Anda di halaman 1dari 12

Hadis Tentang Niat

ِ ‫ت َرس ُْو َل‬


‫هللا‬ ُ ْ‫ َس ِمع‬: ‫ب َرضِ َي هللاُ َع ْن ُه َقا َل‬ ِ ‫ْن ْال َخ َّطا‬ ِ ‫ص ُع َم َر ب‬ ٍ ‫َعنْ َأ ِمي ِْر ْالمُْؤ ِم ِني َْن َأ ِبيْ َح ْف‬
ْ ‫ َف َمنْ َكا َن‬. ‫ت َوِإ َّن َما لِ ُك ِّل ام ِْرٍئ َما َن َوى‬
‫ت‬ ِ ‫ ِإ َّن َما ْاَألعْ َما ُل ِبال ِّنيَّا‬: ‫صلى هللا عليه وسلم َيقُ ْو ُل‬
‫ت ِهجْ َر ُت ُه لِ ُد ْن َيا يُصِ ْي ُب َها َأ ْو ام َْرَأ ٍة‬
ْ ‫ َو َمنْ َكا َن‬،ِ‫هللا َو َرس ُْولِه‬ِ ‫هللا َو َرس ُْولِ ِه َف ِهجْ َر ُت ُه ِإ َلى‬ ِ ‫ِهجْ َر ُت ُه ِإ َلى‬
َ ‫َي ْن ِك ُح َها َف ِهجْ َر ُت ُه ِإ َلى َما َه‬
. ‫اج َر ِإ َل ْي ِه‬
‫[رواه إماما المحدثين أبو عبد هللا محمد بن إسماعيل بن إبراهيم بن المغيرة بن بردزبة‬
‫البخاري وابو الحسين مسلم بن الحجاج بن مسلم القشيري النيسابوري في صحيحيهما‬
]‫اللذين هما أصح الكتب المصنفة‬
Arti Hadits / ‫ترجمة الحديث‬ :
Dari Amirul Mu’minin, Abi Hafsh Umar bin Al Khaththab radiallahuanhu, dia berkata: Saya
mendengar Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda : Sesungguhnya setiap 
perbuatan tergantung niatnya.  Dan  sesungguhnya  setiap  orang  (akan dibalas)
berdasarkan apa yang dia niatkan. Siapa yang hijrahnya karena (ingin mendapatkan
keridhaan) Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya.
Dan siapa yang hijrahnya karena dunia yang dikehendakinya atau karena wanita yang ingin
dinikahinya maka hijrahnya (akan bernilai sebagaimana) yang dia niatkan.
(Riwayat dua imam hadits, Abu Abdullah Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim bin Al
Mughirah bin Bardizbah Al Bukhori dan Abu Al Husain, Muslim bin Al Hajjaj bin Muslim Al
Qusyairi An Naishaburi dan kedua kitab Shahihnya yang merupakan kitab yang paling
shahih yang pernah dikarang) .
Sabab al-Wurud/Sebab Penuturan (Hadis)
Ibnu Mas’ud menceritakan bahwa ada seseorang yang ingin melamar seorang wanita.
Wanita itu bernama Ummu Qais. Wanita itu enggan untuk menikah dengan pria tersebut,
sampai laki-laki itu berhijrah dan akhirnya menikahi Ummu Qais. Maka orang-orang pun
menyebutnya Muhajir Ummu Qais.
Syarh/penjelasan:
Imam Bukhari menyebutkan hadits ini di awal kitab shahihnya sebagai mukadimah
kitabnya, di sana tersirat bahwa setiap amal yang tidak diniatkan karena mengharap
Wajah Allah adalah sia-sia, tidak ada hasil sama sekali baik di dunia maupun di akhirat. Al
Mundzir menyebutkan dari Ar Rabi’ bin Khutsaim, ia berkata, “Segala sesuatu yang tidak
diniatkan mencari keridhaan Allah  ‘Azza wa Jalla, maka akan sia-sia”.
Abu Abdillah rahimahullah berkata, “Tidak ada hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam yang lebih banyak, kaya dan dalamnya faidah daripada hadits ini”.
Abdurrahman bin Mahdiy berkata, “Kalau seandainya saya menyusun kitab yang terdiri
dari beberapa bab, tentu saya jadikan hadits Umar bin Al Khatthab yang menjelaskan
bahwa amal tergantung niat ada dalam setiap bab”.
Hadits ini merupakan salah satu dari hadits-hadits yang menjadi inti ajaran Islam. Imam
Ahmad dan Imam syafi’i berkata : Dalam hadits tentang niat ini mencakup sepertiga ilmu.
Sebabnya adalah bahwa perbuatan hamba terdiri dari perbuatan hati, lisan dan anggota
badan, sedangkan niat merupakan salah satu dari ketiganya. Diriwayatkan dari Imam Syafi’i
bahwa dia berkata : Hadits ini mencakup tujuh puluh bab dalam fiqh.
Sejumlah ulama bahkan ada yang berkata : Hadits ini merupakan sepertiga Islam. Menurut
Imam Baihaqi, karena tindakan seorang hamba itu terjadi dengan hati, lisan dan anggota
badannya, dan niat yang tempatnya di hati adalah salah satu dari tiga hal tersebut dan
yang paling utama. Menurut Imam Ahmad adalah, karena ilmu itu berdiri di atas tiga
kaidah, di mana semua masalah kembali kepadanya, yaitu: Pertama, hadits “Innamal
a’maalu bin niyyah” (Sesungguhnya amal itu tergantung dengan niat). Kedua, hadits
“Man ‘amila ‘amalan laisa ‘alaihi amrunaa fahuwa radd” (Barang siapa yang
mengerjakan suatu amal yang tidak kami perintahkan, maka amal itu tertolak). Ketiga,
hadits “Al Halaalu bayyin wal haraamu bayyin” (Yang halal itu jelas dan yang haram itu
jelas).”
