalu dianggap dunia milik laki-laki.Perempuan
diminangkabau berkeluh kesah mengeluarkan suara hati mereka, mengkritisi aturan- aturan adat yang
telah mengekang mereka selama ini untuk bergerak maju.Dan perkawinan menjadi salah satu persoalan
yang disosor oleh perempuan terpelajar diminangkabau pada kurun tersebut.Mereka menganggap adat
perkawinan yang selama ini dijalankan telah membuat perempuan diminangkabau tertindas.Mereka tidak
punya suara dalam memutuskan kapan mereka akan menikah dan dengan siapa menikah.Kama semua
keputusan berada ditangan orang tua dan mamak.Hal ini menyebabkan perkawinan dibawah umur dan
poligami tidak terelakan lagi sehingga pada akhirnya sering berakhir dengan perceraian.Untuk itu adat
perkawinan yang dijalankan diminangkabau secara turun temurun mulai ditentang karna dirasakan telah
mengikat perempuan.
Taufik abdullah melihat modernitas adalah sebuah proses penyesuaian kepada lingkungan yang baru
untuk mendorong masyarakat melihat kebudayaanya sendiri.
Walaupun, modernisasi digerakan oleh keinginan dalam ataupun tekanan dari luar atau keduanya yanga
mana kelihatanya sebagai jalan keluardari jalan buntu yang diciptakan oleh perjuangan yang susah payah,
tetap harus dibatasi dengan jelas. Penyusuaian masyarakat Minangkabau dengan keadaan keliling yang
baru tidak hanya ketegangan antara tradisi dan modernisasi, kontinuitasdan perubahan,tetapi lebih penting
adalah sikap-sikap baru terhadap tradisi itu sendiri dan penyelidikan untuk satu dasar yang sesuai untuk
modernisasi, kontinuitasdan perubahan. Modernitas yang masuk dalam masyarakat Minangkabau
pastinya ada sisi negatif dan positifnya. Sebagian masayarakat Minangkabau yang belum siap menerima
perubahan menjadi korban dari modernitas yang berkembang. Tetapi disis lain modernitas juga dapat
dilihat dari sisi positif, yaitu melahirkan perempuan elite Minangkabau yang muncul sebagai "agen
perubahan" Dalam haladat perkawinan.
BAB 10
A. Integrasi Hukum Adat Minangkabau dan Hukum Islam Dalam Ajaran Budi (Akhlak Mulia)
Sebelum agama Islam masuk ke Minangkabau, nenek moyang orang Minangkabau hanya baru
mampu mengetahui tentang ketentuan-ketentuan alam terkembang yakni yang dapat diraba dan
dilihat, alam yang nyata, belum lagi dapat mengetahui tentang alam hakekat. Ketentuan dari alam yang
nyata seperti daratan, lautan, gunnung,bukit.lurah, batu, air, api ,besi, tumbuh-tumbuhan, binatang,
langit, bumi, bintang, matahari bulat, warna-warna, bunyi- bunyian dan lain sebagainya yang
mempunyai ketentuan-ketentuan sendiri-sendiri.(.(Idrus Hakimy,1978: 2).
Seumpama ketentuan lautan berombak, gunung berkabut,lurah berair, air menyuburkan, api
membakar, batu dan besi keras, kelapa bermata, bulu berbuku, pokok bertunas, ayam berkokok, murai
berkicau, elang berkulit, merah, putih hitam, dan lain- lainnyaUntuk lebih jelasnya alam terkembang
merupakan sumber dasar Adat Minangkabau, dapat dipahami dalam pepatah dan petith seperti berasal
dari "kata mufakat" yang menjadi tempat bertolak mencapai kebahagiaan dalam masyarakat. Yang
merupakan sumber dari kata mufakat adalah ketentuan alam seperti air:Bulek aieh kapambuluan;
bulek kato kamufakat
Bulek baru digolekkan;
baru dilayangkan
Sifat Adat Minangkabau dinamis dan dapat bertahanlama adalah karena melaksnakan ketentuan
alam terkembang jadiguru. Bila dikaitkan dengan hukum Islam, sifatnya hampir sama yaiktu universal
dan dinamis,sehingga dapat menyahuti dan dapat dipedomani oleh setiap zaman. Ketentuan dalam
alam ini dapat diketahui melalui pepetah:
Tak lakang dek paneh,
tak lapuak de hujan
Dianjak tak layuah,
dububuiek tak mati
Selanjutnya dalam Masyarakat
Minangkabau dikenal pula 4 pembagian adat, (Suardi dkk, 2002: 23) yakni:
1. Adat Nan Sabana Adat. Adat Nan Sabana
Adat adalah aturan pokok dan falsafah yang mendasari kehidupan suku Minang yang
berlaku turun temurun tanpa terpengaruh oleh tempat, waktu dan keadaan sebagaimana dikiaskan
dalamkata-kata adat. "Nan tidak lakang dek paneh. Nan indak lapuak dek ujan. Paling-paling balumuik
dek cindawan".
