Anda di halaman 1dari 16

11-Memilih yang Diyakini

dan
Meninggalkan Keraguan
Al-Wafi; DR.Musthafa Dieb al-Bugha

Abu Muhammad al-Hasan bin Ali bin Abu Thalib ra. cucu
kesayangan Rasulullah saw. berkata, Aku hafal sabda Rasulullah
saw., “Tinggalkan perkara yang meragukanmu dan kerjakan
perkara yang tidak meragukanmu.” (HR Tirmidzi dan Nasa-i,
Tirimidzi berkata: “Hadits ini hasan shahih”)

URGENSI HADITS
Hadits ini merupakan jawami’ul kalim (ucapan yang singkat dan
padat). Sebuah ungkapan yang pendek namun mengandung
kaidah yang penting dalam Islam. Dasar tersebut adalah
meninggalkan syubhat [keraguan] dan memilih yang halal dan
diyakini. Ibnu Hajar al-Haitamy berkata, “Hadits ini merupakan
kaidah yang sangat penting dan dasar dari sikap wara’ yang
merupakan poros dari ketakwaan, juga penyelamat dari keraguan
dan ketidakjelasan yang menghalangi cahaya keyakinan.”

KANDUNGAN HADITS
1. Meninggalkan syubhat. Meninggalkan syubhat dan kometmen
terhadap yang halal dalam masalah apapun, ibadah, muamalah,
munakahat [pernikahan] dan berbagai permasalahan lainnya,
dapat mengarahkan seorang muslim kepada sikap wara’ yang
sangat potensial untuk menangkal bisikan setan. Hal ini akan
mendatangkan manfaat yang besar baik di dunia maupun di
akhirat.

Dalam hadits ke enam telah disebutkan barangsiapa yang


menghindari perkara syubhat, maka agama dan kehormatannya
akan terjaga.
Sesuatu yang halal dan jelas tidak akan menimbulkan keraguan
dalam hati seorang mukmin, bahkan akan melahirkan
ketenangan dan kebahagiaan. Adapun sesuatu yang syubhat,
meskipun ketika seseorang melakukannya tampak tidak ada
masalah, namun andai kita belah dadanya tentulah akan kita
jumpai keraguan dan kegundahan. Ini adalah satu bentuk
kerugian dan siksaan mental. Kerugian itu akan semakin besar
bilamana seseorang senantiasa melakukan sesuatu yang
syubhat dan akhirnya terjerumus ke dalam lembah haram.
Ingatlah bahwa orang yang menggembala di sisi pagar, lama-
kelamaan akan melanggar pagar tersebut.

2. Berbagai ucapan dan sikap salafus shalih berkenaan dengan


sesuatu yang meragukan. Abu Dzar al-Ghifari ra. berkata:
“Kesempurnaan ketakwaan adalah meninggalkan beberapa hal
yang halal, karena takut hal itu haram.” Abu Abdurrahman
al-‘Umry berkata: “Jika seseorang memilih ke-wara’an, niscaya
dia akan meninggalkan sesuatu yang diragukan dan
mengerjakan sesuatu yang tidak meragukan.”
Fudhail berkata: “Banyak orang mengira bahwa orang yang wara’
itu sangat tegas. Jika aku dihadapkan pada dua perkara, tentu
aku akan memilih yang terberat. Karenanya, tinggalkan perkara
yang meragukan dan pilihlah perkara yang tidak meragukan.”
Hasan bin Abi Sinan, “Tidak ada yang lebih ringan dari wara’.
Jika ada sesuatu yang meragukanmu maka tinggalkanlah.”
Adapun sikap dan perbuatan mereka berkaitan dengan perkara
syubhat, tidak jauh berbeda dengan apa yang mereka ucapkan.
Sebagai contoh Yazid bin Zurai’. Ia tidak mengambil sedikitpun
warisan dari ayahnya. Karena ayahnya adalah pegawai kerajaan
dan ia khawatir jika warisan tersebut tidak halal.
Contoh lain Ibrahim Adham yang tidak mau minum air Zam-Zam,
dengan alasan timba yang digunakan mengambil air tersebut
milik penguasa, maka dikhawatirkan tidak halal. Dan banyak lagi
contoh yang lainnya.
Beberapa kalangan beranggapan bahwa sikap-sikap di atas
adalah berlebih-lebihan. Namun umat Islam perlu sekali teladan
seperti itu. Agar mereka senantiasa bertumpu pada berbagai hal
yang jelas dan halal, serta menghindari perkara-perkara syubhat.
Andai contoh-contoh semacam ini tidak ada, tentulah lambat laun
umat Islam akan terjerumus ke dalam lembah syubhat dan
bahkan mungkin juga haram.