Di samping itu, niat adalah tolok ukur suatu amalan; diterima atau tidaknya tergantung
niat dan banyaknya pahala yang didapat atau sedikit pun tergantung niat. Niat adalah
perkara hati yang urusannya sangat penting, seseorang bisa naik ke derajat shiddiqin dan
bisa jatuh ke derajat yang paling bawah disebabkan karena niatnya.
Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membuatkan perumpamaan terhadap
kaidah ini dengan hijrah; yaitu barang siapa yang berhijrah dari negeri syirik
mengharapkan pahala Allah, ingin bertemu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk
menimba ilmu syari’at agar bisa mengamalkannya, maka berarti ia berada di atas jalan
Allah (fa hijratuhuu ilallah wa rasuulih), dan Allah akan memberikan balasan untuknya.
Sebaliknya, barang siapa yang berhijrah dengan niat untuk mendapatkan keuntungan
duniawi, maka dia tidak mendapatkan pahala apa-apa, bahkan jika ke arah maksiat, ia
akan mendapatkan dosa.
Niat itu berarti bermaksud dan berkehendak. Letak niat adalah di dalam hati. Ibnu
Taimiyah rahimahullah mengatakan,
‫اق ْال ُعلَ َما ِء ؛ فَِإ ْن نَ َوى بِقَ ْلبِ ِه َولَ ْم يَتَ َكلَّ ْم بِلِ َسانِ ِه َأجْ َزَأ ْتهُ النِّيَّةُ بِاتِّفَاقِ ِه ْم‬
ِ َ‫َوالنِّيَّةُ َم َحلُّهَا ْالقَ ْلبُ بِاتِّف‬
“Niat itu letaknya di hati berdasarkan kesepakatan ulama. Jika seseorang berniat di hatinya
tanpa ia lafazhkan dengan lisannya, maka niatnya sudah dianggap sah berdasarkan
kesepakatan para ulama.” (Majmu’ah Al-Fatawa, 18:262)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan, “Siapa saja yang menginginkan
melakukan sesuatu, maka secara pasti ia telah berniat. Semisal di hadapannya disodorkan
makanan, lalu ia punya keinginan untuk menyantapnya, maka ketika itu pasti ia telah
berniat. Demikian ketika ia ingin berkendaraan atau melakukan perbuatan lainnya. Bahkan
jika seseorang dibebani suatu amalan lantas dikatakan tidak berniat, maka sungguh ini
adalah pembebanan yang mustahil dilakukan. Karena setiap orang yang hendak melakukan
suatu amalan yang disyariatkan atau tidak disyariatkan pasti ilmunya telah mendahuluinya
dalam hatinya, inilah yang namanya niat.” (Majmu’ah Al-Fatawa, 18:262)
Niat secara istilah adalah keinginan seseorang untuk mengerjakan sesuatu, tempatnya di
hati bukan di lisan. Oleh karena itu, tidak dibenarkan melafazkan niat (sebagian ulama
membolehkan, seperti Imam al-Syafi’i yang berfungsi sebagai penguat), seperti ketika
hendak shalat, hendak wudhu, hendak mandi, dsb.
Menurut para fuqaha’ (ahli fiqh), niat memiliki dua makna:
a. Tamyiiz (pembeda), hal ini ada dua macam:
1. Pembeda antara ibadah yang satu dengan yang lainnya. Misalnya, antara shalat
fardhu dengan shalat sunat, shalat Zhuhur dengan shalat Ashar, puasa wajib
dengan puasa sunnah, dst.
2. Pembeda antara kebiasaan (adat) dengan ibadah. Misalnya, mandi karena hendak
mendinginkan badan dengan mandi karena janabat, menahan diri dari makan
untuk kesembuhan dengan menahan diri karena puasa.
b. Qasd (meniatkan suatu amal “karena apa?” atau “karena siapa?”)
Yakni, niat yang ditujukan untuk mengharap wajah Allah dan kehidupan akhirat. Inilah
yang dimaksud dengan niat yang ikhlas. Maksudnya apakah suatu amal ditujukan
karena mengharap wajah Allah Ta’ala saja (ikhlas) atau karena lainnya? Atau apakah
ia mengerjakannya karena Allah, dan karena lainnya juga atau tidak?
Dalam beramal butuh niat ikhlas. Karena dalam hadits disebutkan amalan hijrah yang
ikhlas dan amalan hijrah yang tujuannya untuk mengejar dunia. Hijrah pertama terpuji,
hijrah kedua tercela. Berdasarkan sabab wurud hadis, sebagaimana diceritakan Ibnu
Mas’ud terkait dengan Ummu Qais, maka dia (Ibnu Mas’ud) menyatakan, “Siapa yang
berhijrah karena sesuatu, fahuwa lahu (maka ia akan mendapatkannya).” (Jami’ Al-‘Ulum
wa Al-Hikam, 1:74-75. Perawinya tsiqah sebagaimana disebutkan dalam Tharh At-Tatsrib,
2:25. Namun tentu hijrah bukan karena lillah, cari ridha-Nya, maka tidak dibalas oleh Allah.