2. Adat Nan Diadatkan. Adat nan diadatkan adalah kaidah, peraturan, ajaran, undang- undang dan
hukum yang ditetapkan atas dasar "bulat mufakat" (kesepakatan) para penghulu tua-tua adat cerdik
pandai dalam Majelis kerapatan adat atas dasar alur dan patut.
Ada juga yang mengartikan sebagai Peraturan yang dibuat oleh Dt Perpatih nan Sabatang dan Dt
Ketemangungan yang dicontoh dari adat nan sabana adat yang dilukiskan peraturan itu dalam pepatah
3. Adat Nan Teradat. Adalah peraturan yang dibikin oleh penghulu-penghulu dalam
suatu nagari atau dalam beberapa nagari
peraturan mana untuk mencapai tujuan yang baik dalam masyarakat. Dimana adat Teradat ini tidak
sama ditiap-tiap nagari atau bisa berbeda di tiap negari." Adat sepanjang jalan.. Bacupak sepanjang
batuang. Lain lubuak lain ikan. Lain padang lain bilalang. Lain nagari lain adatnyo. Adat sanagari-nagari"
4. Adat Istiadat Adat istiadat adalah kebiasaan yang berlaku dalam suatu tempat yang berhubungan
dengan tingkah laku dan kesenangan masyarakat dalam nagari Memahami 4 macam pembagian adat
Minangkabau tersebut, maka dapat diringkas menjadi dua pengelompakan yang penting yakni;
1. Adat nan babua mati. Ialah adat dan sabana adat adat nan teradatkan (berlaku umum di
Minangkabau) ini adalah hukum yang sudah permananet dan tidak dapat dirubah. Dalam hukum Islam
disebutkan hukum yang qat'i
2. Adat nan babuhua sintak:. Ialah adat teradat dan adat istiadat; (adat Salingka Nagari),
sifatnya dinamis dan berkembang, dalam hukum Islam disebut dengan hukum yang bersifat zani. Ajraan
Adat Minangkabau yang bersiat supel dan dinamis, sehinggadapat mengikuti setiap perkembangan
zaman dan perubahan sosial yang terjadi. Dapat menyesuaikan diri dengan situasi dan kondisi yang
dihadapi niali nilai yang baik berupa mustika berharga dalam kandungan Adat Minangkabau adalah
ajaran budi pekerti yangluhur. Ajaran budi pekerti yang baik berfungsi memberikan arah yang baik
dalam kehidupan masyarakat untuk mencapai segala tujuan yang baik, dan mengujudkan perdamaian,
agar tercapainya kebahagiaan dan kemakmuran yang diridhai oleh Allah SWT. Dalam menghadapi setiap
masalah, masyarakat dituntut untuk membiasakan diri melakukan raso jo pareso (mempertajam rasa
kemanusiaan atau hati nurani), dengan melalukukan penelitian yang cermat untuk mendapatkan
kebenaran yang hakiki dan tidak tergesa gesa dalam bertindak. Yang dimaksud dengan raso dalam adat
adalah" budi baikAmir MS„2003:86)".
