Anda di halaman 1dari 3

Nama: Widia Devirista Dewi

NIM: 19230050
Kelas: HTN B

ِ ‫أَأْل ُ ُم ْو ُر ِب َمقَا‬
Resume Kaidah ‫ص ِدهَا‬

ِ ‫( األُ ُمو ُر ِب َمقَا‬Segala Sesuatu tergantung kepada Tujuannya)


1. ‫ص ِدهَا‬

ِ َ‫ األُ ُم''و ُر بِ َمق‬merupakan kaidah yang pertama dalam pembahasan qawa’id


Kaidah ‫اص'' ِدهَا‬
fiqhiyyah. Di dalam kaidah pertama ini dijelaskan beragam hal yang berkaitan dengan niat,
baik tentang hakikat niat, status niat, tempat niat, waktu niat, hal-hal yang membatalkan niat,
tata cara berniat, syarat-syarat niat, dan tujuan pelaksanaannya. Dasar kaidah dari Al-Qur’an
Surat Al-Bayyinah ayat 5 :
‫ص ٰلوةَ َويُ ۡؤتُوا ال َّز ٰكو ‌ةَ َو ٰذلِ َك ِد ۡينُ ۡالقَيِّ َم ِة‬ ‫هّٰللا‬
ِ ِ‫َو َم ۤا اُ ِم ُر ۡۤوا اِاَّل لِيَ ۡعبُدُوا َ ُم ۡخل‬
َّ ‫ص ۡينَ لَـهُ الد ِّۡينَ ۙ ُحنَفَٓا َء َويُقِ ۡي ُموا ال‬
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan
ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya mereka
mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus”.1
Kata Al-din dalam bahasa Arab, secara umum biasa diartikan sebagai agama. Namun
dalam konteks ayat di atas, al-Qurthubi menafsirinya sebagai ibadah. Dengan penafsiran ini,
beliau menjelaskan bahwa ikhlas yang termuat dalam kata mukhlishin, adalah perbuatan hati
yang hanya dilakukan dalam rangka beribadah. Ikhlas sendiri adalah pekerjaan hati yang
hanya bisa terwujud melalui perantara niat. Karena itu, jelaslah bahwa ada keterkaitan yang
tak bisa dipisahkan antara ibadah dan niat. Berniat merupakan hal yang wajib, seperti
diwajibkannya ikhlas dalam beribadah. Keduanya laksana dua sisi mata uang yang tak dapat
ِ ‫األُ ُم=و ُر بِ َمقَا‬.2 Dasar kaidah dari Hadits
dipisahkan. Sehingga dari sinilah terbangun kaidah ‫ص= ِدهَا‬
Rasulullah SAW. (Hadis riwayat Muslim dari Umar bin Khattab r.a. Rasulullah bersabda):

ِ ‫اِنَّ َما اأْل َ ْع َما ُل ِبالنِّيَـا‬


ٍ ‫ َوإِنَّـ َما لِ ُك ٍّل ا ْم ِر‬،‫ت‬
‫ئ َمـا نَ َوى‬
“Sesungguhnya setiap perbuatan itu tergantung pada niatnya; dan sesungguhnya setiap orang
akan meraih apa yang dia niatkan”.3
Ayat al-Qur’an di atas sebagai dasar dibentuknya kaidah dan telah diperkuat oleh hadist
Rasulullah SAW. yaitu bahwa tujuan, atau niat dari amal perbuatan harus dikerjakan dengan
ikhlas karena Allah. Dengan demikian, maka setiap urusan tergantung pada tujuan atau niat
orang yang melaksanakannya. Kalau niat karena Allah atau untuk ibadah, maka akan
memperoleh pahala dan keridhaan Allah. Sebaliknya jika niatnya untuk mengerjakan suatu
perbuatan hanya karena terpaksa, atau karena riya’, maka ia tidak mendapat pahala.
Demikian pula, jika seseorang mengerjakan suatu perbuatan tanpa niat terutama dalam
masalah ibadah, maka ibadahnya tidak sah. Imam Syafi’i dan Ahmad berkata : “Hadis
tentang niat ini mencakup sepertiga ilmu.” Begitu pula kata al-Baihaqi, karena ibadah
1
Abdul Haq dkk., Formulasi Nalar Fiqh Telaah Kaidah Fiqh Konseptual Buku Kesatu, (Surabaya: Khalista dan
Kaki Lima Lirboyo, 2017), h. 90.
2
Abdul Haq dkk., Formulasi Nalar Fiqh Telaah Kaidah Fiqh Konseptual Buku Kesatu, h. 91.
3
Darmawan, Kaidah-Kaidah Fiqhiyyah, (Surabaya: Revka Prima Media, 2020), h. 7.
seseorang adalah harus terdiri dari 3 unsur yaitu: Bi qolbihi (dengan hatinya), Bi Lisanihi
(dengan lisannya), Bi Jawarihihi (dengan anggota tubuhnya).4 Contohnya:
a. Dalam perkara kriminal membunuh, niat merupakan penentu sekaligus titik yang
membedakan jenis pembunuhan. Apakah pembunuhan yang dilakukan termasuk kategori
membunuh karena disengaja dan ada niatan (qatl al-amad) ataukah dilakukan secara tidak
sengaja dan tanpa ada niatan (qatl bi ghair al-amad), rujukan menentukan hukumnya bisa
dilihat dari niat sang pelaku.
b. Ketika seseorang berniat dalam makan dan minum itu untuk menguatkan dalam beribadah,
maka ia akan mendapatkan pahala, jika tidak diniati maka ia tidak akan mendapatkan
pahala.
Termasuk dalam lingkup kaidah ini ialah:

