Jumat, 07 Mei 10
: - - - -
.
Shahih lighairihi, yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (2419) dan Ibnu Majah
(3976) melalui jalan al-Auzai, dari Qurrah bin Abdirrahman bin Huyau-il, dari az-
Zuhri, dari Abu Salamah radhiyallahu 'anhu.
Sanad ini hasan dan rijalnya (periwayat) pun tsiqah, kecuali Qurrah bin
Abdirrahman bin Huyau-il, karena dia adalah seorang shaduq yang
meriwayatkan beberapa hadits munkar. Ia mempunyai syagid (penguat) dari
hadits Ali bin al-Husain bin Ali secara nursal yang diriwayatkan oleh Imam Malik
(II/903) dan dari jalan ini yang juga diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (2420). Secara
menyeluruh dapat dikatakan, bahwa hadits tersebut shahih ligahairihi.
Dan dalam masalah ini diriwayatkan dari sejumlah Sahabat, yaitu Abu Bakar, Ali
bin Abi Thalib, Zaid bin Tsabit, dan al-Harits bin Hisyam radhiyallahu'anhum.
hadits ini merupakan salah satu dasar penting dari dasar-dasar etika,
sebagaimana hal itu telah ditetapkan oleh Ibnu Shalah, Ibnu Rajab, dan lain-
lainnya.
)(
Barang siapa yang beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dan hari akhir
hendaklah berkata yang baik atau (kalau tidak bisa) diam. (HR. al-Bukhari dan
Muslim)
Salah satu tanda kebaikan Islam seseorang adalah meninggalkan sesuatu yang
tidak berguna.(Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dan yang lainnya seperti ini)
Jangan marah
( )
Seorang mukmin menyukai untuk saudaranya (sesame mukmin) apa-apa yang
dia sukai untuk dirinya sendiri.(Mutafaq alaihi)
Penjelasan hadits.
-
: Di antara tanda kesempurnaan dan keistiqomahan seorang
muslim.
Apabila telah diketahui makna hadits Nabi shallallahu 'alaihi wasallam di atas,
maka pertanyaannya sekarang apa yang dimaksud dengan Apa yang
dibutuhkan dan apa yang tidak dibutuhkan?
Apa yang dibutuhkan yang dalam bahasa Arabnya al-Inayah artinya adalah
perhatian dengan sesuatu, atau sesuatu yang penting yang harus diperhatikan.
Dan sesuatu yang tidak dibituhkan adalah sesuatu yang tidak perlu diperhatikan
secara serius karena di dalamnya tidak ada manfaat dan maslahat bagi
pelakunya. Dan sebagaimana sudah maklum bahwasanya urusan syariat
(agama), maka seorang muslim harus memiliki perhatian yang besar
terhadapnya. Demikian juga, fiqh (pemahaman) terhadap al-Quran dan as-
Sunnah tidak kalah pentingnya untuk diperhatikan oleh setiap muslim dan harus
mendapatkan perhatian lebih dibandingkan dengan urusan-urusan yang lainnya.
Termasuk dalam hadits ini adalah meninggalkan perkara yang tidak berguna
berupa perkataan atau pendengaran atau ucapan. Dan ini jelas, karena
lidah/lisan adalah sumber tergelincirnya seseorang, demikian juga telinga. Maka
setiap apa yang keluar dari lisan kita akan dimintai pertanggung jawabannya di
sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala, sebagaimana dalam firman Alah Subhanahu wa
Ta'ala:
}18{
Tidak ada suatu kata yang diucapkannya melainkan ada di sisnya Malaikat
pengawas yang selalu siap (mencatat). (QS. Qaaf: 18)
Sebagian ulama Salaf berkata:Dicatat setiap yang keluar dari lisan seseorang,
sampai rintihan orang sakit sekalipun. Maksudnya, sekalipun hal itu sesuatu yang
seseorang tidak diperhitungkan (tidak dianggap dosa ataupun pahala) maka
Malaikat akan menulisnya. Dan ini adalah pendapat yang kuat, bahwasanya
Malaikat menulis semuanya (semua ucapan manusia), dan penulisannya tidak
khusus pada sesuatu yang di dalamnya ada pahala atau ada siksa. Hal tersebut
berdasarkan dua dalil:
Apakah mereka mengira, bahwa Kami tidak mendengar rahasia dan bisikan-
bisikan mereka Sebenarnya (Kami mendengar), dan utusan-utusan (malaikat-
malaikat) Kami selalu mencatat di sisi mereka. (QS. Az-Zukhruf: 80)
Hal ini menunjukkan bahwa meninggalkan sesuatu yang tidak berguna baik
dalam ucapan, perbuatan ataupun pendengaran adalah salah satu yang
meningkatkan derajat seorang hamba di dunia maupun di akherat. Maka masuk
dalam hadits ini adalah mencari tahu hal-hal yang tidak penting bagi kita, tidak
berguna bagi kita dalam agama, atau semangat untuk mengetahui berita-berita
tentang fulan, pekerjaan fulan dan hal-hal lain yang tidak berguna. Juga yang
termasuk di dalamnya adalah orang-orang yang duduk manis berjam-jam di
depan TV untuk menonton bola, sinetron megikuti perkembangan artis-artis dan
lain sebagainya. Bukankah lebih baik kalau mereka menghabiskan waktu mereka
untuk membaca al-Quran atau Hadit dan mengahafal serta memahaminya?