3. Jika keraguan berbenturan dengan keyakinan.


Dalam kondisi seperti ini kita pilih yang yakin, sebagaimana
disebutkan dalam kaidah fiqih: “Al yaqiinu laa yuzulu bi syakk”
(keyakinan tidak bida dihilangkan dengan keraguan). Sebagai
contoh: seseorang berwudlu, lalu ragu-ragu apakah wudlunya
batal atau tidak. Maka wudlunya tetap dianggap sah. Kaidah ini
juga didasari oleh hadits Nabi saw: “Jika salah seorang diantara
kalian merasakan sesuatu di perutnya, lalu ia ragu-ragu, apakah
telah keluar angin atau belum, maka janganlah keluar dari masjid
hingga mendengar suara kentut atau mencium baunya.” (HR
Muslim)

4. Orang yang meninggalkan syubhat adalah orang yang telah


istiqamah dalam melaksanakan yang halal dan meninggalkan
semua hal yang haram.
Logikanya, bagaimana seseorang mampu meninggalkan
berbagai hal yang syubhat, sementara ia masih bergelimang
dengan perkara-perkara yang haram. Orang seperti ini
seharusnya membenahi dirinya dengan terlebih dahulu
meninggalkan berbagai hal yang haram. Karena itulah ketika Ibnu
Umar ra. ditanya oleh penduduk Irak perihal darah nyamuk, ia
berkata: “Kalian bertanya kepadaku perihal darah nyamuk?…..
sementara kalian telah membunuh Husain.”

5. Jujur adalah kedamaian, sedangkan kebohongan adalah


kegundahan.
Tirmidzi meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda:
“Sesungguhnya kejujuran adalah ketenangan dan kebohongan
adalah kegundahan [keraguan]” merupakan isyarat untuk selalu
jujur dalam segala hal, termasuk ketika menjawab satu
pertanyaan, atau memberi fatwa. Adapun tanda dari kejujuran
adalah ketenangan hati, sedangkan tanda kebohongan adalah
kegundahan yang menyebabkan hatinya tidak tenang.
6. Hadits ini merupakan isyarat agar kita menetapkan berbagai
hukum dan menjalankan semua permasalahan dalam kehidupan
atas dasar keyakinan dan bukan keragu-raguan.
7. Sesuatu yang halal, kebenaran, dan kejujuran akan
mendapatkan kedamaian dan keridlaan. Sedangkan sesuatu
yang haram, kebatilan dan dusta akan melahirkan rasa gundah
dan kebencian.

