Anda di halaman 1dari 10

Edisi 13 Tahun 17

S ejatinya, telah kita ketahui bersama bahwa syarat diteri-


manya amalan ialah ikhlas dan mengikuti petunjuk
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam (mutaba’ah). Ikhlas
yaitu bahwasanya amalan tersebut dilakukan murni karena
mengharap wajah Allah, dan mutaba’ah yaitu amalan tersebut
sesuai dengan tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sal-
lam. Ikhlas dalam beramal merupakan bentuk dari niat yang
benar, karena niat merupakan penentu dari amal perbuatan
seseorang. Amal perbuatan akan menjadi baik atau rusak,
diterima atau ditolak, diberi pahala atau tidak diberi pahala,
tergantung dari niatnya (Jami’ul ‘Ulum Wal Hikam hal 65).
Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam yang artinya : amal perbuatan itu tergantung pada
niatnya (H.R. Bukhari dan Muslim, tercantum sebagai hadits
pertama di Arbain An Nawawi).

Pentingnya niat beserta fungsinya


Niat itu sangat penting, sampai-sampai Imam Ahmad bin
Hanbal mengatakan, “Saya menganjurkan bagi setiap orang
yang mengerjakan ibadah seperti shalat, puasa, sedekah atau
berbagai jenis kebaikan lainnya untuk mendahulukan niat da-
lam aktivitas ibadah tersebut. (Jami’ul ‘Ulum Wal Hikam hal
64).
Hal ini sejalan dengan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam, “Sesungguhnya Allah tidak memandang kepada

2
wajah dan harta kalian tetapi dia memandang kepada hati
dan perbuatan kalian.” (H.R. Muslim).
Maksud dari perkataan memandang hati di sini ialah
memandang niat kalian. Sehingga dapat disimpulkan bahwa
memperbaiki hati atau niat lebih didahulukan daripada
memperhatikan amalan fisik atau lahiriyyah.

Niat menurut para ulama memiliki


beberapa fungsi yaitu:
1. Sebagai pembeda ibadah satu dengan ibadah yang
lainnya.
Semisal niat untuk membedakan shalat Zhuhur dari shalat
Ashar. Shalat Zhuhur dan Shalat Ashar keduanya berjumlah
4 rokaat dan secara zhahir tidak ada perbedaan dalam gera-
kannya. Namun yang menjadi pembeda ialah niatnya.
2. Sebagai pembeda antara amal yang baik dengan
yang buruk
Dengan adanya niat, maka akan jelas tujuan dari dilaku-
kannya amal perbuatan tersebut. Hal ini sesuai dengan sabda
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu, “Setiap orang
hanya akan memperoleh apa yang ia niatkan.” (H.R. Bukhari
dan Muslim).
Maksudnya, seseorang tidak memperoleh dari amal per-
buatannya kecuali sesuai dengan apa yang ia niatkan. Bila
3
ia meniatkan untuk kebaikan maka dia akan memperoleh
kebaikan dan bila ia meniatkan untuk keburukan, maka dia
akan memperoleh keburukan juga.
3. Sebagai sarana untuk mendapat pahala.
Sejatinya suatu amalan tidak mungkin ada kecuali dengan
niat. Amalan-amalan dunia seperti makan, minum, mandi,
dan lainnya bila diniatkan untuk akhirat maka akan bernilai
pahala. Adapun bila hanya dilakukan atas dasar kebiasaan
saja maka tidak ada pahala di dalamnya. Begitu pula untuk
amalan-amalan akhirat. Bila amalan-amalan ibadah diniatkan
bukan untuk ibadah maka tidak ada ada pahala atau nilai
ibadah di dalamnya, bahkan justru bisa mendapatkan dosa.

