Anda di halaman 1dari 12

QAWA’ID KHAMSAH

PENGERTIAN QAWA’ID KHAMSAH DAN PERCABANGANNYA

Kaidah-kaidah yang dibentuk para ulama’ pada dasarnya berpangkal dan menginduk kepada lima kaidah
pokok. Kelima kaidah pokok inilah yang melahirkan bermacam-macam kaidah yang bersifat cabang.
Sebagian ulama’ menyebut kelima kaidah pokok tersebut dengan istilah al qawa’id al-khams (kaidah-
kaidah yang lima).[6]

Kelima kaidah tersebut sangat masyhur di kalang madzhab al-Syafi’i khususnya dan dikalangan
madzhab-madzhab lain umumnya, meskipun urutannya tidak selalu sama.

Kelima kaidah tersebuat adalah:

1. KAIDAH PERTAMA

A. Teks Kaidah

Segala Sesuatu Itu Tergantung Pada Tujuannya

ِ ‫اُأل ُموْ ُربِ ِمقَا‬


‫ص ِدهَا‬

Maksudnya adalah niat yang terkandung dalam hati seseorang saat melakukan amaliyah, menjadi
kriteria yang dapat menentukan nilai dan status hukum amal-amaliyah yang telah dilakukan, baik yang
berhubungan dengan peribadahan maupun adat-kebiasaan.

Dengan demikian, setiap amaliyah pasti didasarkan pada niat, jika tidak, maka amaliyah tersebut bersifat
spekulatif. Oleh karena itu, niat memiliki posisi yang sangat penting, sebab ia sebagai penentu segala
gerak tingkah dan amaliyah yang dilakukan menjadi bernilai baik atau tidak.[7]

B. Landasan Hukum[8]

· Firman Allah SWT dalam Surah Al-Bayyinah(98) ayat 5

ِ ِ‫َو َما ُأ ِمرُوا ِإاَّل ِليَ ْعبُدُوا هَّللا َ ُم ْخل‬


‫صينَ لَهُ ال ِّدينَ ُحنَفَا َء‬

Artinya: “ (Padahal) mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan
ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus…” (QS. al-Bayyinah [98]: 5).

· Sabda Nabi SAW:

ِ ‫ِإنَّ َما ااْل َ ْع َما ُل بِا لنِّبَا‬


) ‫ت (اخرجه البخاري و مسلم‬

Artinya: “Sesungguhnya amal itu tergantung niatnya.” (HR.Bukhori dan Muslim)


C. Tujuan disyari’atkannya niat[9]

Menurut al-Suyuti (w.911 H), yang paling penting dari disyari’atkannya niat adalah untuk membedakan
antara ibadah dengan adat-kebiasaan. Selain itu, juga untuk mengurutkan tingkatan-tingkatan ibadah,
seperti wudhu dan gusl (mandi) dapat diartikan sebagai membersihkan diri (tandhif), mencari kesegaran
(tabarrud), dan ibadah. Begitu juga, seperti menahan diri (imsak) dari segala hal yang membatalkan
puasa, dapat diartikan sebagai hamiyyah (kesehatan badan), berobat, dan karena tidak ada yang
memerlukannya.Demikian juga, kata al-Suyuti (w.911 H), duduk di Masjid dapat diartikan sebagai
istirahat, memberikan uang kepada orang lain dapat berarti sebagai hibah, menyambungkan tali
silaturahmi, atau karena maksud-maksud duniawi, dan dapat juga berarti mendekatkan diri kepada Allah
(taqarrub) seperti zakat, sadaqah, dan kifarat. Menyembelih hewan dapat bertujuan untuk makan, dan
juga dapat bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah (taqarrub) karena telah mengalirkan darah
(membunuh). Dalam hal ini, niat disyari’atkan untuk membedakan antara yang taqarrub dengan yang
bukan.

Setiap ibadah, seperti wudhu, gusl (mandi), shalat, dan saum (puasa) kadang-kadang sebagai perbuatan
fardhu, nazar, dan nafl (sunnah). Tayammum, kadang-kadang dari hadats atau janabah, padahal cara
pelaksanaannya sama. Karena inilah, niat disyari’atkan untuk membedakan tingkatan-tingkatan ibadah.