12-Menyibukkan Diri
dengan Sesuatu
yang Bermanfaat

6 DES
Al-Wafi; Imam Nawawi; DR.Musthafa Dieb al-Bugha

Abu Hurairah ra. berkata: Rasulullah saw. bersabda: “Di antara


tanda sempurnanya Islam seseorang adalah meninggalkan hal-
hal yang tidak bermanfaat.” (hadits ini hasan, diriwayatkan oleh
Tirmidzi dan yang lainnya)
URGENSI HADITS
Abu Hurairah ra. Shahabat yang selalu menyertai beliau dan
banyak mengadopsi perilaku beliau berkata: “Rasulullah
menjelaskan hadits tersebut kepada kami dengan kalimat yang
singkat dan penuh manfaat, di dalamnya terkumpul kebaikan
dunia dan kebahagiaan akhirat.”
Para ulama sepakat bahwa hadits ini merupakan jawami’ul kalim
yang menjadi keistimewaan Rasulullah saw. yang tidak dimiliki
nabi-nabi sebelumnya. Bahkan di antara mereka ada yang
mengatakan bahwa hadits ini merupakan separuh dari agama,
karena agama pada dasarnya adalah melakukan sesuatu [al fi’lu]
dan menghindari sesuatu [at-tark], dan hadits ini merupakan
dasar untuk menghindari suatu perbuatan, dengan demikian
separuh dari agama.
Sebagian ulama berpendapat bahwa hadits ini menghimpun
semua ajaran agama. Karena secara tekstual menyebutkan
tentang at-tarku dan secara kontekstual mengisyaratkan al-fi’lu.
Ibnu Rajab berkata: “Hadits ini dasar yang sangat penting
berkaitan masalah akhlak.”
Abu Dawud berkata, “Siklus hadits-hadits ada pada empat
hadits… salah satunya adalah hadits ini.” (syarah Ibnu Daqiq
al-‘Id terhadap al-Arba’in)
KANDUNGAN HADITS
1. Membangun masyarakat yang mulia
Islam menghendaki terciptanya kedamaian dalam masyarakat.
Tidak ada pertentangan dan permusuhan. Juga menghendaki
kedamaian bagi individu, hidup di dunia dengan penuh
kebahagiaan, disayangi dan tidak disakiti, hingga ketika
meninggal dunia kelak, ia mendapatkan kemenangan dan
keberuntungan.
Yang biasanya menimbulkan perpecahan dan mengacaukan
masyarakat adalah campur tangan terhadap urusan orang lain,
terutama masalah yang tidak mendatangkan manfaat baginya.
Karena itulah salah satu tanda muslim sejati dan tandan
kebenaran iman seseorang adalah sikap tidak campur tangan
terhadap urusan orang lain.
2. Menyibukkan diri dengan urusan yang tidak mendatangkan
manfaat adalah kesia-siaan dan tanda lemahnya iman.
Dalam kehidupannya, manusia senantiasa dikelilingi oleh
manusia lain. Berbagai kesibukan dan hubungan satu sama lain
sangat banyak dan beragam. Maka seorang muslim bertanggung
jawab penuh dalam setiap langkah dan perbuatannya, setiap
waktu yang dipergunakannya, dan setiap kata yang
diucapkannya. Jika seseorang kemudian disibukkan oleh hal-hal
yang tidak mendatangkan manfaat, hingga ia meninggalkan
kewajiban yang seharusnya ia lakukan, melupakan amanat yang
sepatutnya ia emban, maka di dunia akan mendapat cela dan di
akhirat akan mendapat siksa. Hal ini adalah tanda lemahnya
iman yang ada dalam dirinya, bahkan Islamnya hampir mendekati
orang-orang yang mengaku Islam, namun hanya sebatas di bibir
dan lidah.
Anas bin Malik meriwayatkan bahwa salah seorang sahabat
meninggal dunia, lalu seseorang berkata, “Berilah kabar gembira
dengan surga.” Maka Rasulullah saw. bersabda: “Apakah kalian
tidak tahu… mungkin ia pernah mengucapkan perkataan yang
tidak mendatangkan manfaat atau bakhil terhadap sesuatu [harta]
yang sebenarnya tidak akan berkurang.” (HR Tirmidzi)
3. Menghindari sesuatu yang tidak bermanfaat merupakan jalan
keselamatan.
Jika seorang muslim menyadari kewajiban dan tanggung
jawabnya, niscaya ia akan menyibukkan diri dengan berbagai hal
yang mendatangkan manfaat, bagi dunia maupun akhiratnya, dan
akan menghindari segala hal yang tidak mendatangkan manfaat.
Perlu diketahui bahwa perkara yang bermanfaat lebih sedikit
dibanding dengan perkara yang tidak bermanfaat. Karenanya
