Anda di halaman 1dari 85

QOWAIDUL FIQHIYAH

QOWAIDUL FIQHIYAH

* Seseorang tidak akan bisa menetapkan


hukum terhadap suatu problem dengan
baik, apabila dia tidak mengetahui kaidah-
kaidah fikhiyah.
MANFAAT
QOWAIDUL FIQHIYAH
1. Mudah menguasai bermacam
produk fikih karena sudah
diklasifikasi dalam satu kaidah
2. Memudahkan untuk
menemukan ilat qiyas
CONTOH PENERAPAN
QOWAIDUL FIQHIYAH
LIMA KAIDAH POKOK FIKIH INDUK /
QOWAIDUL KHOMSAH
Segala sesuatu bergantung pada maksudnya

Keyakinan tidak bisa dihilangkan dengan


keragu-raguan
Kesulitan mendatangkan kemudahan

Setiap bahaya harus dihilangkan

Kebiasaan bisa menjadi hukum


URGENSI KAIDAH
☼ Merupakan representasi dari hadits yang
dianggap sebagai sepertiga ilmu
☼ Niat adalah perbuatan hati
☼ Amal ibadah melibatkan tiga aspek, yaitu hati,
lisan dan perbuatan
APA PENTINGNYA NIAT
DAHULU BARU
BERAMAL ?

Untuk Membedakan
Antara
Antara Antara
ibadah
ibadah perbuatan
satu
dan wajib dan
dengan
kebiasaan sunnah
yang lain
Dari kaidah mayor (pokok)

dapat disarikan menjadi 5 kaidah minor (cabang)


sebagaimana perincian berikut:
KAIDAH TURUNAN KE-1

‫ثواب إالَّ باِلنِّيَّا ِة‬


َ َ‫ال‬
Tidak ada pahala kecuali dengan niat
Maksudnya, selama perbuatan itu tidak dianggap buruk, jika tidak
dengan niat, maka amal itu tidak akan memperoleh pahala. Oleh
karena itu, niat dalam perbuatan wudhu, ulama Syafi'iyyah dan
Malikiyyah menganggap niat itu fardhu, Ulama Hanabilah
menganggapnya sebagai syarat sah wudhu. Ulama Hanafiyyah
menetapkan sebagai sunnat muakkad.
KAIDAH TURUNAN KE-2

‫ِإًل‬ ‫ي‬
ْ ‫ص‬
ِ ْ
‫ف‬ َ ‫ت‬ ‫و‬
َ ٌ ‫ة‬َ ‫ل‬‫م‬ْ ‫ج‬
ُ ُ ‫ه‬َ ‫ل‬ ‫ض‬
ُ ‫ر‬
ُ ‫ع‬
َ َّ ‫ت‬‫ل‬َ ‫ا‬ ُ ْ َ‫َما اَل َ ي‬
‫شتَ ِرط‬
‫ا َذا َع ْينَهُ َو َأ ْخطَأ‬
Suatu amal yang tidak disyaratkan untuk dijelaskan, baik
secara global atau terperinci, bila dipastikan dan ternyata salah,
maka kesalahannya tidak membahayakan
Contoh : Seseorang bershalat zhuhur dengan menyatakan
niatnya bershalat di mesjid Kuningan, padahal ia bershalat di
mesjid Gaprang, shalat orang tersebut tidak batal. Karena
niat shalatnya telah terpenuhi dan benar sedangkan yang
keliru adalah pernyataan tentang tempatnya. Kekeliruan
tentang tempat shalat tidak ada hubungannya dengan niat
shalat baik secara garis besarnya maupun secara terperinci
KAIDAH TURUNAN KE-3

‫شتَ ِرطُ فِ ْي ِه اَلتَّ ْعيِ ْي ِن فَا ْل َخطَأ فِ ْي ِه‬


ْ َ‫َو َما ي‬
Suatu amal yang disyariatkan penjelasannya, maka kesalahannya
membatalkan perbuatan tersebut

Contoh : Seseorang melaksanakan shalat zhuhur berniat dengan


shalat ashar, atau dalam shalat idul fithri berniat dengan idul
adhha, dalam puasa arafah berniat dengan puasa asyura.
Maka perbuatan itu menjadi batal.
KAIDAH TURUNAN KE-4

ُ‫ص ْياًل ِإ َذا َع ْينُه‬ ْ َ‫ض لَهُ ُج ْملَةٌ َواَل ي‬


ِ ‫شتَ َرطُ تَ ْعيِ ْينُهُ تَ ْف‬ ُ ‫ب اَلتَّ َع ُر‬
ُ ‫ َو َما يَ ِج‬-َ
َ ‫َو َأ ْخطَأ‬
‫ض َر‬
Suatu amal yang harus dijelaskan secara global dan tidak disyaratkan
secara terperinci, karena apabila disebutkan secara terperinci dan
ternyata tersalah maka kesalahannya membahayakan