Contoh penerapannya, ketika wanita dalam keadaan haid, ketika membaca bismillah dengan[10]:

· Diniati membaca Alqur’an, maka hukumnya haram

· Diniati berdzikir, maka tidak haram

· Diniati baca Alqur’an dan dzikir, maka hukumnya haram

· Tidak diniati apa-apa, maka juga haram.

2. KAIDAH KEDUA

A. Teks Kaidah

Keyakinan tidak bisa dihilangkan dengan keraguan.

ِ ‫اَ ْليَقِيْنُ الَيُزَا ُل بِا لش‬


‫َك‬

Maksudnya ialah semua hukum yang sudah berlandaskan pada suatu keyakinan itu, tidak dapat
dipengaruhi oleh adanya keragu-raguan yang muncul kemudian, sebab rasa ragu yang merupakan unsur
eksternal dan muncul setelah keyakinan, tidak akan bisa menghilangkan hukum yakin yang telah ada
sebelumnya.

Dengan demikian, maka yang dimaksud dengan kaidah kedua adalah tercapainya suatu kemantapan hati
pada suatu obyek yang telah dikerjakan, baik kemantapan itu sudah mencapai pada kadar ukuran
pengetahuan yang mantap atau baru sekadar dugaan kuat (asumtif/dzan). Makanya tidak dianggap
suatu kemantapan hati yang disertai dengan keragu-raguan pada saat pekerjaan itu dilaksanakan, sebab
keadaan ini tidak bisa dimasukkan kedalam kategori yakin. Hal-hal yang masih dalam keraguan atau
masih menjadi tanda tanya, tidak dapat disejajarkan dengan suatu yang sudah diyakini.[11]

B. Landasan Hukum[12]

· Firman Allah SWT dalam Surat Yunus ayat 36

ِّ ‫َو َما يَتَّبِ ُع َأ ْكثَ ُرهُ ْم ِإاَّل ظَنًّا ۚ ِإ َّن الظَّ َّن اَل يُ ْغنِي ِمنَ ْال َح‬
‫ق َش ْيًئا‬

Artinya: ”Dan kebanyakan dari mereka tidak mau mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya
persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai suatu kebenaran” (QS. Yunus : 36).

· Sabda Nabi SAW:

‫صوْ تًاَأوْ يَ ِج ْد ِر ْيحًا (رواه مسلم عن أبى‬


َ ‫ُجنَ ِمنَ ْال َم ْس ِج ِد َحتَى يَ ْس َم َع‬
َ ‫َي ٌءَأ ْم الَفَالَ يَ ْخر‬
ْ ‫او َج َد َأ َح ُد ُك ْم فِي بَصْ نِ ِه َش ْيًئا فََآ ْش َك َل َعلَ ْي ِه اَ َخ َر َج ِم ْنهُ ش‬
َ ‫اِ َذ‬
)‫هريرة‬

Artinya: “Apabila seseorang diantara kalian merasakan sesuatu dalam perutnya. Kemudian dia ragu
apakah sesuatu itu telah keluar dari perutnya atau belum. Maka orang tersebut tidak boleh keluar dari
mesjid sampai dia mendengar suara (kentut) atau mencium baunya”. (HR. Muslim dari Abu Hurairah).

C. Beberapa Kaidah Minor dan Contoh Penerapannya

Beberapa kaidah minor, diantaranya:

1. Kaidah minor pertama, kaidah kontinu

َ‫اَآلصْ ُل بقَا ُء َما َكانَ َعلَى َما َكان‬

Artinya: “Pada dasarnya, asal itu meneruskan apa yang ada menurut keadaannya semula”

Maksudnya ialah suatu perkara yang sudah berada pada satu kondisi tertentu dimasa
sebelumnya, akan tetapi seperti kondisi semula, selama tidak ada dalil yang menunjukkan terhadap
hukum lain, sebab dasar dari segala sesuatu adalah tidak berubahnya atau tetap seperti sedia kala
(baqa’), sedang kemungkinan untuk terjadi perubahan dari kondisi semula adalah sesuatu yang baru dan
sifatnya spekulatif, sehingga tidak dapat dijadikan sebagai pijakan hukum.[13]
Contoh penerapan dalam kaidah ini adalah dalam kasus orang ragu-ragu tentang apakah ia sudah
berhadas ataukah belum, maka yang dijadikan ukuran adalah kondisi yang telah ada sebelumnya,
yaitu[14]:

a. Jika kondisi sebelumnya ia belum wudlu, maka ia dianggap batal.

b. Jika kondisi sebelumnya ia sudah pernah berwudlu, maka yang dianggap suci.

