Anda di halaman 1dari 11

MA’RIFATUL INSAN

BAGIAB KE-8
Qabuulul ‘Ibadah (Diterimanya Ibadah)

1. Pengantar
Ibadah merupakan sebuah kata yang amat sering terdengar di kalangan kaum
muslimin, bahkan mungkin bisa kita pastikan tidaklah seorang muslim kecuali
pernah mendengarnya. Lebih jauh lagi, ibadah merupakan tujuan diciptakannya
seluruh jin dan seluruh manusia, sebagaimana firman Allah ‘azza wa jalla
‫س ا َِّْل ِليَ ْعبُد ُْو ِن‬ ِ ْ ‫َو َما َخلَ ْقتُ ْال ِج َّن َو‬
َ ‫اْل ْن‬
“Dan tidaklah Aku ciptakan seluruh jin dan seluruh manusia melainkan untuk
beribadah kepadaKu“.(QS : Adz Dzariyat [51] :56). Namun telah tahukah kita
bahwa ibadah memiliki syarat agar ibadah tersebut diterima di sisi Allah sebagai
amal sholeh dan bukan amal yang salah? Tiga syarat dalam ibadah yang akan kita
bahas pada kesempatan ini. Untuk itulah mari sejenak kita luangkan waktu kita
untuk mempelajarinya.
Materi ini akan memfokuskan pada qubuulul ‘ibadah (diterimanya ibadah)
seorang muslim disisi Tuhan-Nya

2. Tujuan Intruksional Umum


Setelah mempelajari materi ini diharapkan anda mampu memahami dan
mampu melaksanakan syarat-syarat diterimanya ibadah dengan benar untuk
senantiasa mengikuti manhaj Islam.

3. Tujuan Intruksional Khusus


a) Memahami syarat-syarat diterimanya ibadah
b) Dapat melaksanakan syarat-syarat tersebut dengan benar
c) Termotivasi untuk senantiasa mengikuti manhaj Islam
4. Bagan Materi
MA’RIFATUL INSAN
(MENGENAL HAKIKAT PENCIPTAAN MANUSIA)
Bagiab Ke-8

Qabuulul ‘Ibadah (Diterimanya Ibadah)

• Uraian Materi
Definisi Ibadah
Ibadat atau Ibadah adalah sebuah kata yang diambil dari bahasa Arab ‘Ibadah
(‫ )عبادة‬yang artinya merendahkan diri, ketundukan dan kepatuhan akan aturan-
aturan agama. Sedangkan menurut istilah syar'I ‘Ibadah adalah suatu istilah yang
mencakup segala sesuatu yang dicintai Allah dan diridhai-Nya', baik berupa
perkataan maupun perbuatan, yang tersembunyi (batin) maupun yang tampak
(lahir). Maka salat, zakat, puasa, haji, berbicara jujur, menunaikan amanah,
berbakti kepada kedua orang tua, menyambung tali kekerabatan, menepati janji,
memerintahkan yang ma’ruf, melarang dari yang munkar, berjihad melawan
orang-orang kafir dan munafiq, berbuat baik kepada tetangga, anak yatim, orang
miskin, ibnu sabil (orang yang kehabisan bekal di perjalanan), berbuat baik
kepada orang atau hewan yang dijadikan sebagai pekerja, memanjatkan do’a,
berdzikir, membaca Al Qur’an dan lain sebagainya adalah termasuk bagian dari
ibadah. Begitu pula rasa cinta kepada Allah dan Rasul-Nya, takut kepada Allah,
inabah (kembali taat) kepada-Nya, memurnikan agama (amal ketaatan) hanya
untuk-Nya, bersabar terhadap keputusan (takdir)-Nya, bersyukur atas nikmat-
nikmat-Nya, merasa ridha terhadap qadha/takdir-Nya, tawakal kepada-Nya,
mengharapkan rahmat (kasih sayang)-Nya, merasa takut dari siksa-Nya dan lain
sebagainya
Ibadah di dalam Islam terbadi menjadi dua jenis: Ibadah Mahdhah dan Ibadah
Ghairu Mahdhah.
1. Ibadah Mahdhah
Ibadah mahdhah (murni), yaitu ibadah yang pedoman dan kaifiyat
pelaksanaannya sudah ditentukan berdasarkan keterangan nash dan bersifat baku,
sehingga manusia dilarang untuk menambah atau menguranginya. Contoh: shalat,
zakat, puasa, haji, umrah.
Ibadah mahdhah akan diterima oleh Allah Ta’ala jika memenuhi syarat
berikut.
a. Niat yang benar (Shihatun Niyyati)
Yakni niat yang ikhlash (murni), tidak tercampuri oleh syirik atau maksud
lainnya, sebagaimana difirmankan oleh Allah Ta’ala,
٥ - ‫الزكوة َ َوذلِكَ ِد ْي ُن ْالقَيِ َم ِة‬
َّ ‫صلوة َ َويُؤْ تُوا‬ ِ ُ‫ِصيْنَ لَه‬
َّ ‫الديْنَ ەۙ ُحنَفَا َء َويُ ِق ْي ُموا ال‬ َ ٰ ‫َو َما اُمِ ُر ْوا ا َِّْل ِليَ ْعبُدُوا‬
ِ ‫ّللا ُم ْخل‬
“Padahal mereka tidak diperintahkan melainkan supaya menyembah
Allah dengan mengikhlaskan ibadat kepadaNya, lagi tetap teguh diatas
tauhid dan supaya mereka mendirikan shalat serta memberi zakat. Dan
demikian itulah agama yang benar.” (QS. Al-Bayyinah [98]: 5).