Misal, seseorang bershalat jamaah dengan niat makmum kepada


Umar. Ternyata yang menjadi imam bukan Umar, tetapi Utsman.
Maka shalat jamaah orang itu dinyatakan tidak sah. Karena
keimamannya telah digugurkan oleh Utsman
KAIDAH TURUNAN KE-5

‫اص ُد اَللَّ ْف ِظ َعلَى نِيَّ ِة اَللًّفِ ِظ‬


ِ َ‫َمق‬ ٥

Maksud dari suatu lafazh (ucapan) adalah menurut niat orang yang
mengucapkannya)

Misalnya, jika seseorang di tengah-tengah shalat mengeluarkan ucapan-ucapan


yang berupa ayat al-Qur'an, dan tidak ada maksud lain kecuali membaca al-
Qur'an , maka yang demikian itu dibolehkan. Tetapi apabila niatnya untuk
memberitahukan kepada seseorang seperti
ucapan untuk memberikan izin masuk kepada orang yang sedang
mengunjunginya, maka shalatnya batal
KAIDAH KEDUA

Keyakinan Tidak Bisa Dihilangkan Dengan


Keragu-raguan
Keraguan yang baru datang pada suatu
keyakinan yang disebabkan oleh suatu hal
yang sifatnya eksternal, tidak dapat
menghilangkan keyakinan tersebut.
Dari kaidah mayor (pokok)

dapat disarikan menjadi 10 kaidah minor


(cabang) sebagaimana perincian berikut:
KAIDAH TURUNAN KE-1

Hukum asal itu adalah ketetapan yang telah ada /


dimiliki sebelumnya.

Misalnya : orang yang telah yakin bahwa dia positif masih


suci, kemudian dia ragu telah berhadas, maka statusnya
tetap masih suci. Atau sebaliknya, dia yakin bahwa dia
dalam keadaan hadas, tetapi selanjutnya dia ragu bahwa
dia dalam keadaan suci maka statusnya tetap hadas.
Contoh 2 :
Seseorang makan sahur di akhir malam dengan dicekam
rasa ragu-ragu, jangan-jangan waktu fajar telah terbit,
dihukumkan
maka sah, karena
puasa orang waktu
tersebut padayang
pagi ditetapkan
harinya berlaku
sebelumnya adalah waktu malam, bukan waktu fajar.

Contoh 3. Dalam kasus muamalah misalnya, seseorang


pembeli sebuah televisi menggugat kepada penjualnya,
karena televisi yang dibelinya setiba di rumah tidak dapat
dimanfaatkan, maka gugatan pembeli dikalahkan, karena
menurut asalnya televisi yang dijual ditetapkan dalam
keadaan baik.

Contoh 4. Dalam kasus munakahat misalnya, seorang


suami lama meninggalkan isterinya dan tidak diketahui ke
mana perginya, maka isteri tidak dapat kawin dengan laki-
laki lain, karena dipandang, bahwa hukum yang berlaku
KAIDAH TURUNAN KE-2

Hukum asal itu bebas dari tanggungan

Misalnya :
Jika terjadi pertengkaran antara penuduh
dan tertuduh, selama penuduh tidak ada
bukti, yang dimenangkan adalah pengakuan
tertuduh, karena pada dasarnya ia adalah
terbebas dari segala beban atau tanggung
jawab.
KAIDAH TURUNAN KE-3

Hukum asal dari sesuatu adalah boleh sampai ada


dalil yang mengharamkannya

Misalnya :
Apabila ada binatang yang belum ada dalil yang tegas
tentang keharamannya, maka hukumnya boleh
dimakan
(Contoh : Jerapah)
KAIDAH TURUNAN KE-4

Hukum asal kaitannya dengan seksualitas adalah haram

Contoh:
Jika seorang suami memiliki istri empat, kemudian mentalak salah
satu dari istrinya tersebut. Namun dikemudian hari dia lupa istri yang
mana yang baru ditalaknya. Maka haram baginya untuk
berhubungan intim dengan mereka semua karena adanya keraguan
akut tentang siapa yang telah menjadi haram baginya. Karena
walaupun yang haram cuma satu namun hukum asal Abdha’ (farji)
adalah haram. Keharaman ini berlangsung sampai jelas siapa yang
telah ditalaknya.
KAIDAH TURUNAN KE-5

Asal dalam setiap kejadian, dilihat dari waktunya


yang terdekat

Misalnya: Seseorang berwudhu dengan air yang diambil dari sumur.


