Anda di halaman 1dari 90

‫اﻟﺴﻼم ﻋﻠﯿﻜﻢ و رﺣﻤﺔ ا ‪ 0‬و ﺑﺮﻛﺎﺗﮫ‬

‫۞ ﺑﺴﻢ ﷲ اﻟﺮﺣﻤﻦ اﻟﺮﺣﯿﻢ‬

‫۞ اﻟﺤﻤﺪ ‪ 0‬رب اﻟﻌﻠﻤﯿﻦ‬

‫واﻟﺼﻼة و اﻟﺴﻼم ﻋﻠﻰ رﺳﻮل ﷲ ﷺ‬


‫‪:‬وﺑﻌﺪ‬
Kita akan memulai pembahasan kitab Al Qowa’id Al Fiqhiyyah Al
Kubro, yang ditulis oleh DR. Salih bin Ghanim As Sadlan.

Dimana beliau akan membahas inti dari kitab ini adalah:


Membahas 5 Kaidah Fiqih Besar Dan Cabang-Cabangnya

Kaidah Fiqhiyyah itu digunakan pada permasalahan apa saja?

Kaidah-kaidah fiqih ini hakekatnya adalah ungkapan-ungkapan fiqih


yang terpusat pada bagaimana memahami fiqih islam dan ini
mencakup ibadah, mu’amalah, (‫ أﺣﻜﺎم اﻷﺳﺮة‬Ahkamu Al Usroh)
hukum-hukum yang berhubungan dengan keluarga, siyasah
assyar’iyah, demikian (‫ اﻟﻌﻘﻮﺑﺎت‬Al ‘Ukubat) pemberian sangsi dan
denda. Demikian pula berhubungan dengan akhlak dan adab,
demikan pula mu’amalah dengan sesama manusia.

Lalu apa pentingnya belajar kaidah-kaidah fiqih?

Kaidah fiqih itu memiliki keistimewaan, yaitu;

1. Bahwa kaidah fiqih itu kaidah yang ringkas tetapi maknanya luas.

2. Bahwa mempelajari kaidah fiqih ini, sangat membantu untuk


menghafal dan menguasai masalah-masalah fiqih yang banyak sekali.

3. Kaidah fiqih ini sangat di butuhkan untuk orang-orang yang


mempunyai kedudukan untuk berfatwa atau seorang Qhadi.

4. Membentuk kemampuan dan kefaqihan yang sangat kuat, yang


akan membimbing tata cara mempelajari bab-bab fiqih yang sangat
luas sekali dan mengetahui hukum-hukum syariat.

5. Membantu untuk menghubungkan masalah-masalah fiqih dengan


bab-babnya yang sangat banyak dalam satu tema.

6. Kaidah fiqih ini bersifat umum.

7. Kaidah fiqih sangat berhubungan dengan ilmu ushul fiqih.

2
Kaidah 1
‫ا َﻷ ُُﻣْﻮُر ِﺑَﻤﻘَﺎِﺻﺪَھﺎ‬
(Segala Perbuatan Tergantung Niatnya)
Apa maksud kaidah ini?
Kata beliau; Amalan Mukallaf

Siapa itu Mukallaf?


Yaitu; Baligh dan berakal.
Dan perbuatan mereka berupa ucapan ataupun perbuatan berbeda
hasil dan hukumnya secara syari’at sesuai dengan perbedaan maksud
tujuan dan niat daripada yang diinginkan dari amalan tersebut.

Jadi ‫( اﻷﻣﻮر ﺑﻤﻘﺎﺻﺪھﺎ‬Al Umuuru Bimaqaashidihaa) ini berhubungan


dengan tujuan dan niat perbuatan seseorang.
Karena perbuatan itu banyak: ucapan, gerakan, diam, berpikir,
mengingat, ibadah dan yang lainnya yang sifatnya itu perbuatan.
Semua perbuatan ini adalah pasti tidak lepas dari tujuan yang
diinginkannya.

Dalil daripada kaidah ini adalah hadits yang sangat masyhur;

Nabi ‫ ﷺ‬besabda;
ِ ‫إﻧﱠَﻤﺎ اﻷﻋَﻤﺎل ﺑﺎﻟِﻨّﯿﱠﺎ‬
‫ت‬

Demikian pula Nabi ‫ ﷺ‬bersabda kepada Sa’ad bin Abi Waqqash


‫;رﺿﻲ ﷲ ﻋﻨﮫ‬
َ ‫ِ إﱠﻻ أ ُِﺟْﺮ‬W
‫ ﺣﺘ ﱠﻰ ﻣﺎ ﺗ َْﺠﻌَُﻞ ﻓﻲ ﻓَِﻢ اْﻣَﺮأ َِﺗَﻚ‬،‫ت َﻋﻠَْﯿَﮭﺎ‬ ‫إﻧﱠَﻚ ﻟَْﻦ ﺗ ُْﻨِﻔَﻖ ﻧَﻔَﻘَﺔً ﺗ َْﺒﺘ َِﻐﻲ ﺑَﮭﺎ وْﺟﮫَ ﱠ‬.
[ HR. Bukhari Muslim ].
Tidaklah engkau berinfaq dengan sebuah infaq yang kamu harapkan
padanya wajah Allah kecuali kamu diberikan pahala padanya. Sampai-
sampai apa yang kamu suapkan ke mulut istrimu.
Demikian hadits Jabir bin Abdillah ‫ رﺿﻲ ﷲ ﻋﻨﮫ‬yang dikeluarkan oleh
Al Imam Ibnu Majah.
‫س ﻋﻠﻰ ﻧﯿﱠﺎِﺗﮭﻢ‬ ُ َ‫إﻧﱠﻤﺎ ﯾُﺒﻌ‬
ُ ‫ﺚ اﻟﻨﱠﺎ‬

3
Sesunggguhnya manusia itu dibangkitkan sesuai dengan niat-niat
mereka.

Maka ini menunjukkan bahwa niat sangat berpengaruh atau tujuan


perbuatan seseorang (motivasi) dia untuk apa, karena apa. Ini sangat
berpengaruh dalam amalan seorang hamba.

Cabang-cabang kaidah ‫( اﻷﻣﻮر ﺑﻤﻘﺎﺻﺪھﺎ‬Al Umuuru bimaqaashidihaa)


mempunyai yang sangat banyak, diantaranya:

1. ‫اﻷﻋﻤﺎل ﺑﺎﻟﻨﯿﺎت اﻟﻤﻘﺎﺻﺪ ﻣﻌﺘﺒﺮة ﻓﻲ اﻟﻌﺒﺎدة واﻟﻌﺎد‬


Amal itu sesuai dengan niatnya demikian pula maksud seseorang itu
sangat diperhitungkan dalam ibadah ataupun kebiasaan.

Dan niat kata beliau adalah;


‫ﻗﺼﺪ اﻟﻄﺎﻋﺔ واﻟﺘﻘﺮب إﻟﻰ ﷲ ﺗﻌﺎﻟﻰ‬
(Qashdut thaa'ah wat taqarrub ilallah ta'ala)
Bermaksud untuk mentaati Allah dan mendekatkan diri kepada Allah
Subhana wata ‘ala.

Sementara Al Baidhawi berkata, niat yaitu;


Sesuatu yang muncul dari hati kepada apa yang ia pandang sesuai
dengan tujuan, berupa mendatangkan manfaat ataupun menolak
mudhorat, sekarang maupun nanti.

Niat adalah merupakan pokok atau pondasi amal. Dalam al quran


banyak sekali ayat-ayat yang menunjukkan kepada hal ini. Diantaranya
firman Allah;

Quran Al Bayyinah 98:5


‫ﺼﯿَﻦ ﻟَﮫُ اﻟ ِﺪّﯾَﻦ‬ ‫َوَﻣﺎ أ ُِﻣُﺮوا ِإﱠﻻ ِﻟﯿَْﻌﺒُﺪُوا ﱠ‬
ِ ‫َ ُﻣْﺨِﻠ‬W
Tidaklah mereka diperintahkan kecuali agar beribadah kepada Allah
dengan mengikhlaskan agama ini untukNya.

Allah juga berfirman dalam surat Az Zumar ayat 2:


‫ﺼﺎ ﻟﱠﮫُ اﻟ ِﺪّﯾَﻦ‬
ً ‫َ ُﻣْﺨِﻠ‬W
‫ﻓَﺎْﻋﺒُِﺪ ﱠ‬
Beribadahlah kepada Allah dengan mengikhlaskan amal kepada Nya.
Dan ayat-ayat yang lainnya.

4
Demikian pula Nabi ‫ ﷺ‬dalam beberapa hadits terutama hadits yang
sangat masyhur.

Nabi ‫ ﷺ‬bersabda;
ُ‫ﺳﻮِﻟِﮫ ﻓِﮭْﺠَﺮﺗ ُﮫ‬
ُ ‫ﺖ ِھْﺠَﺮﺗ ُﮫُ إﻟﻰ ﷲِ وَر‬ ْ َ‫ت وِإﻧﱠﻤﺎ ِﻟُﻜِّﻞ اﻣﺮيٍء ﻣﺎ ﻧََﻮى ﻓََﻤْﻦ َﻛﺎﻧ‬ ِ ‫إﻧﱠَﻤﺎ اﻷﻋَﻤﺎل ﺑﺎﻟ ِﻨّﯿﱠﺎ‬
‫ﺼْﯿﺒُﮭﺎ أو اﻣﺮأٍة ﯾَْﻨِﻜُﺤَﮭﺎ ﻓِﮭْﺠَﺮﺗ ُﮫُ إﻟﻰ ﻣﺎ َھﺎَﺟَﺮ‬ ِ ُ‫ﺖ ِھْﺠَﺮﺗ ُﮫُ ِﻟﺪُْﻧﯿَﺎ ﯾ‬
ْ َ‫ﺳْﻮِﻟِﮫ وَﻣْﻦ َﻛﺎﻧ‬ ُ ‫إﻟﻰ ﷲِ وَر‬
‫إﻟﯿِﮫ‬
Sesungguhnya amal itu dengan niat. Dan sesungguhnya setiap orang
akan mendapatkan apa yang ia niatkan. Siapa yang hijrahnya kepada
Allah dan rasulnya maka hijrahnya kepada Allah dan rasulnya. Dan
siapa yang hijrahnya karena dunia yang ia ingin dapatkan atau wanita
yang ia ingin nikahi maka hijrahnya sesuai dengan niatnya.
[ HR. Bukhari Muslim ].

Para ulama menganggap hadits ini adalah hadits yang agung.

Abu Ubaid berkata;


‫ﻟﯿﺲ ﻓﻲ أ ﺧﺒﺎر اﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﷲ ﻋﻠﯿﮫ وﺳﻠﻢ أﺟﻤﻊ وأﻏﻨﻰ وأﻛﺜﺮ ﻓﺎﺋﺪة ﻣﻦ ھﺬا اﻟﺤﺪﯾﺚ‬
Tidak ada dalam hadits Nabi ‫ ﷺ‬yang paling mengumpulkan, paling
kaya dan paling banyak faedahnya dari hadits ini.

Imam As syafi’i ُ‫ َرِﺣَﻤﮫُ ﷲ‬mengatakan bahwa;


Hadits ini masuk didalam 70 bab-bab fiqih.
Kemudian beliau mengatakan;
Niat yang lurus adalah syarat diterimanya amal.

Amal tidak diterima kecuali dengan 2 perkara yaitu;


1. Berasal dari niat yang lurus dan benar.
2. Dan amalnya juga bukan bid’ah. Akan tetapi sesuai dengan
tuntunan Rasulullah ‫ﷺ‬.

Ibnu Mas’ud ‫ رﺿﻲ ﷲ ﻋﻨﮫ‬berkata;


‫ وﻻ ﯾﻨﻔﻊ ﻗﻮل و ﻋﻤﻞ و ﻧﯿﺔ إﻻ إذا‬، ‫ وﻻ ﯾﻨﻔﻊ ﻗﻮل و ﻋﻤﻞ إﻻ ﺑﻨﯿﺔ‬،‫ﻻ ﯾﻨﻔﻊ ﻗﻮل إﻻ ﺑﻌﻤﻞ‬
‫واﻓﻖ اﻟﺴﻨﺔ اﻟﺼﺤﯿﺤﺔ اﻟﺜﺎ ﺑﺘﺔ ﻋﻦ رﺳﻮل ﷲ ﺻﻠﻰ ﷲ ﻋﻠﯿﮫ وﺳﻠﻢ‬
Ucapan tidak bermanfaat kecuali dengan diamalkan. Ucapan dan amal
tidak bermanfaat kecuali dengan niat. Ucapan, amal dan niat pun tidak
bermanfaat kecuali apabila sesuai dengan sunah yang shahih dan dari
Nabi ‫ﷺ‬.

5
TEMPAT NIAT
Ibnu Taimiyyah ُ‫َرِﺣَﻤﮫُ ﷲ‬ menyatakan kesepakatan para ulama
seluruhmya;
Bahwa niat itu tempatnya di hati. Tidak cukup hanya sebatas
mengucapkan dengan lisan tanpa meniatkan dari hati. Dan tidak di
syaratkan harus melafadzkan, bahkan tidak pernah di nukil dari Nabi
‫ﷺ‬, tidak pula para sahabat bahwa mereka melafadzkan niat. Tidak
dalam hadits yang shahih, tidak pula dalam hadits yang dhoif kecuali;
saat haji saja.

Kemudian kata beliau maksud dari niat dalam ibadah itu ada 2 yaitu;
1. Membedakan ibadah dengan kebiasaan.
2. Membedakan ibadah yang satu dari ibadah yang lain.

Adapun syaratnya ada 4 yang disepakati para ulama yaitu;


1. Islam.
2. Tamyiz (umur 7 tahun).
3. Berilmu tentang apa yang ia niatkan (hukumnya wajib atau sunah).
4. Dan tidak ada sesuatu yang meniadakan antara niat dan yang
diniatkan. Seperti murtad dari agama islam.

Syarat diterimanya ibadah itu harus benar-benar ikhlas mengharapkan


wajah Allah ‫ﺳْﺒَﺤﺎﻧَﮫُ َوﺗ َﻌَﺎﻟَٰﻰ‬
ُ . Maka tidak boleh dipersekutukan niat
tersebut karena Allah dan karena mengharapkan pujian manusia.

6
Cabang kaidah ‫ا َﻷ ُُﻣْﻮُر ِﺑَﻤﻘَﺎِﺻﺪَھﺎ‬

1. ‫اﻟﻤﻨﻮي ﻣﻦ اﻟﻌﻤﻞ إﻣﺎ أن ﯾﻜﻮن ﻋﺒﺎدة ﻣﺤﻀﺔ ﻻ ﯾﻠﺘﺒﺲ‬


Amal yang diniatkan tidak lepas dari 2 keadaan, yaitu;

❖ Ibadah yang murni.


Tidak menyerupai atau tidak tercampur dengan adat istiadat atau
kebiasaan. Seperti shalat, puasa, haji, dan ibadah-ibadah lain yang
memang itu murni ibadah (tidak bercampur dengan kebiasaan).
Kewajiban kita adalah untuk menolak seperti riya, berharap kepada
pujian manusia, berharap kehidupan dunia dan yang lainnya.

❖ Ibadah yang ghoiru mahdhoh (yang tidak murni).


Bercampur dengan kebiasaan, seperti zakat.
Karena zakat berhubungan dengan hal-hal yang sifatnya kebiasaan
kita, seperti emas, perak, demikian pula makanan pokok dan yang
lainnya.
diantaranya juga menyembelih hewan qurban, karena yang namanya
menyembelih kan banyak. Bisa jadi menyembelih untuk menghormati
tamu misalnya atau menyembelih hanya untuk dimakan saja misalnya.
Maka pada waktu itu harus niatnya itu di idhofahkan (dikarenakan)
kepada Allah ‫ ﷻ‬saja.

2. ‫ ﺗﻌﺎﻟﻰ‬P ‫اﻟﻘﺮﺑﺎت اﻟﺘﻲ ﻻ ﻟﺒﺲ ﻓﯿﮭﺎ ﻻ ﺗﺤﺘﺎج إﻟﻰ ﻧﯿﺔ اﻹﺿﺎﻓﺔ‬


Taqorrub atau ibadah yang murni ibadah. Tidak butuh kepada niat
Idhofah kepada Allah (Niat karena Allah).

Contoh;
Beriman kepada Allah, mencintai Allah, takut kepada Allah, berharap
kepada Allah, mengagungkan Allah ‫ﷻ‬. Demikian pula tasbih, tahlil,
membaca Alqur’an dan yang sejenisnya.
Maka ini cukup kita berniat untuk ibadah saja, tidak perlu kita katakan
karena Allah namun tentu kita berusaha untuk menghindari riya.
Adapun sudah kita jelaskan bahwa niat itu tempatnya di hati bukan di
lisan.

7
3. ‫اﻷ ﻟﻔﺎظ ِإذا ﻛﺎﻧﺖ ﻧﺼﻮ ﺻﺎ ً ﻓﻲ ﺷﻲء ﻏﯿﺮ ﻣﺘﺮ دد ﻟﻢ ﺗﺤﺘﺞ ِإﻟﻲ ﻧﯿﺔ ﺗﻌﯿﯿﻦ اﻟﻤﺪﻟﻮل‬
‫؛ ﻻﻧﺼﺮ اﻓﮭﺎ ﺑﺼﺮاﺣﺘﮭﺎ ﻟﻤﺪﻟﻮ ﻟﮭﺎ‬
Lafadz-lafadz apabila maknanya menunjukkan kepada sesuatu yang
jelas (kepada sesuatu yang tertentu), maka tidak membutuhkan
untuk meniatkan sesuatu tertentu itu, karena sudah jelas.

Contoh;
Dalam masalah muamalah seperti jual beli.
Seseorang yang berkata saya beli, maknanya sudah sangat jelas.
Itu tentu tidak akan orang pahami maksudnya pinjam.
Demikian pula sewa dan yang sejenisnya. Demikian pula talaq, nikah,
hibah (pemberian). Maka ini lafadz-lafadz yang sudah jelas.
Maka ketika lafadz itu sudah sangat jelas maka tidak perlu niat untuk
menentukan.

Apabila lafadz-lafadz tersebut mempunyai beberapa makna maka


pada waktu itu harus diniatkan kepada salah satunya.

4. ‫ اﻟﻤﻌﻘﻮد ﻋﻠﯿﮭﺎ ِإذا ﻛﺎﻧﺖ ﻣﺘﻌﯿﻨﺔ اﺳﺘﻐﻨﺖ ﻏﻦ اﻟﺘﻌﯿﯿﻦ‬، ‫اﻟﻤﻘﺎﺻﺪ ﻣﻦ ﻣﻨﺎﻓﻊ اﻷ ﻋﯿﺎن‬
Manfaat-manfaat benda yang diakadkan apabila manfaatnya tersebut
sudah jelas tertentu maka tidak perlu dengan niat tertentu. Karena
itu sudah jelas.

Contoh;
Kalau ada orang yang menyewa golok atau baju, yang mana semua
orang sudah tahu manfaatnya.

Adapun kalau benda itu manfaatnya banyak seperti sewa tanah,


manfaatnya untuk bangunan atau untuk ditanami.
Maka yang seperti ini harus ditentukan supaya tidak terjadi
persengketaan.

Kalau manfaat barang tersebut banyak, tetapi menjadi sebuah


kebiasaan disuatu masyarakat bahwa barang tersebut biasanya untuk
satu saja.
Maka yang seperti ini yang dipakai adalah kebiasaan masyarakat.

8
Jika ada orang yang menggunakannya diluar kebiasaan masyarakat.
Maka pada waktu itu pemilik punya hak untuk membatalkan akad.

Contoh;
Yang namanya rumah kontrakan. Semua orang sudah tahu bahwa
manfaatnya adalah untuk ditinggali. Tapi ternyata ada orang yang
mengontrak rumah ternyata untuk menyimpan kerbau disitu.
Maka pemilik rumah berhak untuk membatalkan akad, karena tidak
sesuai dengan penempatannya.

5. ‫اﻟﻨﻘﻮد إذا ﻛﺎن ﻧﻮﻋﮭﺎ ﻏﺎﻟﺒﺎ ﻟﻢ ﯾﺤﺘﺞ إﻟﻰ ﺑﯿﺎﻧﮭﺎ ﻓﻲ اﻟﻌﻘﺪ‬


Uang apabila jenisnya banyak tersebar disebuah negara, maka ketika
akad tidak butuh menjelaskan jenisnya.

Dari suatu negara terkadang ada beberapa jenis uang untuk


melakukan akad, kalau ternyata ada suatu jenis tertentu yang masyhur
di negara tersebut, maka pada waktu itu, cukup menyebutkan jumlah
dan namanya saja.

Contoh;
Di negara kita yaitu, rupiah dimana rupiah adalah atau uang jenis
rupiah baik uang kertas, ataupun uang logam, maka ketika terjadi akad
transaksi cukup menyebutkan jumlah barang dan namanya.
Namun jika menggunakan jenis lain, seperti cek (Cheque) atau yang
lainnya, harus disebutkan jumlahnya, namanya, jenisnya supaya tidak
terjadi ‫( اﻟﺘﺒﺎس‬kesamaran)

6. ‫اﻟﺤﻘﻮق إذا ﺗﻌﯿﻨﺖ ﻟﻤﺴﺘﺤﻘﮭﺎ ﻛﺎﻟﺤﻖ اﻟﻤﻨﻔﺮد ﻓﺈﻧﮫ ﯾﺘﻌﯿﻦ ﻟﺮﺑﮫ ﺑﻐﯿﺮ ﻧﯿﺔ‬
Hak-hak apabila menjadi tertentu untuk orang yang berhak seperti
hak tersendiri. Maka, itu menjadi sudah tertentu untuk pemiliknya
dengan tanpa niat.

Contoh;
Misalnya, kalau ada seseorang bernadzar dengan satu nadzar dengan
mengatakan; Saya bernadzar kalau sembuh, mau berpuasa 3 hari.

9
Maka cukup padanya niat keinginan saja, saat Ia melaksanakannya
tidak perlu menentukan lagi niat idhofah dengan mengatakan karena
Allah, karena semua itu sudah pasti karena Allah.

Berbeda kalau itu banyak, seperti misalnya ada orang yang


bernadzarnya banyak, bernadzar mau ini, mau itu, beberapa nadzar
maka pada waktu itu harus ditentukan setiap kali melaksanakannya.

7. ‫اﻟﺘﺼﺮﻓﺎت إذا ﻛﺎﻧﺖ داﺋﺮة ﺑﯿﻦ ﺟﮭﺎت ﺷﺘﻰ ﻻ ﺗﻨﺼﺮف ﻷﺣﺪھﺎ إﻻ ﺑﻨﯿﺔ‬
Tasharruf itu artinya perbuatan mukallaf, apabila ditujukan kepada
beberapa orang maka pada waktu itu perbuatan tersebut tidak
tertuju kecuali dengan niat.

Maksud daripada kaidah ini adalah bahwa perbuataan mukallaf itu


terkadang untuk satu orang tertentu atau untuk beberapa orang.

Contoh;
Seorang yang di berikan amanah untuk memegang wasiat, misalnya
dari Si A berwasiat bahwa nanti kalau dia meninggal maka hartanya
itu untuk orang-orang fakir miskin yang sudah ditentukan.
Lalu Si A menunjuk Si B sebagai washiy, akan mengemban amanah
wasiat tersebut setelah meninggalnya, maka pada waktu menyerahkan
amanah dia tidak membutuhkan kepada niat tertentu.
Karena dia melaksanakannya itu memang sudah dengan pasti untuk
wasiat Si A.