Ibnu Rajab tidak menyetujui kalau cerita Ummu Qais jadi landasan asal cerita dari
hadits innamal a’malu bin niyyat yang dibahas). Amalan lainnya sama dengan hijrah, benar
dan rusaknya amal tersebut tergantung pada niat. Demikian kata Ibnu Rajab dalam Jami’
Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 1:75.
Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata,
َ َّ‫اس ِإلَ ْي ِه َأ ْد َخلَهُ هَّللا ُ الن‬
‫ار‬ ِ َّ‫ى بِ ِه ال ُّسفَهَا َء َأوْ يَصْ ِرفَ بِ ِه ُوجُوهَ الن‬ ِ ‫ى بِ ِه ْال ُعلَ َما َء َأوْ ِليُ َم‬
َ ‫ار‬ ِ ‫ب ْال ِع ْل َم لِي َُج‬
َ ‫ار‬ َ ‫َم ْن‬
َ َ‫طل‬
“Barangsiapa menuntut ilmu hanya ingin digelari ulama, untuk berdebat dengan orang
bodoh, supaya dipandang manusia, Allah akan memasukkannya dalam neraka.” (HR.
Tirmidzi, no. 2654 dan Ibnu Majah, no. 253. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits
ini hasan.)
Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, di mana ia berkata,
َ =ُ‫ال « َأالَ ُأ ْخبِ ُر ُك ْم بِ َما ه‬
‫=و َأ ْخ= َوفُ َعلَ ْي ُك ْم ِع ْن= ِدى‬ َ َ‫ َونَحْ نُ نَتَ َذا َك ُر ْال َم ِسي َح ال َّدجَّا َل فَق‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ِ ‫َخ َر َج َعلَ ْينَا َرسُو ُل هَّللا‬
» ‫صالَتَهُ لِ َما يَ َرى ِم ْن نَظَ ِر َرج ٍُل‬ َ ُ‫ك ْال َخفِ ُّى َأ ْن يَقُو َم ال َّر ُج ُل ي‬
َ ُ‫صلِّى فَيُ َزيِّن‬ َ َ‫ فَق‬.‫ال قُ ْلنَا بَلَى‬
ُ ْ‫ال « ال ِّشر‬ َ َ‫ ق‬.» ‫َّال‬ ِ ‫ِمنَ ْال َم ِس‬
ِ ‫يح ال َّدج‬
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah keluar menemui kami dan kami sedang
mengingatkan akan (bahaya) Al-Masih Ad Dajjal. Lantas beliau bersabda, “Maukah
kukabarkan pada kalian apa yang lebih samar bagi kalian menurutku dibanding dari fitnah
Al-Masih Ad-Dajjal?” “Iya”, para sahabat berujar demikian kata Abu Sa’id l- Khudri. Beliau
pun bersabda, “Syirik khafi (syirik yang samar) di mana seseorang shalat lalu ia perbagus
shalatnya agar dilihat orang lain.” (HR. Ibnu Majah, no. 4204. Al-Hafiz Abu Thahir
mengatakan bahwa hadits ini hasan.)
Hukum niat
Niat adalah syarat sahnya amal. Ibnu Hajar Al ‘Asqalaaniy berkata, “Para fuqaha (ahli
fiqh) berselisih apakah niat itu rukun1 (masuk ke dalam suatu perbuatan) ataukah hanya
syarat (di luar suatu perbuatan)? Yang kuat adalah bahwa menghadirkan niat di awal
suatu perbuatan adalah rukun, sedangkan istsh-hab hukm/menggandengkan dengan
suatu perbuatan (tidak berniat yang lain atau memutuskannya2) adalah syarat.”
Pendapat ulama salaf tentang pentingnya niat dan pentingnya mempelajari niat
Yahya bin Katsir berkata, “Pelajarilah niat, karena niat itu lebih sampai daripada amal”.
Abdullah bin Abi Jamrah berkata, “Aku ingin kalau seandainya di antara fuqaha (ahli fiqh)
ada yang kesibukannya hanya mengajarkan kepada orang-orang niat mereka dalam
mengerjakan suatu amal dan hanya duduk mengajarkan masalah niat saja”. Sufyan Ats
Tsauriy berkata, “Dahulu orang-orang mempelajari niat sebagaimana kalian mempelajari
amal”.
Sebagaimana dikatakan oleh Yahya bin Katsir di atas bahwa niat lebih sampai daripada
amal, oleh karena itu Abu Bakr Ash Shiddiq radhiyallahu ‘anhu dapat mengungguli orang-
orang Khawarij (kelompok yang keluar dari barisan kaum muslimin dan memvonis kafir
pelaku dosa besar) dalam hal ibadah karena niatnya, di samping itu amalan yang kecil
akan menjadi besar karena niatnya. Sehingga dikatakan, “Memang Abu Bakr Ash Shiddiq
dan sahabat-sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dikalahkan ibadahnya oleh
Khawarij, tetapi para sahabat mengungguli mereka karena niatnya”. Ibnu Hazm
mengatakan, “Niat itu rahasia suatu ibadah dan ruhnya”.
Apa maksud sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam “Amal itu tergantung niat?”