Beberapa hari kemudian diketahuinya bahwa di dalam sumur tersebut ada
bangkai, sehingga menimbulkan keragu-raguannya perihal wudhu dan
sembahyang yang dikerjakan beberapa hari lalu. Dalam hal ini ia tidak wajib
mengqadha shalat yang sudah dikerjakannya. Karena masa yang terdekat
sejak dari kejadian diketahuinya bangkai itulah yang dijadikan titik tolak
untuk penetapan kenajisan air sumur yang mengakibatkan tidak sahnya
shalat
KAIDAH TURUNAN KE-6

Hukum asal dari suatu kalimat adalah arti yang


sebenarnya.

Misalnya :
Apabila seseorang berkata : “Saya mau mewakafkan
harta saya kepada anak Kyai Ahmad, maka anak
dalam kalimat tersebut adalah anak yang
sesungguhnya, bukan anak pungut dan bukan pula
cucu
KAIDAH TURUNAN KE-7

Apa yang ditetapkan atas dasar keyakinan tidak


bisa hilang kecuali dengan keyakinan lagi.

Misalnya :
Thawaf ditetapkan dengan dasar dalil 7 putaran.
Jika ada seseorang ragu-ragu apakah thawaf yang
dilakukannya 6 putaran atau lima putaran, maka
yang meyakinkan adalah putaran kelima. Jadi
dalam hal bilangan, apabila seseorang ragu, maka
bilangan yang terkecil itulah yang meyakinkan.
KAIDAH TURUNAN KE-8

Tidak dianggap (tidak diakui), suatu persangkaan


yang jelas salahnya.

Misalnya :
Seseorang yang sakit demam berdarah, tapi
dikatakan kena santet
KAIDAH TURUNAN KE-9

Tidak diakui adanya waham (kira-kira).

Misalnya :
Apabila seseorang meninggal, meninggalkan
ahli waris, maka harta warisan dibagikan
diantara mereka.
KAIDAH TURUNAN KE-10

Apa yang ditetapkan berdasarkan waktu, maka


hukumnya ditetapkan berdasarkan berlakunya waktu
tersebut, selama tidak ada dalil yang bertentangan
dengannya.
Misalnya :
Seseorang yang bepergian jauh, tidak ada kabar
beritanya, maka orang tersebut dinyatakan masih
hidup sampai ada bukti meyakinkan bahwa ia telah
meninggal
KAIDAH KETIGA

KESULITAN MENDATANGKAN KEMUDAHAN


DASAR HUKUM
QS. Al-An’am : 145

‫يم‬ ِ‫ك غَ ُفور ر‬


‫ح‬ َ ‫ب‬
َّ‫ر‬ َّ
‫ن‬ ‫ِإ‬‫ف‬
َ ٍ
‫اد‬ ‫ع‬ ‫ال‬‫و‬ ‫اغ‬
ٍ ‫ب‬ ‫ر‬‫ي‬ ‫غ‬
َ ‫ر‬
َّ ‫ط‬
ُ ‫ض‬
ْ ‫ا‬ ِ
‫ن‬ ‫فَ َم‬
ٌ ٌَ َ َ َ ََ ْ
Barang siapa yang dalam keadaan terpaksa sedang dia tidak menginginkannya
dan tidak (pula) melampaui batas, maka sesungguhnya Tuhanmu Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang."
QS. Al-Baqarah : 185

‫يُ ِري ُد اللَّهُ بِ ُك ُم الْيُ ْس َر َوال يُ ِري ُد بِ ُك ُم الْعُ ْس َر‬


Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak
menghendaki kesukaran bagimu.
Kaidah mayor yang ketiga
al Masyaqatu Tajlibut Taysir, ini
memberikan pemahaman kepada umat
Islam dengan membangun kerangka
berpikir pentingnya menerapkan dispensasi
(kemudahan) kepada siapapun yang
mungkin terjadi baik ketika menjalankan
ibadah maupun interaksi sosial (muamalah)
untuk meminimalisir kesulitan.
Kaidah al Masyaqatu Tajlibut Taysir adalah bagian dari
mengamalkan ajaran agama Islam yang moderat
(harmonis, bersinergi) atau adil dengan mengambil jalan
tengah di antara dua sikap yaitu antara “tasaahhul”
atau mempermudah masalah agama dan sikap ngawur
(ceroboh, gegabah) atau “guluw” artinya mempersulit
diri sendiri dalam memahami dan mengamalkan agama.
Dalam hukum Islam, Ada hukum azimah dan ada hukum rukhsah
Azimah ialah :
‫ما َ ُش ِر َع من االحكام الكلية إبتدا ًء‬.
Hukum yang ditetapkan Allah pertama kali dalam
bentuk hukum-hukum umum