Berbeda kalau misalnya Ia melakukan itu untuk beberapa orang bukan


sebatas untuk Si A saja, si B juga diamanahi oleh Si C juga untuk
melaksanakan waqaf sifulan dan juga dia ada perkara untuk dirinya
sendiri maka pada waktu itu ditentukan niatnya masing- masing ketika
dia melaksanakan semua amanah tersebut harus dengan niat. Niat itu
harus jelas untuk siapa.

10
8. ‫ﻻﺑﺪ ﻓﻲ اﻟﻨﯿﺔ أن ﺗﻜﻮن ﻣﺴﺘﻨﺪة إﻟﻰ ﻋﻠﻢ ﺟﺎزم أو ظﻦ راﺟﺢ‬
Dalam Niat harus bersandar kepada sesuatu yang sifatnya Yakin atau
Dugaan yang kuat

Karena niat itu terkadang bersandar kepada;


1. Sesuatu yang sifatnya yakin atau
2. Dugaan yang kuat
3. Sesuatu yang sifatnya meragukan
4. Dibawah keraguan (Waham)
Adapun yang Ketiga dan keempat ini tidak boleh dipakai di dalam
niat.

Yang Pertama, Sifatnya yakin:


Seseorang yang hendak sholat maka dia wajib yakin sholat apa yang
akan dilakukan.

Yang sifatnya dugaan yang kuat:


Yaitu seseorang yang mau sholat Dzuhur dan dia menduga dengan
dugaan yang kuat, bahwa waktu sudah masuk, maka yang seperti ini
sholatnya sah.

Berdasarkan Firman Allah;


Quran Surat At-Taghabun:16
َ َ ‫َ َﻣﺎ اْﺳﺘ‬W
‫ﻄْﻌﺘ ُْﻢ‬ ‫ﻓَﺎﺗ ﱠﻘُﻮا ﱣ‬
Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu.

9. ‫اﻟﺨﻄﺄ ﻓﯿﻤﺎ ﻻ ﯾﺸﺘﺮ ط اﻟﺘﻌﯿﯿﻦ ﻟﮫ ﻻ ﯾﺆ ﺛﺮ‬


Kesalahan dalam perkara yang tidak disyaratkan untuk menentukan
niat itu tidak berpengaruh.

Maksudnya bahwa menentukan niat itu ada 2 macam;

1. Menentukan niat yang harus ditentukan. Dimana ibadah tidak sah


kecuali dengannya.

11
Contoh;
Menentukan apakah ibadah ini wajib atau ibadah ini sunah. Apakah
mau shalat dzuhur atau mau ashar. Maka ini harus ditentukan, kalau
tidak maka tidak sah ibadahnya.

2. Menentukan niat sesuatu yang tidak harus di tentukan.

Contoh;
meniatkan jumlah rakaatnya misalnya shalat dzuhur 4 rakaat.
Ini juga tidak harus ditentukan, kenapa?
Karena shalat dzuhur sudah pasti 4 rakaat.

10. ‫ﻣﻦ اﺳﺘﻌﺠﻞ ﺷﯿﺌﺎ ً ﻗﺒﻞ أواﻧﮫ ﻋﻮﻗﺐ ﺑﺤﺮﻣﺎﻧﮫ‬


Siapa yang tergesa-tergesa untuk meraih sesuatu sebelum waktunya,
diberikan sanksi ia tidak mendapatkannya.

Ini kaidah berhubungan dengan orang yang suka berusaha bagaimana


yang haram jadi halal. Atau sebaliknya yang halal jadi haram.

Nabi ‫ ﷺ‬bersabda;
ُ‫ﻋﻮهُ ﺛ ُﱠﻢ أ ََﻛﻠُﻮا ﺛ ََﻤﻨَﮫ‬
ُ ‫ﺷُﺤﻮَم اﻟَﻤﯿﺘ َِﺔ َﺟَﻤﻠُﻮهُ ﺛ ُﱠﻢ ﺑَﺎ‬ ‫ ِإﱠن ﱠ‬، َ‫ُ اْﻟﯿَُﮭﻮد‬W
ُ ‫َ ﻟَﱠﻤﺎ َﺣﱠﺮَم َﻋﻠَْﯿِﮭْﻢ‬W ‫ﻟَﻌََﻦ ﱠ‬
[ HR. Bukhari Muslim ].
Semoga Allah melaknat orang-orang Yahudi. Sesungguhnya ketika
Allah mengharamkan kepada mereka gajih bangkai, merekapun
kemudian mencairkan gajih itu. Kemudian mereka menjualnya. Lalu
mereka memakan hasil penjualannya itu.

Lihat orang Yahudi itu berhilah. Bagaimana caranya yang haram jadi
halal.

Contoh;
Apabila ada seorang anak pingin dapat warisan secepatnya. Gimana
caranya supaya dapat warisan dari bapaknya. Dibunuh bapaknya.
Maka dalam islam yang seperti ini tidak boleh dapat warisan. Nabi ‫ﷺ‬
bersabda;
‫ﻻ ﯾﺮث اﻟﻘﺎﺗﻞ‬
Pembunuh tidak boleh mendapat warisan.

12
11. ‫ﯾﻐﺘﻔﺮ ﻓﻲ اﻟﻮﺳﺎﺋﻞ ﻣﺎ ﻻ ﯾﻐﺘﻔﺮ ﻓﻲ اﻟﻤﻘﺎﺻﺪ‬
Dimaafkan dalam wasilah sesuatu yang tidak dimaafkan dalam tujuan.

Maksudnya: Hukum wasilah berbeda dengan hukum tujuan.

Contoh;
Kalau ada orang bertujuan ingin berdusta maka tentu di haramkan
dalam syariat.
Tapi berbeda kalau dusta itu di jadikan wasilah untuk mendapatkan
maslahat yang jauh lebih besar daripada dustanya.
Misalnya: Berdusta untuk memperbaiki hubungan 2 orang muslim
yang bertengkar agar kembali mereka damai dan kembali berteman.
Maka ini di bolehkan oleh syariat padahal dusta itu haram namun
ketika di jadikan wasilah untuk mendapatkan maslahat yang jauh lebih
besar, maka ini dibolehkan.

Kalau ada orang yang bertujuan ingin berghibah. Haram dalam islam.
Tapi berbeda ketika ghibah itu jadi wasilah untuk membela agama.
Misalnya:
Mengghibah ahli bid’ah sebatas kesesatan mereka, dengan
menyebutkan kesesatan-kesesatan mereka agar dijauhi orang sehingga
agama ini menjadi terlindung dari kesesatannya. Maka ini boleh
dengan ijma’ para ulama.

Membakar harta musuh dalam perang tidak boleh, tapi kalau memang
itu tujuannya sebagai wasilah untuk menakut-nakuti musuh, dan
maslahatnya lebih besar maka diperbolehkan oleh para ulama.

12. ‫ھﻞ اﻟﻌﺒﺮ ة ﺑﺼﯿﻎ اﻟﻌﻘﻮ د أو ﺑﻤﻌﺎ ﻧﯿﮭﺎ‬


Apakah yang dilihat itu redaksi akad atau maknanya.

Kenapa beliau disini menyebutnya dengan pertanyaan, Apakah?


Karena memang terjadi ikhtilaf para ulama dalam masalah akad ini.
Apakah harus menggunakan redaksi yang baku seperti:
”Saya membeli”, ”Saya menjual “, ”Saya menikahkan”.

13
Atau boleh dengan menggunakan redaksi yang lain namun tujuannya
adalah tetap untuk jual beli ataupun sesuai dengan niatnya.
Pendapat yang paling kuat dalam hal ini adalah pendapat jumhur yang
mengatakan boleh.
Bahwasannya yang dianggap itu maknanya bukan sebatas redaksinya.
Atas dasar itu kalau misalnya terjadi akad antara pembeli dan penjual,
atas pendapat jumhur sebatas si pembeli memberi uang tanpa
mengucapkan apa-apa. Lalu kemudian si penjual mengambilnya dan
mengembalikannya tanpa mengucapkan apa-apa,itu sah.

Tapi atas pendapat yang mengatakan harus dengan redaksinya maka


itu tidak sah.

Contoh:
Terkadang kalau di Saudi ataupun di negara-negara barat atau di
Indonesia bahkan, sebagian ada suatu cara dengan membeli minuman
dari mesin. Kita masukkan uang kemudian kita pencet yang kita mau,
lalu ia keluar.
Atas pendapat jumhur, sah. Karena yang dilihat adalah maknanya.
Tapi atas pendapat yang mengatakan harus dengan redaksi maka itu
tidak sah.

13. ‫ﻻ ﺛﻮاب و ﻻ ﻋﻘﺎب إﻻ ﺑﻨﯿﺔ‬


Tidak ada pahala dan tidak ada sanksi kecuali dengan niat

Yaitu; bahwa kita mendapatkan pahala dari Allah ‫ ﷻ‬atau mendapatkan


dosa ataupun sanksi dari Allah itu semua akibat niat-niat kita.
Kalau kita beramal shaleh niatnya karena Allah ‫ ﷻ‬dapat pahala, tapi
kalau niatnya karena bukan karena Allah alias riya dapat dosa.

Pahala dan sanksi itu ada 2 macam:


1. Sifat Duniawi
2. Sifat Ukhrowi

Adapun pahala dan siksa yang bersifat ukhrowi maka ini sangat
berkaitan dengan niat. Allah ‫ ﷻ‬memberikan pahala kepada kaum

14
mukminin karena mengharapkan ridho Allah akibat keikhlasan
mereka dari amalan shaleh.

Allah Berfirman pada surah An-Nahl: 32:


‫ٱْدُﺧﻠُﻮ۟ا ٱْﻟَﺠﻨﱠﺔَ ِﺑَﻤﺎ ُﻛﻨﺘ ُْﻢ ﺗ َْﻌَﻤﻠُﻮَن‬
Masuklah kalian ke surga disebabkan oleh amalan kalian.

Maka orang-orang yang beramalnya ikhlas, mengharapkan wajah


Allah ‫ ﷻ‬sesuai dengan Syariat Rasullullah ‫ ﷺ‬dia dapat pahala.
Sementara mereka yang tidak ikhlas, dan kafir kepada Allah, tidak
beriman, maka mereka mendapatkan siksa nanti di akhirat. Dan akan
sia-sia amalan mereka karena tidak ikhlas, bukan karena Allah.

Allah Berfirman pada surah Al-Furqon: 23:


‫َوﻗَِﺪْﻣﻨَﺂ ِإﻟَٰﻰ َﻣﺎ َﻋِﻤﻠُﻮ۟ا ِﻣْﻦ َﻋَﻤٍﻞ ﻓََﺠﻌَْﻠ ٰﻨَﮫُ َھﺒَﺂًء ﱠﻣﻨﺜ ُﻮًرا‬
Dan kami datangkan amalan-amalan mereka dahulu, lalu kemudian
kami jadikan Ia hancur lebur sia-sia.

Adapun di dunia maka tidak lepas dari 2 keadaan:


Keadaan Dia mukallaf (balig dan berakal) atau bukan mukallaf.

Jika dia mukallaf dan melaksanakan amalan shaleh karena Allah, maka
Ia mendapatkan di dunia balasan yang terbaik, dan keharuman nama.

Allah Berfirman pada surah An-Nahl: 97:


َ ً ‫ﺻِﻠًﺤﺎ ِّﻣﻦ ذََﻛٍﺮ أ َْو أ ُﻧﺜ َٰﻰ َوُھَﻮ ُﻣْﺆِﻣٌﻦ ﻓَﻠَﻨُْﺤِﯿﯿَﻨﱠ ۥﮫُ َﺣﯿَٰﻮة‬
ً‫ط ِﯿّﺒَﺔ‬ َ ٰ ‫ۖ◌ َﻣْﻦ َﻋِﻤَﻞ‬
Siapa yang beramal shaleh, baik laki-laki maupun wanita dalam
keadaan ia seorang mukmin, maka akan kami hidupkan Ia di dunia ini
dengan kehidupan yg baik (Thayyibah).

Artinya diberikan kebahagiaan, ketenangan, ketentraman, walaupun


Ia susah hidupnya misalnya, tapi tetap hatinya tenang karena Ia
beriman kepada Allah ‫ ﷻ‬dan beramal shaleh.
Tetap Allah berikan rezeki yang halal.
Dan di akhirat kami akan berikan balasan dengan pahala yang lebih
baik dari amalan mereka.

15
Kalau ternyata dia mukallaf ini melakukan pelanggaran, berupa had
ataupun yang lainnya kalaupun memang terpenuhi padanya syarat-
syaratnya maka pada waktu itu Ia berhak untuk diberikan sanksi
berupa had.
🔺kalau mencuri maka potong tangan
🔺kalau berzina maka Dia dirajam (sudah menikah) atau dicambuk
(kalau belum menikah)

Adapun kalau dia bukan mukallaf dan belum terpenuhi padanya


syarat-syarat kewajiban, baik Ia beramal shaleh maka Allah ‫ ﷻ‬tetap
berikan pahala, terutama orangtuanya, diberikan kepada orangtuanya.

14. ‫ﻣﻘﺎﺻﺪ اﻟﻠﻔﻆ ﻋﻠﻰ ﻧﯿﺔ اﻟﻼﻓﻆ إﻻ ﻓﻲ ﻣﻮﺿﻊ واﺣﺪ وھﻮ اﻟﺤﻠﻒ ﻓﺈﻧﮫ ﻋﻠﻰ ﻧﯿﺔ‬
‫اﻟﻤﺴﺘﺤﻠﻒ‬
Niat tujuan dari lafadz itu sesuai dengan niat orang yang
melafadzkannya, kecuali disuatu tempat saja, Yaitu bersumpah.

Maka itu sesuai dengan niat orang yang minta agar ia bersumpah.
Maksudnya; bahwa lafadz semua orang yang mengucapkannya sesuai
dengan niat dia, dia melafadzkan ini, atau melafadzkan itu.
Maka pada waktu itu sesuai dengan orang yang melafadzkannya.

Namun untuk sumpah maka itu sesuai dengan niat orang yang
meminta, agar ia bersumpah.

Rassullullah ‫ ﷺ‬bersabda;
‫( ﯾﻤﯿﻨﻚ ﻋﻠﻰ ﻣﺎ ﯾﺼﺪﻗﻚ ﻋﻠﯿﮫ ﺻﺎﺣﺒﻚ‬HR. Muslim)
Sumpahmu itu sesuai dengan apa yang dibenarkan oleh temanmu.

Namun, dikecualikan kalau yang meminta sumpah ini orang dzolim,


maka pada waktu itu, saat itu sesuai dengan niat orang yang
bersumpah, supaya ia terhindar dari kedzoliman orang dzolim
tersebut.

An-Nakhai berkata;
‫وإن ﻛﺎن ﻣﻈﻠﻮﻣﺎ ﻓﻨﯿﺔ اﻟﻤﺴﺘﺤﻠﻒ‬. ‫إذا ﻛﺎن اﻟﻤﺴﺘﺤﻠﻒ ظﺎﻟﻤﺎ ﻓﻨﯿﺔ اﻟﺤﺎﻟﻒ‬

16
Kalau orang yang minta agar orang yang bersumpah adalah orang
dzolim maka disesuaikan dengan niat orang yang bersumpahnya,
bukan orang yang minta bersumpah

15. ‫ﺻﻼح اﻟﻌﻤﻞ ﺑﺼﻼح اﻟﻨﯿﺔ وﻓﺴﺎده ﺑﻔﺴﺎدھﺎ‬


Bagusnya amal sesuai dengan bagusnya niat, Dan rusaknya amal
sesuai dengan rusaknya niat

Karena amal sangat berhubungan dengan niat.


Apabila niatnya rusak, tidak ikhlas, tidak mengharapkan wajah Allah
‫ ﷻ‬maka amal juga jadi rusak dan tidak diterima oleh Allah ‫ ﷻ‬dan tidak
ada pahala sama sekali diakhirat nanti.

Sebaliknya kalau amal tersebut niatnya bagus, maka amalnya tersebut


juga menjadi bagus dan diterima oleh Allah ‫ ﷻ‬namun tentunya sebatas
niat yang bagus tidak merubah;
´ Sesuatu yang maksiat menjadi taat
´ Tidak merubah syirik menjadi tauhid
´ atau merubah bid'ah menjadi sunnah
Karena niat yang baik harus sesuai dengan amalan yang baik juga.

Sebatas niat yang baik tapi amalan buruk itu tidak menjadikan amalan
yang buruk menjadi baik, akan tetapi amalan yang baik itu dipengaruhi
oleh niat.

Amalan baik; berupa Sholat, Zakat, Puasa, Haji, kalau ternyata niatnya
buruk, niatnya karena ingin dipuji, karena ingin tenar dan yang
lainnya, maka amal itu menjadi rusak, dan tidak diberikan oleh Allah
‫ ﷻ‬pahala.
Bahkan yang ada adalah dosa.

Dan amalan yang baik apabila di sertai dengan niat yang baik maka
itulah keberuntungan.

Demikian niat sangat penting sekali untuk betul-betul meluruskan


suatu amal yang baik yang sesuai dengan syariat Allah ‫ﷻ‬

17
16. ‫اﻟﻨﯿﺔ داﺧﻠﺔ ﺗﺤﺖ اﻻ ﺧﺘﯿﺎر‬
Niat itu masuk didalam pilihan.

Niat itu adalah amalan hati dan amalan hati sesuatu yang dibawah
kemapuan hamba dan dibawah pilihannya. Dimana ia diperintahkan
untuk mengikhlaskan niat kepada Allah, membersihkan niatnya dan
dia diperintahkan untuk menentukan maksud tujuannya.
Dia dilarang dari berbuat syirik dalam niat dan dilarang untuk
mengotorinya dan dilarang untuk menyimpang dari niat yang baik.
Ini semua menunjukkan bahwa niat itu dibawah kemampuan hamba
dan pilihan mereka.

Allah ta’ala berfirman dalam surat An-nisa: 28


َ ّ‫ُ أ َن ﯾَُﺨ ِﻔ‬W
‫ﻒ َﻋﻨُﻜْﻢ‬ ‫ۚ◌ ﯾُِﺮﯾﺪُ ﱠ‬
Allah ingin untuk memberikan keringanan kepada kalian.

Berarti Allah ‫ ﷻ‬memberikan kepada kita syariat yang ringan dan


mudah. Dan itu menunjukkan bahwa niat adalah perkara yang mudah
untuk kita lakukan.

Allah berfirman dalam surat An-nisa: 165


ُ ‫ِ ُﺣﱠﺠﺔٌ ﺑَْﻌﺪَ اﻟﱡﺮ‬W
‫ﺳِﻞ‬ ‫ﺸِﺮﯾَﻦ َوُﻣﻨِﺬِرﯾَﻦ ِﻟﺌ َﱠﻼ ﯾَُﻜﻮَن ِﻟﻠﻨﱠﺎِس َﻋﻠَﻰ ﱠ‬
ّ ِ َ‫ﺳًﻼ ﱡﻣﺒ‬
ُ ‫ۚ◌ ﱡر‬
Para rasul itu memberikan kabar gembira dan memberikan peringatan
supaya tidak menjadi alasan lagi atas manusia setelah diutusnya para
rasul itu.

Allah juga berfirman dalam surat Al Isra: 15


‫ﺳﻮًﻻ‬ َ َ‫َوَﻣﺎ ُﻛﻨﱠﺎ ُﻣﻌَ ِﺬِّﺑﯿَﻦ َﺣﺘ ﱠٰﻰ ﻧَْﺒﻌ‬
ُ ‫ﺚ َر‬
Dan kami tidak akan mengazab suatu kaum sampai kami utus dulu
seorang rasul.

Maka atas dasar itulah orang yang berbuat keburukan pasti akibat
daripada niat yang buruk. Orang yang berbuat kebaikan pun juga
karena adanya niat yang baik.

Berarti niat itu adalah dibawah kemampuan si hamba. Bukan sesuatu


yang diluar kemampuan hamba.

18
17. ‫ﻣﺎ ﻻ ﺗﺪﺧﻠﮫ اﻟﻨﯿﺔ ﻣﻦ اﻷﻋﻤﺎل‬
Amal-amal yang tidak dimasuki oleh niat.

Yaitu yang disebut dengan ‫أﻓﻌﺎل اﻟﺘﺮوك‬. (meninggalkan.)

Contohnya:
Meninggalkan maksiat. Demikian pula membersihkan najis.

Maka jumhur ulama mengatakan bahwa ‫ أﻓﻌﺎل اﻟﺘﺮوك‬yaitu:


Perbuatan meninggalkan itu tidak membutuhkan kepada niat.

Ibnu Taimiyah ُ‫ َرِﺣَﻤﮫُ ﷲ‬berkata:


‫وأﻣﺎ طﮭﺎرة اﻟﺨﺒﺚ ﻓﺈِﻧﮭﺎ ﻣﻦ ﺑﺎب اﻟﺘﺮوك ﻓﻤﻘﺼﻮدھﺎ اﺟﺘﻨﺎب اﻟﺨﺒﯿﺚ واﻟﮭﺬا ﻻ ﯾﺸﺘﺮط‬
‫ﻓﯿﮭﺎ ﻓﻌﻞ اﻟﻌﺒﺪ وﻟﻮ ﻗﺼﺪه ﺑﻞ ﻟﻮ زاﻟﺖ ﺑﺎﻟﻤﻄﺮ اﻟﻨﺎزل ﻣﻦ اﻟﺴﻤﺎء ﺣﺼﻞ اﻟﻤﻘﺼﻮد ﻛﻤﺎ‬
‫ذھﺐ ِإﻟﯿﮫ أﺋﻤﺔ اﻟﻤﺬاھﺐ اﻷرﺑﻌﺔ وﻏﯿﺮھﻢ‬
Adapun mensucikan najis maka ia termasuk bab Turuk (‫)اﻟﺘﺮوك‬.
Dimana tujuannya adalah menjauhi najis dan itu tidak disyaratkan
padanya niat. Kalau ternyata ia bersih dengan sendirinya, dengan
hujan misalnya. Maka sudah bersih.Tidak perlu niat lagi.

Maka dari itu kita tidak perlu setiap hari berniat untuk meninggalkan
zina, meninggalkan minum arak dan semua maksiat-maksiat.

Tentunya beda antara orang yang meninggalkan maksiat dan sama


sekali tidak ada terpikir untuk berbuat maksiat dengan orang yang
berkeinginan berbuat maksiat lalu ia tinggalkan karena takut kepada
Allah.

Maka yang kedua ini tentu diberikan oleh Allah ‫ ﷻ‬pahala. Tidak
seperti yang pertama.

Jadi ‫ أﻓﻌﺎل اﻟﺘﺮوك‬itu meninggalkan sesuatu atau meninggalkan sesuatu


yang dilarang oleh syariat atau menjauhi sesuatu yang diperintahkan
oleh syariat untuk menjauhinya.

Ini tidak dimasuki padanya niat, artinya tidak disyaratkan padanya


niat.

19
18. ‫اﻟﻤﺘﻌﯿﻦ ﻣﻦ اﻟﻌﺒﺎدات واﻟﺤﻘﻮق ﻻ ﯾﺤﺘﺎج ِإﻟﻲ ﻧﯿﺔ اﻟﺘﻌﯿﯿﻦ وأداء اﻟﺤﻘﻮق ﻻ ﯾﺤﺘﺎج‬
‫ِإﻟﻲ ﻧﯿﺔ‬
Ibadah yang tertentu dan hak yang tertentu tidak membutuhkan
kepada niat ta’yin.

