Anda di halaman 1dari 27

DOSEN PENGAMPU : DR. H.HUSEN SARUJIN, SH, MH., M.

Si

MATA KULIAH : PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN

MAKALAH

CIVIL SOCIETY

OLEH :
KELOMPOK 6

PUTRI APRISILIA (60100122082)


MUH. SYAFWAN GHIFARI (60100122068)

PRODI TEKNIK ARSITEKTUR


FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR
2022/2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberi rahmat, taufik serta
hidayah-Nya untuk kami sehingga dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “civil society”
dengan tepat pada waktunya

Makalah ini tidak ada gunanya untuk kami menarik sebagai PA. Informasi yang disajikan
dalam makalah ini diperoleh dari referensi membaca buku, jurnal dan searching di internet

Penulis sangat berterima kasih tetap ada seluruh pihak yang telah membantu dalam
penyelesaian makalah ini terutama bagi dosen pengajar serta teman-teman yang telah mendukung
terselesaikannya makalah ini.

Dalam pembuatan makalah ini, penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan. Oleh
karena itu untuk kesempurnaan makalah ini penulis menunggu segala kritik dan saran pembaca.
Harapan akhir penulis yaitu makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca di semua kelas.

Makassar, September 2022

Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR............................................................................................................................2

BAB I....................................................................................................................................................4

PENDAHULUAN..................................................................................................................................4

A. LATAR BELAKANG...................................................................................................................4

B. RUMUSAN MASALAH..............................................................................................................5

C. TUJUAN.....................................................................................................................................5

D. MANFAAT..................................................................................................................................5

BAB II...................................................................................................................................................6

PEMBAHASAN....................................................................................................................................6

A. PENGERTIAN MASYARAKAT MADANI..................................................................................6

B. SEJARAH PEMIKIRAN MASYARAKAT MADANI....................................................................8

C. SYARAT TERBENTUKNYA MASYARAKAT MADANI...........................................................15

D. KARAKTERISTIK MASYARAKAT MADANI...........................................................................16

E. PILAR PENEGAK MASYARAKAT MADANI...........................................................................22

F. MENJADIKAN MASYARAKAT INDONESIA SEBAGAI MASYARKAT MADANI....................23

BAB III................................................................................................................................................25

PENUTUP..........................................................................................................................................25

A. KESIMPULAN..........................................................................................................................25

B. SARAN......................................................................................................................................25

DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................................................26
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Masyarakat madani, konsep ini merupakan penerjemahan istilah dari konsep civil society
yang pertama kali digulirkan oleh Dato Seri Anwar Ibrahim dalam ceramahnya pada simposium
Nasional dalam rangka forum ilmiah pada acara festival istiqlal, 26 September 1995 di Jakarta.
Konsep yang diajukan oleh Anwar Ibrahim ini hendak menunjukkan bahwa masyarakat yang
ideal adalah kelompok masyarakat yang memiliki peradaban maju. Lebih jelas Anwar Ibrahim
menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan masyarakat madani adalah sistem sosial yang
subur yang diasaskan kepada prinsip moral yang menjamin keseimbangan antara kebebasan
perorangan dengan kestabilan masyarakat.

Menurut Quraish Shibab, masyarakat Muslim awal disebut umat terbaik karena sifat-sifat
yang menghiasi diri mereka, yaitu tidak bosan-bosan menyeru kepada hal-hal yang dianggap
baik oleh masyarakat selama sejalan dengan nilai-nilai Allah (al-ma’ruf) dan mencegah
kemunkaran. Selanjutnya Shihab menjelaskan, kaum Muslim awal menjadi “khairu ummah”
karena mereka menjalankan amar ma’ruf sejalan dengan tuntunan Allah dan rasul-Nya.
(Quraish Shihab, 2000, vol.2: 185). Perujukan terhadap masyarakat Madinah sebagai tipikal
masyarakat ideal bukan pada peniruan struktur masyarakatnya, tapi pada sifat-sifat yang
menghiasi masyarakat ideal ini. Seperti, pelaksanaan amar ma’ruf nahi munkar yang sejalan
dengan petunjuk Ilahi, maupun persatuan yang kesatuan yang ditunjuk oleh ayat sebelumnya
(lihat, QS. Ali Imran [3]: 105). Adapun cara pelaksanaan amar ma’ruf nahi mungkar yang
direstui Ilahi adalah dengan hikmah, nasehat, dan tutur kata yang baik sebagaimana yang
tercermin dalam QS an-Nahl [16]: 125. Dalam rangka membangun “masyarakat madani
modern”, meneladani Nabi bukan hanya penampilan fisik belaka, tapi sikap yang beliau
peragakan saat berhubungan dengan sesama umat Islam ataupun dengan umat lain, seperti
menjaga persatuan umat Islam, menghormati dan tidak meremehkan kelompok lain, berlaku
adil kepada siapa saja, tidak melakukan pemaksaan agama, dan sifat-sifat luhur lainnya. Kita
juga harus meneladani sikap kaum Muslim awal yang tidak mendikotomikan antara kehidupan
dunia dan akhirat. Mereka tidak meninggalkan dunia untuk akhiratnya dan tidak meninggalkan
akhirat untuk dunianya. Mereka bersikap seimbang (tawassuth) dalam mengejar kebahagiaan
dunia dan akhirat. Jika sikap yang melekat pada masyarakat Madinah mampu diteladani umat
Islam saat ini, maka kebangkitan Islam hanya menunggu waktu saja.

B. RUMUSAN MASALAH

1. Apa yang dimaksud dengan masyarakat madani?


2. Bagaimana sejarah pemikiran tentang masyarakat madani?
3. Apa syarat terbentuknya masyarakat madani?
4. Seperti apa karakteristik masyarakat madani?
5. Apa saja yang menjadi pilar penegak terciptanya masyarakat madani?
6. Bagaimana masyarakat Indonesia bisa menjadi masyarakat yang madani?

C. TUJUAN

Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk menjelaskan tentang masyarakat madani
mulai dengan definisi, sejarah, karakteristik,dan syarat-syarat terbentuknya, hingga nilai-nilai
masyarakat madani dapat terealisasi dalam kehidupan nyata.

D. MANFAAT

Manfaat di buatnya makalah ini adalah untuk mengetahui apa makna dari masyarakat
madani itu sendiri dan hal-hal yang berkaitan dengannya. Selain itu, supaya pembaca lebih
luas wawasannya dalam suatu ilmu, khususnya mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan.
BAB II

PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN MASYARAKAT MADANI


Masyarakat madani adalah sistem sosial yang subur berdasarkan prinsip moral yang
menjamin keseimbangan antara kebebasan individu untuk stabilitas masyarakat. Inisiatif
individu dan masyarakat akan berpikir, seni, pelaksanaan pemerintah oleh hukum dan tidak
nafsu atau keinginan individu.

Masyarakat madani atau civil society merupakan bagian masyarakat yang memiliki adab


dalam membangun, memaknai, dan menjalani kehidupannya. Masyarakat madani seringkali
diartikan dengan makna yang berbeda-beda. Hal ini merupakan salah satu konsep berwayuh
wajah.

Ahli filsafat Petrus mengungkapkan bahwa masyarakat madani bisa diartikan sebagai
masyarakat yang beradab dalam memaknai kehidupan. Asal mula kata madani yaitu dari
Bahasa Inggris, yang artinya beradab atau berbudaya.

Rumusan civil society makin menemukan bentuknya setelah Alexis de Tocquaville pada
abad ke-19 melakukan penelitian lapangan yang hasilnya termaktub dalam karya klasiknya,
Democracy in America (1969). Tocquaville sendiri terinspirasi oleh Montesquieu. Ia
menyatakan bahwa asosiasi-asosiasi voluntir berguna untuk memperantarai aspirasi
masyarakat dengan para pengambil kebijakan. Asosiasi perantara merupakan aset vital bagi
demokrasi, kata Robert W. Hefner (2000). Menurut definisi AS. Hikam yang merujuk pada
Tocquaville, civil society adalah wilayah-wilayah kehidupan sosial yang terorganisasi dan
bercirikan antara lain: kesukarelaan (voluntary), keswasembadaan (self-generating), dan
keswadayaan (self-supporting), kemandirian tinggi “berhadapan” dengan negara, dan
keterikatan tinggi dengan norma-norma atau nilai-nilai hukum yang diikuti warganya (1996).