Shihatun niyyat ini penting, karena sesungguhnya amal-amal itu tergantung


pada niat, dan seseorang itu hanya akan memperoleh sesuai dengan yang
diniatkannya. Pernah terjadi di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ada
seorang laki-laki yang turut berhijrah dari Makkah ke Madinah, namun
dengan niat mengawini seorang wanita yang dikenal dengan sebutan Ummu
Qais. Berkenaan dengan hal itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda.
“Sesungguhnya setiap amal tergantung niatnya. Dan sesungguhnya setiap
orang (akan dibalas) berdasarkan apa yang dia niatkan. Siapa yang hijrahnya
karena (ingin mendapatkan keridhaan) Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya
kepada (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya. Dan siapa yang hijrahnya karena
dunia yang dikehendakinya atau karena wanita yang ingin dinikahinya maka
hijrahnya (akan bernilai sebagaimana) yang dia niatkan.” (HR. Bukhari &
Muslim)
b. Disyariatkan oleh allah ta’ala dan rasul-nya (Masyru’iyyah) dan
c. Tata cara pelaksanaannya sesuai dengan ketentuan dan contoh dari rasul-nya
(Kaifiyyatan).
Jadi, seorang muslim harus melaksanakan segenap peribadatan dengan
mengikuti ketentuan-ketentuan yang disyariatkan oleh Allah Ta’ala, dan
mengikuti cara yang diridhai-Nya, jangan mengikuti cara yang dibuat oleh
manusia yang hanya didasari dengan dugaan dan memperturutkan hawa
nafsu.
Perilaku beribadah dengan mengikuti hawa nafsu (sekehendak hati) adalah
mirip perilaku orang-orang musyrikin. Allah Ta’ala berfirman,
ٰ ‫ي بَ ْينَ ُه ْم َوا َِّن ال‬
‫ظلِمِ يْنَ لَ ُه ْم‬ ِ ُ‫ص ِل لَق‬
َ ‫ض‬ ٰ ‫الدي ِْن َما لَ ْم يَأْذَ ْن بِ ِه‬
ْ َ‫ّللاُ َولَ ْو َْل َك ِل َمةُ ْالف‬ ِ َ‫ش َركؤُا ش ََرع ُْوا لَ ُه ْم ِمن‬ ُ ‫ا َ ْم لَ ُه ْم‬
٢١ - ‫عذَابٌ ا َ ِل ْي ٌم‬
َ
“Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang
mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah? Sekiranya
tak ada ketetapan yang menentukan (dari Allah) tentulah mereka telah
dibinasakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang zalim itu akan
memperoleh azab yang amat pedih.” (QS. As-Syura [42]: 21)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menetapkan bahwa


pengamalan ibadah di dalam Islam wajib merujuk kepada perintah/contoh
dari beliau dan tidak diperkenankan berkreasi sendiri. Dari Ummul Mu’minin
Ummu Abdillah Aisyah radiyallahu ‘anha, ia mengatakan, “Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
َ ‫ث فِى أ َ ْم ِرنَا َهذَا َما لَي‬
‫ْس مِ ْنهُ فَ ُه َو َرد‬ َ َ‫َم ْن أ َ ْحد‬
“Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam urusan kami ini
(urusan agama) yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak”
(HR. Bukhari no. 2697 dan Muslim no. 1718)