Hukum azimah adalah hukum yang berlaku


secara umum kepada semua mukallaf tanpa
adanya kesulitan
Adapun Hukum rukhsah :

‫الدليل لِ ُع ْذ ٍر‬
ِ ‫ف‬
ِ َ ‫ال‬ ‫خ‬
ِ ‫على‬ ُ
‫ت‬ ِ ‫ب‬ ‫ا‬َّ ‫ث‬ ‫ال‬ ‫م‬
ُ ْ
‫ك‬ ‫ال ُح‬.
Hukum yang berlaku berdasarkan suatu dalil menyalahi
dalil yang ada karena adanya uzur

Hukum rukhsah adalah hukum tentang


keringanan yang dilakukan oleh karena adanya
kesulitan
Faktor Penyebab adanya Rukhshah adalah, karena:

a. Dharurat (keterpaksaan) seperti orang yang keadaannya sangat lapar apabila ia


tidak makan dikhawatirkan akan mati, sementara yang ada di hadapannya hanya
makanan yang haram dimakan, maka ia boleh makan makanan yang haram
ituuntuk menjaga jiwanya.
b. Adanya masyaqqah (kesukaran).
Misalnya :
1. Sedang dalam perjalanan (al-safar). Misalnya, boleh qasar shalat, buka puasa, dan
meninggalkan shalat Jumat.

2. Keadaan sakit. Misalnya, boleh tayamum ketika sulit memakai air, shalat fardhu sambil duduk,
berbuka puasa bulan Ramadhan dengan kewajiban qadha setelah sehat, wanita yang sedang
menstruasi.

3. Keadaan terpaksa yang membahayakan kepada kelangsungan hidupnya. Setiap akad yang
dilakukan dalam keadaan terpaksa maka akad tersebut tidak sah seperti jual beli, gadai, sewa
menyewa, karena bertentangan dengan prinsip ridha (rela)
Faktor penyebab adanya Rukhshoh,, lanjutan..

4. Lupa (al-nisyan). Misalnya, seseorang lupa makan dan minum pada waktu puasa, lupa
membayar utang (tetapi bukan pura-pura lupa).

5. Ketidaktahuan (al-jahl). Misalnya, orang yang baru masuk Islam karena tidak tahu,
kemudian makan makanan yang diharamkan, maka dia tidak dikenai sanksi.

6. Kesulitan Umum , Misalnya


- Kebolehan Bay al-salam (uangnya dahulu, barangnya belum ada).
- Kebolehan dokter melihat kepada bukan mahramnya demi untuk mengobati sekadar
yang dibutuhkan dalam pengobatan.
- Percikan air dari tanah yang mengenai sarung untuk shalat.

7. Kekurangmampuan bertindak hukum (al-naqsh). Misalnya, anak kecil, orang gila.


Adapun rukhsah (kemudahan) karena adanya masyaqqah ada tujuh macam, yaitu:

1. Takhfif isqath, yaitu keringanan dalam bentuk penghapusan seperti tidak shalat bagi
wanita yang sedang menstruasi atau nifas. Tidak wajib haji bagi yang tidak mampu
(Istitha’ah).

2. Takhfif tanqish, yaitu keringanan berupa pengurangan, seperti shalat Qashar dua
rakaat yang asalnya empat rakaat.

3. Takhfif ibdal, yaitu keringanan yang berupa penggantian, sepertu wudhu dan/atau
mandi wajib diganti tayamum, atau berdiri waktu shalat wajib diganti dengan duduk
karena sakit
4. Takhfif taqdim, yaitu keringanan dengan cara di dahulukan, seperti :
- mendirikan shalat dengan jama’ taqdim.
- mendahulukan mengeluarkan zakat sebelum haul (batas waktu satu tahun)
- mendahulukan mengeluarkan zakat fithrah di bulan Ramadhan;
5. Takhfif ta’khir, yaitu keringanan dengan cara diakhirkan, seperti;
- bayar puasa Ramadhan bagi yang sakit,
- melakukan shalat jama’ ta’khir bagi orang yang melakukan perjalanan karena
mendatangkan masyaqqah dalam perjalanannya.

6. Takhfif tarkhis, yaitu keringanan karena rukhsah, seperti


- makan dan minum yang diharamkan dalam keadaan terpaksa, sebab bila tidak, bisa
membawa kematian.