Dalam melihat hubungan masyarakat dengan negara, civil society dianggap memiliki tiga
fungsi; Pertama, sebagai komplementer di mana elemen-elemen civil society mempunyai
aktivitas memajukan kesejahteraan dengan memajukan kegiatan yang ditujukan untuk
melengkapi peran negara sebagai pelayan publik (public services). Kedua, sebagai subtitutor.
Artinya, kalangan civil society melakukan serangkaian aktivitas yang belum atau tidak dilakukan
negara dalam kaitannya sebagai institusi yang melayani kepentingan masyarakat luas. Dan
ketiga, sebagai kekuatan tandingan negara atau counterbalancing the state atau countervailing
forces. Kalangan civil society melakukan advokasi, pendampingan, ligitasi, bahkan praktik-
praktik oposisi untuk mengimbangi kekuatan hegemonik negara atau paling tidak menjadi
wacana alternatif di luar aparatur birokrasi negara.

Fungsi-fungsi civil society di atas mengandaikan perbedaan titik-tekan implementasi


gagasan-gagasan civil society, antara ranah sosial-budaya ataukah pada lingkup politik. Studi
Michael W. Foley dan Bob Edwards misalnya, menunjukkan distingsi kategoris antara civil
society yang berorientasi horisontal yang lebih dekat pada irisan budaya dengan civil society
vertikal yang dianggap lebih “politis.” Iwan Gardono (2001) menambahkan sebentuk civil
society yang merupakan kombinasi antara keduanya. Ia melanjutkan bahwa civil society yang
menekankan pada aspek budaya dan bersifat horisontal biasanya terkait erat dengan “civility”
atau keberadaban dan “fraternity.” Indigenisasi konsep civil society dilakukan dalam rangka
menarik relevansi dengan konteks keumatan. Anwar Ibrahim, Nurcholish Madjid dan Dawam
Raharjo yang mengusung masyarakat madani misalnya, termasuk prototipe kalangan yang
melihat civil society sebagai konsep budaya. Meskipun bagi kalangan muslim-tradisionalis
seperti AS. Hikam, Ahmad Baso dan lain-lain enggan memakai istilah masyarakat madani
untuk menyebut civil society, tapi lebih suka memakai kata civil society atau sekurang-
kurangnya diterjemahkan menjadi masyarakat sipil, mereka sering dikategorikan sebagai
kalangan civil society yang bekerja pada ranah kultural. Kategori ini tidak bersifat mutlak karena
AS. Hikam misalnya, pernah menulis bahwa civil society merupakan sebuah arena tempat para
intelektual organik menjadi kuat yang tujuannya mendukung proyek hegemoni tandingan.

Adapun civil society dalam konotasi vertikal lebih merujuk pada dimensi politis, sehingga
lebih dekat pada aspek citizen dan liberty (Iwan Gardono. 2001). Identifikasi civil society
sebagai masyarakat warga atau kewargaan yang dianut Ryas Rasyid, civil Islam—yang
dikontraskan dengan regimist Islam— yang dipakai Robert W Hefner condong ke pengertian
civil society secara vertikal. Dalam analisis Iwan Gardono, perbedaan titik tekan tersebut
berimplikasi pada pemaknaan yang beragam, atau setidaknya istilah-istilah yang beragam
untuk menyebut civil society ternyata tidak sekadar persoalan etimologis, tapi juga
mengandung perbedaan substansi penekanan dari masing-masing konsep atau istilah civil
society itu.
Sementara kombinasi vertikal dan horisontal, dalam pandangan Iwan Gardono, tampak
dalam definisi civil society menurut Ralf Dahrendorf dan Afan Gaffar, meskipun secara umum
keduanya lebih condong pada pengertian vertikal. Dengan mengombinasikan secara horisontal
dan vertikal, maka fungsi komplementer, substitutor dan countervailing forces menjadi satu
kesatuan yang tak terpisahkan. Barangkali persoalannya terletak pada bagaimana kalangan
civil society dalam pelbagai sektor dan area of concern dari aktivitas yang mereka lakukan
dapat berbagi peran menuju terciptanya demokratisasi yang berbasis masyarakat (based on
communities).

B. SEJARAH PEMIKIRAN MASYARAKAT MADANI

Apabila dicari akar sejarah masyarakat madani, maka bisa dilihat jika dalam masyarakat
Yunani Kuno, hal ini sudah ada. Di dalam Raharjo (1997), mengungkapkan bahwa istilah civil
society telah ada sejak dahulu kala sebelum masehi. Seseorang yang pertama kali
mencetuskan istilah civil society adalah Cicero, yaitu seorang orator dari Yunani Kuno.

Menurut Cicero, civil society merupakan sebuah komunitas politik yang memiliki adab yang
baik. Hal tersebut biasanya dicontohkan oleh masyarakat yang tinggal di kota. Dimana mereka
memiliki kode hukum sendiri. Dengan adanya kewarganegaraan serta budaya kota, maka
istilah kota tidak hanya sekadar konsentrasi penduduk saja.

Istilah masyarakat madani selain mengacu pada konsep civil society, juga berdasarkan
pada konsep negara-kota Madinah yang dibangun Nabi Muhammad SAW pada tahun 622M.
Masyarakat madani juga mengacu pada konsep tamadhun (masyarakat yang beradaban) yang
diperkenalkan oleh Ibn Khaldun, dan konsep Al Madinah al fadhilah (Madinah sebagai Negara
Utama) yang diungkapkan oleh filsuf Al Farabi pada abad pertengahan (Rahardjo seperti yang
dikutip Nurhadi, 1999).

Menurut Dr. Ahmad Hatta, peneliti pada Lembaga Pengembangan Pesantren dan Studi
Islam, Al Haramain, Piagam Madinah adalah dokumen penting yang membuktikan betapa
sangat majunya masyarakat yang dibangun kala itu, di samping juga memberikan penegasan
mengenai kejelasan hukum dan konstitusi sebuah masyarakat. Bahkan, dengan menyetir
pendapat Hamidullah (First Written Constitutions in the World, Lahore, 1958), Piagam Madinah
ini adalah konstitusi tertulis pertama dalam sejarah manusia. Konstitusi ini secara
mencengangkan telah mengatur apa yang sekarang orang ributkan tentang hak-hak sipil (civil
rights), atau lebih dikenal dengan hak asasi manusia (HAM), jauh sebelum Deklarasi
Kemerdekaan Amerika (American Declaration of Independence, 1997), Revolusi Prancis
(1789), dan Deklarasi Universal PBB tentang HAM (1948) dikumandangkan.

Sementara itu konsep masyarakat madani, atau dalam khazanah Barat dikenal sebagai civil
society (masyarakat sipil), muncul pada masa pencerahan (Renaissance) di Eropa melalui
pemikiran John Locke (abad ke-18) dan Emmanuel Kant (abad ke-19). Sebagai sebuah
konsep, civil society berasal dari proses sejarah panjang masyarakat Barat yang biasanya
dipersandingkan dengan konsepsi tentang state (negara). Dalam tradisi Eropa abad ke-18,
pengertian masyarakat sipil ini dianggap sama dengan negara (the state), yakni suatu
kelompok atau kesatuan yang ingin mendominasi kelompok lain.

Selanjutnya konsep civil society tersebut banyak mengalami pola pemaknaan, sejalan
dengan perubahan sosio-historis tempat gagasan itu dirumuskan. Dalam sejumlah literatur
mengenai konsep civil society, terdapat lima corak pemikiran yang mewarnai sejarah Barat.