Maksudnya adalah sahnya suatu amal dan sempurnanya hanyalah tergantung benarnya
niat. Oleh karena itu apabila niat itu benar dan ikhlas karena Allah Subhaanahu wa
Ta’aala maka akan sah pula suatu amal dan akan diterima dengan izin Allah Ta’ala. Atau
bisa juga maksudnya adalah baiknya suatu amal atau buruknya, diterima atau ditolaknya,
mubah atau haramnya tergantung niat.
Apa maksud sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam “Dan seseorang hanya
mendapatkan apa yang diniatkannya?”
Maksudnya adalah seseorang mendapatkan pahala atau siksa terhadap amalnya
tergantung niatnya, apabila niatnya baik maka akan diberi pahala, sebaliknya jika tidak
baik maka akan mendapat siksa.
Kaedah Menggabungkan Niat Ibadah
Dalam kitab Qawa’id Muhimmah wa Fawaid Jammah, Syaikh As-
Sa’di rahimahullah mengatakan dalam kaedah ketujuh:
Jika ada dua ibadah yang (1) jenisnya sama, (2) cara pengerjaannya sama, maka sudah
mencukupi bila hanya mengerjakan salah satunya.
Kasus ini ada dua macam:
Pertama:
Cukup mengerjakan salah satu dari dua macam ibadah tadi dan menurut pendapat yang
masyhur dalam madzhab Hambali disyaratkan meniatkan keduanya bersama-sama.
Contoh:
– Siapa yang memiliki hadats besar dan kecil sekaligus, dalam madzhab Hambali cukup
bersuci hadats besar saja untuk mensucikan kedua hadats tersebut.
– Jama’ah haji yang mengambil manasik qiran yang berniat haji dan umrah sekaligus, cukup
baginya mengerjakan satu thawaf dan satu sa’i. Demikian menurut pendapat yang masyhur
dalam madzhab Hambali.
Kedua:
Cukup dengan mengerjakan satu ibadah, maka ibadah yang lain gugur (tanpa diniatkan).
Contoh:
– Jika seseorang masuk masjid saat iqamah sudah dikumandangkan, maka gugur baginya
tahiyyatul masjid jika ia mengerjakan shalat jama’ah.
– Jika orang yang berumrah masuk Makkah, maka ia langsung melaksanakan thawaf umrah
dan gugur baginya thawaf qudum.
– Jika seseorang mendapati imam sedang ruku’, lalu ia bertakbir untuk takbiratul ihram dan
ia gugur takbir ruku’ menurut pendapat yang masyhur dalam madzhab Hambali.
– Jika Idul Adha bertepatan dengan hari Jum’at, maka cukup menghadiri salah satunya.
Syaikh Prof. Dr. ‘Abdussalam Asy-Syuwai’ir (Dosen di Ma’had ‘Ali lil Qadha’ Riyadh
KSA) hafizahullah, ketika menjelaskan kaedah Syaikh As-Sa’di di atas, beliau simpulkan
kaedah sebagai berikut:
Jika ada dua ibadah, keduanya sama dalam (1) jenis dan (2) tata cara pelaksanaan, maka
asalnya keduanya bisa cukup dengan satu niat KECUALI pada dua keadaan:
1- Ibadah yang bisa diqadha’ (memiliki qadha’). Contoh: Shalat Zhuhur dan shalat Ashar
sama-sama shalat wajib dan jumlah raka’atnya empat, tidak bisa dengan satu shalat saja
lalu mencukupi yang lain. Sedangkan, aqiqah dan qurban bisa cukup dengan satu niat
karena keduanya tidak ada kewajiban qadha’, menurut jumhur ulama keduanya adalah
sunnah.
2- Ia mengikuti ibadah yang lainnya. Contoh: Puasa Syawal dan puasa sunnah yang lain
yang sama-sama sunnah. Keduanya tidak bisa cukup dengan satu niat untuk kedua ibadah
karena puasa Syawal adalah ikutan dari puasa Ramadhan (ikutan dari ibadah yang lain).
Karena dalam hadits disebutkan, “Barangsiapa berpuasa Ramadhan kemudian ia ikutkan
dengan puasa enam hari di bulan Syawal ….” Adapun shalat rawatib dan shalat sunnah
tahiyatul masjid, keduanya bisa cukup dengan satu niat karena shalat tahiyatul masjid tidak
ada kaitan dengan shalat yang lain.
Syaikh ‘Abdussalam Asy-Syuwai’ir juga menyampaikan bahwa ulama Hanafiyah membawa
kaidah:
Jika suatu ibadah yang dimaksudkan adalah zatnya, maka ia tidak bisa masuk dalam ibadah
lainnya, ia mesti dikerjakan untuk maksud itu. Namun jika suatu ibadah yang dimaksudkan
adalah yang penting ibadah itu dilaksanakan, bukan secara zat yang dimaksud, maka ia bisa
dimaksudkan dalam ibadah lainnya.
Contoh:
Shalat rawatib dan tahiyyatul masjid. Shalat tahiyyatul masjid bisa dimasukkan di dalam
shalat rawatib. Cukup dengan niatan shalat rawatib, maka shalat tahiyyatul masjid sudah
termasuk. Karena perintah untuk shalat tahiyyatul masjid yang penting ibadah itu
dilaksanakan, yaitu ketika masuk masjid sebelum duduk, lakukanlah shalat sunnah dua
raka’at. Jika kita masuk masjid dengan niatan langsung shalat rawatib, berarti telah
melaksanakan maksud tersebut.
