Anda di halaman 1dari 3

Hadits ke Sebelas Arba'in : Perintah

Meninggalkan Sesuatu Yang Meragukan


 Berikut adalah hadits kesebelas dari kitab hadits arba’in nawawi, hadits yang menjelaskan
tentang  Perintah meninggalkan sesuatu yang meragukan. Sebagaimana diceritakan dalam hadits
arbain nawawi yang lain bahwa Apabila seseorang terbiasa engan perkara yang syubhat maka
orang tersebut akan terjerumus ke dalam perkara yang haram, diibaratkan  suatu domba yang
digembalakan di lahan orang yang dekat dengan lahan orang lain, maka perlahan-lahan domba
tersebut akan memasuki pekarangan orang lain. Berikut hadits kesebelas dari kitab hadits arba’in
nawawi disertai dengan tulisan latin, terjemah dan penjelasan kandungan isi hadits. Apabila
saudara mempunyai pertanyaan dan saran silahkan tulis melalui kolom komentar dI bawah atau
melalui laman kontak
َ ُ‫ َد ْع َما يَ ِر ْيب‬: ‫صلَّى هّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬
َ ُ‫ك اِلَى َما اَل يَ ِر ْيب‬
‫ك (رواه الترمذى‬ َ ِ ‫ب ِس ْب ِط َرسُوْ ِل هّللا‬
ٍ ِ‫ع َْن اَبِ ْي ُم َح َّم ِد ْال َح َس ِن ْب ِن َعلِي ْب ِن اَبِى طَال‬
)‫ حديث حسن صحيح‬: ‫و قال‬
Tulisan latin
'An Abi muhammadilhasanibni ‘alibni abi tholibin siithi rosulillahi shollallahu ‘alaihi wa sallama
da’ ma yaribuka ila ma la yaribuka  (rowahut turmudzi wa qo la : hadtis hasan shohih)
Artinya :
Abu Muhammad al-Hasan bin Ali bin Abu Thalib ra. cucu kesayangan Rasulullah saw. berkata,
Aku hafal sabda Rasulullah saw., “Tinggalkan perkara yang meragukanmu dan kerjakan perkara
yang tidak meragukanmu.” (HR Tirmidzi dan Nasa-i, Tirimidzi berkata: “Hadits ini hasan
shahih”)
URGENSI HADITS
Hadits ini merupakan jawami’ul kalim (ucapan yang singkat dan padat). Sebuah ungkapan yang
pendek namun mengandung kaidah yang penting dalam Islam. Dasar tersebut adalah
meninggalkan syubhat [keraguan] dan memilih yang halal dan diyakini. Ibnu Hajar al-Haitamy
berkata, “Hadits ini merupakan kaidah yang sangat penting dan dasar dari sikap wara’ yang
merupakan poros dari ketakwaan, juga penyelamat dari keraguan dan ketidakjelasan yang
menghalangi cahaya keyakinan.”
KANDUNGAN HADITS
1. Meninggalkan syubhat. Meninggalkan syubhat dan kometmen terhadap yang halal dalam
masalah apapun, ibadah, muamalah, munakahat [pernikahan] dan berbagai permasalahan
lainnya, dapat mengarahkan seorang muslim kepada sikap wara’ yang sangat potensial untuk
menangkal bisikan setan. Hal ini akan mendatangkan manfaat yang besar baik di dunia maupun
di akhirat.
Dalam hadits ke enam telah disebutkan barangsiapa yang menghindari perkara syubhat, maka
agama dan kehormatannya akan terjaga.
Sesuatu yang halal dan jelas tidak akan menimbulkan keraguan dalam hati seorang mukmin,
bahkan akan melahirkan ketenangan dan kebahagiaan. Adapun sesuatu yang syubhat, meskipun
ketika seseorang melakukannya tampak tidak ada masalah, namun andai kita belah dadanya
tentulah akan kita jumpai keraguan dan kegundahan. Ini adalah satu bentuk kerugian dan siksaan
mental. Kerugian itu akan semakin besar bilamana seseorang senantiasa melakukan sesuatu yang
syubhat dan akhirnya terjerumus ke dalam lembah haram. Ingatlah bahwa orang yang
menggembala di sisi pagar, lama-kelamaan akan melanggar pagar tersebut.
2. Berbagai ucapan dan sikap salafus shalih berkenaan dengan sesuatu yang meragukan. Abu
Dzar al-Ghifari ra. berkata: “Kesempurnaan ketakwaan adalah meninggalkan beberapa hal yang
halal, karena takut hal itu haram.” Abu Abdurrahman al-‘Umry berkata: “Jika seseorang memilih