ُ َ‫ص ْياًل اِ َذا َعيَّنَهُ َوأَ ْخطَأْ لَ ْم ي‬


1. ‫ض َّر‬ ِ ‫شتَ َرطُ تَ ْعيِ ْينُهُ تَ ْف‬
ْ ُ‫ض لَهُ ُج ْملَةً َواَل ي‬
ُ ‫شتَ َرطُ التَّ َع ُّر‬
ْ ُ‫ماَاَل ي‬
“Sesuatu yang tidak disyaratkan menjelaskan secara global maupun terperinci, apabila
ditentukan dan keliru maka tidak membahayakan (membatalkan)”
Sesuatu yang tidak wajib ditentukan dalam pelaksanaan ibadah tertentu, baik secara
umum maupun terperinci, hal itu tidak dapat membatalkan ibadah tersebut meski orang
yang melakukannya keliru dalam menentukan niat. Misalnya, keliru dalam menentukan
waktu dan tempat shalat, menentukan hari puasa, menentukan antara ada’ dan qadha’, dan
sebagainya. Semua itu tidak wajib ditentukan dalam niat, dan tidak sampai membatalkan
ibadah seseorang meskipun ternyata ia keliru dalam menentukannya5 Contohnya:
a. Seseorang imam yang shalat dan meniatkan bahwa makmumnya adalah Hasan,
padahal yang menjadi makmumnya adalah Husen, maka shalatnya tetap sah.
Sebab meniatkan siapa yang menjadi makmumnya itu tidaklah disyaratkan.
2. ‫ض فَا ْل َخطَأ ُ فِ ْي ِه ُم ْب ِط ٌل‬ُ ‫شت ََرطُ ِف ْي ِه التَّ َع ُّر‬
ْ ُ‫َو َما ي‬
“Sesuatu yang disyari’atkan penjelasannya, maka kesalahannya membatalkan perbuatan
tersebut”
Bentuk ibadah seperti shalat, puasa, zakat, dan haji disyaratkan harus ditentukan
niatnya oleh orang yang hendak mengerjakannya. Sebab, masing-masing ibadah tersebut
memiliki jenis yang beragam. Misalnya, dalam ibadah shalat terdapat yang wajib dan yang
sunah. Demikian juga dalam ibadah puasa, zakat, haji, dan sejenisnya. Jika penentuan
bentuk dan jenis masing-masing ibadah tersebut keliru, maka ibadah yang dilakukannya
menjadi batal.6 Contohnya:
a. Seseorang berniat untuk mengerjakan puasa sunah, padahal yang dikerjakan adalah
puasa wajib, maka puasa yang dikerjakannya tidak sah.
b. Anwar berniat mengerjakan shalat Isya, sementara yang dikerjakan shalat Ashar, maka
shalat asharnya menjadi tidak sah.
َ ‫ع َّي َن ُه َوأَ ْخ َطأ‬
3. ‫ض َّر‬ ْ ‫ض لَ ُه ُج ْملَ ًة َواَل ُي‬
َ ‫ش َت َر ُط َت ْع ِي ْي ُن ُه َت ْفصِ ْياًل إِ َذا‬ ُ ‫ب ال َّت َع ُّر‬
ُ ‫َو َما َي ِج‬