B. Penyebab Terjadinya Pergeseran Nilai Tentang Budi Luhur Dalam Masyarakat Minangkabau
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di samping berdampak positif juga membawa dampak
negatif. Kontak dengan sosiobudaya asing dapat mengoncangkan keadaan sosiobudaya sendiri. Apa
yang datang dari negara- negara maju akan menyilaukan dan menarik perhatian masyarakat. Hal ini
dapat mengoyahkan dan mengubah nilai-nilai dan aturan-aturan moral dan pelaksanaan ajaran agama
pada masyarakat yang selanjutnya akan mengubah sikap hidupnya. Pengaruh perubahan sosial ini,
dampaknya sangat singnifikan terhadap keluarga. Melalui media masa cetak dan elektronik, dapat
diketahui bahwa pada zaman kemajuan tehnologi dan imformasi, dapat membantu masyarakat atau
keluarga dalam memperoleh kecukupan material bahkan serba mewah tetapi membawa dampak yang
kebanyakan mengeringkan kebutuhan spritual (kejiwaan) banyak masyarakat yang tidak menemukan
kebahagiaan dan ketenteraman atau ketenangan . banyak terjadi hubungan suami isteri sangat rapuh
dan hubungan anak dengan orang tua kurang erat juga hubungan antar masyarakatpun. Akibat
rapuhnya hubungan antar kelompok masyarakat, besar pengaruhnya bagi pendidikan dan pem-
bangunan karakter serta menimbulkan kenakalan remaja dan orang dewasapun, tengelam dalam
penyalahgunaan narkotika, malas belajar, hidup tak tentu arah dan sebagainya. Depresi mental, tekanan
kejiwaan, stres, penderitaan bathin banyak terjadi dalam masyarakat. Tidak dapat dielakkan lagi bahwa
tehnologiinformasi dan media komunikasi semakin hari bertambah maju danarus budaya nya semakin
deras yang menurut futurolog kondang John Naisbitt dalam bukunya High
Tech, High touch, Technology and Our Search for Meaning (1999) semakin menggiring masyarakat ke
zona mabuik tehnologi yang ditandai dengan berbagai gejala sosiologis yaitu:
1. Masyarakat lebih menyukai penyelesaian masalah secara kilat, dari pada masalah agama sampai
masalah gizi
2. Suka memuja tehnologi
3. Mengaburkan perbedaan antra yang nyata dengan yang semu
4. Menerime kekerasan sebagai suatu hak yang wajar
5. Mencintai tehnologi dalam wujud mainan
6. Menjlani suatu kehidupan yang berjarak dan global
Keadaan masyarakat atau keluarga seperti yang digambarkan di atas sangatlah rawan dan rentan
terjadinya ketidak seimbangan antara kehidupan material dan spritual, antara kehidupan dunia dan
akhirat, antara kehidupan lahir dan bathin, penghormatan dari yang muda kepada yang tua dan pemicu
berkembangnya akhlak yang tercela dan menipisnya akhlak yang mulia, yang sudah diamanahkan oleh
Allah.
BAB 11
Minangkabau atau biasa disingkat Minang adalah kelompok etnis asli Nusantara yang wilayah
persebaran kebudayaannya meliputi kawasan yang kini masuk ke dalam provinsi Sumatera Barat
(kecuali Kepulauan Mentawai), separuh daratan Riau, bagian utara Bengkulu, bagian barat Jambi, pesisir
barat Sumatera Utara, barat daya Aceh, dan Negeri Sembilan, Malaysia. Dalam percakapan awam, orang
Minang seringkali disamakan sebagai orang Padang, merujuk kepada nama ibu kota provinsi Sumatera
Barat yaitu Padang. Akan tetapi, masyarakat ini biasanya menyebut kelompoknya dengan sebutan urang
awak, yang bermaksud sama dengan orang Minang itu sendiri.
Menurut A.A. Navis, Minangkabau lebih kepada kultur etnis dari suatu rumpun Melayu yang
tumbuh dan besar karena sistem monarki serta menganut sistem adat yang khas. Masyarakat ini telah
menerapkan sistem proto-demokrasi sejak masa pra-Hindu dengan tradisi musyawarah dan adanya
kerapatan adat untuk menentukan permasalahan hukum ataupun hal-hal penting lainnya. Prinsip adat
Minangkabau tertuang singkat dalam pernyataan Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah (Adat
bersendikan hukum, hukum bersendikan Al-Qur'an), yang berarti adat berlandaskan ajaran Islam. Saat
ini masyarakat Minang merupakan masyarakat penganut matrilineal terbesar di dunia walaupun
budayanya sendiri sangat kuat diwarnai ajaran agama Islam. Masyarakat Minangkabau sangat menonjol
di bidang perniagaan, sebagai profesional, dan intelektual. Mereka merupakan pewaris terhormat dari
tradisi tua Kerajaan Melayu dan Sriwijaya yang gemar berdagang dan dinamis. Thomas Stamford Raffles,
setelah melakukan ekspedisi ke pusat Kerajaan Pagaruyung di pedalaman Minangkabau, mencatat,
Minangkabau adalah sumber kekuatan dan asal bangsa Melayu, yang kemudian penduduknya tersebar
luas di Kepulauan Timur. Hampir separuh jumlah keseluruhan anggota masyarakat ini berada dalam
perantauan dan pada umumnya mereka bermukim di kota-kota besar, seperti Jakarta, Bandung,
Pekanbaru, Medan, Batam, Palembang, dan Surabaya. Di luar wilayah Indonesia, etnis Minang banyak
terdapat di Kuala Lumpur, Seremban, Singapura, Jeddah, Sydney, dan Melbourne.