Pertama, civil society di pahami sebagai sistem ketatanegaraan. Dalam hal ini, civil society
identik dengan negara. Pemahaman tersebut di kembangkan oleh Aristoteles (384-322 SM),
Marcus Tullius Cicero (106-43 SM), Thomas Hobbes (1588-1679) dan John Locke (1632-
1704). Hanya saja, Aristoteles tidak menggunakan istilah civil society, melainkan koinonia
politike, yakni sebuah komunitas politik tempat warga dapat terlibat langsung dalam
pengambilan keputusan baik itu dalam bidang ekonomi maupun politik. Cicero pun berbeda
dengan Aristoteles, ia menamakannya dengan societas civilis, yaitu sebuah komunitas yang
mendominasi sejumlah komunitas lain. Sedangkan Thomas Hobbes dan John locke
memaknainya sebagai tahapan lebih lanjut dari natural society, sehingga civil society sama
dengan negara.

Kedua, dengan mengambil konteks sosial-politik Skotlandia, Adam Ferguson


(1767)memberi tekanan terhadap makna civil society sebagai visi etis dalam kehidupan
bermasyarakat. Ia menggunakan pemahaman ini untuk mengantisipasi perubahan sosial yang
diakibatkan oleh revolusi industri dan munculnya kapitalisme. Menurut Ferguson, munculnya
ekonomi pasar bisa melunturkan tanggung jawab publik dari warga karena dorongan
pemuasan kepentingan pribadi. Civil society disini, lebih dipahami sebagai entitas yang sarat
dengan visi etis berupa rasa solider dan kasih sayang antar sesama, dan ini kebalikan dari
masyarakat primitf atau masyarakat barbar.

Ketiga, dalam pemaknaan Thomas Paine (1792), civil society merupakan antitesis negara
atau cenderung dalam posisi yang berhadapan dengan negara.

Keempat, yang menjadi tokoh pemikirnya antara lain Hegel, Marx dan Gramsci. Dalam hal
ini, Hegel mengembangkan civil society yang subordinat terhadap negara. Hal ini didasari
karena civil society sangat kuat hubungannya dengan fenomena masyarakat borjuis Eropa
yang pertumbuhannya ditandai oleh perjuangan melepaskan diri dari dominas negara.[2]

Pandangan civil society yang pesimis ini juga dikembangkan Karl Marx (1818-1883). Marx
memahaminya sebagai masyarakat borjuis dalam hubungan produksi kapitalis keberadaannya
merupakan kendala bagi pembebasan manusia dan penindasan. Karena itu, ia harus
dilenyapkan untuk mewujudkan masyarakat tanpa kelas.

Sedangkan Antonio Gramsci, meski penganut Marx tetapi tidak memahami civil society dari
relasi produksi, tetapi lebih pada sisi ideologis. Bila marx menempatkan civil society pada basis
material, Gramsci menaruhnya pada suprastruktur, berhadapan dengan negara yang ia sebut
sebagai political society. Civil society adalah adalah sebuah arena tempat para intelektual
organik dapat menjadi kuat yang tujuannya adalah upaya melakukan perlawanan terhadap
hegemoni negara.[3]

Akhir dari semua proses itu adalah terserapnya negara dalam civil society, sehingga
terbentuklah apa yang disebut masyarakat teratur (regulated society).[4] Dengan demikian, bila
Hegel dan Marx cenderung pesimis dengan kemandirian civil society maka Gramsci lebih
optimis dan dinamis.
Kelima, berdasarkan pengalaman demokrasi di Amerika, Alexis De’ Tocqueville
mengembangkan teori civil society yang dimaknai sebagai entitas penyeimbang kekuatan
negara. Di Amerika pada awal pembentukannya, demokrasi dijalankan lewat civil society,
berupa pengelompokan sukarela dalam masyarakat, termasuk gereja dan asosiasi
professional, yang membuat keputusan pada tingkat lokal dan menghindari intervensi negara.
Civil society tidak apriori subordinatif terhadap negara, sebagaimana konsep Hegelian. Ia
bersifat otonom dan memiliki kapasitas politik cukup tinggi sehingga mampu menjadi kekuatan
pengimbang untuk menahan kecenderungan intervensi negara. Bukan hanya itu, ia bahkan
menjadi sumber legitimasi negara, dan pada saat yang sama mampu melahirkan kekuatan
kritis reflektif (reflective force) untuk mengurangi derajat konflik dalam masyarakat sebagai
akibat proses formasi sosial modern. Civil society tidak hanya berorientasi pada kepentingan
sendiri, tetapi juga sensitif terhadap kepentingan publik.

Karenanya, civil society mengandaikan pula sebuah masyarakat politik (political science) di
dalamnya. Ini jelas berbeda sekali dengan konsep-konsep civil society yang dikenal dalam
konsepsi Hegelian dan Marxian. Yang pertama melihatnya sebagai sebuah wilayah pribadi,
dimana orang secara egoistik memperjuangkan dan mempertahankan kepentingan sendiri
tanpa menghiraukan orang lain.

Corak pemikiran Gramsci dan Tocqueville inilah yang menjadi inspirasi gerakan pro-
demokrasi di Eropa Timur dan Tengah pada akhir dasawarsa 80’an, dan bukan konsep Hegel
yang pesimis itu. Pengalaman Eropa Timur dan Tengah membuktikan justru dominasi negara
atas masyarakatlah yang melumpuhkan kehidupan sosial mereka. Di sini, gerakan membangun
civil society menjadi perjuangan untuk membangun harga diri mereka sebagai warga negara.
Gagasan civil society menjadi semacam landasan ideologis untuk membebaskan diri dari
cengkraman negara yang secara sistematis melemahkan kreatifitas dan kemandirian mereka.

Pemikiran terakhir ini kemudian diperkaya oleh Hannah Arendt dan Juergen Habermas
dengan konsep “ruang pubik yang bebas” (the free public sphere). Ruang publik secara teoritis
bisa diartikan sebagai wilayah dimana masyarakat sebagai warga negara memiliki akses penuh
terhadap setiap kegiatan publik. Warga negara berhak melakukan kegiatan secara merdeka
dalam menyampaikan pendapat, berserikat, berkumpul serta mempublikasikan penerbitan yang
berkenaan dengan kepentingan umum. Institusionalisasi ruang publik ini, menurut Habermas,
antara lain, media massa, sekolah, gedung-gedung pertemuan, parlemen dan tempat-tempat
publik lainnya.

Civil society model Tocqueville tumbuh di Eropa sebagai rekonstruksi pengalaman Amerika
dan kemudian tumbuh di Eropa inilah yang selanjutnya menjadi basis kehidupan demokrasi
modern, yang berlandaskan prinsip toleransi, desentralisasi, kewarganegaraan, aktivisme,
dalam ruang publik, sukarela, swasembada, swadaya, otonom, dan konstitusionalisme.

Secara institusional, civil society mewujud dalam berbagai asosiasi yang dibuat dalam
masyarakat di luar pengaruh negara. Misalnya lembaga swadaya masyarakat, organisasi sosial
dan keagamaan, paguyuban, partai politik hingga organisasi yang awalnya dibentuk negara,
namun berfungsi sebagai pelayan masyarakat.

Dari perspektif konsep civil society yang berbeda-beda ini, sesungguhnya mengimplikasikan
pada substansi penekanan dari konsep atau istilah konsep civil society itu. Dan ini pada
gilirannya akan melahirkan perbedaan pula pada aspek penguatan civil society. Terlepas dari
beragamnya pendekatan dalam memahami civil society, sepertinya relevan untuk melontarkan
definisi civil society menurut Alfred Stepan,

“Arena di mana banyak sekali gerakan sosial (misalnya, asosisasi kekeluargaan, kelompok
perempuan, kelompok-kelompok keagamaan, dan organisasi intelektual) dan organisasi-
organisasi civik dari berbagai kelas (misalnya, organisasi pengacara, wartawan, serikat buruh
dan pengusaha) yang mencoba membentuk diri mereka dalam suatu keteraturan agar dapat
menyalurkan kepentingan-kepentingannya.”

