Faedah Hadits
1. Di antara nama Allah adalah thayyib. Maksudnya adalah Allah itu terlepas dari sifat-sifat
kekurangan. Maksud thayyib adalah suci dan selamat dari sifat-sifat khabits (jelek).
2. Allah itu sempurna dalam dzat, sifat, perbuatan, dan keputusan-Nya.
3. Allah itu Mahakaya sehingga tidak membutuhkan apa pun dari makhluk-Nya, karenanya
Allah hanya menerima yang baik (thayyib) saja
4. Amal perbuatan seseorang bisa diterima atau ditolak.
5. Para rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam juga diperintah dan dilarang. Kaum mukiminin
juga diperintah dan dilarang.
6. Boleh menggunakan suatu metode untuk memotivasi yang lain untuk beramal. Seperti
dalam hadits ini, diajak orang beriman untuk beramal dengan menyebutkan contoh para
rasul.
7. Wajibnya mensyukuri nikmat Allah dengan beramal shalih.
8. Khabits (yang buruk) dilarang, dan penilaian khabits berdasarkan penilaian syari’at.
9. Dari hadits ini, kita didorong untuk berinfak dengan yang halal dan dilarang berinfak
dengan yang haram.
10. Hendaknya makanan, minuman, dan pakaian berasal dari yang halal, tidak boleh dari yang
syubhat.
11. Setiap yang hendak berdoa hendaklah memperhatikan makanan, minuman, dan
pakaiannya daripada yang lainnya.
12. Yang dimaksud safar yang mustajab doanya adalah safar dengan melakukan perjalanan
jauh untuk melakukan suatu ketaatan seperti berhaji, ziarah yang disunnahkan, dan
silaturahim. Demikian menurut Imam Nawawi ketika menjelaskan hadits ini.
13. Karena makanan, minuman, pakaian, serta pekerjaan yang haram membuat do’a sulit
terkabul.
Ya Allah, cukupkanlah kami dengan yang halal dan jauhkanlah kami dari yang haram,
serta kabulkanlah doa-doa kami.
HADIST KE DUA BELAS
TINGGALKAN YANG TIDAK BERMANFAAT
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Di antara kebaikan islam seseorang adalah meninggalkan hal yang tidak
bermanfaat.” (HR. Tirmidzi, no. 2317; Ibnu Majah, no. 3976)
Penjelasan Hadits
Hadits ini mengandung makna bahwa di antara kebaikan Islam seseorang adalah
meninggalkan hal yang tidak bermanfaat baik berupa perkataan atau perbuatan. (Jaami’
Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 1:288)
Faedah Hadits
1. Dalam ajaran Islam dikumpulkan berbagai macam kebaikan (mahasin). Syaikh
Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin g rahimahullah menyatakan bahwa kebaikan Islam
terkumpul dalam dua kalimat dalam firman Allah dalam surah An-Nahl : 90 yang artinya :
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan.” (QS. An-
Nahl: 90)
2. Tanda baiknya seorang muslim adalah dengan ia melakukan setiap kewajiban. Juga di
antara tandanya adalah meninggalkan yang haram sebagaimana sabda Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, “Seorang muslim (yang baik) adalah yang tangan dan lisannya tidak
menyakiti orang lain.” (HR. Bukhari, no. 10 dan Muslim, no. 40).
3. Jika Islam seseorang itu baik, maka sudah barang tentu ia akan meninggalkan perkara
yang haram, yang syubhat dan perkata yang makruh, begitu pula berlebihan dalam hal
mubah yang sebenarnya ia tidak butuh. Meninggalkan hal yang tidak bermanfaat semisal
itu menunjukkan baiknya seorang muslim.