7. Takhfif taghyir, yaitu keringanan dalam bentuk berubahnya cara yang dilakukan,
seperti shalat pada waktu khauf (kekhawatiran), misalnya pada waktu perang.
Semua jenis disepensasi yang bersifat antisipatif di atas
menunjukkan bahwa ajaran Islam selalu s͎ alihūn likulli
zaman wa makan (selalu relevan dan harmonis dalam
setiap situasi dan kondisi)
Dari kaidah mayor (pokok)

dapat disarikan menjadi 5 kaidah minor


(cabang) sebagaimana perincian berikut:
KAIDAH TURUNAN KE-1

ُ ‫ات ُت ِب ْي ُح اَ ْل َم ْح ُظ ْو َر‬
‫ات‬ َّ َ‫ا‬
ُ ‫لض ُر ْو َر‬
Segala bentuk yang bisa membahayakan yang semula dilarang menjadi
diperbolehkan
Contoh: seseorang laki-laki melihat perempuan yang
tenggelam di pantai, maka dia wajib menolongnya meski
semula bersentuhan antara laki-laki dan perempuan non
mahram diharamkan karena keadaan darurat maka
diperbolehkan selama tidak melewati batas.
KAIDAH TURUNAN KE-2

‫ات ُت َق َّد ُر ِب َق َد ِر َها‬ َّ َ‫ا‬


ُ ‫لض ُر ْو َر‬
Segala sesuatu yang bersifat keterpaksaan (darurat/emergency)
jalan keluarnya tetap harus sesuai dengan ukuran yang sudah
ditentukan
Contoh: melihat aurat orang lain hukumnya haram kecuali ketika
seseorang dokter yang mengobati pasiennya selama tidak melampaui
batas yang sudah ditentukan, jika melampauinya dengan sengaja
hukumnya haram.
KAIDAH TURUNAN KE-3

َّ ‫أْل‬َ
َ ‫ضاق ا ْم ُر ِات‬
‫س َع‬ َ َ
َ ‫ِاذا‬
Jika terjadi hal-hal yang membuat keterpaksaan (kepepet),
maka yang sulit menjadi mudah, yang sempit menjadi longgar
Contoh: semua kendaraan wajib berhenti ketika lampu
merah menyala di traffic light kecuali mobil ambulance yang
membawa pasien yang sedang kritis yang semula wajib
berhenti menjadi boleh menerjangnya.
KAIDAH TURUNAN KE-4

‫الَ َوا ِج َب َم َع اَ ْل ُع ْج َز‬


Segala kewajiban menjadi gugur ketika dalam
kondisi lemah
Contoh:
Semua umat Islam wajib hukumnya menunaikan ibadah haji
bagi yang mampu secara finansial, kesehatan dan keamanan.
Apabila finansial dan kesehatan seseorang lemah atau
keadaan pandemi global maka kewajiban itu gugur.
KAIDAH TURUNAN KE-5

‫س ْو َر‬ ‫ع‬ ‫م‬‫ل‬ْ ‫ا‬ ‫ب‬ ُ


‫ط‬ َ
ُ ْ َ ِ ‫س ْو ُر اَل َ َي ْس‬
‫ق‬ ْ َ‫ا‬
ُ ‫لم َي‬
Kemudahan (dispensasi) tidak bisa hilang karena ada
kesulitan yang baru
Contoh:
Seseorang yang bepergian menggunakan pesawat. Meskipun pesawat
tersebut delay selama 10 jam, tetap mendapatkan dispensasi berupa
jamak taqsir, karena jarak tempuh pesawat terbilang sebentar hanya satu
jam misalnya, tapi jarak berpergiannya melebihi 89 KM yang sudah
diperbolehkan jamak taqsir.
KAIDAH KEEMPAT

َ
‫لض َر ُر ُيزال‬
َّ ‫َأ‬
Setiap bahaya harus dihilangkan
Dasar Hukum
Qur’an surah al-Qashash ayat 77

‫ض ِإ َّن اللَّهَ ال‬


ِ ‫األر‬ ‫ي‬ ِ‫اد ف‬
َ‫س‬ ‫ف‬
َ ْ
‫ل‬ ‫ا‬ ‫غ‬
ِ ‫ب‬ ‫ت‬
َ ‫ال‬‫و‬
ْ َ ْ َ
‫ين‬ ِ ‫ب الْم ْف ِس‬
‫د‬ ُّ ‫ح‬ ِ ‫ي‬
َ ُ ُ
dan janganlah kamu berbuat kerusakan
di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah
tidak menyukai orang-orang yang
berbuat kerusakan.
Hadis Rasulullah SAW. riwayat dari Ahmad bin
Hanbal dari Ibnu Abbas

َ ِ‫ض َر َر َوال ض‬
‫رار‬ َ ‫ال‬
Tidak boleh membahayakan dan tidak boleh (pula)
saling membahayakan (merugikan)
Kaidah Turunan 1
ُ ‫الضرورات ُت ِب ْي ُح ا ْل َم ْح ُظ ْو َر‬
‫ات‬
Kemudharatan dapat menghalalkan sesuatu
yang diharamkan menurut syariat.