Dan dalam riwayat lain milik Muslim,


‫علَ ْي ِه أ َ ْم ُرنَا فَ ُه َو َرد‬ َ ‫ع َمالً لَي‬
َ ‫ْس‬ َ ‫َم ْن‬
َ ‫عمِ َل‬
“Barangsiapa melakukan suatu amalan yang bukan berasal dari kami,
maka amalan tersebut tertolak” (HR. Muslim no. 1718)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam setiap memulai khutbah biasanya


beliau mengucapkan,
ٌ‫ضالَلَة‬ ِ ‫ّللا َو َخي ُْر ْال ُهدَى هُدَى ُم َح َّم ٍد َوش َُّر األ ُ ُم‬
َ ْ‫ور ُم ْحدَثَات ُ َها َو ُك ُّل بِد‬
َ ‫ع ٍة‬ ِ ‫أ َ َّما بَ ْعدُ فَإِ َّن َخي َْر ْال َحدِي‬
ِ َّ ُ‫ث ِكتَاب‬
“Amma ba’du. Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitabullah
dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Sejelek-jelek perkara adalah (perkara agama) yang diada-adakan,
setiap (perkara agama) yang diada-adakan itu adalah bid’ah, setiap bid’ah
adalah kesesatan” (HR. Muslim no. 867)
Di dalam hadist di atas berisikan dalil bahwa peribadatan, seperti mandi,
wudhu, puasa dan shalat, jika dilakukan dengan menyelisihi syariat, maka
tertolak atas pelakunya. Kemudian sesuatu yang diambil dengan akad
(kesepakatan) yang rusak (menyelisihi syariat), maka wajib dikembalikan
kepada pemiliknya dan tidak boleh dimilikinya.
Maka, seluruh ibadah mahdhah harus dilaksanakan sesuai syariat yang
telah ditentukan oleh Allah Ta’ala melalui Rasul-Nya. Tentang bagaimana
pelaksanaa shalat, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihatku shalat.” (HR. Al-Bukhari
dari Malik bin al-Huwairits).
Tentang bagaimana pelaksanaan haji, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
“Ambilah dariku manasik hajimu.” (HR. Ahmad, al-Nasa`i, dan al-
Baihaqi)
Kesimpulan: ibadah mahdhah akan diterima oleh Allah Ta’ala jika diiringi
al-ittiba manhajan wa kaifiyatan (mengikuti pedoman dan tata pelaksanaan
yang diajarkan oleh Allah dan Rasul-Nya).

2. Ibadah Ghairu Mahdhah


Ibadah ghairu mahdhah adalah ibadah yang pedoman dan kaifiyat
pelaksanaanya tidak ditentukan atau disebutkan secara rinci oleh nash.
Pelaksanaannya disesuaikan dengan tuntutan, kelapangan waktu, dan ‘urf
(tradisi).
Contoh: menyantuni fakir miskin adalah ibadah. Tetapi nash tidak menentukan
bagaimana menyantuni fakir miskin itu secara rinci kecuali berupa pedoman dan
arahan umum. Oleh karena itu, berapa besar jumlah santunan, kepada siapa harus
diberikan, bagaimana teknisnya, dan lain-lain, semuanya diserahkan kepada
pertimbangan si penyantun selama dilakukan secara ma’ruf. Boleh diberikan
secara langsung oleh si penyantun, boleh diberikan melalui lembaga amal, boleh
diberikan berupa dana, boleh pula diberikan berupa barang, dan lain-lain.
Contoh lain misalnya ibadah menuntut ilmu. Kapan dan di mana harus dilakukan,
bagaimana teknisnya, bagaimana manajemen dan kurikulumnya, dan lain-lain,
semuanya diserahkan sesuai dengan tuntutan, kelapangan waktu, dan ‘urf (tradisi).
Begitupula ibadah berupa berdakwah. Semuanya dikembalikan kepada ijtihad
masing-masing du’at selama tidak bertentangan dengan dalil-dalil syariat yang
jelas. Maka berdakwah bisa melalui sarana sekolah/pesantren, partai politik,
yayasan, karang taruna, kelompok diskusi, dan perkumpulan lainnya.
Ibadah ghairu mahdhah ini akan diterima oleh Allah Ta’ala jika memenuhi
syarat berikut.
a. Ibadah tersebut diiringi niat yang ikhlah (ikhlashun niyyat), hal ini telah
dijelaskan sebelumnya.
b. Ibadah tersebut adalah amal yang baik (Al-‘Amalus Shalih)
Yakni perbuatan-perbuatan yang sesuai dan tidak bertentangan dengan aqidah
dan syariat Allah Ta’ala.
Untuk memahami makna amal shalih, berikut penjelasannya secara ringkas
sebagaimana dikutip dari tulisan Ustadz Zaenuddin Abu Qushaiy yang dimuat di
website: http://www.muslim.or.id,[2]
Makna amalan
Ibnu Faris dalam Mu’jamu Maqayisul Lughah berkata, “Ain – Mim – Lam’
akar suatu kata yang menunjukkan pada satu makna yang sama, yaitu semua
pekerjaan yang dilakukan” (Mu’jamu Maqayisul Lughah , 1/17, Cet: Darul Kutub
‘Alamiyah).
Raghib al Asfahaniy berkata, “Amalan adalah semua pekerjaan yang berasal
dari makhluk hidup dan dilakukan dengan sengaja” (Al-Mufradaat Fi Gharibul
Qur’an:351, Cet: Darul Ma’rifat).