B. Konsep Tradisi dan Fungsinya
1. Konsep Tradisi
Tradisi adalah kebiasaan atau tradisi masyarakat yang telah dilakukan berulang kali secara turun
temurun. Tradisi secara umum dipahami sebagai pengetahuan, doktrin, kebiasaan, praktek dan lain-lain.
Yang diwariskan secara turun-menurun termasuk cara penyampaian pengetahuan, doktrin dan praktik
tersebut.
2. Fungsi Tradisi
a. Fungsi Agama
Sebagai pedoman manusia berperan dalam sebuah peranan sosial karena mengandung kode etika bagi
setiap penganutnya menjadi aturan dalam berhubungan antara manusia dengan Tuhannya memberikan
pandangan kepada manusia dan berpengaruh pada kebudayaan manusia
b. Fungsi Adat
Sebagai dasar pengatur etika
Sebagai norma-norma atau aturan setempat
Sebagai dasar peraturan dan larangan
c. Fungsi Kekeluargaan
Mengajarkan nilai-nilai etika
Memberikan perilaku yang baik
Membentuk karakter anak
Menanamkan nilai-nilai kebajikan (karakter) pada anak
b. Upacara Akekah
Upacara ini merupakan syari'at islam sebagai upacara syukuran atas titipan Allah SWT berupa anak
kepada orang tuanya.
2. Acara Terkait Perkawinan
a. Maresek
b. Maminang dan babimbang tando (Bertukar Tanda)
c. Mahantan sirih
d. Babako-babaki
e. Malam bainai
f. Manjapuik marapulai
g. Penyambutan di rumah anak daro
h. Akad nikah
i. Basandiang di pelaminan
j. Tradisi usai akad nikah
k. Manikam jajak
A. PENGERTIAN DIALEKTIKA
Dialektika merupakan suatu ilmu pengetahuan tentang hukum yang mengatur perkembangan alam,
masyarakat dan pemikiran. Sedangkan metode dialektis adalah interaksi dan investigasi dengan alam,
masyarakat, dan pemikiran.Pengertian dialektika menurut Aristoteles dalam buku Cecep Sumarna
(2006:132) adalah "Menyelidiki argumentasi-argumentasi yang bertitik tolak dari hipotesa atau putusan
yang tidak pasti kebenarannya". Menurut Socrates metode dialektika merupakan metode atau cara
memahami sesuatu dengan berdialog. Dialog adalah komunikasi dua arah, dimana salah satunya sebagai
pembicara dan yang lainnya mendengarkan. Dengan berdialog diharapkan dapat memecahkan atau
menyelesaikan sebuah probelem yang ada. Dari hal tersebut ada proses pemikiran seseorang yang
berkembang karena mendapat ide-ide baru dari hasil berdialog. Tujuan berdialog ialah untuk saling
mengetahui dan memahami kesimpulan yang didapat dari proses dua arah tersebut.
Berikutnya metode dialektika menurut Hegel adalah metode yang memahami dan memecahkan
persoalan berdasarkan tiga elemen yaitu tesa, antitesa, dan sintesa. Tesa adalah suatu persoalan atau
probelem tertentu, sedangkan antitesa adalah suatu reaksi, tanggapan, ataupun komentar kritis
terhadap tesa. Dari kedua elemen tersebut kemudian munculah sintesa, yaitu siatu kesimpulan.