Pelajaran yang terdapat dalam Hadits / ‫الفوائد من الحديث‬ :
1. Niat merupakan syarat layak/diterima atau tidaknya amal perbuatan, dan amal ibadah
tidak akan mendatangkan pahala kecuali berdasarkan niat (karena Allah ta’ala).
2. Waktu pelaksanaan niat dilakukan pada awal ibadah dan tempatnya di hati.
3. Ikhlas dan membebaskan niat semata-mata karena Allah ta’ala dituntut pada semua
amal shalih dan ibadah.
4. Seorang mu’min akan diberi ganjaran pahala berdasarkan kadar niatnya.
5. Semua perbuatan yang bermanfaat dan mubah (boleh) jika diiringi niat karena mencari
keridhoan Allah maka dia akan bernilai ibadah.
6. Yang membedakan antara ibadah dan adat (kebiasaan/rutinitas) adalah niat.
7. Hadits di atas menunjukkan bahwa niat merupakan bagian dari iman karena dia
merupakan pekerjaan hati, dan iman menurut pemahaman Ahli Sunnah Wal Jamaah
adalah membenarkan dalam hati, diucapkan dengan lisan dan diamalkan dengan
perbuatan.
8. Perbuatan maksiat itu selamanya tidak bisa menjadi ketaatan meskipun niatnya baik.
Misalnya seseorang bermain judi dengan niat agar hasilnya bisa membantu orang-
orang miskin, membangun masjid atau lainnya. Orang yang melakukan hal ini adalah
pelaku maksiat dan ia berdosa meskipun niatnya baik, karena suatu perbuatan tidak
bisa menjadi ketaatan dengan niat yang baik kecuali apabila perbuatan itu adalah
perbuatan yang mubah bukan yang haram.
9. Amal dikatakan saleh apabila bersih dan benar. Bersih maksudnya hanya karena Allah
Subhaanahu wa Ta'aala saja, dan benar maksudnya sesuai sunnah Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam. Hal ini sebagaimana dikatakan Fudhail bin ‘Iyaadh
rahimahullah ketika menafsirkan ayat berikut,
‫ق ْال َموْ تَ َو ْال َحيَاةَ لِيَ ْبلُ َو ُك ْم َأيُّ ُك ْم َأحْ َسنُ َع َماًل‬
َ َ‫الَّ ِذي خَ ل‬
“Yang menjadikan mati dan hidup, agar Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang
lebih baik amalnya.”(QS. Al Mulk : 2)
Maksudnya yang paling bersih dan paling benar.” Lalu orang-orang bertanya, “Wahai
Abu ‘Ali! Apa maksud yang paling bersih dan paling benar?” Ia menjawab,
“Sesungguhnya amal apabila bersih namun tidak benar maka tidak diterima, dan
apabila benar namun tidak bersih juga tidak diterima, bersih adalah karena Allah, dan
benar adalah di atas Sunnah.”
10. Sah atau tidaknya suatu amal tergantung niat. Sempurnanya pahala yang didapat atau
kurangnya juga tergantung niat. Sebagaimana suatu amal mubah bisa menjadi sebuah
ketaatan atau sebuah kemaksiatan karena niat.
Oleh karena itu, apabila niat seseorang mengerjakan suatu ibadah karena riya’, maka
akan menjadi dosa. Sebaliknya, apabila seseorang berjihad dengan niat meninggikan
kalimat Allah, maka sempurnalah pahalanya. Barang siapa berjihad dengan niat agar
mendapatkan ghanimah semata, maka ia tidak mendapatkan pahala mujahid fii
sabiilillah.
11. Niat tempatnya di hati, melafazkannya adalah hal yang bid’ah oleh sebagian ulama.
Namun menurut Mazhab Syafi’iyah, melafalkan niat dimaksudkan untuk memperkuat
dan memperjelas niat yang telah ditetapkan di dalam hati melalui pernyataan lisan.
12. Dalam hadits ini terdapat bantahan terhadap mereka yang ditimpa was-was sampai
mengulangi wudhu’ atau shalat karena merasa belum pas niatnya, dimana setan
mengatakan kepada mereka, ”Kamu belum berniat,” sehingga ia ulangi lagi wudhu’
atau shalatnya.
13. Seseorang wajib berhati-hati terhadap pembatal amalan seperti riya’, sum’ah, beramal
karena tujuan duniawi, dan ’ujub (bangga diri).
14. Banyaknya maksud (tujuan) yang baik dalam niat hukumnya boleh. Misalnya seseorang
melakukan shalat mengharap ridha Allah dan pahala-Nya, mengharap juga dengan
shalatnya itu ketenangan dengan bermunajat kepada Allah, dan mengharapkan
ketenteraman batin dan dada yang lapang.
15. Niat yang baik dapat menjadikan perbuatan yang biasa (’aadaah) menjadi ibadah.
Misalnya ketika dihidangkan makanan ia merasakan karunia Allah dan nikmat-Nya
kepada dirinya, dimudahkan-Nya untuk memakan makanan tersebut sedangkan orang
lain tidak, orang lain berada dalam ketakutan sedangkan dia berada dalam
keamananan dan kenikmatan, dia pun memulai makan dengan nama Allah (bismillah)
dan menyudahinya dengan memuji Allah, dia juga meniatkan dengan makannya itu
agar bisa menjalankan ketaatan kepada-Nya.