Makna shalih
Ibnu Faris dalam Mu’jamu Maqayisul Lughah berkata, “Shad-lam-ha, ‘ akar
suatu kata yang menunjukkan pada satu makna yang sama yaitu lawan dari
kerusakan” (Mu’jamu Maqayisul Lughah, 1/17, Cet: Darul Kutub ‘Alamiyah).
Syaikh Ahmad bin Yusuf Al Halabiy berkata, “ ‫الصالح‬maknanya adalah lawan
dari kerusakan, lawan dari keshalihan di dalam al Qur’an adalah kerusakan [ ‫]الفساد‬
dan kejelakan [ ‫ ]السيء‬sebagaimana dalam firman Allah (yang artinya), “Dan
apabila dikatakan kepada mereka: ‘Janganlah kalian berbuat kerusakan di muka
bumi, mereka mengatakan hanya saja kami adalah orang-orang yang berbuat
perbaikan’” (QS. Al Baqarah:11).
Juga dalam firman Allah (yang artinya), “Mereka mencampur amalan shalih
dan yang lain amalan yang jelek” (Q.S.At Taubah:102).
Kesimpulannya, amal shalih adalah perbuatan baik yang dapat membuat
kebaikan dan dilakukan secara sengaja.
• Kenapa Perbuatan Baik Dikatakan Sebagai Amal shalih?
Syaikh Abdurrahman as Sa’diy dalam Taisiru Karimir Rahman mengatakan,
“Amalan yang baik dinamakan amal shalih karena dengan sebab amal shalih
keadaan urusan dunia dan akhirat seorang hamba Allah akan menjadi baik dan
akan hilang seluruh keadaan- keadaannya yang rusak. Dengan amalan yang baik
tersebut seseorang akan termasuk golongan orang yang shalih yang pantas
bersanding dengan Allah Yang Maha Pengasih di dalam surga-Nya” (Taisiru
Karimir Rahman: 1/62,cet: Markaz Shalih bin Shalih ats Tsaqafiy).

• Kapan Suatu Amalan Menjadi Shalih?