Niat ta’yin: Mengkhususkan niat untuk perbuatan tersebut.


Dan melaksanakan hak tidak membutuhkan kepada niat.

Ibadah yang tertentu artinya:


Bahwasannya ibadah tersebut memang diperuntukkan untuk sesuatu
tertentu.

Contoh;
Iman kepada Allah. Sudah otomatis kepada Allah.
Shalat. Sudah otomatis untuk Allah.
Maka ibadah yang sifatnya seperti ini, sudah muta’ayin (tertentu) maka
tidak perlu lagi kepada niat ta’yin atau mengkhususkan atau
menentukan secara khusus untuk ibadah tersebut.

Demikian pula contoh yang lain adalah:


§ Ucapan akad jual beli.
§ Ucapan thalaq
§ Demikian pula adzan.

Beda kalau ternyata suatu ucapan itu atau perbuatan itu bisa jadi untuk
2 tujuan. Maka pada waktu itu kita niatkan, tujuannya untuk apa.

Contoh: misalnya mandi.


Yang namanya mandi bisa karena mandi biasa, tiap pagi tiap sore.
Atau mandi yang sifatnya ibadah yaitu; mandi junub. Maka ini butuh
kepada niat ta’yin.

Demikian pula melaksanakan hak, contoh;


Þ Membayar hutang.
Þ Mengembalikan barang curian.
Þ Menafkahi istri.
Inipun termasuk sesuatu yang tidak membutuhkan niat.

20
Kaidah 2
‫اﻟﯿﻘﯿﻦ ﻻ ﯾﺰول ﺑﺎاﻟﺸﻚ‬
(Yang yakin tidak hilang dengan yang ragu)
Apa maknanya?

Dalam kitab Syarhul Majallah (‫)ﺷﺮح اﻟﻤﺠﻠﺔ‬, Al Atasiy berkata:


‫ أن اﻷﻣﺮ اﻟﻤﺘﯿﻘﻦ ﺛﺒﻮ ﺗﮫ ﻻ ﯾﺮ ﺗﻔﻊ ِإﻻ ﺑﺪ ﻟﯿﻞ ﻗﺎطﻊ‬،
Sesuatu yang sifatnya yakin tidak bisa dihilangkan kecuali dengan yang
yakin lagi. Tidak boleh dihilangkan dengan yang sifatnya ragu. Itu
maksudnya.

Maka dari itu tidak boleh kita mengalahkan sesuatu yang sifatnya
sudah yakin hanya dengan keraguan.

Firman Allah ‫ ﷻ‬dalam surat Yunus: 36


‫ﺷْﯿﺌ ًﺎ‬ ِ ّ ‫ﻈﱠﻦ َﻻ ﯾُْﻐِﻨﻲ ِﻣَﻦ اْﻟَﺤ‬
َ ‫ﻖ‬ ‫ظﻨ–ﺎ ۚ◌ ِإﱠن اﻟ ﱠ‬
َ ‫ۚ◌ َوَﻣﺎ ﯾَﺘ ﱠِﺒُﻊ أ َْﻛﺜ َُﺮُھْﻢ ِإﱠﻻ‬
Dan tidaklah kebanyakan mereka mengikuti kecuali dugaan saja.
Sesungguhnya dugaan itu tidak bisa menegakkan kebenaran
sedikitpun juga.

Kebenaran itu tidak bisa ditetapkan oleh sesuatu yang sifatnya


meragukan (dugaan yang lemah).
Adapun dugaan yang kuat maka itu boleh diamalkan dengan ijma’
para ulama.

Diantara dalil dari hadits yaitu yang dikeluarkan oleh Bukhari dalam
shahihnya dari Abbad bin Tamim, dari pamannya bahwasannya ia
mengadukan kepada Rasulullah ‫ﷺ‬, seorang laki-laki yang di khayalkan
kepadanya bahwa ia seakan-akan mendapatkan sesuatu dalam
shalatnya.
Maka Nabi ‫ ﷺ‬bersabda:
ً ‫ ﺣﺘﻲ ﯾﺴﻤﻊ ﺻﻮﺗﺎ ً أو ﯾﺠﺪ رﯾﺤﺎ‬- ‫ أو ﻻ ﯾﻨﺼﺮف‬- ‫ﻻ ﯾﻨﻔﺘﻞ‬
Janganlah ia keluar dari shalatnya hingga benar-benar ia mendengar
suara atau mendapatkan bau.

21
Lihat Nabi ‫ ﷺ‬mengatakan bahwa tidak boleh ia membatalkan shalat
hanya karena keraguan, keluar atau tidak. Sampai betul-betul yakin
bahwa itu memang betul-betul keluar hadatsnya.

Imam Nawawi ُ‫ َرِﺣَﻤﮫُ ﷲ‬mengatakan:


‫ وﻗﺎﻋﺪة ﻋﻈﯿﻤﺔ ﻣﻦ ﻗﻮاﻋﺪ اﻟﻔﻘﮫ‬، ‫ھﺬا اﻟﺤﺪﯾﺚ أﺻﻞ ﻣﻦ أﺻﻮل اِﻹﺳﻼم‬:
Hadits ini termasuk pokok-pokok islam dan kaidah yang agung dari
kaidah-kaidah fiqih.
‫ وھﻲ أن اﻷﺷﯿﺎء ﯾﺤﻜﻢ ﺑﺒﻘﺎﺋﮭﺎ ﻋﻞ أﺻﻮﻟﮭﺎ ﺣﺘﻲ ﯾﺘﯿﻘﻦ ﺧﻼف ذﻟﻚ‬،
Bahwa segala sesuatu itu dihukumi sesuai dengan pokoknya sampai
diyakini ternyata tidak sesuai dengan pokoknya tersebut.
‫وﻻ ﯾﻀﺮ اﻟﺸﻚ اﻟﻄﺎريء ﻋﻠﯿﮭﺎ‬
Dan bahwasannya keraguan yang baru datang tidak membahayakan
sesuatu yang telah yakin tersebut.

Contoh:
Kalau ada orang yang yakin dia berhadats, Dia yakin tadi jam 11 saya
buang air tapi ragu, apakah setelah itu saya berwudhu atau tidak?
Yang yakin adalah berhadats Yang ragu adalah wudhunya. Maka ia
wajib untuk berwudhu.
Sebaliknya kalau dia yakin jam 11 dia sudah wudhu namun terjadi
keraguan. Apakah dia hadats setelah itu atau tidak. Maka yang yakin
tidak boleh dikalahkan oleh yang ragu. Sehingga ia tidak perlu untuk
berwudhu lagi.

Kalau kita ragu apakah air ini terkena najis atau tidak. Maka kita
kembalikan kepada yang yakin bahwa air pada asalnya suci.
Kalau kita yakin najisnya sesuatu, kemudian kita ragu apakah telah
hilang atau belum. Maka pada asalnya najis masih ada. Itu yang yakin.

Kalau kita ragu juga, apakah saya sudah sampai batasan safar atau
tidak sehingga saya belum mengqashar atau tidak. Dan kita ragu.
Maka pada asalnya tidak boleh mengqashar, Harus shalat secara
sempurna.

Kalau kita ragu apakah kita shalat 3 rakaat atau 4 rakaat. Maka yang
yakin adalah 3 rakaat. Yang 4 rakaat ini masih diragukan. Maka
kemudian kita tambah lagi 1 rakaat lalu sujud sahwi 2x sebelum salam.

22
Cabang kaidah ‫اﻟﯿﻘﯿﻦ ﻻ ﯾﺰول ﺑﺎاﻟﺸﻚ‬
1. ‫ﻣﺎ ﺛﺒﺖ ﺑﯿﻘﯿﻦ ﻻ ﯾﺮ ﺗﻔﻊ ِإﻻ ﺑﯿﻘﯿﻦ‬
Apa-apa yang ditetapkan dengan perkara yang yakin, tidak boleh
diangkat kecuali dengan perkara yang yakin lagi.

Apa yang dimaksud dengan yakin? Al Istishab (hukum asal).


Sesuatu yang sudah di yakini sebelumnya.Inilah yang disebut dengan
asalnya.

Adapun yang dimaksud dengan ragu disini yaitu:


Keraguan yang muncul setelah adanya keyakinan.

Seperti yang pernah kita berikan contoh:


Kalau kita yakin jam 11 sudah wudhu lalu kemudian muncul keraguan
setelah keyakinan itu, apakah batal atau tidak?
Maka dikembalikan kepada sesuatu yang yakin sebelumnya itu, bahwa
kita sudah berwudhu.

Demikian pula orang yang punya kewajiban mengeluarkan zakat sapi


dan kambing dan unta lalu ia ragu apakah ia sudah membayar
semuanya atau sebagiannya?
Maka dia wajib membayar seluruhnya.
Karena ini sesuatu yang sifatnya diragukan sehingga tidak mungkin ia
lepas kecuali dengan melakukan semuanya. Dan itulah yang yakin.

2. ‫اﻷﺻﻞ ﺑﻘﺎء ﻣﺎ ﻛﺎن ﻋﻠﻰ ﻣﺎ ﻛﺎن‬


Pada asalnya ditetapkan sesuai dengan yang ada sebelumnya.

Sesuatu yang telah eksis dizaman dahulu, baik itu keberadaannya atau
ketidak beradaannya maka tetap pada keadaannya yang dulu dan tidak
berubah sampai ada bukti yang menunjukkan perubahannya.

Dan ini sama dengan istilah Istishab (Kembali kepada asalnya yang
dahulu bagaimana.)

23
Para ulama membagi Istishab menjadi:
1. Istishab Nash. ‫اﺳﺘﺼﺤﺎب اﻟﻨﺺ‬
Mengamalkan sebuah dalil sampai ada bukti bahwa dalil itu telah di
mansukh.

2. Istishabul Umum. ‫اﺳﺘﺼﺤﺎب اﻟﻌﻤﻮم‬


Mengamalkan seuatu dallil yang bersifat umum sampai ada dalil yang
mengkhususkannya.

3. Istishabul Haal. ‫اﺳﺘﺼﺤﺎب اﻟﺤﺎل‬


Meyakini dawamnya sesuatu karena keberadaannya ditempo dulu.

Contoh;
Kalau kita yakin bahwa kita sudah berwudhu lalu kemudian terjadi
keraguan apakah berhadats atau tidak.
Maka dikembalikan kepada yang dulu, yaitu:
Bahwa kita sudah yakin bahwa kita sudah berwudhu.

Kalau ada suami istri menikah, lalu si istri mengklaim bahwasannya


suaminya tidak memberikan padanya haknya berupa nafaqoh, pakaian
dan yang lainnya. Dan sementara suamipun tidak punya bukti.
Maka pada waktu itu ucapan si istri diterima.

Kalau kita sudah tahu bahwa harta itu milik si Fulan.


Maka tidak boleh kita katakan bahwa itu bukan miliknya sampai ada
bukti.
Atau sebaliknya kalau misalnya sebelumnya kita sudah tahu dengan
bukti yang kuat bahwa harta itu bukan milik si Fulan.
Maka pada waktu itu tidak boleh kita katakan itu miliknya sampai ada
bukti.

Misalnya kita mau sahur. Dan kita ragu apakah sudah masuk waktu
subuh atau belum. Masih ada keraguan.

Maka pada waktu itu, pada asalnya malam masih ada. Tidak boleh kita
katakan malam telah selesai, sampai ada bukti yang kuat dan yakin
bahwa subuh telah masuk.

24
3. ‫اﻷﺻﻞ ﺑﺮاءة اﻟﺬﻣﺔ‬
Pada Asalnya seseorang itu lepas dari tanggungan

Kaidah ini diambil dari sebuah hadits, dimana Nabi ‫ ﷺ‬bersabda;


َ ‫اﻟﺒﯿﻨﺔ ﻋﻠﻰ اﻟﻤﺪﱠﻋﻲ واﻟﯿﻤﯿﻦ ﻋﻠﻰ اﻟﻤﺪﱠﻋ‬
‫ﻰ ﻋﻠﯿﮫ‬
Bukti bagi orang yang menuduh atau mengklaim dan sumpah bagi
orang yang dituduh.

karena orang yang dituduh itu pada asalnya dia tidak ada tanggungan
apa-apa. Maka kewajiban dia bersumpah apabila sipenuduh ternyata
tidak bisa membawa bukti.

Makna dari kaidah ini adalah;


Seseorang manusia itu lepas dari tanggungan, berupa kewajiban
sesuatu, atau harus melakukan sesuatu.
karena seseorang disibukkan dengan sebuah tanggungan itu, tidak
sesuai dengan asal dilahirkannya seorang manusia.
Seorang manusia ketika dilahirkan ia lepas dari berbagai macam
tanggungan.

Contoh;
Apabila seseorang meminjamkan dengan mengatakan;
"ini aku pinjamkan kamu, dengan syarat kamu harus menggantinya."
kemudian terjadi perselisihan setelah itu tentang ganti yang harus
diberikan, seperti apa gantinya, maka pada waktu itu perkataan yang
diambil adalah perkataan yang mengambil, yang meminjam, karena
pada asalnya ia lepas dari tanggungan.

Kemudian ada permasalahan, Lalu bagaimana dengan sebuah kaidah


itu bahwa pada asalnya sesuatu itu dinisbatkan kepada yang paling
dekat waktunya, mana yang lebih kuat kaidah ini, atau kaidah pada
asalnya seseorang itu lepas dari tanggungan.

Kata beliau; lepas dari tanggungan itu lebih kuat.

Contoh misal kalau seseorang merusak harta orang lain kemudian


terjadi perselisihan tentang banyaknya harta yang dirusak. maka
pendapat yang diambil adalah pendapat yang merusak.

25
4. ‫اﻷﺻﻞ ﻓﻲ اﻷﺷﯿﺎء واﻷﻋﯿﺎن اﻹﺑﺎﺣﺔ ِإﻻ ِإن َدﱠل ﻟﻠﺤﻈﺮ دﻟﯿﻞ ﻓﯿﻌﻤﻞ ﺑﮫ‬
Pada asalnya segala sesuatu dan benda itu hukumnya mubah kecuali
apabila ada dalil yang menunjukkan keharamannya.

Ini adalah merupakan dalil bahwasannya semua yang berhubungan


dengan masalah dunia, itu adalah mubah untuk manusia baik berupa
makanan, minuman, perbuatan atau benda, ataupun yang lainnya.

Dan para ulama berbeda pendapat tentang masalah ini menjadi 3


pendapat:

1. Mengatakan bahwa pada asalnya segala sesuatu itu mubah kecuali


kalau ada dalil yang mengharamkannya.

Dalilnya surat Al Baqarah: 29, Allah ‫ ﷻ‬berfirman:


ِ ‫ُھَﻮ اﻟﱠِﺬى َﺧﻠََﻖ ﻟَُﻜْﻢ ﱠﻣﺎ ِﻓﻰ اْﻷ َْر‬
‫ض َﺟِﻤﯿﻌًﺎ‬
"Dialah Allah yang menciptakan untuk kamu apa yang ada di bumi ini
semuanya”.

dan Rasulullah ‫ ﷺ‬bersabda:


‫ ﻓﺮض ﻓﺮ اﺋﺾ ﻓﻼ ﺗﻀﯿﻌﻮھﺎ وﺣﺪ ﺣﺪودا ً ﻓﻼ ﺗﻌﺘﺪوھﺎ وﻧﮭﻰ ﻋﻦ أﺷﯿﺎء ﻓﻼ‬W
‫ِإن ﱣ‬
‫ﺗﻨﺘﮭﻜﻮھﺎ وﺳﻜﺖ ﻋﻦ أﺷﯿﺎء رﺧﺼﺔ ﻟﻜﻢ ﻟﯿﺲ ﺑﻨﺴﯿﺎن ﻓﻼ ﺗﺒﺤﺜﻮا ﻋﻨﮭﺎ‬
Allah mewajibkan kewajiban-kewajiban jangan disia-siakan. Allah
memberikan batasan-batasan jangan dilanggar, dan Allah melarang
dari berbagai macam larangan maka jangan dilanggar. Dan Allah
mendiamkan sesuatu sebagai rukhsah untuk kalian. Bukan karena
Allah lupa. Maka jangan kalian membahasnya.

2. Mengatakan bahwa pada asalnya segala sesuatu itu haram sampai


ada dalil yang mengatakan mubah.

Berhujah dengan surat An Nahl: 116:


‫ب ٰھﺬَا َﺣٰﻠٌﻞ َوٰھﺬَا َﺣَﺮاٌم‬
َ ‫ﻒ أ َْﻟِﺴﻨَﺘ ُُﻜُﻢ اْﻟَﻜِﺬ‬ ِ َ ‫َوَﻻ ﺗ َﻘُﻮﻟُﻮا ِﻟَﻤﺎ ﺗ‬
ُ ‫ﺼ‬
“Jangan kalian menyifati dengan lisan kalian secara dusta, ini halal dan
ini haram”.

Akan tetapi di jawab oleh pendapat pertama bahwa telah ada dalil
yang menunjukkan bahwa pada asalnya segala sesuatu itu mubah.

26
3. Mengatakan Tawaqquf.
Kami diam saja. Tidak berani menghukumi.

Pendapat yang shahih (yang rojih) adalah pendapat yang pertama,


pendapat jumhur.
Bahwasannya segala sesuatu yang berhubungan dengan dunia itu
hukumnya mubah. Maka dari perselisihan ini ketika terjadi masalah-
masalah yang tidak ada dalilnya.

Contoh:
Apa hukum makan daging jerapah?
Makan daging ‫( ِﻓْﯿﻞ‬gajah)?

Maka karena tidak ada dalil maka dikembalikan kepada kaidah sesuatu
itu mubah sampai ada dalilnya yang mengharamkannya

🌱Contoh lagi:
misalnya kalau dirumah kita ada burung yang bersarang dan kita tidak
tahu burung ini milik siapa?

Maka pada asalnya dia bukan milik siapapun juga.

Bolehkah kita menangkapnya dan misalnya menyembelihnya untuk


dimakan?
Maka tidak apa-apa.

Dikecualikan dari kaidah ini contoh kaidah yang lain:

‫اﻷﺻﻞ ﻓﻲ اﻷﺑﻀﺎع اﻟﺘﺤﺮﯾﻢ‬

Pada asalnya yang berhubungan dengan kemaluan itu hukumnya


haram.

Demikian pula dalam masalah ibadah, pada asalnya adalah tidak


boleh.

Itu adalah pengecualian dari kaidah sebagaimana nanti akan dibahas.

27
5. ‫اﻷﺻﻞ ﻓﻲ اﻷﺑﻀﺎع اﻟﺘﺤﺮﯾﻢ‬
Pada asalnya kemaluan itu haram.

Ini berdasarkan ayat firman Allah


‫;ﷻ‬
‫ﻈﻮَن‬ُ ‫َواﻟﱠِﺬﯾَﻦ ُھْﻢ ِﻟﻔُُﺮوِﺟِﮭْﻢ ٰﺣِﻔ‬
ْ ‫ِإﱠﻻ َﻋٰﻠٓﻰ أ َْزٰوِﺟِﮭْﻢ أ َْو َﻣﺎ َﻣﻠََﻜ‬
‫ﺖ أ َْﯾٰﻤﻨُُﮭْﻢ ﻓَﺈِﻧﱠُﮭْﻢ َﻏْﯿُﺮ َﻣﻠُﻮِﻣﯿَﻦ‬
”Dan orang-orang yang menjaga kemaluan mereka kecuali kepada
istri-istri mereka atau budak-budak wanita mereka maka itu tidak
tercela."
‫ﻓََﻤِﻦ اْﺑﺘ َٰﻐﻰ َوَرآَء ٰذِﻟَﻚ ﻓَﺄ ُو ٰ ٓﻟِﺌَﻚ ُھُﻢ اْﻟﻌَﺎدُوَن‬
”Siapa yang mencari selain itu maka mereka itu orang-orang yang
melampaui batas."
Surat Al -Mukminun: 5, 6 dan 7.

Makna daripada kaidah ini adalah:


Bahwa yang berhubungan dengan kemaluan itu pada asalnya adalah
haram. Tidak boleh dianggap halal kecuali dengan bukti yang kuat dan
nyata.

Contoh:
Apabila tercampur istrinya dengan wanita yang lain dan tidak tahu
mana istrinya. Maka tidak boleh berijtihad bahwa ini istri saya.
Karena pada asalnya kemaluan itu hukumnya haram.

Demikian pula kalau misalnya dia mempunyai beberapa budak wanita


lalu salah satunya dimerdekakan oleh dia.
Tapi dia lupa mana yang dimerdekakan. Sementara kalau sudah
merdeka tentu tidak boleh disetubuhi oleh majikannya.
Maka pada waktu itu ia tidak boleh mensetubuhi mereka sampai
betul- betul jelas mana yang sudah dimerdekakan.

Demikian pula kalau misalnya dia mempunyai 4 istri. Kemudian dia


mencerai salah satunya tapi kemudian setelah itu lupa mana yang
dicerai.
Maka yang seperti ini Tawaqquf sampai menjadi jelas siapa yang
sudah diceraikan tersebut.

28
6. ‫اﻷ ﺻﻞ ﻓﻲ اﻟﺼﻔﺎت أو اﻷ ﻣﻮر اﻟﻌﺎر ﺿﺔ اﻟﻌﺪم‬
Pada asalnya yang berhubungan dengan sifat yang baru ada atau
perkara-perkara yang baru ada itu tidak ada.

Sifat itu ada 2 macam;


1. Ada yang sifat asli.
Barang dagangan itu pada asalnya tidak ada aibnya (selamat dari aib).

2. Sifat yang baru ada (bukan Asli).


Aib yang ada pada barang dagangan.

Jadi makna kaidah ini adalah:


Ketika terjadi perselisihan dalam menetapkan sifat yang baru ada,
apakah ia ada atau tidak ada?
Maka yang dipegang adalah pendapat yang mengatakan tidak ada.
Karena itu memang sifat yang asli. Disertai dengan sumpahnya.

Artinya:
Ia harus bersumpah jika yang mengklaim tidak bisa membawakan
bukti yang kuat.

Contoh;
Apabila ada 2 orang yang melakukan akad mudharabah (bagi hasil).
Lalu si pemilik harta (pemilik modal) mengatakan bahwa sudah ada
keuntungan seribu (Rp 1000). Sementara temannya berkata “ belum
ada keuntungan”.
Maka pada waktu itu yang mengatakan ”belum ada”, itu yang
dipegang. Karena pada asalnya keuntungan itu sifat yang baru ada.
Dan mereka yang mengatakan adanya keuntungan harus
membawakan bukti yang kuat.

Kalau ada orang yang menjual sapi. Kemudian si pembeli mau


mengembalikannya dengan klaim katanya sapi ini tidak mengeluarkan
susu. Si penjual mengingkari berdasarkan bahwa memang sapi itu
pada asalnya tidak untuk diambil susunya. Karena ia bukan sapi susu
misalnya.
Maka pada waktu itu yang dipegang adalah pendapat si penjual karena
itu sifat aslinya.

29
7. ‫اﻷ َﺻﻞ ِإﺿﺎﻓﺔ اﻟﺤﺎدث ِإﻟﻰ أﻗﺮب أو ﻗﺎﺗﮫ‬
Pada asalnya kejadian itu dinisbatkan kepada waktunya yang paling
dekat.