Dari definisi Stepan ini, bisa di artikan bahwa civil society bukan hanya sekedar arena di
luar negara yang berusaha untuk meraih kepentingan, tetapi juga ada kesadaran dari kelompok
masyarakat untuk menghimpun dirinya dalam asosiasi dan organisasi sukarela bekerja sama
dalam bingkai keteraturan (ensemble of arrangement).
Sejarah Pemikiran Masyarakat Madani (Civil Society).

Untuk memahami masyarakat madani terlebih dahulu harus di bangun paradigma bahwa
konsep masyarakat madani ini bukan merupakan suatu konsep yang final dan sudah jadi, akan
tetapi merupakan sebuah wacana yang harus dipahami sebagai sebuah proses. Oleh karena
itu, untuk memahaminya haruslah di analisis secara historic.[6]Menurut Manfred, Cohen dan
Arato serta M. Dawam Rahardjo, wacana masyarakat madani sudah mengemuka pada masa
Aristoteles. Disini ada beberapa fase tentang sejarah pemikiran masyarakat madani.
Fase pertama,(Aristoteles, 384-322 SM) masyarakat madani di pahami sebagai system
kenegaraan dengan menggunakan istilah koinonia politike, yakni sebuah komunitas politik
tempat warga dapat terlibat langsung dalam berbagai pencaturan ekonomi-politik dan
pengambilan keputusan. Istilah koinonia politike yang di kemukakan oleh Aristoteles ini
digunakan untuk menggambarkan sebuah masyarakat politis dan etis dimana warga negara di
dalamnya berkedudukan sama di depan hukum. Hukum sendiri dianggap etos, yakni
seperangkat nilai yang di sepakati tidak hanya dengan prosedur politik, tetapi juga sebagai
subtansi dasar kebijakan (viertue) dari berbagai bentuk interaksi di antara warga negara.

Konsepsi Aristoteles ini diikuti oleh Marcus Tullius Cicero (106-143 SM) dengan istilah
societies civilizes, yaitu sebuah komunitas yang mendominasi komunitas yang lain. Tema yang
di kedepankan oleh Cicero ini lebih menekankan pada konsep Negara kota (city-state), yakni
untuk menggambarkan kerajaan , kota dan bentuk korporasi lainnya, sebagai kesatuan yang
terorganisasi. Konsepsi masyarakat madani yang aksentuasinya pada system kenegaraan ini
dikembangkan pula oleh Thomas Hobbes (1588-1679 M) dan John Locke (1632-1704).[7] Pada
masa itu civil society dipahami sebagai suatu wilayah yang mencakup masyarakat politik
(politica society) dan masyarkat ekonomi (economic society).[8]

Fase kedua. Pada tahun 1767 Adam Ferguson mengembangkan wacana civil society
dengan konteks sosial dan politik di skotlandia. Berbeda pendapat dengan pendahulunya,
Ferguson lebih menekankan visi etis pada civil society dalam kehidupan sosial.[9] Pendapat ini
digunakan untuk mengantisipasi perubahan sosial yang diakibatkan oleh revolusi indutri
munculnya kapitalisme serta mencoloknya perbedaan antara publik dan individu. Dengan
konsepnya ini, Ferguson berharap bahwa publik memiliki spirit untuk menghalangi munculnya
kembali depotisme, karena dalam masyarakat madani itulah solidaritas sosial muncul dan
diilhami oleh sentimen moral dan sikap saling menyayangi serta saling mempercayai antar
warga negara secara alamiah.[10]

Fase ketiga. Pada tahun 1792 Thomas Paine memaknai wacana civil society sebagai
sesuatu yang berlawanan dengan lembaga negara, bahkan ia dianggap sebagai antitesis
negara. Bersandar pada paradigma ini, peran negara sudah saatnya dibatasi. Menurut
pandangan ini, negara tidak lain hanyalah keniscayaan buruk belaka. Menurutnya, civil society
adalah ruang dimana warga negara dapat mengembangkan kepribadian dan memberi peluang
bagi pemuasan kepentingannya secara bebas tanpa paksaan. Sejalan dengan pandangan ini,
civil society harus lebih dominan dan sanggup mengontrol negara demi keberlangsungan
kebutuhan anggotanya.[11]

Fase keempat. Wacana civil society selanjutnya dikembangkan oleh G. W. F. Hegel (1770-
1831 M), Karl Max (1818-1883 M), dan Antonio Gramsci (1891-1837 M). Pandangan mereka,
civil society merupakan elemen ideologi kelas dominan. Pemahaman ini adalah reaksi atas
pandangan Paine yang memisahkan civil society dari negara. Berbeda dengan pandangan
Paine, Hegel memandang civil society sebagai kelompok subordinatif terhadap negara.
Pandangan ini, menurut pakar politik Indonesia Ryaas Rasyid, erat kaitannya dengan
perkembangan sosial masyarakat borjuasi eropa yang pertumbuhannya ditandai oleh
perjuangan melepaskan diri dari cengkeraman dominasi negara.

Lebih lanjut Hegel menjelaskan bahwa dalam struktur sosial civil society terdapat tiga (3)
entitas sosial: keluarga, masyarakat sipil, dan negara. Keluarga merupakan ruang sosialisasi
pribadi sebagai anggota masyarakat yang bercirikan keharmonisan. Selanjutnya, masyarakat
sipil merupakan lokasi atau tempat berlangsungnya percaturan berbagai kepentingan pribadi
dan golongan terutama kepentingan ekonomi. Dan terakhir, negara merupakan representasi
dari ide universal yang bertugas melindungi kepentingan politik warganya dan mempunyai hak
penuh untuk melakukan intervensi terhadap civil society.

Berbeda dengan Hegel, Karl Max memandang bahwa civil society dalam konteks hubungan
produksi kapitalis, keberadaan civil society merupakan kendala terbesar bagi upaya
pembebasan manusia dari penindasan kelas pemilik modal. Demi terciptanya proses
pembebasan manusia, civil society harus dilenyapkan untuk mewujudkan tatanan masyarakat
tanpa kelas.

Antonio Gramsci berbeda pendapat dengan Marx, yaitu ia lebih memandang pada sisi
ideologis. Menurut Gramsci, civil society merupakan tempat berebutan posisi hegemoni di luar
kekuatan Negara, aparat mengembangkan hegemoni untuk membentuk consensus dalam
masyarakat.

Fase kelima. Wacana civil society sebagai reaksi terhadap mazhab Hegelian yang
dikembangkan oleh Alexis de Tocqueville (1805-1859). Bersumber dari penglamannya
mengamati budaya demokrasi Amerika, Tocqueville memandang civil society sebagai
kelompok penyeimbang kekuatan negara. Menurut Tocqueville, kekuatan politik dan
masyarakat sipil merupakan kekuatan utama yang menjadikan demokrasi Amerika mempunyai
daya tahan yang kuat. Mengaca pada kekhasan budaya demokrasi rakyat Amerika yang
bercirikan plural, mandiri, dan kedewasaan berpolitik, menurutnya warga negara di mana pun
akan mampu mengimbangi dan mengontrol kekuatan negara.[12]

Beberapa fase sudah di sebutkan, bahwa setiap fase mempunyai pandangan yang
berbeda-beda dalam mengartikan masyarakat madani tersebut. Mulai dari ,(Aristoteles, 384-
322 SM) yang memaknai masyarakat madani sebagai system kenegaraan dengan
menggunakan istilah koinonia politike, yakni sebuah komunitas politik tempat warga dapat
terlibat langsung dalam berbagai pencaturan ekonomi-politik dan pengambilan keputusan. Dan
pada akhirnya pada fase ke lima yang menganggap masyarakat madani sebagai kelompok
penyeimbang kekuatan negara. Namun fase-fase tersebut pada intinya hampir sama dalam
menafsirkan masyarakat madanai yaitu masyarakat yang mandiri yang memiliki hak untuk
memaparkan pendapat-pendapatnya di muka umum untuk memenuhi kesejahteraan
daerahnya.