Bagaimana kita bisa mengetahui apakah sesuatu itu termasuk bermanfaat bagi kita
atau tidak? Apakah standar dan patokan yang kita gunakan untuk menentukan suatu
perbuatan itu termasuk bermanfaat bagi seorang muslim atau tidak?
Ketahuilah bahwa standar yang harus kita gunakan dalam masalah ini adalah syariat
dan bukan hawa nafsu. Mengapa? Karena Nabi shallallahu alaihi wa
sallam menjadikan meninggalkan suatu hal yang tidak bermanfaat sebagai tanda
dari kebaikan keislaman seseorang. Ini menunjukkan bahwa patokan yang
harus kita gunakan dalam menilai bermanfaat tidaknya suatu perbuatan adalah
syariat Islam. Hal ini perlu ditekankan karena banyak orang yang salah paham
dalam memahami hadits ini, sehingga dia meninggalkan hal-hal yang diwajibkan
syariat atau disunahkan, dengan alasan bahwa hal-hal itu tidak bermanfaat baginya
(Qawaid wa Fawaid min al-Arbain an-Nawawiyah, oleh Nadzim Sulthan, hal: 123,
dan Bahjah an- Nadzirin Syarh Riyadh ash-Shalihin, oleh Salim al-Hilaly
I/142). Insya Allah di akhir penjelasan hadits akan kita bawakan contoh dari
kesalahpahaman tersebut.
Adapun sekarang, maka terlebih dahulu akan kita datangkan contoh hal-hal yang
tidak bermanfaat bagi seorang muslim, antara lain:
1. Maksiat atau hal-hal yang diharamkan oleh Allah taala. Dan ini hukumnya wajib
untuk ditinggalkan oleh setiap manusia (Bahjah al-Qulub al-Abrar wa Qurrat Uyun
al-Akhbar fi Syarh Jawami al-Akhbar, oleh Syaikh Abdurrahman as-Sady, hal: 137).
Karena dia bukan hanya tidak bermanfaat, tapi juga membahayakan diri sendiri, baik
di dunia maupun di akhirat. Di antara bahaya yang ditimbulkan maksiat di dunia
adalah: mengerasnya hati dan menghitam, hingga cahaya yang ada di dalamnya
padam. Akibatnya, dia pun menjadi buta jadi tidak bisa membedakan mana yang
haq dan mana yang batil (Lihat: Badai at-Tafsir al-Jami li Tafsiri Ibn al-Qayyim, oleh
Yusri as-Sayyid Muhammad, V/153-155, dan Taisir al-Karim ar-Rahman fi Tafsir
Kalam al-Mannan, oleh Syaikh Abdurrahman as-Sady, hal 916). Akibat buruk ini
telah dijelaskan oleh Nabi kita shallallahu alaihi wa sallam,
,
,
.
Jika seorang hamba berbuat sebuah dosa, maka akan ditorehkan sebuah noktah
hitam di dalam hatinya. Tapi jika ia meninggalkannya dan beristigfar niscaya hatinya
akan dibersihkan dari noktah hitam itu. Sebaliknya jika ia terus berbuat dosa,
noktah-noktah hitam akan terus bertambah hingga menutup hatinya. Itulah dinding
penutup yang Allah sebutkan dalam ayat (Sekali-kali tidak demikian, sebenarnya
apa yang selalu mereka kerjakan itu menutup hati mereka) (QS.al-Muthaffifin: 14)
(HR Tirmidzi dan Ibn Majah serta dihasankan oleh Syaikh Al Albani). Adapun di
akhirat, maka orang yang gemar berbuat maksiat, diancam oleh Allah untuk
dimasukkan ke dalam neraka, naudzubillah min dzalik.
Pengalaman membuktikan bahwa perkataan yang baik, indah dan yang telah
dipertimbangkan secara bijak, atau mencukupkan diri dengan diam, akan
mendatangkan kewibawaan dan kedudukan dalam kepribadian seorang muslim.