Pentingnya ikhlas
Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah didatangi seseo-
rang yang mana kemudian ia berkata, “Bagaimana pendapat-
mu tentang seseorang yang berperang karena mengharap pa-
hala dan pujian, apakah yang didapatkannya?”. Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Dia tidak mendapat-
kan apapun”, beliau pun mengulanginya sebanyak tiga kali.
Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata ke-
padanya, “Dia tidak mendapatkan apapun”. Kemudian beliau
bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak menerima amal kecuali
yang ikhlas dan mengharapkan wajah Allah” (H.R. An Nasai,

4
Syaikh Al Albani menyebutkan dalam ash shahihah 52 : is-
nadnya hasan.)
Pada hadits ini, yang menjadi poin penting ialah henda-
knya seseorang tidak mengharapkan dunia sepenuhnya, me-
lainkan seseorang tersebut juga mengharapkan pahala. Akan
tetapi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan
bahwa orang yang ditanyakan tersebut tidak mendapatkan
apapun, yang kemudian dapat disimpulkan bahwa amalan
jihad orang tersebut tidak diterima. Hal ini berarti seseorang
harus benar-benar ikhlas dalam beramal untuk dapat
diterima oleh Allah Ta’ala.
Ibnul Qayyim rahimahullahu memberikan perumpamaan
yang indah tentang manisnya ikhlas dan tauhid, baik di dun-
ia maupun di akhirat, “Ikhlas dan tauhid seperti pohon yang
mengakar di dalam hati, sementara cabangnya merupakan
amalan, dan buahnya ialah kebaikan hidup di dunia dan ke-
nikmatan abadi di akhirat. Sebagaimana buah di surga yang
tidak akan terputus atau tidak akan berhenti, dan tidak ada
seorangpun yang akan terhalang darinya, begitu pula buah
dari tauhid dan ikhlas di dunia. Adapun syirik, dusta, dan riya`
ialah seperti pohon yang mengakar di daam hati, buahnya di
dunia merupakan rasa takut, sedih, khawatir, dan sempitnya
dada, serta gelapnya hati. Sementara di akhirat buahnya ialah
zaqqum dan azab yang abadi.” (Al Fawaid hal. 164).

5
Ikhlas juga dapat menjadi penyebab seseorang untuk
menghindari dosa dan maksiat. Hal ini sesuai firman Allah di
dalam Surat Yusuf ayat ke-24 (yang artinya), “Sesungguhnya
wanita itu telah bermaksud (melakukan perbuatan itu) dengan
Yusuf, dan Yusuf pun bermaksud (melakukan pula) dengan
wanita itu andaikata dia tidak melihat tanda dari Rabbnya.
Demikianlah agar kami memalingkan darinya kemungkaran
dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu termasuk hamba yang
mukhlis (ikhlas)”.
Di dalam ayat tersebut, Allah Ta’ala memalingkan Nabi
Yusuf ‘alaihis salam dari perbuatan buruk dan keji, karena ia
termasuk hamba-hamba Allah yang ikhlas. Ikhlas juga dapat
melindungi pelakunya dari masuk neraka berdasarkan sabda
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Siapa yang bersaksi tidak
ada ilah selain Allah, secara ikhlas dan yakin dari hatinya, nis-
caya ia tidak akan masuk neraka.” (H.R. Ahmad, dinilai shahih
oleh Syaikh Al Albani).

Apakah mengharap pahala atau surga


atau balasan akhirat lainnya dapat men-
cacati keikhlasan?
Sebagian orang berpendapat bahwa ikhlas berarti tidak
boleh mengharap pahala atau surga dari Allah Ta’ala. Mereka
beralasan apabila seseorang beribadah dengan mengharap

6
balasan di akhirat, maka hal itu dapat mencacati keikhlasan-
nya.
Hal ini tentu tidak benar, dikarenakan Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Kami sendiri memohon surga (atau
berlindung dari neraka-penj)” (H.R. Abu Daud).
Oleh karena itu, mengharapkan balasan yang telah dijan-
jikan oleh Allah tidak mengapa. Dikarenakan yang namanya
ikhlas ialah seseorang beramal dengan mengharap segala
apa yang ada disisi Allah.