dengan membatasi diri pada perkara yang bermanfaat, niscaya
dia akan terhindar dari segala keburukan dan dosa, dan memiliki
waktu yang cukup untuk melakukan hal-hal yang bermanfaat bagi
akhiratnya. Ini adalah tanda kesempurnaan Islam dan iman
seseorang. Ia pun akan mendapatkan tempat yang baik di sisi
Tuhannya.
Rasulullah saw. bersabda: “Jika salah seorang di antara kalian
baik [sempurna] Islamnya, maka setiap kebaikan yang dikerjakan
akan dicatat [baginya] sepuluh hingga tujuh ratus kali lipat. Dan
setiap keburukan yang dilakukan akan dicatat seperti apa yang ia
lakukan [tidak dilipatgandakan].” (HR Bukhari)
Imam Malik menyebutkan bahwa Luqman pernah ditanya: “Apa
yang menjadikan ada sampai pada derajat seperti ini?” ia
menjawab: “Kejujuran, menepati janji, dan meninggalkan apa
yang tidak bermanfaat.”
4. Sibukkan diri anda dengan mengingat Allah swt. niscaya anda
akan menjauhi perkara yang tidak bermanfaat.
Seorang muslim yang beribadah kepada Allah swt. seolah-olah
melihat-Nya, merasakan kedekatan Allah swt. niscaya dia akan
menyibukkan diri dengan hal-hal yang mendatangkan manfaat.
Dengan demikian, ia akan menghindari perkara yang tidak
mendatangkan manfaat. Jika ia mampu melakukan ini maka yang
demikian itu adalah bukti kebenaran imannya kepada Allah.
Namun jika ia tetap melakukan berbagai hal yang tidak
bermanfaat, maka hal itu pertanda bahwa ia tidak mampu
menghadirkan rasa dekat kepada Allah swt. dan bukti bahwa
keimanannya belum benar.
Hasan al-Bashri berkata: “Tanda, bahwa Allah berpaling dari
hamba-Nya adalah jika seorang hamba menyibukkan dirinya
dengan perkara-perkara yang tidak mendatangkan manfaat.”
5. Perkara yang bermanfaat dan yang tidak bermanfaat.
Perkara yang mendatangkan manfaat bagi manusia adalah
perkara-perkara yang berkaitan dengan kebutuhan manusia
paling mendasar, seperti: sandang, pangan dan papan. Juga
perkara-perkara yang berhubungan dengan keselamatan
manusia, baik di dunia maupun di akhirat. Di luar masalah-
masalah ini, maka tergolong perkara yang tidak mendatangkan
manfaat.
Jad bisa disimpulkan bahwa perkara yang tidak mendatangkan
manfaat adalah berbagai keinginan yang melebihi kebutuhan
dasar. Seperti menumpuk harta dan kenikmatan, gila kedudukan
dan kehormatan. Karenanya tanda kebenaran iman seorang
muslim adalah tidak melakukan hal-hal tersebut.
Termasuk perkara yang tidak bermanfaat adalah sesuatu yang
pada dasarnya dibolehkan , namun tidak membawa manfaat
berarti bagi manusia, baik di dunia maupun di akhirat. Contoh:
permainan, gurauan dan berbagai masalah lainnya yang
mengurangi kewibawaan dan tidak membawa manfaat. Maka
setiap muslim lebih baik meninggalkannya, karena perkara-
perkara tersebut dapat menyia-nyiakan waktu dan hal ini kelak
akan dimintai pertanggung jawaban.
Banyak bicara, terutama perkataan yang tidak mendatangkan
manfaat. Bahkan banyak bicara, cenderung membawa kepada
perkataan yang haram. Karena itu seorang muslim seharusnya
tidak banyak mengumbar perkataan atau bahkan dengan mudah
menerima dan menuturkan suatu yang bersifat kabar burung.
Tirmdizi meriwayatkan dari Muadz ra. bahwa Rasulullah saw.
bersabada ketika ditanya: “Apakah perkataan kita akan dimintai
pertanggungjawabannya?” Beliau menjawab: “Hus. Tidaklah
manusia ditenggelamkan ke dalam neraka kecuali akibat
perkataan mereka.” Rasulullah saw. bersabda: “Perkataan
manusia adalah sebuah dosa [baginya] dan bukan pahala,
kecuali amar ma’ruf nahi munkar dan dzikrullah [mengingat
Allah].”
6. Seorang muslim seharusnya menyibukkan diri dengan
berbagai masalah yang bernilai dan bukan disibukkan dengan
masalah-masalah yang tidak berarti.
7. Seorang muslim hendaknya senantiasa mensucikan jiwanya
dengan cara menjauhi semua masalah yang tidak bermanfaat.

