Dan kami menurunkan Alquran sebagai obat dan rahmat bagi orang yang beriman...”
(QS. Al-Isra: 82).
Allah menyebut Alquran dengan berbagai nama yang di dalamnya terkandung
makna yang dalam. Salah satunya ialah Syifa’ (obat) dan Rahmah (kasih sayang). Karena
rahmah-Nya, maka Allah banyak memberikan petunjuk apa yang harus dilakukan dan
dilarang-Nya. Petunjuk itu sebagai bentuk bahwa Allah tidak menginginkan hamba-Nya
salah berbuat, bergelimang maksiat, serta melenceng dari syariat.
Dalam Alquran, bentuk kasih sayang dalam bentuk larangan dipaparkan Allah swt
dalam surah Al-Isra, diawali dengan hubungan manusia dengan Allah (hablumminallah)
yakni pembersihan akidah dan makna tersirat dalam La Ilaha illallah, disambung dengan
hubungan manusia dengan sesama (hablum minannas).
1. Sebab ( ) َالَّسَبُب
Jika seseorang melakukan suatu ibadah kepada Allah dengan sebab yang tidak di
syari’atkan, maka ibadah tersebut adalah bid’ah dan tertolak. Contohnya: ada orang
melakukan sholat Tahajjud khusus pada malam 27 Rajab dengan dalih bahwa malam itu
adalah malam Isro Mi’rajnya Nabi Muhammad r. Sholat Tahajjud adalah ibadah yang
dianjurkan, tetapi karena dikaitkan dengan sebab tersebut yang tidak ada syari’atnya,
maka ia menjadi bid’ah.
Ibadah harus sesuai dengan syari’at dalam jenisnya. Contohnya: bila seseorang
menyembelih kuda atau ayam pada hari Iedul Adha untuk korban, maka hal ini tidak sah
karena jenis yang boleh dijadikan untuk korban adalah unta, sapi dan kambing.
3. Bilangan ( ) َاْلَعَدُد
Kalau ada orang yang menambahkan rokaat sholat yang menurutnya hal itu
diperintahkan, maka sholatnya itu adalah bid’ah dan tidak diterima oleh Allah. Jadi
apabila ada orang yang sholat Dhuhur 5 rokaat atau sholat Shubuh 3 rokaat dengan
sengaja maka sholatnya tidak diterima oleh Allah karena tidak sesuai dengan tuntunan
Nabi Muhammad.
Seandainya ada orang berwudhu dengan membasuh kaki terlebih dulu baru
kemudian muka, maka wudhunya tidak sah karena tidak sesuai dengan tata cara yang telah
disyari’atkan oleh Allah dan Rasul-Nya di dalam Al-Qur’an Al-Karim dan Al-Hadits Asy-
Syarif.
Apabila ada orang yang menyembelih korban sebelum sholat hari raya Idul Adha
atau mengeluarkan zakat Fitri sesudah sholat hari raya Idul Fitri, atau melaksanakan shalat
fardhu sebelum masuk atau sesudah keluar waktunya, maka penyembelihan hewan korban
dan zakat Fitrinya serta shalatnya tidak sah karena tidak sesuai dengan waktu yang telah
ditentukan oleh syari’at Islam, yaitu menyembelih hewan korban dimulai sesudah shalat
hari raya Idul Adha hingga sebelum matahari terbenam pada tanggal 13 Dzul Hijjah (hari
Tasyriq ketiga), dan mengeluarkan zakat Fitri sebelum dilaksanakannya sholat Idul Fitri.
Apabila ada orang yang menunaikan ibadah haji di tempat selain Baitulah Masjidil
Haram di Mekah, atau melakukan i’tikaf di tempat selain masjid (seperti di pekuburan,
gua, dll), maka tidak sah haji dan i’tikafnya. Sebab tempat untuk melaksanakan ibadah
haji adalah di Masjidil Haram saja, dan ibadah i’tikaf tempatnya hanya di dalam masjid.
Sehingga dengan memperhatikan enam perkara tersebut, maka kita dapat
mencocokkan / mengoreksi apakah amal ibadah yang kita lakukan sudah sesuai dengan
syariat Allah dan Rasul-Nya atau tidak?. Allah Ta’ala berfirman,
ال ُتَبِّذ ْر َتْبِذ ي ا ِإَّن اْلُمَبِّذِر ي َك اُنوا ِإْخ اَن الَّش َياِط ِني
َو َن ًر َو
“Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya
pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan.” (QS. Al Isro’ [17]: 26-27).