Maksudnya apabila terjadi perselisihan, maka dilihat kepada waktu


yang paling dekat, itulah yang dihukumkan untuknya

Contoh;
Misalnya, kalau ada seorang muslim meninggal dunia. Sementara
istrinya seorang nasrani lalu kemudian istrinya mengaku bahwasanya
dia sudah masuk islam sebelum meninggal dunia suaminya, namun
ahli waris yang lain mengatakan bahwa ia masuk islam setelah
meninggalnya, maka pada waktu itu yang diterima adalah pendapat
ahli waris, karena itu yang paling dekat, sehingga si istri tidak
mendapatkan warisan karena perbedaan agama, kecuali kalau ternyata
si istri itu memiliki bukti-bukti yang lebih kuat, yang Qoth’i (pasti).

Kalau terjadi perselisihan antara penjual dan pembeli, dimana penjual


mengklaim bahwa sebelum akad jual beli, bahwa barang tersebut tidak
ada aibnya, sedangkan pembeli mengklaim terjadi aib sebelumnya,
maka pada waktu itu karena si pembeli ini mengatakan bahwa barang
itu ada aibnya, sementara si penjual mengatakan tidak ada aibnya. Dan
bahwasanya aib itu ada setelah terjadinya akad jual beli maka pendapat
yang dipegang adalah pendapat si penjual, karena itu yang paling dekat
waktunya.
Nah ini kalau ternyata apabila si pembeli tidak punya bukti.

Adapun kalau sipembeli punya bukti yang sangat kuat sekali, yang
sangat yakin maka tentu sesuai dengan buktinya.
Kaidah mengatakan;

‫ واﻟﯿَﻤﯿَﻦ ﻋﻠﻰ َﻣﻦ أﻧَﻜَﺮ‬،‫اﻟﺒَ ِﯿّﻨَﺔَ ﻋﻠﻰ اﻟُﻤﺪﱠِﻋﻰ‬

َ‫ اﻟﺒَ ِﯿّﻨَﺔ‬bagi orang yang mengklaim.


َ‫ اﻟﺒَ ِﯿّﻨَﺔ‬itu artinya bukti

Dan sumpah ‫ اﻟﯿَﻤﯿَﻦ‬bagi orang diklaim.

30
8. ‫اﻷ ﺻﻞ ﻓﻲ اﻟﻌﺒﺎدات اﻟﺤﻈﺮ و ﻓﻲ اﻟﻌﺎدات اﻹﺑﺎﺣﺔ‬
Yang berhubungan dengan ibadah pada asalnya tidak boleh dan
yang berhubungan dengan adat kebiasaan maka pada asalnya itu
adalah boleh.

Masalah ibadah karena itu adalah hak Allah maka wajib menunggu
dalil dan perintah dari Allah Subhanahu Wa Ta'ala.

Rasullullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda;


ٌ‫ﺲ َﻋﻠَْﯿِﮫ أ َْﻣُﺮﻧَﺎ ﻓَُﮭَﻮ َرد‬
َ ‫َﻣْﻦ َﻋِﻤَﻞ َﻋَﻤﻼً ﻟَْﯿ‬
Siapa yang mengamalkan suatu amalan yang tidak ada padanya
perintah kami maka ia tertolak (HR Muslim)

Nabi shallallahu 'alaihi wasallam juga bersabda;


َ ‫ث ِﻓﻰ أ َْﻣِﺮﻧَﺎ َھﺬَا َﻣﺎ ﻟَْﯿ‬
‫ﺲ ِﻣْﻨﮫُ ﻓَُﮭَﻮ َردﱞ‬ َ َ‫َﻣْﻦ أ َْﺣﺪ‬
Siapa yang mengada-ada dalam urusan kami ini (yaitu agama ini) apa-
apa yang tidak termasuk darinya maka itu tertolak.

Karena yang berhak diibadahi hanyalah Allah, kewajiban hamba


adalah beribadah sesuai dengan apa yang Allah cintai dan ridhoi,
bukan sesuai dengan selera dan hawa nafsu.

Maka dari itu manusia pada asalnya tidak dibebani oleh ibadah.
sampai ada dalil yang menunjukkan bahwa itu diperintahkan oleh
Allah Subhanahu Wa Ta'ala.

Bila kita merasa ragu apakah ibadah ini bid'ah atau tidak? misalnya,
jangan kita lakukan dulu, sampai benar-benar ada dalil yang
menunjukan akan pensyariatannya.

Sebaliknya masalah yang berhubungan dengan dunia, Seperti;


- Adat kebiasaan
- Perbuatan manusia
- Atau yang berhubungan dengan makanan
- Muamalah
- Yang berhubungan dengan benda
Itu pada asalnya mubah, dan suci.

31
Dalilnya Firman Allah pada surah Al-Baqoroh: 29
ِ ‫ُھَﻮ ٱﻟﱠِﺬى َﺧﻠََﻖ ﻟَُﻜﻢ ﱠﻣﺎ ِﻓﻰ ٱْﻷ َْر‬
‫ض َﺟِﻤﯿﻌًﺎ‬
Dialah Allah yang telah menciptakan untuk kalian apa yang ada
dimuka bumi ini semuanya.

Allah mengatakan bahwa apa yang ada dimuka bumi ini pada asalnya
semuanya adalah untuk kalian, halal.
Berarti yang berhubungan dengan urusan dengan dunia pada asalnya
hukumnya halal, tidak boleh kita haramkan sampai ada dalil yang
mengharamkannya.
Dan ini menunjukkan akan keindahan islam dan kemudahan islam.

Maka dari itu jangan, dikatakan bahwasannya masalah-masalah dunia


itu bid'ah, sampai ada dalilnya.
karena sebagian orang ada yang berkata begini;
kalau Maulid Nabi ‫ ﷺ‬bi'dah, kacamata juga bid'ah, pesawat juga
bid'ah, kita katakan beda * kalau Maulid Nabi ‫ ﷺ‬itu dianggap sebagai
sebuah ibadah*, Walaupun sebagian orang itu menganggap kebiasaan
atau adat istiadat tapi pasti mereka melakukan itu karena dalam rangka
taqorrub (mendekatkan diri kepada Allah) yang hakikatnya, ini ibadah.

Sedangkan kacamata, pesawat itu semua urusan-urusan masalah


dunia.
Masalah ibadah pada asalnya tidak boleh dilakukan.
Sedangkan masalah dunia pada asalnya halal.
Tidak bisa disamakan antara masalah ibadah dengan masalah-masalah
yang berhubungan dengan dunia

32
9. ‫اﻷ ﺻﻞ ﻓﻲ اﻟﻜﻼم اﻟﺤﻘﯿﻘﺔ‬
Pada asalnya pada ucapan itu adalah dibawa kepada maknanya yang
hakiki.

Wajib kita memahami ucapan Allah dan Rasulnya, demikian pula


ucapan manusia yaitu; kepada maknanya yang hakiki.
Tidak boleh dikatakan itu majaz atau kiasan sampai ada dalil atau
indikasi yang menunjukkan bahwa itu adalah kiasan.

Maka kalau misalnya ada seseorang berkata aku melihat singa. Maka
wajib kita pahami makna singa bahwa ia adalah binatang buas, tidak
boleh kita katakan ini kiasan.
Maksudnya singa ini adalah lelaki pemberani misalnya, karena tidak
ada dalil atau tidak ada indikasi yang menunjukkan kepada hal itu.

Beda kalau misalnya ada indikasi yang menunjukkan bahwa itu adalah
kiasan, seperti orang berkata aku melihat singa mengendarai kuda.
Tidak mungkin itu singa binatang buas tapi maksudnya tentunya
adalah laki-laki pemberani.

Maka dari itu semua yang Allah sampaikan dalam Al Quran dan
Hadits dan disampaikan oleh para sahabat dan para ulama dalam
kitab-kitab mereka, wajib kita pahami dulu sesuai dengan maknanya
yang asli (yang hakiki).
Tidak boleh dipalingkan kepada makna lain atau kita anggap itu
sebagai sebuah kiasan kecuali dengan dalil.

Inilah kesalahan orang-orang yang menolak sifat-sifat Allah dalam Al Quran


dan Hadits hanya karena tidak sesuai dengan akal mereka.
Mereka selalu mengatakan bahwa ayat-ayat tentang sifat itu adalah
kiasan.

Seperti misalnya mereka mengatakan Allah ‫ ﷻ‬tentang hadits


bahwasannya Allah turun ke langit dunia pada 1/3 malam terakhir.

Kata mereka yang turun bukan Allah tapi yang turun adalah
rahmatNya.

33
Maka ini bathil, karena makna secara hakikinya bahwa yang turun itu
Allah ‫( ﯾَْﻨِﺰُل َرﺑﱡﻨَﺎ‬Robb kita turun) atau makna secara hakiki.

Dan pendapat mereka yang mengatakan bahwa yang dimaksud turun


itu yang turun itu adalah rahmatNya juga tertolak oleh lafadz hadits
tersebut. Karena Allah mengkhususkan pada 1/3 malam sedangkan
rahmat Allah tidak turun pada 1/3 malam saja tapi rahmat Allah turun
setiap saat.

Demikian pula orang yg menolak sifat tangan bagi Allah, kerena tidak
sesuai dengan akal katanya.

Mereka mengatakan bahwa firman Allah pada surah Al Maidah: 64


َ ‫ﺴﻮ‬
‫طﺘ َﺎِن‬ ُ ‫ﺑَْﻞ ﯾَﺪَاهُ َﻣْﺒ‬
Justru dua tangan Allah terbuka.

Kata mereka maksudnya kekuasaan bukan tangan.


Namun kalau mereka melihat bentuknya, pendapat ini tertolak karena
bentuknya adalah mutsanna (dua). Sedangkan kekuasaan Allah tidak
disifati dengan dua.

Demikian pula sifat-sifat yang lain, yang mereka tolak, karena tidak
sesuai dengan akal.
Selalu mereka membawanya kepada makna kiasan. Padahal kaidah
Ushul Fiqih mengatakan pada asalnya kita wajib membawa perkataan
Allah dan Rasulnya bahkan perkataan manusia secara umum kepada
maknanya yang hakiki.

Kalau ada seorang ayah berkata kepada anaknya; Belikan pulpen !


Tidak boleh si anak kemudian belum apa-apa sudah memahaminya
itu maknanya kiasan. Lalu ternyata pulang-pulang dia bawa pensil.
Padahal ayahnya bilang pulpen.
Ketika ditanya kenapa beli pensil?
Kata si anak karena ucapan ayah itu maknanya kiasan.
Tentu si ayah tidak akan terima. Wajib kita pahami dulu sesuai dengan
maknanya yang hakiki, tidak boleh dipalingkan kepada makna yang
lain kecuali kalau ada dalil yang kuat.

34
10. ‫ِإذا ﺗﻌﺬﱠرت اﻟﺤﻘﯿﻘﺔ ﯾﺼﺎر إﻟﻰ ﻣﺠﺎز‬
Apabila tidak bisa dibawa kepada makna yang hakiki maka dibawa
kepada makna yang majaz, yaitu kiasan.

Telah lewat bahwa ucapan Allah dan Rasulnya demikian pula ucapan
manusia harus dibawa kepada makna kepada maknanya yang hakiki.
Tidak boleh dipalingkan kepada makna lain kecuali dengan adanya
dalil atau adanya qorinah (‫)ﻗﺮﯾﻨﺔ‬.

Kaidah berikutnya adalah:


Kalau ternyata tidak mungkin dibawa kepada maknanya yang hakiki.
Maka pada waktu itu dibawa kepada makna majazi.

Contoh;
Kalau ada orang berkata; Aku melihat singa mengendarai kuda.
Ini tidak mungkin dibawa kepada makna hakiki, pasti itu maknanya
adalah majazi. Maksudnya singa ini adalah seorang lelaki yang
pemberani.

Apa itu majaz atau kiasan?


Sebagian ulama memberikan definisi yaitu menggunakan lafadz pada
selain maknanya yang hakiki, dengan syarat ada hubungan antara
makna hakiki dengan makna kiasan tersebut.

Namun penulis buku tidak setuju dengan definisi ini.


Beliau mengatakan bahwa yang lebih bagus definisinya adalah
mengunakan lafadz didalam makna sesuai dengan redaksi kalimat.

Dan para ulama berbeda pendapat, apakah majaz atau kiasan itu ada
dalam bahasa arab atau tidak.Ini ada 3 pendapat;
1. Pendapat jumhur ulama, dari kalangan ahli ushul, ahli tafsir dan
para ahli fiqih, yaitu; bahwasannya majaz ada dalam bahasa arab.

2. Bahwa majaz tidak ada dalam bahasa arab sama sekali. Pendapat
Abu Ishaq Al Isfarayini, dan Abu Ali Al Farisi.

3. Bahwa majaz tidak ada dalam al quran walaupun ada dalam bahasa
arab. Tapi untuk al quran tidak ada sama sekali.

35
Dan pendapat terakhir yang di bela oleh Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah ُ‫ َرِﺣَﻤﮫُ ﷲ‬dan muridnya Ibnu Qoyyim Al Jauziyah ُ‫َرِﺣَﻤﮫُ ﷲ‬.
Dan pendapat tsb yang dikuatkan oleh Syaikh Muhammad bin Al
Amin Asy-Syinqithi. Dan tsb pendapat yang paling kuat.

Sesuatu yang tidak mungkin dibawa kepada makna hakiki itu ada 3
macam:
1. ‫ ﺗﻌﺬر ﺣﻘﯿﻘﻲ‬Karena ada udzur secara hakiki hakekatnya.

Kalau ada orang yang berkata; Saya mewakafkan harta saya untuk
anak-anak saya. Dan ternyata dia tidak punya anak-anak (sudah
meninggal semua). Yang ada adalah cucunya.
Maka ini tidak mungkin dibawa kepada makna yang hakiki karena dia
sama sekali tidak punya anak yang masih hidup, adanya cucu-cucunya.
Maka pada waktu itu dibawa kepada majaz, maksudnya itu cucunya.

2. ‫ ﺗﻌﺬر ﻋﺮﻓﻲ‬Karena udzur urf adat kebiasaan.

Orang yang berkata; Angkat kakimu dari rumahku.


Kata-kata angkat kaki bukan artinya secara hakiki. Artinya
mengangkat kaki tapi secara kebiasaan urf. Angkat kaki artinya pergi.
Maka pada waktu itu yang digunakan adalah makna yang secara urf.

3. ‫ ﺗﻌﺬر ﺷﺮﻋﻲ‬Secara syari’at.

Adanya persengketaan diantara kedua belah pihak walaupun secara


makna hakikinya adalah pertengkaran.
Akan tetapi tentu makna yang hakiki ini tidak bisa dipakai karena
adanya makna yang syar’i.

Seperti shalat pada asalnya secara bahasa artinya doa tapi secara syariat
shalat adalah ibadah yang sudah kita ketahui.
Maka kalau ada orang berkata; Saya mau shalat. Harus dibawa kepada
makna yang syar’i, bukan maknanya yang hakiki secara bahasa arab.

36
11. ‫إذا ﺗﻌﺬر ِإﻋﻤﺎل اﻟﻜﻼِم ﯾُﮭَﻤُﻞ‬
Apabila suatu ucapan tidak mungkin untuk diamalkan maka pada
waktu itu tidak dianggap.

Apabila ucapan tersebut tidak bisa diterima, maknanya secara hakiki


ataupun secara majaz, atau misalnya dia mempunyai 2 makna yang
sama-sama kuat tanpa diketahui mana yang paling kuat, maka pada
waktu itu ucapan tersebut uhmil (tidak dianggap)

Contoh;
Kalau ada orang mengaku kalau dia bapaknya sifulan, padahal sifulan
jauh lebih tua dari dirinya, maka yang seperti ini tidak dianggap karena
itu mustahil.

Beberapa sebab yang menyebabkan sebuah ucapan itu tidak diterima:

1. Bahwa ucapan tersebut tidak mungkin dibawa kepada maknanya


yang hakiki ataupun majazi.

2. Lafadznya mempunyai beberapa makna, dua atau lebih. makna


yang tidak diketahui mana yang dimaksud dari makna tersebut.

3. Bahwa ucapannya tersebut tidak benar secara syariat.


Seperti orang yang mengatakan, kepada istrinya saya akan talak kamu
dengan talak 5, maka ini tidak benar karena talak hanya diberikan
batasan oleh syariat 3 saja.

4. Adanya kedustaan dalam ucapan tersebut.


Seperti orang yang mengaku-ngaku kalau ada orang yang memotong
tangannya, tapi ternyata tangannya tidak ada yang putus, sehat
semuanya

5. Ucapan itu tidak dianggap apabila bertabrakan dengan syariat.


Seperti orang yang mengatakan bahwa saudarinya mendapatkan
warisan dua kali lipat dari peninggalan ayahnya, dan ini jelas tidak
sesuai dengan syariat karena laki-laki dua kali lipat wanita.

Ini adalah sebab-sebab yang menyebabkan ucapan itu tidak dianggap.

37
12. ‫ﻻ ﻋﺒﺮة ﺑﺎﻟﺪﻻﻟﺔ ﻓﻲ ﻣﻘﺎﺑﻠﺔ اﻟﺘﺼﺮﯾﺢ‬
Dalaalah tidak dianggap apabila bertabrakan dengan tasrih.

Dalaalah adalah yang ditunjukkan oleh keadaan, atau kebiasaan, atau


isyarat atau diam, atau yang lainnya.

Tasrih adalah lafadz yang mempunyai makna jelas, dan tegas dimana
dia tidak mengandung makna yang lainnya.

Apabila dalaalah bertabrakan dengan ungkapan yang jelas maka,


dalaalah tersebut tidak dipakai/tidak digunakan.

Contoh;
Tadi dalaalah adalah kalau ada orang misalnya masuk rumah
seseorang. Dan yang punya rumah diam saja, (tidak melarang) itu
artinya tandanya dia mengizinkannya.
Tapi kalau sipemilik rumah berkata; tidak boleh masuk rumah, maka
ini jelas shorih tegas melarangnya, maka dalaalah tidak digunakan.

Sesuatu yang tegas dan jelas itu lebih didahulukan daripada kebiasaan.

Apabila misalnya, ada sebuah kebiasaan dalam hal masalah sesuatu,


kemudian ternyata ada kata-kata yang jelas, tegas, bertabrakan dengan
kebiasaan tersebut, maka pada waktu itu kebiasaan tersebut tidak
digunakan.

Dikecualikan dari kaidah ini apabila dalaalahnya adalah dalaalah


syariat, maka yang shorih ini tidak diterima.

Contoh;
Orang yang mengingkari, dia menjimai istrinya yang ditalak secara
roj'i (talak rujuk)atau ia merujuknya dimasa iddah.
Lalu dia berkata aku tidak menjimainya, atau aku tidak merujuknya.
Padahal ia menjimainya, maka pada waktu itu dalaalah syariat lebih
didahulukan, dimana anaknya hasil daripada jima’ nya tersebut
dinisbatkan kepada dia, apabila telah lewat 6 bulan.
Adapun dia mengatakan saya tidak menjimainya, maka pada waktu itu
tertolak.

38
13. ‫ﻻ ﯾﻨﺴﺐ ﻟﺴﺎﻛﺖ ﻗﻮل وﻟﻜﻦ اﻟﺴﻜﻮت ﻓﻲ ﻣﻌﺮض اﻟﺤﺎﺟﺔ إﻟﻰ اﻟﺒﯿﺎن ﺑﯿﺎن‬
Tidak boleh dinisbatkan suatu perkataan atau pendapat kepada
orang yang diam.

Akan tetapi diam karena saat dibutuhkan untuk berbicara kepada


penjelasan, maka itu adalah sama dengan penjelasan.

Disini beliau menjelaskan bahwa diam itu ada 2 macam:


1. Diam sama sekali, secara lahir dan bathin.
2. Diam karena untuk mensyariatkan.

Adapun:
▪1. Diam sama sekali.
Bukan dalam rangka untuk memberikan pengaruh syariat dan yang
lainnya. Maka yang seperti ini tidak boleh dinisbatkan kepadanya
suatu perkataan ataupun pendapat.

Contoh;
Apabila seseorang menjual harta orang lain. Dan orang tersebut atau
orang yang pemiliknya meihatnya, namun ia diam saja.
Maka apakah itu menunjukkan dia ridho?
Jawab:
Tidak. Karena bisa jadi diamnya itu karena ternyata orang yang
menjualnya memaksa dan mengancam, akhirnya dia diam karena
takut. Atau karena bisa jadi diamnya merasa heran dengan
perbuatannya.

Kalau ada orang yang merusak harta orang lain di hadapannya,


sementara pemiliknya diam.
Apakah itu artinya dia memberikan izin untuk merusak hartanya?
Tentu tidak.
Karena diam nya itu banyak kemungkinan.

Apabila seseorang mengumpulkan orang-orang saat sakit menuju


kematiannya. Lalu ia mempersaksikan kepada mereka bahwa ia tidak
punya hutang kepada seorangpun. Sementara ada salah satu orang itu
sebetulnya dia pernah menghutangkannya kepada orang yang mau
meninggal ini, tapi dia diam saja.

39
Apakah berarti itu menunjukkan bahwa dia memaafkan hutangnya?
Tentu tidak.
Bisa jadi diamnya karena melihat keadaan si mayat tersebut atau si
orang tersebut yang sedang sakit. Takut menyakitinya atau takut
membuat bertambah pikiran dan yang lainnya.

Maka yang seperti ini tidak bisa dikatakan orang yang diam itu
menunjukkan dia telah memaafkan.

Adapun diam yang ke


▪2. Diam dalam rangka pensyariatan.

Contoh;
Diamnya Nabi ‫ ﷺ‬dari adzan dan iqomah untuk shalat Ied.
Artinya;
Nabi ‫ ﷺ‬tidak menyuruh Bilal untuk adzan dan iqomah untuk shalat
Ied.
Nabi ‫ ﷺ‬diam, itu menunjukkan bahwa itu memang tidak disyariatkan.
Maka diam seperti ini kalau tujuannya adalah untuk sebuah
pensyariatan atau persetujuan itu sama dengan menjelaskan.

Seorang perawan ketika dia dikhitbah oleh seorang laki-laki. Ketika


ditanya;
Apakah kamu mau menerima?
Si perawan diam saja.
Dan biasanya diamnya perawan itu menunjukkan setuju.

Sebagaimana disebutkan dalam Hadits Nabi ‫ﷺ‬, mengatakan bahwa:


Setujunya para perawan itu dengan diam.
Maka ini menunjukkan bahwa diam disaat dibutuhkan untuk
menjelaskan bisa jadi itu adalah penjelasannya.
Artinya:
Setujunya itu dengan cara diam.

40
14. ‫ﻻ ﻋﺒﺮة ﻟﻠﺘﻮھﻢ‬
Waham tidak dianggap

Waham adalah: Kemungkinan yang sangat kecil, dugaan yang sangat


lemah, yang tidak berdasarkan kepada bukti. Akan tetapi hanya
kemungkinan lemah saja. Dan ia dibawah keraguan.

Kalau keraguan adanya 2 kemungkinan yang sama-sama kuat. Namun


ini lebih lemah lagi dari keraguan.
Maka yang seperti ini tidak dianggap dalam syariat.

Contoh;
Kalau ada orang shalat menghadap ke selain kiblat karena dia tidak
berusaha untuk mencarinya, sebatas waham saja. Dia mengira bahwa
mungkin ini arah kiblat tanpa ada kesungguhan untuk mencari
terlebih dahulu.
Maka shalatnya tidak sah karena kewajiban dia adalah bersungguh-
sungguh dulu mencari sampai kepada dugaan yang kuat. Apabila ada
dugaan yang kuat baru dia lakukan. Kalau ternyata salah maka
shalatnya tidak batal atau tidak berpengaruh, tetap sah.