4
Fathurraman Azhari, Qawaid Fiqhiyyah Muamalah, (Banjarmasin: LPKU Banjarmasin, 2015), h. 50-51.
5
M. Yahya Chusnan, Ats-Tsamarot Al-Mardliyyah Ulasan Nadhom Qowaid Fiqhiyyah al-Faroid Al-Bahiyyah,
(Jombang: Pustaka Al-Muhibbin, 2017), h. 30-31.
6
Muhammad Karim, Skripsi: “Kedudukan Niat Dalam Ibadah (Study Komperatif Antara Jalaluddin Al-Suyuthi
ِ َ‫”)األُ ُمو ُر ِب َمق‬, (Riau: UIN SUSKA, 2014), h. 34.
Dan Ibnu Nujaim Analisis Terhadap kaidah ‫اص ِدهَا‬
“Sesuatu yang harus disebutkan secara global dan tidak disyaratkan disebutkan secara
terperinci, apabila penyebutan tersebut keliru, maka dapat membatalkan ibadah yang
dilakukan”.
Setiap ibadah yang wajib disebutkan secara global dan tidak harus disebutkan secara
terperinci akan menjadi batal jika keliru dalam menentukannya. Seperti dalam menentukan
jumlah raka’at sholat, berniat untuk bermakmum, atau mengqadha’ sholat yang pernah
dilalaikan pada hari tertentu. Penentuan semua itu tidak wajib dilakukan, tetapi jika
penentuannya keliru, maka semua menjadi batal.7 Contohnya:
a. Farid mengerjkan shalat dhuhur, tetapi dalam niatnya ia menyebutkan lima raka’at.
maka, shalat dhuhur Farid menjadi batal.
b. Amir berniat untuk mengqadha shalat dhuhur yang ditinggalkan pada hari senin,
padahal shalat dhuhur yang ditinggalkannya adalah pada hari selasa. Niat qada Amir
tersebut menjadi tidak sah, dan kewajiban untuk mengqadha shalat dhuhur yang
ditinggalkan pada hari selasa tersebut belum gugur.
4. ‫اص‬ َ َ‫ص اللَ ْفظ‬
َّ ‫الخ‬ ِّ ‫النِّيَّةُ فِى اليَ ِم ْي ِن ت َُخ‬
ُ ‫ص‬
“Niat di dalam sumpah mengkhususkan (yang diucapkan) dengan kata-kata yang
umum,dan tidak bisa mengumumkan kata-kata yang khusus”
Niat yang harus ada didalam masalah yamin (sumpah) itu, harus dilakukan dengan
cara menghususkannya terhadap keumuman ucapan atau lafazhnya, bukan
mengumumkannya terhadap kekhususan ucapan atau lafazhnya, sebab seseorang bisa saja
menggunakan berbagai ungkapan umum atau ungkapan khusus dalam bersumpah. Hanya
saja karena masalah sumpah ini termasuk salah satu kasus yang bersifat spekulatif, maka
syari'at Islam memberikan aturan main khusus didalamnya. Maksud dari istilah ungkapan
umum dalam kasus ini adalah ucapan atau kata-kata yang bisa mencakup semua arti yang
terkandung didalamnya tanpa ada batas yang mengikutinya, misalnya kata al-rijal yang
artinya laki-laki, sedang yang dimaksuad dengan ungkapan khusus adalah kata yang
menunjukkan arti tunggal.8 Contohnya:
a. Mengkhususkan pada keumuman ucapan, yaitu : ucapan atau lafazhnya "demi Allah
aku tidak akan berbicara dengan seorangpun", tapi niatnya “demi Allah, aku tidak akan
berbicara dengan orang yang bernama Zaid” maka pernyataan tersebut, tidak dianggap
melanggar pada sumpah, sebab sifat dari ucapan atau lafazh yang terucapkan masih
umum.
b. Mengumumkan pada kekhususan ucapan, yaitu: ucapan atau lafazhnya “demi Allah aku
tidak akan minum minumannya Zaid”, tapi niatnya “demi Allah, aku tidak akan
meminum minuman seseorang”. Kemudian ia meminum minumannya Zaid, maka ia
sudah dianggap melanggar sumpah, sebab yang diucapkan itu bersifat khusus. Akan
tetapi jika yang diminum, itu airnya Umar misalnya, maka ia tidak melanggar
sumpahnya.

7
Muhammad Karim, Skripsi: “Kedudukan Niat Dalam Ibadah (Study Komperatif Antara Jalaluddin Al-Suyuthi
ِ َ‫”)األُ ُمو ُر ِب َمق‬, h. 35.
Dan Ibnu Nujaim Analisis Terhadap kaidah ‫اص ِدهَا‬
8
Abdul Haq dkk., Formulasi Nalar Fiqh Telaah Kaidah Fiqh Konseptual Buku Kesatu, h. 129.

Anda mungkin juga menyukai