C. SYARAT TERBENTUKNYA MASYARAKAT MADANI


Ada beberapa prasyarat yang harus dipenuhi untuk menjadi masyarakat madani, yaitu
adanya pemerintahan yang demokratis serta masyarakat yang demokratis (masyarakat yang
mampu menegakkan nilai-nilai keamanan sipil), tanggung jawab sipil, serta ketahanan sipil.
Jika dibiaskan, kriteria di atas menjadi prasyarat masyarakat madani seperti yang tertera di
bawah ini:
1) Pemenuhan kebutuhan dasar individu, keluarga, serta kelompok dalam masyarakat.
2) Perkembangan modal manusia serta modal sosial yang kondusif bagi terbentuknya
kemampuan melaksanakan tugas hidup serta eskalasi kepercayaan serta hubungan sosial
antar kelompok.
3) Tidak adanya diskriminasi dalam berbagai bidang pembangunan atau pun dengan kata lain
membuka akses terhadap berbagai layanan sosial.
4) Adanya hak, kemampuan serta kesempatan bagi masyarakat serta organisasi non
pemerintah untuk terlibat dalam berbagai forum, sehingga isu kepentingan bersama serta
kebijakan publik dapat dikembangkan.
5) Adanya persatuan antar kelompok dalam masyarakat serta tumbuhnya saling menghormati
perbedaan antara budaya serta kepercayaan.
6) Implementasi sistem pemerintahan yang memungkinkan lembaga ekonomi, hukum serta
sosial beroperasi secara produktif serta adil secara sosial.
7) Adanya jaminan, kepastian, serta kepercayaan antara jejaring sosial yang memungkinkan
terbentuknya hubungan serta komunikasi antar masyarakat secara reguler, terbuka, serta
dapat diandalkan.
Banyak pendapat tentang pembahasan syarat-syarat terbentuknya masyarakat madani.
Elemen dasar terbentuknya masyarakat madani menurut Rasyid dalam Barnadib (2003:63)
adalah (1) masyarakat yang memiliki moral dan peradaban yang unggul, menghargai
persamaan dan perbedaan (plural), keadilan, musyawarah, demokrasi; (2) masyarakat yang
tidak bergantung pada pemerintah pada sector ekonomi;(3) tumbuhnya intelektualis yang
memiliki komitmen independent; dan (4) bergesernya budaya paternalistic menjadi budaya
yang lebih modern dan lebih independent.

Barnadib (2003:67-68) juga mengemukakan adanya empat syarat terbentuknya masyarakat


madani, yakni: (1) pemahaman yang sama (one standart), artinya diperlukan pemahaman
bersama di kalangan masyarakat tentang apa dan bagaimana masyarakat madani;(2)
keyakinan (confidence) dan saling percaya (social trust), artinya perlu ditumbuhkan dan
dikondisikan keyakinan di masyarakat, bahwa madani adalah merupakan masyarakat yang
ideal;(3) satu hati dan saling tergantung, artinya kondisi kesepakatan, satu hati dan
kebersamaan dalam menentukan arah kehidupan yang dicita-citakan dan (4) kesamaan
pandangan tentang tujuan dan misi.[13]

Syarat-syarat di atas sangatlah berperan penting dalam kaitannya pembentukan


masyarakat madani. Karenanya semua syarat tersebut harus ada ketika suatu kelompok
menginginkan masyaraktnya dikatakan masyarakat yang madani.

D. KARAKTERISTIK MASYARAKAT MADANI


Terdapat karakteristik yang mengindikasikan sebagai masyarakat madani. Adapun
karakteristik masyarakat madani menurut Heri Herdiawanto, dkk., dalam buku
Kewarganegaraan & Masyarakat Madani adalah sebagai berikut:

1) Adanya ruang publik yang membebaskan masyarakat untuk memberikan pendapatnya.


2) Terwujudnya interaksi yang harmonis dalam masyarakat tanpa mempertimbangkan atribut
kesukuan, ras, serta agama.
3) Adanya sikap menghormati dan menghargai kehidupan dan aktivitas yang dilakukan oleh
orang lain.
4) Adanya keterikatan dan toleransi yang kuat dalam kehidupan masyarakat yang majemuk.
5) Terwujudnya keseimbangan antara hak dan kewajiban setiap masyarakat di berbagai
bidang kehidupan.
6) Terintegrasinya individu-individu dan kelompok-kelompok ekslusif kedalam masyarakat
melalui kontrak sosial dan aliansi sosial.
7) Menyebarnya kekuasaan sehingga kepentingan-kepentingan yang mendominasi dalam
masyarakat dapat dikurangi oleh kekuatan-kekuatan alternatif.
8) Dilengkapinya program-program pembangunan yang didominasi oleh negara dengan
program-program pembangunan yang berbasis masyarakat.
9) Terjembataninya kepentingan-kepentingan individu dan negara karena keanggotaan
organisasi-organisasi volunter mampu memberikan masukan-masukan terhadap keputusan-
keputusan pemerintah.
10)Tumbuhkembangnya kreatifitas yang pada mulanya terhambat oleh rejim-rejim totaliter.
11)Meluasnya kesetiaan (loyalty) dan kepercayaan (trust) sehingga individu-individu mengakui
keterkaitannya dengan orang lain dan tidak mementingkan diri sendiri.
12)Adanya pembebasan masyarakat melalui kegiatan lembaga-lembaga sosial dengan
berbagai ragam perspektif.
13)Bertuhan, artinya bahwa masyarakat tersebut adalah masyarakat yang beragama, yang
mengakui adanya Tuhan dan menempatkan hukum Tuhan sebagai landasan yang
mengatur kehidupan sosial.
14)Damai, artinya masing-masing elemen masyarakat, baik secara individu maupun secara
kelompok menghormati pihak lain secara adil.
15)Tolong menolong tanpa mencampuri urusan internal individu lain yang dapat mengurangi
kebebasannya.
16)Toleran, artinya tidak mencampuri urusan pribadi pihak lain yang telah diberikan oleh Allah
sebagai kebebasan manusia dan tidak merasa terganggu oleh aktivitas pihak lain yang
berbeda tersebut.
17)Keseimbangan antara hak dan kewajiban sosial.
18)Berperadaban tinggi, artinya bahwa masyarakat tersebut memiliki kecintaan terhadap ilmu
pengetahuan dan memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan untuk umat manusia.
19)Berakhlak mulia.

Dari beberapa ciri tersebut, kiranya dapat dikatakan bahwa masyarakat madani adalah sebuah
masyarakat demokratis dimana para anggotanya menyadari akan hak-hak dan kewajibannya
dalam menyuarakan pendapat dan mewujudkan kepentingan-kepentingannya; dimana
pemerintahannya memberikan peluang yang seluas-luasnya bagi kreatifitas warga negara untuk
mewujudkan program-program pembangunan di wilayahnya. Namun demikian, masyarakat
madani bukanlah masyarakat yang sekali jadi, yang hampa udara, taken for granted. Masyarakat
madani adalah onsep yang cair yang dibentuk dari poses sejarah yang panjang dan perjuangan
yang terus menerus. Bila kita kaji, masyarakat di negara-negara maju yang sudah dapat dikatakan
sebagai masyarakat madani, maka ada beberapa prasyarat yang harus dipenuhi untuk menjadi
masyarakat madani, yakni adanya democratic governance (pemerintahan demokratis) yang dipilih
dan berkuasa secara demokratis dan democratic civilian (masyarakat sipil yang sanggup
menjunjung nilai-nilai civil security; civil responsibility dan civil resilience).