4. Kata Ibnu Rajab rahimahullah, “Mayoritas perkara yang tidak bermanfaat muncul dari
lisan yaitu lisan yang tidak dijaga dan sibuk dengan perkataan sia-sia” (Jaami’ Al- ‘Ulum
wa Al-Hikam, 1:290). Tentang keutamaan menjaga lisan ini diterangkan dalam ayat
berikut yang menjelaskan adanya pengawasan malaikat terhadap perbuatan yang
dilakukan oleh lisan ini. Allah Ta’ala berfirman dalam QS. Qaaf: 16-18 yang artinya :
“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang
dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya, (yaitu)
ketika dua orang malaikat mencatat amal perbuatannya, seorang duduk di sebelah kanan
dan yang lain duduk di sebelah kiri. Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya
melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.” (QS. Qaaf: 16-18).
Ibnu ‘Abbas mengatakan, “Yang dicatat adalah setiap perkataan yang baik atau
buruk. Sampai pula perkataan ‘aku makan, aku minum, aku pergi, aku datang, sampai aku
melihat, semuanya dicatat. Ketika hari Kamis, perkataan dan amalan tersebut akan
dihadapkan kepada Allah.” (Tafsir AlQur’an Al-‘Azhim, 13:187). Dalam hadits Al-
Husain bin ‘Ali disebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Di antara
tanda kebaikan Islam seseorang adalah mengurangi berbicara dalam hal yang tidak
bermanfaat.” (HR. Ahmad, 1: 201).
Abu Ishaq Al-Khowwash berkata, “Sesungguhnya Allah mencintai tiga hal dan
membenci tiga hal. Perkara yang dicintai adalah sedikit makan, sedikit tidur dan sedikit
bicara. Sedangkan perkara yang dibenci adalah banyak bicara, banyak makan dan
banyak tidur” (HR. Al-Baihaqi dalam Syu’ab Al-Iman, 5:48). ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz
berkata, “Siapa yang menghitung-hitung perkataannya dibanding amalnya, tentu ia akan
sedikit bicara kecuali dalam hal yang bermanfaat.” Yang kita saksikan di tengah-tengah
kita, “Talk more, do less (banyak bicara, sedikit amalan)”.
5. Ibnu Rajab rahimahullah berkata, “Jika seseorang meninggalkan sesuatu yang tidak
bermanfaat, kemudian menyibukkan diri dengan hal yang bermanfaat, maka tanda baik
Islamnya telah sempurna.” (Jaami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 1:295).
6. Mungkin ada sebagian yang menganggap bahwa meninggalkan hal yang tidak bermanfaat
berarti meninggalkan pula amar makruf nahi mungkar. Jawabnya, tidaklah demikian.
Bahkan mengajak kepada kebaikan dan melarang dari suatu yang mungkar termasuk hal
yang bermanfaat. Karena Allah Ta’ala berfirman, “Dan hendaklah ada di antara kamu
segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan
mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung” (QS. Ali Imran:
104). Sehingga dari sini menunjukkan bahwa nasihat kepada kaum muslimin di
mimbarmimbar dan menulis risalah untuk disebar ke tengah-tengah kaum muslimin
termasuk dalam hal yang bermanfaat, bahkan berbuah pahala jika didasari dengan niat
yang ikhlas.
Semoga bermanfaat. Allahumma inna nas-aluka ‘ilman naafi’a.
HADIST KETIGA BELAS
MENCINTAINYA SEPERTI MENCINTAI DIRI SENDIRI
Dari Abu Hamzah Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, pembantu Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Salah
seorang di antara kalian tidaklah beriman (dengan iman sempurna) sampai ia mencintai
saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Penjelasan Hadits
Hadits di atas semakna dengan hadits dari Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash
radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa
ingin dijauhkan dari neraka dan masuk ke dalam surga, hendaknya ketika ia mati dalam
keadaan beriman kepada Allah, dan hendaknya dia berperilaku kepada orang lain
sebagaimana dia senang diperlakukan oleh orang lain.” (HR. Muslim, no. 1844). Mencintai
bisa jadi berkaitan dengan urusan diin (agama), bisa jadi berkaitan dengan urusan dunia.