Metode ini bertujuan untuk mengembangkan proses berfikir secara dinamis dan memecahkan
persoalan yang muncul karena adanya argumen yang kontradiktif atau berhadapan sehingga dicapai
kesepakatan yang rasional (Irmayanti, M Budianto, 2002:14 dalam Joko Suwarno). Dapat disimpulkan
bahwa metode dialektika merupakan suatu cara untuk mencapai kesepakatan yang rasional dari
permasalahan yang ada dengan komunikasi dua arah atau berdialog
Rasionalitas dialektika Minangkabau ini pertama-tama bisa dicermati dari ketegangan antara ranah dan
rantau. Profil dan suasana ranah (kampung halaman) dan rantau (wilayah imigrasi atau tempat orang
Minang merantau) masih diwarnai oleh distingsi pemikiran, yang terkadang mencapai level radikal,
terutama menyangkut upaya-upaya memajukan kampung halaman. Isu yang selalu mengorbit adalah
kesukaran menegosiasikan geliat pemikiran antara orang-orang Minang di ranah dan rantau.
Dalam berbagai forum silaturahim orang-orang Minang didapati bagaimana konsep pembangunan ranah
Minang dimaknai secara berbeda. Di satu sisi, orang Minang di ranah menilai bahwa konsep dan strategi
pengembangan kampung halaman yang digagas orang perantauan acapkali kali tidak senapas dengan
identitas di ranah sendiri. Desakan orang rantau agar pembangunan di ranah agar progresif dan tidak
berjalan di tempat (alam takambang jadi guru) acapkali tak mencapai titik temu dengan orang di
kampung yang ingin kemajuan nagari linear dengan toga kultural Minang-adat basandi syarak, syarak
basandi Kitabullah. Namun, tak sedikit orang Minang perantauan yang menyumbang atas lambatnya
pembangunan di nagari-nagari di Sumatra Barat karena pengaruh eco-culturalism-keberlangsungan
lingkungan dan budaya bermakna membiarkannya tetap alamiah. Karenanya, mereka memilih untuk
membiarkan kampung mereka tetap asri dan tidak dikotori oleh sentuhan pembangunan lewat
pertambangan, perkebunan raksasa, bahkan Kontestasi antara ranah dan rantau ini terbuhul erat
dengan budaya mancemeeh (mencemooh) yang amat berakar tunggang dalam falsafah hidup
Minangkabau. Budaya ini bukan bertujuan untuk menistakan seseorang. Ia merupakan cemeti bagi
urang awak untuk tidak berhenti berpikir, prima dalam berpendapat, dan terbaik ketika berbuat. Oleh
karena itu, budaya ini menjadikan siapa pun yang menjadi gubernur Sumatra Barat mesti bertelinga
tebal atas dominasi kritikan ketimbang pujian atas apa pun yang dilakukannya. Sungguhpun Irwan
Prayitno secara luar biasa telah melakukan lompatan kuantum selama lima tahun belakangan, lebih-
lebih pembangunan infrastruktur pascagempa 2009, tatapan intelektual seorang Buya Syafii perlu
dipahami dalam lensa falsafah dialektis Minangkabau tersebut, bukan dari kacamata suka tidak suka.
Tak kalah pentingnya, polemik tulisan Buya Syafii dan Ustaz Irsyad pula meneguhkan bagaimana orang
Minang sampai sekarang dibesarkan oleh pertarungan intelektual par excellence, tidak sekadar debat
kusir yang meninabobokan kualitas ide dan menganaktirikan kesantunan nilai. Pertarungan ini adalah
pikiran dengan pikiran, tulisan dengan tulisan. Menyongsong pikiran dengan karek kayu (kekerasan)
atau menyahut tulisan dengan pendekatan hukum amat kontras dengan budaya Minang yang amat
menghargai keragaman.
Preferensi pertarungan intelektual bagi orang-orang Minang sesungguhnya berkorelasi linear dengan
tananan egaliter dan demokratis yang menjadi darah daging filsafat Minangkabau. Bila orang
berkunjung ke Istana Baso Pagaruyung di Batusangkar, orang tidak akan menjumpai takhta raja karena
memang di Minangkabau posisi raja bukanlah istimewa. Seorang raja hanyalah orang yang didahulukan
selangkah, ditinggikan seranting, duduk sama rendah, dan tegak sama tinggi.