Ibnul Qayyim dan ulama yang lain mengatakan, “Orang-orang yang ‘aarif (mengenal
Allah) itu, perbuatan yang biasa mereka lakukan menjadi ibadah, sedangkan orang-
orang ‘awam menjadikan ibadah mereka sebagai kebiasaan.” Zaid Asy Syaamiy berkata,
“Sesungguhnya saya suka memiliki niat dalam segalanya meskipun dalam makan dan
minum.” Sebagian ulama salaf mengatakan, “Siapa saja yang suka amalnya menjadi
sempurna, maka perbaguslah niat, karena Allah akan memberikan pahala kepada
seorang hamba apabila ia memperbagus niatnya walaupun pada saat ia menyuap
makanan.”
16. Apabila seseorang mengerjakan suatu ibadah dengan niat murni untuk mendapatkan
dunia misalnya menjadi muazin dengan niat agar diberi uang atau menjadi imam
masjid agar digaji, maka orang yang seperti ini batal (tidak diterima) ibadahnya dan
terjatuh ke dalam syirk qasd (syirk dalam hal tujuan). Orang ini juga terancam dengan
ayat berikut:
َّ‫اآلخ َر ِة ِإال‬
ِ ‫ْس لَهُ ْم فِي‬ َ ‫ ُأوْ لَـِئ‬-- َ‫َمن َكانَ ي ُِري ُد ْال َحيَاةَ ال ُّد ْنيَا َو ِزينَتَهَا نُ َوفِّ ِإلَ ْي ِه ْم َأ ْع َمالَهُ ْم فِيهَا َوهُ ْم فِيهَا الَ يُ ْب َخسُون‬
َ ‫ك الَّ ِذينَ لَي‬
   َ‫وا يَ ْع َملُون‬ ْ ُ‫ُوا فِيهَا َوبَا ِط ٌل َّما َكان‬ ْ ‫صنَع‬ َ ‫النَّا ُر َو َحبِطَ َما‬
“Barang siapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami
berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan
mereka di dunia itu tidak akan dirugikan.--Itulah orang-orang yang tidak memperoleh
di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan
di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan.” (Terj. QS. Huud: 15-16)
17. Seseorang tidak boleh meninggalkan suatu amal karena takut riya’. Fudhail bin ‘Iyaadh
mengatakan, “Meninggalakan suatu amal karena manusia adalah riya’, beramal karena
manusia adalah syirk, sedangkan ikhlas semoga Allah menjagamu dari keduanya.”
Maksudnya adalah sebagaimana beramal karena manusia adalah riya’ atau syirk,
begitu pula meninggalkan (tidak jadi mengerjakan) suatu amal  karena manusia adalah
riya’ pula.”
18. Seseorang yang dalam ibadahnya bertujuan untuk taqarrub (mendekatkan diri) kepada
Allah namun ada tujuan duniawi yang hendak diperolehnya, maka bisa mengurangi
balasan keikhlasan. Misalnya, Ketika melakukan thaharah (bersuci), disamping berniat
ibadah kepada Allah, ia juga berniat untuk membersihkan badan. Puasa disamping
untuk mendekatkan diri kepada Allah sekaligus untuk diet. Menunaikan ibadah haji
disamping untuk beribadah kepada Allah sekaligus untuk melihat tempat-tempat
bersejarah atau untuk bertamasya.
19. Bagaimanakah apabila yang mencampuri niat yang benar itu adalah urusan dunia?
Misalnya, seseorang naik haji sambil berniat dalam hajjinya itu untuk melakukan
perniagaan yang halal, atau seseorang berperang niatnya itu disamping niat berjihad di
jalan Allah adalah agar mendapatkan ghanimah (harta rampasan perang).
Pertanyaannya adalah apakah amalnya ini (hajji dan perangnya) sah? Jawab, “Para ahli
ilmu sepakat tentang sahnya amal ini, mereka berdalil dengan ayat 198 surat Al
Baqarah berikut,
ْ =َ‫ت فَ ْاذ ُكرُوا هَّللا َ ِع ْن َد ْال َم ْش= َع ِر ْال َح= َر ِام ف‬
‫=اذ ُكرُوا هَّللا َ ِع ْن= َد‬ ٍ ‫ْس َعلَ ْي ُك ْم ُجنَا ٌح َأ ْن تَ ْبتَ ُغوا فَضْ اًل ِم ْن َربِّ ُك ْم فَِإ َذا َأفَضْ تُ ْم ِم ْن َع َرفَا‬
َ ‫لَي‬
‫ْال َم ْش َع ِر ال َح َر ِام َواذ ُكرُوهُ َك َما هَدَا ُك ْم َوِإ ْن ُك ْنتُ ْم ِم ْن قَ ْبلِ ِه لَ ِمنَ الضَّالين‬
ِّ ْ ْ

 Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezeki hasil perniagaan) dari Tuhanmu.
Maka apabila kamu telah bertolak dari 'Arafat, berdzikirlah kepada Allah di
Masy'arilharam. dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah sebagaimana yang
ditunjukkan-Nya kepadamu; dan Sesungguhnya kamu sebelum itu benar-benar
termasuk orang-orang yang sesat.