Apabila diurai, dua kriteria tersebut menjadi tujuh prasyarat masyarakat madani sbb:

1. Terpenuhinya kebutuhan dasar individu, keluarga, dan kelompok dalam masyarakat.


2. Berkembangnya modal manusia (human capital) dan modal sosial (socail capital) yang
kondusif bagi terbentuknya kemampuan melaksanakan tugas-tugas kehidupan dan
terjalinya kepercayaan dan relasi sosial antar kelompok.
3. Tidak adanya diskriminasi dalam berbagai bidang pembangunan; dengan kata lain
terbukanya akses terhadap berbagai pelayanan sosial.
4. Adanya hak, kemampuan dan kesempatan bagi masyarakat dan lembaga-lembaga
swadayauntuk terlibat dalam berbagai forum dimana isu-isu kepentingan bersama dan
kebijakan publik dapat dikembangkan.
5. Adanya kohesifitas antar kelompok dalam masyarakat serta tumbuhnya sikap saling
menghargai perbedaan antar budaya dan kepercayaan.
6. Terselenggaranya sistem pemerintahan yang memungkinkan lembaga-lembaga ekonomi,
hukum, dan sosial berjalan secara produktif dan berkeadilan sosial.
7. Adanya jaminan, kepastian dan kepercayaan antara jaringan-jaringan kemasyarakatan yang
memungkinkan terjalinnya hubungan dan komunikasi antar mereka secara teratur, terbuka
dan terpercaya.
Tanpa prasyarat tesebut maka masyarakat madani hanya akan berhenti pada jargon.
Masyarakat madani akan terjerumus pada masyarakat “sipilisme” yang sempit yang tidak ubahnya
dengan faham militerisme yang anti demokrasi dan sering melanggar hak azasi manusia. Dengan
kata lain, ada beberapa rambu-rambu yang perlu diwaspadai dalam proses mewujudkan
masyarakat madani (lihat DuBois dan Milley, 1992).

Rambu-rambu tersebut dapat menjadi jebakan yang menggiring masyarakat menjadi sebuah
entitas yang bertolak belakang dengan semangat negara-bangsa:

1. Sentralisme versus lokalisme. Masyarakat pada mulanya ingin mengganti prototipe


pemerintahan yang sentralisme dengan desentralisme. Namun yang terjadi kemudian
malah terjebak ke dalam faham lokalisme yang mengagungkan mitos-mitos kedaerahan
tanpa memperhatikan prinsip nasionalisme, meritokrasi dan keadilan sosial.
2. Pluralisme versus rasisme. Pluralisme menunjuk pada saling penghormatan antara
berbagai kelompok dalam masyarakat dan penghormatan kaum mayoritas terhadap
minoritas dan sebaliknya, yang memungkinkan mereka mengekspresikan kebudayaan
mereka tanpa prasangka dan permusuhan. Ketimbang berupaya untuk mengeliminasi
karakter etnis, pluralisme budaya berjuang untuk memelihara integritas budaya. Pluralisme
menghindari penyeragaman. Karena, seperti kata Kleden (2000:5), “…penyeragaman
adalah kekerasan terhadap perbedaan, pemerkosaan terhadap bakat dan terhadap potensi
manusia.”

Sebaliknya, rasisme merupakan sebuah ideologi yang membenarkan dominasi satu kelompok
ras tertentu terhadap kelompok lainnya. Rasisme sering diberi legitimasi oleh suatu klaim bahwa
suatu ras minoritas secara genetik dan budaya lebih inferior dari ras yang dominan. Diskriminasi
ras memiliki tiga tingkatan: individual, organisasional, dan struktural. Pada tingkat individu,
diskriminasi ras berwujud sikap dan perilaku prasangka. Pada tingkat organisasi, diskriminasi ras
terlihat manakala kebijakan, aturan dan perundang-undangan hanya menguntungkan kelompok
tertentu saja. Secara struktural, diskriminasi ras dapat dilacak manakala satu lembaga sosial
memberikan pembatasan-pembatasan dan larangan-larangan terhadap lembaga lainnya.

3. Elitisme dan communalisme. Elitisme merujuk pada pemujaan yang berlebihan terhadap
strata atau kelas sosial berdasarkan kekayaan, kekuasaan dan prestise. Seseorang atau
sekelompok orang yang memiliki kelas sosial tinggi kemudian dianggap berhak menentukan
potensi-potensi orang lain dalam menjangkau sumber-sumber atau mencapai kesempatan-
kesempatan yang ada dalam masyarakat.

Konsep Masyarakat Madani semula dimunculkan sebagai jawaban atas usulan untuk
meletakkan peran agama ke dalam suatu masyarakat Multikultural. Multikultural merupakan
produk dari proses demokratisasi di negeri ini yang sedang berlangsung terus menerus yang
kemudian memunculkan ide pluralistik dan implikasinya kesetaraan hak individual. Perlu kita
pahami, perbincangan seputar Masyarakat Madani sudah ada sejak tahun 1990-an, akan tetapi
sampai saat ini, masyarakat Madani lebih diterjemahkan sebagai masyarakat sipil oleh beberapa
pakar Sosiologi. Untuk lebih jelasnya, kita perlu menganalisa secara historis kemunculan
masyarakat Madani dan kemunculan istilah masyarakat Sipil, agar lebih akurat membahas tentang
peran agama dalam membangun masyarakat bangsa.

Masyarakat madani sejatinya bukanlah konsep yang ekslusif dan dipandang sebagai dokumen
usang. Ia merupakan konsep yang senantiasa hidup dan dapat berkembang dalam setiap ruang
dan waktu. Mengingat landasan dan motivasi utama dalam masyarakat madani adalah Alquran.

Meski Alquran tidak menyebutkan secara langsung bentuk masyarakat yang ideal namun tetap
memberikan arahan atau petunjuk mengenai prinsip-prinsip dasar dan pilar-pilar yang terkandung
dalam sebuah masyarakat yang baik. Secara faktual, sebagai cerminan masyarakat yang ideal kita
dapat meneladani perjuangan rasulullah mendirikan dan menumbuhkembangkan konsep
masyarakat madani di Madinah.

Prinsip terciptanya masyarakat madani bermula sejak hijrahnya Nabi Muhammad Saw. Beserta
para pengikutnya dari Makah ke Yatsrib. Hal tersebut terlihat dari tujuan hijrah sebagai sebuah
refleksi gerakan penyelamatan akidah dan sebuah sikap optimisme dalam mewujudkan cita-cita
membentuk yang madaniyyah (beradab).

Selang dua tahun pascahijrah atau tepatnya 624 M, setelah Rasulullah mempelajari
karakteristik dan struktur masyarakat di Madinah yang cukup plural, beliau kemudian melakukan
beberapa perubahan sosial. Salah satu di antaranya adalah mengikat perjanjian solidaritas untuk
membangun dan mempertahankan sistem sosial yang baru. Sebuah ikatan perjanjian antara
berbagai suku, ras, dan etnis seperti Bani Qainuqa, Bani Auf, Bani al-Najjar dan lainnya yang
beragam saat itu, juga termasuk Yahudi dan Nasrani.
Dalam pandangan saya, setidaknya ada tiga karakteristik dasar dalam masyarakat madani.
Pertama, diakuinya semangat pluralisme. Artinya, pluralitas telah menjadi sebuah keniscayaan
yang tidak dapat dielakkan sehingga mau tidak mau, pluralitas telah menjadi suatu kaidah yang
abadi dalam pandangan Alquran. Pluralitas juga pada dasarnya merupakan ketentuan Allah SWT
(sunnatullah), sebagaimana tertuang dalam Alquran surat Al-Hujurat (49) ayat 13.