2. Kaidah minor kedua, kaidah nihilis

‫من شك أفل شيأامال فاالصل أنهلم يفعل‬

Artinya: “Jika ada orang ragu-ragu tentang apakah ia telah melakukan sesuatu ataukah belum? Maka
hukum yang diambil adalah ia belum melakukan sesuatu”.

Maksudnya ialah pada dasarnya hukum yang bisa dijadikan pijakan dari kasus orang ragu-ragu
apakah dirinya sudah mengerjakan suatu amaliyah atau belum adalah belum mengerjakan, sebab
menurut asalnya ia belum mengerjakan amaliyah tersebut, kecuali jika amaliyah tersebut benar-benar
sudah terwujud dalam kenyataan, dan keberadaannya meyakinkan[15].

Contoh penerapan dalam kaidah ini adalah dalam kasus ada seseorang yang sedang ragu-ragu
perihal apakah ia sudah melakukan qunut atau belum, maka yang diambil adalah ia belum melakukan
qunut. Karena ia disunnahkan melakukan sujud syahwi.

3. Kaidah minor ketiga, kaidah minimalis

‫من تيقن الفعل وشك في القليل أو الكثير حمل على القليل ألنه متيقن‬

Artinya: ‘Siapa saja yang telah yakin bahwa ia telah melakukan sesuatu dan ia ragu-ragu dalam hal
sedikit banyaknya jumlah pekerjaan yang telah dilakukannya, mak hukum yang diambil adalah yang
paling sedikit, sebab ketetapan seperti ini yang lebih meyakinkan”.

Maksudnya, jika ditemukan ada seseorang yang dalam dirinya sudah yakin melakukan suatu amaliyah,
tetapi ia masih ragu-ragu, apakah yang telah ia lakukan itu adalah bilangan yang lebih banyak atau
sedikit, maka hendaknya ia memilih bilangan yang sedikit, sebab minimal ini sudah pasti dikerjakan[16].
Contoh penerapan dalam kaidah ini adalah dalam kasus orang sholat yang ragu-ragu dalam rakaat
yang telah ia lakukan, apakah sudah mendapat tiga rakaat atau empat rakaat? Maka yang harus diambil
adalah yang tiga rakaat, sebab tiga rakaat inilah yang paling meyakinkan.

3. KAIDAH KETIGA

A. Teks Kaidah

Kesulitan itu menarik pada kemudahan

‫ال َم َشقَةُ تَجْ لِبُ التَي ِْس ْي ُر‬

Yang dimaksud taisir ialah kelonggaran atau keringanan hukum yang disebabkan karena adanya
kesukaran sebagai pengecualian dari pada kaidah umum. Dan yang dimaksud masyaqqat ialah suatu
kesukaran yang didalamnya mengandung unsur-unsur terpaksa dan kepentingan, sehingga tidak
termasuk didalamnya pengertian kemaslahatan yang bersifat kesempurnaan komplementer. Dengan
demikian, maka semua bentuk keringanan dalam syari’ah islam itu, selalu bersumber dari kaidah
komprehensip ketiga ini. Sedang yang menjadi dasar pijakan munculnya kaidah komprehensip ketiga ini
adalah firman Allah surat An-Nisa’ ayat 28 sebagai berikut[17]:

‫ي ُِري ُد هَّللا ُ َأ ْن يُ َخفِّفَ َع ْن ُك ْم‬

Artinya: “Allah itu mencintai kemudahan bagi kamu sekalian”.