Abu Umaamah At Taimiy bertanya kepada Ibnu Umar,
‫=ال قُ ْلنَ=ا بَلَى‬َ َ‫وس= ُك ْم ق‬َ ‫ار َوتَحْ لِقُونَ ُر ُء‬ َ ‫ت َوتَْأتُونَ ْال ُم َعرَّفَ َوتَرْ ُمونَ ْال ِج َم‬ ِ ‫ْس تَطُوفُونَ بِ ْالبَ ْي‬
َ ‫ِإنَّا نُ ْك ِري فَهَلْ لَنَا ِم ْن َح ٍّج قَا َل َألَي‬
‫صلَّى اللَّهم َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم فَ َسَألَهُ َع ِن الَّ ِذي َسَأ ْلتَنِي فَلَ ْم يُ ِج ْبهُ َحتَّى نَ َز َل َعلَ ْي ِه ِجب ِْري ُل َعلَ ْي ِه‬
َ ‫فَقَا َل ابْنُ ُع َم َر َجا َء َر ُج ٌل ِإلَى النَّبِ ِّي‬
* ‫ال َأ ْنتُ ْم ُحجَّا ٌج‬ َ َ‫صلَّى اللَّهم َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم فَق‬ َ ‫ْس َعلَ ْي ُك ْم ُجنَا ٌح َأ ْن تَ ْبتَ ُغوا فَضْ اًل ِم ْن َربِّ ُك ْم ) فَ َدعَاهُ النَّبِ ُّي‬
َ ‫ال َّساَل م بِهَ ِذ ِه اآْل يَ ِة ( لَي‬
.)‫(احمد‬
“Sesungguhnya kami ini orang yang suka melakukan sewa-menyewa, apakah kami akan
mendapatkan (pahala) hajji?” Ibnu Umar menjawab, “Bukankah kamu thawaf di
baitullah, mendatangi Mu’arraf, kamu melempar jamrah dan mencukur kepala?” Ia
menjawab, “Ya”, Ibnu Umar pun berkata, “Pernah datang seseorang kepada Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam menanyakan tentang yang kamu tanyakan, Beliau pun
tidak menjawab sampai Jibiril turun dengan membawa ayat ini “Laisa ‘alakum
junaahun…dst." Maka Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pun memanggil orang itu dan
berkata,”Kalian adalah hujjaj (orang-orang yang berhajji)." (HR. Pentahqiq Musnad
Ahmad berkata, "Isnadnya shahih.")
Namun apabila yang lebih berat niatnya adalah yang bukan ibadah, maka ia tidak
memperoleh ganjaran di akhirat, tetapi balasannya hanya diperoleh di dunia, bahkan
dikhawatirkan akan menyeretnya kepada dosa. Sebab ia menjadikan ibadah yang
mestinya karena Allah, namun malah dijadikan sarana untuk mendapatkan dunia yang
rendah nilainya. Abu Hurairah meriwayatkan, bahwa ada seorang yang berkata:
‫ص=لَّى اللَّهم َعلَ ْي= ِه‬ َ ِ ‫=ال َر ُس=و ُل هَّللا‬ َ َ‫ض ال= ُّد ْنيَا فَق‬ ً ‫يَا َرسُو َل هَّللا ِ َر ُج ٌل ي ُِري ُد ْال ِجهَا َد فِي َسبِي ِل هَّللا ِ َوهُ َو يَ ْبتَ ِغي َع َر‬
ِ ‫ض=ا ِم ْن َع= َر‬
‫ول‬ َ = ‫=ال يَ==ا َر ُس‬ َ َّ‫صلَّى اللَّهم َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم فَلَ َعل‬
َ =َ‫ك لَ ْم تُفَهِّ ْمهُ فَق‬ َ ِ‫َو َسلَّ َم اَل َأجْ َر لَهُ فََأ ْعظَ َم َذل‬
َ ِ ‫ك النَّاسُ َوقَالُوا لِل َّر ُج ِل ُع ْد لِ َرسُو ِل هَّللا‬
ِ ‫ول هَّللا‬ ِ ‫ض ال ُّد ْنيَا فَقَا َل اَل َأجْ َر لَ=هُ فَقَ=الُوا لِل َّرج‬
ِ =‫ُ=ل عُ= ْد لِ َر ُس‬ ِ ‫هَّللا ِ َر ُج ٌل ي ُِري ُد ْال ِجهَا َد فِي َسبِي ِل هَّللا ِ َوهُ َو يَ ْبتَ ِغي ع ََرضًا ِم ْن َع َر‬
‫صلَّى اللَّهم َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم فَقَا َل لَهُ الثَّالِثَةَ فَقَا َل لَهُ اَل َأجْ= َر لَ=هُ * (اب==وداود وحس==نه األلب==اني في ص==حيح س==نن ابي داود رقم‬ َ
)2196
“Wahai Rasulullah, ada seseorang yang ingin berjihad di jalan Allah dan ingin
mendapatkan harta dunia?” Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Dia
tidak mendapatkan pahala”, orang-orang pun merasakan keberatan, dan berkata,
“Kembalilah kepada Rasulullah  shallallahu 'alaihi wa sallam, mungkin saja, kamu belum
memberikan penjelasan yang rinci.” Maka orang itu berkata, “Wahai Rasulullah, ada
seseorang yang ingin berjihad di jalan Allah dan ingin mendapatkan harta dunia?”
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Dia tidak mendapatkan pahala”,
sampai-sampai si penanyapun bertanya lagi hingga ketiga kalinya, namun Beliau tetap
bersabda, “Dia tidak mendapatkan pahala.” (HR. Abu Dawud dan dihasankan oleh
Syaikh Al Albani)
Apabila ada yang bertanya, “Bagaimana cara untuk mengetahui apakah lebih banyak
tujuan untuk beribadah ataukah selain ibadah ?” Jawab, “Caranya ialah, apabila ia
tidak menaruh perhatian kecuali kepada ibadah saja, berhasil ia kerjakan atau tidak.