1. Sangat suka jika dirinya mendapatkan kenikmatan dalam hal agama, maka wajib baginya
mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya mendapatkan hal itu. Jika
kecintaan seperti itu tidak ada, maka imannya berarti dinafikan sebagaimana disebutkan
dalam hadits.
2. Sangat suka jika dirinya memperoleh dunia, maka ia suka saudaranya mendapatkan hal itu
pula. Namun untuk kecintaan kedua ini dihukumi sunnah.
Faedah Hadits
1. Yang dimaksud dalam hadits adalah tidak sempurnanya iman.
2. Wajib menjadi saudara kita sebagaimana mencintai saudara sendiri. Di sini dikatakan
wajib karena ada kalimat penafian umum.
3. Wajib meninggalkan hasad karena orang yang hasad pada saudaranya berarti tidak
mencintai saudaranya seperti yang ia cintai pada dirinya sendiri. Bahkan orang yang hasad
itu berangan-angan nikmat orang lain itu hilang. Hasad adalah membenci dan tidak suka
terhadap keadaan baik yang ada pada orang yang dihasad.
Tingkatan Hasad
1. Berkeinginan nikmat yang ada pada orang lain hilang meski tidak berpindah padanya.
Orang yang hasad lebih punya keinginan besar nikmat orang lain itu hilang, bukan
bermaksud nikmat tersebut berpindah padanya.
2. Berkeinginan nikmat yang ada pada orang lain hilang lalu berkeinginan nikmat tersebut
berpindah padanya. Misalnya, ada wanita cantik yang sudah menjadi istri orang lain, ia
punya hasad seandainya suaminya mati atau ia ditalak, lalu ingin menikahinya.
3. Tidak punya maksud pada nikmat orang lain, namun ia ingin orang lain tetap dalam
keadaannya yang miskin dan bodoh. Hasad seperti ini membuat seseorang akan mudah
merendahkan dan meremehkan orang lain.
4. Tidak menginginkan nikmat orang lain hilang, namun ia ingin orang lain tetap sama
dengannya. Jika keadaan orang lain lebih dari dirinya, barulah ia hasad dengan
menginginkan nikmat orang lain hilang sehingga tetap sama dengannya. Yang tercela
adalah keadaan kedua ketika menginginkan nikmat saudaranya itu hilang.
5. Menginginkan sama dengan orang lain tanpa menginginkan nikmat orang lain hilang.
Inilah yang disebut dengan ghibthoh. Dari ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, ia
berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak boleh hasad
(ghibtoh) kecuali pada dua orang, yaitu orang yang Allah anugerahkan padanya harta
lalu ia infakkan pada jalan kebaikan dan orang yang Allah beri karunia ilmu (Al Qur’an
dan As Sunnah), ia menunaikan dan mengajarkannya.” (HR. Bukhari, no. 73 dan Muslim,
no. 816)
Inilah maksud berlomba-lomba dalam kebaikan, “Dan untuk yang demikian itu hendaknya
orang berlomba-lomba.” (QS. Al-Muthaffifin: 26)
Semarang, 30 Maret 2020
Kepada Yth :
Pimpinan PT. Bank Negara Indonesia (Persero). Tbk
SKC Semarang ……………
Dengan hormat,
Saya yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : ………………………………………
Alamat : ………………………………………
No. NIK : ………………………………………
Rek. Pinjaman : ………………………………………
Saat ini saya memperoleh fasilitas KUR dengan maksimum Rp ……………………
Sehubungan dengan wabah corona yang terjadi saat, ini dampaknya sangat berpengaruh
dengan kondisi usaha saya. Dimana penjualan mengalammi penurunan yang cukup drastis
sehingga saya terkendala dalam melakukan angsuran setiap bulan. Oleh karena itu saya
mohon kebijaksanaan untuk diberikan keringanan terkait angsuran pinjaman.
Demikian saya sampaikan harap menjadikan maklum, atas kebijaksanaannya saya ucapkan
terima kasih.
Hormat saya,
……………………