Jiwa budaya yang cenderung demokratis ini memberikan legitimasi lahirnya kelas-kelas negarawan dan
pemikir menonjol dari ranah Minang di Tanah Air. Ini bukan saja terlihat dari sosok para pendiri bangsa
—Hatta, Agus Salim, Natsir, Sutan Sjahrir, M. Yamin. Mr Assaad hingga Tan Malaka—melainkan juga
intelektual kontemporer di republik ini, semisal Taufik Abdullah, Syafii Maarif, Mochtar Naim, Azyumardi
Azra, Yasraf Amir Piliang, Saldi Isra, Revrisond Baswir, dan sebagainya. Nyaris ada saja sastrawan dan
budayawan Minang, baik yang tinggal di ranah maupun rantau, yang menulis di pelbagai kolom sastra
dan budaya di koran-koran Ibu Kota, semisal Kompas, Koran Tempo, Republika, Media Indonesia, dan
lain-lain.
Buya Syafii dan Ustaz Irsyad telah mendinamisasikan dan mengontekstualisasikan takdir orang Minang
sebagai para ideolog dan kaum pemikir di negeri ini. Tanpa bermaksud untuk bernostalgia atau
membenamkan diri ke dalam perangkap chauvenisme, dialektika Minangkabau dan orang-orang Minang
perlu dirawat sebagai aset kultural dan demografis monumental bagi negeri ini.
Proses dialektika, pertentangan dan perimbangan oleh orang Minang telah membentuk masyarakat
Minangkabau yang memiliki karakter, watak dan sikap yang jelas menghadapi kehidupan. Karakter
tersebut diantaranya yaitu :
2. Etos kerja yang didorong oleh penekanan terhadap kekuatan budi yang mendasari pada setiap orang
untuk dapat melakukan hal – hal berguna bagi semua orang.
3. Kemandirian, etos kerja dalam melaksanakan khalifah menjadi kekuatan menjadi orang Minang untuk
dapat hiudup mandiri tanpa tergantung oleh orang lain.
4. Toleransi dan Kesamaan Hati. Meskipun terdapat kompetisi, namun adanya rasa kesamaan
menimbulkan toleransi khususnya dalaam memandang komunitas.
6. Visioner.Adanya nya budi pekerti, etos kerja yng tinggi dan kemandirian diiringi semangat
kebersamaan dan toleransi yang tinggi menimbulkan pandangan jauh kedepan.
Perpaduan adat dan agama yang mendasari semangat hidup hendaknya dapat dijadikan dasar
berkehidupan yang baik, baik dalam komunitas adat itu sendiri, maupun dengan masyarakat dari
komunitas lainnya. Akidah tauhid sebagai ajaran islam dipupuk mulai baso – basi atau budi dalam tata
pergaulan dirumah tangga dan ditengah masyaratakat.Demikialah masyarakat Minangkabau menyikapi
cara mereka melihat sistim nilai etika, norma hukum dan sumber harapan sosial yang mempengaruhi
perilaku ideal dari individu dan masyarakat serta melihat alam perubahan yang lahir dari lubuk yang
berbeda, antara adat dan islam.
Kemampuan dan kearifan orang Minangkabau dalam membaca dan memaknai setiap gerak perubahan,
antara adat dan islam, dua hal yang berbeda akhirnya dapat menyatu dan dapat saling tompang
menompang membentuk sebuah bangunan kebudayaan Minangkabau melalaui Adat Basandi Sarak,
Sarak Basandi Kitabullah.
Adat Basandi Sarak, Sarak Basandi Kitabullah pada akhirnya terpatri menjadi landasan serta pandangan
hidup orang Minangkabau. Manusia akan dapat mengambil iktibar atau pelajaran yang berharga untuk
kehidupan bersama.
Ketentuan – ketentuan alam dijadikan sebagai dasar untuk menatakehidupan masyrakat Minangkabau,
baik secara pribadi, bermasyarakat maupun sebagai pemimpin. Fenomena alam mengaajarkan agar
setiap perbuatan sesuai dengan hukum yang berlaku dan sesuai dengan nilai dasar kemanusian, seperti
bulek aie dipambuluah dan bulek kato di mufakat, bulat kata sesuai dengan kesepaktan.