Apabila para saksi mengatakan bahwa seseorang tidak ada pewaris


selain mereka.
Maka pada waktu itu saksi-saksi tersebut diterima pendapatnya.
Walaupun ada kemungkinan bisa jadi ada pewaris yang lain. Namun
kemungkinan ini sangat lemah dan tidak berbukti. Maka tidak
diterima.
Demikian pula apabila orang yang bangkrut meninggalkan dunia
maka harta-hartanya semua dijual untuk membayar hutang-hutangnya
itu.
Maka kemudian dibagi-bagikanlah kepada orang-orang yang si mayat
itu berhutang kepada mereka. Walaupun ada kemungkinan waham,
ada penghutang yang lain yang baru, yang belum diketahui. Namun
ini tidak dianggap sama sekali.

Sebatas waham kemungkinan yang sangat kecil, tidak terbukti, dugaan


yang sangat lemah. Yang sama sekali tidak ditunjukkan oleh bukti.
Maka seperti ini tidak dianggap dalam syariat.

41
15. ‫اﻻﺣﺘﻤﺎل اﻟﺮاﺟﺢ‬
Kemungkinan kuatnya sebuah perkiraan.

Dalam Al qur’an kata Dzon (dugaan) terkadang dipakai untuk makna


yakin.
Seperti firman Allah dalam surat Al Baqarah: 46;
‫ﻈﻨﱡﻮَن أ َﻧﱠُﮭْﻢ ﱡﻣٰﻠﻘُﻮا َر ِﺑِّﮭْﻢ‬
ُ َ‫اﻟﱠِﺬﯾَﻦ ﯾ‬
Dan mereka orang-orang yang yazhunnuuna (yakin) bahwa mereka
akan bertemu dengan Rabb nya.

Terkadang Dzon mempunyai makna, artinya ilmu


Seperti firman Allah dalam surat Sad: 24;
 ُ‫ظﱠﻦ دَا ُۥودُ أ َﻧﱠَﻤﺎ ﻓَﺘ َﻨﱣﮫ‬
َ ‫َو‬

Dan terkadang makna Dzon atau dugaan artinya Syak (keraguan).


Sebagaimana firman Allah dalam surat Al Jatsiyah: 32;
ُ ‫ِإْن ﻧﱠ‬
َ ‫ﻈﱡﻦ ِإﱠﻻ‬
‫ظﻨ–ﺎ‬

📚Juga Sabda Nabi ‫;ﷺ‬


ِ ‫ب اْﻟَﺤِﺪْﯾ‬
‫ﺚ‬ ‫ﻈﱠﻦ ﻓَﺈِﱠن اﻟ ﱠ‬
ُ َ‫ﻈﱠﻦ أ َْﻛﺬ‬ ‫ِإﯾﱠﺎ ُﻛْﻢ َواﻟ ﱠ‬
Jauhi oleh kalian Dzon, sesungguhnya Dzon itu adalah sedusta-dusta
perkataan. [ HR. Bukhari Muslim ].

Dzon yang dimaksud disini adalah:


Dzon yang nyata kesalahannya. Maka pageDzon yang nyata
kesalahannya pada waktu itu tidak dianggap.

Contoh;
Kalau seseorang menyangka dia masih diatas wudhu lalu ia shalat,
setelah shalat baru ingat kalau dia sebetulnya sudah berhadas.
Maka sangkaan ini tidak dianggap dan dia wajib mengulangi wudhu
dan shalatnya. Demikian pula apabila ia shalat menggunakan baju.
Bahwasanya ia menyangka bajunya itu suci, namun ditengah shalat ia
ingat bahwasanya bajunya najis. Maka harus dia batalkan dan dia
mengulangi shalatnya.

42
Adapun kalau misalnya dia lupa kalau dibajunya ada najis, kemudian
baru ingat setelah selesai sholat, maka yang seperti ini dimaafkan, dan
sholatnya sah.

Bahwa seorang Qadhi apabila ia memutuskam sebuah hukum dengan


dugaan dan ia menduga bahwa hukumnya itu sesuai dengan syariat.
Kemudian setelah itu menjadi jelas bahwa dugaannya salah dan
bahwasanya vonisnya itu atau hukumnya itu tidak sesuai syariat. Maka
dugaan itu tidak dianggap sama sekali.

Apabila seseorang mengklaim bahwa orang lain punya hutang


kepadanya 1000 riyal atau 100 ribu. Lalu kemudian orang yang diklaim
ini berkata kepada orang yang mengklaim.
Coba kamu bersumpah. Maka kemudian diapun bersumpah.
Kemudian menjadi jelas kepada dia setelah itu, bahwa yang harus
bersumpah itu adalah bukan dia tapi yang diklaim. Kewajiban dia
adalah membawakan bukti.

📚Karena Nabi ‫ ﷺ‬bersabda;


‫ واﻟﯿﻤﯿُﻦ ﻋﻠﻰ ﻣﻦ أﻧﻜَﺮ‬، ‫اﻟﺒﯿّﻨَﺔ ﻋﻠﻰ اﻟُﻤﺪِّﻋﻲ‬
Bukti atas orang yang mengklaim dan sumpah bagi yang diklaim
apabila yang mengklaim tidak punya bukti.

Maka dugaan tersebut tidak dianggap yang pertama tadi, karena


ketidaktahuannya. Dan contoh-contoh yang lainnya.

Kemudian kaidah ini juga ada pengecualiannya. Diantara


pengecualiannya kalau ada orang yang sedang sahur dan dia menduga
bahwasannya subuh belum masuk. Kemudian ternyata jelas kepada
dia setelah itu bahwa subuh sudah masuk.

Khilaf para ulama apakah sah atau tidak puasanya atau wajib
mengqodhonya.
Pendapat yang rojih: sah.
Kenapa?
Karena dia sudah mengamalkan kaidah lain yaitu;
‫اﻟﺒﻘﺎء ﻣﺎ ﻛﺎن ﻋﻠﻰ ﻣﺎ ﻛﺎن‬
Pada asalnya malam masih ada. Maka saat itu puasanya sah.

43
Kaidah 3
‫اﻟﻤﺸﻘﺔ ﺗﺠﻠﺐ اﻟﺘﯿﺴﯿﺮ‬
(Kesulitan itu mendatangkan kemudahan)

Ini adalah merupakan kaidah yang penting.

Al Imam Asy-Syatibi Rahimahullahu berkata:


‫ِإن اﻷدﻟﺔ ﻋﻠﻰ رﻓﻊ اﻟﺤﺮج ﻓﻲ ھﺬه اﻷﻣﺔ ﺑﻠﻐﺖ ﻣﺒﻠﻎ اﻟﻘﻄﻊ‬
Sesungguhnya dalil-dalil yang menunjukkan diangkatnya kesulitan
dari umat ini, ini dalil-dalilnya bersifat pasti

Keringanan yang ada dalam syariat, tidak lepas dari 2:


1. Dia mudah atau ringan secara asalnya, dan ini merupakan sifat
daripada syariat islam secara keseluruhan.
2. Keringanan karena adanya udzur, seperti sakit dan yang lainnya.

Adapun yang pertama, maka sesungguhnya syariat islam seluruhnya


mudah.

Semua yang Allah ‫ ﷻ‬perintahkan mudah, mampu dilakukan oleh


manusia, demikian pula semua yang Allah larang, mudah, mampu
untuk ditinggalkan oleh manusia.

Adapun yang kedua, yaitu: disebutkan dengan Rukhsah (keringanan),


bagi mereka yang punya udzur, seperti sakit, atau safar ataupun yang
lainnya.

Seperti misalnya:

🔸 orang yang safar diberikan keringanan untuk men-qashar


shalat.

🔸 Orang yang sakit diberikan keringanan untuk menjamak shalat dan


yang lainnya.

44
Dalil-dalil kaidah ini:

dari Al-Quran, Diantaranya:

1. QS Al-Baqarah: 185
‫ﯾُِﺮﯾﺪُ ٱﱠ§ُ ِﺑُﻜُﻢ ٱْﻟﯿُْﺴَﺮ َوَﻻ ﯾُِﺮﯾﺪُ ِﺑُﻜُﻢ ٱْﻟﻌُْﺴَﺮ‬
Allah mengiginkan kemudahan untuk kalian dan tidak menginginkan
kesulitan untuk kalian

Kata Imam As-Suyuthi Rahimahullahu:


Ayat ini merupakan dalil kaidah besar yang berdiri diatasnya
pembebanan syariat, Yaitu:
Bahwasanya kesulitan itu mendatangkan kemudahan.

2. QS Al Baqarah: 286
‫ﺴﺎ ِإﱠﻻ ُوْﺳﻌََﮭﺎ‬ ُ ّ‫َﻻ ﯾَُﻜ ِﻠ‬
ً ‫ﻒ ٱﱠ§ُ ﻧَْﻔ‬
Allah tidak membebani jiwa kecuali sesuai dengan kemampuannya

Kata Syaikhul islam Rahimahullahu:


Ayat ini menunjukkan bahwa semua yang Allah ‫ ﷻ‬bebankan berupa
perintah, ataupun larangan itu mampu dilaksanakan oleh manusia.
Dan Allah tidak pernah membebani mereka dengan sesuatu mereka
yang tidak mampu.
Dan ini bantahan yang tegas terhadap pendapat yang mengatakan
bahwa syariat islam itu susah atau sulit.

3. QS An-nisa: 28
‫ﺿِﻌﯿﻔًﺎ‬
َ ‫ﺴُﻦ‬ َ ّ‫ﯾُِﺮﯾﺪُ ٱﱠ§ُ أ َن ﯾَُﺨ ِﻔ‬
َ ٰ ‫ﻒ َﻋﻨُﻜْﻢ ۚ◌ َوُﺧِﻠَﻖ ٱ ْ ِﻹﻧ‬
Allah ingin memberikan keringanan untuk kalian dan manusia
diciptakan dalam keadaan lemah.

4. QS Al-Maidah: 6
َ ُ‫َﻣﺎ ﯾُِﺮﯾﺪُ ٱﱠ§ُ ِﻟﯿَْﺠﻌََﻞ َﻋﻠَْﯿُﻜﻢ ِّﻣْﻦ َﺣَﺮجٍ َو ٰﻟَِﻜﻦ ﯾُِﺮﯾﺪُ ِﻟﯿ‬
‫ﻄِّﮭَﺮُﻛْﻢ َوِﻟﯿُِﺘﱠﻢ ِﻧْﻌَﻤﺘ َ ۥﮫُ َﻋﻠَْﯿُﻜْﻢ ﻟَﻌَﻠﱠُﻜْﻢ‬
‫ﺗ َْﺸُﻜُﺮوَن‬
Allah tidak ingin menjadikan untuk kalian sesuatu yang memberatkan,
akan tetapi Allah ingin mengsucikan kalian dan menyempurnakan
nikmatNya atas kalian agar kalian bersyukur.

45
5. QS Al-Hajj: 78
ٍ ‫ۚ◌ َوَﻣﺎ َﺟﻌََﻞ َﻋﻠَْﯿُﻜْﻢ ِﻓﻰ ٱﻟ ِﺪّﯾِﻦ ِﻣْﻦ َﺣَﺮ‬
‫ج‬
Allah tidak menjadikan untuk kalian dalam agama ini sesuatu yang
memberatkan.

Kata Ibnu Katsir menafsirkan surat Al hajj tadi:


Allah ‫ ﷻ‬tidaklah memberikan beban kepada kalian sesuatu yang kalian
tidak mampu, tidak pula memberikan kepada kalian sesuatu yang
menyulitkan kecuali Allah berikan kepadanya kemudahan.

Adapun dalil dari Hadits diantaranya:

📚Nabi ‫ ﷺ‬bersabda;
ُ‫ﺸﺎدﱠ اﻟِﺪّﯾَﻦ أ ََﺣﺪٌ ِإﱠﻻ َﻏﻠَﺒَﮫ‬
َ ُ‫ َوﻟَْﻦ ﯾ‬،‫ِإﱠن اﻟِﺪّﯾَﻦ ﯾُْﺴٌﺮ‬
Sesungguhnya agama ini mudah dan tidak ada yang memberat-
beratkannya kecuali akan kalah
[ HR. Bukhari ].

Ibnu Hajar Rahimahullahu berkata:


Nabi ‫ ﷺ‬menamai agama ini mudah dibandingkan dengan agama-
agama yang lainnya.
Karena Allah ‫ ﷻ‬telah mengangkat dari umat islam ini sesuatu yang
membelenggu mereka, Dan contoh yang paling tegas kata beliau,
taubat jaman dahulu harus dengan bunuh diri, tapi didalam umat ini
cukup ia menyesali dan berazam untuk tidak kembali.

Kesulitan seperti apa yang dimaksud. Demikian pula kemudahan seperti apa
yang dimaksud dalam kaidah ini?

Kesulitan itu ada 2 macam:


1. Kesulitan yang setiap ibadah tidak mungkin lepas darinya, seperti;
§ Kesulitan dingin ketika berwudhu, mandi.
§ Demikian pula kesulitan ketika sedang berpuasa karena
lapar, dahaga.
§ Kesulitan ketika haji karena harus mengeluarkan uang, lelah.
§ Kesulitan dalam jihad.

46
Maka kesulitan yang seperti ini tidak meniadakan pembebanan ibadah
dan tidak mengharuskan adanya keringanan. Karena kesulitan seperti
ini mampu dilakukan.

2. Kesulitan yang kebanyakan ibadah lepas darinya.

Dan ia ada beberapa martabat;


1. Kesulitan yang besar.
Seperti takut kalau jiwanya itu atau nyawanya hilang misalnya. Atau
akan menyebabkan badannya celaka misalnya.

2. Kesulitan yang ringan.


Seperti misalnya kesakitan di jari atau kepala pusing. Maka yang
seperti ini tidak ada pengaruhnya.

Yang berpengaruh itu yang pertama, itu kesulitan yang besar. Jadi ini
yang dimaksud dengan kesulitan

Rukhsah

Rukhsah secara bahasa artinya;


‫اﻟﺴﮭﻮ ﻟﺔ واﻟﻠﯿﻦ واﻟﯿﺴﺮ واﻟﺘﻮﺳﻊ‬
Mudah, lembut dan luas.

Sedangkan menurut istilah para fuqoha;


‫ھﻲ اﻟﺪﻟﯿﻞ اﻟﺘﻲ ﺛﺒﺘﺖ ﻣﺸﺮو ﻋﯿﺘﮭﺎ ﺑﻨﺎء ﻋﻠﻰ اﻷﻋﺬار ﻣﻊ ﻗﯿﺎم اﻟﺪﻟﯿﻞ اﻟﻤﺤِّﺮم ﺗﻮﺳﻌﺎ ً ﻓﻲ‬
‫اﻟﻀﯿﻖ‬
Dalil yang mensyariatkan sebuah keringanan karena adanya udzur,
disertai adanya dalil yang mengharamkannya sebagai keluasan saat ada
kesempitan.

Rukhsah yang bersifat Syar’iyyah dibagi oleh para fuqoha menjadi 7


macam;

1.‫رﺧﺼﺔ ِإﺳﻘﺎط‬
‫ ; رﺧﺼﺔ‬Keringanan
‫ ;ِإﺳﻘﺎط‬Menggugurkan
Seperti mengugurkan ibadah ketika ada udzur.

47
Contoh:
Wanita haid dan nifas tidak boleh shalat, tidak boleh puasa.
Digugurkan ibadah tersebut dari mereka.

2.‫رﺧﺼﺔ ﺗﻨﻘﯿﺺ‬
Rukhsah mengurangi.

Mengurangi ibadah karena adanya udzur, seperti mengqashar shalat


dalam safar.

3.‫رﺧﺼﺔ ِإﺑﺪال‬
Rukhsah atau keringanan pengganti.
Mengganti ibadah dengan ibadah yang lain yang lebih ringan.

Contoh:
Ketika tidak ada air maka boleh diganti dengan tayamum.

4.‫رﺧﺼﺔ ﺗﻘﺪﯾﻢ‬
Rukhsah mendahulukan.

Contoh;
§ Menjamak dzuhur dan ashar diwaktu dzuhur, disebut jamak
taqdim.
§ Boleh mengeluarkan zakat apabila belum sampai haul namun
telah sampai nishab.
§ Boleh mendahulukan zakat fitri sebelum waktunya di bulan
ramadhan.
§ Demikian pula boleh membayar kafarat sebelum melanggar
sumpah.

5.‫رﺧﺼﺔ ﺗﺄﺧﯿﺮ‬
Rukhsah mengakhirkan.

Contoh;
§ Mengakhirkan menjamak antara maghrib dan isya di Muzdalifah
diwaktu isya.
§ Mengakhirkan puasa ramadhan untuk musafir dan haid dengan
cara mengqadhanya diwaktu lain.

48
6.‫رﺧﺼﺔ اﺿﻄﺮار‬
Rukhsah yang sifatnya darurat.

Seperti bolehnya makan bangkai bagi mereka yang sifatnya darurat


(tidak ada makanan lain). Bila ia tidak memakannya akan mati.

7.‫رﺧﺼﺔ ﺗﻐﯿﯿﺮ‬
Rukhsah merubah.

Seperti merubah tata cara shalat dalam keadaan sangat takut.


Ketika dia sedang dikejar musuh maka ia shalat dalam keadaan lari.
Saat itu dia shalat dengan isyarat.

Pembagian Rukhsah

Rukhsah dibagi menjadi beberapa macam:

1. Rukhsah yang wajib dilakukan. Seperti:

🔸Makan bangkai saat tidak ada makanan lagi. dimana jika kita tidak
memakannya, menyebabkan kita meninggal dunia, maka wajib kita
memakan bangkai, karena membinasakan diri sendiri itu hukumnya
haram.

2. Rukhsah yang sunnah dilakukan. Seperti:

🔸Orang yang dalam safar perjalanan dan berat baginya untuk


berpuasa maka ia disunnahkan untuk berbuka.

🔸 Atau Bagi orang yang sakit, dan berat baginya berpuasa maka
disunnahkan ia berbuka.

🔸Demikian pula disunnahkan melihat akhwat yang hendak dinikahi


atau disebut juga dengan nadzor.

49
3. Rukhsah yang mubah dilakukan. Seperti:

🔸 Jual beli salam yaitu: kita memesan barang, misalnya kita pergi
ketukang kusen, kemudian kita pesan barang dengan jenis begini dan
begitu, dan sifat begini dan begitu, kemudian kita bayar diawal, baru
kemudian barangnya nanti akan datang.

🔸 Demikian pula seorang pembeli mengizinkan adanya khiyar atau


memberikan adanya khiyar goben (ketertipuan), ini hukumnya
mubah.

4. Rukhsah yang lebih baik dilakukan.

🔸 Yang lebih utama dilakukan yaitu mengusap 2 khuf contohnya.

🔸 Menjamak 2 sholat dalam keadaan dibutuhkan, yaitu dalam


keadaan kesulitan, dan demikian pula tayammum ketika tidak ada air.

Tayammum ketika ada air, tapi air tersebut yang dijual dengan harga
yang lumayan mahal, maka pada waktu itu tidak mengapa ia tayamum.
Bahkan sebagian ulama mengatakan lebih baik ia tayammum.

5. Rukhsah yang makruh dilakukan.

Namun ini contohnya perkara yang diikhtilafkan oleh para ulama.


Seperti:

🔸 Mengqoshor dalam jarak yang kurang dari 3 marhala, sekitar 44


kilo namun pendapat yang kuat bahwa masalah jarak safar yaitu tidak
ada batasannya dalam syariat.

✏ Kata Beliau:

Pembatasan dalam nash-nash syariat itu sifatnya mutlak tidak ada


ikatan. Maka lebih baik kita hukumi sesuai dengan kemutlakannya,
maka pada waktu itu selama disebut safar, boleh dia mengqoshor.

50
Sebab-sebab adanya keringanan

Kata Beliau ada 7 sebab yang pokok

1. Safar
Dan terjadi ikhtilaf diantara para ulama tentang batasan safar, menjadi
pendapat yang sangat banyak sekali, namun yang paling kuat adalah,
bahwa tidak ada batasannya dan dikembalikan kepada kebiasaan
setempat. Sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Taymiyah Rahimahullah.

2. Al Maradh yaitu sakit


Yaitu Keluarnya badan dari keseimbangannya, sehingga ia pun
menjadi sakit. Adapun sakit yang sangat ringan maka ini bukanlah
udzur.

3. Adanya paksaan
Yaitu dipaksa: dimana tidak ada lagi pilihan selain melakukannya.
Jika tidak maka ia ditimpa mudhorot besar, baik pada tubuhnya,
hartanya, ataupun yang lainnya.
Disebutkan para ulama dalam kitab-kitab ushul Fiqh

4. Lupa
Seseorang lupa maka dimaafkan
sebagaimana Allah ‫ ﷻ‬berfirman, Qs. Al-Baqarah: 286
‫ﻄﺄ ْﻧَﺎ‬
َ ‫ۚ◌ َرﺑﱠﻨَﺎ َﻻ ﺗ َُﺆاِﺧْﺬﻧَﺂ ِإن ﻧﱠِﺴﯿﻨَﺂ أ َْو أ َْﺧ‬
Wahai Rabb kami jangan berikan sangsi kepada kami, jika kami lupa
atau salah tidak sengaja.

5. Al-Jahl (‫ )اﻟﺠـﮭﻞ‬bodoh, tidak tahu.


Bodoh ada 2 macam;
• Bodoh yang boleh dijadikan alasan, boleh dan itu dimaafkan
• Bodoh yang tidak bisa dijadikan alasan.

Apa itu bodoh yang tidak bisa dijadikan alasan? yaitu orang yang jahil
terhadap Allah dan tidak mau belajar. Tidak mau belajar tentang siapa
Rabbnya, tentang apa hak Allah, berupa Tauhid dan menjauhi

51
kesyirikan, dia tidak mau belajar, maka kebodohan seperti ini tidak
dimaafkan.

Adapun yang pertama tadi yaitu yang dimaafkan: yaitu perkara-


perkara bukan pokok dalam agama, seperti misalnya: menjauhi najis.

Namun kalau misalnya tidak mau belajar juga dan sengaja tidak mau
belajar tetap saja tidak bisa dimaafkan.
Jadi intinya adalah kalau dia memang tidak mau belajar, memang
sengaja tidak mau belajar maka bodohnya tidak dimaafkan. Adapun
kalau dia tidak meremehkan menuntut ilmu dan dia terus belajar pada
perkara-perkara yang ia tidak tahu, maka ini dimaafkan.

6. Adanya kesulitan Untuk menghindari sesuatu misalnya, maka yang


seperti ini dimaafkan.

Contoh misalnya: anak kecil yang berhadats boleh memegang mushaf


ketika belajar.
Demikian pula ketika seseorang sholat kemudian ada terkena darah
yang sedikit, misalnya kena nyamuk yang kemudian dia pukul lalu
kemudian mengeluarkan darah, ini dimaafkan.

7. Kekurangan yang sifatnya Tabiat.


Adanya kekurangan yang sifatnya tabiat, Seperti: Anak kecil, orang
gila atau orang yang tertidur, demikian pula seorang wanita tidak wajib
untuk sholat jumat, tidak wajib sholat berjamaah kemesjid, tidak wajib
ikut berjihad.