Dengan kata lain, pluralitas merupakan sesuatu yang kodrati (given) dalam kehidupan. Dalam
ajaran Islam, pluralisme merupakan karunia Allah yang bertujuan mencerdaskan umat melalui
perbedaan konstruktif dan dinamis. Ia (pluralitas) juga merupakan sumber dan motivator
terwujudnya vividitas kreativitas (penggambaran yang hidup) yang terancam keberadaannya jika
tidak terdapat perbedaan (Muhammad Imarah:1999).

Satu hal yang menjadi catatan penting bagi kita adalah sebuah peradaban yang kosmopolit
akan tercipta manakala umat Islam memiliki sikap inklusif dan mempunyai kemampuan (ability)
menyesuaikan diri terhadap lingkungan sekitar. Namun, dengan catatan identitas sejati atas
parameter-parameter autentik agama tetap terjaga.

Kedua, adalah tingginya sikap toleransi (tasamuh). Baik terhadap saudara sesama Muslim
maupun terhadap saudara non-Muslim. Secara sederhana toleransi dapat diartikan sebagai sikap
suka mendengar dan menghargai pendapat dan pendirian orang lain

Senada dengan hal itu, Quraish Shihab (2000) menyatakan bahwa tujuan Islam tidak semata-
mata mempertahankan kelestariannya sebagai sebuah agama. Namun juga mengakui eksistensi
agama lain dengan memberinya hak hidup, berdampingan seiring dan saling menghormati satu
sama lain. Sebagaimana hal itu pernah dicontohkan Rasulullah Saw. Di Madinah. Setidaknya
landasan normatif dari sikap toleransi dapat kita tilik dalam firman Allah yang termaktub dalam
surat Al-An’am ayat 108.

Ketiga, adalah tegaknya prinsip demokrasi atau dalam dunia Islam lebih dikenal dengan istilah
musyawarah. Terlepas dari perdebatan mengenai perbedaan konsep demokrasi dengan
musyawarah, saya memandang dalam arti membatasi hanya pada wilayah terminologi saja, tidak
lebih. Mengingat di dalam Alquran juga terdapat nilai-nilai demokrasi (surat As-Syura:38, surat Al-
Mujadilah:11).
Ketiga prinsip dasar setidaknya menjadi refleksi bagi kita yang menginginkan terwujudnya
sebuah tatanan sosial masyarakat madani dalam konteks hari ini. Paling tidak hal tersebut menjadi
modal dasar untuk mewujudkan masyarakat yang dicita-citakan.

E. PILAR PENEGAK MASYARAKAT MADANI

Pilar-pilar penegak masyarakat madani adalah institusi-institusi yang telah menjadi bagian dari
sosial kontrol masyarakat yang berfungsi mengkritisi kebijakan-kebijakan penguasa yang
diskriminatif serta mampu memperjuangkan aspirasi masyarakat yang tertindas. Pilar pilarnya
antara lain:

1) Lembaga swadaya masyarakat.


Lembaga ini merupakan istitusi sosial yang dibentuk oleh swadaya sosial masyarakat atau
bisa disebut LSM. tugas dari institusi social ini adalah membantu dan memperjuangkan
aspirasi dan kepentingan masyarakat yang tertindas. Selain itu LSM juga mengadakan
pelatihan-pelatihan dan sosialisasi program-program pembangunan masyarakat.
2) Pers.
Salah satu institusi sosial kontrol yang dapat memperjuangkan aspirasi masyarakat melalui
publikasi. institusi ini sangat penting dalam kaitannya penegakan masyarakat madani
karena dapat mengkritisi dan menjadi bagian dari social control yang dapat menganalisa
serta mempublikasikan berbagai kebijakan pemerintah yang berkenaan dengan warga
negara.
3) Supremasi hukum
Semua warga negara baik yang ada dipemerintahan maupun masyarakat biasa harus tetap
tunduk pada peraturan yang dipakai negara tersebut. Agar dapat mewujudkan hak dan
kewajiban serta kebebasan anatar warga negara dan pemerintahan.
4) Perguruan Tinggi,
Tempat yang dimana dosen dan mahasiswa merupakan bagian dari kekuatan social dan
masyarakat madani yang bergerak pada jalur moral force untuk menyalurkan aspirasi
masyarakat dan mengkritisi berbagai kebijakan-kebijakan pemerintah, dengan catatan
dalam mengkritisinya tersebut tidak melanggar peraturan hokum yang ada. Disisi lain
perguruan tinggi juga bisa mencari solusi-solusi dari permaslahan yang ada di masyarakat.
5) Partai Politik, partai politik merupakan wahana bagi warga Negara untuk dapat menyalurkan
asipirasi politiknya dan tempat ekspresi politik warga Negara, maka partai politik ini menjadi
persyaratan bagi tegaknya masyarakat madani.
Dari point satu sampai lima sungguh sangatlah berperan penting dalam menegakkan
masyarakat madani itu sendiri, karena ketika masyarakat merasa tidak puas atas kebijakan-
kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah, pilar-pilar penegak tersebut bisa di gunakan untuk
mewakili masyarakat madani yang dapat menyuarakan semua ansipari-anspirasi dari masyarakat
yang menjadi uneg-uneg atas ketidakpuasannya terhadap pemerintah.

F. MENJADIKAN MASYARAKAT INDONESIA SEBAGAI MASYARKAT MADANI


Istilah 'Madani'dalam konsep ini, sebenarnya sudah diimplementasikan pada 14 abad yang
lalu di Madinah, kota yang dipimpin oleh seorang utusan Tuhan, yaitu Nabi Muhammad saw.
Hasilnya sangat mengagumkan. Hanya dalam tempo 10 tahun, masyarakat Madinah berubah
secara dramatis menjadi masyarakat yang adil, makmur, dan damai. Keberhasilan itu diakui
oleh berbagai kalangan, hingga bekas-bekasnya masih bisa dirasakan sampai sekarang ini.

Konsep keberhasilan pembangunan masyarakat Madinah masih bisa dipelajari hingga detail-
detailnya. Berbagai dokumen yang menunjukkan tentang bagaimana konsep dan cara
mengimplementasikannya masih cukup tersedia. Keunggulan bangsa Arab dalam menghafal
dan menyimpan informasi dari generasi ke generasi merupakan kekuatan dan keuntungan
tersendiri hingga jejak-jejak sejarah itu tidak hilang.

Melalui dokumen sejarah yang terpelihara itu, maka dapat dipelajari dan disimpulkan
bagaimana membangun bangsa dan negara yang adil, makmur, dan sejahtera dalam perspektif
manusia dan masyarakat yang utuh, yaitu selalu mengedepankan religiousitas, egaliter,
demokrastis, kebersamaan, mengutamakan keadilan, dan saling menghargai dan menghormati
sesama. Uraian berikut adalah gambaran masyarakat Madani dan pintu-pintu strategis yang
harus dilalui untuk mewujudkannya.

Gerakan untuk membentuk masyarakat madani berkaitan dengan proses demokratisasi yang
sedang melanda dunia dewasa ini. Sudah tentu perwujudan kehidupan yang demokratis untuk
setiap bangsa mempunyai ciri-ciri tertentu di samping ciri-ciri universal. Salah satu cirri dari
bermasyarakat Indonesia ialah kebhinekaan dari bangsa Indonesia.
Menurut pendapat Lombard, Indonesia berada dalam persimpangan pengaruh budaya
internasional. Oleh sebab itu, di Indonesia bukanlah hanya terdapat berbagai suku, akan tetapi
budaya pun bermacam-macam akibat Negara-negara lain yang pernah masuk ke Indonesia
selama berabad-abad. Dengan adanya masyarakat Indonesia yang demokratis justru akan
memperoleh dasar perkembangan yang sangat relevan dengan adanya kebhinekaan
masyarakat Indonesia. Kehidupan demokrasi sebagai ciri utama masyarakat madani akan
mendapat persemaian yang yang sempurna dalam corak kebhinekaan masyarakat dan budaya
Indonesia.