Landasan Hukum[18]

· Firman Allah SWT dalam Surah Al-Baqarah(2) ayat 185

َ ‫ْر َوالَي ُِر ْي ُد بِ ُك ُم ْالع‬


‫ُسر‬ ِ ‫ي ُِر ْي ُد هللاُ بِ ُك ْم ْاليُس‬

Artinya : “Allah menghendaki kemudahan bagimu dan Allah tidak menghendaki kesukaran bagimu” (QS.
Al-Baqarah [2]: 185).

· Sabda Nabi SAW:

)‫ال ِديْنُ يُ ْسرٌا ُخبُ ال ِد ْي ِن إلَى هللاِ الخفِيَةَ ال َس ْم َحةَ (رواه البخري‬

Artinya : “Agama itu adalah mudah, sedang agama yang disenangi Allah adalah agama yang benar dan
mudah” (HR. Bukhori).

B. Kaidah Minor dan Contoh Penerapannya

1. Kaidah minor pertama, kaidah longgar


‫إذا ضاق األمر إتسع‬

Artinya: “Suatu perkara apabila sempit maka diperluas”.

Maksudnya, jika muncul kesulitan dalam suatu perkara, maka perkara tersebut menjadi di
perlonggar dan diperluas. Makanya keringanan hukum akan bisa diperoleh jika disebabkan adanya
kondisi yang sulit dan sempit.[19]

Contohnya seperti najis ma’fu (dimaafkan), jika najis yang mengenai tubuhnya itu sulit dihindari,
seperti musim lalat yang dalam kebiasaannya senang dibenda-benda najis, lalu menempel tubuh.

2. Kaidah minor kedua, kaidah sempit

‫إذا اتسع األمر ضاق‬

Artinya: “Suatu perkara apabila luas maka dipersempit”

Contohnya seperti dalam kondisi berperang, orang boleh melakukan shalat dengan cara apapun,
sekalipun dengan cara berlari akan tetapi jika peperangan sudah selesai maka ia harus melakukannya
sesuai dengan syarat dan rukunnya, dan ia tidak boleh melakukan gerakan yang banyak.

Kasus-kasus yang menjadi contoh kedua kaidah minor seperti itu, sama halnya dengan pandangan Ibnu
Abi Hurairah, yang mengatakan bahwa segala sesuatu, aku telah meletakan pada landasan kaidah minor
(kaidah kondisional) berikut[20]:

‫إذا ضاقت اتسعت وإذا اتسعت ضاقت‬

Artinya: “segala sesuatu jika keadaannya sempit (artinya pelaksanaanya sulit), maka ia menjadi luas dan
jika luas (dan mudah pelaksanaanya), maka hukumnya menjadi sempit.

3. Kaidah minor ketiga, kaidah kebablasan

‫كل ما تجاوز حده إنعكس إلى ضده‬

Artinya: “Semua yang melampaui batas itu, hukumnya berbalik pada kebalikannya”.

Kaidah minor ini dibuat oleh imam al-Ghazali akibat dari adanya dua kaidah minor yang secara
lahiriyah bertentangan, sehingga dengan kaidah yang dibuatnya bisa dijadikan dasar untuk
mengkompromikan keduanya[21].

Contohnya Rasa manis atau asin itu memang enak, akan tetapi jika terlalu manis atau asin, maka
jadinya tidak menjadi enak. Pada saat tidak punya apa-apa, makan nasi pohong dengan lauk pauk ikan
asin, sudah terasa enak, tetapi dalam kondisi banyak harta, makan nasi beras dengan lauk pauk sate
kambing, gule dan sebagainya, terasa kurang enak.

4. KAIDAH KEEMPAT

A. Teks Kaidah
Kemadlaratan itu harus dihilangkan

‫الض َر ُريُ َزا ُل‬


َ

Seperti dikatakan oleh ‘Izzuddin Ibn Abd al-Salam bahwa tujuan syariah itu adalah untuk meraih
kemaslahatan dan menolak kemafsadatan. Apabila diturunkan kepada tataran yang lebih konkret maka
maslahat membaa manfaat sedangkan mafsadah mengakibatkan kemudaratan.