52
Cabang kaidah ‫اﻟﻤﺸﻘﺔ ﺗﺠﻠﺐ اﻟﺘﯿﺴﯿﺮ‬

1. ‫اﻟﻀﺮورات ﺗﺒﯿﺢ اﻟﻤﺤﻈﻮرات‬


Sesuatu yang darurat membolehkan perkara yang terlarang.

Kata beliau, darurat adalah;


Seseorang insan tertimpa keadaan yang membahayakan dan kesulitan
yang sangat berat, dimana akan menimbulkan mudharat atau bisa
membahayakan jiwa atau badan atau kehormatan atau akal atau harta.

Maka saat itu dia harus atau mubah untuk melakukan perkara yang
haram atau meninggalkan yang wajib atau mengakhirkan dari
waktunya untuk menghindari mudharat yang akan menimpanya
tersebut.

Lalu beliau mengatakan bahwa syarat disebut darurat adalah;

1. Darurat itu sesuatu yang pasti, bukan sesuatu yang sebatas


perkiraan atau sebatas ketakutan saja.

Secara dugaan yang kuat bahwa itu akan terjadi dan akan menimpa
dirinya, jika ia tidak melakukan yang haram tersebut.

Orang yang tidak mendapatkan makanan sama sekali, adanya cuma


bangkai. Dan sudah berusaha mencari yang halal tidak ada.
Maka yang seperti ini sifatnya bukan sebatas perkiraan tapi memang
benar adanya.

2. Tidak ada alternatif yang lain yang halal, yang mubah.

Kalau masih ada alternatif lain yang lain, yang halal maka tidak boleh
ia melakukan yang haram itu.

3. Darurat ini memang benar-benar sifatnya memaksa, dimana jika dia


tidak lakukan itu akan berakibat mudharat terhadap jiwanya atau
badannya.

53
4. Tidak bertabrakan dengan dasar-dasar syariat islam.

Berupa: menjaga hak-hak orang lain, melaksanakan keadilan dan


amanah.
Adapun kalau bertabrakan maka darurat tidak berpengaruh apa-apa.

Seperti misalnya kalau kita diancam dibunuh dan kita dipaksa untuk
membunuh orang lain.
Maka apakah boleh kita membunuh orang lain karena kita akan
dibunuh?

Jawab: Haram
Karena islam sangat menjaga hak-hak orang lain. Maka lebih baik kita
yang dibunuh daripada orang lain yang dibunuh.

Allah berfirman dalam surat Al-baqarah ayat 173;


‫ﻄﱠﺮ َﻏْﯿَﺮ ﺑَﺎغٍ َوَﻻ َﻋﺎٍد ﻓََﻶ ِإﺛَْﻢ َﻋﻠَْﯿِﮫ‬ ُ ‫ﺿ‬ ْ ‫ﻓََﻤِﻦ ا‬
Allah menyebutkan diawalnya;
ِW ‫ۖ◌   ِإﻧﱠَﻤﺎ َﺣﱠﺮَم َﻋﻠَْﯿُﻜُﻢ اْﻟَﻤْﯿﺘ َﺔَ َواﻟﺪﱠَم َوﻟَْﺤَﻢ اْﻟِﺨْﻨِﺰﯾِﺮ َوَﻣﺂ أ ُِھﱠﻞ ِﺑ ِۦﮫ ِﻟﻐَْﯿِﺮ ﱠ‬
Sesungguhnya Allah haramkan atas kalian bangkai, darah, daging babi
dan apa yang disembelih untuk selain Allah.
Allah mengatakan;
‫ﻄﱠﺮ‬ُ ‫ﺿ‬ ْ ‫ﻓََﻤِﻦ ا‬
Siapa yang darurat.
‫َﻏْﯿَﺮ ﺑَﺎغٍ َوَﻻ َﻋﺎٍد‬
Selama ia tidak berbuat dzolim dan tidak melampui batas.
‫ﻓََﻶ ِإﺛَْﻢ َﻋﻠَْﯿِﮫ‬
Maka tidak ada dosa atasnya.
‫َ َﻏﻔُﻮٌر ﱠرِﺣﯿٌﻢ‬W ‫ِإﱠن ﱠ‬
Sesungguhnya Allah maha pengampun lagi maha penyayang.

Disini Allah ‫ ﷻ‬menyebutkan sesuatu yang diharamkan berupa


bangkai, darah, daging babi dan semua yang disembelih untuk selain
Allah.
Kemudian Allah menyebutkan bahwa orang yang darurat boleh, tapi
syaratnya dia tidak berbuat dzolim dan tidak melampaui batas, artinya;
Dia memakan itu sesuai kebutuhan saja, tidak lebih dari itu.

54
Kemudian diantara dalilnya juga, Allah ‫ ﷻ‬berfirman dalam surat An-
Nahl ayat 106;

ْ ‫َﻣْﻦ َﻛﻔََﺮ ِﺑﺎﱠ§ِ ِﻣۢﻦ ﺑَْﻌِﺪ ِإﯾٰﻤِﻨ ِٓۦﮫ ِإﱠﻻ َﻣْﻦ أ ُْﻛِﺮهَ َوﻗَْﻠﺒُ ۥﮫُ ُﻣ‬
‫ﻄَﻤِﺌﱞﻦۢ ِﺑﺎ ْ ِﻹﯾٰﻤِﻦ‬

Siapa yang kafir kepada Allah setelah keimanannya kecuali orang yang
dipaksa sedangkan hatinya tenang dengan keimanan.

Dimana ayat ini turun tentang kisah Ammar bin Yasir yang disiksa
dan dipaksa untuk mengucapkan kata-kata kufur.

Kemudian Ammar bin Yasir berusaha untuk sabar, namun ketika


beliau tidak kuat lagi dengan siksaan, beliau pun terpaksa
mengucapkan kata-kata kufur. Lalu iapun dilepaskan.

Maka datanglah Ammar bin Yasir menceritakan kepada Rasulullah ‫ﷺ‬.


Dan Rasulullah ‫ ﷺ‬pun diturunkan ayat (firman Allah) tadi dalam surat
An Nahl ayat 106.

َ ‫ق اﻷ َْﻣُﺮ اﺗ ﱠ‬
2. ‫ﺴَﻊ‬ َ ‫ِإذَا‬
َ ‫ﺿﺎ‬
Apabila perkara itu sempit maka menjadi luas

3. ‫ق‬ َ ‫ﺴَﻊ اﻷ َْﻣُﺮ‬


َ ‫ﺿﺎ‬ َ ‫َوِإذَا اﺗ ﱠ‬
Dan Apabila menjadi luas perkara itu maka menjadi sempit

Apabila datang kesulitan dan menjadi sempit kepada seseorang, maka


syariat kita memberikan keluasan. Namun apabila telah hilang
kesulitan dan kesempitan dan kembali menjadi luas maka pada waktu
itu tidak ada keringanan.

Allah ‫ ﷻ‬berfirman pada surat An-Nisa 101-103:


‫ﺼُﺮو۟ا ِﻣَﻦ ٱﻟ ﱠ‬
‫ﺼﻠَٰﻮِة ِإْن ِﺧْﻔﺘ ُْﻢ أ َن ﯾَْﻔِﺘﻨَُﻜُﻢ‬ ُ ‫ﺲ َﻋﻠَْﯿُﻜْﻢ ُﺟﻨَﺎٌح أ َن ﺗ َْﻘ‬ ِ ‫ﺿَﺮْﺑﺘ ُْﻢ ِﻓﻰ ٱْﻷ َْر‬
َ ‫ض ﻓَﻠَْﯿ‬ َ ‫َوِإذَا‬
۟ ٰ ْ ۟
‫ٱﻟِﺬﯾَﻦ َﻛﻔَُﺮٓوا ۚ◌ ِإﱠن ٱﻟَﻜِﻔِﺮﯾَﻦ َﻛﺎﻧُﻮا ﻟَُﻜْﻢ َﻋﺪُ–وا ﱡﻣِﺒﯿﻨًﺎ‬‫ﱠ‬

55
Apabila kalian bersafar dimuka bumi tidak mengapa kalian untuk
men-qashar sholat, jika kalian takut untuk difitnah oleh orang-orang
kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata
bagi kalian.

Qs An-Nisa: 103
‫ﺖ َﻋﻠَﻰ ٱْﻟُﻤْﺆِﻣِﻨﯿَﻦ ِﻛ ٰﺘ َﺒًﺎ ﱠﻣْﻮﻗُﻮﺗ ًﺎ‬ ‫طَﻤﺄ ْﻧَﻨﺘ ُْﻢ ﻓَﺄ َِﻗﯿُﻤﻮ۟ا ٱﻟ ﱠ‬
‫ﺼﻠَٰﻮة َ ۚ◌ ِإﱠن ٱﻟ ﱠ‬
ْ َ‫ﺼﻠَٰﻮة َ َﻛﺎﻧ‬ ْ ‫ﻓَﺈِذَا ٱ‬
Tapi apabila kalian telah menjadi tenang (telah aman), maka dirikanlah
sholat.
Sesungguhnya sholat itu atas kaum mukminin sebuah kewajiban yang
telah ditentukan waktunya.

Dalam 3 ayat ini Allah ‫ ﷻ‬menyebutkan tentang sholat yang dilakukan


ketika dalam keadaan genting maka diberikan kemudahan dalam
keadaan genting untuk sholat dalam keadaan masing-masing.
Artinya: Sesuai dengan kemampuannya masing-masing.
Namun apabila telah hilang ketakutan dan kegentingan itu maka tetap
harus dilaksanakan sholat seperti biasa.

Dan kaidah ini banyak sekali contoh-contohnya diantaranya:

🔸 Misalnya Apabila ada orang yang berhutang dan susah untuk bayar
hutangnya karena ketidakmampuan maka ia diberikan keringanan,
dengan cara diundurkan waktu pembayarannya. Jika setelah waktu
pembayarannya datang dan belum mampu juga maka hendaklah
dibantu untuk membayarkannya secara cicil.

🔸Demikian pula semua kesulitan-kesulitan yang menimpa seseorang,


itu semua mendatangkan kemudahan.

Dan kalau ternyata kesulitan itu sudah hilang maka pada waktu itu dia
tidak boleh untuk mengambil keringanan lagi, kalau ternyata kesulitan
itu telah tidak ada.

🔸Ketika safar itu berat diberikan keringanan untuk qashar. Tapi


ketika telah mukim maka dia tidak boleh qashar dan yang lainnya.

56
4. ‫ﻣﺎ أﺑﯿﺢ ﻟﻠﻀﺮورة ﯾﺘﻘﺪر ﺑﻘﺪرھﺎ‬
Apa-apa yang dibolehkan karena darurat, maka boleh mengambilnya
sekedarnya

Ini adalah merupakan kaidah yang mengikat kaidah sebelumnya yaitu


sesuatu yang darurat membolehkan perkara yang terlarang.
Semua yang dibolehkan karena darurat, berupa perbuatan maupun
meninggalkan sesuatu maka itu boleh sesuai dengan kadar daruratnya,
sebatas menghilangkan darurat tersebut. (tidak boleh lebih dari itu.)

Firman Allah ‫ ﷻ‬Al-Baqaroh: 173


‫ﻄﱠﺮ َﻏْﯿَﺮ ﺑَﺎغٍ َوَﻻ َﻋﺎٍد ﻓََﻶ ِإﺛَْﻢ َﻋﻠَْﯿِﮫ‬
ُ ‫ﺿ‬
ْ ‫ﻓََﻤِﻦ ٱ‬
Siapa yang darurat selama ia tidak berbuat dzolim, tidak pula
melampaui batas, maka tidak ada dosa atasnya.

Disini Allah ‫ﷻ‬


mengatakan bahwa sesuatu yang mudhorot boleh dengan syarat:
Tidak boleh dzolim dengan cara membunuh orang, dan tidak
melampaui batas atau melebihi kebutuhan.

Maka dari itu kewajiban seseorang adalah berhati-hati dalam


mengambil keringanan, maka jangan sampai kemudian berlebih-
lebihan hanya karena itu ada keringanan.

Disini beliau menyebutkan ada 5 martabat dalam masalah ini.


1. Darurat
yaitu apabila seseorang tidak melakukannya bisa menyebabkan binasa.
2. Hajat
seseorang yang apabila tidak melakukannya maka ia akan terkena
kesulitan walaupun tidak sampai binasa.
3. Manfaat
Yaitu seseorang menginginkan makanan yang sifatnya primer seperti
makan nasi, dan sebagainya.
4. Zhinah(hiasan)
Yaitu seseorang menginginkan makanan yang bukan primer.
5. Al Fudhul: kelebihan
sifatnya melebihi kebutuhan maka yang seperti ini boleh-boleh saja
apabila selama itu bukan perkara yang haram.

57
Praktek kaidah yang kita bahas ini adalah, diantaranya:
§ orang yang lapar dan tidak mendapatkan makanan yang halal,
setelah ia cari yang ada adalah makanan yang haram, boleh ia
memakannya sekedar mengisi perutnya saja, tidak berlebih-
lebihan.
§ Seorang dokter boleh melihat aurat orang yang berobat sesuai
dengan kebutuhannya saja.
§ Seorang wanita tidak boleh berobat kepada dokter laki-laki
selama masih ada dokter perempuan, karena keadaannya tidak
darurat.
§ Demikian pula orang yang ingin meminang wanita boleh ia
melihatnya (nadzor) sesuai dengan kebutuhannya.
§ Luka boleh diplester sekedarnya kalau memang itu ada pada
anggota wudhu, tidak lebih. akan tetapi sesuai dengan kadarnya
saja.
§ Dan contoh-contoh yang lainnya.

5. ‫ﻣﺎ ﺟﺎز ﻟﻌﺬر ﺑﻄﻞ ﺑﺰواﻟﮫ‬


Apa-apa yang boleh karena adanya udzur maka ketika udzur itu
telah hilang maka menjadi batal kebolehannya.

Ini adalah merupakan kaidah yang mengikat juga kaidah;


Sesuatu yang darurat membolehkan perkara yang terlarang.

Dimana maknanya adalah;


Bahwa perkara-perkara yang dibolehkan karena adanya udzur dan
darurat. Apabila udzur dan darurat itu telah hilang maka batallah
pembolehannya.

Contoh;
Tayamum dengan tanah akibat ada udzur sakit atau karena sangat
dingin. Maka ketika sakit telah sembuh atau dingin telah hilang, maka
tidak boleh tayamum.

Ketika safar telah selesai maka tidak boleh lagi mengqashar, telah
kembali ketempatnya.

58
Demikian pula orang yang safar boleh berbuka puasa, demikian pula
orang yang sakit, karena adanya udzur. Tapi ketika udzur ini, safar
atau sakit ini telah hilang, maka wajib dia berpuasa ramadhan.

Orang yang shalatnya isyarat karena sakit misalnya, maka ketika sakit
itu telah hilang, maka tidak boleh lagi shalat dengan sebatas isyarat,
harus sempurna.

Wanita yang sedang masa iddah boleh keluar rumah bila ada udzur
(keperluan), seperti mencari nafkah karena tidak ada yang menafkahi
misalnya.

Namun ketika udzur itu telah hilang karena ada yang mencukupinya
misalnya maka tidak boleh ia keluar rumah selama masa iddahnya
tersebut.

6. ‫ ﻋﺎﻣﺔ ﻛﺎﻧﺖ أو ﺧﺎﺻﺔ‬،‫اﻟﺤﺎﺟﺔ ﺗﻨﺰل ﻣﻨﺰﻟﺔ اﻟﻀﺮورة‬


Hajat itu menempati tempat darurat, baik yang bersifat umum maupun
bersifat khusus.

Hajat adalah; Sesuatu yang dibutuhkan oleh manusia namun tidak sampai
kepada derajat darurat.

Darurat adalah; Sesuatu yang apabila ditinggalkan akan membahayakan.

Namun terkadang sesuatu yang sangat dibutuhkan, hajat itu bisa


ditempatkan pada tempat darurat.
Dalam artian membolehkan sesuatu yang terlarang ketika sangat
dibutuhkan.

Contoh;
Jual beli salam (Uang dulu barangnya nanti.)

59
Ini dibolehkan padahal barangnya tidak ada. Sementara pada asalnya
menjual sesuatu yang tidak ada itu tidak boleh. Namun ketika dibutuhkan
maka itu diperbolehkan.
Seperti halnya kita misalnya memesan suatu barang, dimana kita bayar
dulu baru barangnya datang setelah itu.

Demikian pula contoh lain yang Rasulullah ‫ ﷺ‬membolehkan ‫ﺑَْﯿﻊ ا َْﻟﻌََﺮاﯾَﺎ‬


yaitu; Membeli kurma yang masih dipohonnya, dibayar dengan kurma
yang sudah kering.
Padahal kurma basah dengan kurma kering itu mengandung riba, dimana
kurma basah apabila kering pasti akan berkurang timbangannya.
Namun diberikan rukhsah oleh Nabi ‫ ﷺ‬ketika membutuhkan.

Adanya Khiyar.
Pilihan dalam akad jual beli.
Dan ini sangat dibutuhkan karena misalnya agar dia tidak tertipu atau
memberikan kesempatan untuk berpikir dan yang lainnya.

Melihat aurat untuk kebutukan mengobati. Maka diizinkan.

Adapun yang bersifat khusus contohnya misalnya;

Ketika gelas kita patah lalu kita sambung dengan menggunakan perak.

Sebagaimana Nabi ‫ ﷺ‬pernah melakukannya. Ini boleh karena


dibutuhkan.

Demikian bolehnya wanita haid dan junub untuk masuk mesjid ketika
ada kebutuhan.

Demikian pula bolehnya laki-laki memakai baju terbuat dari sutra untuk
pengobatan sakit gatal-gatal dan contoh-contoh yang lainnya.

60
7. ‫اِﻻﺿِﻄَﺮاُر ﻻ ﯾُﺒِﻄُﻞ َﺣﻖ اﻟﻐَﯿﺮ‬
Bahwa Terpaksa itu tidak membatalkan hak orang lain.

Terpaksa atau dipaksa itu ada 2 macam;

1. Paksaan yang bersifat tidak ada pilihan.

Seperti ada orang yang diancam dengan dibunuh, atau dipotong


tubuhnya, atau diputuskan salah satu anggota tubuhnya.

2. Paksaan yang sifatnya masih ada pilihan atau kurang, yaitu ancaman
dengan perkara yang tidak memberikan mudhorot kepada jiwanya.

Seperti diancam dengan dipenjara, atau diikat, atau dipukul tetapi dengan
pukulan yang tidak membuatnya cedera.
(Maka paksaan seperti ini tidak dianggap)

Makna Kaidah ini adalah;


Bahwa sesuatu yang sifatnya terpaksa, tetap tidak mengugurkan hak atau
membatalkan hak orang lain.

Contoh;
Orang yang terpaksa harus makan makanan milik orang lain karena
sangat lapar, tidak ada makanan yang lain, maka dia boleh mengambilnya
namun ia wajib menggantinya.

Apabila ada hewan yang hendak menyeruduknya atau membunuhnya,


lalu ia membela diri dan terpaksa harus membunuh hewan tersebut,
maka pendapat jumhur mengatakan dia wajib membayar dendanya.
Apabila hewan itu milik orang lain. Wajib membayar gantinya.
Sedangkan menurut Hanabilah mengatakan: kalau keadaan seperti ini dia
tidak wajib mengantinya.

61
8. ‫اﻟﻤﯿﺴﻮر ﻻ ﯾﺴﻘﻂ ﺑﺎﻟﻤﻌﺴﻮر‬
Sesuatu yang mudah tidak menjadi gugur dengan sesuatu yang sulit.

Apabila kita tidak bisa melakukan perintah, secara keseluruhan maka


yang kita lakukan sebagiannya. Dan tidak boleh ditinggalkan semuanya.

Dalam hal ini ada 4 keadaan:


1. Orang yang mampu melakukan perintah dengan badannya, dan dia
mampu melakukan secara sempurna. maka dia wajib melakukan
secara sempurna.
2. Dia tidak mampu melakukan sama sekali, seperti orang yang sakit.
Maka dia pada waktu itu dianggap tidak mendapatkan air.
3. Mampu dengan badannya, namun ia tidak mampu untuk
melaksanakan perintah tersebut.
Seperti: orang yang sehat tapi tidak mendapatkan air.
Maka pada waktu itu ia gunakan tayammum
4. Tidak mampu dengan badannya, namun mampu untuk
melaksanakan yang diperintahkan tersebut atau gantinya.

Maka ini ada beberapa keadaan:

1. Orang yang tidak mampu haji secara badan, tapi ia punya uang.
Maka dia wajib untuk berhaji dengan uangnya.
Yaitu dengan cara menyuruh orang lain untuk menghajikan
dirinya.
2. Orang tua renta yang tidak mampu untuk berpuasa, namun mampu
untuk memberi makan, maka dia wajib memberi makan fakir miskin
setiap harinya.
3. Orang yang sakit dan tidak mampu menggunakan air, maka ia sama
dengan tidak mendapatkan air. Pada waktu itu ia boleh tayammum.

62
Kaidah 4
‫اﻟﻌﺎدة ُﻣَﺤﱠﻜﻤﺔ‬
(Adat kebiasaan itu bisa dijadikan patokan hukum)

Dalil daripada kaidah ini dari Al Quran dan Hadits. Adapun Al Quran
itu banyak ayat-ayat yang memerintahkan kita untuk menjadikan atau
kembali kepada ‘Urf (kebiasaan setempat) yang ada di masyarakat.

Seperti Allah ‫ ﷻ‬ketika menyebutkan tentang memberikan mut’ah (harta)


kepada wanita yang di talak oleh suaminya sebelum disetubuhi.
Allah menyebutkan bahwa pemberian mut’ah atau harta tersebut bil
ma’ruf artinya dengan sesuai ‘Urf (kebiasaan yang ada).

Demikian pula ayat-ayat yang lain yang menyuruh untuk mengambil


kebiasaan sebagai patokan ketika tidak ada patokannya dalam syariat.

Allah ‫ ﷻ‬berfirman dalam surat Al A’raf ayat 199;


‫ض َﻋِﻦ اْﻟٰﺠِﮭِﻠﯿَﻦ‬ ِ ‫ُﺧِﺬ اْﻟﻌَْﻔَﻮ َوأُْﻣْﺮ ِﺑﺎْﻟﻌُْﺮ‬
ْ ‫ف َوأ َْﻋِﺮ‬
Ambillah maaf dan perintahkanlah dengan ma’ruf (dengan ‘Urf).

Artinya;
Sesuatu kebiasaan sebuah masyarakat bahwa itu adalah perkara yang
ma’ruf selama tidak bertabrakan dengan syariat.

‫ض َﻋِﻦ اْﻟٰﺠِﮭِﻠﯿَﻦ‬
ْ ‫َوأ َْﻋِﺮ‬
Dan berpalinglah dari orang-orang bodoh.

Adapun dasar dari sunnah , diantara dalil yang dijadikan hujjah oleh para
ulama yaitu hadits;
‫ ﺣﺴﻦ‬W‫ﻣﺎ رآه اﻟﻤﺴﻠﻤﻮن ﺣﺴﻨﺎ ً ﻓﮭﻮ ﻋﻨﺪ ﱣ‬.
Apa yang dipandang oleh kaum muslimin baik maka disisi Allah itu baik,
namun hadits ini tidak shahih secara marfu’.