Sebaliknya, banyak bicara dan gemar ikut campur perkara yang tidak bermanfaat,
akan menodai kepribadian seorang muslim, mengurangi kewibawaan dan
menjatuhkan kedudukannya di mata orang lain (Qawaid wa Fawaid, hal: 123)
Imam Ibnu Hibban berpetuah, Orang yang berakal seharusnya lebih banyak
mempergunakan kedua telinganya daripada mulutnya. Dia perlu menyadari bahwa
dia diberi telinga dua buah, sedangkan diberi mulut hanya satu; adalah supaya dia
lebih banyak mendengar daripada berbicara. Sering kali seseorang menyesal di
kemudian hari akibat perkataan yang ia ucapkan, sementara diamnya dia tidak akan
pernah membawa penyesalan. (Perlu diketahui pula) bahwa menarik diri dari
perkataan yang belum diucapkan adalah lebih mudah daripada mencabut perkataan
yang telah terlanjur diucapkan. Karena biasanya jika seseorang tengah berbicara,
maka kata-katanyalah yang akan menguasai dirinya, sebaliknya jika tidak berbicara,
maka ia mampu untuk mengontrol kata-katanya (Raudhah al-Uqala wa Nuzhah al-
Fudhala, hal: 45, dinukil dari Rifqan Ahl as-Sunnah bi Ahl as-Sunnah Menyikapi
Fenomena Tahdzir dan Hajr, oleh Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad hafidzhahullah,
hal 31)
Di antara tanda baiknya seorang muslim adalah ia meninggalkan hal yang sia-sia dan tidak
bermanfaat. Waktunya diisi hanya dengan hal yang bermanfaat untuk dunia dan akhiratnya.
Sedangkan tanda orang yang tidak baik islamnya adalah sebaliknya.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam, beliau bersabda,
Di antara kebaikan islam seseorang adalah meninggalkan hal yang tidak bermanfaat (HR. Tirmidzi
no. 2317, Ibnu Majah no. 3976. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).
Tanda Baiknya Islam Seorang Muslim
Hadits ini mengandung makna bahwa di antara kebaikan Islam seseorang adalah meninggalkan hal
yang tidak bermanfaat baik berupa perkataan atau perbuatan. (Jaamiul Ulum wal Hikam, 1: 288)
Tanda baiknya seorang muslim adalah dengan ia melakukan setiap kewajiban. Juga di antara
tandanya adalah meninggalkan yang haram sebagaimana sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam,
Seorang muslim (yang baik) adalah yang tangan dan lisannya tidak menyakiti orang lain (HR.
Bukhari no. 10 dan Muslim no. 40).
Jika Islam seseorang itu baik, maka sudah barang tentu ia meninggalkan pula perkara yang haram,
yang syubhat dan perkata yang makruh, begitu pula berlebihan dalam hal mubah yang sebenarnya ia
tidak butuh. Meninggalkan hal yang tidak bermanfaat semisal itu menunjukkan baiknya seorang
muslim. Demikian perkataan Ibnu Rajab Al Hambali yang kami olah secara bebas (Lihat Jaamiul
Ulum wal Hikam, 1: 289).
::
Sesungguhnya Allah mencintai tiga hal dan membenci tiga hal. Perkara yang dicintai adalah sedikit
makan, sedikit tidur dan sedikit bicara. Sedangkan perkara yang dibenci adalah banyak bicara,
banyak makan dan banyak tidur (HR. Al Baihaqi dalam Syuabul Iman, 5: 48).
Umar bin Abdul Aziz berkata,
Siapa yang menghitung-hitung perkataannya dibanding amalnya, tentu ia akan sedikit bicara kecuali
dalam hal yang bermanfaat Kata Ibnu Rajab, Benarlah kata beliau. Kebanyakan manusia tidak
menghitung perkataannya dari amalannya (Jaamiul Ulum wal Hikam, 1: 291). Yang kita saksikan di
tengah-tengah kita, Talk more, do less (banyak bicara, sedikit amalan).
Ibnu Rajab berkata, Jika seseorang meninggalkan sesuatu yang tidak bermanfaat, kemudian
menyibukkan diri dengan hal yang bermanfaat, maka tanda baik Islamnya telah sempurna (Jaamiul
Ulum wal Hikam, 1: 295).
Jawabnya, tidaklah demikian. Bahkan mengajak pada kebaikan dan melarang dari suatu yang
mungkar termasuk hal yang bermanfaat. Karena Allah Taala berfirman,
Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh
kepada yang maruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung (QS.
Ali Imran: 104) (Lihat Syarh Al Arbain An Nawawiyah, 182). Sehingga dari sini menunjukkan bahwa
nasehat kepada kaum muslimin di mimbar-mimbar dan menulis risalah untuk disebar ke tengah-
tengah kaum muslimin termasuk dalam hal yang bermanfaat, bahkan berbuah pahala jika didasari
dengan niat yang ikhlas.
Ya Allah, berilah kami petunjuk untuk mengisi hari-hari kami dengan hal yang bermanfaat dan
menjauhi hal yang tidak bermanfaat.
Sumber : https://rumaysho.com/2322-meninggalkan-hal-yang-tidak-bermanfaat.html