Kaidah tersebut di atas kembali kepada tujuan untuk merealisasikan maqashid al-syari’ah dengan
menolak yang mafsadah, dengan cara menghilangkan kemudaratan atau setidaknya meringankannya.
[22]

B. Landasan Hukum[23]

· Firman Allah SWT dalam Surah Al-A’raf ayat 55

َ ‫ََوال تُ ْف ِس‬
ِ ْ‫دوافِى ااْل َر‬
)‫ ه ه‬:‫ض (االعراف‬

Artinya :” Dan jangan kamu sekalian membuat kerusakan dibumi”. (QS. al-A’raf: 55)

· Sabda Nabi SAW:

ِ َ‫ض َر َر َوال‬
‫ض َرا َر‬ َ َ‫ال‬

Artinya :“Tidak boleh membuat kerusakan pada diri sendiri serta membuat kerusakan pada orang lain”.
(HR. Ahmad dan Ibnu Majah dari Ibnu Abbas).

C. Kaidah Minor dan Contoh Penerapannya

a. Kaidah minor pertama, kaidah netralitas

ِ ‫ضرُوْ َرة تُبِ ْي ُح ْال َمحْ ظُوْ َرا‬


‫ت‬ َ َ‫ال‬

Artinya: “Kemadlaratan itu membolehkan larangan”

Maksudnya keadaan dhorurot dapat memperbolehkan seseorang melakukan perkara yang asalnya
dilarang. Kiranya perlu ditegaskan disini bahwa ada tiga hal yang menjadi pengecualian kaidah ini, yakni
kufur, membunuh, dan berzina. Ketiga jenis perbuatan tersebut tidak boleh dilakukan dalam kondisi
apapun termasuk kondisi dlorurot. Artinya, ketiga hal tersebut dalam kondisi apapun tetap
diharamkan[24].

Contohnya boleh membuka aurot didepan dokter saat proses pengobatan.

b. Kaidah minor kedua, kaidah standar dlarurat (miqdaru al-dlarurat)

ِ ‫ت يُقَ َد ُربِقَد‬
‫َرهَا‬ َ ‫َماُأبِ ْي َع لل‬
ِ ‫ضرُو َرا‬
Artinya: “Seseuatu yang diperbolehkan karena kondisi dlarurat, harus disesuaikan menurut batasan
ukuran yang dibutuhkan dlarurat tersebut”.

Maksudnya, sesuatu yang asalnya dilarang, lalu diperbolehkan lantaran keadaannya yang
memaksa, harus disesuaikan dengan ukuran darurat yang sedang dideritanya, dan tidak boleh dinikmati
sepuas-puasnya atau seenaknya saja, sebab kaidah ini memberikan batasan pada kemutlakan kaidah
yang pertama tadi, dimana kebolehan yang terkandung didalamnya hanya sekedar untuk
menghilangkan kemadlaratan yang sedang menimpa.

Contoh penerapannya dalam kasus kelaparan yang kondisinya mendekati kematian (dlarurat).
Orang seperti ini, mendapatkan keringanan (rukhshah), berupa kebolehan makan daging bangkai, yang
asalnya berstatus haram. Sekalipun demikian, kebolehan tersebut hanya sebatas sebagai penyambung
hidup, dan tidak boleh (haram) makan sepuas-puasnya, sehingga setelah merasa kenyang, maka tidak
boleh lagi memakannya.

Dengan demikian, hokum diperbolehkan makan barang haram telah hilang, lantaran sudah
hilangnya alasan (‘illat) yang memperbolehkannya.[25]

c. Kaidah minor ketiga, kaidah

َ ‫اَل‬
َ ‫ض َر ُرالَيُ َزا ُل بِا ل‬
‫ض َر ِر‬

Artinya: “Bahaya itu tidak dapat dihilangkan dengan bahaya yang lain”.

Maksudnya ialah seseorang itu tidak boleh menghilangkan suatu bahaya yang ada pada dirinya
dengan menimbulkan bahaya pada diri orang lain, sebab semua manusia memiliki kedudukan yang
setara, sehingga satu jiwa tidak dapat dikorbankan hanya untuk menjaga kelangsungan hidup bagi jiwa
yang lain.