13: Ukhuwah Islamiyah

15 NOV
Al-Wafi; DR.Musthafa Dieb al-Bugha

Abu Hamzah, Anas bin Malik ra. pelayan Rasulullah berkata,


Rasulullah saw. bersabda: “Seorang di antara kalian tidak
beriman jika belum bisa mencintai saudaranya seperti mencintai
dirinya sendiri.” (HR Bukhari dan Muslim)

URGENSI HADITS
Imam Nawawi menyebutkan bahwa Abu Muhammad Abdullah
Ibnu Abi Zaid [seorang ulama besar madzab Maliki di Maroko]
berkata, “Siklus kebaikan terletak pada empat hadits. Yaitu
1. “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka
katakanlah kebaikan atau diam.”
2. “Di antara tanda sempurnanya iman seseorang adalah
meninggalkan perkara yang tidak mendatangkan manfaat.”
3. “Jangan marah.”
4. “Tidak beriman seorang di antara kalian, hingga ia mencintai
saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri.”
Inilah yang barangkali yang mendorong Imam Nawawi memuat
keempat hadits tersebut dalam kitab al-Arba’ain “Empat puluh
hadits”.
Al-Jurdani, dalam syarahnya terdapat al-Arbain, mengatakan
bahwa hadits ini satu dari dasar-dasar Islam.