Misalnya, orang yang dilanda kelaparan


diperkenankan makan binatang yang diharamkan
karena ketidak adaan makanan yang halal
Kaidah Turunan 2

َّ ‫الضررال ُي َزال ُ ِبال‬


‫ض َر ِر‬
Kemudharatan itu tidak dapat dihilangkan dengan
menimbulkan kemudharatan yang lain.

Oleh karena itu, orang yang dalam keadaan terpaksa


menghajatkan sekali kepada makanan, maka tidak boleh
makan makanan milik orang lain yang ia juga sangat
menghajatkannya
Kaidah Turunan 3

‫درء المفاسد مقدم على جلب المصالح‬


Menolak kerusakan (mafsadat) lebih
didahulukan daripada menarik kemaslahatan.

Oleh karena itu, apabila berjual beli hukumnya


sunnat, tetapi jika jual beli itu mengandung aspek
riba, maka jual beli itu menjadi dilarang.
Kaidah Turunan 4

Apabila dua buah kemudharatan saling berlawanan maka


haruslah dipelihara yang lebih berat mudharatnya dengan
melaksanakan yang lebih ringan dari padanya
Contoh : melaksanakan hukuman qishash adalah tindakan
yang merusak hak asasi manusia. Tetapi kalau tindakan
semacam itu tidak dilakukan oleh penguasa maka kerusakan-
kerusakan yang ditimbulkan oleh tindakan mereka akan lebih
banyak. Oleh karena itu, agama mengadakan hukuman
qishash.

Atau seseorang memotong pohon milik orang lain adalah


perbuatan merusak, tetapi seandainya hal itu tidak
dilakukannya, maka pohon itu meliuk di jendela rumahnya
dan akan mengganggu bergantinya udara dan cahaya
matahari yang masuk kerumahnya yang sangat
membahayakan kesehatan. Oleh karena itu, memotong pohon
milik orang lain yang mengganggunya dibolehkan.
Kaidah Turunan 5

Apabila terjadi perlawanan antara


kemaslahatan dan kemudharatan, maka harus
diperhatikan mana yang lebih kuat di antara
keduanya
Contoh :
Berbohong adalah sifat yang tercela lagi dosa
dan diharamkan. Tetapi kalau berbohong itu
dilakukan dengan niat untuk mendamaikan
suatu pertengkaran antara seseorang
kawannya atau antara suami isteri, maka
berbohong itu dibolehkan.
Kaidah Turunan 6

Sesuatu yang diperbolehkan karena dharurat,


harus diperkirakan menurut batasan ukuran
kebutuhan minimal
KAIDAH KELIMA
Dasar Hukum
Qur’an surah al-A’raf ayat 199

ِ‫ض َعن‬ ِ ِ ِ ‫ْأ‬ ِ


ْ ‫ُخذ ال َْع ْف َو َو ُم ْر بالْعُ ْرف َوَأ ْعر‬
‫ين‬ ِ
‫ل‬ ِ
‫اه‬ ‫ْج‬‫ل‬‫ا‬ Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang
َ َ mengerjakan yang makruf, serta berpalinglah
daripada orang-orang yang bodoh
Apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin, maka
baik pula disisi Allah. Apa yang dipandang tidak baik
oleh kaum muslimin, maka tidak baik pula disisi
Allah
Kaidah ushul fikih kelima adalah al ‘adatu
muhakkamah, artinya adalah suatu kebiasaan,
adat, culture, local wisdom yang bisa dijadikan
pijakan untuk mencetuskan hukum.
Namun, tidak semua adat bisa dijadikan pijakan
hukum.
Rasullullah Saw sendiri pernah suatu ketika dalam
keadaan tertentu menetapkan adat kebiasaan
masyarakat setempat di madinah sebagai dasar
untuk membuat kebijakan hukum khususnya
dalam masalah mu’amalah (interaksi sosial) bukan
masalah ibadah mahdhah (formal).
Al ‘adatu muhakkamah adalah kaidah yang membangun
kerangka berpikir umat bahwa ajaran Islam memberikan
ruang yang cukup untuk menerima budaya sebagai
kebijakan hukum selama tidak mengandung keburukan
(mafsadah) dan melenceng dari syari’ah.