Bahaya riya` dan sum’ah


Riya` maksudnya ialah menampakkan ibadah dengan
tujuan untuk dilihat oleh manusia agar dipuji. Sementara itu,
sum’ah kurang lebih sama dengan riya`, yaitu memperdegar-
kan amalnya untuk didengar oleh manusia dan dipuji. Kedua
perilaku ini sangat berbahaya, selain menyebabkan amal tidak
diterima oleh Allah Ta’ala, juga kedua perilaku ini termasuk ke
dalam syirik, yang mana syirik merupakan dosa yang paling
besar dari dosa-dosa besar lainnya. (Fathul Majid).
Hal ini sesuai dengan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam, “... Barangsiapa mengerjakan suatu amal dengan
dicampuri perbuatan syirik kepada-Ku, maka Aku tinggalkan
dia dan (tidak Aku terima) amal syiriknya itu.” (H.R. Muslim).
Perilaku riya dan sum’ah ini juga merupakan perilaku
orang munafik. Hal ini sesuai dengan firman Allah di Surah
7
An Nisa ayat 142 (yang artinya), “Dan apabila mereka berdiri
untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud
riya (dengan shalat) dihadapan manusia. Dan tidaklah mereka
menyebut Allah kecuali sedikit sekali”.
Bahaya riya` dan sum’ah yang lainnya adalah terha-
pusnya amal shalih. Hal ini sesuai dengan firman Allah di
dalam Surah Al Baqarah ayat 264 (yang artinya), “Hai orang-
orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (paha-
la) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti
(perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan har-
tanya karena riya’ kepada manusia dan tidak beriman kepa-
da Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu
seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu
itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadikan ia bersih (tidak ber-
tanah). Mereka tidak menguasai sesuatu pun dari apa yang
mereka usahakan, dan Allah tidak memberi petunujuk kepada
orang-orang kafir.”

Kiat kiat untuk ikhlas dalam beramal


Beberapa kiat yang dapat membantu untuk ikhlas:
1. Banyak berdoa kepada Allah agar diberikan keikhlasan
oleh Allah.
2. Berusaha untuk menyembunyikan amal kebaikan.

8
3. Tidak merasa amalnya besar, namun memandang kecil
amalnya tersebut.
4. Selalu merasa takut apabila amalnya tidak diterima.
5. Tidak mempedulikan perkataan orang lain, dan me-
nyadari bahwasanya manusia bukanlah pemilik surga
atau neraka.
Demikianlah pembahasan mengenai keikhlasan yang se-
moga dapat menambah keikhlasan kita kepada Allah Ta’ala.

Ziyadah
Berkata Al Hafizh Abu Hasan Thahir bin Mufawwiz Al Mua-
firi Al Andalusi:
“Pilar agama bagi kami ada empat kalimat dari perkataan
sebaik baik manusia: Jauhi syubhat, bersikap zuhud, tinggalkan
yang tidak bermanfaat, dan beramal dengan niat.”
Penulis :
David Erlangga C.
(Alumnus Ma’had Al ‘Ilmi Yogyakarta)
Muraja'ah :
Ustaz Abu Salman, B.I.S.
SUSUNAN REDAKSI
Penanggung jawab Ari Wahyudi, S.Si. | Penasihat Ustadz Afifi Abdul Wadud, B.A.| Editor Ahli Ustadz Ammi Nur Baits, S.T., B.A.,
Ustadz Abu Salman, B.I.S., Ustadz Afifi Abdul Wadud, B.A. | Pemimpin redaksi Wildan S., S.Farm., Apt. | Redaktur pelaksana &
Editor Arif Muhammad N, S.Pd | Layouter Ramane musa .

ALAMAT REDAKSI
Kantor Yayasan Pendidikan Islam Al Atsari, Jalan Selokan Mataram No. 412 Sinduadi, Mlati, Sleman, D.I. Yogyakarta, Indonesia

WEBSITE | buletin.muslim.or.id @buletintauhid INFORMASI | 0852 9080 8972

Anda mungkin juga menyukai