Sebenarnya ide masyarakat madani sudah dikembangkan mulai zaman Yunani klasik seperti
ahli piker Cicero. Di dalam kaitan ini Hikam misalnya mengambil pemikiran Alexis Tocqueville
mengenai ciri-ciri masyarakat madani. Dengan pendekatan elektrik, Hikam merumuskan empat
ciri utama dari masyarakat madani yaitu:

1) Kesukarelaan. Artinya masyarakat madani bukanlah merupakan suatu masyarakat paksaan


atau karena indoktrinasi. Kenggotaan masyarakat madani adalah kenggotan pribadi yang
bebas, dan mempunyai cita-cita yang di wujudkan bersama.

2) Keswasembadaan. Setiap orang mempunyai harga diri yang tinggi, tidaklah setiap anggota
masyarakat madani selalu menggantungkan kehidupannya kepada orang lain. Namun, justru
membantu orang lain yang sekiranya membutuhkan pertolongan.

3) Kemandirian tinggi terhadap Negara. Bagi mereka (anggota masyarakat madani) Negara
adalah kesepakatan bersama sehingga tanggung jawab yang lahir dari kesepakatan tersebut
adalah juga tuntutan dan tanggung jawab dari masing-masing anggota. Inilah Negara yang
berkedaulatan rakyat.

4) Keterkaitan pada nilai-nilai hokum yang disepakati bersama. Hal ini berarti suatu masyarakat
madani adalah suatu masyarakat yang berdasarkan hokum dan bukan Negara kekuasaan.

Di atas merupakan ciri-ciri masyarakat madani yang di ungkapkan oleh Hikam dengan
pendekatan eklektik. Dan beliau melampiaskan ciri-ciri tersebut ke Negara Indonesia.
Selain itu, cirri-ciri di atas juga bisa menjadi gambaran seperti apakah sebenarnya
masyarakat madani itu. Dan agar orang-orang tidak salah persepsi dalam memandang
masyarakat madani itu sendiri.

BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Untuk mewujudkan masyarakat madani dan agar terciptanya kesejahteraan umat


maka kita sebagai generasi penerus supaya dapat membuat suatu perubahan yang
signifikan. Selain itu, kita juga harus dapat menyesuaikan diri dengan apa yang sedang
terjadi di masyarakat sekarang ini. Agar di dalam kehidupan bermasyarakat kita tidak
ketinggalan berita. Adapun beberapa kesimpulan yang dapat saya ambil dari pembahasan
materi yang ada di bab II ialah bahwa di dalam mewujudkan masyarakat madani dan
kesejahteraan umat haruslah berpacu pada Al-Qur’an dan As-Sunnah yang diamanatkan
oleh Rasullullah kepada kita sebagai umat akhir zaman. Sebelumnya kita harus mengetahui
dulu apa yang dimaksud dengan masyarakat madani itu dan bagaimana cara menciptakan
suasana pada masyarakat madani tersebut, serta ciri-ciri apa saja yang terdapat pada
masyarakat madani sebelum kita yakni pada zaman Rasullullah.

Selain memahami apa itu masyarakat madani kita juga harus melihat pada potensi
manusia yang ada di masyarakat, khususnya di Indonesia. Potensi yang ada di dalam diri
manusia sangat mendukung kita untuk mewujudkan masyarakat madani. Karena semakin
besar potensi yang dimiliki oleh seseorang dalam membangun agama Islam maka akan
semakin baik pula hasilnya.

B. SARAN

Maka diharapkan kepada kita semua baik yang tua maupun yang muda agar dapat
mewujudkan masyarakat madani di negeri kita yang tercinta ini yaitu Indonesia. Yakni
melalui peningkatan kualiatas sumber daya manusia, potensi, perbaikan sistem ekonomi,
serta menerapkan budaya zakat, infak, dan sedekah. Insya Allah dengan menjalankan
syariat Islam dengan baik dan teratur kita dapat memperbaiki kehidupan bangsa ini secara
perlahan. Demikianlah makalah rangkuman materi yang dapat kami sampaikan pada
kesempatan kali ini semoga di dalam penulisan ini dapat dimengerti kata-katanya sehingga
tidak menimbulkan kesalahpahaman di masa yang akan datang.

DAFTAR PUSTAKA
adminpublik. (2021, April 6). Pengertian Masyarakat Madani Menurut Para Ahli - Prodi Administrasi
Publik Terbaik Di Sumatera Utara. Retrieved October 4, 2022, from Prodi Administrasi Publik
Terbaik Di Sumatera Utara website: https://adminpublik.uma.ac.id/2021/04/06/pengertian-
masyarakat-madani-menurut-para-ahli/
Laeli Nur Azizah. (2021, September 21). Pengertian Masyarakat Madani: Karakteristik, dan
Sejarahnya. Retrieved October 4, 2022, from Gramedia Literasi website:
https://www.gramedia.com/literasi/masyarakat-madani/
Kholiq Sukses. (2014, May 19). Sejarah Pemikiran Masyarakat Madani. Retrieved October 4,
2022, from Blogspot.com website: http://sensorku.blogspot.com/2014/05/sejarah-pemikiran-
masyarakat-madani.html
Masyarakat Madani (Pengertian, Ciri, & Syarat). (2015). Retrieved October 4, 2022, from
Zonasiswa.com website: https://zonasiswa.com/masyarakat-madani-pengertian-ciri-
syarat.html
Harian, K. (2021, October 26). Pengertian Masyarakat Madani dan Karakteristik di Dalamnya.
Retrieved October 4, 2022, from kumparan website:
https://kumparan.com/kabar-harian/pengertian-masyarakat-madani-dan-karakteristik-di-
dalamnya-1wnMdjo92Tf/full
Abdulloh harits. (2020, April 12). Pilar0-pilar Penegak Masyarakat Madani Halaman 1 -
Kompasiana.com. Retrieved October 4, 2022, from KOMPASIANA website:
https://www.kompasiana.com/abdullohharits/5e93254b097f3643bc075105/pilar-pilar-
penegak-masyarakat-madani
Membangun Masyarakat Madani Indonesia. (2015). Retrieved October 4, 2022, from uin-
malang.ac.id website: https://uin-malang.ac.id/r/150301/membangun-masyarakat-madani-
indonesia.html
Suito, Deny. 2006. Membangun Masyarakat Madani. Centre For Moderate Muslim Indonesia:
Jakarta.
Mansur, Hamdan. 2004. Materi Instrusional Pendidikan Agama Islam. Depag RI: Jakarta
Suharto, Edi. 2002. Masyarakat Madani: Aktualisasi Profesionalisme Community Workers Dalam
Mewujudkan Masyarakat Yang Berkeadilan. STKS Bandung: Bandung.
Sosrosoediro, Endang Rudiatin. 2007. Dari Civil Society Ke Civil Religion. MUI: Jakarta.
Sutianto, Anen. 2004. Reaktualisasi Masyarakat Madani Dalam Kehidupan. Pikiran Rakyat:
Bandung.
Suryana, A. Toto, dkk. 1996. Pendidikan Agama Islam. Tiga Mutiara: Bandung
Sudarsono. 1992. Pokok-pokok Hukum Islam. Rineka Cipta: Jakarta.
Tim Icce UIN Jakarta. 2000. Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani. Prenada
Media: Jakarta.
[1] Muhammad AS. Hikam, Demokrasi dan Civil society, Jakarta: LP3ES, 1996, h. 224
[2] Ryaas Rasyid, Perkembangan Pemikiran tentang Masyarakat Kewargaan (Tinjauan Teoritik),
Jurnal Ilmu Politik, 1997, h. 4
[3] TB. Ace Hasan Syadzily dan Burhanuddin (ed.), Civil Society dan Demokrasi: Survey tentang
Partisipasi Sosial-Politik Warga Jakarta, Jakarta: INCIS, 2003, h.12-13

Anda mungkin juga menyukai