Ajaran adat Minangkabau berlandasan asas filosofi Alam Takambang jadi Guru, suatu konsep alam
semesta, merupakan sumber “ kebenaran “ dan kearifan orang Minangkabau. Alam semesta dipahami
orang Minangkabau dari segi fisik dan sebuah tantanan kosmologis. Alam bukan saja dimaknai sebagai
tempat lahir, tumbuh dan mencari kehidupan, lebih dari itu alam juga dimaknai sebagai kosmos yang
memiliki makna filosofis. Pemaknaan orang Minangkabau terhadap alam terlihat jelas dalam ajaran ;
pandaangaan dunia (world view) dan pandangan hidup ( way of life) yang seringkali mereka nisbahkan
melalui pepatah, petitih, mamangan, npetuah, yang diserap dari bentuk sifat dan kehidupan alam.
Pandangan kosmos ini npada akhirnya membawa mereka pada keteraturan semesta bukanlah sesuatu
yang tiba – tiba, melainkan muncul melalui proses pergulatan antara pertentangan dan keseimbangan.
REFERENSI
Daftar pustaka
Abubakar, Lastuti. “Revitalisasi Hukum Adat Sebagai Sumber Hukum Dalam Membangun Sistem
Hukum Indonesia”, Jurnal Dinamika Hukum
Amran, Rusli. 1981. Sumatra Barat Hingga Plakat Panjang. Jakarta: Sinar Harapan Mansoer, M.D.,
Dkk. 1970. Sedjarah Minangkabau. Jakarta: Bharatara.
Radjab, Muhammad. 1956. Perang Paderi Di Sumatera Barat (1803-1838). Jakarta: Balai Pustaka.
Robenta, Charles. Tontowi Amsia Dan Yustina Sri Ekwandari. Tanpa Tahun. Perjuangan Adityawarman
Di Kerajaan Dharmasraya Nusantara Tahun 1339-1376.
Sanggoeno Dirajo, Ibrahim. 2013. Tambo Alam Minangkabau. Bukit Tinggi: KristalMultimedia
Abidin, H. Mas'oed. 2013. Suluah Bendang Dalam Nagari. Yogyakarta: Gre Publishing.
dalam Novel Mencari Cinta yang Hilang Karya Abdulkarim Khiaratullah. Jambura
Amir M.S, 1997, Adat Minangkabau, Jakarta, PT. Mutiara Sumber Widya, Hal. 126
Bukhari. 2009. Akulturasi Adat Dan Agama Islam Di Minangkabau Tinjauan Antropologi Dakwah.
Jurnal Ilmiah Dakwah dan Komunikasi, 1(1), 49.
Elimartati, Integrasi Ajaran Budi (Akhlak Mulia) dalam Hukum Adat Minangkabau dan
https://www.kompasiana.com/wahyudirahmat/islam-dan-minangkabau-dalam-
2003),h. 6
L. Stoddard, Dunia Baru Islam (The New World of Islam), (Jakarta: tp, 1966), h. 303
Taufik Abdullah, School and Politics: The Kaum Muda Movement in West Sumatra (1927-
Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta: LP3ES, 1985), h. 7
Yudian Wahyudi, The Slogan Back to Qur’an and The Sunna As The Solution to The Decline of
Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta: Bulan
Keulamaan. Medan: Perdana Publishing dan Centre for Al Washliyah Studies, 2015.
Amir, M.S., 2006, Adat Minangkabau: Pola dan Tujuan Hidup Orang Minang, PT. Mutiara
Sumber Media, Jakarta.
Bertens, K., 2001, Filsafat Barat Kontemporer, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Diradjo, I, Dt., S., 2009,
Kurzwell, E., 1980, The Age of Structuralism, Columbia University Press New York.
Levi-Strauss, C., 1969, The Elementary Structures of Kinship, Translated from the French
by James Harle Bell, John Richard von Sturmer and Rodney Needham, Beacon Press,
Boston.
Mudhofir, Ali, 1988, Kamus Teori dan Aliran Dalam Filsafat, Liberty, Yogyakarta.
Putiah, H. J. Dt. Malako Nan, 2004, Matrilinial Dalam Adat Minangkabau dalam Ch. N.
Latif, Minangkabau Yang Gelisah: Mencari
Strategi Sosialisasi Pewarisan Adat dan Budaya Minangkabau untuk Generasi Muda, CV.
Lubuk Agung, Bandung.
Rauda, P. R., 2004, Sistem Matrilinial dalam Adat dan Budaya Minangkabau, dalam Ch. N.