Maksudnya adalah mereka menyerupai setan dalam hal ini.
Ibnu Mas’ud dan Ibnu ‘Abbas mengatakan, “Tabdzir (pemborosan) adalah
menginfakkan sesuatu pada jalan yang keliru.” Mujahid mengatakan, “Seandainya
seseorang menginfakkan seluruh hartanya dalam jalan yang benar, itu bukanlah tabdzir
(pemborosan). Seandainya seseorang menginfakkan satu mud saja (ukuran telapak tangan)
pada jalan yang keliru, itulah yang dinamakan tabdzir (pemborosan).”
ِإَّن الَّلَه َيْر َض ى َلُك ْم َثَالًثا َو َيْك َر ُه َلُك ْم َثَالًثا َفَيْر َض ى َلُك ْم َأْن َتْع ُبُد وُه َو َال ُتْش ِر ُك وا ِبِه َش ْيًئا َو َأْن َتْع َتِص ُم وا َحِبْب ِل
الَّلِه ِمَج ي ا َال َفَّرُقوا ْك َلُك ِقي َقاَل َك َة الُّس َؤ اِل ِإَض اَعَة اْل اِل
َم َو ًع َو َت َو َي َر ُه ْم َل َو َو ْثَر
“Sesungguhnya Allah meridlai tiga hal bagi kalian dan murka apabila kalian melakukan
tiga hal. Allah ridha jika kalian menyembah-Nya dan tidak mempersekutukan-Nya dengan
sesuatu apapun, dan (Allah ridla) jika kalian berpegang pada tali Allah seluruhnya dan
kalian saling menasehati terhadap para penguasa yang mengatur urusan kalian. Allah
murka jika kalian sibuk dengan desas-desus, banyak mengemukakan pertanyaan yang
tidak berguna serta membuang-buang harta.” (HR. Muslim no.1715)
Termasuk perbuatan boros (tabdzir) adalah apabila seseorang menghabiskan harta
pada jalan yang keliru. Semisal seseorang berjam-jam duduk di depan internet, lalu
membuka Facebook, blog, email dan lainnya, lantas dia tidak memanfaatkannya untuk hal
yang bermanfaat, namun untuk hal-hal yang mengandung maksiat. Na’udzu billahi min
dzalik. Cobalah internet kita manfaatkan untuk berdakwah atau untuk mempelajari Islam
lebih dalam.
Semoga Allah memudahkan kita untuk mengisi waktu kita di setiap tempat dengan
hal-hal yang bermanfaat dan berguna bagi orang lain terutama dalam masalah agama dan
akhirat.
Dalil-dalil yang menganjurkan untuk menjaga lisan dari banyak bicara. Allah
Ta'ala berfirman:
Ibnu Katsir juga berkata: “Disebutkan bahwa Imam Ahmad mengeluh ketika sakit.
Kemudian ia mendengar Thawus berkata, Malaikat mencatat segala sesuatu hingga suara
keluhan. Imam Ahmad pun tidak pernah mengeluh lagi hingga meninggal dunia, semoga
Allah merahmatinya.” [Tafsir Ibnu Katsir 4/225]
Demi Allah, jika Imam Ahmad tidak mau mengeluh padahal rasa sakit
mendorongnya untuk mengeluh, mengapa kita tidak menahan diri perkataan-perkataan
yang tidak ada dorongan untuk mengucapkannya kecuali ingin bercanda dan melucu.
Dinukil dari sebagian ulama: “Jikalau seandainya kalian yang membelikan kertas
untuk malaikat yang mencatat amalan, sesungguhnya kalian akan memilih lebih banyak
diam dari pada banyak bicara.”
اَل َخ ْيَر يِف َك ِثٍري ِم ْن ْجَنَو اُه ْم ِإاَّل َمْن َأَم َر ِبَص َد َقٍة َأْو َم ْع ُر وٍف َأْو ِإْص اَل ٍح َبَنْي الَّناِس
“Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan
dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma’ruf, atau
mengadakan perdamaian di antara manusia.” (an-Nisaa’: 114)
Syekh as-Sa’di Rahimahullah berkata: “Maksudnya tidak ada kebaikan dalam
pembicaraan dan perbincangan yang banyak dilakukan manusia. Hal itu kemungkinan
karena pembicaraan tersebut tidak ada manfaatnya, seperti berlebihan dalam
membicarakan yang mubah. Bisa juga karena pembicaraan tersebut benar-benar jelek dan
menimbulkan madharat, seperti pembicaraan yang diharamkan dengan semua bentuknya.