Contoh penerapannya, seperti dalam kasus tidak bolehnya orang sedang kelaparan mengambil
makanan orang lain yang keadaannya juga akan mati kelaparan jika makanan yang menjadi miliknya
hilang.[26]

5. KAIDAH KELIMA

A. Teks Kaidah

Kebiasaan dapat dijadikan suatu hukum

ٌ‫اَل َعا َدةُ ُم َح َك َمة‬

Kaidah ‘Adah ini, diambil dari realita social kemasyarakatan bahwa semua cara hidup dan
kehidupan itu dibentuk oleh nilai-nilai yang diyakini sebagai norma yang sudah berjalan sejak lama
sehingga mereka memiliki pola hidup dan kehidupan sendiri secara khusus berdasarkan nilai-nilai yang
sudah dihayati bersama. Jika ditemukan suatu masyarakat meninggalkan suatu amaliyah yang selama
inisudah biasa dilakukan, maka mereka sudah dianggap telah mengalami pergeseran nilai. Nilai-nilai
seperti inilah yang dikenal dengan sebutan ‘adat-istiadat, budaya, tradisi dan sebagainya. Kebudayaan
itu bisa dianggap sebagai perwujudan aktivitas nilai-nilai dan hasilnya.[27]

B. Landasan Hukum[28]

· Firman Allah SWT dalam Surah Al-Baqarah ayat 236

ِ ‫ۖ و َمتِّعُوه َُّن َعلَى ْال ُمو ِس ِع قَ َد ُرهُ َو َعلَى ْال ُم ْقتِ ِر قَ َد ُرهُ َمتَاعًا ِب ْال َم ْعر‬
‫ُوف‬ َ

Artinya :” Dan hendaklah kamu berikan suatu mut'ah (pemberian) kepada mereka. Orang yang mampu
menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), yaitu pemberian
menurut yang patut. Yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat
kebajikan”. (QS. Al-Baqarah: 236)

· Sabda Nabi SAW:

‫المكيال مكيال اهل المدينة والوزن وزن اهل مكة‬

Artinya:“Takaran itu pemilik penduduk madinah dan timbangan itu milik penduduk makkah”

C. Kaidah Minor dan Contoh Penerapannya

a. Kaidah minor pertama, kaidah Ta’yin al-‘Urf

‫ف كَا لتَ ْعبِ ْي ِن بِا لنَص‬


ِ ْ‫التَ ْعيِيْنُ بِا لعُر‬

Artinya: “Yang sudah tetap berdasarkan kebiasaan sama hal-nya dengan yang sudah tetap berdasarkan
nash”.

Kaidah Ta’yin al-‘Urf ini searti dengan kaidah Tsabitu al Ma’ruf berikut:

‫الثابت بالمعروف كاالتابت باانص‬

Atinya: “Yang ditetapkan oleh ‘urf sama dengan yang ditetapkan oleh nash”

Contohnya Adat Minangkabau tentang hubungan kekerabatan, yaitu Matrilenial, artinya:keturunan itu
hanya dihitung menurut garis perempuan saja bukan laki-laki, sehingga suami dan anaknya harus diam
dirumah keluarga pihak perempuan (matrilokal). Sekalipun demikian pada umunya kekuasaan masih
dipegang oleh suami (matriarchat). Dalam hal ini islam bisa mentolerirnya, sebab tidak bertentangan
dengan nash, baik al-qur’an maupun Hadits.[29]

b. Kaidah minor kedua, kaidah ma’rufu al-‘Urf

ً ‫ْال َم ْعرُوْ فُ عُرْ فًا كَا لَ َم ْشرُوْ ِط شَرْ طا‬

Artinya: “Yang sudah dianggap baik itu sebagai ‘urf sebagaimana yang disyari’atkan menjadi syarat”.