Maka hal ini menunjukkan niatnya lebih besar tertuju kepada ibadah, dan apabila
sebaliknya maka ia tidak mendapatkan pahala.”
20. Tidak boleh seseorang meninggalkan suatu amal karena takut riya’, Fudhail bin ‘Iyaadh
mengatakan, “Meninggalakan suatu amal karena manusia adalah riya’, beramal
karena manusia adalah syirk, sedangkan ikhlas semoga Allah menjagamu dari
keduanya.”
Imam Nawawiy berkata tentang maksud perkataan Fudhail bin ‘Iyadh tersebut,
“Barang siapa yang hendak mengerjakan amal saleh lalu ia meninggalkannya karena
takut riya’ kepada manusia maka sesungguhnya ia telah berbuat riya’ karena
meninggalkanya itu. Hal itu, karena meninggalkan suatu perbuatan karena manusia
dan segala sesuatu (yang dilkakukan) karena manusia adalah riya’, sebagaimana
beramal karena manusia adalah riya’ atau syirk, begitu pula meninggalkan (suatu
amalan) karena manusia adalah riya’ juga.”
21. Keutamaan hijrah kepada Allah dan Rasul-Nya. Hijrah artinya berpindah dari negeri
kufur (negeri yang tampak semarak syi’ar-syi’ar kekufuran dan tidak bisa ditegakkan
syi’ar-syi’ar Islam, seperti azan, shalat berjamaah, shalat Jum’at, dan shalat ‘Ied) ke
negeri Islam, hukumnya ada dua:
  a. Wajib, yaitu apabila seseorang tidak bisa menegakkan/menjalankan agamanya.
  b. Sunat, yaitu apabila seseorang bisa menegakkan agamanya.
Hijrah itu berarti meninggalkan. Secara istilah, hijrah adalah berpindah dari negeri kafir
ke negeri Islam. Hijrah itu hukumnya wajib bagi muslim ketika ia tidak mampu
menampakkan lagi syiar agamanya di negeri kafir. Hijrah juga bisa berarti berpindah
dari maksiat kepada ketaatan.
Hijrah tetap berlaku sampai hari Kiamat. Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam
bersabda,
ْ ‫الَ تَ ْنقَ ِط ُع ْال ِهجْ َرةُ َحتَّى تَ ْنقَ ِط َع التَّوْ بَةُ َو الَ تَ ْنقَ ِط ُع التَّوْ بَةُ َحتَّى ت‬
‫َطلُ َع ال َّش ْمسُ ِم ْن َم ْغ ِربِهَا‬
“Hijrah tidaklah terputus sampai tobat terputus, dan tobat tidaklah terputus sampai
matahari terbit dari barat.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud, dan dishahihkan oleh Syaikh
Al Albani dalam Shahihul Jami’ no. 7469)
Telah terjadi beberapa macam hijrah dalam Islam, yaitu:
a. Berpindah dari negeri syirk ke negeri Islam, sebagaimana hijrah dari Mekah ke
Madinah.
b. Berpindah dari negeri yang berbahaya ke negeri yang aman, sebagaimana hijrah ke
Habasyah.
c. Meninggalkan apa yang dilarang Allah, sebagaimana dalam sabda Rasullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam,
ُ‫ْال ُم ْسلِ ُم َم ْن َسلِ َم ْال ُم ْسلِ ُمونَ ِم ْن لِ َسانِ ِه َويَ ِد ِه َو ْال ُمهَا ِج ُر َم ْن هَ َج َر َما نَهَى هَّللا ُ َع ْنه‬
“Orang muslim (yang paling utama) adalah seseorang yang kaum muslim lainnya
selamat dari gangguan lidah dan tangannya, dan orang yang berhijrah adalah orang
yang meninggalkan apa yang dilarang Allah.” (HR. Bukhari)
Referensi:
1. Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah. Cetakan Tahun 1420 H. Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-
Sa’di. Penerbit Dar Al-Haramain.
2. At-Ta’liqat ‘ala ‘Umdah Al-Ahkam. Cetakan pertama, Tahun 1431 H. Syaikh
‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di. Penerbit Dar ‘Alam Al-Fawaid.
3. Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam. Cetakan kesepuluh, Tahun 1432 H. Ibnu Rajab Al-Hambali.
Penerbit Muassasah Ar-Risalah.
4. Majmu’ah Al-Fatawa. Cetakan keempat, Tahun 1432 H. Syaikhul Islam Ahmad bin
Taimiyah Al-Harrani. Penerbit Dar Al-Wafa’.
5. Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyah fi Al-Ahadits Ash-Shahihah An-Nabawiyyah. Cetakan
kedua, Tahun 1423 H. Al-Imam Ibnu Daqiq Al-‘Ied. Penerbit Dar Ibnu Hazm.
6. Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyah. Cetakan ketiga, Tahun 1425 H. Syaikh Muhammad bin
Shalih Al-‘Utsaimin. Penerbit Dar Ats-Tsuraya.
7. Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyah. Cetakan kedua, Tahun 1433 H. Syaikh Shalih bin
‘Abdul ‘Aziz bin Muhammad bin Ibrahim Alu Syaikh. Penerbit Dar Al-‘Ashimah.

Anda mungkin juga menyukai