Contoh konkritnya dalam masyarakat Indonesia sendiri,


nampak begitu harmonis antara ajaran Islam dan budaya
setempat untuk saling mengerti, bersinergi, bermitra,
berkolaborasi dalam bentuk akulturasi seperti budaya
halalbihalal, mudik lebaran dan sebagainya
Al ‘adatu muhakkamah bisa dijadikan
pedoman, sandaran, dan dasar kebijakan
hukum ketika memenuhi enam syarat, yaitu:
(1) Tidak bertentangan dengan syara’, seperti kebiasaan
sebagian masyarakat yang hoby berjudi, minum
minuman yang memabukkan, ngrumpi (ghibah, gosip)
dll.
(2) Tidak menyebabkan mafsadah (keadaan yang buruk)
serta menghilangkan mas͎ lah͎āh (kebaikan secara
umum), seperti kebiasaan sebagian masyarakat yang
membuka aurat baik laki-laki atau perempuan.
(3) Sudah berlaku secara umum di kalangan kaum muslimin,
seperti kebiasaan masyarakat Indonesia yang melakukan tradisi
serahan dalam acara pernikahan.
(4) Tidak berlaku dalam ibadah mahdlah
Contoh :
- mendahulukan orang lain dalam beribadah, seperti
mendahulukan orang lain untuk menempati shaf awal (barisan
depan) dalam shalat,
- mendahulukan orang lain untuk menutup aurat dan
menggunakan air wudhu

Sebaliknya mendahulukan orang lain mengalahkan diri sendiri


dalam hal selain ibadah sangat dianjurkan ), seperti
mendahulukan orang lanjut usia (lansia) ketika masuk pintu
mobil, dan seterusnya.
(5) Kebiasaan tersebut sudah memasyarakat saat akan ditetapkan
sebagai salah satu pedoman hukum, contoh seperti kebiasaan
masyarakat lamaran pra-nikah bisa dijadikan sandaran hukum
diperbolehkan sesuai dengan adat masing-masing selama tidak
melenceng dari syari’ah.

(6) Tidak bertentangan dengan suatu hal yang sudah ada penjelasan
yang bisa dipertanggungjawabkan, contoh seperti bolehnya
penggunaan vaksin meningitis, sepintas tidak ada permasalahan
dalam penggunaan vaksin yang wajib bagi jamaah haji ini. Namun
setelah ditemukannya unsur protein babi dalam vaksin ini sebagian
calon jemaah haji menolaknya. Tetapi setelah ada penjelasan yang
sangat jelas dan kuat argumentasi yang disampaikan oleh
Kementerian Agama dan Kementerian Kesehatan, bahwa unsur babi
tersebut telah melewati tes laboratorium dimana salah satu
prosesnya harus melewati tujuh tahapan pensterilan dan salah satu
tahapan di dalamnya memerlukan debu.
Qur’an surah al-A’raf ayat 199

ِ‫ض َعن‬ ِ ِ ِ ِ
ْ ‫ُخذ ال َْع ْف َو َوْأ ُم ْر بالْعُ ْرف َوَأ ْعر‬
‫ين‬ ِ
‫ل‬ ِ
‫اه‬
Jadilah
‫ْج‬‫ل‬‫ا‬
engkau pemaaf dan suruhlah orang
َ َ yang makruf, serta berpalinglah
mengerjakan
daripada orang-orang yang bodoh

Menurut Imam Al-Suyuthi sebagaimana


dikutip ulama’ asal Indonesia Syaikh
Yasin bin Isa al-fadani, kata al-‘urf
dalam ayat ini diartikan sebagai
kebiasaan atau adat, adat di sini artinya
adat yang tidak bertentangan dengan
syariat
Contoh Aplikasi dalam Kehidupan

(1) Batasan usia kedewasaan (baligh) bagi laki-laki ketika


sudah mimpi basah, sedangkan bagi perempuan
adalah sudah mengalami menstruasi.
Semuanya ini disandarkan atas kebiasaan yang berlaku
secara umum baik bagi laki-laki atau perempuan,
boleh jadi laki-laki dan perempuan yang hidup di kota
metropolis baligh-nya lebih cepat dari yang hidup di
pedesaan atau sebaliknya.
(2) Batasan nifas atau monopose,
disandarkan atas kebiasaan yang berlaku secara umum
bagi perempuan satu negara, meskipun mungkin
berbeda dengan negara lain.
(3) Ukuran sedikit atau banyaknya najis yang dimaafkan
(ma’fuw, ditolerir) ini disandarkan atas kebiasaan yang
berlaku secara umum di daerah satu dengan yang lain
berbeda.
(4) Ukuran gerakan yang bisa membatalkan shalat, ini
disandarkan atas kebiasaan yang berlaku secara umum
di daerah satu dengan yang lain berbeda.
(5) Batasan jarak waktu antara khutbah dengan pelaksanaan
shalat jum’at disesuaikan dengan adat istiadat setempat.
(6) Kadar kesinambungan (muwalah) antara ijab dan qabul
dalam pernikahan kebijakannya disesuaikan dengan
adat dan istiadat setempat.
(7) Standar upah minimun kota atau kabupaten (UMK),
kebijakannya disesuaikan dengan dengan kondisi
daerah masing-masing.
(8) Pemahaman redaksi dalam masalah wakaf, sumpah,
wasiat kebijakannya disesuaikan dengan adat dan
istiadat setempat.
(9) Masalah yang berhubungan dengan Rukun Tetangga
(RT), Rukun Warga (RW) kebijakannya disesuaikan
dengan adat dan istiadat setempat.
(10) Standar ukuran jual beli baik on line maupun off line,
kebijakannya disesuaikan dengan adat dan istiadat
setempat.
KAIDAH TURUNAN KE-1