63
Dalil hadits yang shahih yaitu yang dikeluarkan oleh Imam Al Bukhari
dalam shahihnya. Dari ‘Aisyah ‫;رﺿﻲ ﷲ ﻋﻨﮭﺎ‬

Bahwa Hindun bintu Uthbah berkata kepada Rasulullah ‫;ﷺ‬


Hai Rasulullah ‫ ﷺ‬Abu Sufyan itu lelaki yang pelit, tidak memberikan
kepadaku yang cukup untukku dan untuk anakku. Bolehkah aku
mengambil tanpa ia tahu.

Maka Nabi ‫ ﷺ‬bersabda;


‫ﺧﺬي ﻣﺎ ﯾﻜﻔﯿﻚ ووﻟﺪك ﺑﺎﻟﻤﻌﺮوف‬
Ambillah yang mencukupi kamu dan anak kamu bil ma’ruf artinya
dengan sesuatu yang sesuai dengan ‘Urf (kebiasaan).

Demikian pula dizaman Nabi ‫ ﷺ‬banyak sekali kebiasaan-kebiasaan


masyarakat yang ditetapkan oleh Nabi ‫ ﷺ‬yang tidak bertabrakan dengan
syariat, berupa tata cara berpakaian. Demikian pula kebiasaan makanan
dan yang lainnya.

Syarat-syarat bolehnya mengamalkan kaidah ‫ اﻟﻌﺎدة ُﻣَﺤﱠﻜﻤﺔ‬, bahwa adat


istiadat boleh dijadikan patokan dalam hukum;

‫أن ﺗﻜﻮن اﻟﻌﺎدة أو اﻟﻌﺮف ُﻣ ﱠ‬


1. ً‫ﻄﺮدة ً أو ﻏﺎﻟﺒﺔ‬
‫( ُﻣ ﱠ‬mutthoridah).
Bahwa adat istiadat atau kebiasaan tersebut bersifat ً ‫ﻄﺮدة‬

Mutthoridah ً ‫ﻄﺮدة‬‫ ُﻣ ﱠ‬artinya;


Tetap dan tidak berubah-ubah, dimana ia masyhur dikalangan
masyarakat tersebut. Dimana mereka semua mengetahui tentang adat
istiadat tersebut. Ini syarat yang pertama.

Berkata Al Imam As Suyuthi ‫ ;رﺣﻤﮫ ﷲ‬Kebiasaan atau adat istiadat bisa


dijadikan patokan hukum apabila telah menjadi perkara yang tersebar
luas dan menjadi tetap , bukan perkara yang guncang dan berubah-ubah.

64
2. ‫أن ﯾﻜﻮن اﻟﻌﺮف اﻟﻤﺮاد ﺗﺤﻜﯿﻤﮫ ﻓﻲ اﻟﺘﺼﺮ ﻓﺎت ﻗﺎﺋﻤﺎ ً ﻋﻨﺪ ِإﻧﺸﺎﺋﮭﺎ‬
Bahwa kebiasaan atau adat istiadat tersebut sudah ada sebelumnya.

Ketika kita hendak menjadikannya sebagai patokan dalam hukum yang


hendak kita lakukan. Adapun kalau misalnya adat istiadat tersebut
berubah, sebelumnya tidak ada kemudian baru ada.
Maka yang seperti ini tidak dianggap. Yang dianggap adalah adat istiadat
kebiasaan yang sudah ada sebelumnya.

Kata Al Imam As Suyuthi ‫ رﺣﻤﮫ ﷲ‬dalam Al Asybah (‫)اﻷﺷﺒﺎه‬


Adat istiadat yang dibawa kepadanya lafadz-lafadz adalah yang telah ada
sebelumnya bukan yang baru ada.

3. ‫أن ﻻ ﯾﻜﻮن ﻓﻲ اﻟﻌﺮف ﺗﻌﻄﯿﻞ ﻟﻨﺺ ﺛﺎﺑﺖ أو ﻷﺻﻞ ﻗﻄﻌﻲ ﻓﻲ اﻟﺸﺮﯾﻌﺔ‬


Adat istiadat tidak boleh bertabrakan dengan Nash (dalil yang shahih)
atau pokok yang Qath’i dalam syariat.

Maka apabila adat istiadat bertabrakan dengan dalil (dengan Nash) maka
tidak boleh diamalkan. Wajib kita lebih mendahulukan dalil.

4. ‫أن ﻻ ﯾﻌﺎرض اﻟﻌﺮف ﺗﺼﺮﯾﺢ ﺑﺨﻼﻓﮫ‬


Kebiasaan atau ‘Urf itu tidak bertabrakan dengan pernyataan yang sharih.

‘Urf atau kebiasaan ‫ ﻻﯾﻌﺘﺒﺮ‬tidak dianggap , ‫ و ﻻ ﯾﻜﻮن ﺣﺠﺔ‬tidak bisa


dijadikan hujjah , ‫ ِإذا ﻛﺎن ھﻨﺎك ﺗﺼﺮح‬apabila disana ada pernyataan yg tegas
yang bertabrakan dengan kebiasaan orang-orang tersebut.

Contoh;
Apabila ada sebuah kebiasaan di masyarakat dalam akad jual beli,
biasanya ada syarat tertentu. Tapi kemudian terjadi akad dan mereka
tegas mengatakan tidak ada syarat tersebut.
Maka pada waktu itu, ucapan yang tegas lebih didahulukan daripada
kebiasaan.

65
Keadaan Urf atau kebiasaan dihadapan Nash-Nash syariat:

1. Urf yang bertabrakan dengan nash syar'i yang bersifat khusus.

Maka pada waktu itu kata beliau, Urf seperti ini tidak boleh diamalkan.
Yang wajib diambil adalah Nash
Kecuali, kata beliau apabila Nash itu bersandarkan kepada Urf.
Maka pada waktu itu boleh menggunakan Urf.

Contoh misalnya Nabi ‫ ﷺ‬bersabda:


‫اﻟﺜﯿﺐ ﺗﻌﺮب ﻋﻦ ﻧﻔﺴﮭﺎ واﻟﺒﻜﺮ رﺿﺎھﺎ ﺻﻤﺘﮭﺎ‬
Janda itu keridhaannya akan ia ucapkan sedangkan perawan itu (gadis)
itu keridhaannya dengan cara diam.

Ini merupakan sesuai Urf yang ada di jaman Nabi ‫ﷺ‬, Dan bisa berubah
sesuai dengan keadaan Urf yang ada.
Kalau ternyata disuatu tempat Urfnya adalah seorang gadis itu
menyatakan keridhaannya dengan ucapan maka pada waktu itu bisa
dipakai.

2. Urf atau adat istiadat itu bertabrakan dengan Nash yang bersifat umum,
dan Urf juga sifatnya umum.

Maka ini ada 2 keadaan:

1. Nashnya bersifat umum dan Urfnya juga bersifat umum.

Maka pada waktu itu kita amalkan dua-duanya, dalam artian bahwa Nash
yang bersifat umum ini dikhususkan dengan Urf.

66
Contoh;
Nabi ‫ ﷺ‬melarang menjual sesuatu yang bukan miliknya, namun para
Fuqaha membolehkan jual beli instishna, padahal jual beli istishna masuk
dalam kategori menjual sesuatu yang ia tidak miliki.
Akan tetapi karena sudah menjadi keumuman manusia melakukannya,
para ulama, kemudian mengecualikannya.

2. Nashnya umum sedangkan Urfnya khusus pada tempat tertentu saja.

Maka pada waktu itu tidak boleh Urf seperti ini menghususkan dalil yang
sifatnya umum.

3. Apabila Urf itu baru ada setelah adanya nash yang bertabrakan dengan
Urf tersebut.

Maka kata beliau Urf yang baru ada ini tidak boleh dijadikan sebagai dalil
atau patokan hukum dan tidak boleh diamalkan.

Contoh-contoh praktek dari kaidah ‫;اﻟﻌﺎدة ُﻣَﺤﱠﻜﻤﺔ‬

💠 Dalam masalah Bab Haid dan Nifas.

Kalau ternyata waktu haid melebihi waktu yang kebiasaannya. Biasanya


misalnya haidnya 6 hari, tapi ini kok sampai 8 hari belum terputus juga.
Maka pada waktu itu yang digunakan adalah kebiasaannya. Yang dipakai
adalah kebiasaannya.

💠 Dalam masalah harta.

Islam tidak memberikan batasan definisi harta itu seperti apa?


Maka itu di kembalikan kepada adat kebiasaan (‘Urf).

67
Sesuatu yang menurut ‘Urf setempat itu perkara yang bermanfaat dan
dianggap harta , maka ia termasuk harta.
Dan tentunya ‘Urf sesuatu kaum berbeda-beda dari satu kaum ke kaum
yang lainnya.

💠 Dalam masalah mengambil manfaat dari sebuah hak.

Seperti masalah;
- Ijarah sewa menyewa.
- Demikian pula wakaf.
- Demikian pula pemberian hak minum.
- Lalu lalang.
- Dan lainnya.
Itu juga batasannya dikembalikan kepada ‘Urf , kepada adat kebiasaan.

💠 Dalam sebagian jual beli.

- Seperti misalnya jual beli Salam.


Jual beli Salam: Uang dulu barangnya nanti.

- Demikian pula Istishna.


Jual beli Istishna: Pembeli memesan dengan spesifikasi khusus, dan
pembayaran dilakuakn setelah barangnya jadi.

Ini pun juga berdasarkan ‘Urf karena kebiasaan

💠 Dalam kebiasaan masalah pakaian.

Syariat tidak memberikan batasan.


Maka tentu pakaian yang sesuai dengan sunnah adalah yang sesuai
dengan kebiasaan masyarakat setempat, selama tidak bertabrakan dengan
syariat.

68
Cabang kaidah ‫اﻟﻌﺎدة ُﻣَﺤﱠﻜﻤﺔ‬

1. ‫اﺳﺘﻌﻤﺎل اﻟﻨﺎس ﺣﺠﺔ ﯾﺠﺐ اﻟﻌﻤﻞ ﺑﮭﺎ‬

Penggunaan manusia terhadap sesuatu yang menjadi kebiasaan mereka,


menjadi hujjah yang wajib diamalkan

Selama tidak bertabrakan dengan Al Quran dan Hadits. Selama tidak


bertabrakan dengan ijma’ para ulama , demikian pula dalam perkara-
perkara yang memang tidak ada batasannya dalam syariat.

Contoh;
Ketika manusia memakai pakaian- pakaian. Maka pakaian tersebut
disesuaikan dengan ‘Urf daerah masing-masing.
Kecuali kalau pakaian itu jelas-jelas tidak sesuai dengan perintah syariat ,
seperti membuka aurat atau sangat sempit dan yang lainnya.

Demikian pula dalam pernikahan , misalnya ketika di negri kita sebelum


menikah itu ada namanya seserahan dulu.
Maka yang seperti ini adalah tidak bertabrakan dengan syariat. Maka itu
diperbolehkan.

69
2. ‫ﺗﻌﺘﺒﺮ اﻟﻌﺎدة ِإذا اطﺮدت أو ﻏﻠﺒﺖ‬
Adat Istiadat itu dipakai kalau itu tersebar luas atau kebanyakan.

3. ‫اﻟﻌﺒﺮة ﺑﺎﻟﻐﺎﻟﺐ ﻟﺸﺎﺋﻊ ﻻ ﺑﺎﻟﻘﻠﯿﻞ اﻟﻨﺎدر‬


Yang dianggap dalam masalah adat istiadat itu yang tersebar, bukan
yang sedikit dan jarang.

Contoh;
Bahwa kebanyakan anak kecil dia belum bisa menggunakan uang,
walaupun ada satu atau dua tapi itu jarang. Demikian pula anak kecil
kebanyakan mumayyiz umur 7 tahun. Kalau ada yang mumayyiz umur 6
tahun atau 5 tahun itu jarang.

Demikian pula yang namanya wanita hamil rata-rata 9 bulan. Kalau ada
yang kemudian melahirkan misalnya pada 6 bulan , itu jarang terjadi.

Maka dihukumilah dengan sesuatu yang sifatnya sering terjadi, bukan


yang jarang terjadi.

Kalau misalnya suatu masyarakat terdapat sebuah kebiasaan atau adat


kebiasaan yang itu memang sudah tersebar dikalangan mereka. Maka
yang itulah yang dijadikan patokan, selama tidak bertabrakan dengan
syariat.

Namun terkadang perkara yang jarang dalam syariat islam itu lebih
diutamakan daripada yang sering terjadi.
Karena ada maslahat yang lebih besar misalnya, atau untuk memberikan
kemudahan misalnya, atau karena ada darurat misalnya, atau karena ada
kaidah-kaidah yang menunjukkan akan pembolehannya.

70
Sebuah contoh kata beliau;
Orang yang berjalan di jalan-jalan , itu tidak lepas dari yang namanya najis.
Namun diperbolehkan seseorang shalat dengan menggunakan khuf,
apabila dia tidak merasakan yakin terkena najis.
Padahal seringkali yang ada di jalan-jalan itu ada najis. Tapi yang sering
ini tidak dilihat untuk memberikan kemudahan.

Rasulullah ‫ ﷺ‬membolehkan ‫( ا َْﻟﻌََﺮاﯾَﺎ‬Al ‘Araya) yaitu;


Membeli kurma basah yang ada di pohon dengan kurma kering , untuk
memberikan kemudahan.

Padahal jenis ini termasuk jenis yang terlarang sebetulnya, karena


mengandung riba. Tapi karena untuk memberikan kemudahan bagi
orang yang sangat membutuhkannya maka Nabi ‫ ﷺ‬membolehkannya.

Boleh menggunakan bejana orang kafir , apabila belum jelas kenajisannya.


Padahal yang sering terjadi orang kafir itu tidak perduli dengan najis.

Boleh memakan sembelihan ahli kitab , padahal kebanyakan ahli kitab


terkadang mereka tidak perduli dengan masalah halal dan haram.

Itu semua dikecualikan oleh syariat karena memang untuk kemudahan


kepada kaum muslimin. Bahkan terkadang yang jarang terjadi maupun
yang banyak terjadipun tidak dipakai dalam syariat ketika ada hal yang
mengharuskannya.

Beliau memberikan contoh bahwa anak kecil ditolak persaksiannya


dalam masalah harta.
Walaupun si anak tersebut dia misalnya amanah untuk menjaga harta
atau dia paham, tapi para ulama mengatakan ditolak persaksiannya
karena syarat seorang saksi adalah dia harus sudah besar dan berakal.

71
4. ‫َﻻ ﯾُْﻨَﻜُﺮ ﺗ َﻐَﯿﱡُﺮ اﻷ َْﺣَﻜﺎُم ِﺑﺘ َﻐَﯿﱡِﺮ اﻷ َْزِﻣﻨَِﺔ َواﻷ َْﻣِﻜﻨَِﺔ َواﻷ َْﺣَﻮاِل‬
Tidak boleh diingkari perubahan hukum akibat berubahnya zaman,
tempat, dan keadaan.

Bahwa hukum-hukum Syariat itu ada yang berubah, disesuaikan dengan


illatnya dan ada yang tidak berubah.
Yang tidak berubah, mislanya;
• Seperti masalah-masalah ibadah
• Bagaimana tata cara sholat, waktunya.
• Demikian pula jumlah rakaatnya
• Demikian pula tata cara puasa,
• Zakat,
• Demikian pula Haji ke baitullah,
• Demikian pula yang berhubungan dengan masalah hukuman
had yang sudah ditetapkan oleh Syariat dan ditunjukkan oleh
dalil maka yang seperti ini tidak mungkin berubah.

Adapun yang berubah adalah;

Yaitu yang berhubungan dengan perkara yang tidak ada nashnya, dan itu
berhubungan dengan kebiasaan atau adat, suatu tempat dimana adat
tersebut menjadi illatnya, menjadi alasannya, maka tentu akan berubah
sesuai dengan keadaan dan tempat.

Oleh karena itu, Beliau mengatakan bahwa bunyi kaidah ini yang lebih
bagus, adalah;

‫َﻻ ﯾﻨﻜﺮ ﺗﻐﯿﺮ اﻷﺣﻜﺎم اﻟﻤﺒﻨﯿﺔ ﻋﻠﻰ اﻟﻤﺼﻠﺤﺔ واﻟﻌﺮف ﺑﺘﻐﯿﺮ اﻷزﻣﻨﺔ واﻷﻣﻜﻨﺔ واﻷﺣﻮال‬
‫واﻷﻋﺮاف واﻟﻌﻮاﺋﺪ‬
Tidak boleh diingkari perubahan hukum yang didasarkan kepada
maslahat dan adat kebiasaan karena akibat perubahan waktu, tempat,
keadaan, demikian pula perubahan adat istiadat.

72
Hal-hal menyebabkan perubahan hukum itu ada 3;

1. Rusaknya Akhlak

Contoh;
Di zaman Nabi ‫ ﷺ‬Nabi ‫ ﷺ‬melarang para sahabat untuk melarang wanita
pergi ke mesjid.
Nabi ‫ ﷺ‬bersabda;
‫ﻻ ﺗﻤﻨﻌﻮا إﻣﺎء ﷲ‬
Jangan kalian larang para wanita untuk pergi kemesjid.

Namun dizaman Umar radhiyallahu ‘anhu,


ketika melihat kerusakan yang terjadi, maka umar radhiyallahu ‘anhu,
melarangnya.

Aisyah Radhiyallahu anha berkata;


kalaulah Rasullullah ‫ ﷺ‬melihat bagaimana yang dilakukan oleh para
wanita dizaman sekarang tentu Nabi ‫ ﷺ‬akan melarang mereka.

Contoh lagi;
bolehnya mengunci mesjid di zaman sekarang karena banyaknya
pencurian.

2. Berubahnya zaman dan pikiran manusia

Contoh;
Karena berbedanya kemajuan zaman seperti misalnya; bentuk rumah
dizaman dahulu itu sama saja. Dari sisi luasnya dan yang lainnya.
Sedangkan dizaman sekarang rumah itu berbeda-beda bentuknya.

Kalau dizaman dahulu sebatas melihat sebagian saja sudah cukup.


Adapun dizaman sekarang harus melihat keseluruhannya.

73
3. Perbedaan keadaan

Contoh;
Yang berubah karena adanya keadaan sebuah hadits Nabi ‫ ﷺ‬Beliau
bersabda;
Siapa yang berqurban diantara kalian, maka tidak boleh setelah 3 hari
masih tersisa daging.

Kemudian ditahun depannya Para Sahabat bertanya Wahai Rasullullah ‫ﷺ‬


apakah kami melakukan seperti diwaktu tahun yang lalu?

Maka Nabi ‫ ﷺ‬bersabda;


Silakan kalian makan, minum, dan silakan disimpan lebih dari 3 hari,
karena ditahun kemarin itu;
‫ﻛﺎن ﺑﺎﻟﻨﺎس ﺟﮭﺪ‬
Manusia ditimpa kesusahan, aku ingin kalian membantu mereka.

Disini Nabi ‫ ﷺ‬mengubah hukum karena perbedaan keadaan.

5. ‫اﻟﻤﻌﺮوف ﻋﺮﻓﺎ ﻛﺎﻟﻤﺸﺮوط ﺷﺮطﺎ‬


Sesuatu yang ma'ruf menurut adat kebiasaan itu serta sama dengan yang
disyaratkan sebagaimana dalam syariat.

6. ‫اﻟﺘﻌﯿﯿﻦ ﺑﺎﻟﻌﺮف ﻛﺎﻟﺘﻌﯿﯿﻦ ﺑﺎﻟﻨﺺ‬


Menentukan dengan Urf sama dengan menentukan berdasarkan
dengan nash.

7. ‫اﻟﻤﻌﺮوف ﺑﯿﻦ اﻟﺘﺠﺎر ﻛﺎﻟﻤﺸﺮوط ﺑﯿﻨﮭﻢ‬


Yang Ma’ruf menurut kebiasaan para pedagang seakan-akan sama
dengan syarat diantara mereka.

74
Bahwa ini semua kaidah ini disyaratkan tidak bertabrakan dengan syariat
dan kaidah-kaidahnya.
Demikian pula syarat ini sesuatu yang memang telah menjadi kebiasaan
disebuah masyarakat.

Makna Kaidah ini, misalnya:

Terjadi jual beli, dan Dimasyarakat tersebut ada Sebuah kebiasaan.


Maka kebiasaan tersebut Menjadi patokan.

Contoh;

Kalau ada orang yang jual beli tanpa menyebutkan harga, namun
dimasyarakat tersebut sudah maklum.
Dan sudah diketahui harganya.
Maka yang sudah maklum tersebut dan menjadi kebiasaan dimasyarakat
itulah yang menjadi patokan.

Dan Kaidah ini adalah kaidah yang diikhtilafkan oleh Para Ulama

Apakah, kaidah ini bisa diamalkan atau tidak?

Namun yang Rojih yang shahih adalah Pendapat Jumhur.

Yaitu: pendapat Hanafiyah, Malikiyah, dan hanabilah, bahwa ini adalah


kaidah yang shahih

Sedangkan Syafi'iyah para ulamanya menjadi 2 pendapat;


1. Sebagian berpendapat sesuai pendapat jumhur
2. Dan sebagian lagi menganggap bahwa ini kaidah yang tidak bisa
diamalkan.

75
Contoh;

Seseorang mengupah seorang pembantu tanpa menentukan upahnya


berapa. Maka yang menjadi patokan adalah yang sudah terbiasa
dimasyarakat tersebut.
Kalau dimasyarakat tersebut kebiasaan gaji UMR nya 2,5 juta maka harus
sesuai dengan kebiasaannya.

Jika ada orang yang menyewa sebuah rumah, kemudian ia pun menyewa
tanpa ada kesepakatan berapa harganya, maka pada waktu itu
dikembalikan kepada kebiasaan yang ada.
berapa sewanya tersebut.

Demikian pula kalau seseorang membeli rumah secara kebiasaan,


biasanya pasti semua yang ada didalam rumah berupa dapur, demikian
pula ubinnya, atapnya, pasti itu semua termasuk yang dijual.

Kecuali kalau misalnya si penjual memberikan syarat diluar Urf diluar


kebiasaan. Dan dia mengatakan saya jual rumah ini, kecuali bagian yang
ini.
Maka yang seperti ini tentu pengecualian.

8. ‫اﻟﻜﺘﺎب ﻛﺎﻟﺨﻄﺎب‬
‫اﻹﺷﺎرة اﻟﻤﻌﮭﻮدة ﻣﻦ اﻷﺧﺮس ﻛﺎﻟﺒﯿﺎن ﺑﺎﻟﻠﺴﺎن‬
Tulisan itu sama dengan pembicaraan dan isyarat yang bisa dipahami
dari orang yang bisu, sama dengan penjelasan dengan lisan.

Pada asalnya mengungkapkan dengan lisan itulah yang menjadi patokan.

Namun terkadang seseorang tidak bisa mengungkapkan dengan lisannya,


maka ia ungkapkan dengan tulisan atau isyarat.
Maka yang seperti ini diterima atau dibolehkan.

76
Kata Ibnu Qoyyim ‫;رﺣﻤﮫ ﷲ‬
‫ﻓﻤﻦ ﻋﺮف ﻣﺮاد اﻟﻤﺘﻜﻠﻢ ﺑﺪﻟﯿﻞ ﻣﻦ اﻷدﻟﺔ وﺟﺐ اﺗﺒﺎع ﻣﺮاده‬
Siapa yang mengetahui maksud pembicaraan orang yang berbicara
dengan adanya bukti-bukti, maka wajib mengikuti keinginannya.

‫واﻷﻟﻔﺎظ ﻟﻢ ﺗﻘﺼﺪ ﻟﺬواﺗﮭﺎ‬


Karena lafadz itu bukanlah maksud tujuan, akan tetapi lafadz itu
hanyalah sebagai salah satu bukti saja untuk menunjukkan kepada apa
yang diinginkan oleh orang yang berbicara.