KANDUNGAN HADITS
1. Persatuan dan kasih sayang.
Islam bertujuan menciptakan masyarakat yang harmonis dan
penuh kasih sayang. Setiap individu berusaha mendahulukan
maslahat umum dan kedamaian masyarakat, sehingga tercipta
keadilan dan kedamaian. Semua itu tidak akan terealisasi kecuali
jika setiap individu yang ada dalam masyarakat menghendaki
kebaikan dan kebahagiaan bagi orang lain seperti ia
menghendakinya untuk dirinya sendiri. Karena itulah, Rasulullah
saw. mengkaitkan persatuan dengan iman. Bahkan merupakan
bagian yang tak terpisahkan.
2. Iman yang sempurna.
Iman akan terealisasi dengan pembenaran dan pengakuan yang
mendalam terhadap rububiyah (bahwa Allah adalah pemelihara,
pengatur, penjaga dan sebagainya) dan meyakini rukun iman
yang lain, iman kepada para malaikat, kitab-kitab suci, para rasul,
hari akhir, qadla dan qadar.
Dalam hadits ini disebutkan bahwa keimanan tidak dianggap
kokoh dan mengakar dalam hati seorang muslim, kecuali ia
menjadi manusia yang baik. Manusia yang jauh dari egoisme dan
rasa dendam, kebencian dan kedengkian. Ia menghendaki
kebaikan dan kebaikan terhadap orang lain, sebagaimana ia
menginginkan kebaikan dan kebahagiaan itu untuk dirinya
sendiri. Lebih rincinya kesempurnaan iman itu akan terealisasi
melalui hal-hal berikut:
a. Mencintai kebaikan untuk saudaranya, sebagaimana ia
mencintai untuk dirinya sendiri, dan membenci keburukan untuk
saudaranya sebagaimana ia membenci untuk dirinya sendiri.
Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa ketika Mu’adz bin Jabal
bertanya kepada Rasulullah saw. perihal iman yang paling afdhal,
Rasulullah saw. bersabda: “Agar seseorang mencintai sesuatu
[kebaikan] untuk saudaranya sebagaimana ia mencintai untuk
dirinya sendiri, dan membenci suatu [keburukan] untuk mereka,
sebagaimana ia membenci sesuatu [keburukan] untuk dirinya
sendiri.” (HR Ahmad)
b. Bersegera memberikan nasehat manakala saudaranya lalai
c. Segera maafkan dan memenuhi hak saudaranya,
sebagaimana ia juga ingin segera dipenuhi haknya.
Muslim meriwayatkan dari Abdullah bin Amru bin ‘Ash ra. bahwa
Rasulullah saw. bersabda: “Barangsiapa yang ingin agar
dijauhkan dari api neraka dan dimasukkan ke dalam surga,
hendaklah ia mati dalam keadaan iman kepada Allah dan hari
akhir, dan mendatangi orang yang suka mendatangi.”
3. Nilai lebih seorang muslim.
Di antara bentuk kesempurnaan iman adalah berharap agar
kebaikan juga dimiliki orang lain, yang muslim dan yang non
muslim. Artinya berharap dan berusaha agar orang-orang kafir itu
dapat merasakan nikmatnya iman.
Rasulullah saw. bersabda: “Cintailah sesuatu [kebaikan] untuk
orang lain, sebagaimana kamu mencintainya untuk dirimu,
niscaya kamu menjadi muslim [yang baik].” (HR Tirmidzi)
4. Berlomba untuk mendapatkan kebaikan.
Berlomba-lomba untuk mendapatkan kebaikan merupakan
kesempurnaan iman. Karenanya, seseorang yang ingin memiliki
keimanan dan ketakwaan seperti yang dimiliki orang yang lebih
shalih, bukanlah suatu aib atau hasad “iri hati”. Bahkan sikap
seperti ini merupakan refleksi kesempurnaan iman perbuatan
yang disyariatkan Allah swt. dalam firman-Nya: “Dan untuk yang
demikian itu hendaknya orang berlomba-lomba.” (al-Muthaffifiin:
26)
5. Keimanan menciptakan masyarakat yang bersih dan
berwibawa.
Hadits ini merupakan dorongan bagi setiap muslim agar
senantiasa berusaha membantu orang lain untuk melakukan
kebaikan. Karena hal ini merupakan bukti dan tanda kebenaran
imannya. Dengan demikian akan tercipta masyarakat yang bersih
dan berwibawa. Bagaimanapun ketika seseorang menciptakan
suatu kebaikan untuk orang lain, tentu ia akan berlaku baik
kepadanya. Dengan demikian akan timbul rasa kasih sayang di
antara anggota masyarakat, kebaikan akan tersebar luas,
kejahatan dan kedhaliman akan tersisih, dan terciptalah
keharmonisan dalam setiap lini kehidupan. Mereka seolah satu
hati, kebahagiaan saudaranya adalah kebahagiaanya, kesedihan
saudaranya adalah kesedihannya.
Masyarakat seperti inilah yang seharusnya terbentuk dalam
komunitas muslim, sebagaimana yang diisyaratkan Rasulullah
saw. dalam haditsnya: “Orang-orang mukmin, dalam kasih
sayangnya, seumpama satu tubuh. Jika satu anggota tubuhnya
sakit, maka anggota tubuh yang lain merasakan demam dan
kurang tidur.” (HR Bukhari dan Muslim).
Jika ini yang terjadi, maka Allah akan memberikan kepada
mereka kewibawaan, kemuliaan, dan kekuasaan di dunia.
Sedangkan di akhirat, ia akan mendapatkan pahala.
6. Masyarakat yang jauh dari keimanan, adalah masyarakat yang
egois dan penuh kebencian.
Jika keimanan tidak ada, kasih sayang pun hilang. Sebagai
gantinya, kedengkian, penipuan, dan egoisme mendominasi
dalam masyarakat. Dalam kondisi ini, manusia menjelma menjadi
srigala-srigala yang haus darah, kehidupan kacau dan
kedhaliman merajalela. Allah swt. memberikan gambaran:
“Mereka itu mati dan tidak hidup. Mereka tidak tahu kapan
mereka dibangkitkan.”
7. Hadits ini mendorong kita untuk bersatu dan hidup teratur
8. Hendaklah kita menjauhi hasad, karena hasad dapat
mengurangi kesempurnaan iman. Orang yang memiliki sifat
hasad, tidak akan mau orang lain melebihinya , atau bahkan
berangan-angan agar nikmat yang ada pada orang lain itu sirna.
9. Iman senantiasa bertambah dan berkurang. Bertambah
dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan.