ke-wara’an, niscaya dia akan meninggalkan sesuatu yang diragukan dan mengerjakan sesuatu
yang tidak meragukan.”
Fudhail berkata: “Banyak orang mengira bahwa orang yang wara’ itu sangat tegas. Jika aku
dihadapkan pada dua perkara, tentu aku akan memilih yang terberat. Karenanya, tinggalkan
perkara yang meragukan dan pilihlah perkara yang tidak meragukan.”
Hasan bin Abi Sinan, “Tidak ada yang lebih ringan dari wara’. Jika ada sesuatu yang
meragukanmu maka tinggalkanlah.”
Adapun sikap dan perbuatan mereka berkaitan dengan perkara syubhat, tidak jauh berbeda
dengan apa yang mereka ucapkan. Sebagai contoh Yazid bin Zurai’. Ia tidak mengambil
sedikitpun warisan dari ayahnya. Karena ayahnya adalah pegawai kerajaan dan ia khawatir jika
warisan tersebut tidak halal.
Contoh lain Ibrahim Adham yang tidak mau minum air Zam-Zam, dengan alasan timba yang
digunakan mengambil air tersebut milik penguasa, maka dikhawatirkan tidak halal. Dan banyak
lagi contoh yang lainnya.
Beberapa kalangan beranggapan bahwa sikap-sikap di atas adalah berlebih-lebihan. Namun umat
Islam perlu sekali teladan seperti itu. Agar mereka senantiasa bertumpu pada berbagai hal yang
jelas dan halal, serta menghindari perkara-perkara syubhat. Andai contoh-contoh semacam ini
tidak ada, tentulah lambat laun umat Islam akan terjerumus ke dalam lembah syubhat dan bahkan
mungkin juga haram.
3. Jika keraguan berbenturan dengan keyakinan.
Dalam kondisi seperti ini kita pilih yang yakin, sebagaimana disebutkan dalam kaidah fiqih: “Al
yaqiinu laa yuzulu bi syakk” (keyakinan tidak bida dihilangkan dengan keraguan). Sebagai
contoh: seseorang berwudlu, lalu ragu-ragu apakah wudlunya batal atau tidak. Maka wudlunya
tetap dianggap sah. Kaidah ini juga didasari oleh hadits Nabi saw: “Jika salah seorang diantara
kalian merasakan sesuatu di perutnya, lalu ia ragu-ragu, apakah telah keluar angin atau belum,
maka janganlah keluar dari masjid hingga mendengar suara kentut atau mencium baunya.” (HR
Muslim)
4. Orang yang meninggalkan syubhat adalah orang yang telah istiqamah dalam melaksanakan
yang halal dan meninggalkan semua hal yang haram.
Logikanya, bagaimana seseorang mampu meninggalkan berbagai hal yang syubhat, sementara ia
masih bergelimang dengan perkara-perkara yang haram. Orang seperti ini seharusnya
membenahi dirinya dengan terlebih dahulu meninggalkan berbagai hal yang haram. Karena
itulah ketika Ibnu Umar ra. ditanya oleh penduduk Irak perihal darah nyamuk, ia berkata:
“Kalian bertanya kepadaku perihal darah nyamuk?….. sementara kalian telah membunuh
Husain.”
5. Jujur adalah kedamaian, sedangkan kebohongan adalah kegundahan.
Tirmidzi meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya kejujuran adalah
ketenangan dan kebohongan adalah kegundahan [keraguan]” merupakan isyarat untuk selalu
jujur dalam segala hal, termasuk ketika menjawab satu pertanyaan, atau memberi fatwa. Adapun
tanda dari kejujuran adalah ketenangan hati, sedangkan tanda kebohongan adalah kegundahan
yang menyebabkan hatinya tidak tenang.
6. Hadits ini merupakan isyarat agar kita menetapkan berbagai hukum dan menjalankan semua
permasalahan dalam kehidupan atas dasar keyakinan dan bukan keragu-raguan.
7. Sesuatu yang halal, kebenaran, dan kejujuran akan mendapatkan kedamaian dan keridlaan.
Sedangkan sesuatu yang haram, kebatilan dan dusta akan melahirkan rasa gundah dan kebencian.

Anda mungkin juga menyukai