Maka apabila tampak apa yang diinginkan oleh dia dengan jalan yang lain.
Baik dengan isyarat atau tulisan ataupun bukti yang sifatnya akal , atau
bukti yang sifatnya keadaan atau kebiasaan. Maka pada waktu itu diterima.

Seperti halnya kita lihat dizaman sekarang banyak terjadi akad dengan
berdasarkan tulisan di faktur dan yang lainnya , sebagai penguatan.

Demikian pula orang bisu yang membeli atau menjual.


Dia jual belinya dengan isyarat yang dipahami.

9. ‫اﻟﻜﺘﺎب ﻛﺎﻟﺨﻄﺎب‬
Tulisan itu sama dengan pembicaraan.

Kata beliau tulisan ada 3 macam;

1. Tulisan yang tidak eksis dan tidak jelas seperti menulis di udara atau di
air. Maka yang seperti ini tidak dianggap.

2. Tulisan yang eksis , yang tertulis dikertas atau semacamnya. Maka yang
seperti ini yang dianggap.

77
3. Tulisan yang sifatnya surat menyurat sesuai dengan tentunya adat
kebiasaan manusia.

Dan batasannya adalah yaitu;


Yang menunjukkan kepada keridhoan dari kedua belah pihak dalam
masalah akad.

Kemudian kata beliau , bahwa yang dimaksud dengan tulisan disini dalam
kaidah tersebut adalah;

‫اﻟﺨﻄﺎب اﻟﺬي ﺗﻜﺘﺐ ﻓﯿﮫ ﻋﺒﺎرة اﻹﯾﺠﺎب واﻟﻘﺒﻮل‬


Khitob yang ditulis padanya ungkapan ijab dan qobul dari 2 orang yang
berakad.

Kemudian kata beliau apabila tulisan tersebut , 2 orang yang berakad itu
hadir ditempat akad. Kemudian yang satu menulis bahwa dia membeli
ini dan itu, lalu menyerahkan uang , kemudian yang satu menulis bahwa
dia menerima.
Maka ini diperbolehkan atas pendapat yang rojih dari pendapat para
fuqoha.

Adapun kalau kedua-duanya ghoib , lalu terjadi akad , surat menyurat.


Maka pada waktu itu boleh , dan diterima dengan sebatas tulisan dalam
masalah barang-barang yang memang boleh diperjual belikan kalau
dalam bentuk yang sifatnya tempo.

Adapun kalau misalnya sifatnya tidak boleh tempo , seperti emas dengan
emas atau perak dengan emas, dimana harus disitu ‫ ﯾَﺪًا ِﺑﯿٍَﺪ‬harus terjadi
akad langsung, tangan ke tangan.
Maka yang seperti ini surat menyurat yang apabila itu menyebabkan
akhirnya malah tempo pembayarannya. Maka seperti ini tidak boleh.

78
Dikecualikan oleh para ulama yaitu masalah akad nikah.
Akad Nikah tidak sah sebatas surat menyurat , sebatas menulis namun
harus diucapkan. Karena disyaratkan padanya 2 saksi. Dan saksi ini harus
melihat dan mendengar.

Akad jual beli yang memang diwajibkan padanya saksi yang si saksi itu
betul-betul melihatnya , mendengarnya. Maka yang seperti ini pun juga
sama.

Kesimpulan;
• Tulisan itu sama dengan ucapan didalam mengungkapkan jual beli.
• Demikian pula dalam talak dan yang lainnya kecuali padanya
sebagaimana kita sebutkan tadi, kecuali pernikahan. Maka tidak
boleh sebatas tulisan.

10. ‫اﻹﺷﺎرة اﻟﻤﻌﮭﻮدة ﻣﻦ اﻷﺧﺮس ﻛﺎﻟﺒﯿﺎن ﺑﺎﻟﻠﺴﺎن‬


Isyarat yang bisa dipahami dari orang yang bisu sama dengan
penjelasan dengan lisan.

Isyarat adalah; Gerakan yang menunjukkan kepada sebuah makna yang


diinginkan.
Dan isyarat ini dari orang yang bisu, sama dengan penjelasan dengan lisan.

Ini berdasarkan Al-Quran, Hadist dan Urf.

Adapun Al-Quran Allah ‫ ﷻ‬menyebutkan dalam surat Ali-Imran: 41


‫س ﺛ َ ٰﻠَﺜ َﺔَ أ َﯾﱠﺎٍم ِإﱠﻻ َرْﻣًﺰا‬
َ ‫ب ٱْﺟﻌَﻞ ِﻟّٓﻰ َءاﯾَﺔً ۖ◌ ﻗَﺎَل َءاﯾَﺘ َُﻚ أ َﱠﻻ ﺗ َُﻜ ِﻠَّﻢ ٱﻟﻨﱠﺎ‬
ِ ّ ‫ۗ◌ ﻗَﺎَل َر‬
Dia (Zakaria) berkata, “Ya Tuhanku, berilah aku suatu tanda.” Allah
berfirman, “Tanda bagimu, adalah bahwa engkau tidak berbicara dengan
manusia selama tiga hari, kecuali dengan isyarat. Dan sebutlah (nama)
Tuhanmu banyak-banyak, dan bertasbihlah (memuji-Nya) pada waktu
petang dan pagi hari.”

79
Adapun dari sunnah diantaranya hadist riwayat Abu Dawud Hadist dari
Ibnu Umar ‫ رﺿﻲ ﷲ ﻋﻨﮫ‬bahwa Nabi ‫ ﷺ‬bersabda
‫ﺸْﮭُﺮ َھَﻜﺬَا وَھَﻜﺬَا‬
‫ اﻟ ﱠ‬،‫ﺐ‬ ُ ُ ‫ ﻻ ﻧَْﻜﺘ‬،ٌ‫إﻧﱠﺎ أ ُﱠﻣﺔٌ أ ُِّﻣﯿﱠﺔ‬.
ُ ‫ﺐ وَﻻ ﻧَْﺤ‬
ُ ‫ﺴ‬
Sesungguhnya kami ini umat yang tidak bisa membaca dan menulis dan
tidak pula bisa menghitung. Bulan itu segini, segini, segini, sambil
berisyarat dengan jari-jarinya, yaitu 29 dan 30.

Al Khatabi berkata:
Hadist ini menunjukkan bahwa isyarat itu sama dengan menjelaskan
dengan lisan.

Adapun dalil secara Urf.

Karena secara Urf kebiasaan bahwa gerakan yang bisa dipahami dari
orang yang bisu, bisa kedudukannya sama dengan penjelasan dengan
lisan, demikian pula secara akal.

Syarat diterimanya isyarat ada 2 macam:

1. Yang bersifat umum


Dan syarat yang bersifat umum ini ada 2:
• Tegas, gamblang dan tidak membutuhkan niat, hal tsb yang
langsung bisa dipahami oleh setiap orang.
• Kiasan yang membutuhkan kepada niat, maka ini hanya orang-
orang yang cerdas yang bisa memahaminya.

2. Adapun syarat yang bersifat khusus.


Maka ini berbeda, berbeda-beda sesuai dengan tabiat dari ungkapannya.
Apabila isyarat itu tentang ungkapan yang berhubungan dengan akad,
seperti dalam akad nikah, maka harus jelas ungkapan tersebut, dan
dipahami oleh 2 saksi.
Dan ini adalah merupakan syarat daripada diterimanya isyarat.

80
Kaidah 4
ِ َ‫ﺿَﺮَر َوﻻ‬
‫ﺿَﺮاَر‬ َ َ‫ﻻ‬
Tidak boleh melakukan mudharat, dan tidak
boleh membalas mudharat dengan mudharat.

Allah ‫ ﷻ‬berfirman dalam Qs Al-Baqarah: 231


‫ﺿَﺮاًرا ِﻟّﺘ َْﻌﺘ َﺪُو۟ا‬
ِ ‫ۚ◌ َوَﻻ ﺗ ُْﻤِﺴُﻜﻮُھﱠﻦ‬
Janganlah kalian menahan mereka para wanita itu karena untuk
memberikan mudharat.

Qs. Al-Baqarah: 233


‫ﻀﺎ ٓﱠر َٰوِﻟﺪَ ۢة ٌ ِﺑَﻮﻟَِﺪَھﺎ‬
َ ُ ‫َﻻ ﺗ‬
Tidak boleh seorang ibu memberikan mudharat kepada anaknya.

Qs Al- Baqarah: 231


َ ‫ف أ َْو‬
‫ﺳِّﺮُﺣﻮُھﱠﻦ‬ َ ّ‫طﻠﱠْﻘﺘ ُُﻢ ٱﻟ ِﻨ‬
ٍ ‫ﺴﺎ َٓء ﻓَﺒَﻠَْﻐَﻦ أ ََﺟﻠَُﮭﱠﻦ ﻓَﺄ َْﻣِﺴُﻜﻮُھﱠﻦ ِﺑَﻤْﻌُﺮو‬ َ ‫َوِإذَا‬
‫ف‬ ۚ
ٍ ‫◌ ِﺑَﻤْﻌُﺮو‬
Apabila kalian mentalak istri-istri kalian dan telah sampai kepada batasan
waktunya, silakan kalian tahan mereka dengan cara yang ma'ruf atau talak
mereka dengan cara yang ma'ruf. Dan jangan kalian menahan mereka
karena untuk memberikan mudharat kepada mereka.

Kaidah ini masuk dalam banyak sekali dalam perkara bab Fiqh;
Þ Dalam masalah jual beli;
Apabila pembeli mendapatkan aib maka boleh mengembalikannya.
Þ Demikian pula adanya khiyar:
o Seperti khiyar majlis.
o khiyar aib
o Atau khiyar Ghobn
o Dan yang lainnya, dalam jual beli.

81
Þ Demikian pula adanya Hijr atau hajr yaitu:
Þ Dibatasi pengunaan uang bagi mereka yang berhutang atau yang
sejenisnya, untuk supaya menjaga harta orang lain.
Þ Diantaranya adanya Qishas
Þ Demikian pula adanya penegakan hukuman hadd, Baik hadd berupa
potong tangan, ataupun rajam, dan yang lainnya.
Þ Demikian pula wajibnya membayar kaffarah.
Þ Demikian pula wajibnya ganti bagi orang yang merusak.
Þ Demikian pula diadakannya para pemimpin dan dipilihnya para
Qadhi.
Þ Demikian pula bolehnya membatalkan nikah karena adanya aib.
Itu semua untuk mencegah mudharat.

Cabang kaidah ‫ﻻ ﺿﺮر وﻻﺿﺮار‬

1. ‫اﻟﻀﺮر ﯾﺪﻓﻊ ﺑﻘﺪر اﻹﻣﻜﺎن‬


Mudharat itu ditolak dengan sesuai kemampuan.

Kaidah ini menunjukkan wajibnya menolak mudharat sebelum


terjadinya , dengan semua wasilah dan kemungkinan yang bisa dilakukan.

Dalil daripada kaidah ini , yaitu;


Perbuatan para khulafaur rasyidin. Dimana mereka menutup semua
pintu-pintu yang bisa menjerumuskan kepada keburukan. Demikian
yang Rasulullah ‫ ﷺ‬lakukan, menutup segala macam pintu yang menutup
kepada keburukan.

82
Contohnya adalah kata beliau yaitu;

Kaidah ‫ﺳﺪاﻟﺬر اﺋﻊ‬, Menutup semua pintu yang bisa menjerumuskan


kepada keburukan, seperti;
• Segala sesuatu yang bisa menjerumuskan kepada zina , maka itu
ditutup.
• Semua yang bisa menjerumuskan kepada syirik, maka itu wajib
ditutup.
• Semua yang menjerumuskan kepada riba wajib ditutup.

Kalau ada orang yang punya hutang namun ia tidak bisa bayar. Maka
seorang Qadhi boleh mencegah ia untuk safar, sampai dia membayar
hutangnya.

Kalau seorang ayah tidak mau memberikan nafkah kepada anaknya yang
lemah.
Maka Qadhi boleh untuk memenjarakan si ayah sampai dia mau
memberikan nafkah.

Disyariatkannya jihad, untuk mencegah keburukan musuh yang akan


menghancurkan islam dan kaum muslimin.

Jika adanya kelompok bersenjata yang berbuat kekacauan dan


membunuh orang. Maka pemerintah kaum muslimin boleh untuk
memberantas mereka.

Semua itu adalah untuk menolak kemudharatan yang akan terjadi lebih
besar.

83
2. ‫ أو ﺑﺎﻟﻀﺮر‬، ‫اﻟﻀﺮر ﻻ ﯾﺰال ﺑﻤﺜﻠﮫ‬
Mudharat tidak boleh dihilangkan dengan mudharat lagi yang seimbang
dengannya.

Ini kaidah yang penting kita pahami. Dimana sebuah perkara yang
sifatnya mudharat tidak boleh dibalas atau dihilangkan dengan mudharat
yang seimbang. Apalagi dengan mudharat yang lebih besar.
Maka Itu hukumnya haram.
Yang boleh itu adalah kalau ternyata mudharatnya lebih kecil atau
bahkan tidak ada.

Contoh;
Tidak boleh seseorang yang dipaksa untuk membunuh orang lain. Lalu
dengan alasan karena dipaksa mau ditembak, mau dibunuh lalu diapun
bunuh orang lain. Maka ini tidak boleh.
Karena yang namanya menolak mudharat dengan mudharat yang sama.

Orang yang sangat butuh dan sangat lapar sekali, tidak diperbolehkan
mengambil harta milik orang yang sama-sama laparnya sama dengan dia.
Kerena seimbang. Mudharatnya sama.

Demikian pula ketika anak kita misalnya dipukul orang, maka tidak boleh
kita membalas dengan memukul anak orang tersebut.
Karena ini namanya membalas mudharat dengan yang sama.

Namun dikecualikan tentunya, ketika kita didzolimi maka boleh


membalas dengan yang sama.
Allah ‫ ﷻ‬berfirman pada surah Asy-Syura: 40;
‫ﺔ ِّﻣۡﺜﻠَُﮭﺎ‬َٞ ‫ﺳ ِﯿّﺌ‬ ٓ
َ ْ‫ۖ◌ َوَﺟَٰﺰُؤا‬
َ ‫ﺳ ِﯿّﺌ ٍَﺔ‬
Dan balasan terhadap keburukan adalah keburukan yang sama.
Namun untuk sama ini sulit sekali. Maka Allah ‫ ﷻ‬mengatakan;
ِ§‫ﺻﻠََﺢ ﻓَﺄ َۡﺟُﺮ ۥهُ َﻋﻠَﻰ ٱﱠ‬ ۡ َ ‫ۚ◌ ﻓََﻤۡﻦ َﻋﻔَﺎ َوأ‬
Siapa yang memaafkan dan berbuat islah maka pahalanya atas Allah.

84
3. ‫درء اﻟﻤﻔﺎﺳﺪ ﻣﻘﺪم ﻋﻠﻰ ﺟﻠﺐ اﻟﻤﺼﺎﻟﺢ‬
Menghindari mafsadat lebih dahulukan daripada mendatangkan
maslahat

Apabila bertabrakan antara mafsadat dan maslahat dan maslahatnya


lebih kecil dibandingkan dengan mafsadatnya maka pada waktu itu kita
lebih menghindari mafsadat.

Firman Allah ‫ ﷻ‬Qs. Al-Baqarah: 219


‫ۗ◌ ﯾَْﺴـ¶ﻠُﻮﻧََﻚ َﻋِﻦ ٱْﻟَﺨْﻤِﺮ َوٱْﻟَﻤْﯿِﺴِﺮ ۖ◌ ﻗُْﻞ ِﻓﯿِﮭَﻤﺎ ٓ ِإﺛٌْﻢ َﻛِﺒﯿٌﺮ َوَﻣ ٰﻨَِﻔُﻊ ِﻟﻠﻨﱠﺎِس َوِإﺛُْﻤُﮭَﻤﺎ ٓ أ َْﻛﺒَُﺮ ِﻣﻦ ﻧﱠْﻔِﻌِﮭَﻤﺎ‬
Mereka bertanya kepadamu tentang arak dan judi, katakanlah pada
keduanya terdapat dosa besar dan manfaat-manfaat untuk manusia dan
dosanya lebih besar daripada manfaatnya, maka Allahpun melarang dan
mengharamkannya.

Demikian pula Nabi ‫ ﷺ‬ketika fathul makkah dan kota makkah telah
dikuasai. Nabi ‫ ﷺ‬tidak membangun ka'bah sesuai dengan bangunan
Ismail padahal Nabi ‫ ﷺ‬mampu.
Kenapa?
Karena takut menimbulkan mudhorot, nantinya orang-orang Quraisy
akan kembali murtad atau yang lainnya. yang menyebabkan mafsadat
yang lebih besar.

◾ Maka setiap mafsadat yang lebih besar dibandingkan dengan


maslahatnya maka kita tinggalkan maslahatnya demi untuk menghindari
mafsadat yang lebih besar.

◾ Namun kalau ternyata maslahat lebih besar daripada mudharatnya,


maka pada waktu itu tetap kita lakukan, walaupun disitu ada
mudharatnya namun mudharatnya lebih kecil dibandingkan dengan
maslahatnya.

85
Sebuah contoh misalnya:
Maslahat membantah kesesatan.
Ketika kita membantah kesesatan tentu akan menimbulkan mudharat.
Yaitu: orang akan menjadi pecah belah.
Namun dengan membantah maslahatnya jauh lebih besar.
Yaitu: orang menjadi paham mana yang haq dan mana yang batil.
Dan kebatilan itu semakin sirna dan tersebarnya kebatilan tentu lebih
berat mudharatnya.
Dibandingkan dengan mudharat terjadinya perselisihan akibat
membantah tersebut.

◾ Jadi ini adalah merupakan kaidah yang tentunya sangat berhubungan


dengan kehidupan kita sehari-hari.

Contoh;
Misalnya orang yang terkena air kencingnya yang terus-menerus keluar.
Maka dalam keadaan seperti ini ia boleh tetap sholat untuk kemaslahatan
yang lebih besar, yaitu untuk menjaga sholat.
Walaupun disitu ada mudharatnya yaitu keluarnya najis.

4. ‫اﻟﻀﺮر اﻷﺷﺪ ﯾﺰال ﺑﺎﻟﻀﺮر اﻷﺧﻒ‬


Mudharat yang lebih berat yang lebih besar dihilangkan dengan
mudharat yang lebih kecil
.

Apabila dua Mafsadat ada dua mudharat bertemu, maka pilih mudharat
yang lebih kecil. Dan tinggalkan mudharat yang lebih besar.

Firman Allah ‫ ﷻ‬Qs. Al-Baqarah: 217


‫ﺳِﺒﯿِﻞ ٱﱠ§ِ َوُﻛْﻔٌۢﺮ ِﺑ ِۦﮫ‬
َ ‫ﺻﺪﱞ َﻋﻦ‬ َ ‫ﺸْﮭِﺮ ٱْﻟَﺤَﺮاِم ِﻗﺘ َﺎٍل ِﻓﯿِﮫ ۖ◌ ﻗُْﻞ ِﻗﺘ َﺎٌل ِﻓﯿِﮫ َﻛِﺒﯿٌﺮ ۖ◌ َو‬
‫ﯾَْﺴـ¶ﻠُﻮﻧََﻚ َﻋِﻦ ٱﻟ ﱠ‬
ِ§‫ۚ◌ َوٱْﻟَﻤْﺴِﺠِﺪ ٱْﻟَﺤَﺮاِم َوِإْﺧَﺮاُج أ َْھِﻠ ِۦﮫ ِﻣْﻨﮫُ أ َْﻛﺒَُﺮ ِﻋﻨﺪَ ٱﱠ‬

86
Mereka bertanya kepadamu tentang bulan-bulan haram hukum
berperang padanya. Katakanlah berperang dibulan-bulan haram itu berat,
namun menghalang-halangi manusia dari jalan Allah, kafir kepada Allah,
dan menghalang-halangi manusia dari Masjidil haram, dan mengusir
penduduknya yang bertaqwa dari masjidil haram, itu lebih berat lagi disisi
Allah

Disini Allah ‫ ﷻ‬mengatakan bahwasanya mafsadat atau mudharat


kekufuran dan menghalang-halangi manusia dari jalan Allah itu lebih
besar, dibandingkan berperang dibulan-bulan haram.

Demikian pula Hadist:


Bahwasanya ada orang arab baduy masuk kemesjid dan kencing dimesjid,
maka orang-orang hendak menahannya, maka Rasullullah ‫ ﷺ‬bersabda
kepada para sahabat 'biarkan dia sampai selesai dulu kencingnya'
Kemudian setelah selesai kencing Rasullullah ‫ ﷺ‬menyuruh untuk
mengambil seember air untuk kemudian diguyurkan dikencingnya.

Dan ini menunjukkan akan kaidah ini, dimana jika Nabi ‫ ﷺ‬membiarkan
para sahabat menghentikan orang arab baduy, mudharatnya lebih besar,
sebab air kencingnya kemana-mana.
Maka Nabi ‫ ﷺ‬mengambil mudharat yang lebih kecil dan meninggalkan
mudharat yang lebih besar.

Adapun contoh-contoh didalam kehidupan kita:


® Boleh kita tidak mengingkari kemungkaran jika dikhawatirkan akan
muncul kemungkaran yang lebih besar.
® Demikian pula dilarangnya memberontak kepada pemimpin yang
dzolim, karena memberontak kepada pemimpin yang dzolim
mudharatnya jauh lebih besar dibandingkan dengan ke dzoliman si
pemimpin tersebut.

87
® Demikian pula membantah kesesatan itu jauh lebih besar, mudharat
tersebarnya kesesatan dibandingkan munculnya perselisihan akibat
membantah kesesatan tersebut.
® Demikian pula ditegakkannya hukuman had seperti potong tangan,
itu mudharat buat sipencuri, tapi mencurinya dia lebih besar
mudharatnya dibandingkan dipotong tangannya.

5. ‫ﯾﺘﺤﻤﻞ اﺿﺮر اﻟﺨﺎص ﻟﺪﻓﻊ ﺿﺮر ﻋﺎم‬


Agar tidak terjadi mudharat umum maka di korbankan mudharat yang
bersifat khusus.

Contoh;
Kalau ada seorang Dokter yang bodoh, maka ia di cegah dan tidak boleh
praktek karena akan menimbulkan mudharat yang umum.

Demikian pula bolehnya menentukan harga apabila terjadi persaingan


yang tidak sehat sehingga akhirnya menimbulkan mudharat yang bersifat
umum.

Ketika orang-orang kafir menamengi diri dengan tawanan kaum


muslimin, maka kaum muslimin terpaksa membombardir mereka semua ,
karena itu mudharatnya khusus. Dibandingkan kalau misalnya tidak
demikian, berakibat akhirnya kalahnya kaum muslimin dan kuatnya
orang-orang kafirin.

Adanya pedagang kaki lima yang membuat kemacetan di jalan.


Sehingga akhirnya mudharatnya umum. Maka tidak mengapa pedagang-
pedagang kaki lima ini di bereskan untuk menghindari mudharat yang
lebih umum.

‫🌼 ﱣ‬
‫ أﻋﻠﻢ‬W
𝐀𝐋 𝐅𝐀𝐖𝐀𝐈𝐃 𝐀𝐋 𝐈𝐋𝐌𝐈𝐘𝐘𝐀𝐇

88

Anda mungkin juga menyukai