14-Jiwa Seorang
Muslim Terpelihara
28 OKT
DR.Musthafa Dieb Al-Bugha Muhyidin Mistu

Ibnu Mas’ud berkata, Rasulullah saw. bersabda, “Tidak halal


darah seorang muslim yang bersaksi tidak ada Tuhan selain
Allah dan aku adalah Rasul-Nya, kecuali karena satu dari tiga hal
berikut: Tsayyib [orang yang sudah menikah/janda/duda] yang
berzina, membunuh orang, dan meninggalkan agamanya,
memisahkan diri dari jamaah.” (HR Bukhari dan Muslim)
URGENSI HADITS
Hadits ini merupakan penjelasan tentang orang Islam yang
sangat berharga. Juga merupakan dasar ketetapan hukum dalam
menjaga kehidupan seorang musim. Selama ia berlaku baik dan
tidak membahayakan keutuhan dan kenyamanan masyarakat.
Namun jika seseorang sudah menjadi ancaman bagi keutuhan
dan kenyamanan masyarakatnya, maka ia harus disingkirkan,
agar masyarakat muslim hidup damai dan sejahtera.
Ibnu Hajar al-Haitamy berkata: “Hadits ini merupakan kaidah
yang sangat penting karena berkaitan dengan permasalahan
yang penting, yaitu nyawa manusia. Kapan saatnya manusia
boleh dibunuh.”
FIQHUL HADITS (KANDUNGAN HADITS)
1. Terpeliharanya jiwa seorang muslim
Barangsiapa yang bersaksi tiada tuhan selain Allah dan
Muhammad adalah Rasulullah, mengaku keberadaan Allah swt,
mengesakan-Nya, membenarkan kenabian Muhammad saw.
mengakui risalah yang dibawanya, maka jiwanya terpelihara.
Siapapun tidak dibenarkan membunuhnya. Jaminan ini berlaku
bagi seorang muslim. Kecuali jika ia melakukan satu dari tiga hal
berikut:
– Membunuh orang lain dengan sengaja tanpa alasan yang
dibenarkan oleh syariat
– Berzina, bagi orang yang telah menikah
– Murtad
2. Rajam
Para ulama sepakat bahwa hukuman orang yang berbuat zina
dan sudah pernah menikah adalah dirajam hingga meninggal.
Karena ia telah merusak kehormatan orang lain, padahal Allah
swt. telah memberikan nikmat “kesenangan” biologis secara
halal, tetapi ia memilih yang keji dan meinggalkan yang baik.
Dengan melakukan zina, ia telah melakukan kejahatan terhadap
sisi kemanusiaan, karena perbuatan tersebut bisa merusak
silsilah keturunan. Puncaknya ia telah melanggar larangan Allah
swt. dalam firman-Nya yang artinya: “Dan janganlah kalian
mendekati zina, karena zina adalah perbuatan keji dan munkar.”
(al-Isra’: 32)
Yang menjadi ketetapan hukum rajam adalah sabda dan praktik
yang pernah diterapkan oleh Nabi saw. Beliau telah merajam
Ma’idz, dan memerintahkan untuk wanita Ghomidiyah. Hadits lain
juga menyebutkan bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Wahai
Unais, pergilah menemui istri si fulan. Jika ia mengakui
perbuatannya, maka rajamlah.” Unais pun pergi menemui
perempuan itu. Setelah perempuan tersebut mengakui
perbuatannya, Rasulullah saw. memerintahkan agar ia diarajam.”
Hukum rajam pernah ada dalam al-Qur’an, namun dihapus
[dinasakh], yaitu: “Asyaikh wan syaikhah idzaa zana farjumuHaa
albattah nakalan minallaaHi wallaaHu ‘aziizum hakiim. (“Laki-laki
yang telah menikah dan wanita yang telah menikah, jika
melakukan perbuatan zina maka rajamlah keduanya, sebagai
hukuman dari Allah, sedangkan Allah Maha perkasa lagi
Mahabijaksana.”)
Mengacu pada ayat, “Hai Ahli Kitab sesungguhnya telah datang
kepadamu rasul kami, menjelaskan kepadamu banyak dari isi al-
Qur’an yang kamu sembunyikan, dan banyak pula yang
dibiarkannya.” (al-Maidah: 15), Ibnu ‘Abbas mengambil
kesimpulan, “Barangsiapa yang mengingkari hukum rajam, maka
ia telah mengingkari al-Qur’an, dengan tanpa disadari.” Lalu ia
membaca ayat di atas dan berkata: “Hukum rajam adalah
termasuk yang mereka [ahli kitab] sembunyikan.” (Dikeluarkan
oleh an-Nasa’i dan al-Hakim)
3. Qishash
Ijma’ ulama menyepakati siapapun yang membunuh seorang
muslim dengan sengaja maka ia harus dijatuhi hukum qishash,
hukum bunuh. Allah berfirman: “Dan Kami telah tetapkan bagi
mereka di dalamnya (at-Taurat) bahwasannya nyawa dibalas
dengan nyawa.” (al-Maidah: 45)
Dengan hukum qishash, diharapkan manusia akan merasakan
hidup yang aman. Allah berfirman yang artinya: “Dan dalam
qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-
orang yang berakal.” (al-Baqarah: 179)
Lebih lanjut jika Mukallaf [orang yang sudah terbebani kewajiban]
bagi laki-laki maupun perempuan membunuh seseorang dengan
sengaja dan tanpa alasan yang sah, maka ia dijatuhi hukuman
mati. Sebagaimana yang tertulis dalam surat Rasulullah saw.
kepada ‘Amr bin Hazm. “Laki-laki dijatuhi hukuman mati karena
membunuh seorang budak wanita.”
Dalam sebuah riwayat yang shahih juga disebutkan bahwa Nabi
saw. menjatuhkan hukuman mati kepada seorang laki-laki Yahudi
karena membunuh seorang budak wanita. Pelaksanaan hukuman
qishash tidak bisa ditawar. Kecuali jika para wali dari orang yang
terbunuh memaafkan pembunuhnya.