Latif, Minangkabau Yang Gelisah: Mencari Strategi Sosialisasi Pewarisan Adat dan Budaya
Minangkabau untuk Generasi Muda, CV. Lubuk Agung, Bandung.
Schiwy, G., 1986, Structuralism dalam Kari rahner (ed.), Sacramentum Mundi, Vol. 6, Bums
& Oates, London.
Sperber, D., 1979, Claude Levi-Strauss, dalam John Sturrock (ed.)
Structuralism and Since from Levi-Strauss to Derrida, Oxford
University Press, Oxford.
Wittig, S. (ed.), 1975, Structuralism; An Interdisciplinary Study, The Pickwick Press, Pittsburgh,
Pennsylvania.
Zamakhsyari, Dhofir.Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai. Jakarta: LP3ES,
1993.
Amir, Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dalam Lingkungan Adat Minangkabau.
https.7/piibkt-wordpress-
com. cdn. ampproject, org/v/s/piibkt. wordpress, com/2008/02/14/memaknai-budaya- konflik-
dalam-masyarakat
minangkabau/amp/?ampJs_ v=a6&_gsa= 1 &usgp=mg331AQHKAFQArABIA %3D
Dari%20 %251 %24s&share=h ftps %3A %2F%2Fpiibkt. word press, com %2F2008%2F
02%2F147o2Fmemaknai-budaya-konfHk-dalam-masyarakat-minangkabau%2F
Amir M.S. Adat Minangkabau Pola dan Tujuan Hiduporang Minang, Mutiara Sumber Widya, 2003
Hammudah 'Abd al "Ati, Kelurga Muslim, alih bahasa Anshari Thayib, (Surabaya: Bina Ilmu, 1984
Idrus Hakimy, Rangkaian Mustika Adat Basandi Syarak di Minangkabau, Rosda Bandung, 1978
Imam Syaukani dan Ashin Thohari, Dasar- Dasar Politik Hukum, Raja Grafindo Persada, 2006
Lajnah Pentashihan Mushaf alQur'an, Kedudukan dan Peran Perempuan , (Tafsir al- Qur'an Tematik),
(Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI,2009 Muhammad Utsman Najati, Psikologi
dalam Al-Qur'an Terapi Qur'ani dalam Penyembuhan Gangguan Kejiwaan,Alih Bahasa M.Zaka Alfarisi,
(Bandung: Pustaka Setia), 2005
Pimpinan Pusat Aisyiyah, Kelurga dan Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia, Yogyakarta, 1995
Siti Hidayati Amal, Ketahanan Keluarga dalam Masyarakat yang sedang Berubah, Makalah dalam
Penataran PSW FISIP UI, 1993
Setiawan Budi Utomo, Fiqh Aktrual Jawaban Tuntas masalah Kontemporer, Gem Insani, 2003
Suardi Mahyuddin dan Rustam Rahman, Hukum Adat Minangkabau dalam Sejarah Perkembangan
Nagari Rao- Rao, Citatama Mandiri, 2002
Jogjakarta
Hadler, Jeffrey. Muslims and Matriarchs. Cultural Resilience in Indonesia through Jihad and
Colonialism. London and Ithaca: Cornell University Press, 2008.
Jansen, G.H. De Militante Islam. Een Langf Verleden, Een Lange Toekomst. Utrecht/ Antwerpen:
Uitgevereij Het Spectrum, 1982.
Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi. Bandung: Mizan, 1994.
Laffan, Michael Francis, Islamic Nationhood and Colonial Indonesia: The Umma Below the
Winds, SOAS/Routledge Curzon Studies on the Middle East (London: Routledge Curzon,
2003).
Mestika Zed, "Study of Southeast Asian Islamic History: Gap between Interregional Historical
Research and Theoretical Methodological Problem", dalam Nusantara. Journal for Southeast
Asian Islamic Studies, Vol. 2 No, 2 (2000): 45-72.
http://ihayatul.blogspot.com/2018/08/makalah-islam-dan-budaya-minangkabau.html?m=1
https://klipaa.com/story/1310-pengertian-dialektika
https://sumbarprov.go.id/home/news/9282-falsafah-budaya-minang-adat-basandi-sarak-sarak-
basandi-kitabullah.html
https://www.republika.co.id/berita/koran/news-update/15/08/27/ntqbg820-keabsahan-
dialektika-minangkabau