Suatu amalan dalam agama Islam dikatakan sebagai amal shalih apabila
terpenuhi di dalamnya dua syarat, yaitu Ikhlas karena Allah dan mengikuti sunnah
Rasulullah Muhammad shalallahu ‘alaihi wa salam dalam hal sebab, jenis, kadar,
tata cara, waktu, dan tempat (Ahkam Minal Qur’an:1/94 syaikh Utsaimin).
Sampai di sini kutipan dari Ustadz Zaenuddin Abu Qushay.
Dalam konteks pembicaraan tentang ibadah ghairu mahdhah, maka ibadah itu
akan diterima oleh Allah Ta’ala jika al-ittiba’ manhajan (mengikuti pedoman dari
Allah dan Rasul-Nya).
LATIHAN 1
Kerjakan soal-soal dibawah ini dengan baik dan benar, Jadikan sebagai tolak
ukur kemampuan kita.
1. Apa arti dari kata Qabuulul ‘Ibadah…?
a. Ditolaknya ibadah
b. Diampuninya ibadah
c. Diterimanya ibadah
d. Diwajibkannya ibadah
2. Ada berapa syarat diteriumanya ibadah mahdhah…?
a. 5
b. 2
c. 3
d. 4
3. Apa syarat ketiga dalam ibadah mahdah…?
a. Niat yang benar (Shihatun Niyyati)
b. Disyariatkan oleh allah ta’ala dan rasul-nya (Masyru’iyyah)
c. Tata cara pelaksanaannya sesuai dengan ketentuan dan contoh dari rasul-
nya (Kaifiyyatan).
d. Memnuhi syarat-syarat diterimanya ibadah
4. Sebutkan syarat pertama dalam ibadah ghaer mahdhah…?
a. Niat yang benar (Shihatun Niyyati)
b. Ibadah tersebut diiringi niat yang ikhlah (ikhlashun niyyat)
c. Ibadah tersebut adalah amal yang baik (Al-‘Amalus Shalih)
d. Disyariatkan oleh allah ta’ala dan rasul-nya (Masyru’iyyah)
5. Bagaimana hukumnya beribadah tanpa memenuhi syarat beribadah…?
a. Boleh
b. Tidak boleh
c. Tidak diterima
d. Sia-sia
6. Apakah dalam beribadah wajib mengikuti syarat diterimanya ibadah…?
a. Makruh
b. Sunnah
c. Wajib
d. Haram
7. Apa hukumnya beribadah tanpa niat yang ikhlas…?
a. Boleh
b. Tidak boleh
c. Sia-sia
d. Tidak diterima
8. Sebutkan dalail yang menjelaskan tentang niat yang benar (Shihatun
Niyyati)…?
a. QS. Al-Bayyinah [98]: 3
b. QS. Al-Bayyinah [98]: 4
c. QS. Al-Bayyinah [98]: 5
d. QS. Al-Bayyinah [98]: 6
9. Apakah ibadah kita akan diterima tanpa mengikuti cara pelaksanaannya sesuai
dengan ketentuan dan contoh dari rasul-nya…?
a. Diterima
b. Tidak apa-apa
c. Ditolak
d. Sia-sia
10. Sebutkan salah satu contoh ibadah mahdhah…?
a. Membantu sesama muslim
b. Menolong teman
c. Berangkat haji
d. Tidur siang
Kunci jawaban: selalu ada di C

LATIHAN II
1. Sebutkan dua syarat dalam menjalankan ibadah ghaer Mahdhah…?
2. Sebutkan tiga contoh ibadaha dalam ibadah Mahdhah…?
3. Apa yang dimaksud dengan ibadah…?
4. Kapan suatu amalan menjadi shaleh…?
5. Kenapa Perbuatan Baik Dikatakan Sebagai Amal shalih…?
Kunci jawaban:
1. Ibadah ghairu mahdhah akan diterima oleh Allah Ta’ala jika memenuhi syarat
berikut:
a. Ibadah tersebut diiringi niat yang ikhlah (ikhlashun niyyat), hal ini telah
dijelaskan sebelumnya.
b. Ibadah tersebut adalah amal yang baik (Al-‘Amalus Shalih).
2. Melaksanakan shalat, membayar zakat dan berangkat haji ke-Baitullah
3. Ibadat atau Ibadah adalah sebuah kata yang diambil dari bahasa Arab ‘Ibadah
(‫ )عبادة‬yang artinya merendahkan diri, ketundukan dan kepatuhan akan aturan-
aturan agama. Sedangkan menurut istilah syar'I ‘Ibadah adalah suatu istilah
yang mencakup segala sesuatu yang dicintai Allah dan diridhai-Nya', baik
berupa perkataan maupun perbuatan, yang tersembunyi (batin) maupun yang
tampak (lahir).
4. Suatu amalan dalam agama Islam dikatakan sebagai amal shalih apabila
terpenuhi di dalamnya dua syarat, yaitu Ikhlas karena Allah dan mengikuti
sunnah Rasulullah Muhammad shalallahu ‘alaihi wa salam dalam hal sebab,
jenis, kadar, tata cara, waktu, dan tempat.
5. Syaikh Abdurrahman as Sa’diy dalam Taisiru Karimir Rahman mengatakan,
“Amalan yang baik dinamakan amal shalih karena dengan sebab amal shalih
keadaan urusan dunia dan akhirat seorang hamba Allah akan menjadi baik dan
akan hilang seluruh keadaan- keadaannya yang rusak. Dengan amalan yang
baik tersebut seseorang akan termasuk golongan orang yang shalih yang
pantas bersanding dengan Allah Yang Maha Pengasih di dalam surga-Nya”.

Anda mungkin juga menyukai