Para ulama juga sepakat terhadap wajibnya qishahs, jika
pembunuh dan yang dibunuh sama-sama kafir. Namun mereka
berbeda pendapat jika yang dibunuh kafir ghairu harby [yang
tidak boleh diperangi], seperti kafir dzimmy dan musta’min
sedang yang membunuh adalah muslim.
Madzab Hanafi berpendapat bahwa ia wajib dijatuhi hukuman
qishash. Sebagai realisasi dari keumuman ayat “Jiwa dibalas
dengan jiwa” juga keumuman sabda Rasulullah saw., “Jiwa
dibalas dengan jiwa.”
Sedangkan madzab-madzab lain berpendapat bahwa seorang
muslim tidak diqishash karena membunuh orang kafir. Dalam
memperkuat pendapatnya ini mereka menggunakan dalil hadits
Nabi saw.: “Seorang muslim tidak dijatuhi hukuman mati, karena
membunuh orang kafir.” (HR Bukhari).
Mereka menganggap bahwa hadits ini merupakan pengkhususan
dari ayat dan hadits yang bersifat umum di atas. Dalam
pelaksanaan qishash, jumhur ulama sepakat bahwa orang tua
tidak diqishash karena membunuh anaknya, ini sebagaimana
yang dilaskanakan oleh Umar bin Khaththab ra.
4. Hukuman bagi orang yang murtad
Para ulama sepakat, jika ada seorang laki-laki yang murtad, lalu
bersikukuh dengan kekafirannya dan tidak mau kembali masuk
Islam, maka ia dijatuhi hukuman mati. Sebagaimana yang
disebutkan dalam hadits, “Dan keluar dari agamanya.” Dalam
hadits laiin, Ibnu ‘Abbas ra. meriwayatkan bahwa Rasulullah saw.
bersabda: “Barangsiapa yang mengganti agamanya maka
bunuhlah.” (HR Bukhari dan ashhab sunan [para pemilih sunan]).
Namun para ulama berbeda pendapat seputar wanita yang
murtad. Jumhur ulama berpendapat bahwa wanita yang murtad
tetap dijatuhi hukuman mati, seperti laki-laki. Karena hadits yang
menyatakan hukuman bagi orang yang murtad bersifat umum
Sedangkan madzab Hanafi berpendapat bahwa ia tidak dibunuh.
Cukup dipenjarakan, hingga ia kembali masuk Islam atau mati di
dalam penjara. Mereka menggunakan dalil hadits yang
diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim, bahwa Rasulullah saw.
melarang membunuh wanita dalam peperangan. Larangan ini
bersifat umum, tidak ada perbedaan antara orang kafir semenjak
awal dengan orang kafir karena murtad.
5. Meninggalkan shalat
Para ulama sepakat, bahwa orang yang meninggalkan shalat,
karena ingkar, maka ia telah murtad dan dijatuhi hukuman mati.
Adapun jika ia meninggalkan karena malas dan masih mengakui
bahwa shalat hukumnya wajib, maka para ulama berbeda
pendapat. Jumhur ulama berpendapat bahwa orang seperti ini
harus diminta untuk taubat. Jika tidak mau bertaubat, maka ia
dijatuhi hukuman mati sebagai “hukuman pelanggaran” dan
bukan karena “hukuman murtad”.
Imam Ahmad dan sebagian pengikut madzab Maliki berpendapat,
bahwa orang seperti ini dijatuhi hukuman mati, karena telah kafir.
Sedangkan madzab Hanafi berpendapat bahwa ia dipenjara
hingga ia mau shalat atau mati di dalam penjara. Selama
menjalani hukuman kurungan, ia juga dihukum cambuk atau
sejenisnya
Allah swt. berfirman yang artinya: “Dan tegakkanlah shalat dan
janganlah kalian menjadi bagian dari orang-orang musyrik.” (ar-
Ruum: 31). Dalam firman-Nya yang lain, “Jika mereka bertaubat
dan mendirikan shalat serta mau menunaikan zakat, maka
mereka adalah saudaramu seagama.” (at-Taubah: 11)
Diriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Pemisah
seseorang dengan kekufuran adalah meninggalkan shalat.” (HR
Imam Ahmad dan Muslim).
Dalam sabdanya yang lain, “Perjanjian antara kami dan mereka
adalah shalat. Barangsiapa meninggalkannya, maka sungguh ia
telah kufur.” (HR Imam Ahmad, Abu Dawud dan Tirmidzi)
6. Siapakah yang melaksanakan hukuman qishash dan hukuman
yang lain?
Yaitu dilakukan oleh wali orang yang dibunuh, dengan perintah
hakim. Demikian halnya orang yang murtad dan pezina muhshan.
Jika ada wali yang melaksanakan hukuman, tanpa perintah dari
hakim, maka wali akan mendapat ta’zir [hukuman ringan] karena
telah melangkahi wewenang hakim.
7. Masalah agama, yang dapat dibat patokan adalah apa yang
disepakati oleh jamaah Muslimah, mayoritas masyarakat muslim.
8. Dorongan untuk komitmen terhadap sebuah komunitas
muslim.
9. Menghindari tiga kejahatan di atas dan peringatan agar jangan
terperosok ke dalamnya.
10. Pendidikan terhadap masyarakat muslim agar senantiasa
takut kepada Allah swt. baik dalam kesendirian maupun ketika
dalam keramaian.
11. Ketetapan “hukuman-hukuman” dalam Islam bertujuan untuk
menjaga dan melindungi keutuhan dan kedamaian masyarakat.
12. Menurut madzab Hanafi, Qishash harus dilaksanakan dengan
pedang. Menurut madzab Syafi’i, qishash dilaksanakan sama
persis ketika pembunuhan yang dilakukan. Namun bagi wali yang
melaksanakan qishash boleh melaksanakan dengan pedang.

Anda mungkin juga menyukai