Kaidah Ma’rufu al-‘urf ini searti dengan kaidah Thardil ‘adah berikut:

‫العادة المطردة فى ناحية تنزل عادتهم منزلة الشرط‬

Artinya: “’adah yang umum berlaku dimasyarakat, maka ‘adah mereka menempati posisi syarat”

Contoh penerapannya dalam kasus menjual buah di pohon. Menurut qiyas, hukumnya tidak
boleh dan tidak sah, karena jumlahnya tidak jelas (majhul), tetapi karena sudah menjadi kebiasaan yang
umum dilakukan ditengah masyarakat, maka ulama’ membolehkannya.[30]

c. Kaidah minor ketiga, kaidah penguatan budaya

‫كل ما ورد به الشرع مطلقا وال ضابط له فيه وال فى اللغة يرجع فيه الى العرف‬

Artinya: “Semua yang telah diatur oleh syara’ secara mutlak tanpa ada ikatan atau qayyid dan tidak ada
ketentuannya secara pasti dalam agama dan tidak ada juga dalam bahasa, maka hal tersebut harus
dikembalikan kepada ‘urf”.

Contoh penerapannya dalam kasus negara yang sedang mengalami krisis moneter global, dan
tidak sedikit dalam satu negara ditemukan banyak mata uang yang beredar dan bisa dipergunakan
sebagai alat pembayaran. Dalam kasus fluktuatif ini, warga negara bersangkutan yang sedang
melakukan transaksi, harus terlebih dahulu menjelaskan mata uang apa yang akan dipakai sebagai alat
pembayaran, sebab masing-masing masyarakat akan memiliki kepentingan yang berbeda dalam memilih
mata uang yang dikehendaki.[31]

KESIMPULAN

Qawa’id Fiqhiyyah merupakan hasil atau kesimpulan dari hukum-hukum fiqh yang terperinci (juz’iyyah)
dan terpisah-pisah sebagai hasil akhir dari ijtihad mereka, lalu bagian-bagian yang terpisah-pisah
tersebut diikat menjadi satu ikatan atau kaidah.

Kaidah-kaidah yang dibentuk para ulama’ pada dasarnya berpangkal dan menginduk kepada lima kaidah
pokok. Kelima kaidah pokok inilah yang melahirkan bermacam-macam kaidah yang bersifat cabang.
Sebagian ulama’ menyebut kelima kaidah pokok tersebut dengan istilah al qawa’id al-khams (kaidah-
kaidah yang lima).

Kelima kaidah tersebut sangat masyhur di kalang madzhab al-Syafi’i khususnya dan dikalangan
madzhab-madzhab lain umumnya, meskipun urutannya tidak selalu sama.

Kelima kaidah tersebuat adalah:

1. Segala Sesuatu Itu Tergantung Pada Tujuannya

ِ ‫اُأل ُموْ ُربِ ِمقَا‬


‫ص ِدهَا‬

2. Keyakinan tidak bisa dihilangkan dengan keraguan.

ِ ‫اَ ْليَقِيْنُ الَيُزَا ُل بِا لش‬


‫َك‬

3. Kesulitan itu menarik pada kemudahan

‫ال َم َشقَةُ تَجْ لِبُ التَي ِْس ْي ُر‬

4. Kemadlaratan itu harus dihilangkan

‫الض َر ُريُ َزا ُل‬


َ

5. Kebiasaan dapat dijadikan suatu hukum

ٌ‫اَل َعا َدةُ ُم َح َك َمة‬

DAFTAR PUSTAKA

Dahlan Tamrin, Kaidah-Kaidah Hukum Islam Kulliyah Al–Khamsah (Malang:Uin-Maliki Press, 2010),

A.Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih (Jakarta:Kencana, 2006),

Yahya Khusnan Manshur.Ulasan Nadhom Qowaid Fiqhiyyah Al Faroid Al Bahiyyah (Jombang:Pustaka Al


Muhibbin,2011),

Ade Dedi Rohayana, ILMU QAWA’ID FIQHIYYAH Kaidah-Kaidah Hukum Islam (Jakarta:Gaya Media
Pratama, 2008),

A.Djazuli, Ilmu Fiqh (Jakata:Kencana,2006),

Revisi:
1. Tidak ditemukan indikasi copy-paste.

2. Penulisan abstrak cuma satu paragraf saja.

3. Makalahnya tidak rapi dan tolong dirapikan, sehingga sama seperti artikel yang saya jadikan acuan
dalam perkuliahan ini.

4. Penulisan footnote tolong diselaraskan.

5. Masing-masing kaidah mayor, tolong diberikan kaidah minornya.

6. Pendahuluan masih kurang greget.

Anda mungkin juga menyukai