[Tafsir as-Sa’di hal. 165]
Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam yang tidak berkata sesuai hawa nafsunya
memohon kepada Rabbnya dan berdo’a kepadanya agar tidak berkata kecuali dengan
benar.
Diriwayatkan, bawha Ibnu Abbas Radhiyallu ‘anu berkata: “Nabi Shallallahu ‘alai
wasallam berdo’a.” “Ya Allah terimalah taubatku, terimalah do’aku, kuatkanlah hujjahku,
tunjukilah hatiku, jagalah lisanku dan hilangkan rasa dengki dari hatiku.” [HR Abu
Dawud dalam ash-Shalah hadits (1510) dan Ahmad 1/227.]
Dalam Aunul Ma’bud, sang pengarang berkata: “Sadidid lisani, maksudnya ialah
luruskan dan benarkan lisanku sehingga tidak berucap kecuali dengan jujur dan tidak
berkata kecuali yang benar.” [Aun al-Ma’bud 3/264]
Diriwayatkan, Mu’adz bin Jabal Radhiyallahu ‘anhu berkata: “Aku sering bersama
Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam perjalanan. Suatu hari ketika kami sedang dalam
perjalanan, aku berjalan berdekatan dengan Rasulullah.” Aku berkata kepadanya: “Wahai
rasulullah, beritahukan kepadaku tentang suatu amalan yang dapat memasukkanku ke
dalam surga dan menjauhkanku dari neraka!” Beliau menjawab: “Kamu telah menanyakan
perkara yang besar. Sesungguhnya ia sangat mudah bagi orang yang diberi kemudahan
oleh Allah. Sembahlah Allah dan janganlah kamu menyekutukan-Nya, dirikanlah shalat,
tunaikanlah zakat, puasalah d ibulan Ramadhan dan tunaikan haji!” Kemudian beliau
berkata, “Maukah kamu aku tunjukkan pintu-pintu kebaikan? Puasa itu perisai, shadaqah
itu akan menghapus dosa sebagaimana air memadamkan api, shalatnya seseorang pada
tengah malam, beliau membaca ayat, “ َتَتَج اَفى ُج ُنوُبُهْم َع ِن اْلَم َض اِج ِعLambung mereka jauh dari
tempat tidurnya” (as-Sajdah 16) hingga firman Allah, “ َج َز اًء ِبَم ا َك اُنوا َيْع َم ُلوَنsebagai balasan
bagi mereka, atas apa yang mereka kerjakan.” (as-Sajdah 17) Beliau melanjutkan
sabdanya: “Maukah kamu aku tunjukkan pokok dan inti perkara (agama ini)? Ia adalah
Jihad.” Rasulullah bersabda lagi: “Maukah kamu aku tunjukkan perkara yang dapat
mempermudah kamu untuk melakukan itu semua?” aku menjawab: “Ya.” Beliau
mengeluarkan lidahnya lalu berkata: “Jagalah ini!” Aku berkata: “Wahai Nabi Allah!
Apakah kami akan di siksa karena apa yang kami bicarakan?" Beliau menjawab: َثِكَلْتَك ُأُّم َك َيا
َو َه ْل ُيِكُّب الَّن اَس َع َلى ُو ُج ْو ِهِه ْم ِفي الَّن اِر ِإَّال َح َص اِئُد َأْلِس َنِتِهْم, “ ُمَع اُذCelakalah engkau wahai Mu’adz!
Tidak ada yang melemparkan manusai ke neraka kecuali hasil yang dipetik dari lidah
mereka.” [HR. Ibnu Majah dalam al-Fitan hadits (3973) dengan lafazzh beliau, dan
diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dalam al-Iman hadits (2616)]
Umar Radhiyallahu ‘anhu berkata: “Semoga Allah merahmati orang yang menahan
diri dari banyak berbicara dan lebih mengutamakan banyak beramal.” [‘Uyun al-Akhbar,
Ibnu Taimiyyah 1/380]
Jika kita mau memperhatikan keadaan kita sekarang ini, niscaya kita dapati yang
sebaliknya kecuali orang yang dirahmati Allah.