Anda di halaman 1dari 2

YUK BISNIS GARAM

Sebuah pepatah klasik mengatakanasam di gunung, garam di laut bertemu jua. Sekalipun pepatah
tersebut mengibaratkan perjodohan, namun pengambilan obyek susunan kata tak lepas dari alam. Hal
ini menunjukkan ada refleksitas dari gambaran betapa alam negeri kita ini kaya dengan sumber daya,
yang biasanya divisualisasikan dengan gemah ripah loh jinawi. Luasnya samudra menyediakan sumber
daya tak terkira untuk dikelola dan dioptimalkan. Suburnya tanah dan hamparan bukit dan hutan-hutan
menjanjikan kemakmuran. Sehingga dalam pendekatan kajian ekonomi, kemandirian negeri kita dalam
sector ekonomi semestinya mengandalkan pada optimalisasi sumber daya alam dan bahkan menekankan
pada ekspor.

Lantas saat ini fakta menujukkan bahwa kita lebih banyak impor daripada ekspor. Hampir semua
komoditi kita impor, mulai dari daging, beras, cabe, kedelai, bahkan garam. Tentu masyarakat awam
bertanya-tanya bagaimana mungkin Indonesia dengan luas wilayah 2/3 nya berupa lautan harus impor
garam? Apalagi, bukankah kita memiliki garis pantai terpanjang kedua di dunia? Untuk menjawabnya
biarlah para pakar politik yang ambil peran. Persoalan ekspor impor ternyata bukan persoalan ekonomi
unsich, namun factor politik bisa jadi lebih dominan.

Terlepas dari impor garam yang fenominal saat ini, ada baiknya kita melihat peluang. Apa dan bagaimana
sebenarnya persoalan garam ini? Adakah peluang bisnis disana?

Fakta-Fakta Garam

Dengan menggali berbagai sumber, menunjukkan bahwa produksi garam dengan menggunakan sinar
matahari dilakukan pertama kali sejak tahun 1556 oleh seorang Itali yang bernama Agricola. Di Indonesia
sendiri, produksi garam belum mencapai surplus dari kebutuhan. Produksi garam di Indonesia pernah
mengalami surpus dalam negeri pada tahun 1982. Itu pun berupa garam krosok.

Kebutuhan garam di suatu negara tidak hanya untuk konsumsi rumah tangga, namun juga untuk industry
dan kebutuhan lainnya. Saat ini garam industry di Indonesia masih dipenuhi garam impor , yaitu sebesar
80% diimpor dari Australia. Memang, dengan industry yang dikembangkan, Australia berhasil surplus
dalam persoalan garam ini.

Sebagai kebutuhan pokok, masyarakat dunia tidak bisa meninggalkan garam. Dunia terasa hambar
tanpa garam, kata sebuah pepatah. Atau memang faktanya demikian? Nah, kebutuhan garam dunia saat
ini berkisar 300 juta ton per tahun dengan tingkat pertumbuhan 3,5%. Konsumen terbesar penggunaan
garam untuk industry chloralkal, kosmetik dan perminyakan.

Di beberapa belahan dunia bahkan penggunaan garam untuk hal-hal yang tak pernah kita duga. Di
Amerika, misalnya, garam juga digunakan untuk penghilang salju atau de-icing jalan. Kebutuhan de-icing
jalan tersebut bisa mencapai 35 juta ton per tahun, dengan kenaikan 10% per tahun. Jenis garam untuk
de-icing ini memang garam dengan harga paling murah, yaitu USD 40-114 per ton.
Di Indonesia, menurut Pusat Asosiasi Industri Pengguna Garam Indonesia (AIPGI) kebutuhan garam
untuk tahun 2017 mencapai sekitar 4,2 juta ton.(Tempo.co). Kebutuhan garam tahun 2017 ini
berbanding terbalik dengan produksi garam yang dihasilkan oleh petani garam dalam negeri yang
mengalami gagal panen pada 2016 yang hanya mampu memproduksi garam sekitar 144 ribu ton.

Konsumsi garam orang Indonesia adalah 3-4 kg per orang per tahun. Jika penduduk Indonesia 260 juta
orang, hal ini berarti di Indonesia dibutuhkan sekitar 1 juta ton garam per tahun. Sedangkan untuk
kebutuhan industri mencapai sekitar 3 juta ton per tahun. Kebutuhan garam untuk industri makanan dan
minuman mencapai 450 ribu ton per tahun, pengasinan 400 ribu ton per tahun dan penyamakan 50 ribu
ton per tahun. Selanjutnya untuk pengeboran minyak 50 ribu ton, untuk industri 3.000 ribu ton, industri
tekstil 200 ribu ton, untuk kebutuhan pembuatan sabun dan detergen 30 ribu ton per tahun dan
kebutuhan garam terbesar dibutuhkan untuk industri petrokimia dan industri kertas dan bubur kertas.

Peluang Bisnis

Dalam keadaan apapun, peluang selalu ada, termasuk mencermati garam yang asin rasanya.
Harga garam masih menjanjikan. Di Amerika, harga garam untuk untuk industry pada kisaran USD 100-
150 per ton. Sedangkan harga konsumsi pada kisaran USD 8.888-11.000 per ton. Harga seperti ini
termasuk bagus untuk peluang bisnis.

Di Indonesia, harga garam beryodium mencapai Rp 6.000.000 per ton. Sementara itu biaya produksi
tertinggi untuk pengolahan garam, terutama di Indonesia adalah biaya tenaga kerja. Sedangkan tenaga
kerja Indonesia juga masih terkategori murah. Petani garam di Indonesia sudah cukup puas dengan
tingkat harga Rp 450.000 per ton, dengan tingkat produktifitas 70-80 ton per ha per tahun. Hal ini
menunjukkan bahwa peluang bisnis masih terbuka, apalagi kalau kita mampu meningkatkan tingkat
produktifitas seperti di Kamboja yang bisa mencapai 200 ton per ha per tahun, tentu biaya lebih murah.

Sudah waktunya semua komponen masyarakat, negara dan komponen lainnya menangkap peluang ini.
Bisnis garam cukup menjanjikan. Oleh karena itu, yuk investasi di bisnis garam, tentu memerlukan
pendalaman lebih lanjut!

Wassalam.

Anda mungkin juga menyukai