‫ب‬ُ ‫اس ُح َّجةٌ يَ ِج‬ َّ َ


ِ ‫اِ ْستِ ْع َما ُل ا‬
‫ن‬ ‫ل‬
‫ا‬
“Apaَ ‫ه‬ِ ‫ب‬ ‫ل‬
ُ
yang‫م‬
َ ‫ع‬
َ ‫ل‬َ
sudah ‫ا‬ terbiasa dilakukan mayoritas
manusia bisa dijadikan hujjah (alasan /argument
/dalil) yang wajib diamalkan”

Maksud kaidah ini apa yang sudah menjadi adat


kebiasaan di masyarakat selain ibadah harus
menjadi pegangan, dalam arti setiap anggota
masyarakat wajib menaatinya.
KAIDAH TURUNAN KE-2

‫ت اَو‬ ْ ‫ضطَ َر َد‬


ْ َ‫اِنَّ َما تُ ْعتَبَ ُر اَل َعا َدةُ اِ َذا ا‬
ْ َ‫َغلَب‬
‫ت‬
“Adat yang dianggap (sebagai pertimbangan hukum) itu
hanyalah adat yang terus-menerus diberlakukan atau
Dalam masyarakatberlaku secara umum”
suatu perbuatan atau perkataan yang
dapat diterima sebagai adat kebiasaan, apabila perbuatan
atau perkataan tersebut sering berlakunya, atau dengan
kata lain sering berlakunya itu sebagai suatu syarat
(salah satu syarat) bagi suatu adat, maka dapat dijadikan
dasar hukum.
KAIDAH TURUNAN KE-3

َ ‫ب اَل َّشا ِئ ِع اَل‬ ‫ل‬ ‫ا‬ َ


‫غ‬ ‫ل‬َ ‫ل‬ ُ
ِ ِ ِ ‫ال ِع ْب َرة‬
‫ر‬
َ ‫د‬
“Adat yang
ِ ‫ا‬َّ ‫ن‬‫ل‬ِ ‫ل‬
diakui adalah yang umumnya
terjadi yang dikenal oleh manusia bukan
dengan yang jarang terjadi”
Contohnya dalam menetapkan mahar dalam
perkawinan namun tidak ada kejelasan berapa
banyak ketentuan mahar, maka ketentuan mahar
berdasarkan pada kebiasaan setempat.
KAIDAH TURUNAN KE-4

ْ ْ
‫ف ُع ْرفَا َكال َمش ُر ْو ِط‬ ُ ‫ال َم ْع ُر ْو‬
‫ال َمعْ ر ُْوفُ َُعرْ َفا َك ْال َم ْشر ُْوطِ َشرْ ا طا‬

‫طا‬“Sesuatu ‫ َش‬yang telahdengan


‫ ْر‬disyaratkan dikenal ‘urf seperti yang
suatu syarat”

Maksud kaidah ini adalah adat kebiasaan dalam


bermuamalah yang mempunyai daya ikat seperti
suatu syarat (MoU/ nota kesepakatan) haruslah
dibuat bersama di awal.
Contoh :
Menjual buah di pohon tidak boleh karena tidak jelas
jumlahnya, tetapi karena sudah menjadi kebiasaan maka
para ulama membolehkannya
KAIDAH TURUNAN KE-5

‫َّار َك ْال َم ْش ُر ْو ِط‬


ِ ‫ج‬ ُ ‫ت‬ ‫ن‬
َ ْ
‫ي‬ َ ‫ب‬ ُ
‫ف‬ ‫و‬
ْ ‫ر‬
ُ ْ
‫ع‬ ‫م‬
َ ْ
‫ال‬
ُ‫ بَ ْينَه‬berlaku sebagai syarat di antara
‫ ْم‬pedagang
“Sesuatu yang telah dikenal di antara

mereka”
Contohnya transaksi jual beli batu bata, bagi penjual untuk
menyediakan angkutan sampai ke rumah pembeli.
Biasanya harga batu bata yang dibeli sudah termasuk biaya
angkutan ke lokasi pembeli tanpa perlu kesepakatan di
awal karena sudah menjadi kebiasaan dan syarat tidak
tertulis di masyarakat yang sudah dimaklumi semua orang.

Anda mungkin juga menyukai